Kartika (Menjadi Mertua Mantan Suamiku) Bab 5-6

0
0
Deskripsi

Kartika mendapatkan ketidakadilan dari mantan suaminya yang bernama Danang. Pria yang lebih memilih wanita kaya sekaligus mantan kekasih dulu, Nindy. Bara api di hati Kartika berkobar untuk mereka berdua dan bertekad membalaskan segala kepahitan yang telah dia lalui.

Di saat kesulitan ekonomi mencekik. Datanglah seorang pria berumur tetapi masih mempesona yang terpikat olehnya. Sampai, Kartika tahu, lelaki yang selalu dipanggil Mas Dimas tak lain ialah ayah kandung dari Nindy, pelakor yang telah...

Bab 5. 

Flashback 

“Neng Tika katanya butuh kerjaan sampingan?” tanya Teh Nining salah satu pelanggan gorenganku. Aku sengaja mengantar pesanan miliknya karena cukup banyak. Wanita penyuka daster tersebut memang beberapa kali memesan bermacam aneka gorengan untuk acara pengajian dan camilan ibu-ibu PKK.

Seorang bidan yang rumahnya tak jauh dari kontrakan milikku ini, memang tahu kondisiku yang sedang membutuhkan lebih banyak penghasilan tambahan.

“Iya, Teh. Saya memang sedang butuh kerjaan tambahan di hari libur. Kebetulan saya libur Kamis atau Jumat saja,” jawabku.

Teh Nining langsung semringah. Dengan semangat menggebu empat lima dia bercerita kalau ada lowongan pekerjaan untukku.

“Teteh ada kenalan, dia butuh orang yang bisa cuci gosok dan membersihkan rumahnya yang sering kosong seminggu sekali. Kebetulan tuh cocok banget sama yang kamu cari,” papar Teh Nining.

Mataku berbinar mendengar kabar lowongan pekerjaan yang Bu bidan ini tawarkan. Betul katanya, ini memang cocok dengan yang sedang kucari selama ini. Mengingat akan mendapatkan uang tambahan, aku tersenyum dengan senang.

Teh Nining memberikanku alamat rumah yang dimaksud. Katanya, dia akan mengabari temannya itu kalau aku bersedia mengambil pekerjaan di kediamannya. Aku juga berterima kasih kepada Teh Nining sudah memberitahukan informasi berharga ini kepadaku, dengan tidak langsung dia telah membantuku mendapatkan pekerjaan tambahan.

Suatu hari, aku tak membuang waktu untuk datang ke rumah teman Teh Nining. Kebetulan memang pemilik rumah sedang pulang untuk beberapa hari di rumah ini. Itu yang kudengar dari Teh Nining.

Tak kusangka, teman Teh Nining ternyata bukan orang sembarangan. Majikan baruku itu istri seorang pengusaha besar. Dia selalu menemani suaminya tinggal di Kalimantan dan seminggu sekali pulang ke rumah demi menjenguk putranya yang bersekolah di pesantren ternama di kota ini.

“Kamu benar Tika yang direkomendasikan Nining?” tanya Bu Santi. Wanita cantik berpenampilan fashionable meski memakai jilbab. 

“Betul, Bu. Saya dapat informasi lowongan pekerjaan ini dari teh Nining.”

Mulai hari itu, aku bekerja cuci gosok dan membersihkan rumahnya seminggu sekali dengan gaji yang lumayan untuk tambah-tambah penghasilan.

Dua Minggu setelah masuk, Bu Santi mengatakan kalau dia akan kedatangan tamu suaminya di hari sabtu. Dia ingin aku membantunya untuk menyiapkan hidangan dan melayani tamu yang akan datang tersebut dengan jatah uang lembur yang cukup besar. Untungnya, aku bisa meminta izin kepada pemilik warung makan untuk menggantikan hari libur dengan alasan mendesak.

Di hari itu pula aku secara tak sengaja bertemu dengan Mas Dimas. Perkenalan kami yang tak terduga pun jauh dari kata mengenakkan. Pada saat itu aku ceroboh karena tak berjalan hati-hati, sehingga membuat satu mangkuk sup tumpah ke baju tamu yang Bu Santi maksud.

Semua orang yang ada di meja makan tercengang. Mata mereka tertuju padaku dengan tatapan tajam. Aku takut dipecat karena sudah mempermalukan majikan.

“Maaf ... saya tidak sengaja. Saya benar-benar mohon maaf. Saya memang teledor, tapi Bu, jangan pecat saya. Saya butuh sekali pekerjaan ini,” pekikku saat terkejut dan langsung memohon untuk tak diberhentikan oleh pemilik rumah ini.

Aku tahu sudah bersalah, tetapi benar-benar tidak ingin kehilangan pekerjaan di rumah ini. Apalagi, gajinya cukup besar dibandingkan penghasilanku sebagai penjual gorengan tiap harinya.

“Kamu tahu kesalahanmu ini sangat fatal? Kamu tahu dia siapa?” hardik suami Bu Santi. Pria yang memang terlihat galak dan tak banyak bicara ini seperti tengah memuntahkan amarahnya.

Aku hanya menunduk tak sanggup menjawab atau membela diri. Saat itu mulai pasrah dengan keputusan yang akan Bu Santi berikan. Meski aku membutuhkan pekerjaan ini, tetapi jika harus dipecat mau bagaimana lagi.

Namun, alih-alih mendapatkan murka, pria yang menjadi tamu majikanku itu membuatku kagum.

“Sudah ... sudah ... saya tidak apa-apa, Pak Pram. Ini bukan kesengajaan. Saya yakin kalau asisten rumah tangga kalian sudah menyesal. Dia hanya kurang hati-hati saja. Untungnya saya membawa pakaian ganti di dalam mobil, biar saya izin untuk membersihkan diri di kamar mandi,” sela Mas Dimas kala itu.

Dia memang lelaki baik. Awalnya aku tak menyangka usianya sudah menginjak 47 tahun. Apalagi, memiliki putri sulung yang umurnya satu tahun di bawahku, pun Ayah dari tiga orang anak.

Kukira dengan penampilannya yang lebih terlihat muda tersebut, dia masih seperti berusia kisaran 35 tahun saja.

Pertemuan keduaku dengannya tak sengaja ketika pada suatu hari mobilnya melewati genangan air dan membuat bajuku kotor dengan lumpur. Aku juga menghentikan mobil tersebut dengan menggedor kacanya sambil berkacak pinggang.

“Bapak pemilik mobil yang terhormat, bisa keluar sebentar? Kalau bawa mobil itu hati-hati. Lihat baju saya kotor seperti ini gara-gara mobil anda,” omelku dengan wajah memerah karena marah tanpa menghiraukan keadaan sekitar setelah kaca mobil tersebut terbuka sedikit. Kulihat seorang pria berkacamata hitam duduk di kursi penumpang belakang. 

Eh tapi aku merasa pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, aku tak ingat di mana?

“Maaf, saya tidak sengaja. Apa perlu saya memberikan ganti?” ucap seorang pria yang mengendarai kendaraan tersebut. Kutebak dari seragamnya mungkin saja dia seorang sopir.

“Saya tidak butuh ganti. Saya hanya minta anda hati-hati saat membawa mobil. Ingat, pengguna jalanan bukan hanya pemilik kendaraan mobil atau motor saja, tetapi pejalan kaki juga memiliki hak yang sama. Jangan mentang-mentang mobil ini mahal dan bagus, lantas kalian bisa seenaknya tanpa menghiraukan kami. Lihat daganganku, semuanya terkena lumpur,” omelku panjang lebar.

 Tak lama, pintu belakang mobil dibuka, keluarlah seseorang yang berkacamata hitam tadi. Namun, yang membuatku kembali  tercengang ketika mengingat siapa orang yang berdiri di hadapanku. Pantas saja aku merasa tak asing dengan wajahnya, ternyata pria ini tamu yang tak sengaja ketumpahan sayur sup ke bajunya waktu itu.

Kali itu aku bisa mengenalinya dengan jelas sebab dia sudah membuka kacamata hitamnya.

“Maafkan sopir saya. Dia mungkin kurang hati-hati membawa mobilnya,” ujar Mas Dimas waktu itu.

“Ah ehmm ... tidak apa-apa, Pak. Saya tidak tahu kalau ini mobil anda. Saya mohon maaf sudah lancang marah-marah.”

Aku membungkukkan badan, benar-benar menyesal sekaligus malu sudah mengomel tadi. Padahal, dulu aku pun tak sengaja membuat pakaiannya kotor. Hari itu serasa dejavu bagiku. Kami sama-sama impas karena saat itu bajuku juga kotor terkena lumpur.

“Biar saya ganti semua kerugian dagangannya, dan antar membeli baju ganti,” ujarnya membuatku menggeleng dengan cepat. Tangan ini berulang kali kulambaikan tanda menolak dengan halus.

“Saya tidak apa-apa, Pak. Anda tak perlu repot-repot. Biar nanti saya pulang, mandi dan mengganti baju saya,” tolakku.

Namun, bukan Dimas namanya kalau tak membuatku terpaksa mengikuti perintahnya. Tanpa kata, dia membukakan pintu dengan menatap tajam serta memaksaku masuk ke dalam mobil. Pun, keranjang daganganku juga sigap disimpan ke bagasi oleh sopirnya.

Aku tak enak hati waktu itu, bagaimana kalau mobil mewah milik Mas Dimas kotor terkena lumpur yang ada di bajuku? Pasti membersihkannya saja harus dibawa ke salon mobil.

"Lebih baik saya turun saja, Pak. Mobil ini jadi kotor oleh lumpur dari bajuku," ujarku dengan tak enak hati.

"Jangan dipikirkan. Mobil kotor nanti bisa dicuci. Oh iya, lain kali jangan panggil saya, Pak."

"Hah? Lantas?"

"Terserah kamu nyaman panggil apa, asal jangan bapak saja. Saya bukan bapak kamu," selanya dengan sudut bibir yang sedikit terangkat. 

Ya Allah, kenapa saat melihat senyumannya jantungku terasa berdebar dan seketika salah tingkah. Itulah awalnya aku memanggil pria ini dengan sebutan Mas Dimas.

Mas Dimas membawaku ke sebuah butik dan mengganti baju dengan yang baru. Jangan ditanya harganya, setara satu tahun kontrakanku. Aku sampai tak enak hati memakainya. 

Mulai saat itu, entah perasaanku saja atau memang benar terjadi, Mas Dimas menatapku tak biasa. Dia bahkan sering meminta sopirnya menjemputku, hanya untuk sekedar meminta aku menemaninya makan siang atau sore. Tak jarang, dia pun selalu menungguku tak jauh dari warung makan ketika sudah waktunya pulang kerja.

Aku sampai heran, kenapa pria mapan sepertinya harus membuang-buang waktu hanya untuk menjemput wanita miskin sepertiku? Atau pun sekedar menemuiku saja. 

Tak kusangka dia juga memiliki nomor ponsel milikku, dan beberapa kali terus menghubungi. Awalnya aku risih, dan tak nyaman. Apalagi, kasta kami berbeda. Aku cukup tahu diri dan merasa tak layak.

Namun, karena kedekatan kami, lama-lama aku merasa nyaman bersamanya. Sampai ketika, aku mengirimkan makan siang suatu hari ke kantor sesuai permintaan pria itu sendiri. Tak sengaja aku melihat sebuah foto keluarga. Dan apa yang membuatku tertegun di tempat? Dalam foto tersebut ada Nindy, wanita yang telah membuat Mas Danang membuangku layaknya sampah.

Mas Dimas menjelaskan siapa saja yang ada di foto tersebut ketika aku bertanya. Aku sempat menghindar semenjak hari itu, tetapi tak disangka dia tetap dapat menemukan dan nekat melamarku ke orang tua di kampung. 

