Desire Love (Part 5-8)

13
5
Deskripsi

Bagi Frederick, anak kekasihnya benar-benar berbahaya untuk pikirannya yang mudah berfantasi liar pada wanita itu.

Part 5

Benar apa kata adiknya, Frea kalau sudah tidur susah bangun. Buktinya wanita itu masih saja terlelap sampai sekarang, meski tadi mobilnya sempat mengerem mendadak untuk menghindari kendaraan roda dua yang tiba-tiba menyalip di depannya, sedikit pun tidak terusik atau sekadar membuka mata sekejap saja. Frederick merasa Frea seperti baru saja minum obat tidur atau terkena bius.

"Bisa-bisanya dia tetap pulas dalam kondisi berdua denganku. Apa dia tak takut jika ku perlakukan yang tidak-tidak?" gumam Frederick saat kendaraannya telah terparkir di gedung apartemen miliknya.

Saat memastikan ke samping, wajah manis nan imut wanita itu tetap sama, tidak ada perubahan sedikit pun. Tidur dalam posisi mulut sedikit terbuka, tak sampai lebar atau kelihatan gigi. Makin menggemaskan pokoknya, mana jadi tambah seperti anak kecil pula.

"Kalau sadar pasti dia sudah mengomel padaku karena diajak pulang ke sini. Benteng pertahanannya tinggi saat mata terbuka saja, tapi kalau sudah ke alam mimpi tak ada sisi waspadanya sama sekali." Frederick bergeleng, merasa bahaya jika Frea seperti itu ketika bersama pria lain.

"Untung kamu bersama dengan saya," imbuh pria dua puluh sembilan tahun itu.

Di mana untungnya? Justru bahaya kalau dibiarkan berduaan, mengingat usia Frederick yang tidak muda lagi, dan pria normal pula. Malah gawat kalau dia tak bisa menahan diri. Apa lagi memiliki ketertarikan pada seorang Freada, walau sebatas kagum pada sosok itu, bukan jatuh cinta.

Frederick tidak pernah serius pada wanita mana pun. Dia petualang, kalau sudah bosan ditinggalkan. Mungkin begitu juga yang akan dilakukan pada Frea, sekarang ia sedang menikmati moment seru berhadapan dengan bocah sembilan belas tahun, sampai saatnya nanti sudah tidak tertarik lagi, barulah dia lepaskan wanita itu tanpa gangguannya.

Tadinya Frederick mau membangunkan dengan mengusap pipi secara halus, tapi urung saat mengingat kata adiknya. Frea kalau dibangunkan pasti ling-lung dan mengeluh sakit kepala terus. Alhasil ia turun saja dahulu, lalu menggendong wanita itu.

"Enteng sekali badannya, kalau ditindih badanku apa dia tak langsung merintih?" Sial, pikiran Frederick malah liar sendiri. Seseru itu berurusan dengan Frea, sampai-sampai baru pertama kali ini ia berfantasi tanpa perlu wanita itu menggoda.

Untung saja masih lelap, kalau Frea dengar, pasti sudah mengeluarkan umpatan dan melabeli Frederick dengan kata murahan.

Hobo bag Frea ia sampirkan di pundak kanan, sementara barangnya justru ditinggalkan dalam mobil, cukup membawa dompet serta ponsel. Dari sekian banyak wanita yang pernah digendong, baru ini yang sangat nyaman. Rasanya pas sekali tangannya melingkar di lekukan belakang lutut dan leher. Mana kulitnya juga mulus, putih, bersih. Sial! Memancing birahi jika menengok ke bagian kaki.

Frea sedang memakai rok span yang panjangnya sampai lutut, sedikit tertarik ke atas karena posisi sekarang sedang tertekuk. Alhasil, pahanya terekspose sebagian.

Setengah mati Frederick memalingkan pandangan agar tak tertarik ke sana terus. Saat di dalam lift pun berusaha menatap lurus ke depan.

Awalnya hanya ia seorang, tapi sekarang ada penghuni lain yang masuk ke lift. Pria, dan Frederick bisa melihat kalau mata jelalatan memerhatikan kaki Frea.

"Jaga pandanganmu dari istriku!" tegur Frederick dengan nadanya yang dingin menusuk dan tatap yang menyeramkan seperti mau makan orang. Entahlah, bibirnya asal ceplos saja barusan, bukan bermaksud mengaku-aku sebagai suami, tapi dengan berkata begitu bisa lebih leluasa melarang orang supaya tidak menatap lapar ke arah Frea.

"Oh ... itu istri lo? Gue pikir dia wanita bayaran yang tak sadarkan diri karena mabuk. Baru mau minta nomornya, siapa tahu setelah ini dia nambah slot open BO. Rencananya gue bersedia bayar dia sejuta," ucap pria itu. Mimiknya memang terlihat nakal, sepertinya sudah biasa menggunakan jasa yang begitu untuk memuaskan diri. "Cantik soalnya, mulus banget tu paha. Masih muda pula, pasti nikmat banget tuh digoyang."

Padahal Frederick bukan siapa-siapa bagi Frea. Mereka juga sebatas terhubung karena si pria pacaran dengan mama si wanita. Namun, mendengar ada kaum berbatang yang berbicara melecehkan, rasanya tidak terima.

Rahang Frederick mengeras dan sorot matanya makin berkilat marah. "Jaga ucapan kamu! Dia wanita baik-baik." Kemudian bibirnya tersenyum sinis. "Satu juta? Miskin jangan banyak gaya. Yang begini hanya dihargai semurah itu? Pelecehan namanya."

"Emang pasarannya segitu, kan? Sejuta sejam juga udah mahal itu."

"Diam! Dia bukan wanita yang seperti kamu katakan," hardik Frederick.

Baru kali ini dia membela orang lain. Biasanya kekasihnya dibiarkan begitu saja kalau ada yang menilai buruk. Hasrat tak terima ketika Frea diinjak-injak terlalu mendominasi. Agak berlebihan memang, tapi dia merasa senang saat melakukan itu. Seperti sedang melindungi martabat orang yang penting baginya.

"Mana ada cewek baik pake rok ketat begitu." Tak segan pria itu menunjuk paha Frea.

"Apa hubungannya pakaian dengan perilaku? Jangan dikaitkan, yang berbusana tertutup belum tentu dia suci, begitu pula sebaliknya."

Padahal bukan tugas Frederick untuk membela nama baik Frea, tapi spontan saja ingin melakukan itu. Bahkan kalau bisa melayangkan tinjuan pun bakal dilakukan. Sayangnya, kedua tangan sedang bekerja menopang bobot tubuh Frea.

"Yaelah ... santai aja, Bray! Ngomongnya gak perlu pake otot. Lagian lo gak keliatan kaya suami dia, malah cocok gue sebut gadunnya. Muka lo terlalu dewasa buat cewek ini yang imut." Pria dalam lift itu tertawa sendirian, mengejek Frederick tentunya.

Frederick makin panas saja. Matanya mulai setajam elang. Tidak terima, perasaan mukanya tak setua itu hingga dianggap jomplang sekali disandingkan dengan yang muda. "Kamu ada masalah dengan saya? Mari kita selesaikan setelah saya menidurkan dia ke kamar."

"Eits ... jagoan ni kayanya." Pria itu mengangkat kedua tangan ke atas. "Sorry banget, gue lagi males duel. Kapan-kapan aja."

Ting!

Kebetulan denting lift disertai pintu terbuka di lantai tujuan Frederick. Dia segera keluar sebelum makin kesal melihat pria penghina Frea.

"Jangan sampai saya melihat wajahmu lagi, atau kamu tahu sendiri akibatnya." Sempat-sempatnya Frederick mengancam sebelum pintu lift tertutup lagi.

Dia pergi ke unit apartemen tempat tinggalnya. Menekan tombol-tombol angka untuk membuka akses pintu.

Frederick merebahkan Frea ke satu-satunya ranjang di dalam sana, dengan hati-hati. Dia lepaskan juga flatshoes hitam dari kaki wanita itu.

Rencananya hanya mau sekadar mengenakkan tidur Frea dengan menyelimuti, tapi malah menelan ludah ketika mata tertuju ke paha.

Seperti ada lambaian dan bisikan untuk mengusap kulit mulus itu. Dadanya bergemuruh, jakun pun naik turun, dan seketika merasakan sesak di celananya.

Segera Frederick menggeleng untuk menyingkirkan pikiran-pikiran kotor. "Wanita muda adalah maut, kalau Frea orangnya." Dia tarik selimut hingga menutupi leher Frea, lalu beranjak pergi dari kamar supaya tak semakin liar.

.

.

Part 6

Frea mengerjapkan mata perlahan. Dia merasa badan sangat hangat, tapi kepala dingin. Jelas saja bisa begitu, Frederick mengatur AC di kamar pada suhu paling dingin dan yang tertutup selimut hanya sebatas leher.

Ketika matanya telah terbuka, Frea mengamati ke area sekitar. Wanita sembilan belas tahun itu mengerutkan dahi kala menyadari bahwa saat ini tidak berada dalam kamarnya, atau kamar teman dekatnya yaitu Anna.

"Wait ... apa aku diculik oleh si Om menyebalkan itu?" gumam Frea. Selalu saja berpikiran buruk tentang kekasih mamanya, karena memang di matanya Frederick tidak ada baik-baiknya.

"Perasaan aku minta diantar ke apartemen Anna, kenapa sekarang bisa di dalam kamar yang entah milik siapa?" Sepertinya Frea lupa kalau dia tidur terlalu lelap hingga tidak merasa terganggu sedikit pun dengan segala apa pun yang terjadi di sekitar. Padahal, banyak sekali kejadian yang semestinya bisa membuatnya bangun, akan tetapi wanita itu tetap memejamkan mata.

Frea bisa sangat yakin kalau itu kamar Om Frederick, karena melihat ada lukisan besar wajah pria itu yang tertempel di salah satu sudut dinding. Tidak mungkin salah, pasti benar dugaannya.

"Dia tidak melakukan hal senonoh, kan?" Frea sedikit panik. Langsung cek kondisi tubuhnya dengan mengintip selimut.

Saat melihat pakaian masih utuh, Frea bernapas lega. "Untung saja."

Wanita muda itu mengusap dada, lalu merubah posisi menjadi duduk, barulah Frea menyibakkan selimut dan menurunkan kaki ke lantai.

Dengan rambut terurai, Frea berjalan meninggalkan ranjang. Dia harus mencari si pemilik kamar yang membawanya ke tempat itu. Harus diomeli karena seenaknya dan tidak minta izin dahulu padanya.

"Om?" panggil Frea dengan suaranya yang biasa saja. Tidak berteriak karena hunian itu hanyalah apartemen, bukan rumah luas. Jadi, cukup intonasi normal pun mestinya bisa kedengaran.

"Hm?" Frederick menjawab dengan gumaman. Pria itu belum tidur sampai sekarang, susah karena tidak di tempat yang nyaman. Dia rela merebahkan badan tingginya di sofa, membiarkan ranjang empuk digunakan oleh Frea. "Kenapa?"

Frea menghampiri si Om dengan wajah bersungut marah. Dia duduk di sofa yang cukup untuk satu orang. "Lo kok gak nganterin gue ke tempat Anna? Malah dibawa pulang ke apartemen lo?"

"Saat perjalanan kamu tidur," jawab Frederick santai. Dia tidak merubah posisi, tetap rebahan di sofa. Kakinya yang panjang bahkan sampai melebihi batas paling ujung sofa.

"Ya bangunin 'kan bisa."

"Kata Anna, kamu kalau sudah tidur susah bangun, dan jika dibangunkan pasti mengeluh pusing sepanjang hari."

"Anterin ke tempat Anna kalo gitu, bukannya diculik ke apartemen lo." Reaksi Frea memang lumayan berlebihan, bukan tak tahu terima kasih, tapi itu karena dia tidak terbiasa ada di dalam satu ruangan yang sama dengan lawan jenis, berdua saja. Ini kali pertama, dan itu cukup mengerikan, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Frederick berubah duduk, sambil menggelengkan kepala memerhatikan wajah Frea yang kesal. “Siapa yang menculik kamu? Mana ada orang diculik ditempatkan ke ranjang yang empuk, kamar luas, diselimuti agar hangat. Sementara penculiknya tersiksa tidur di sofa?” Dia menepuk sofa yang diduduki agar memperjelas kalau tidak ada niat jahat sedikit pun.

“Ya itu salah lo yang gak nganterin gue sesuai permintaan.” Frea tidak mau disalahkan kalau si Om jadi pegal-pegal karena rebahan di sofa.

Frederick menghela napas. Sebenarnya apa yang bocah itu mau? Marah-marah terus padahal dirinya sedang tidak menggoda. “Ya sudah, tidak perlu ribut. Kembali saja ke kamar, lanjutkan tidurmu.” Sedang malas berdebat, ngantuk.

“Gak mau!” tolak Frea. “Gue mau ke apartemen Anna, takut digrepe-grepe sama lo, Om-om ‘kan kebanyakan mesum.” Dia melihat tasnya tergeletak di lantai, sepertinya Frederick yang meletakkan asal. Lantas Frea berdiri, hendak mengambil itu dan mau pergi dari sana.

Meski benar Frederick pria dewasa yang orientasi seksualnya normal, bukan berarti dia predator seperti yang dipikirkan Frea. Pikiran mesum pada wanita muda itu jelas ada, akan tetapi berusaha ia redam sendiri.

“Lihat jam kalau mau pergi, ini sudah pukul dua pagi, Anna pasti sudah tidur juga.” Frederick berdecak, berurusan dengan bocah memang begitu, ribet, banyak drama, tapi seru kalau orangnya Frea.

“Yaudah gue balik ke rumah, daripada di sini sama lo. Gue gamau tiba-tiba digerebek terus disangka kumpul kebo dan berakhir dinikahin paksa kaya di novel-novel.” Frea bergidik ngeri, membayangkan harus menjadi istri Om Frederick pun rasanya geli sendiri.

“Kamu terlalu banyak membaca cerita fiksi, hingga isi otakmu terkontaminasi kehaluan.” Frederick memijat pelipisnya yang pusing. Sumpah, harus banyak sabar memang menghadapi wanita muda. Dia beranjak berdiri, lalu bergegas menahan tangan Frea agar tak pergi dari apartemennya.

“Tunggu ada matahari terbit, baru saya antar pulang. Rumahmu juga sepi, kan? Saya tahu Mama kamu sedang dinas ke luar kota. Untuk sementara, istirahat di sini dulu.”

“Gue berani sendirian,” bohong Frea. Padahal dia paling takut kalau malam tiada orang yang menemani. Sebab, dahulu saat kecil sempat mau diculik orang. Jadi, agak trauma.

Frederick menarik tas wanita itu. “Saya tidak membiarkan kamu pulang.” Suaranya mulai tegas dan matanya juga mengintimidasi.

“Gue gak butuh izin lo, karena lo bukan siapa-siapa gue.” Frea berusaha merebut tasnya, walau selalu tidak berhasil karena Om Frederick mengangkat benda itu ke atas, sementara tingginya hanya sedada pria itu.

“Saya kekasih mama kamu, jadi kita ada hubungan.”

“Pacar doang, bukan berarti lo berhak ngatur gue karena lo bukan bokap gue.”

“Tapi saya jauh lebih baik dari Papa kamu yang tidak bertanggung jawab.”

“Tau apa lo tentang keluarga gue?”

Sudah seperti Tom and Jerry saja, selalu ribut. Frederick tidak menjawab pertanyaan itu karena sebenarnya ia tak tahu apa-apa tentang orang tua Frea. Tadi hanya asal bicara saja.

“Intinya, kamu tetap di sini sampai matahari terbit. Tidak ada penolakan atau ….” Frederick menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan wajah Frea. Dia memasang wajah berseringai mengerikan layaknya pria mesum.

Frea yang tidak pernah mau menunjukkan getar takut pun malah membusungkan dada layaknya menantang. “Atau apa?”

“Atau saya buat kamu tidak bisa berjalan?”

“Emangnya bisa? Lo mau matahin kaki gue?”

“Tentu saja bisa. Tidak perlu dengan mematahkan kaki.”

“Terus? Lo mau ngikat kaki gue?”

Frederick bergeleng kepala, lalu semakin mendekatkan bibir ke telinga wanita muda itu. “Kamu mau tahu dengan cara apa?”

Tak sadar Frea reflek mengangguk.

“Dengan menelanjangimu, menghentakmu secara brutal hingga kesakitan, maka setelah itu ku pastikan kamu tidak mungkin bisa berjalan.” Bukannya membuat Frea merasa aman bersama dengan dia, malah makin ditakuti. Dasar Om-om tak pernah berurusan dengan wanita muda, makanya begitu tidak tahu cara mengambil hati yang baik dan benar. Biasanya menggaet yang lebih dewasa lebih mudah, diberikan uang dan diajak ke ranjang, beres.

Frea mendorong dada bidang Frederick agar menjauhkan kepala dari telinganya. Bisikan pria itu membuatnya merinding. “Jangan macem-macem lo, Om!” Dia menyilangkan kedua tangan di dada sebagai antisipasi.

“Kamu tidak mau hal seperti itu terjadi, kan?”

Frea menggeleng.

“Maka, menurut saja denganku.” Lirikan mata Frederick tertuju ke kamar. “Masuk kamar dan lanjutkan tidurmu.”

“Tapi lo beneran gak bakal ngapa-ngapain gue, kan?” Frea harus memastikan itu.

“Asal kamu tidak membangkang. Lagi pula, dadamu tidak begitu menarik perhatian, mau dipegang pun pasti tak ada isinya.” Frederick menunjuk dada Frea yang terlihat tidak menonjol karena menggunakan kemeja berukuran agak besar.

Merasa diejek, Frea tidak terima. “Emangnya lo pernah liat isi dalem kemeja gue? Sembarangan aja kalo ngomong.”

Mulai asyik, Frederick tersenyum miring, diikuti kedua tangan terlipat di dada. “Jadi, isinya besar?”

“Jelas iya, jangan ngejek. Meski baru sembilan belas tahun, bukan berarti gue krepes, ya!” Frea hanya tidak suka kalau dihina, itu salah satu bentuk perlawanan, bukan ingin mempromosikan miliknya yang belum pernah dilihat oleh orang lain kecuali diri sendiri.

“Oh, ya? Kalau begitu, mana coba saya lihat,” tantang Frederick.

.

.

Part 7

Gara-gara diintimidasi oleh si Om, Frea jadi tidak bisa melanjutkan tidur. Meski tubuh berada di atas ranjang yang empuk dengan selimut tebal nan hangat, akan tetapi tingkat kewaspadaannya begitu tinggi. Sumpah, takut sekali kalau tiba-tiba si pemilik apartemen masuk ke kamar dan berbuat hal senonoh padanya.

Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Om Frederick juga membuatnya langsung lari terbirit-birit mengamankan dadanya supaya tidak diintip oleh pria mesum. Apa katanya? Mau lihat? Mimpi! Dia tak semurah itu untuk memperlihatkan bagian-bagian inti dalam tubuhnya.

Frea memang sudah mengunci pintu kamar, namun tetap saja tidak merasa aman. Bisa jadi ada kunci cadangan.

Entah yang dikatakan Om Frederick sungguhan atau sekadar bercanda, tapi Frea sangat terusik. Takut ditelanjangi dan dibuat tidak bisa berjalan. Membayangkan saja seram sekali.

"Sial, tasku masih di luar pula," gerutu Frea saat merasa bosan. Semestinya ia bisa bermain ponsel sambil menanti waktu hingga matahari terbit. Dia lalu berdecak, merutuki kebodohannya karena tadi tak kepikiran membawa masuk tasnya.

"Kalau aku keluar, pasti tidak aman." Frea menghempaskan kepalanya ke bantal sambil menghela napas kasar. "Argh ... kenapa aku harus terjebak di apartemen predator mesum?"

Saking kesalnya, Frea memukul ranjang. Dia ingin berteriak, tapi ditahan karena khawatir suaranya terdengar sampai luar.

Biasanya Frea tidak begitu menantikan matahari terbit, baru kali ini rasanya tidak sabar melihat langit gelap terganti terang. Meski tinggal beberapa jam saja menuju itu, bagi Frea terasa seperti lama sekali.

"Padahal biasanya gak kerasa, tiba-tiba udah ganti hari. Kenapa sekarang waktunya kaya kena efek slow motion?" gumam Frea lagi dan lagi.

Demi menjaga kewaspadaannya, Frea memutuskan untuk mencari remot televisi. Untung saja ia melihat di kamar itu ada televisi, jadi bisa digunakan untuk mencari hiburan.

Oke, dapat. Diletakkan di atas meja rupanya, tak perlu susah payah Frea menemukan remot. Wanita itu lantas menghidupkan dan mencari tontonan. Berhubung si om langganan netflix, cari saja drama korea asal.

Niatnya menonton agar bisa menjaga mata tetap terbuka lebar, tapi pada kenyataannya justru sebaliknya. Frea tidak sadar jika dia terlelap dengan sendirinya karena yang ia tonton tidak membuat penasaran dengan kelanjutan ceritanya.

Alhasil, gagal sudah mau buru-buru pergi tepat saat matahari terbit.
.....
Selain sofa yang tak muat menampung tubuh tingginya, pikiran kotor Frederick juga menjadi salah satu penyebab dirinya masih terjaga sampai sekarang. Dia akui kalau saat ini sedang membayangkan yang tidak-tidak tentang Frea.

Kira-kira berapa ukuran bra wanita itu?

Apakah kedua tangannya pas dalam tangkupan buah di dada wanita itu?

Bahkan yang tak kalah kotor adalah pikiran tentang bayangan Frea kalau tanpa sehelai benang pun. Akan seseksi apa?

Frederick sampai memukul kepala sendiri karena tidak bisa mengendalikan semua itu. Keliarannya benar-benar di luar kebiasaan. Baru kali ini ia bisa berpikir kotor pada wanita muda, biasanya mana tertarik karena menurutnya tidak menggoda.

Sial! Tapi Frea berbeda, Frederick juga tidak tahu kenapa. Rasa penasarannya benar-benar membuncah. Bagaimana nikmatnya bermain dengan wanita yang sepuluh tahun lebih muda darinya? Apakah akan seru?

"Shit!" umpat Frederick sambil mengusap wajah kasar.

Pria itu merubah posisi menjadi duduk, memjiat pelipis yang berdenyut. "Apa aku tuntaskan rasa penasarannya saja? Kalau tidak enak, tinggalkan seperti wanita-wanita yang biasa ku hempas. Tapi jika membuat ketagihan, lanjutkan."

Memang bedebah si om satu itu. Bisa-bisanya kepikiran sampai sana. Jujur saja Frederick frustasi mengatasi isi otaknya yang lebih liar dari biasanya.

Frederick juga tak paham kenapa bisa begitu. Semua terjadi secara tiba-tiba. Hasratnya benar-benar sulit dikontrol. "Atau mungkin efek sudah lebih dari tiga bulan aku tidak bisa bergairah dengan siapa pun?"

Mungkin, bisa jadi. Frederick padahal pemain wanita, sudah banyak korbannya yang dicampakkan setelah dipakai. Tapi sudah beberapa bulan terakhir dia tidak bisa tegang, sepertinya jenuh juga bisa menjadi penyebabnya. Makanya saat ada Frea yang menarik, membuatnya mudah berpikir liar lagi.
.....
Frea gelagapan saat kelopak matanya terbuka. Dia seperti orang panik dan langsung duduk saat itu juga tanpa menanti nyawa terkumpul sempurna.

"Kok gue bisa ketiduran, sih ... anjir." Frea menengok ke kanan dan kiri, mencari letak jam. "Udah jam tujuh, gue harus buru-buru cabut dari sini sebelum si Om nahan lagi."

Mana ada Frea kepikiran cuci muka. Yang terbesit hanyalah ingin cepat bebas dari apartemen itu. Padahal ia tidak diapa-apakan juga, tapi tetap saja merasa seperti dikurung dan tak aman kalau belum menghirup udara di luar.

Begitulah jika sudah tidak suka dengan orangnya, ditambah negative thinking terus. Sangat hati-hati dan maunya menjaga jarak aman.

Frea membuka pintu dengan terburu-buru. Tidak ada lagi yang bisa menahannya, dengan alasan apa pun. Toh ini sudah pagi.

Frea tidak peduli si Om Frederick sedang berada di mana. Mau sudah bangun atau belum, tak ia cari. Dia hanya fokus menemukan tasnya.

"Itu dia," ucap Frea ketika menemukan tasnya. Sepasang kakinya bergegas menghampiri sofa, lalu menyambar benda tersebut.

Sebelum beranjak pergi, Frea tentu bisa melihat kondisi sofa panjang yang semalam digunakan untuk si om rebahan. Sudah kosong, tandanya pria itu telah bangun.

Masa bodoh, Frea tak mau pamit. Kalau perlu, biar saja si predator mesum itu kelimpungan mencarinya saat menyadari dirinya sudah tidak ada lagi di sana.

Tapi ternyata, rencana Frea gagal. Keluar dari apartemen itu nampaknya tak semudah yang dibayangkan.

"Mau ke mana kamu?" tanya Frederick dengan suara beratnya.

Tiba-tiba pria itu sudah menghadang jalan Frea.

"Pulang, mau ke mana lagi?" sewot Frea sambil memasang tatapan sengit penuh permusuhan.

"Buru-buru sekali."

"Lagian ngapain juga lama-lama di sini. Gak ada faedahnya, yang ada bisa timbul fitnah malahan."

Frederick cenderung santai menghadapi sifat Frea yang menggebu dan berapi-api tiap kali bicara dengannya. Padahal baru berapa kali bertemu, tapi dirinya mudah sekali menyesuaikan dengan kebiasaan wanita yang mudah marah-marah padanya. Lama-lama bisa nyaman kalau begitu terus.

Karena pria berbadan tinggi itu berdiri di hadapannya, lantas Frea memilih untuk jalan sedikit serong kanan untuk melewati. Tapi, Frederick justru mengikuti ke mana arahnya bergerak. Frea lantas menghindar lagi dengan memilih sebelah kiri, masih saja manusia satu itu menghadang. Terus seperti itu hingga membuatnya muak.

"Mau lo apa sih, Om?!" sentak Frea yang kesabarannya setipis debu dibagi seribu. Kedua tangan berkacak pinggang menandakan saat ini amarahnya benar-benar memuncak. "Lo ada masalah sama gue?"

Frederick mengangguk pertanda iya, dan itu berhasil membuat kerutan di kening seorang Frea. Tentu saja bingung, apa salahnya sampai pria itu tidak mau melepaskan dirinya begitu saja? Perasaan Frea tidak berbuat salah apa-apa. Justru si om yang selalu cari gara-gara dengannya.

"Kamu mau tahu masalahnya di mana?" tanya Frederick. Satu sudut bibirnya sengaja ditarik membentuk senyum miring yang membetuk wajahnya jadi makin ngeri.

Frea berusaha memasang benteng keberanian setebal mungkin. Tidak boleh menunjukkan goyah apa lagi takut, agar tak dipermainkan terus oleh predator mesum satu itu.

"Apa?"

Frederick membungkukkan badan dan mendekatkan wajahnya semakin berada di depan mata wanita itu. Sepasang kornea matanya bisa melihat kilatan geram dari tatapan Frea, dan itu sangat menyenangkan, menghibur, dan semakin memacu dirinya untuk terus berdekatan dengan Frea.

"Karena kamu menarik." Sambil mengatakan itu, Frederick menyentuh dagu Frea, sengaja ditahan karena saat ini ia tengah menikmati mimik sebal yang ditampilkan. Ah ... rasanya ingin setiap hari melihat pemandangan itu.

Jawaban Frederick membuat satu alis Frea terangkat, lalu tarikan bibirnya begitu sinis. "Lo suka sama gue?" Bukankah pertama kali mereka bertemu, pria itu mengatakan tidak suka dengan wanita yang lebih muda? Lantas sekarang kenapa tiba-tiba mengatakan dirinya menarik? "Orang kaya lo ternyata plin-plan, ya!" hardiknya kemudian.

"Memangnya siapa yang mengatakan suka padamu?" Frederick menarik mundur kepalanya dan kembali berdiri tegak. Dia memang suka sekali mengaduk-aduk emosi orang. Bahkan sekarang jiwanya merasa lebih hidup karena hal itu.

Frea otomatis harus mendongak ke atas agar bisa menatap wajah pria itu. "Lo yang bilang gue menarik."

"Apakah menarik tandanya suka? Belum tentu."

"Terus?"

"Kamu menarik untuk dijadikan mainan."

Frea nyaris mengumpat. Kata-kata kasar sudah ada di ujung lidahnya dan sebenarnya sangat siap untuk ia serang ke Frederick. Tapi sengaja ditahan dengan mengepalkan kedua tangan serta tatapan matanya yang teramat tajam. Jika diladeni, pasti pria itu makin senang, lebih baik tahan emosi walau rasanya susah sekali.

Sumpah, dari sekian banyak pria yang pernah Frea temui, baru kali ini ada spesies penguji kesabaran yang sangat membandel bagaikan kerak tahunan yang sulit disingkirkan.

Frea menarik napas sedalam mungkin, dihembuskan lagi, begitu seterusnya. Barulah sekarang ia memasang senyum palsu untuk mengelabuhi pria itu.

Dan tiba-tiba, saat Frederick merasa dirinya aman, sebuah serangan mendadak datang dari bawah.

"Go to hell, jerk!"

"Argh ... shit! Masa depan saya," raung Frederick sambil memegangi area yang seketika terasa nyeri.

Frea tadi menendang area yang berada di pangkal paha. Masa bodo itu masa depan si om. "Sebelum lo jadiin gue mainan, lo duluan yang gue jadiin samsak hidup."

.

.

Part 8

Selagi ada kesempatan untuk kabur dari si om predator mesum, Frea harus segera memanfaatkan itu. Dia bersiap mengambil langkah lari, dan tentu mengabaikan Frederick yang masih mengeram kesakitan.

"Rasain! Makanya jangan macem-macem sama gue." Frea menyempatkan untuk mengacungkan dua jari tengahnya, barulah dia melangkah lebar.

Tapi, sialnya, Frederick berhasil menarik baju Frea dan lagi-lagi wanita itu ditahan. "Kenapa kamu buru-buru sekali mau keluar dari sini?"

"Harusnya yang tanya itu gue, kenapa lo sengaja banget nahan gue di sini?" Frea sambil menatap pria itu dengan sorot berapi-api.

"Karena saya mau mengajakmu sarapan. Sudah saya siapkan makanan untukmu." Frederick menunjuk arah meja makan, di sana sudah ada dua gelas dan dua piring.

Pria itu sengaja bangun pagi-pagi sekali demi membuatkan sarapan Frea. Entah kenapa ingin saja melakukan itu. Anggap saja sedang berusaha menjamu tamu dengan baik. Tapi memang caranya untuk menahan Frea salah. Bukannya membuat wanita itu nyaman dan merasa aman di dalam apartemennya, malah membuat Frea jadi was-was sekaligus kesal dalam satu waktu.

Bukan salah Frea kalau dia menganggap Frederick predator mesum dan wajib dihindari, pria itu sendiri yang selalu membuat situasi ketika berdua menjadi terasa buruk. Bahkan ketika tahu dibuatkan sarapan pun, Frea tidak terkesima atau tertarik untuk menikmati hidangan tersebut.

"Lo berharap gue mau?" Frea tersenyum sinis. "Gak! Lebih baik balik dalam kondisi perut laper daripada makan masakan lo yang belum tentu enak. Atau bisa aja udah lo racun."

"Saya sudah susah payah menyiapkan itu, hargai," peringat Frederick.

"Idih ... gila dihargai lo?" Frea memutar bola mata malas. "Lagian bukan gue yang minta, lo sendiri yang inisiatif lakuin itu."

Frederick bukan manusia yang kesabarannya setebal isi dompetnya, tapi untuk marah-marah juga bukan gayanya. Dia tidak senang itikad baik ditolak, maka sekarang main gendong saja anak orang. Meski yang di bawah sana masih agak sedikit nyeri, tapi ia abaikan demi menuntaskan rasa penasarannya. Dia ingin tahu bagaimana sarapan berdua dengan wanita muda, apakah seru atau tidak. Walau ternyata awalnya banyak sekali drama, namun baginya masih bisa ditoleransi karena ia menikmati proses hingga Frea berhasil didudukkan ke ruang makan.

"Diam, dan makan sarapanmu!" titah Frederick dengan suara tegasnya.

"Gak! Pasti di sini ada racunnya," tolak Frea.

"Saya bukan kriminal, apa lagi pembunuh. Makanan itu aman, atau perlu dibuktikan?"

"Coba dulu buktiin, lo yang makan."

Frederick benar membuktikan dengan menyendok nasi goreng itu, lalu menyuapkan ke dalam mulutnya sendiri. "Lihat? Saya baik-baik saja. Jadi, habiskan, baru setelah itu kamu boleh pergi dari sini."

"Makan bekas lo? Ogah." Frea melengoskan wajah, diiringi kedua tangan sengaja dilipat ke depan dada.

Frederick menarik napas dalam, lalu dihembuskan lagi. Demi apa pun, sebenarnya dia benci wanita banyak drama, tapi ini Frea, dan seakan otaknya memberi pengecualian pada yang satu itu. Meski baginya wanita muda tersebut menyebalkan, akan tetapi masih saja menggebu ingin berinteraksi berdua.

"Jika kamu tidak segera memakannya, saya akan suapi dengan mulut saya. Pilih mana? Makan sendiri atau disuapi?"

"Ish! Tukang ngancem!" Frea menggerutu, giginya sengaja dieratkan. "Iya, gue makan, tapi ini karena terpaksa."

Akhirnya Frea mau menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya. Baru sekali kunyah, dia sampai terdiam. Dinikmati rasanya. "Lo beli di mana?" tanyanya sambil menyuap untuk yang kedua.

"Buatan saya sendiri. Bagaimana, enak?"

Serius? Frea rasanya tak percaya. Jujur, enak, tapi ia tak mau memuji. "Justru ini nasi goreng paling gak enak yang pernah gue makan." Itu yang ia ucapkan sebagai penilaian buruk.

"Oh ... tidak enak, ya?" Frederick sambil menahan senyum dan mengamati Frea yang sedari tadi tidak berhenti mengunyah.

"Hm ... asin, nasinya kurang pera, kecapnya kebanyakan, kurang pedes. Pokoknya nilai minus seratus dari sepuluh." Padahal kebalikannya. Tapi memang dasar Frea tak bisa pro dengan si om, makanya yang disampaikan buruk semua.

"Tidak enak tapi kamu makannya lahap sekali dari tadi."

"Tadi lo minta dihargai 'kan? Ini gue sedang mencoba menghargai niat baik lo kasih makan gue."

Frederick hanya bergeleng kepala tanpa menimpali lagi. Dia lalu ikut menikmati hidangan di piring depannya. Berisi sama.

Frea sudah menandaskan sarapannya. Maka langsung berdiri saat itu juga. "Gue balik sekarang. Jangan lo halangi lagi."

"Mau saya antar?" tawar Frederick.

"Gue berani sendiri. Nanti kalo lo anter malah gak sampe tujuan lagi."

Frea tidak mengucapkan terima kasih atas sarapan pagi atau tumpangan tidur semalam. Ia merasa semua itu memang salah Frederick, jadi untuk apa berterima kasih?

Wanita berusia sembilan belas tahun itu berhasil melangkah hingga mendekati pintu, tanpa halangan. Namun, sebelum meraih handle, suara si pemilik apartemen membuatnya menengok ke belakang.

"Hari ini kamu menyakiti saya, Frea. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan burung kesayangan saya, kamu harus tanggung jawab." Pria itu berbicara masih dalam posisi duduk di ruang makan. "Saya hanya ingin mengatakan itu." Frederick juga mengangkat tangan pertanda mempersilahkan wanita itu pergi.

Hari itu Frea meninggalkan apartemen si om predator mesum dengan terus berpikir sepanjang jalan. Dia tidak sempat memberi tanggapan pada ucapan terakhir pria itu, malah buru-buru keluar.

"Dia yang salah, kenapa gue yang diminta tanggung jawab?" gerutu Frea sambil menendang kerikil kecil yang ada di jalan.

"Gak mungkin dia minta dinikahin sama gue, kan?" Frea bergidik ngeri. "Kata tanggung jawab biasanya mengarah ke sana soalnya."
.....
"Lo kok bisa punya abang senyebelin itu, sih ...." Frea mengeluh pada teman dekatnya, Anna.

Tadi dia langsung ke apartemen Anna, tanpa kembali ke rumahnya terlebih dahulu. Frea rasanya ingin menumpahkan segala protes pada sahabatnya itu.

"Emang abang gue kenapa? Perasaan dia orangnya baik dan gak pelit." Anna menyodorkan satu kaleng minuman soda, lalu menghempaskan badan di samping Frea.

"Idih ... baik dari mana? Dia tuh nyebelin banget, tingkat dewa. Gue emosi terus sama abang lo." Sambil mengoceh, Frea membuka kaleng soda di genggamannya, lalu meneguk seperti orang kehausan.

"Nyebelinnya gimana dulu? Gue sebagai adiknya gak pernah ngerasa dia buruk."

"Gue mau keluar dari apartemen dia, dihalangi terus. Katanya udah malem, oke kalo itu gue masih terima. Tapi, tadi pagi? Gue mau cabut juga masih aja dihalangin. Sampe gue mau makan sarapan buatan dia, baru dibebasin." Frea bercerita dengan nada kesalnya yang menggebu-gebu.

Sementara Anna yang mendengarkan justru terkekeh. "Di mana letak nyebelinnya, sih? Menurut gue, dia nahan lo buat mastiin lo tetap baik-baik aja. Malem itu rawan banget ada orang jahat, terus sarapan? Menurut gue itu hal langka, karena setau gue, Abang gak pernah mau buatin makanan buat orang lain." Dia menggeser posisi duduk hingga lebih dekat lagi dengan Frea. Tiba-tiba telapaknya menepuk pundak sahabatnya. "Jadi, lo salah satu orang yang beruntung bisa ngerasain masakan dia."

Frea masih saja tidak satu paham dengan Anna. Terlanjur benci, makanya mau orang bilang Frederick baik, di matanya tetap saja buruk.

"Menurut gue, dia emang sengaja bikin gue kesel terus. Orang abang lo terang-terangan mau jadiin gue mainan dia," ungkap Frea.

"Duh, Fre ... kayanya lo benci abang gue berlebihan, deh. Sumpah, jangan anti anti banget sama laki. Semuanya lo benci. Dari Kak Leon yang ketua BEM ganteng parah, padahal dia ngejar-ngejar lo gak pernah nyerah, sekarang abang gue juga lo benci?" ucap Anna.

Dan wanita itu kembali menambahkan omelannya. "Menurut gue, yang nyebelin justru lo. Bisa gak biasa aja sama laki? Misal gak suka ya udah, gak perlu sampe benci setengah mati gitu." Anna menggelengkan kepala, kemudian mengacak-acak rambut sahabatnya. "Gue sumpahin lo bakal bucin mampus sama abang gue."

"Amit amit ...." Frea mengusap dadanya sambil mengkomat-kamitkan bibir. "Mending jadi perawan seumur hidup aja."
..... 
Empat belas hari yang tenang bagi Frea karena ia tidak diganggu oleh Frederick. Dia bisa menjalankan keseharian tanpa rasa dongkol sedikit pun. Walau tak bisa menyingkirkan Kak Leon yang tiap hari ketemu di kampus, setidaknya ketua BEM satu itu bukan pria yang menyebalkan seperti om predator mesum. Dia masih bisa mengatasi jika didekati Kak Leon, berbeda dengan pacar mamanya yang seperti kerak membandel.

"Lo gak penasaran abang gue di mana?" goda Anna pada sahabatnya yang sedang fokus menyendok es krim.

"Enggak, ngapain juga gue mau tahu tentang dia. Malah seneng kalo abang lo menghilang untuk selamanya," sahut Frea santai.

"Dih ... parah banget, sumber duit gue tuh, bisa nangis kalo dia ngilang." Anna menyenggol lengan teman dekatnya itu agar berhenti makan yang manis-manis terus. "Lo kapan bisa tertarik sama laki, sih?"

Frea menggedikkan bahu. "Gak akan pernah kayanya."

"Hidup sendirian gak enak, beneran." Anna berusaha menakut-nakuti, agar sahabatnya berubah pikiran.

"Ada nyokap gue, ada lo juga."

"Umur gaada yang tahu, nyokap lo idup sampe kapan juga gabisa diprediksi. Terus gue juga sama, atau mungkin suatu saat nanti gue bakal sibuk sama keluarga baru yang akan gue bangun di kemudian hari."

Frea mengerutkan dahi dan menatap Anna penuh selidik. "Lo kenapa ngomongin umur? Aneh banget, gak biasanya juga lo maksa gue buat mulai belajar buka hati ke cowok." Dia menempelkan talapak ke kening sahabatnya. "Sakit? Demam?"

"Ish! Gue khawatir sama masa depan lo. Takut lo kesepian karena lo ga punya sodara."
.....
Selama dua minggu itu Frederick memang sedang tak ada di Jakarta. Kebetulan pekerjaannya padat, harus meninjau lokasi proyek baru. Katanya ditemukan sumber minyak yang sangat melimpah, jadi ia ingin meninjau ke sana. Kemudian juga harus ke lokasi tambang emas, nikel, batu bara, timah. Banyak sekali yang perlu ia tinjau.

Dua minggu bahkan tak cukup, kini sudah satu bulan saja Frederick tidak berjumpa dengan Frea.

Setelah pekerjaannya yang begitu melelahkan, akhirnya pria itu kembali ke Jakarta. Baru juga mendarat di bandara, yang Frederick tuju bukan tempat tinggalnya, melainkan rumah kekasihnya.

"Sepertinya saya perlu mengisi energi dengan menggoda Frea dan melihat wajah kesalnya." Memang agak lain om satu itu. Dahulu cara ia menghilangkan penat adalah menyewa wanita atau bersenang-senang di atas ranjang. Tapi sekarang kebiasaan itu terasa tak menyenangkan lagi, justru mengusili anak kekasihnya jauh lebih menggembirakan.

Dia naik taksi sampai ke rumah tujuan. Dan kini Frederick telah berdiri di depan pintu. Kehadirannya disambut hangat oleh Amora, mamanya Frea.

"Aku kangen banget." Wanita tiga puluh delapan tahun itu memeluk sang kekasih.

Frederick tidak membalas, entahlah, rasanya biasa saja dipeluk kekasihnya, tangan juga terasa berat diangkat. "Aku mau masuk." Justru itu yang dia katakan.

"Ayo, kita ke kamar," ajak Amora. Dia tarik tangan Frederick hingga ke dalam dan pintu tertutup lagi. "Kamu pasti lelah, dan butuh service."

Padahal tujuan ke sana bukan untuk meminta dipuaskan. Frederick menarik tangannya dan diangkat ke atas supaya tidak digandeng lagi. "Aku duduk di sofa saja." Dia hempaskan tubuh ke sana.

Mata Frederick lantas menengok ke seluruh penjuru. Perasaan hari sudah malam, tapi kenapa ia tidak melihat seonggok wanita muda yang sedang dinanti kemunculannya.

"Putrimu ke mana?" tanya Frederick tiba-tiba.

Amora sedang di dapur mengambil minuman dingin. "Frea?"

"Iya, memangnya anakmu ada berapa?"

"Frea di Bandung, nginep di villa sahabatnya." Amora berjalan menghampiri sang kekasih, sambil membawa minuman. "Jadi, aman kalau mau main di rumah ini. Kita mau mendesah dengan suara lantang juga tak bakal ada yang mendengar."

Frederick seketika berdiri, padahal kekasihnya baru saja mau duduk di pangkuannya. "Sepertinya aku masih ada perlu di luar," kilahnya. Dia melihat jam seakan sedang buru-buru, padahal hanya tengah memastikan apakah masih bisa ke Bandung sekarang juga atau tidak.

"Kerja lagi?" tanya Amora dengan tatapannya yang kecewa. "Aku ikut, ya?" pintanya kemudian. "Aku masih kangen banget."

"Jangan." Pria itu berjalan cepat meninggalkan rumah kekasihnya. Yang dicari tidak di sana, untuk apa juga berlama-lama.

Seperti itulah Frederick, ketika ia merasa membutuhkan wanita maka akan didekati, tapi kalau sudah tak diperlukan lagi maka diperlakukan sesuka hati. Dasar manusia tak berhati, hanya mementingkan kesenangan pribadi.

Frederick menghubungi adiknya. Bukan bertanya apakah Frea sedang bersama dengan Anna atau tidak, tapi ia hanya memastikan apakah sang adik tengah menginap di villa keluarga yang ada di Bandung. Ternyata jawabannya iya. Maka, ia tahu ke mana harus pergi.

Malam itu juga Frederick kembali ke apartemen hanya untuk mengambil mobil, lalu langsung ke Bandung. Kurang lebih empat jam tiga puluh menit tanpa berhenti. Untung lancar dan tak macet.

Sampai di villa, yang pertama kali bertemu Frederick adalah si Mbak. Itu panggilan untuk orang yang ditugaskan bersih-bersih di sana sekaligus diminta untuk menempati supaya tidak kosong.

"Adik saya menginap di sini, Mbak?" tanya Frederick.

"Iya, Tuan. Sama pacarnya dan temannya."

"Sekarang mereka di mana?"

"Belum pulang, dari siang keluar jalan-jalan."

"Oh ...." Frederick melihat ke setiap pintu kamar. "Mbak tahu teman Anna tidur di kamar yang mana?"

"Yang itu, Tuan." Si Mbak menunjuk pintu di lantai dua. "Kalau Nona Anna dan pacarnya—" Dia mau memberi tahu jika pasangan yang belum menikah itu berada di satu kamar di lantai bawah, tapi Frederick sudah memotong.

"Biarkan saja, asal tidak hamil duluan." Agak lain memang kakak yang satu itu.

Bahkan sampai membuat si Mbak melongo mendengar respon santai tersebut.

"Jangan bilang kalau saya di sini," pinta Frederick. Mobilnya? Tenang, dia akan pindah ke samping agar tidak terlihat saat mereka pulang.

"Loh, Tuan. Itu 'kan kamar temannya Nona Anna. Kenapa ke sana?" tanya si Mbak.

Frederick berdesis dengan menempelkan telunjuk ke bibir. "Jangan banyak tanya, jangan ikut campur urusan orang lain juga." Dia lalu mengibaskan tangan. "Lebih baik kamu pergi saja."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Desire Love
Selanjutnya Desire Love (Additional Part 8)
34
11
Saya mau menuntut tanggung jawab darimu.Gue gak ngehamilin lo, ya! Buat apa minta tanggung jawab?Bukan karena itu. Saya minta tanggung jawab karena kamu sudah menendang burung kesayangan saya. Lalu sudah satu bulan dia tidak mau berdiri, itu pasti karena ulah kamu.Kok gue yang lo salahin? Lo impoten kali.Saya tidak mau tahu, Frea ... kamu harus membuat burung kesayangan saya bisa berdiri lagi. Atau selamanya kamu akan terjebak bersama dengan saya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan