Aroma di Balik Bilik Bambu #CeritadanRasaIndomie

5
6
Deskripsi

Cerpen ini menceritakan tentang Wulan dan keluarganya dari masa ke masa bersama Indomie. Aroma Indomie yang berada di balik bilik bambu rumah mereka, membuat dia harus mengucapkan sebuah janji kepada seseorang. Akankah Wulan bisa mewujudkan janji itu? 

Tandonsentul, 10 Agustus 1997 

Tidak jauh dari Wulan yang sedang mengaduk-aduk tanah liat bercampur air, yang ia tuang dari sebuah gayung kecil yang ada di sampingnya, Pak Karto tampak menghaluskan belahan bambu dengan celurit berkilau di tangan kanannya. Suara gesekan celurit itu membuat Wulan menghentikan gerakan tangannya, yang sudah seperti kue dengan balutan coklat lumer di atasnya. 

“Kamu enggak sekolah?” 

“Enggak, ini hari minggu Pak,” sahut gadis kecil dengan  kaos kutang dan celana dalam berwarna merah muda-nya. 

Sang Bapak menghentikan gerakan tangannya. Celurit itu masih bertengger di bagian tengah belahan bambu yang sedang ia pegang dengan tangan kirinya. “Oh, hari minggu ya? Bapak lupa.” Tangan lelaki itu meletakkan celurit di samping keranjang setengah jadi, yang terbuat dari anyaman bambu. Wajahnya menatap gadis mungil yang ada di depannya. “Kamu mau buat apa?” 

“Mau buat indomie,” jawab Wulan dengan wajah polosnya. 

Sang Bapak memperhatikan gerakan wulan yang sedang mengepal-ngepal tanah liat dengan penuh keseriusan. 

Tangan mungil itu kemudian mengambil sejumput tanah yang telah ia kepal-kepal. Ia meletakkan tanah tersebut ke bagian tengah telapak tangan, lalu kedua telapak tangannya bersatu, memilin benda berwarna coklat itu menyerupai bentuk mi. “Yey, ini mienya!” teriak Wulan sembari memperlihatkan mi buatannya kepada sang Bapak. 

“Wah …. Anak Bapak bisa bikin Indomie.” Lelaki itu tersenyum bahagia melihat tingkah kreatif anak gadisnya. “Bapak juga akan membuatkan Wulan Indomie. Tunggu sebentar!” Ia berdiri dari duduknya, lalu mendekati pagar rumahnya yang dikelilingi oleh tanaman yang dikenal dengan bahasa ilmiah Acalypha siamensis, atau juga dikenal dengan tanaman ‘Teh-tehan’. 

Wulan berjalan mendekati sang Bapak. Ia memperhatikan sang Bapak yang sedang mengambil sesuatu, dengan bentuk yang menyerupai benang kusut berwarna kuning. “Apa itu Pak?” Kepala Wulan condong ke kiri, berusaha melihat benda berwarna kuning di tangan kanan Bapaknya. 

“Ini adalah Indomie,” canda Pak Karto sembari meletakkan benda itu di dekat pipinya. 

Bukannya takut, Wulan malah tertawa. “Ini mirip mi yang biasanya dimasak sama Ibu,” kata Wulan sembari mengambil benda yang menempel pada pipinya. Tangan berbalut lumpur itu kini tengah memegang benda yang Bapaknya sebut dengan Indomie. 

Pak Karto ikut tertawa melihat tingkah Wulan. “Ya, ini bukan Mi ya,” sanggahnya sembari mencubit pipi gadis yang ada di depannya. “Ini namanya benalu. Emm ..  ‘Tali Putri’, parasit yang biasanya hidup di tanaman tertentu. Termasuk pagar rumah kita ini!” 

“Parasit itu apa?” 

“Parasit itu … emm ….” Pak Karto melihat seekor kucing yang sedang lewat di hadapan mereka. “Seperti kutu yang ada di bulu kucing. Dia menghisap darah kucing dan bersarang di sana.” 

“Jadi … parasit itu bikin gatal tanaman ya? Kalau tanaman gatal, siapa yang menggaruk-garuk? Apa tanaman juga punya tangan?” 

Pak Karto terdiam sembari menyunggingkan senyum di bibirnya. “Emm, Wulan pingin Indomie?” 

Anggukan kepala gadis polos itu sudah menggambarkan apa jawaban dari pertanyaan sang Bapak. 

“Ayo ikut Bapak!” 

Tangan kekar itu meraih lima jari kiri anak gadisnya yang penuh dengan lumpur tanah. Sedang tangan kanan Wulan tengah memegang benalu kuning yang telah merusak tanamannya. Sembari berjalan ia terus memperhatikan benda yang ada di tangannya. 

“Mau ke mana?” 

“Nanti kalau sudah sampai, kamu akan tahu sendiri! Kamu cuci tangan dulu!” perintah sang Bapak. 

Wulan melepas genggaman itu. Tangan mungil itu segera memasukkan sepuluh jarinya ke dalam gayung berisi air, hanya seper empat bagian. 

“Sini!” Sang Bapak mengucurkan air yang mengalir dari pipa kecil, yang menjalar di depan rumah mereka. Tak hanya membersihkan tangan Wulan, Pak Karto juga membasuh wajah Wulan yang tampak kotor. 

Setelah itu, kedua tangan mereka saling bergandengan lagi. Tubuh mereka memasuki sebuah rumah, dengan dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu. 

Sesampainya di dalam rumah, mereka melihat seorang wanita yang sedang sibuk menghidupkan api di depan tungku berbahan tanah liat.  Wanita itu menoleh saat menyadari kedatangan dua orang yang memasuki areanya. “Loh, Ibu belum selesai masak. Kalian lapar?” 

Sang Bapak duduk berjongkok menghadap gadis mungil yang sedari tadi ia gandeng. “Wulan, ini!” Tangan sang Bapak meletakkan empat buah uang koin, 100 rupiah, di atas tangan kanan wulan. “Bapak kasih tugas untuk Wulan, tugasnya membeli Indomie goreng ke warung Pak Kasrip.” 

“Hore!” teriak Wulan. “Indomie goreng?” Kedua bola mata wulan terlihat membelalak. 

“Iya …. Indomi Goreng … Satu!” Pak Karto menoleh ke arah Istrinya. “Ibu, saya beri tugas untuk mengambil telur di kandang ayam. Dan Bapak akan menghidupkan api ini!” 

Istri Pak Karto tersenyum melihat kedua orang yang ada di hadapannya. “SIAP!” Wanita itu memberi hormat kepada sang suami. 

“Wulan mau ke Kasyip, beli Indomie.” Gadis polos itu mengepalkan tangan kanannya yang memegang empat uang koin pemberian Bapaknya. 

“Wulan, jangan lupa ganti baju dulu sebelum ke warung! Nanti bisa-bisa kamu dikejar-kejar ayam kalau enggak pakai baju,” nasehat sang Ibu saat melihat baju yang dikenakan oleh anak gadisnya. “Sini Ibu bantu ganti baju!”

Setelah memakai celana dan kaos berwarna hijau muda, wulan segera berlari keluar rumah. Bibirnya mengucapkan mantra ‘Indomie … Indomie  ….’. Kata-kata itu ia ulang-ulang sampai di warung, satu-satunya warung yang menjual Indomie goreng di desa mereka. 

*** 

“Aromanya …. Hemm,” ucap Wulan yang sudah berada di atas kursi. Hidung Wulan tampak mengempis saat mencium aroma Indomie goreng yang sedang diaduk oleh Ibunya. “Tetangga pasti mencium aroma ini,” tambah wulan. Beberapa detik kemudian, ia turun dari atas kursi kayu yang ada di dekat meja. 

“Mau kemana?” tanya Ibunya. 

“Bentar Buk,” sahut Gadis itu sembari berlari keluar rumah. Dia berjalan ke samping rumahnya dengan langkah kaki yang pelan. 

Sesampainya di luar rumah Pak Karto bertanya, “Kenapa kamu berlari?” 

“Bapak mencium aroma ini tidak?” 

Lelaki itu tersenyum. “Tentu saja Bapakmu ini mencium aroma khas ini, Indomie kan yang sedang dimasak oleh Ibumu?” 

“Hemm … bener-bener tercium sampai ke luar ya Pak. Apa kita harus memberi tetangga? Mereka mencium aromanya?” 

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, “kalau mau kasih, jangan tanggung-tanggung. Sekardus ya!” Suara salah satu tetangga yang rumahnya hanya berjarak dua setengah meter dari rumah Wulan. 

“Nanti kalau wulan sudah punya banyak uang. Bu Lek saya kasih 1 kardus!” 

Suara tawa terdengar di gendang telinga Wulan. 

“Iya, saya tunggu loh!” 

Wulan melihat Bapaknya yang sedang tersenyum bersama dengan celurit di tangan kanannya. “Ayo Pak! Makan! Mumpung masih hangat!” bisik Wulan dengan kedua tangannya yang ada di belakang bokongnya. Tubuhnya condong empat puluh lima derajat ke arah sang Bapak. 

*** 

Tandonsentul, 10 Agustus 2022 

“Ya ampun, kamu masih ingat dengan candaan itu?” tanya tetangga Wulan yang bernama Bu Saras. 

Wulan tersenyum. “Iya ingat lah Bulek, bagaimana saya bisa lupa. Indomie itu bagaikan surga bagi saya dan keluarga saya. Dan … momen-momen bersama Indomie ini akan selalu saya kenang. Termasuk …. Janji saya pada Bulek.” 

“Terima kasih banyak ya Indomienya. Memang Indomie nomor 1.” Bu Saras memegang sisi atas kardus Indomie goreng yang ada di atas meja, di depan rumahnya. 

“Iya, bener sekali.” 

Wulan yang dulunya hanya memakai kaos dan celana dalam berwarna merah muda, kini telah menjadi wanita dewasa dengan balutan kerudung merah muda, yang menambah keanggunannya. 

“Nduk!” panggil sang Ibu. “Indomienya sudah jadi,” teriak sang Ibu dari jendela dapurnya yang kini telah berubah menjadi dapur modern, lengkap dengan kompor gasnya yang berwarna putih. Tidak ada lagi asap yang menyelimuti atap rumah mereka, yang ada adalah aroma Indomie yang akan terus mewarnai bilik rumah mereka. 

Wulan terseyum dan berpamitan kepada Bu Saras. Langkah kakinya berjalan ke arah sumber suara yang baru saja memanggilnya, untuk mengenang aroma yang masih melekat dari balik bilik bambu rumahnya di masa lalu. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Magical Foods #CeritadanRasaIndomie
3
4
Kisah Yola bersama Rolie, hewan imajinasinya, adalah sepenggal cerita dari banyaknya kisah masyarakat Indonesia bersama Indomie, yang selalu menemani dari waktu ke waktu. Bentuk boleh saja menyerupai, tapi rasa tidak akan pernah sama. Ini benar-benar khas, dan hanya Indomie yang bisa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan