
"Besok pakai stiletto! Kamu bukan mau belanja ke pasar, kan?"
Bryan
Chapter 1 - Meet the Boss!
Menjadi asisten pribadi atau lebih kerennya personal asistant, sama sekali tidak ada dalam dream list-ku. Apa boleh buat. Setelah semua lamaran pekerjaan yang kulayangkan berakhir dengan jawaban Maaf, lamaran Anda kami tolak, maka fix, hanya ini pekerjaan tersisa yang mau nggak mau harus aku ambil. Walau sejujurnya, aku enggak begitu paham apa yang harus aku lakukan. Tapi, life must go on.
Sebagai tulang punggung keluarga, aku tidak punya banyak pilihan, kan? Apalagi untuk lari dari kenyataan. Baiklah. Seseorang pernah berkata, Don't look back, live your life and be happy, you will ready for tomorrow!
So, here I am now.
"MARSHA JULIA."
Si boss yang semula kubayangkan berkepala botak dengan perut buncit dan kaca mata tebal minus lima belas dan kumis lebat seperti yang diinfokan sebelumnya kepadaku ini, berjalan mengitariku. Ia yang bahkan jauh lebih tampan dari artis sinetron FTV mana pun itu, mengamatiku dengan saksama. Mata elangnya seperti sedang memindai dari kepala hingga ujung kaki. Tatapan mesumnya membuatku mual. Bibirnya yang tipis nan seksi menyeringai. Ia berdecak.
"Saya bisa dipanggil Mars aja, Pak." Aku mundur selangkah. Mendadak risih dengan perlakuannya.
"Mars? Hm. Panggilan bagus," ucapnya, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
Kini ia memajukan hidung tujuh sentinya yang bisa buat jahit baju saking lancipnya itu. Mengendus tubuhku.
Oh, great! Apa aku lupa pakai deodoran tadi pagi? Atau aku lupa gosok gigi? Euw!
"Kenapa kamu... tidak wangi?" ucapnya kemudian. Wajahnya yang 11-12 dengan artis Turki Birkan Sokullu itu, terlihat kecewa.
"Hah?"
Apa tadi dia bilang?
"Sebagai orang yang harus selalu berada dekat dengan saya, kamu seharusnya... kiss-able.. eum maksud saya, wangi...."
Gubrak!
Astaga, Pak! Aku tadi emang baru habis nguras empang tetangga, sih. Makanya nggak wangi. Tapi kiss-able? Apa itu maksudnya?
"Terus ini. Apa ini?"
Tubuhnya yang tegap dan buat cewek normal memang bisa bikin air liur menetes itu tak henti mengelilingiku.
Kamu itu boss apa odong-odong sih, Pak? Muter-muter aja. Kepalaku mulai pening.
"Kamu ngelamar kerja jadi PERSONAL ASISTANT saya, kan? Kamu bukan mau pergi pengajian?"
Kata-katanya benar-benar membuat mataku terbelalak.
Apalagi kemudian ia mulai menarik lengan kemeja panjangku. Lalu rok denim model klok sedikit di atas mata kaki itu, dikibar-kibarkannya.
Omaigat!
Oke. Aku salah. Tadi aku memang buru-buru banget. Jadi enggak sempat lagi milih-milih baju. Tapi, apakah melempar kepala orang ini dengan bakiak kayu itu dosa?
Napasku rasanya mulai nyangkut di tenggorokan. Apalagi ketika laki-laki paling ganteng sedunia itu bilang.
"Mulai besok, kamu pakai baju yang worthed untuk gaji mahal yang akan saya keluarkan untuk bayar kamu. Minimal, pakai lah rok mini. Jangan daster begini!"
Aku menunduk. Berdehem. Mencoba tetap bersikap wajar.
Padahal, dadaku bergemuruh kencang. Bukan. Bukan karena dia ganteng. Kaya. Berpengaruh. Tapi kelakuan minusnya yang begitu merendahkanku. Aku ke sini untuk kerja. Bukan untuk show off atau sedang pagelaran busana, bukan? Kupikir, untuk apa pakai baju keren tapi otak kosong?
"Satu lagi." Si boss yang bahkan aku lupa namanya itu menunjuk ujung kakiku.
"Besok pakai stiletto. Kamu bukan mau belanja ke pasar, kan?"
Kepalaku rasanya mulai berasap. Ini flatshoes Kate Spade, for god's sake! Ya, walaupun belinya nyicil dua belas kali, tetep aja kan, Kate Spade!
Aku akhirnya hanya bisa merutuki Ethan Malachi, mantan boss yang sudah kuanggap temanku. Dia lah satu-satunya yang harus dipersalahkan untuk semua ketidaknyamanan ini. Karena dia lah, yang telah merekomendasikan pekerjaan sialan dengan bos terkutuk ini untukku.
DAMN!
Chapter 2 - Tugas Pertama
Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu. Itu yang sejak dulu aku yakini. Berlaku untuk semua hal. Entah itu dalam arti baik mau pun buruk. Dan sudah sejak dulu, aku selalu mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan melakukan 'hal pertama' untuk sesuatu yang buruk. Yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tak pernah terpikirkan oleh akal waras seorang bawahan. Atau yang kemudian aku sebut disaster.
"Mars, kamu sudah siap kerja?" tanya si bos.
Kakinya yang panjang-panjang seperti galah buat nyolong mangga itu, terulur di atas meja kerjanya. Tangannya sibuk membolak-balik majalah Playboy.
Lagi-lagi, aku merasa si bos yang satu ini tidak punya tata krama. Okelah aku bawahannya. Dia the great boss-nya. Bukan berarti dia bebas berbuat apa saja, 'kan? Termasuk dengan berlaku samina-mina ee waka-waka ee begitu (baca: semena-mena). Itu malah membuat nilai minusnya semakin bertambah-tambah saja di depanku.
"Siap, Pak," jawabku seraya mengatur map-map pekerjaan di atas meja kerjaku.
Aku baru saja mulai mempelajari penawaran-penawaran kerja sama lama dari vendor untuk menjadi rekanan bisnis The Maintenance Experts, perusahan tempatku bekerja ini.
Sebagai perusahaan yang sedang naik daun di bidang penyedia jasa dan produk berupa software maintenance untuk perusahaan tambang, manufaktur, hotel, restoran dan banyak lagi yang lain, serta dengan pengguna lebih dari 12.000 perusahaan di seluruh dunia, tak heran bila penawaran untuk bekerja sama datang dari berbagai pihak. Seperti air terjun banyaknya. Deras. Mengalir cepat. Salah satu tugasku kelak membantu bos memilah-milah, mana penawaran yang benar-benar kemudian dapat menguntungkan perusahaan dan mana yang harus dibuang ke tong sampah.
Si bos melirikku dari meja kerjanya.
Meja kerjaku memang tidak begitu jauh dari meja kerja si bos. Hanya terhalang dengan sebuah pintu kayu dan dinding penyekat di kiri kanannya. Kalau pintunya terbuka, maka si bos akan bisa langsung melihat ke arah meja kerjaku.
"Tolong buatkan kopi dulu, setelah itu saya akan kasih kamu pekerjaan lain," pintanya.
"Baik," ucapku singkat.
Aku melangkah ke arah pantry yang tidak berada jauh dari ruanganku dan si bos. Menyeduh kopi dari sebuah coffee maker sebentar, lalu kembali ke ruangan.
Meletakkan kopi yang masih mengepulkan asap itu di atas meja si boss yang telah bebas dari kakinya, lalu berupaya melenggang pergi.
"Tunggu." Si boss mencekal lenganku. "Tunggu di sini dulu."
Aku menunggunya selesai menyesap kopinya dengan nikmat sambil melirik halaman majalah yang penuh wanita-wanita cantik dengan baju kurang bahan di bagian-bagian tertentu itu.
"Kamu tahu, Mars. Sebagai PA kamu bukan hanya akan mengerjakan pekerjaan kantor. Tapi juga membantu untuk mengurus keperluan-keperluan pribadi saya."
"Iya, saya mengerti. Pak Ethan sudah menceritakan sepintas apa tugas-tugas saya itu."
"Bagus. Tumben anak itu perhatian sama karyawan saya ...." gumamnya.
Dia terdiam sejenak. Lalu menatapku dengan senyum miring.
"Hari ini Jumat. Tunangan saya biasanya mampir ke kantor untuk sekedar say hi atau make out dengan saya...." bisiknya.
Sampai di sini kurasa telingaku mulai memerah. Risih.
"Kamu bisa bantu saya?"
"Hah? Bantu apa, Pak?"
Aku terlonjak. Shock! Coba bayangkan, bantuan seperti apa yang bisa aku berikan untuk boss yang mau make out sama pacarnya? Ngasih pemanasan dengan nari striptis di depan dia? You wish, boss!
Dia mereguk kopinya sampai tandas tak bersisa. Lalu menatapku lagi dalam-dalam.
"Persediaan saya sedang habis. Tolong kamu ke basement, di situ ada mini market Betamart. Kamu beli satu pak kondom Feelmax. Boleh rasa apa saja."
Aku melongo. Nyaris saja mulutku dimasuki laler ijo kalau tidak buru-buru kututup beberapa menit kemudian.
"Ap-apa ...? Kon ...." Aku nyaris menjerit kalau saja si bos tidak segera membekap mulutku.
Mataku memelotot.
"Biasa aja kali. Nggak usah teriak-teriak begitu!" ucapnya sambil terkekeh dan mengerling ganjen, membiarkanku memikirkan sendiri, bagaimana cara melaksanakan tugas pertama paling ajaib mandraguna yang pernah aku terima itu.
Duh, please lah. Beli kertas sejuta rim ke Papua masih bisa kujalani dengan hati lapang. Nah ini, beli sepak karet pengaman pesanan boss gelo itu tanpa dipandang nyinyir sama si mbak-mbak di Betamart, bagaimanaaaa caraaanyaaa???
****
Chapter 3 - What a Boss!
Setelah melaksanakan tugas pertama yang bikin kepala mumet nggak keruan karena harus pura-pura innocent sama mbak-mbak di Betamart, aku pun bergegas kembali ke ruangan.
Beberapa langkah mendekati pintu ruanganku dan si boss, suara seseorang menghentikan langkah ini.
"Halo. Kamu PA baru pak bos, ya?"
Seorang wanita cantik dengan dandanan menor dan baju ketat yang membungkus tubuhnya bagai lepat itu menjulurkan sebelah tangannya.
Aku menyambut sambil mengulas sedikit senyuman.
Orang baru harus pandai berbasa-basi, kan? Itu yang aku pelajari dari kantor lama sebelum akhirnya di PHK juga dari sana.
"Marsha Julia," sebutku.
"Biyanka. Sekertaris direksi." Wanita ini balas tersenyum.
Aku mengangguk sopan dan berniat meneruskan langkah untuk masuk ke ruangan. Namun, ditahan oleh wanita yang kutaksir berusia di atas tiga puluh tahunan bernama Biyanka ini.
"Sekarang, ini jadi tugas kamu. Menyelesaikan semua pembayaran tagihan kartu kredit dan tagihan-tagihan lain pak bos," ucapnya. Lalu menyerahkan segepok amplop dengan logo beberapa bank yang berbeda, juga beberapa tempat yang terasa asing buatku.
Aku menerima amplop-amplop bertuliskan nama BRYAN KRISNATAMA itu. Setelah aku mengucapkan terima kasih, Biyanka berbalik dan berlalu dengan langkah anggun yang kentara sekali dibuat-buat.
Pendingin ruangan menyergap saat kakiku telah melangkah masuk.
Dari ruanganku, bisa kulihat meja kerja pak bos kosong. Hanya tumpukan map-map yang perlu ditandatangi, kelihatan lebih menggunung dari sebelum aku ke mini market tadi.
Ke mana ya, si bos? Padahal setahuku, hari ini beliau tidak ada jadwal meeting. Baik intern mau pun di luar kantor.
Aku kemudian menyimpan karet pengaman pesanan dia itu ke dalam laci meja kerjanya. Sesuai instruksi.
Belum lagi sempat menarik napas dan meletakkan bokong di atas kursi empukku, ponsel yang terletak di atas meja kerjaku bergetas.
Nomor yang tidak kukenal memanggil.
"Halo," sapaku ragu.
"Marsha, tolong kamu reserve Sentani Golf Club untuk saya besok siang. Booking sekalian untuk dua orang lagi. Lengkap dengan caddy 'yang biasa' dan juga buggy," ujar suara dari seberang yang ternyata adalah Bryan, sang paduka yang mulia pak bos.
Aku mengangguk.
"Eh, baik Pak." Aku buru-buru menjawab, setelah sadar pak bos tidak akan melihat anggukan kepalaku.
"Bagus. Oya, bagaimana pesanan saya tadi. Ada?"
"Ehm, ada Pak."
Tiba-tiba tenggorokanku terasa gatal. Huh, dasar! Inget aja dia kalau mesen yang begituan.
"Maaf, Pak. Bapak lagi di mana sekarang?"
Aku membekap mulut. Kaget. Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa kupikir.
Omaigat, mudah-mudahan saja si bos tidak menganggapku kepo karena pertanyaan barusan.
"None of your business," jawabnya beberapa saat kemudian. Suaranya terdengar datar.
Tuh, kan! Stupid me! Aku memaki diri sendiri karena tidak dapat menahan mulut. Tapi segera tercengang sesaat setelah mendengar suara si bos lagi.
"Kenapa? Kamu sudah kangen?"
Lalu tawanya berderai dari seberang sana.
What the ****!!
Untung saja kami tidak sedang dalam percakapan dengan video call. Jadi si bos nggak bakal menghina karena melihat mukaku yang memerah mirip kepiting rebus karena pertanyaan konyolnya itu.
"Bokongmu bagus juga," ucapnya lagi.
Aneh. Kali ini kenapa suaranya terdengar dekat sekali?
Aku menoleh cepat.
Seketika mendapati wajah ganteng si bos dengan tampang kurang ajar dan senyum miring yang memamerkan lesung pipinya.
Dengan ponsel tetap menempel di telinga, kulihat dia sedang memperhatikan bokongku yang masih menggantung dan belum mendarat mulus di atas dudukan kursi.
Sialan!
Aku merutuk dalam hati.
Aku masih pakai rok panjang aja sudah begini kelakuan si bos. Bagaimana kalau besok aku menuruti aturannya, pakai rok mini?
Awas aja kalau dia sampai berani macam-macam!
Aku melengos. Perutku mendadak mulas.
****
Chapter 4 - Thank God first day almost over!
Hari pertama yang penuh gejolak akhirnya akan segera berakhir juga. Setidaknya, begitulah harapanku sebagai PA baru si bos.
Jam di dinding menunjukkan hampir pukul lima sore.
Aku baru saja menyelesaikan pembayaran tagihan TV kabel di rumah si bos. Tadi dia malah memintaku menelepon CSnya untuk mengurangi beberapa fasilitas layanan TV tersebut.
Sepertinya si bos tidak punya cukup waktu untuk menonton televisi di rumah. Percuma dan hanya buang-buang uang saja katanya. Bayar mahal-mahal untuk sesuatu yang tidak bisa dinikmati sepenuhnya. Dan kali ini aku setuju dengan pemikirannya.
Aku sedang membereskan map-map di atas meja saat sebuah pop up pesan singkat muncul dari ponselku.
Hello, Mars. How was your day?
Kubaca pengirimnya, lalu tersenyum sebelum mengetikkan balasan.
Hi, Ethan. Full of stress!
Ethan Malachi, adalah mantan bosku di kantor yang lama. Tadinya kami berada satu divisi di keuangan. Setelah perusahaan kolaps, terjadi pengurangan karyawan besar-besaran. Sekalipun paling akhir, kami berdua tetap juga kena imbasnya. Itu terjadi enam bulan yang lalu.
Berbeda denganku yang masih tetep ngotot mencari pekerjaan sesuai bidang keilmuan dan pengalaman, Ethan malah berinisiatif membuka jasa perekrutan personal assistant sendiri.
Pas banget saat itu, si bos Bryan ini, sahabatnya, sedang membutuhkan PA baru. Asisten yang sebelumnya resign karena sedang hamil. Jadilah Ethan mengajukan aku untuk menggantikannya.
Awalnya, aku sempat menolak. Namun kemudian tidak punya pilihan selain mengiyakan.
Thank God! Aku langsung diterima. Entah karena resume-ku memang semeyakinkan itu atau memang semua karena bumbu-bumbu penyedap si Ethan ini.
Ethan is typing.
Sebuah stiker muka bengong Ethan kemudian muncul.
Aku tergelak. Narsis juga ini orang. Bikin stiker pake muka sendiri.
Menyusul dibawahnya kejutan lain dari Ethan.
[Gue pengin denger langsung cerita hari pertama lo. Gue jemput di kantor ya?]
Aku terdiam sejenak sebelum memutuskan membalas.
[Gue belum tahu bakal pulang jam berapa. Si bos belum bilang.]
[OK. Gue tunggu kabar dari lo. Atau, nanti gue yang tanya aja sama bos lo.]
Lalu aku balas secepatnya dengan sebuah gambar.
Ethan lalu mengirimiku stiker mukanya lagi yang sedang tertawa terbahak-bahak.
Aku menutup ponsel dengan senyum lebar. Sejenak lupa kepenatan yang mendera akibat pekerjaan yang tiada habisnya sejak pagi.
Aku mendongak dan terkejut dalam waktu bersamaan.
Si bos seketika sudah berdiri di depan mejaku seperti hantu. Muncul tiba-tiba dan memberi efek pengin nonjok mukanya karena senyum-senyum nggak jelas.
"Someone special?" tanyanya sok tahu.
"None of your business." Tentunya aku bergumam dalam hati.
Si bos lalu meletakkan cangkir kopinya yang telah tandas di mejaku.
Aku menatapnya dengan tatapan mau nambah, bos? Dan segera dibalasnya.
"Yes, please. Kopi hitam panas tanpa gula."
Dia lalu berbalik dan ngeloyor kembali ke meja kerjanya.
"Hari ini hari pertamamu bekerja di sini. Dan karena hari ini Jumat, kamu boleh pulang lebih awal. Tentunya setelah kopi hitam dan laporan yang tadi saya minta."
Aku nyaris saja melonjak kegirangan kalau tidak ingat masih di dalam kantor dan dibawah pemgamatan si bos.
Aku secepatnya mencetak laporan yang diminta pak bos, yang memang sudah sejak tadi kuselesaikan. Menyiapkannya dalam map plastik transparan untuk nanti kuserahkan bersama kopi hitamnya.
Aku bergegas ke pantry untuk tugas terakhir hari ini. Rasanya lega. Hari pertama berjalan lancar. Sekali pun masih canggung dengan sikap boss yang kadang seenaknya sendiri.
Hanya beberapa menit berselang, aku kembali ke ruangan.
Wangi parfum wanita seketika menyengatku, saat pertama kali membuka pintu.
Tidak ada siapa pun. Hanya pintu ruangan pak bos kini tertutup rapat.
Aku mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban. Mengetuk lagi. Tetap sepi.
Tidak bermaksud menguping, tapi kemudian dari dalam ruangan si bos, aku mendengar seperti suara-suara desahan dan erangan tertahan.
Pelan, namun cukup membuat dadaku bergemuruh kencang dan jantung nyaris meledak. Asupan oksigen ke kepala pun mendadak berhenti.
Kepalaku pusing.
Good grief, Boss!
Lagi ngapain sih di dalam sana?!
***
Chapter 5 - 24 hour /7 day stand by!
"Baru sehari ngantor lo udah mo minta resign aja? Are you kidding me?!" sungut Ethan.
Ethan tadi menjemputku di kantor. Begitu lihat mukaku sekeruh air rendaman cucian seminggu, dia segera menyeretku ke kafe ini.
Seventh Avenue, kafe yang lagi hits karena tempatnya instagramable banget. Wajar sih, karena desain interiornya memang mewah. Ditambah lagi dominasi nuansa kayu dengan warna coklat tanah menjadikan kafe terlihat lebih natural. Jangan lupakan juga sofa empuk dan free wifi, yang membuat siapa pun betah berlama-lama nongkrong di tempat cozy ini.
"Rasanya gue enggak bakalan betah kerja di situ, deh," keluhku sambil menyeruput jus jeruk.
Mataku nyalang menembus plafon yang terbuat dari kaca, menatap langit yang mulai menggelap.
Ethan mengaduk-aduk fruit punch-nya dengan sedotan.
"Emangnya lo diapain sih sama bos lo sampe segitu enegnya?"
Aku terdiam sesaat. Lalu pelan-pelan mulai menceritakan pengalaman hari pertamaku di kantor itu.
Ethan memang pendengar yang baik. Terbukti dia tidak menyela sedikit pun saat aku bercerita. Dia hanya meledak tertawa ketika aku telah menyelesaikannya.
Dasar!
Nggak tahu apa orang lagi amsyong gini. Malah diketawain!
"Dia cuma ngetes elo doang kali!" Ethan menyeka sudut bibirnya yang masih menyisakan senyum lebar.
"Ngetes enggak perlu sampe uh ah uh ah gitu juga kali!" semprotku.
Aku ingat betul bagaimana wajahku jadi merah padam setelah si bos keluar dari ruangannya tadi. Dia menanyakan kopinya dengan kemeja belum terkancing sempurna dan rambut yang masih awut-awutan. Belum lagi bekas lipstik yang masih menempel tipis di sekitar rahang. Mungkin belum sempat dihapus.
Sementara di belakangnya, cewek yang kemudian diperkenalkan sebagai tunangannya itu sibuk merapikan rok dan blousenya.
Setelah aku menyodorkan kopi, si bos malah marah-marah dan minta ganti dengan yang baru. Menurutnya, kopi itu sudah kadaluwarsa.
"Brengsek!" umpatku masih menyimpan kesal.
"Bukan salah gue dong kalo kopinya keburu basi! Dia aja tuh yang ena-enanya kelamaan!" tandasku.
Apes banget deh rasanya. Seumur-umur aku kerja baru kali ini dapat bos yang begini banget mesumnya.
"Emangnya dia enggak bisa apa check-in di hotel aja kalo mau begituan? Atau seenggaknya, tunggu dulu kek sampai gue, bawahannya ini pulang?" amukku.
Ethan membiarkan saja aku meluapkan segala kemarahan di depannya.
Setelah aku tenang, dia mulai buka suara.
"Terus lo maunya gimana sekarang? Yakin mau resign? Katanya lo butuh duit banget buat bayarin hutang-hutang nyokap lo?"
Seketika aku membeku.
Kata-kata Ethan seperti seribu jarum yang menusuk-nusuk langsung ke jantung. Melunturkan semua amarah yang sedetik lalu seperti meledak-ledak begitu saja.
Ethan benar. Aku memang sedang butuh uang puluhan juta untuk menebus hutang-hutang mama. Ia telah ditipu temannya sendiri dengan investasi palsu berkedok arisan online. Sementara papa yang terkena stroke sejak setahun yang lalu, tentu saja tidak bisa banyak membantu. Praktis semua kebutuhan keluarga termasuk uang kuliah Rima adikku, menjadi tanggung jawabku sebagai anak sulung.
Kenapa aku bisa lupa?
"Bertahan aja lah dulu. Di mana lagi lo bisa dapet gaji gede kayak gitu?" Ethan menasihati. "Mau di mana pun juga lo kerja, masalah pasti akan selalu ada, ya kan? Lo hanya harus terbisa menghadapinya. Bukan malah lari gitu aja. Alah bisa karena biasa. Betul?"
Aku menghela napas dalam-dalam sebelum memberi Ethan cibiran.
"Tumben otak lo lempeng, Than," selorohku, yang segera dibalas Ethan dengan mengacungkan jari tengahnya.
Sebagai orang yang merekrutku, mungkin Ethan merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan moodku. Ia kemudian banyak membagikan lelucon-lelucon konyol khasnya demi mengobati rasa kesalku.
Dan aku hampir saja berhasil melupakan nistanya hari pertama bekerja, sampai dua jam kemudian ponselku berdering.
"Marsha," panggil suara di seberang.
Aku masih belum sadar siapa yang menelepon hingga dia melanjutkan.
"Tadi saya lupa bilang. Besok kamu temani saya ketemu klien. Jam sepuluh pagi. Lokasinya nanti saya share. Jangan terlambat. Dan pakai baju pantas seperti yang saya bilang tadi pagi!"
Aku bahkan belum sempat menjawab apa pun saat koneksi telepon diputuskan sepihak.
"Arrrgghh!"
Aku menjambak rambut sendiri.
Tiba-tiba merasa penderitaanku sebagai asisten pribadi baru saja dimulai. Apalagi saat kemudian aku akhirnya paham, kata-kata Ethan barusan bukan hanya isapan jempol belaka.
"Gaji lo yang delapan digit itu, sudah termasuk semua sikap nista bos lo, omelannya, nyinyiran orang-orang, dan jangan lupa, 24 jam / 7 hari stand by!"
Ethan Malachi.
BERSAMBUNG
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
