
Rindan Arga Afdiyan Prayoga atau biasa dipanggil Arga terkejut ketika mengetahui Arum, istrinya pergi tanpa sepengetahuan dia. Tanpa mengatakan alasan yang sebenarnya. Ke mana sebenarnya istrinya itu pergi? Akankah Arga menemukan Arum? Dan alasan apa sehingga seorang istri yang berbakti kepada sang suami seperti Arum bisa memutuskan untuk meninggalkan sang suami?
Bab 1. Ke mana dia?
Ponsel di atas nakas terus saja berdering. Tertera nama Bi Surmi yang ada di layar benda pipih persegi panjang yang masih menyala.
‘Sebenarnya ada apa sih Bi Surmi menelepon?’
Aku menggerutu dalam hati. Kesal dengan semua panggilan asisten rumah tanggaku itu. Ia bahkan sudah mengganggu malam panas dengan Erika, istri mudaku.
Wanita itu membuatku penasaran. sebenarnya apa yang terjadi?
Tak biasanya ia terus menghubungiku tanpa henti. Dengan kesal kuangkat juga teleponnya.
“Ada apa sih, Bi. Mengganggu waktuku saja,” tekanku.
“Den ... Neng A-arum, Den,” ucap Bi Surmi dengan nada terbata-bata.
“Ada apa dengan Arum, Bi?” Alisku terangkat, merasa heran dengan kepanikan asisten rumah tanggaku itu.
“Neng Arum ... enggak ada di rumah, Den. Ka-kata Mang Mansur dari tadi siang belum pulang,” ujar Bi Surmi menjelaskan hingga membuatku seketika itu terbangun dan melompat dari ranjang.
“Iya, Den. Mang Mansur tadi siang mengantar Neng Arum ke rumah Nyonya Besar. Tapi sampai sekarang belum pulang juga.”
Kata-kata Bi Surmi membuat mataku melotot.
“Apa! Arum ke rumah Mama? Mau apa ia ke sana?” tanyaku heran.
Tak biasanya Arum menemui Mama. Bahkan telah lama hubungan kami sudah tak baik. Beliau tak mengizinkan diri ini menikahi Arum yang yatim piatu.
Aku sangat mencintai gadis itu membuat seorang Arga rela menentang Mama dengan menikahi Arum tanpa restunya. Hanya Papa yang sudi menghadiri pernikahan kami saat itu.
“Bibi juga, enggak tahu, Den,” jawab BI Surmi. Aku mendesah, sebaiknya kutelepon Mama dan tanya apa Arum ada di sana? Barangkali ia berniat menginap.
“Ya sudah, Bi. Biar aku yang hubungi Mama nanti. Mungkin saja, Arum disuruh menginap di sana,” jelasku.
Setelah itu kuakhiri Panggilan dengan Bi Surmi. Aku mencoba menghubungi nomor ponsel Arum. Namun, kontaknya tak aktif bahkan sudah berulang kali kucoba tetap seperti itu.
Dengan terpaksa kucari nomor Mama di kontak dan menelepon beliau.
“Halo, Ga. Tumben kamu hubungi Mama malam-malam begini?” tanya Mama di seberang sana.
“Apa Arum menginap di sana, Ma?”
“Ngapain sih kamu tanya dia ke Mama. Memangnya ke mana istrimu itu?”
“Lho, bukannya tadi Mang Mansur antar Arum ke rumah Mama? Kukira menginap, makanya Bi Surmi bilang ia belum pulang. Apalagi nomor ponselnya tak aktif,” tanyaku heran sekaligus panik. Kalau bukan di rumah Mama lantas ke mana Arum pergi?
“Ya enggak, lah. Ngapain dia menginap di sini? Tadi memang istrimu datang ke rumah. Terus cuma bilang minta maaf sudah buat kamu menentang Mama agar bisa menikahinya. Lalu pulang sendirian dengan taksi yang di pesan.” ujar Mama menjelaskan hingga membuatku semakin tak enak hati. Di mana Arum sekarang? Kenapa sampai malam begini dia belum juga pulang?
“Terus ke mana Arum pergi, Ma?” Aku terkulai lemas, bingung menghubungi siapa lagi. Sedangkan istriku itu tak punya kerabat, teman pun tidak banyak dan aku tak tahu siapa saja kawannya. Selama kami menikah Arum selalu ada di rumah.
Kalau pergi ke mana pun selalu aku yang menemani. Makanya, Bi Surmi panik saat tahu istriku itu belum juga pulang ke rumah sampai malam begini. Begitu pun aku, dada ini tiba-tiba sesak karena memikirkan istriku. Bayangan sesuatu yang buruk berkeliaran di pikiran.
“Makanya, Mama bilang juga apa. Istrimu itu tak tahu diuntung! Buat orang panik aja. Alah lebay! Palingan juga nyari perhatian kamu doang,” ketus Mama. Aku hanya menghela napas dengan kasar tak menanggapi ucapannya. Yang harus kulakukan sekarang ialah mencari keberadaan Arum.
“Ya sudah, Ma. Lain kali Arga telepon lagi, ya. Sekarang aku mau nyari Arum lagi. Assalamualaikum.”
Tanpa mendengar balasan dari Mama segera kumatikan panggilan telepon dengan beliau. Aku langsung dikejutkan oleh pelukan Erika saat sedang kebingungan kepada siapa lagi mencari keberadaan istri pertamaku itu.
“Ada apa, Mas?” tanyanya.
“Ke mana memangnya istrimu yang manja itu, Mas? Mengganggu acara kita aja.” Erika mencebik, dia mungkin kesal karena kabar ini membuat percintaan kita terganggu. Apalagi kami baru saja berjumpa kembali setelah seminggu tak bertemu.
Erika memang di Bandung sedangkan Arum tinggal di rumahku yang di Jakarta. Sengaja kujauhkan mereka agar istriku itu tak tahu kalau suaminya ini sudah menikah lagi dengan Erika. Aku tak tega melihatnya terluka. Pernikahanku yang kedua ini memang hanya dilakukan secara agama.
Dia dulunya suster di rumah sakit kecil, desa tempatku mengabdi selama setengah tahun. Pertemuan yang intens membuat kami saling jatuh cinta, bahkan aku hampir saja kelepasan ketika mengantar Erika pulang ke Bandung tempat orang tuanya tinggal.
Saat itu di rumahnya tak ada siapa pun, membuat kami gelap mata dan saling berciuman bahkan hampir saja berlanjut ke hal yang lebih intim. Untunglah bayangan Arum yang tersenyum menggagalkan segalanya. Aku langsung tersadar dan berpamitan untuk pulang. Meski dapat dilihat ada gurat kekecewaan di wajah Erika, tetapi aku tidak mau kalau kami melakukan itu sebelum resmi menikah.
Setiap aku dan Erika berpacaran, rasa bersalah selalu bergelayut dalam hati kepada Arum, istriku. Namun, perasaan ini tak bisa kubendung lagi. Erika wanita yang cantik, menawan, pintar, dan ... seksi tentunya. Laki-laki mana pun pasti bertekuk lutut dengan pesona seorang Erika termasuk aku.
Selama ini aku selalu kagum dengan cara bicara dan pemikiran dewasanya. Bahkan dengan tak sengaja kubandingkan dia dan Arum.
Bukan Arum tak menarik, hanya saja dia memang wanita yang bergantung sekali padaku. Dia memang lembut, cantik alami, serta senyumnya yang manis selalu memabukkanku. Arum juga tak pernah banyak meminta.
Namun, sisi lelakiku menginginkan hal lain. Aku membutuhkan sosok cerdas juga bisa membuatku tertantang, bahkan di atas ranjang. Terbukti bila jatahku bersama Erika setelah kami menikah selalu di habiskan waktu di dalam kamar.
Aku memang lelaki egois namun tak ada salahnya, ‘kan? bila menginginkan dua wanita mendampingi. Toh waktuku bersama Arum lebih banyak sekarang, sebab aku memang bekerja di Rumah Sakit besar di Jakarta. Ke Bandung hanya sesekali dengan alasan ada seminar di luar kota.
Ketika mendengar perkataan Erika tentang Arum aku merasa kesal, bisa-bisanya dia mengatakan itu ketika suaminya ini sedang panik.
“Jangan bicara begitu, dong. Bagaimanapun Arum tetap istriku. Aku masih mencintainya sama seperti sama seperti aku mencintai kamu,” ucapku dengan suara sehalus mungkin. Kucoba menahan semua rasa kesal ini padanya. Tidak ingin Erika marah dan berujung pertengkaran. Itu semua akan membuat masalah baru nantinya.
Dia hanya mencebik, tak suka mendengar perkataanku, namun aku tak peduli, Erika hanya cemburu. Nanti juga akan kembali seperti semula. Biarlah sekarang ini harus fokus kepada Arum, ke mana harus mencari keberadaannya?
Saat sedang mengingat-ingat siapa saja yang bisa kuhubungi. Lamunanku buyar ketika Bi Surmi menghubungiku kembali. Apa Arum sudah kembali? Kuangkat panggilan itu.
“Den, barusan dua orang polisi yang datang ke rumah. Ada wanita yang kecelakaan kereta api. Di dalam tas yang dipakainya ada dompet milik ... mi-milik Neng Arum, Den.” Ucapan Bi Surmi barusan membuat seluruh tubuhku lemas tak bertulang.
Apa yang terjadi di Arum istriku? Benarkah yang polisi katakan, kalau wanita yang menjadi korban kecelakaan itu dia? Bagaimana aku bisa hidup tanpanya?
Bersambung.
Bab 2. Kecelakaan
Gegas aku memunguti pakaian yang masih berserakan di lantai. Melihatku yang sedang memakai baju Erika menghampiri.
“Mas. Mau ke mana? Kenapa memakai baju lagi?” tanyanya heran.
“Maafkan Mas, Sayang. Mas dapat kabar kalau ada wanita yang jadi korban kecelakaan, di dalam tasnya ada dompet Arum. Mas takut itu benar dia,” terangku.
Semoga saja Erika bisa mengerti situasiku sekarang.
“Tapi, Mas! Kamu ‘kan baru sampai di sini, kita bahkan baru saja memulai? Apalagi aku masih kangen denganmu, Mas,” ucap Erika dengan suara manjanya. Dia mulai menggodaku kembali dengan memeluk dan meraba-raba tubuhku yang belum memakai baju.
Jika saja ini bukan menyangkut keselamatan Arum, mungkin saja aku sudah tak tahan mengurungnya semalaman di dalam kamar. Menghabiskan malam-malam panas kami seperti sebelumnya. Namun, aku tak bisa menundanya lagi. Bagaimanapun kabar tentang kecelakaan di mana perkiraan Arum lah yang menjadi korbannya, itu membuatku tak bisa lagi abai.
Aku takut Arum meninggalkanku. Dia wanita yang sangat kucintai bahkan masih menjadi yang paling spesial sampai saat ini. Meski bukan hanya dia, hati ini harus kubagi dengan Erika sekarang. Akan tetapi, tak ada sedikit pun ter bayangkan kami akan berpisah.
Dapat kulihat Erika marah karena kepergianku, tetapi tak dihiraukan. Biarlah, nanti aku akan kembali ke Bandung. Melajukan mobil ini dengan kecepatan tinggi, berharap cepat sampai di Jakarta. Rasa kantuk tiba-tiba menguar begitu saja saat mendengar kabar terakhir Arum, bahkan selama perjalanan jiwaku seakan entah di mana. Terus menebak-nebak, apa benar Arum lah yang menjadi korbannya. Namun, hati ini masih berharap itu semua salah. Jujur saja aku tak percaya semua ini terjadi padanya.
Setelah berjam-jam mengendarai mobil dan tiba di Jakarta. Langsung kuhubungi Bi Surmi lalu, menanyakan Rumah Sakit mana jenazah yang konon di prediksi Arum itu berada.
“Di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Den,” ujarnya menjelaskan. Menurut asisten rumah tanggaku itu Mang Mansur sudah ada di sana untuk memastikan itu Arum atau bukan.
Tanpa menghiraukan keselamatan, kukendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Saat ini hatiku benar-benar tak karuan, semua bercampur jadi satu. Dalam benakku, bayang-bayang kebersamaan dengan Arum terus berputar. Manjanya dia, perhatian, serta senyumnya yang menawan.
Berkali-kali pula kudengar orang yang memaki, sebab hampir saja mobil ini bertabrakan dengan kendaraan orang lain. Aku tak peduli yang penting sekarang cepat sampai di Rumah Sakit, sebelum kupastikan sendiri jenazah itu Istriku atau bukan. Diri ini masih berharap Arum masih hidup.
Setelah sampai kutelepon Mang Mansur dan menanyakan di mana keberadaannya. Kemudian bertemu dengan polisi yang sedang mengobrol dengan sopir. Melihat kedatanganku mereka yang ada di sana terlihat lega. Apalagi Mang Mansyur kentara sekali sama paniknya denganku.
“Alhamdulillah, Den. Akhirnya Den Arga datang juga,” ucap Mang Mansur dengan napas beratnya.
“Gimana, Mang? Apa benar korbannya itu Arum?” tanyaku masih mencari informasi. Entahlah apa aku kuat menerima semuanya. Jika, benar yang di dalam itu istriku. Diri ini mungkin tak sanggup melihatnya.
“Entahlah, Den. Seluruh mukanya rusak hanya badannya yang utuh tapi tetap banyak luka-luka di sekujur tubuhnya. Jadi, Mamang enggak bisa memastikannya. Makanya Mamang menunggu Aden saja untuk melihatnya kembali. Apalagi baju yang dipakainya bukan baju Neng Arum pas Mamang antar dia tadi siang.”
Setelah itu polisi menjelaskan kronologis kejadian sampai kecelakaan itu terjadi. Menurut warga sekitar ada seorang wanita yang terjatuh dari dalam kereta yang sedang melaju. Entah apa yang terjadi sampai terjadi hal demikian, sebab memang kondisinya kereta itu sedang melaju dengan kencang.
Aku tertegun dengan apa yang polisi katakan. Kalau benar itu Arum, sedang apa dia di dalam kereta api? Mau ke mana istriku sebenarnya?
Tak ingin menerka-nerka aku masuk ke kamar mayat tempat jenazah itu di simpan. Ingin memastikan itu benar-benar istriku atau bukan? Namun, hati kecilku berkata kalau Arum masih hidup.
Kubuka kain yang menutupi seluruh badan jenazah wanita itu. Hatiku terenyuh melihat kondisinya yang sudah tak layak lagi. Muka wanita itu benar-benar sudah tak bisa dikenali. Badannya pun sudah penuh dengan luka di sekujurnya. Aku sungguh tak bisa memastikan ini Arum atau bukan?
Tapi tunggu! Yang kuingat istriku itu memiliki tanda lahir di pahanya, sebagai suaminya hanya aku yang tahu tentang hal itu.
Kucari tanda lahir itu. Aku yakin masih terlihat meski dengan kondisi luka-luka seperti ini. Namun, berulang kali kucek ternyata tanda itu tak ada.
“Gimana, Den?” tanya Mang Mansur. Dia pun sama penasarannya denganku. Mungkin juga merasa sangat cemas, sebab yang kutahu BI Surmi dan Mang Mansur memang sangat menyayangi Arum seperti kepada anak kandungnya sendiri. Istriku yang sudah yatim piatu selalu menganggap pegawaiku itu orang tuanya. Dia selalu bisa menghormati orang yang lebih tua darinya. Itulah yang membuatku tak menyesal menikahi dia meski tanpa restu Mama. Arum wanita yang cantik paras maupun hatinya.
“Bukan, Mang. Arum memiliki tanda lahir di paha sebelah kanannya. Tapi ini tak ada.” Aku dan Mang Mansur bernapas lega, setelah memastikan itu bukan lah tubuh Arum. Aku diajak polisi untuk melihat identitas yang ada di dompet istriku. Bagaimana wanita ini memiliki dompetnya? Kenapa sampai sekarang dia tak pulang? Ke mana sebenarnya Arum pergi?
Itulah yang terus kupertanyakan di dalam pikiran ini , bahkan sepanjang perjalanan kucoba memecahkan segalanya. Namun, tak ada jawaban satu pun yang bisa kutebak.
Setelah sampai ke rumah, aku cepat-cepat naik ke atas menuju kamar kami. Diri ini tak bisa tidur semalaman, memikirkan keberadaan Arum yang tak kunjung pulang kembali ke rumah. Kucoba menghubunginya lagi namun, sama tetap tak aktif.
Terus mencoba mengingat-ingat siapa kiranya yang bisa kuhubungi untuk mencari keberadaan Arum saat ini. Namun, tak ada yang kuingat. Istriku itu memang wanita yang sangat pendiam, dia tak memiliki banyak teman saat kuliah dan bekerja dahulu serta di panti asuhan dulu tempat dia tinggal.
Tunggu! Apa Arum ada di sana? Apa dia pulang ke panti itu?
Aku harus memastikannya besok. Kebetulan cutiku di rumah sakit masih ada dua hari lagi. Akan kuhabiskan waktuku untuk mencari keberadaan istriku. Syukur-syukur kalau memang dia ada di Panti Asuhan itu. Hatiku yang semalaman merasa gelisah tak menentu merasa lebih tenang setelah mengingat kemungkinan keberadaan Arum.
Menjelang waktu subuh aku mandi air hangat dan mandi besar, sebab memang belum melakukannya sejak semalam. Kebetulan setelah sampai di Bandung dan bertemu dengan Erika pukul tujuh malam, kami tak menunggu lama untuk bermesraan. Apalagi sambutan ketika baru datang membuat diri ini tak sabar untuk membawanya ke peraduan kami. Penampilan istri mudaku itu sungguh membuatku sebagai lelaki merasa tergoda. Entah mengapa aku suka sekali melihatnya memakai lingerie, dengan tubuhnya yang sintal membuatku selalu saja tak bisa mengendalikan diri.
Karena kabar mengejutkan semalam, aku sampai tak sempat untuk membersihkan diri di rumah Erika. Bahkan tubuhku yang lelah tak kuhiraukan. Padahal, selama sehari semalam aku belum juga beristirahat. Apalagi bolak-balik Jakarta-Bandung dengan mengendarai mobil sendiri. Tanpa sopir yang menemani.
Setelah mandi aku salat subuh seperti biasa. Ada rasa sepi yang menguar ketika mengingat Arum istriku tak ada di rumah ini. Biasanya kami akan salat berjamaah. Aku yang suka memandang wajahnya yang bersinar karena air wudu selalu menggodanya dengan sikap jailku yaitu mencium keningnya sebelum kami salat, alhasil kami sama-sama harus berwudu kembali.
Bahkan dengan wajah cemberut dia kadang menggerutu ketika hendak bersuci kembali. Bukan rasa sebal melihatnya seperti itu, malah membuatku merasa terhibur. Jarang-jarang Arum bersikap seperti itu. Dia bukanlah istri yang selalu cerewet dan mengeluh dalam hal apa pun. Mungkin inilah yang membuatku merasa rumah tangga kami terasa ada yang kurang. Tak ada tantangan, tak seperti bersama dengan Erika. Mungkin itulah yang membuatku nekat untuk berselingkuh dari Arum.
Pukul tujuh pagi aku berangkat mencari istriku di Panti Asuhan Kasih Bunda, tempat tinggalnya dulu. Kutanyakan kepada pemilik tempat itu, apa Arum ada di sana? Namun, kekecewaan yang kudapat. Istriku tak ada. Akan tetapi, perkataan Ibu Rina pemilik yayasan membuatku merasa heran.
“Arum pernah bertanya tentang perceraian, Nak Arga,” jelasnya.
Apa maksud perkataan Ibu Rina? Kenapa istriku menanyakan hal seperti itu?
Bersambung.
Bab 3. Tak Sadar
“Ibu tidak tahu ada masalah apa dengan rumah tangga kalian. Beberapa hari ini Arum selalu datang ke Panti kalau siang hari. Mungkin saja saat Nak Arga sedang bekerja. Dia mengaku tak izin dulu, membuat Ibu selalu menegurnya. Ibu tahu itu bukanlah sifatnya, bahkan sebelumnya Arum tak pernah ke sini tanpa mengabari Nak Arga dulu. Dia pernah bilang izin suami adalah Ridha Allah. Namun, terus terang ibu sempat khawatir melihat tingkahnya yang tak biasa. Gurat wajahnya menyiratkan akan kesedihan, berkali-kali dia selalu melamun bahkan saat kami sedang mengobrol.”
Benarkah yang dikatakan Bu Rina? Sebenarnya masalah apa yang sedang dihadapi Arum istriku? Setahuku kami tak ada masalah apa pun. Bahkan jika bersamaku ia tak pernah menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Tetap menjadi Arum yang seperti biasanya.
Apa aku saja yang kurang peka padanya?
Teringat beberapa hari sebelum aku ke Bandung, dia selalu memberikan perhatian seperti biasanya. Tak ada hal yang mencurigakan darinya, bahkan aku ingat Arum semakin menunjukkan bakti sebagai istri.
Namun, ada yang berubah dari istriku itu ketika suatu malam ia memakai dres di atas lutut, menggerai rambutnya yang tercium wangi, serta berdandan dengan memakai riasan yang menurutku cukup tebal seperti Erika. Itu bukan kebiasaan istriku, Arum.
Saat itu aku merasa heran ketika melihatnya, tak seperti biasa ia berdandan berlebihan. Selama ini wajahnya hanya dipoles dengan riasan yang sangat sederhana. Akan tetapi, tak mengurangi kecantikannya. Namun, tiba-tiba saja malam itu penampilannya berubah, membuatku saat itu pula menegur Arum.
“Sayang, kenapa kamu berpenampilan seperti ini?” tanyaku yang merasa terkejut melihat perubahan darinya.
“Memangnya kenapa, Mas? Apa Mas enggak suka melihatnya? Kukira ... Mas Arga menyukai wanita yang penampilannya seperti ini,” gumamnya dengan suara lirih.
“Bukan seperti itu. Mas hanya enggak suka kamu berpenampilan berlebihan begini. Jadilah dirimu sendiri, Sayang. Mas suka kamu yang seperti sebelumnya.” Ia hanya tersenyum kecil. Entah kenapa setelah itu Arum lebih pendiam dari sebelumnya. Dia tak seceria biasanya hanya membisu, bahkan saat percintaan kami pun dia hanya diam dengan pasrah.
Mungkinkah dia kecewa saat itu? Kenapa aku baru sadar sekarang? Apa iya dia marah gara-gara hal kecil semacam itu?
Yang kukatakan benar, bukan? Bahwa memang Arum lebih cocok berpenampilan sederhana. Sesuai dengan kepribadiannya. Aku lebih suka istriku yang seperti itu.
‘Kalau benar Arum marah karena perkataanku, diri ini harus meminta maaf padanya. Aku menyesal sudah membuatnya sakit hati. Maafkan Mas, Sayang.’
Namun, masalahnya bagaimana aku bisa meminta maaf. Di mana ia sekarang? Bahkan kabarnya pun aku tak tahu.
Karena tak mendapatkan berita apa pun, aku berpamitan setelah menyerahkan uang di dalam amplop yang sengaja kusiapkan untuk anak-anak panti. Itulah kebiasaan rutin kami, terutama Arum lah yang sering mengingatkan kegiatan amal satu ini. Katanya, siapa tahu dengan do’a dari anak panti yang sudah seperti adiknya itu membuat kami cepat-cepat dikaruniai keturunan. Sudah dua tahun pernikahan, tapi istriku belum ada tanda-tanda hamil juga.
Meski berkali-kali kami mengecek kondisi kesuburan dan hasilnya baik-baik saja, Arum tetap saja merasa kecewa karena belum juga hamil. Sejujurnya, aku pun sama inginnya dengan dia, tetapi aku tak mau mempersalahkan hal ini di hadapan istriku. Yang pasti kalau sudah saatnya kami juga akan dikaruniai keturunan seperti pasangan yang lain.
Saat hendak menuju tempat parkir, salah seorang anak menghampiri. Masih kuingat, dia Ivan anak Panti ini yang berumur delapan tahun. Aku tahu karena bocah ini sangat dekat dengan Arum. Dia berlari tergopoh-gopoh lalu mendekat dan menyerahkan sesuatu di tangannya. Selembar kertas yang dilipat, saat kubuka dahiku mengernyit melihat isinya. Apa maksudnya tulisan ini?
“Kak, dua hari yang lalu saat Kak Arum ke sini. Dia menjatuhkan kertas ini. Aku tadi mendengar perkataan Kakak dengan Bu Rina. Kumohon, temukan cepat-cepat Kak Arum, Kak,” mohonnya. Dia terlihat berbicara dengan mata yang berkaca-kaca. Begitu berartinya istriku untuk semua orang.
“Iya, Dek. Kakak akan mencari Kak Arum sampai ketemu,” ucapku sambil menyejajarkan tubuh kami. Kuusap rambutnya dengan sayang. Lalu pergi dengan berjuta pertanyaan dalam benak.
Apa maksud kata-kata Arum? Kubuka kembali suratnya. Meneliti siapa tahu ada petunjuk yang lebih lanjut. Namun, aku tak menemukan apa pun.
Haruskah kusewa detektif untuk mencarinya?
Jujur aku sangat mengkhawatirkan istriku. Saat dalam perjalanan untuk kembali ke rumah, suara dering ponselku terdengar. Tercantum nama Erika di sana. Ada apa istri mudaku menghubungi?
“Halo, Ga. Ini Ibu, Erika terjatuh di kamar mandi. Dia pendarahan. Saat ini kami sedang menunggunya yang sedang ditangani dokter. Kamu bisa ke sini, ‘kan?” tanya Ibu mertuaku terdengar lirih. Beliaulah orang tua kandung Erika.
Apa ini? Masalah apa lagi yang terjadi dalam hidupku? Bahkan keberadaan Arum saja belum kutemukan, sekarang ada masalah lagi dengan istri mudaku. Bagaimana ini? Haruskah kutemui Erika di Bandung dan mengabaikan keberadaan Arum?
Bersambung
Bab 4. Obat Penenang
“Halo, Ga. Halo ....” Panggilan ibu Mertuaku membuyarkan segala lamunan.
“Ah iya, Bu. Baik aku akan ke Bandung sekarang.”
Setelah berpamitan, panggilan telepon terputus. Aku masih bimbang dengan apa yang harus kulakukan. Kalau ke Bandung sekarang, bagaimana cara mencari keberadaan Arum? Mungkin saja dia akan kembali ke rumah saat aku sedang di luar kota.
Kuhubungi temanku yang bekerja sebagai detektif. Meminta kami bertemu sekarang juga, sebelum aku pergi ke Bandung. Aku akan menyuruh Ibnu mencari keberadaan Arum istriku.
“Halo, Nu. Ini gue Arga. Lo masih kerja jadi detektif, ‘kan?” tanyaku dengan tak sabar.
“Iya, masih. Memangnya apa yang mau Lo selidiki, Ga? Lo lagi ada masalah?” tebak temanku itu tepat.
“Gue mau Lo cari Arum,” jelasku. Membuatnya terdengar terkejut.
“Apa! Maksud Lo Arum istri Lo? Memangnya ke mana dia?” Ibnu sepertinya tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Jangan bercanda, Ga.” Masih tetap terdengar ragu. Membuatku menghela napas berat.
“Iya bener, Nu. Arum istri gue. Dia pergi entah ke mana. Gue khawatir sama keadaannya. Apalagi dia yatim piatu. Gue enggak tahu harus nyari dia ke mana lagi. Di panti asuhan juga Arum enggak ada.” Benar, sesulit ini mencari Istriku yang hilang.
“Oke ... oke. Gue akan bantu Lo mencarinya. Apalagi dia pernah membantu menyelesaikan masalah rumah tangga Gue dulu. Dia berjasa banget buat Gue dan May. Kalau bukan bantuannya, mungkin kami sekarang sudah bercerai,” ucap Ibnu.
Arum dulu memang pernah menjadi penyelamat rumah tangga Ibnu dan May Istrinya. Saat temanku itu datang ke rumah dan cerita tentang kondisi rumah tangganya yang hampir hancur karena May selalu salah paham dan cemburu pada Ibnu.
Waktu itu katanya ada teman lama yang memakai jasa Ibnu untuk menyelidiki suaminya. Yang membuat istrinya ini berburuk sangka karena memang orang itu Mantan kekasih Ibnu. Sehingga May berpikir kalau temanku itu berselingkuh, pengakuan hanya sebagai klien yang Ibnu katakan istrinya kira hanya akal-akalan temanku itu.
Namun, dengan bantuan Arum yang membujuk istri temanku itu dengan bicara dari hati ke hati, membuat May sedikit percaya dengan memberikan syarat kepada Ibnu untuk membatalkan kerja sama dengan mantannya, serta meminta lebih mengerti dengan kondisi sang istri ketika sedang hamil tua. Sekarang rumah tangga Ibnu kembali harmonis. Apalagi mereka sudah dikaruniai keturunan. Membuat kesempurnaan itu menjadi berkali-kali lipat.
Setelah bicara panjang lebar mengenai hilangnya Arum percakapan kami berakhir. Karena temanku sedang di luar kota untuk saat ini. Kami tidak jadi bertemu. Hanya saling memberikan informasi lewat ponsel.
Kumatikan telepon dan memanggil Mang Mansur untuk menghadap lalu memintanya mengantarkanku ke Bandung.
Terpaksa kali ini kuajak beliau sebab diri ini tak mungkin diri ini berkendara jauh. Tubuhku sudah lelah dan kurang beristirahat. Mungkin aku harus bersiap-siap pernikahan keduaku dengan Erika akan diketahui sopirku itu. Tak apalah. Dia tak mungkin juga berkata macam-macam kepada orang-orang termasuk Arum.
“Maaf, Den. Bukannya Neng Arum sedang menghilang, tapi kenapa malah ke Bandung? Memangnya pekerjaan Den Arga enggak bisa ditunda?” tanyanya heran.
“Sekarang Mamang antarkan aku dulu. Nanti juga akan tahu masalahnya,” tegasku. Saat ini aku malas menjelaskan apa pun. Badan dan jiwaku sedang lelah memikirkan keberadaan Arum dan keadaan Erika istri mudaku.
Di dalam mobil aku terus memandangi foto Arum di layar ponsel. Potret yang menampilkan sosok wanita sedang memegang tanganku sambil menoleh dan tersenyum ke belakang. Terlihat sangat manis sekali.
Foto di mana dulu kami berbulan madu di puncak. Awalnya telah kupersiapkan honeymoon ke Paris. Namun, istriku itu menolak. Dia bilang sayang uangnya, jangan dihamburkan. Apalagi saat itu Mama menyuruh Papa menghentikan jatah bulananku, segala fasilitas mewah yang biasa kupakai dicabut begitu saja.
Beliau tak ingin Arum hidup dari uang yang diberikan mereka. Padahal aku pun berhak, sebab selain profesiku sebagai dokter, juga mengelola usaha Papa. Meski tak seperti kebanyakan pekerja kantoran lain.
Karena permintaan Mama itu keuanganku sempat tak stabil. Makanya saat kami berbulan madu, Arum menyuruhku untuk berhemat dan memilih pergi ke puncak yang katanya lebih sejuk.
Dia memang wanita yang pengertian. Bahkan tak mengeluh saat kami memulai semuanya dari awal. Untunglah berkat kesabaran, doanya serta dedikasiku sebagai dokter membuatku bisa mendapatkan karir yang bagus. Meski kesabaran istriku itu kuhadiahkan pengkhianatan untuknya.
Ah ... kenapa baru sekarang terbersit rasa penyesalan menikahi Erika. Aku salah telah menuruti nafsuku. Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, tak mungkin pula kutinggalkan istri mudaku itu. Bagaimanapun dia sudah sah menjadi tanggung jawabku. Kami saling mencintai. Aku pun merasa tak lengkap bila hidup tanpanya. Selama beberapa bulan ini, Erika lah yang sudah membuatku hidupku bergairah kembali. Dia berbeda dari Arum istriku, lebih memuaskan segalanya.
Setelah beberapa jam perjalanan, kami sampai di Bandung. Kuminta Mang Mansur membawaku ke Rumah Sakit Santosa. Dari ekspresi wajahnya beliau terlihat heran. Namun, tetap tak menanyakan apa pun.
“Mang, tunggu di sini, ya. Kalau Mamang lapar bisa cari makan di sekitar sini. Aku ke dalam dulu. Ada seseorang yang membutuhkan keberadaanku sekarang,” titahku memintanya menunggu.
“Baik, Den. Nanti kalau saya tidak di mobil, hubungi saja nomor Mamang,” jawabnya.
Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan Mang Mansur di mobil. Gegas masuk ke Rumah Sakit serta mencari ruang perawatan di mana Erika berada. Sebelumnya mertuaku sudah memberikan alamat Rumah Sakit serta di kamar berapa istriku di rawat. Setelah sampai kuketuk pintu serta masuk dengan langkah tergesa.
Terlihat Erika terbaring lemah di atas ranjang, pun mertua duduk di sofa ruangan ini juga. Istri mudaku itu memang di rawat di ruangan VIP yang memiliki fasilitas lengkap dibanding kamar yang lain. Sehingga membuat nyaman orang yang menunggunya.
“Akhirnya datang juga, Nak Arga,” sahut Mama mertua yang langsung berdiri menyambut kedatanganku. Aku mencium tangannya dengan takzim lalu beralih kepada Bapak Erika yang sedari tadi hanya menatapku sekilas.
“Erika kenapa, Bu? Apa yang terjadi padanya?” tanyaku.
“Erika pendarahan, Ga!” jelas Ibu mertua.
Aku penasaran bagaimana mungkin Erika sampai pendarahan padahal semalam saat kutinggalkan dia masih sehat seperti biasa.
“Bagaimana mungkin kamu tak ada bersamanya. Padahal bukannya tiga hari ini harusnya jatah temumu dengan anakku?” cecar Bapak Erika.
“Maaf, Pak. Aku enggak tahu akan terjadi sesuatu dengan Erika. Apalagi sekarang ada hal penting yang membuatku terpaksa menunda jatahku bersamanya, Pak. Arum istri pertamaku hilang.”
Mereka berdua terkejut. Namun, bapak Erika menatapku tajam sambil berkata, “ Itu masalahmu. Bukankah dari awal kau sudah bilang kalau bisa adil. Katanya putriku itu segalanya untukmu. Apalagi Erika bilang istri tuamu itu membosankan makanya kau menikah lagi,” sinisnya.
Mataku terbelalak mendengar semuanya. Bagaimana mungkin Erika mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu. Sampai-sampai dia mengatakan sesuatu yang tak pantas tentang Arum kepada orang tuanya. Kuakui memang alasanku menikahi Erika itu, tetapi tak sepenuhnya. Yang pasti aku tak bisa menampik pesona Erika yang terlihat lebih menantang untukku.
Aku tak menanggapi ucapan orang tua Erika. Biarlah mereka bicara apa pun sesukanya. Kutinggalkan mereka yang masih menceramahiku sebelum berlalu mencari keberadaan dokter dan menanyakan kondisi Erika.
“Istri anda mengalami keguguran, Pak. Dia terlalu banyak meminum obat penenang sehingga membuat kandungannya tak bisa bertahan.” Jelasnya.
“Apa? Istri saya keguguran ...?”
Aku tak bisa menyembunyikan rasa syokku. Bagaimana mungkin Erika keguguran? Membuatku terkulai lemah di kursi ruangan dokter tempatku berada. Kabar apa ini? Setelah sekian lama aku menunggu hadirnya buah hati, dan apa ini? saat mendapatkannya Tuhan langsung mengambilnya seketika.
Lalu untuk apa Erika meminum obat penenang? Kenapa aku baru tahu kalau dia mengonsumsi obat semacam itu?
Dengan langkah gontai aku kembali ke kamar rawat Erika. Namun, saat hendak membuka pintu kudengar samar-samar suara percakapan istri mudaku dengan orang tuanya.
“Syukurlah, Bu. Anakku enggak lahir ke dunia. Kalau tidak semuanya akan kacau,” ucap salah seorang yang kukenali itu suara istriku.
“Sttt, jangan berisik. Bisa saja suamimu itu datang dan mendengar semuanya,” sahut wanita lain dan itu suara ibu mertua.
Apa maksud obrolan mereka? Memangnya apa yang disembunyikan Erika dan orang tuanya dariku?
Haruskah kutanyakan pada mereka yang sebenarnya sekarang?
Bersambung.
Bab 5. Trauma
Kubuka pintu dengan cepat. Terlihat orang di dalam ruangan itu terkejut ketika melihatku, membuat diri ini semakin curiga pada mereka. Gelagat orang-orang di dalam ruangan ini sangat mencurigakan.
“Mas Arga ...!” Erika melotot ke arahku. Dia mungkin terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
“Apa maksud obrolan kalian barusan? Hal apa yang kamu sembunyikan selama ini?” cecarku kepada Erika.
“Nak Arga salah paham. Kami tidak menyembunyikan apa pun. Tadi Erika hanya bilang kalau dia sedih sekali sudah keguguran,” orang tua Erika mencoba menjelaskan. Namun, aku tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang mereka katakan.
“Jelas-jelas tadi kudengar Erika bersyukur kalau dia sudah kehilangan bayi yang sedang di kandungnya. Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan!” tekanku.
Kulirik Mama Erika yang terlihat gugup, bahkan keringat dingin mengucur di dahinya.
Kupandangi kembali Erika, dia tersenyum kaku.
“Mas sini aku mau bicara. Ma, sebaiknya Mama dan Bapak keluar dulu. Aku mau bicara dengan Mas Arga sebentar.” Dia menyuruhku mendekat dan meminta orang tuanya keluar.
Mama dan Bapak Erika mengangguk dan pergi ke luar ruangan serta menutup rapat pintunya.
“Jadi, apa yang akan kamu jelaskan padaku sekarang?” tegasku dengan suara dingin.
“Sayang ... itu bukan apa-apa kok. Tadi ... aku hanya menghibur diri sendiri. Mas tahu ‘kan, selama menjadi istrimu aku hanya mendapatkan jatah bersamamu sebentar. Aku frustasi, Mas. Tiap malam kesepian. Apalagi aku kecewa saat Mas Arga pergi begitu saja ketika baru memulai percintaan kita. Mas baru aja sampai harus kembali ke Jakarta gara-gara Mbak Arum yang hilang. Sampai-sampai aku minum obat penenang terus keguguran. Aku enggak tahu saat itu sedang hamil, Mas.”
Suara Erika terdengar bergetar dan mulai terisak,” Mungkin memang lebih baik ... aku tak hamil. Palingan juga anak kita akan kesepian jauh dari Papanya seperti keadaanku sekarang ini.”
Aku yang sejak tadi emosi seketika itu pula langsung mereda. Sejenak berpikir, apa yang dikatakan Erika benar juga. Membuatku merasa bersalah karena selama ini tak adil kepadanya.
Kupeluk erat tubuhnya yang berguncang karena menangis,” Maafkan aku, Sayang. Ini semua salah, Mas. Bersabarlah sebentar lagi. Setelah Arum ditemukan dan kembali ke rumah. Kamu akan Mas ajak ke Jakarta dan memberitahu hubungan kita padanya. Untuk masalah anak. Meskipun Mas tahu kamu sedih, kita bisa membuatnya lagi nanti. Mungkin Tuhan menyuruh kita untuk lebih lama pacarannya, bukan?” ucapku sambil menggodanya. Kuangkat dagu istri mudaku itu sambil memandang wajahnya cukup lama.
Dia tersenyum dengan muka memerah. Kemudian menenggelamkan kembali kepalanya di dadaku. Aku memang sedih kehilangan calon bayiku, tetapi tak ingin menunjukkan kekecewaan ini padanya. Itu bisa membuat Erika tertekan dan merasa bersalah.
Membuat istri senang itu memang sudah seharusnya, bukan? Bagaimana pun ini semua tak lepas dari kesalahanku juga. Aku belum bisa berbuat adil.
“Terus Mas besok tetap ke Jakarta?” tanyanya sambil melerai pelukan di tubuhku. Kami saling memandang cukup lama. Kubelai pipinya dengan lembut sambil mencium pucuk hidungnya.
“Iya, Sayang. Besok Mas mau ke Jakarta lagi. Kamu kan tahu, izin libur Mas enggak lama. Apalagi Arum belum juga ditemukan.”
“Lagi-lagi karena Mbak Arum.” Dia cemberut membuatku gemas melihatnya.
Tak sabar kusergap bibirnya yang terlihat menggoda di mataku. Dia membalasnya membuat kami saling bertukar napas cukup lama. Kalau saja bukan karena dia baru keguguran, sudah kubawa dia ke peraduan kami. Untungnya otak ini masih waras dan ingat kalau kami masih di Rumah Sakit. Lagi pula dia dalam masa pemulihan.
“Kamu sabar, ya, Sayang. Nanti Mas akan luangkan waktu untuk menemuimu. Kamu harus sembuh dan pulih dulu. Nanti kita ketemu lagi. Kalau perlu kita liburan ke mana saja yang kamu mau,” rayuku agar dia tak merajuk dan merasa senang ketika kutinggalkan pulang nanti.
“Beneran? Aku mau liburan ke Bali, Mas,” ujarnya dengan wajah berbinar.
Aku mengangguk menyanggupi keinginannya.
“Apa pun untuk membuatmu senang.”
“Aku mencintaimu, Mas.”
“Aku juga.” Dia memelukku erat sambil tersenyum senang. Untuk sesaat aku melupakan hilangnya istri pertamaku, Arum. Jika sudah bersama Erika diri ini memang selalu hilang kendali. Tak sadar waktu atau pun masalah lain.
Seketika teringat akan Mang Mansur yang sedang menungguku di tempat parkir.
Aku pamit kepada Erika dengan alasan akan mencari makan. Kebetulan memang dari siang perutku belum terisi apa pun, sekalian menemui Mang Mansur.
Tak lupa kutelepon ibnu untuk membuat janji agar kami bisa membuat janji untuk bertemu. Membahas tentang hilangnya Arum. sungguh tak sabar untuk segera bertemu lagi dengan istriku itu.
Kutemui Mang Mansur yang kulihat sedang tertidur di dalam mobil. Mungkin merasa jenuh akibat terlalu lama menunggu. Dia terkejut saat Kuketuk kaca mobil dari luar. Gegas aku membuka kunci pintu mobil belakang lalu masuk ke dalamnya.
“Maaf, Den. Mamang ketiduran.”
“Enggak apa-apa, Mang. Nanti saya mau menginap di Rumah Sakit. Kemungkinan pulang besok. Jadi Mang Mansur cari tempat menginap di sekitar sini. Bisa cari hotel atau apa,” ucapku menjelaskan.
“Lho, memangnya siapa yang sakit, Den? Sampai-sampai Den Arga menginap segala?” tanyanya terlihat terkejut sekaligus heran dengan ucapanku barusan.
Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, bingung juga harus mengatakan apa padanya. Bagaimanapun Mang Mansur ini tak tahu aku sudah menikah lagi. Yang dia tahu aku suami yang baik dan setia pada Arum. Haruskah aku jujur padanya sekarang? Toh tak mungkin dia berani membuka rahasia ini pada siapa pun.
“Anu ... sebenarnya yang sakit itu ... istri keduaku, Mang.”
“Astagfirullah, apa maksud Den Arga? Maksudnya Den Arga punya istri dua? Jadi, Neng Arum aden khianati?” tanyanya terlihat keceplosan sebab langsung menutup mulutnya. Aku tersenyum samar memang benar yang dikatakan Mang Mansur. Sebagai suami diri ini memang sudah berkhianat pada Arum.
“Maaf, Den. Apa Neng Arum akan rela kalau tahu Den Arga memadunya? Bukankah dia sangat anti dengan pengkhianatan?” tanya sopirku dengan hati-hati. Mungkin takut aku tersinggung dengan pertanyaannya.
Aku tak menjawab semuanya, membuat Mang Mansur urung kembali berbicara. Bukan aku marah padanya atau pun tersinggung. Namun, bingung harus menjawab apa. Yang dikatakan sopirku memang benar. Arum sangat membenci pengkhianatan. Saat dia kecil ibunya ditinggalkan Ayah kandungnya demi perempuan lain. Bahkan sampai meninggal. Karena Arum hidup sebatang kara tak ada saudara, dengan terpaksa warga menitipkannya ke Panti Asuhan sampai dia beranjak dewasa.
Tiba-tiba saja aku merasa gelisah. Haruskah aku jujur pada istriku kalau aku sudah menikah kembali? Apa reaksinya mendengar itu semua? Tidak! Dia pasti mengerti. Aku bukan ayahnya yang tega meninggalkan ibunya demi wanita lain. Dia tetap prioritasku. Sampai kini tetap yang paling kucintai. Wajar saja bagi seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Apalagi mencintai dua wanita.
Lamunanku kembali buyar ketika suara ponsel terdengar berdering. Terlihat nama Ibnu di layar. Segera kuangkat siapa tahu ada informasi penting tentang Arum.
“Halo, Nu. Apa ada informasi penting tentang Arum sampai kamu meneleponku sekarang?” cecarku tak sabar.
“Sabar dulu, Ga. Gue sampe kaget langsung Lo tanya-tanya begitu. Bukannya tanya salam,” jawabnya sambil berusaha bercanda.
“Ah, sorry, Nu. Gue memang enggak sabar banget pengen cepet-cepet menemukan Arum. Gue khawatir sama dia.”
“Iya, Gue paham. Sebenarnya ada yang ingin gue sampaikan sama elo, Ga. Tadi pas Gue pulang terus ceritain masalah Arum yang hilang ke May. Dia bilang sempat ngelihat Arum keluar dari toko perhiasan dekat stasiun. Katanya dia enggak membawa tas atau apa pun. Apa mungkin kejadiannya setelah dia kecopetan. Lo kan bilang ada seorang wanita yang menyimpan dompetnya. Yang kecelakaan dari kereta itu.”
Aku terkejut dengan yang dikatakan Ibnu. Apa Arum berniat menjual perhiasannya? Untuk apa istriku melakukan itu? Lalu kenapa sampai sekarang dia tak juga pulang? Di mana kamu, Sayang?
Bersambung.
Bab 6. Bertemu Arum?
Di dalam kepalaku terus berputar-putar seribu pertanyaan. Namun, aku bersyukur Arum baik-baik saja. Meskipun aku masih tak tahu keberadaannya sekarang di mana.
Apa sebenarnya yang membuat dia pergi meninggalkanku? Tega sekali kamu, Sayang. Apa salahku? Bukankah selama ini sudah menjadi suami yang baik untukmu?
Adakah yang membuatmu menyerah selama menikah denganku? Aku tersentak ketika suara Ibnu terdengar berteriak memanggil.
“Ga ...!”
“Ga ...! Woy ... Lo lagi apa? Lo ngelamun!” tanya Ibnu di telepon. Aku memang tak bereaksi apa pun setelah temanku itu mengatakan informasi tentang Arum. Terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga lupa masih dalam panggilan dengannya.
“Sorry, Nu. Terus May lihat Arum ke mana? Maksudnya apa dia membuntuti atau menyapa istri gue, misalnya.”
“Katanya dia mau susul tapi keburu pergi. Lagi pula mereka di tempat yang berseberangan. Apalagi jalanan lagi ramai banget mobil yang lalu lalang. Saat istri gue mau nyusul, Arum sudah enggak ada.”
Aku mendesah frustasi, bagaimana lagi aku harus mencari keberadaan istriku. Teringat dengan perhiasan, mungkin aku bisa bertanya kepada pemilik toko siapa tahu mereka masih ingat wajah Arum. Jadi, aku bisa tahu ke mana perginya istriku itu.
“Nu, apa Lo sudah tanya ke toko perhiasan itu?”
“Belum. Rencananya besok Gue ke sana. Sambil tanya-tanya sekitar stasiun siapa tahu ada pedagang atau petugas bahkan orang yang ingat wajah Arum.”
“Oke, Gue serahin semuanya sama Lo. Kebetulan Gue enggak bisa bantu . Ini lagi di Bandung, ada keperluan mendesak. Mungkin besok baru balik ke Jakarta lagi,” ucapku.
Setelah obrolan kami berakhir. Kusuruh Pak Mansur yang sejak tadi tak bersuara untuk melajukan mobil yang kami tumpangi, mencari tempat makan karena perutku sudah minta di isi.
Meski banyak sekali masalah yang menimpaku dua hari belakangan ini. Aku tetap harus makan, yang paling penting menjaga kesehatan agar tak sakit.
Apalagi kurasa akan sangat sulit mencari keberadaan Arum. Entahlah perasaanku yakin seperti itu. Semoga saja salah, istriku cepat ditemukan.
Mobil melaju membelah jalanan kota Bandung malam ini. Kupejamkan mata, tubuh ini merasa lelah dan mengantuk. Tiba-tiba bayangan Arum melintas begitu saja. Senyum, sikap manja, serta perhatiannya padaku kembali terbayang dalam ingatan seperti kaset yang sedang diputar.
“Mas rindu kamu, Sayang,” gumamku pelan. Bahkan sangat pelan. Mungkin hanya aku yang dapat mendengarnya.
Tak pernah aku merindukan istriku itu saat sedang di mana pun. Apalagi saat sedang bersama Erika. Seolah-olah istri mudaku itu selalu membiusku dengan segala pesonanya. Membuatku tak ingat sekitar. Yang selalu kuinginkan hanya lah memadu kasih terus menerus dengan Erika.
Namun, sekarang Arum lah yang selalu kulamunkan dalam setiap menit yang kujalani. Mengapa baru sekarang aku sadar kalau aku takut kehilangannya? Setelah dia pergi entah ke mana.
‘Memang benar, kamu tak akan pernah merasa orang yang kau sayang berharga. Setelah dia pergi barulah merasa kehilangan’
Tiba-tiba rasa penyesalan menguar begitu saja.
Jika mengingat kembali isi goresan pena Arum di kertas yang kudapat dari bocah bernama Ivan itu. Kurasa Arum kecewa padaku.
Dia menulis kalau semua laki-laki yang berada di sampingnya, pandai mempermainkan perasaan seorang istri. Dunia ini hanya diisi oleh para pria pembohong.
Apa maksudnya? Apa itu untukku? Apa mungkin?
Tidak!
Tidak mungkin dia tahu rahasiaku tentang Erika. Aku sudah menutup rapat segalanya. Bahkan orang tuaku pun tak tahu putranya ini sudah menikah lagi. Jadi, itu mustahil sekali terjadi.
Aku tersentak ketika mengingat itu. Membuat Pak Mansur yang sedang mengendarai mobil di jok depan, memandang ke arahku.
“Den Arga tidak apa-apa?” tanyanya cemas.
Aku menggeleng, “ Tidak, Pak. Aku hanya kelelahan. Barusan hanya bermimpi buruk,” ucapku memberi alasan.
Tidak mungkin juga kalau aku jujur, jika sedang membayangkan reaksi Arum kalau tahu suaminya ini sudah mendua hati.
Malam hari lalu lintas kota Bandung tak begitu ramai. Membuatku bisa menikmati pemandangan malam dari kaca jendela di sebelahku.
Hawa kota Bandung sejuk, tak seperti kota Jakarta. Seketika ingat dengan keinginan Arum. Dia bercita-cita memiliki rumah di kota ini. Lebih tepatnya di daerah Ciwidey. Katanya, dia suka tinggal di kota yang udaranya masih segar dan Bandung menjadi salah satu pilihannya.
Aku memang berniat membuatkan istriku itu villa. Bisa kami gunakan sewaktu-waktu jika sedang berlibur.
Mungkin jika sudah jadi nanti. Dengan mudah kuajak Erika juga setiap jatah bersama kami.
Tak lama mobil sampai di sebuah restoran. Dari luar tempat ini terlihat unik dengan ciri khas pedesaan.
Aku turun bersama Mang Mansur. Kami masuk beriringan, dan mencari tempat duduk yang paling nyaman. Sebenarnya sopirku itu merasa sungkan saat kusuruh dia duduk denganku di meja yang sama. Namun, karena kupaksa akhirnya dia menurut juga.
Kupandangi setiap sudut restoran ini. Jika dilihat-lihat konsepnya cukup unik. Membuat para pengunjung yang datang lumayan betah untuk singgah berlama-lama di sini.
Tak lama pelayan datang. Kami memilih menu yang diinginkan lalu mengecek beberapa kali ponsel milikku. Barangkali Arum ada menelepon. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya.
‘Apa kamu enggak kangen Mas, Sayang?’
Biasanya istriku itu selalu mengirim pesan rutin. Mengingatkan jangan lupa makan teratur, tidak boleh terlalu capek bahkan harus istirahat dengan cukup. Sekarang tak ada lagi pesan beruntun darinya. Padahal dua hari kami tak bertemu. Kenapa aku merasa teramat kehilangan.
Bayanganmu selalu melintas setiap saat, Sayang. Dalam hati bertanya, apa istriku itu sudah makan? Aku takut dia kelaparan sedangkan suaminya ini bisa makan enak.
Kuhubungi kembali nomor ponselnya. Namun, nihil nomor kartunya tetap tak aktif lalu kukirimkan pesan lewat aplikasi berwarna hijau.
[“Sayang kamu di mana?”]
Send, centang satu.
[“Kamu di mana? Kenapa belum pulang?”]
Masih tak aktif. Sebaiknya kukirim pesan lagi nanti setelah nomornya bisa dihubungi. Kusimpan gawai di tangan ke atas meja saat seorang pelayan datang menghampiri.
Membawa hidangan yang kami pesan datang. Kami pun makan dalam keheningan. Saling larut dalam lamunan masing-masing.
Setelah beres makan, kudengar notifikasi pesan masuk menyala. Lekas kubuka berharap itu pesan balasan dari Arum. Akan tetapi, tebakanku salah. Pesan yang masuk bukan dari dia melainkan dari istri keduaku, Erika.
[“Mas, sedang di mana? Kok lama?”]
[“Mas sedang makan di luar. Ada apa, Sayang?”] balasku.
[“Jangan lama-lama, cepat kembali! Aku masih kangen. Malam ini Mama dan Bapak sudah kusuruh pulang. Biar kita bisa berduaan.”]
Aku menggeleng melihat pesan dari Erika. Disaat sedang banyak pikiran begini, bisa-bisanya dia menggodaku. Biasanya aku yang sering menggodanya. Bisa saja, istri mudaku itu membuatku senang.
[“Iya, Mas sebentar lagi Mas kembali. Tunggu, ya, enggak lama, kok!”]
Satu pesan terakhir muncul dari Erika muncul dengan emoticon love dan cium. Tiba-tiba saja moodku yang sempat rusak kembali membaik. Erika memang bisa membuat suasana hatiku kembali bergair*h.
Ah, kalau saja dia tak sedang dalam keadaan sakit.
Kubuka dompet dan mengambil kartu ATM milikku. Menyuruh Mang Mansur untuk membayar pesanan kami di meja kasir.
Saat pandanganku beralih ke meja di depanku. Aku terkejut dengan seseorang yang datang. Kuhampiri pria itu dan menyapanya.
“Hai, Lan. Apa kabar, Lo?”
Dia memandangku lalu tersenyum semringah.
“Masya Allah, Ga. Ini Lo? Ya ampun, pangling banget gue. Alhamdulillah gue sehat. Elo gimana? Ah pastinya sehat dong. Dokter mah kalau sakit pasti bisa ngobatin dirinya sendiri.”
Aku tersenyum mendengar guyonan temanku, Herlan. Dia sahabatku di saat remaja dulu. Kami memang kuliah yang berbeda jurusan. Namun, persahabatan yang terjalin sejak SMA bersama Ibnu memang masih berjalan dengan baik. Dia seorang pebisnis yang handal sekarang.
“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum 'kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?”
Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?
Bersambung.
Bab 7. Jawaban Herlan
“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum 'kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?”
Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?
Aku duduk di kursi seberang Herlan setelah dipersilahkan.
“Arum ada di rumah, kok. Dia enggak ikut ke sini,” ucapku berpura-pura. Aku semakin penasaran apa yang baru saja Herlan katakan tentang istriku. Benar-benar ingin tahu kapan Arum ke Bandung dan dengan keperluan apa?
“Maksudnya kapan? Kira-kira masih ingat enggak tanggalnya?” tanyaku. Semoga saja temanku itu tak curiga dan merasa janggal dengan pertanyaanku. Tidak mungkin juga aku menceritakan kalau kedatanganku ke Bandung selama ini tanpa Arum dengan niat ingin menemui istri mudaku bukan seminar, yang sering aku jadikan alasan.
Herlan berpikir sejenak mencoba mengingat-ingat. Dahiku mengernyit menunggu jawaban dari temanku itu.
“Wah, gue lupa, Ga. Tapi, yang pasti itu kurang lebih sudah ada satu bulan yang lalu dari sekarang. Memangnya Arum enggak cerita kalau kita ketemu, sama Lo?”
Aku menggeleng, “ Ah ... mungkin dia lupa,” jawabku masih bersandiwara.
“Gimana kabar, Lo. Makin sukses aja, nih! Oh iya, gue denger Lo udah tunangan, ya. Kapan menikah? Jangan lupa undangannya ditunggu!” ucapku mengalihkan obrolan. Takut temanku curiga kalau bertanya Arum lebih lanjut.
Cukup lama kami mengobrol mengenang masa lalu saat kami sama-sama masih menjadi pelajar. Kelucuan Ibnu yang humoris dan segalanya. Mang Mansur yang sudah beres membayar tagihan makanan yang kupesan di kasir langsung ke tempat parkir setelah mengembalikan ATM padaku.
Perbincangan dengan Herlan sangat menyenangkan, membuatku hampir lupa waktu karena terlalu asyik mengobrol. Ponsel di saku berbunyi, menandakan ada notifikasi masuk. Ternyata Erika mengirimkan pesan, menanyakan keberadaanku, sebab terlalu lama menunggu.
Aku pamit kepada Herlan, berniat untuk kembali ke Rumah Sakit menemani Erika. Temanku itu berjanji untuk mampir ke rumah kalau sedang ada pekerjaan di Jakarta. Aku senang sekali kalau dia mau mampir. Sekalian merasakan masakan Arum yang super lezat.
Tiba-tiba saja aku teringat istriku kembali. Bagaimana aku bisa menyuruh Arum, kalau keberadaannya saja aku tak tahu.
Ah, mungkin saja aku cepat-cepat akan menemukannya. Dia segera pulang ke rumah kami seperti biasa.
Di dalam perjalanan Erika terus saja menelepon, membuatku mendesah merasa kesal juga. Namun, kembali berpikir positif kalau dia memang butuh perhatianku saat ini.
Setelah sampai di Rumah Sakit, aku menyuruh Mang Mansur untuk mencari hotel untuk menginap.
“Mamang cari hotel saja untuk menginap. Besok pagi kita kembali ke Jakarta. Jadi, Mamang siap-siap untuk kepulangan besok,” jelasku.
“Iya, Den.” Mang Mansur menurut, dia melajukan kembali mobilnya sedang
kan aku menemui Erika.
Saat masuk ke ruangan perawatan istri mudaku itu, Erika tersenyum semanis mungkin. Aku menghampirinya, mencium kening serta bibir milik Erika sekilas.
“Mas, kok lama, sih?” manjanya sambil cemberut. Aku membelai pipinya yang mulus, sambil tersenyum kepada Erika.
“Maaf lama, Mas tadi ketemu Herlan. Dia teman SMA dan kuliah, Mas. Kami sudah lama enggak ketemu. Jadi, malah lupa waktu saat mengobrol.” Aku mencoba menjelaskan. Semoga saja Erika mengerti.
“Bener? Bukan karena hal lain, kan?”
Aku menggeleng menyangkal ucapan istriku ini. Karena sudah meminum obatnya Erika bilang mengantuk. Jadi, dia ingin istirahat sebentar. Aku mengiyakan, lagi pula ini sudah malam. Badanku juga sudah lelah, baik badanku atau pikiran. Dari kemarin aku kurang tidur. Apalagi terus terang dalam mimpi pun selalu terbayang wajah Arum.
Kurebahkan badanku di kasur bersama Erika. Dia meminta tidur dalam pelukanku. Sungguh manja sikap Erika kalau sudah bersamaku. Karena kelelahan tak sadar diri ini terlelap sambil mendekap istriku.
💕💕💕💕💕
Kulihat tubuh Arum dari kejauhan, dia berjalan tanpa menoleh ke belakangku. Apa dia tak tahu keberadaan suaminya ini?
Aku tersenyum, akhirnya dia bisa aku temukan juga. Kususul istriku itu, mendekapnya dari belakang. Membuat Arum menegang seketika, tetapi tak bereaksi apa pun.
“Sayang, Mas kangen sama kamu. Ke mana saja? Kenapa enggak pulang?” Aku tak melepaskannya sedikit pun. Memeluk tubuh Arum dengan erat. Seolah ketakutan dia pergi meninggalkanku. Kupandangi wajahnya yang terlihat sendu, dengan mata yang sembab terdapat bekas air mata.
“Kenapa kamu menangis, Sayang?” tanyaku mengorek perasaannya.
Namun, dia membisu tak menjawab segala pertanyaan dariku. Setetes air mata jatuh lalu kuusap pipinya dengan tanganku. Saat hendak mendekapnya kembali, reaksinya membuatku terkejut sekaligus kehilangan. Dia malah mundur beberapa langkah dariku.
“Kenapa, Sayang?”
Akan tetapi, Arum tetap diam membisu. Perlahan mundur dan tiba-tiba saja menghilang. Membuatku seketika itu pula panik mencari keberadaannya. Kuberlari ke sana ke mari menyusulnya, tetapi istriku tetap tak ada.
Kupanggil dia sekencang mungkin, masih tak ada sahutan. Aku berteriak dengan keras. Tiba-tiba tersentak sambil terbangun dari tidurku.
Ternyata semua ini hanya mimpi, Arum menghilang persis dengan yang ada di mimpi buruk barusan. Keringat mengucur dengan deras dari pelipisku. Sekali lagi, aku harus menerima kenyataan kalau Arum tak ada di sisiku.
Erika masih nyenyak dengan tidurnya. Membuatku menghela napas, bersyukur dia tidak tahu kalau aku memimpikan Arum. Kalau tidak, segala sesuatu yang berhubungan dengan istri pertamaku itu selalu membuatnya cemburu.
Apa sebenarnya arti dari mimpi burukku itu? Kenapa Arum menangis? Apa ini ada hubungannya dengan alasan dia pergi.
Untuk beberapa saat aku melupakan istriku yang masih hilang. Sekarang aku mengingatnya kembali apa yang dikatakan Herlan. Kenapa Arum pergi ke Bandung, tetapi tak mengabariku atau sekedar meminta izin. Apa yang di lakukan dia di kota ini?
Apa Arum menyusulku ke sini? Tapi untuk apa?
Tiba-tiba sekelebat dalam pikiran, bagaimana kalau istriku itu membuntuti saat diri ini menemui Erika di rumahnya. Inikah alasan Arum menghilang?
Bagai ada yang menancapkan sebilah pedang tepat ke jantungku. Dadaku sesak mengingatnya. Tanganku terkepal merutuki diri yang teramat bodoh. Kenapa aku tak sadar kalau dia sudah tahu aku sudah menikah kembali dengan Erika. Pantas saja Arum berubah menjadi pendiam. Aku yang tak peka akan perubahan darinya.
Kuambil ponselku tak sadar masuk ke aplikasi berwarna hijau. Membuka kontak yang kuberi nama “My Wife”. Mataku terbelalak tak percaya apa yang kulihat di benda pipih ini.
Bersambung.
Bab 8. Belasan
Kuambil ponselku tak sadar masuk ke aplikasi berwarna hijau. Membuka kontak yang kuberi nama “My Wife”. Mataku terbelalak tak percaya apa yang kulihat di benda pipih ini.
Apa yang kulihat? Pesan yang kukirim beberapa waktu yang lalu kepada Arum sudah centang biru. Namun, diri ini kecewa ketika istriku itu tak menghubungi atau pun sekedar membalasnya. Tiba-tiba hati ini terasa sakit ketika mengetahui Arum marah. Mungkinkah dia akan meninggalkanku sekarang?
Aku tak rela. Sungguh! Bagaimana aku bisa hidup tanpanya?
Aku bangun dari tidurku lalu masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka, memandang wajahku sendiri di depan kaca wastafel, sambil merutuki sikap bodohku selama ini. Apa yang telah kulakukan? Arum sudah pergi sekarang, seharusnya sebagai suami diri ini mestinya jujur dari awal tentang hubunganku dengan Erika.
Namun, apa dia akan setuju? Arum membenci perselingkuhan apalagi sampai dimadu. Traumanya membuatku mau tak mau menyembunyikan hubungan sekaligus pernikahanku dengan Erika. Tak mengira dengan keputusanku itu, Arum akan mengambil langkah seperti ini.
Haruskah aku menyesal dengan apa yang kulakukan? Bisakah kuputar kembali segalanya?
“Aku harus menghubungi Arum. Kami mesti bicara sekarang. Akan kujelaskan semuanya dan meminta untuk kembali lagi ke sisiku,” gumamku sambil mengambil ponsel di ranjang lalu masuk kembali ke kamar mandi.
Kutelepon nomor ponsel Arum, Alhamdulillah aktif. Akan tetapi, istriku tak kunjung juga mengangkatnya membuatku hampir frustasi.
“Kenapa teleponku enggak diangkat juga, Sayang? Aku mohon angkatlah!” Aku mondar-mandir di dalam kamar mandi dengan kegelisahan. Tak sabar untuk segera bicara dengan Arum istriku.
Namun, harapan tinggallah semu, dia sudah tak sudi menerima panggilan dariku lagi. Aku bersimpuh di kamar mandi, menyesal dengan kesalahan yang telah kulakukan.
“Bagaimana caraku agar kamu mau kembali lagi? Ke mana kamu sekarang, Sayang?” Dengan kasar kujambak rambutku sendiri, berharap bisa meredakan segala kekhawatiran yang sedang kurasakan. Tak kusadari mataku sudah berkaca-kaca. Sungguh membayangkan hidupku tanpa Arum membuatku merasakan sesak yang luar biasa.
Tidak! Aku tak boleh menyerah, mungkin istriku hanya marah sebentar. Dia pasti kembali dan aku akan membujuknya agak bisa menerima Erika. Suara panggilan istri mudaku membuat diri ini terpaksa menemuinya. Setelah mencuci mukaku kembali, kuhampiri dia.
“Ada apa, Sayang?” tanyaku. Siapa tahu dia merasa haus atau membutuhkan sesuatu.
“Mas kok lama di kamar mandi?” tanya Erika menyelidik. Apa mungkin dia mendengar aku sedang menelepon Arum?
“Mas habis cuci muka, Sayang.” Aku mencoba menjelaskan. Semoga saja Erika tak curiga. Dia menyuruhku duduk di sisi ranjang lalu memintaku untuk berbaring. Erika tidur beralaskan tangan kananku. Mulai bercerita banyak hal. Namun, aku sama sekali tidak menyimaknya. Pikiranku sekarang hanya terpusat tentang Arum.
Ketika istriku tiba-tiba menepuk paha, diri ini baru sadar. Dia mungkin kesal karena aku tak merespon apa yang dia katakan.
“Mas ...!”
“Mas Arga ...!”
“Mas! Dari tadi Mas Arga melamun?” teriak Erika. Aku tersentak tak sengaja melakukan kesalahan.
“Iya, apa, Arum, Sayang?” ucapku tak sadar.
“Jadi, dari tadi Mas Arga melamunkan istri Mas yang manja itu? Mas pikir aku apa? Dari tadi hanya mengoceh sendiri.” Aku menoleh ke asal suara. Ternyata aku salah bicara, dia bukan Arum tetapi Erika. Bagaimana bisa aku seteledor ini?
“Maafkan Mas, Sayang. Aku enggak sengaja. Mas hanya khawatir dengan Arum. Sampai sekarang dia sulit sekali untuk dihubungi,” jelasku, berharap Erika akan mengerti. Namun, reaksinya membuatku semakin pusing. Erika merajuk dia tidur dengan posisi membelakangiku.
Aku merasa frustasi, mengacak rambutku sambil meluapkan pikiran yang masih kacau. Kesal juga dengan reaksi Erika, menurutku itu sangat berlebihan. Dia kan sudah tahu aku memang memiliki istri selain dirinya. Ana tetapi, ia selalu saja marah ketika tak sengaja kusebut nama Arum di hadapan istri mudaku itu.
Melihat Erika yang sudah tertidur pulas. Aku bangun dari tidurku kembali. Meski sudah tengah malam begini, tetapi mata ini sulit sekali dipejamkan. Apa lagi mimpi buruk tentang istri pertamaku itu barusan membuat pikiran ini kacau.
Aku keluar dari ruangan untuk mencari angin segar. Mencoba menghubungi nomor Arum, meski masih belum juga diangkat. Ketika hampir putus asa, kukirim pesan kembali.
[“Sayang, pulanglah! Mas akan jelaskan semuanya. Kamu memang enggak kangen sama Mas? Kita harus bicara. Mas janji akan melakukan apa pun agar kamu bisa kembali.”]
Centang biru, dia sudah membacanya. Kulihat di aplikasi Arum sedang mengetik. Mungkinkah dia membalas pesanku? Aku menunggu dengan rasa tak sabar, berharap dia akan kembali lagi ke sisiku.
[“Berbahagialah, Mas. Maafkan aku bila selama ini hanya menjadi baban di hidup Mas Arga saja.”]
Aku terkejut dengan balasan dari Arum. Apa maksudnya? Aku sama sekali tidak pernah merasa kalau dia menjadi beban hidupku. Aku sadar dia memang segalanya dalam untukku. Diri ini tak bisa hidup tanpanya.
Kutelepon kembali nomor ponselnya. Namun, kali ini sudah tidak aktif kembali, itu semua membuatku terkulai lemas. Bagaimana caraku untuk menemukannya? Masih bisakah kami bertemu?
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