Entahlah informasi dari mana, Mas Dimas akhirnya tahu aku ini mantan istri menantunya. Namun, dia tak pernah bercerita lebih jauh lagi, selain berkata akan menerimaku dengan apa adanya. 

Aku bimbang waktu itu. Haruskah aku menerima lamarannya? Bukankah itu akan lebih memudahkan aku untuk membalaskan dendam?

Ya, dengan rasa sakit di dalam hati, aku dengan senang hati menerima pinangan dari Mas Dimas. Lagi pula, hatiku ini telah mulai nyaman setiap bersamanya.

 

Bab 6.


“Mas Robi, apa Mas Dimas ada di dalam?” tanyaku ketika baru saja sampai di kantor Mas Damar. Karena orang-orang telah mengetahui siapa aku, para karyawan menyambut dengan membungkukkan badan setiap kali berpapasan denganku.

Ah begini rasanya menjadi calon istri pemilik perusahaan besar. Belum sah saja mereka terlihat segan, apalagi sudah menjadi istri Mas Dimas. 

“Ada Nyonya. Tuan sudah dari tadi menunggu anda.”

Robi memang seperti itu, dia selalu bersikap formal padaku seolah berbicara dengan atasan. Padahal, umurnya lebih tua dariku lima tahun.

Aku mengangguk dan tersenyum lebar, kembali melangkah dengan anggun agar tak mempermalukan Mas Dimas. Ya, para karyawan di sini tak tahu latar belakangku sebenarnya. Entah bagaimana kalau mereka tahu jika aku berasal dari keluarga yang sederhana dan dari kampung, pun bekerja hanya sebagai penjual gorengan dan pelayan warung makan, pasti semuanya akan meremehkan dan menggunjingku.

Aku mengikuti Robi menuju ruang kerja calon suami matangku. Kemudian, kami berdua naik lift bersama, dan ketika sudah sebentar lagi sampai di salah satu ruangan di mana Mas Dimas berada, Robi meminta maaf karena tak bisa mengantar sampai tujuan.

Katanya, asisten pribadi Mas Dimas tersebut hendak melakukan perintah dari atasannya.

Aku melangkah sambil tersenyum lebar, penasaran kenapa Mas Dimas memintaku untuk datang ke kantor hari ini. Katanya ada sesuatu yang akan dia bicarakan tentang rencana pernikahan kami. 

Saat sampai di sebuah ruangan, ternyata sekretaris Mas Dimas sedang tak ada di tempat, Kulirik jam di pergelangan tangan, ternyata ini masih waktunya istirahat. Pantas saja para karyawan tadi tak semuanya ada di tempat. Hanya ada beberapa orang yang sibuk berlalu-lalang dengan pekerjaan mereka.

Sebelum masuk, aku berbalik ke arah kaca yang menjadi penghalang ruangan Mas Dimas dengan para bawahannya. Kemudian, mencoba merapikan rambut serta pakaian. Aku juga mencari benda seukuran ruas jari di dalam tas yang kubawa, memakai perona bibir tersebut yang berwarna natural. 

Untungnya, tak ada siapa pun di ruangan ini. Jadi, aku leluasa untuk merapikan diri di kaca tebal yang terlihat seperti cermin tersebut. Merasa puas dengan hasilnya, aku mengulas senyum dan mengerlingkan mata sebelah pada bayanganku yang ada di depan.

“Sempurna,” gumamku meraih pintu masuk ke ruang kerja Mas Dimas dan mendorongnya. 

Setelah mengucapkan salam dengan ceria, tak lama terdengar jawaban dari Mas Dimas.

“Akhirnya kamu datang juga.”

“Maaf, menunggu lama. Tadi, aku minta izin dulu sama pemilik warung makan buat datang ke sini.”

Aku menghempaskan tubuh di sebuah sofa yang ada di sana, mengikuti ajakan Mas Dimas yang sudah duduk terlebih dahulu. 

“Mas kan sudah bilang, jangan kerja lagi. Kebutuhanmu biar Mas yang tanggung. Kalau perlu kamu juga mending pindah ke apartemen milik Mas. Di sana tempatnya lebih terjamin dan layak,” omel Mas Dimas.

Aku hanya menggelengkan kepala sambil menghela napas dengan berat.

“Bukannya mau menolak pemberian Mas. Tapi ... aku tidak enak terus merepotkan Mas Dimas. Kita kan belum sah menjadi suami istri, tapi Mas sudah banyak memberikan segalanya untukku. 

“Barang-barang, mulai dari baju, tas, sepatu, dan perawatan kulit, Mas yang kasih. Itu sudah lebih dari cukup buatku, Mas.”

Aku memang sengaja berpura-pura naif di hadapan Mas Dimas. Tak ingin lelaki itu tahu kalau aku butuh kekuasaannya untuk membalaskan dendam. Aku harus membuat Mas Dimas menilaiku wanita polos yang tak gila harta.

Ya, aku memang bukan wanita yang materialistis, tetapi itu sebelum Mas Danang dan istri pelakornya menghinaku terus menerus. Akan tetapi, sekarang aku bukan Kartika yang lemah seperti sebelumnya. 

Andai saja aku tak memiliki tujuan untuk membuat orang-orang yang telah menyakitiku menyesal, aku mungkin tak memerlukan itu semua, tetapi kali ini berbeda. Demi memuluskan segala rencanaku, Mas Dimas harus memberikan segalanya untukku dengan sukarela.

“Hei. Apa yang kamu katakan, Sayang. Mas tulus memberikan semua yang terbaik untukmu. Justru, kalau Mas membiarkan kamu bekerja banting tulang seperti dulu dan tinggal di rumah itu lagi, Mas merasa tak berguna. Untuk apa harta yang Mas miliki kalau tak bisa menyenangkan dan melindungi wanita yang Mas sayang,” ungkap Mas Dimas.

Romantis sekali priaku ini. Apa aku akan tega memanfaatkannya nanti?

Ah tidak! Kamu jangan goyah Kartika. Ingat! Sebelum hidup Danang dan Nindy menderita kau jangan pernah berpikir menyerah dari rencana balas dendammu ini.

“Lebih baik, kita makan siang dulu. Pesanan Mas untuk makan bersama kita sudah datang,” ucap pria pemilik perusahaan marketplace di sampingku ini.

“Tapi aku enggak bawa makanan hari ini, Mas.”

Mas Dimas hanya tersenyum, dia menoleh dan mengedikkan dagunya ke arah kaca sebelah pintu masuk tadi. Terlihat dengan jelas Puri, sekretaris Mas Dimas datang sambil menenteng kantong keresek putih di tangannya.

Aku terhenyak, mengingat apa yang kulakukan tadi sebelum masuk ke ruang kerja Mas Dimas ini. Bagaimana mungkin aku tak tahu kalau dari sini kita dapat melihat jelas yang dilakukan orang lain di luar sana?

“Mas ....”

Mas Dimas bergumam.

“Kenapa aku bisa melihat dengan jelas ke arah luar kaca itu, tapi dari luar sebaliknya?” tanyaku langsung keki. Aku tak kuasa masih membuka bibir dan membulatkan bola mata.

“Itu memang kaca yang tembus pandang satu arah, Sayang.”

“Jadi ... ta-tadi ...,” tanyaku sambil terbata-bata.

“Iya ... Mas tadi lihat kamu lenggak-lenggok di depan sana sambil ngaca. Terus benerin rambut dan memakai lipstik sampai monyong-monyong segala.”

Wajahku berubah pias, kemudian sontak memerah dan tak kuasa menutup wajah dengan telapak tangan. Ya ampun, kenapa aku melakukan hal bodoh seperti tadi? Bagaimana mungkin aku tak tahu kalau itu kaca yang tembus pandang satu arah? Bahkan, Mas Dimas bisa melihat aku berdandan tadi.

Ya ampun, aku merasa malu bukan main.

Terdengar kekehan Mas Dimas, kemudian seseorang masuk dan kutebak itu Puri. Sekretaris Mas Dimas tersebut langsung menyerahkan kantong keresek di tangannya kepada bosnya tersebut.

“Nanti minta ganti uangnya dari Robi. Dan tolong ambilkan sendok juga piring bersih untuk kami,” perintah Mas Dimas.

“Baik, Bos.”

Puri dengan bergegas melakukan hal yang diperintahkan atasannya tersebut, lalu menyimpan piring dan sendok di atas meja. Lalu, dia pamit kembali ke ruangannya.

“Mas sengaja nyuruh Puri buat beliin kamu ayam bakar madu, bukannya itu makanan kesukaan kamu?” 

Aku mengangguk, memang benar, makanan tersebut menjadi salah satu hidangan favoritku dan ternyata Mas Dimas sudah tahu tentangku bahkan hal yang detail sekali pun seperti ini.

Bukan hanya ini, dia juga memesan beberapa menu tambahan lain yang cukup banyak. Sepertinya, takkan habis kalau hanya dimakan berdua.

Kemudian, kami menghabiskan menu makan siang hari ini dengan saling diam, mencoba menikmati dengan damai makanan yang sudah lama sekali tak pernah lagi kumakan, apalagi semenjak hidup menjanda dan harus menghemat uang yang ada untuk makan. Bisa mengisi perut dengan lauk seadanya saja aku sudah bersyukur tak kelaparan.

Mas Dimas sesekali tersenyum ke arahku dengan mata yang sendu, dia kemudian mengusap pipiku dengan satu tangannya yang bersih.

Pria ini juga tak segan untuk membersihkan bekas makanan yang belepotan di ujung bibir dengan tisu di tangannya. Untuk sesaat mata kami berdua saling mengunci. 

Aku terhanyut memandang manik hazel coklat Mas Dimas. Mata yang terlihat begitu tulus dan menyimpan beribu cinta di sana. Aku beruntung sekali bisa bertemu denganmu, Mas.

Kami berdua kemudian menghabiskan makanan yang masih tersisa di piring dengan saling melempar senyum. Terkadang, kekasihku itu mengelap bibirku dengan tisu, begitu romantis.

“Ada nasi yang nempel di pipi,” ucapnya dengan manis.

 Selesai makan, Mas Dimas kembali mengajak bicara berdua.

“Mas menyuruh kamu ke sini buat ngasih kabar kalau Abah sama Ibu besok akan datang ke kota ini. Nanti, kamu bisa menggunakan apartemen untuk tempat tinggal mereka sementara sebelum rumah yang kemarin itu diisi perabotan lengkap. Bakalan ada beberapa orang yang akan ke sana buat ngukur badan Abah dan Ibu untuk membuat seragam keluarga. Juga fitting  gaun punyaku yang kita pesan beberapa minggu lalu,” papar Mas Dimas.

Aku  tak kuasa membendung kebahagiaan saat  mengingat perhatian Mas Dimas untuk orang tuaku, pun bisa bertemu kembali dengan mereka setelah sekian lama tak pulang kampung. 

Sampai-sampai aku  memeluk tubuh calon suamiku ini. Dia benar-benar membuatku tak sabar ingin menjadi Nyonya Dimas Prahastowo dengan segera.

“Makasih, Mas.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kartika Series
Selanjutnya Lebih Baik Tanpamu Full Part
0
0
Orang bilang, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Bagaimana jikalau sang Ayah sendiri yang menghancurkan rasa cinta itu?Ini adalah kisah bagaimana perjuangan seorang Ibu membuat sang putri bahagia pasca perceraiannya. Kisah pengkhianatan dari suaminya dengan sahabatnya sendiri. Satu kesalahan dari Rasti, ia terlalu sering memuji kelebihan sahabatnya tersebut di hadapan Ezran, suaminya.Baca juga cerbung yang lain -Sesal (Alasan Menghilangkannya Istriku) -Biarkan Aku Bahagia -Kasih yang Terbagi GRATIS -Seberkas Cahaya Cinta -Bagai Merindukan Bulan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan