
Kartika mendapatkan ketidakadilan dari mantan suaminya yang bernama Danang. Pria yang lebih memilih wanita kaya sekaligus mantan kekasih dulu, Nindy. Bara api di hati Kartika berkobar untuk mereka berdua dan ia bertekad membalaskan segala kepahitan yang telah dilaluinya.
Di saat kesulitan ekonomi mencekik. Datanglah seorang pria berumur mempesona yang terpikat olehnya. Sampai, Kartika tahu, lelaki yang selalu dipanggil Mas Dimas tersebut, tak lain ialah ayah kandung dari Nindy, pelakor yang telah...
Bab 9.
Bab 9.
“Sekarang kamu sudah tahu semuanya. Mas pasrah kamu mau percaya atau tidak dengan penjelasan yang Mas berikan. Tapi, Sayang. Mas ini benar-benar tulus mencintai kamu. Bahkan, rasa sayang Mas untuk kamu ini sudah tumbuh sebelum tahu kalau Danang ini mantan suamimu," jelas Mas Dimas mencoba meyakinkanku kembali.
“Entahlah, Mas. Aku bingung harus percaya kepada siapa saat ini. Jika memang Mas Dimas menikahiku hanya karena perasaan bersalah demi menebus kesalahan Nindy, lebih baik Mas lepaskan aku. Lupakan pernikahan kita. Lebih baik batal sekarang, dari pada nanti sudah menikah Mas menyesal karena sudah menjadikanku istri. Sebelum semuanya terlambat, Mas pikirkan lagi dengan benar,” cicitku dengan lirih.
Aku juga harus realistis, bagaimana mungkin aku mengorbankan diri untuk menjadi istri seseorang yang hanya menikahiku karena rasa kasihan saja. Bahkan, lebih baik acara balas dendamku kepada Nindy dan Mas Danang untuk saat ini batal. Biarlah, nanti kupikirkan cara lain agar membuat mereka mendapatkan pembalasan tanpa harus menikah dengan Mas Dimas. Jujur, aku takut kecewa kembali seperti pernikahanku sebelumnya.
Bukankah itu manusiawi? Bagaimana pun, trauma karena tersakiti masih terus membayangi sampai saat ini. Aku hanya pura-pura tegar dan kuat, sesungguhnya diri ini tetap wanita biasa yang rapuh.
“Jadi, itulah yang kamu pikirkan tentang Mas? Apa seburuk itu diriku?”
Aku menggeleng dengan hati nelangsa. Bagaimana pun, sebagian kecil hati ini sudah mulai memiliki perasaan yang dalam untuk Mas Dimas. Tak seperti pernikahanku dengan Mas Danang dulu, tanpa cinta di antara kami. Berbeda ketika bersama Mas Dimas. Pria matang di depanku ini sudah mencuri sebagian cintaku.
“Aku hanya takut berakhir kecewa, Mas. Aku juga tak ingin menikah hanya karena belas kasihan,” desisku sambil mengarahkan wajah ke arah lain. Setetes air bening jatuh dari sudut mata ini.
Hal tak terduga terjadi, Mas Dimas sontak memelukku erat, meski aku mencoba berontak dan berusaha melepaskan diri. Aku masih sedikit kecewa atas apa yang baru saja kudengar.
“Apa kamu tak bisa melihat ketulusan yang Mas berikan? Apa kau lihat itu sebuah keterpaksaan, hah? Jawab, pertanyaan Mas! Bukti apa lagi yang harus Mas tunjukkan kalau Mas ini benar-benar ingin menikah denganmu bukan karena rasa kasihan atau menebus dosa. Apa yang harus Mas lakukan supaya kamu percaya?
“Biarlah kamu berpikir Mas ini egois. Tapi, jangan pernah berpikir kalau Mas akan rela membatalkan pernikahan kita. Itu takkan mungkin terjadi,” tegasnya dengan mantap masih memeluk erat tubuhku.
Aku tak menanggapi ucapan calon suamiku ini. Apalagi, berusaha keluar dari kungkungan tangannya, hanya bisa pasrah karena tenaga Mas Dimas lebih besar dariku. Pun, dengan hati dan pikiran berkecamuk membuatku benar-benar dilanda kebimbangan.
Tak lama, Mas Dimas melepaskan dekapannya di tubuhku ketika Robi datang. Sedangkan aku sudah mulai bersiap hendak pergi dari kantor ini. Mungkin, selagi Mas Dimas dan asistennya mengobrol aku akan pulang tanpa pamit terlebih dahulu. Ingat, aku masih kesal dan gamang dengan semuanya.
Namun, baru saja berdiri, laporan Robi membuatku berhenti.
“Gimana sudah selesai tugas yang kuberikan?” tanya Mas Dimas.
“Sudah beres, Tuan. Calon mertua Tuan sudah tiba dengan aman sampai apartemen,” lapor Robi dengan gesture tubuh formal.
“Bagus. Kamu siapkan mobil. Antarkan kami ke apartemen itu. Dan suruh Pandu dan Furi menghandle pekerjaan yang tersisa hari ini,” perintah Mas Dimas.
“Baik, Tuan.”
Robi undur diri dan keluar dari ruangan ini sesuai perintah atasannya tersebut. Aku menoleh ke arah Mas Dimas dan hendak memastikan berita yang baru saja kudengar.
“Abah dan Amah sudah datang hari ini. Mas tadi nyuruh Robi buat jemput mereka berdua di stasiun,” ungkapnya. Aku menyipitkan mata dengan dahi berkerut. Belum juga bertanya, tetapi Mas Dimas sudah tahu saja apa yang ada di pikiranku.
“Bagaimana mungkin mereka datang ke sini tapi tak mengabariku dulu? Kenapa malah Mas Dimas yang terlebih dahulu tahu? Mas enggak bercanda, kan? Jangan bilang ini hanya prank saja!”
“Nanti Mas jelaskan. Lebih baik, kita berangkat sekarang. Abah dan Amah pasti sudah menunggu di apartemen,” tegas Mas Dimas tanpa ingin dibantah.
Kalau sudah begini, aku tak bisa berbuat apa-apa. Terkadang, calon suamiku ini memang keras kepala dan susah dibantah. Segala perintahnya, harus dituruti. Mungkin, sifat jelek inilah yang menurun kepada Nindy, meski Mas Dimas memiliki kepribadian yang baik juga. Aku tak bisa menampik itu.
**
“Abah, Amah Tika kangen banget sama kalian,” pekikku ketika baru saja sampai di apartemen milik Mas Dimas.
Tadi, saat aku masih di kantor kekasihku itu, Robi datang dan memberikan kabar kalau Abah dan Amah sudah datang. Kebetulan, asisten Mas Dimas tersebutlah yang ditugaskan calon suamiku untuk menjemput orang tuaku itu dari stasiun.
Akhirnya, Mas Dimas sendiri yang menemaniku menemui mereka. Dia mengantar sambil menunjukkan apartemen miliknya yang ternyata super mewah.
“Gimana kabarnya, Tik?” sambut Abah seketika memelukku dengan penuh rindu.
“Alhamdullilah baik, Bah.”
“Syukurlah. Abah jadi tenang kamu di kota ini sendirian.”
Orang tuaku ini memang selalu saja mengkhawatirkanku semenjak mengetahui masalah perceraian putrinya ini dengan Mas Danang. Meski, mereka tak begitu tahu keseluruhan kisah pahit yang kualami.
Abah dan Amah hanya sekedar tahu kalau Mas Danang memilih wanita lain. Tetapi, mereka tak tahu kalau harta gono-gini yang harusnya menjadi milikku dikuasai oleh Mas Danang, pun kepahitan yang kujalani gara-gara Nindy dan mantan suamiku. Aku hanya menjelaskan kepada keduanya kalau rumah yang sempat kutempati bersama Mas Danang akan dijual. Sehingga masih menjadi sengketa, makanya aku terpaksa mengontrak.
Abah mengurai dekapannya, lalu bergantian dengan Amah yang kembali memeluk dengan erat. Beliau menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bagaimana tidak tenang, Bah. Amah yakin, Tika sekarang ada yang jaga. Dimas sudah janji sama kita,” ujar Amah sambil melirik calon menantunya yang tersenyum.
Mas Dimas kemudian memeluk Abah dan bersalaman dengan Amah. Kami semua masuk ke dalam apartemen, Abah dan Mas Dimas selanjutnya duduk di sofa ruang tamu.
Kuedarkan mata ke sekeliling ruangan, sambil berdecap kagum melihat apartemen milik Mas Dimas ini.
Bahkan, dibandingkan rumah Abah dan Amah saja di kampung, ini jauh lebih besar. Apartemen mewah di lantai 15 ini memiliki ruangan yang begitu luas, meski tak sebanding dengan rumah milik Mas Dimas yang bak istana kerajaan modern.
Begitu masuk ke tempat ini, di depan terdapat ruang tamu yang paling luas dari tempat lain dengan sofa nyaman serta karpet berbulu tebal tersedia di sana. Karena merangkap ruang santai serta keluarga, terdapat televisi besar di dinding beserta pernak pernik dekorasi lainnya yang tak kalah mewah.
Sudut lain, terdapat rak buku yang sudah terisi penuh beserta sofa santainya. Ternyata, Mas Dimas memang suka membaca. Terbukti, tak hanya di apartemen ini, ruangan kerja Mas Dimas yang terdapat di rumah pribadi miliknya pun dikelilingi oleh rak-rak yang berisi buku-buku yang bermacam-macam.
Meski, yang mendominasi rata-rata buku bisnis. Tetapi, tak sedikit judul buku novel karya para penulis terkenal pun tertata rapi di sana.
“Amah sama aku ke dapur dulu, ya,” pamitku.
Amah dan aku kemudian berjalan ke dapur untuk memasak dan membuat camilan serta minuman untuk Mas Dimas juga Abah. Kebetulan, segala kebutuhan memang sudah tersedia di sini. Begitu pun kulkas dua pintu berukuran besar ini telah penuh dengan bahan-bahan memasak, serta kebutuhan lainnya.
Ya, saat dalam perjalanan ke sini tadi, aku mendengar Robi memberitahu Mas Dimas kalau dia sudah menugaskan orang untuk melengkapi segala keperluan di apartemen ini, termasuk isi kulkas. Calon suamiku itu benar-benar mempersiapkan segalanya demi membuat orang tuaku nyaman tinggal di apartemen ini.
“Tika, Amah masih tak percaya kamu bisa punya calon suami yang ternyata sangat kaya. Abah dan Amah kira, Dimas hanya mapan, tak sekaya ini. Kami berdua jadi merasa malu kalau jadi mertua karena tak sepadan dengannya,” ungkap Amah.
Aku tersenyum menanggapi ucapan ibu kandungku ini. Bukan hanya orang tuaku, bahkan aku sendiri saja memang terkadang tak percaya diri memiliki calon suami seperti Mas Dimas. Apalah aku, anak seorang pemilik konveksi kecil-kecilan di sebuah kampung.
Bisa kuliah S1 saja aku bersyukur meski dengan jerih payah orang tuaku. Mereka rela banting tulang demi menyekolahkan anaknya ini sampai bisa mengenyam kursi kuliah. Hanya segelintir orang saja di desaku yang bisa menyekolahkan putra-putrinya sampai perguruan tinggi. Sudah bersekolah sampai SMA saja itu sangat bersyukur. Rata-rata pekerjaan para warga di kampung kami memang petani dan pekerja serabutan.
Penghasilan andalan untuk mereka sehari-hari hanya dari hasil bumi saja. Bertani dan mengandalkan hasil kebun yang memang tak seberapa. Beberapa warga juga memiliki hewan peliharaan seperti domba, sapi dan kambing. Dengan begitu, mereka bisa mempunyai uang lebih untuk menyekolahkan putra-putrinya.
Entah keberuntungan apa yang telah menyelimuti hidupku ini, Mas Dimas bagiku sebagai obat dari setiap rasa sakit yang telah kurasakan. Ya, meski aku pun memiliki niat keliru menyalahgunakan kepercayaannya untuk memberikan pelajaran untuk putri dan menantunya. Pun, saat ini diriku sedang ragu terhadap ketulusan Mas Dimas.
“Jodoh dan takdir tak ada yang tahu, ya, Tik. Baru aja kemarin rumah tanggamu kandas dan disakiti si Danang kacrut itu, eh sekarang dapat ganti yang mudah-mudahan lebih baik. Amah dan Abah seneng,” celetuk Amah yang kutanggapi hanya dengan senyuman saja.
“Eh si Danang katanya sudah nikah lagi, ya? Amah dengar dari Bu Surtini tetangga mantan besan. Amah jadi penasaran yang mana wanita gatel perebut suami orang itu.”
Ucapan Amah membuatku terkesiap. Tubuhku menegang dengan hawa panas menjalari seluruh badan. Bagaimana reaksi mereka kalau tahu Mas Danang adalah menantu Mas Dimas dan suami dari putri sulung, si wanita gatal perebut suami orang itu?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
