
Frea yang anti asmara harus berurusan dengan seorang Frederick yang selalu mempermainkan wanita. Inilah awal mula kisah mereka.
Part 1
"Siapa lagi yang dibawa pulang, Ma?" tanya wanita muda sambil menapaki anak tangga.
Freada Carolyn Dean, satu-satunya anak dari pemilik rumah itu. Ia baru saja turun dari kamarnya yang berada di lantai dua. Langsung mengernyit heran ketika melihat ada seorang pria jangkung berpakaian serba rapi, kemeja dengan dasi yang masih mencekik leher, jas tanpa kusut sedikit pun, rambut klimis oleh pomade, wajah datar penuh wibawa, cara duduk juga menunjukkan kalau orang itu berasal dari kalangan atas. Ditambah aroma dari parfum pria itu bisa dicium oleh hidungnya sejak menuruni tangga.
Frea bergerak menuju sofa di mana tamu mamanya berada. Siapa pun yang diajak ke rumah, dia selalu harus kenal. Alasannya sederhana, ingin memastikan ada hubungan apa dengan orang tuanya. Dia sangat sayang dengan sang Mama, makanya tidak mau kalau ada yang bermaksud jahat mendekati atau memanfaatkan mamanya.
Tatap Frea menyelidik, begitu pula dengan pria yang pasti bukan seumuran dengannya, nampak lebih tua, matang, dan dewasa. Keduanya malah saling beradu tatap, seperti tengah bermusuhan.
Ternyata mamanya tak ada di sana, pantas saja pertanyaannya tidak dijawab. Entah sedang pergi ke mana, mungkin di kamar atau keluar sebentar membeli sesuatu. Dan di ruangan itu hanya ada mereka berdua, dalam posisi saling berhadapan.
Frea menanti beberapa saat, siapa tahu manusia satu itu mau memperkenalkan diri, seperti pria-pria lain yang sering diajak mampir ke rumah oleh Mama.
"Lo bisu?" Frea menaikkan sebelah alis saat pria itu tetap bungkam.
Bukannya dijawab, malah dibalas senyum miring. Sial, membuat Frea kesal saja.
"Gak ada niatan mau ngenalin diri, gitu? Nama? Rumah? Pekerjaan? Hubungan dengan nyokap gue apa? Cuma pengen tau itu doang, gak lebih." Lagi-lagi dipancing agar bicara, tapi yang didapatkan justru pria itu melipat dua tangan di dada, makin kelihatan angkuh.
Frea mencebikkan bibir sebal. Baru kali ini ia berhadapan dengan spesies kaum berbatang yang suaranya mahal. Malah jadi kesal sendiri karena sedari tadi ditatap tanpa berkedip, tajam, dan seperti ingin memangsanya.
"Gue colok juga biji mata lo." Saking gemasnya, Frea mengancam dengan dua jarinya diarahkan pada pria itu.
Pria itu mengangkat kedua tangan seakan mempersilahkan dan menantang. Tentu tanpa suara.
"Fix! Lo pasti tuna wicara, atau bisa jadi lidah lo pendek dan malu kalo ketahuan cadel. Pasti takut wibawa lo bakal runtuh keinjek-injek di atas tai sapi, ya, kan?" Makin banyak saja tuduhan Frea. Salah sendiri bungkam terus. Lagian mamanya lama sekali tak muncul.
Oke, untuk memastikan, Frea berdiri dan memutari meja hingga kini berpindah duduk di sofa yang sama. "Coba sini gue cek lidah lo, atau tenggorokan lo, kali aja ada yang salah, makanya diem terus dari tadi."
Dengan berani Frea mencengkeram rahang pria itu, dia tekan pula demi bisa membuat mulut terbuka. Karena tak kunjung berhasil, ia semakin mengikis jarak duduk hingga tak terasa satu kakinya yang sengaja dinaikkan ke atas sofa telah mendempel pada paha.
Saat itu juga, Frederick sengaja mengambrukkan badan ke belakang sampai tertidur. Frea yang tak siap pun otomatis jatuh di atas pria itu.
"Baru juga pertama bertemu, udah ngajak tidur bareng aja," seloroh Frederick. Wajahnya tengil sekali, apa lagi saat tangannya sengaja menahan pinggul wanita di atasnya. Menunjukkan kemenangan.
"Eh berengsek! Lo yang tiba-tiba tidur, ya! Dan bikin gue jatoh di badan lo." Frea mengomel. Ia berusaha bangkit dari tubuh kekar. "Gue kira lo bisu, ternyata sekali ngeluarin suara malah bikin gue pengen ngamuk, rasanya mau nyakar muka lo yang nyebelin itu."
"Coba saja kalau berani," tantang Frederick. Sejak tadi ia diam karena malas berurusan dengan bocah. Ternyata lama-lama malah ia gemas sendiri dengan wanita muda itu, tak tahan ingin mengusili.
"Oh ... nantang lo?" Frea masih berada di atas badan kekar, pria itu tidak segera melepaskan dirinya, bukan ia yang keenakan. Ya memang terasa nyaman, tapi bukan berarti dirinya semurah itu untuk pasrah tiduran di tubuh orang. "Kuku gue panjang, sekali nyakar bisa bikin lo berdarah." Dia naikkan tangan dan menunjukkan di depan mata.
"Silahkan sakiti semaumu." Frederick tersenyum smirk dan mendekatkan bibir di telinga wanita muda yang imut dan menggemaskan itu. "Tapi, jangan salahkan aku jika kamu akan berakhir telanjang. Berurusan dengan pria dewasa pasti berujung di atas ranjang dengan dua paha terbuka lebar."
"Ngancem lo?" Frea bergidik ngeri. Membayangkan saja bikin dia jijik. Dia tak polos-polos amat, masih mengerti apa maksud pria itu.
"Tidak, itu hanya peringatan." Frederick menatap lekat wanita muda itu dengan seringai ngerinya.
Membuat Frea memukul dada pria itu sebagai pemberontakan. "Lepasin gue!" Takut juga lama-lama di atas badan kekar berotot. Mana dia sempat merasakan ada yang berkedut pula di bawah sana.
"Kamu yang tadi memegangku terlebih dahulu. Aku hanya mengajarkanmu bagaimana caranya menyentuh pria dengan baik dan benar," sahut Frederick begitu santai. Malah makin menikmati wajah panik menggemaskan di depan matanya.
"Lo bener-bener ngeselin, sumpah." Frea menumpukan kedua telapak tangan dan mendorong bobot tubuhnya ke atas, tapi pelukan pria itu malah semakin kencang. "Baru kali ini gue ketemu om-om yang berani melakukan hal tak senonoh sama anak-anak. Pedofil lo?"
"Justru sebaliknya, aku tak suka dengan wanita yang lebih muda."
"Kalo gak suka, lepasin!" pinta Frea.
Saat Frea melotot dan tidak melakukan pemberontakan, jadi dilihat oleh seseorang yang baru saja keluar dari sebuah pintu kamar, nampak seperti wanita murahan yang sedang menggoda pria. Itu Amora, mamanya.
Amora langsung melengkingkan suara untuk menegur. "Frea ... apa-apaan kamu?!" Lebih tepat jika itu disebut marah.
Sontak Frederick melepaskan pelukannya dari pinggul ramping, dan Frea segera turun yang berakhir ambruk ke lantai.
"Aw ... sial, kepentok meja." Frea memekik pelan dan mengusap kepalanya.
"Jangan ganggu pacar Mama," omel Amora saat sudah dekat dengan sang putri. Dia jewer telinga Frea hingga anaknya berdiri.
"Justru dia yang gangguin aku, Ma," adu Frea sambil menjinjit agar telinganya tidak putus karena jeweran mamanya yang menyakitkan.
Oke, sekarang Frea tahu hubungan antara si pria menyebalkan itu dengan orang tuanya. Sepasang kekasih. Dia tidak akan terkejut mendengar fakta tersebut. Sudah biasa juga mamanya gonta-ganti pasangan sejak menjanda. Asal jangan sampai jadi Papa tirinya saja, bisa tak betah di rumah kalau ada manusia itu.
Orang tuanya cerai, entah sedari kapan. Yang pasti, Frea sejak kecil sampai besar diurus oleh mamanya. Itulah kenapa ia sayang sekali dengan Mama, meski tidak selalu diperlakukan baik. Dia tahu menjadi single mother itu berat, makanya Frea tidak ada cita-cita untuk mencicipi perihal asmara, daripada berakhir seperti sang Mama.
"Mana mungkin Frederick ganggu orang. Dia ini pria berwibawa, terhormat. Jangan mengada-ada kamu." Amora mendudukkan sang putri di sofa yang berhadapan dengan kekasihnya.
Frea mengusap telinga yang langsung merah karena kulitnya sangat putih. "Beneran. Tadi aku cuma ngajak dia kenalan, tapi malah diem aja, terus—"
Amora memotong penjelasan itu dengan mengangkat tangan. "Udah gak usah cari pembelaan."
Frederick memandang wajah Frea yang cemberut. Ia jadi kasian dengan wanita itu. "Jangan marahi anakmu terus. Anggap saja tadi aku dan dia sedang bercanda untuk saling mengenal satu sama lain."
"Om, mending lo diem aja deh. Mengenal? Gue tanya nama aja, lo malah bisu." Frea itu kalau sedang sebal dengan seseorang bisa langsung mengutarakan di depan orangnya langsung, tanpa ngedumel di belakang. Itu jauh lebih puas meluapkan emosinya. "Lo kalo ngomong cuma bikin gue kesel doang."
"Frea!" seru Amora dengan sepasang bola matanya mendelik memberi peringatan. "Jangan kurang ajar kamu, yang sopan sama Om Frederick."
Oh ... jadi namanya Frederick? Pantaslah kelakuan menyebalkan. Meski sang Mama mengatakan pria itu sangat berwibawa, tapi menurutnya manusia satu itu menyebalkan. Buktinya bikin dia diomeli.
"Ayo minta maaf," paksa Amora.
Mendorong napas kesal, Frea terpaksa mengatakan, "Sorry." Nadanya jelas tidak ikhlas.
"Yang bener," omel Amora lagi.
Frederick tidak mau memperpanjang masalah sepele itu. Apa lagi melihat Frea memutar bola mata malas. "Sudah biarkan saja, ayo kita berangkat sekarang, acaranya dimulai tiga puluh menit lagi." Dia alihkan pembicaraan pada tujuan awal, mau menjemput untuk ke acara pesta yang diselenggarakan oleh salah satu kolega bisnisnya.
Amora berhenti memarahi sang putri. Tadi dia lama tak muncul karena sedang mandi dan bersiap-siap pergi ke pesta, makanya lama sekali.
"Mama pergi dulu," pamit Amora. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu berdiri sambil menggandeng lengan Frederick.
"Ma? Tidak mau mengenalkan aku dengan kekasih barumu? Biasanya selalu dikenalkan," teriak Frea saat orang tuanya telah melangkah menjauh.
Amora lantas berhenti bergerak dan berbalik badan diikuti oleh sang kekasih. "Frea, ini Frederick Gautier, pacar baruku, dan mungkin bakal menjadi Papa barumu."
"Amit, amit, jangan sampai kejadian." Frea bergumam lirih agar tak terdengar mamanya.
Berganti Amora mengenalkan putrinya. "Erick, dia Freada Carolyn Dean, anak satu-satunya, masih kecil, baru sembilan belas tahun." Dahulu ia menikah muda, makanya anak sudah kuliah tapi dirinya masih cantik dan bugar.
"Ingat, kamu kekasihku, jangan sampai tertarik sama anakku, apa lagi nyentuh dia, paham?" peringat Amora kemudian.
"Saya juga tidak tertarik dengan wanita muda, pasti hanya akan menyusahkan saja." Memang benar kata Frea, lebih baik pria itu diam daripada bicara tapi selalu membuat kesal.
"Dih! Siapa juga yang bakal demen sama om-om? Misal di dunia ini cuma ada lo, mending gue jomlo sampe mati daripada darah tinggi sama kelakuan unik lo."
.
.
.
Part 2
"Woy, Anna! Lo di mana? Gue baru kelar rapat BEM, kita jadi ngerjain laporan bareng, kan?" Frea masih berada di sekitar kampus, padahal hari sudah menunjukkan petang, belum terlalu larut, hanya saja matahari sudah tenggelam sejak satu jam yang lalu.
Frea terlihat sedang menelepon teman dekatnya yang kenal saat pertama kali orientasi mahasiswa. Kebetulan satu jurusan dan banyak mata kuliah yang satu kelas juga.
"Gue lagi keluar makan sama Dion, tau sendiri dia tantruman kalo lagi laper. Takutnya ntar malah makan gue kalo gak ditemenin." Begitu jawaban dari Anna.
"Sial! Terus gue gimana dong ke apartemen lo? Tahu gitu tadi berangkat naik motor aja." Kebetulan tadi Frea dijemput Anna.
"Naik grab aja."
"Nyokap belum kasih duit jajan, ongkos gue pas-pasan ini. Lo 'kan bilangnya mau nebengin gue, kirain bakal nungguin sampai rapat BEM kelar."
"Tadinya emang mau nungguin, tapi Dion rewel banget ni kek bocah. Udah grab aja, sih ... gampang dah masalah bayarnya, ntar gue yang tanggung."
"Gak gitu juga kali, Na ... lo udah sering banget bayarin gue."
"Yaelah, santai aja. Keluarga gue punya perusahaan tambang batu bara."
"Tetep aja gue gak enak, anjir ...."
"Yaudah terus mau gimana? Jalan kaki? 'Kan gak mungkin. Apartemen gue jauh dari Trisakti."
"Gue cari tebengan anak BEM yang jalan baliknya ke arah SCBD aja, siapa tahu ada yang kosong dan mau nampung seonggok Frea."
"Eh ... jangan! Nanti banyak yang tau tempat gue. Lagian 'kan gue yang ngajak ngerjain laporan bareng, biar gue cariin tumpangan dah. Bentar nelpon supir di rumah ada yang bisa jemput ke Trisakti gak."
"Malah jadi ngerepotin."
"Udah santai aja. Bentar gue matiin dulu, nanti dikabarin lagi. Lo jangan pergi ke mana-mana, tunggu di sana aja."
Panggilan pun berakhir. Frea mencari tempat duduk yang terang dan masih banyak orang supaya tidak menyeramkan kalau menunggu sendirian.
Bisa dibilang Frea beruntung sekali bisa berkenalan dan menjadi teman Anna. Meski dari keluarga kaya, wanita itu tidak pernah memandang rendah dirinya yang berasal dari keluarga biasa saja. Mamanya hanyalah sekretaris di sebuah perusahaan batu bara yang kantor pusatnya ada di Jakarta.
"Frea? Nunggu siapa?" Tiba-tiba seorang pria dengan jaket BEM itu duduk di samping Frea. "Belum pulang?"
"Kalo udah pulang gak mungkin masih duduk di sini." Frea menjawab dengan nada ketus, sepasang bola matanya berotasi tak senang atas kehadiran orang tersebut. Kak Leon, ketua BEM yang usianya satu tahun di atasnya, cowok populer di kampus.
Bukan sok kepedean, tapi Kak Leon kelihatan jelas lagi usaha ngedeketin Frea. Makanya dia sinis begitu, karena seorang Freada Carolyn Dean adalah manusia yang anti dengan asmara. Males banget cinta-cintaan, bikin ribet doang.
Leon terkekeh. Udah diketusin begitu, masih aja betah duduk di sana, malah semakin tertarik mengajak bicara Frea. "Ini udah malem, loh."
"Ya, tau, mata gue gak buta juga. Masih bisa liat langit dan jam di hp." Sumpah, Frea males banget diajak ngobrol basa-basi begitu.
"Lo gak takut di kampus gini? Mau gue anterin balik, gak?" tawar Leon yang tak gentar mepet cewek tercantik di kampus, walau bukan yang terkaya, tapi yang penting wajah Frea gak ngebosenin buat diliatin tiap detik. Adem, putih, bibirnya pink, cuma agak judes aja kalau sama laki-laki. Itulah tantangannya, makanya ia kuat mepet Frea terus dari pertama kali wanita itu masuk kampus, kalau perlu sampai berhasil dapat.
"Gak, makasih. Lagian di kampus masih rame orang," tolak Frea tanpa basa-basi.
"Yakin? Gue bisa buat mereka semua cabut dari sini, nanti kalau di sini sepi terus lo sendirian, gimana? Gak takut ada setan?"
"Gue lebih takut ada lo daripada setan, sih." Frea mengibaskan tangan, mengusir Kak Leon. "Sana ganggu yang lain aja, Kak. Gue males banget ngeladenin lo."
"Kenapa lo benci banget sama gue, sih?" tanya Leon, dia memegang pundak Frea secara paksa dan mengarahkan agar menatapnya. "Gue salah apa? Coba bilang?"
Frea menggeleng. "Lo gak salah apa-apa, gue aja yang gak demen deket-deket sama laki."
"Jangan bohong."
"Siapa yang ngibul, sih?"
"Bilang aja kurangnya gue di mana?"
"Gak ada, lo sempurna banget malah, kata cewek-cewek di kampus, ya ... bukan gue yang bilang."
"Terus, kenapa lo kaya najis gitu gue deketin?"
"Karena gue gak mau cinta-cintaan, Kak. Nyokap gue kerja banting tulang tiap hari buat kuliahin gue, harapannya biar jadi anak yang pinter dan berilmu, bukan buat cari gebetan."
Leon sampai menghela napas tiap kali berusaha mendekari Frea. Selalu berakhir gagal. "Gue gak akan menghambat kuliah lo, sumpah." Dia mengangkat jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V. "Bahkan gue bakal support lo sampai sukses, beneran."
"Gue gak butuh support dari lo, Kak, makasih." Kalau biasanya cewek-cewek kampus akan histeris dan langsung mau-mau aja dideketin cowok spek Kak Leon, berbeda dengan Frea. Mau seganteng apa pun, itu gak ngaruh. Lihat aja Anna, tiap hari ribet sama pacarnya yang tukang tantrum. Frea hanya ingin kuliah dengan benar, lulus tepat waktu supaya Mama tidak perlu lagi keluar uang tiap semester, lalu kerja biar gak nyusahin orang tua lagi.
Beres, sesimple itu keinginan Frea. Makanya selama kuliah gak pernah macem-macem.
"Dicoba dulu, sih ... sebulan aja jadi cewek gue. Misal gak cocok, boleh putusin, kalau nyaman tinggal lanjutin sampai nikah, gimana?" Kak Leon itu tipikal laki-laki pejuang yang gak pantang menyerah.
Frea malas meladeni ketua BEM itu. Dia bermain ponsel, mengirimkan pesan pada Anna, bertanya apakah jadi ada yang menjemput atau tidak. Misal tidak ada, ia akan naik trans Jakarta saja yang murah, meski harus transit dan pindah-pindah bis.
Tak berselang lama, layar ponsel Frea nyala, ada panggilan masuk dari Anna. Cocok, dia segera berdiri untuk menghindari Kak Leon.
"Gue mau angkat telpon dulu, Kak, minggir." Frea jalan melewati Kak Leon saat pria itu memberikan ruang untuk jalan.
"Frea ... dijemput abang gue, ya," beri tahu Anna.
"Ha? Abang? Sejak kapan lo punya kakak?"
"Dari dulu. Udah lo tunggu di di depan kampus, dia bentar lagi nyampe, soalnya tadi dia bilang lagi ada di deket Trisakti, makanya mau sekalian nebengin. Karena gue paksa juga sebenernya, biasanya dia gak mau dimintain tolong, tapi pas gue kirim foto lo tiba-tiba mau."
"Ok, gue tunggu di depan kampus. Lagian di dalem digangguin Kak Leon mulu, berisik banget dia."
"Ih ... tau gitu gue minta Kak Leon aja buat nganterin lo. Dia 'kan cinta mati sama lo."
"Jangan macem-macem," tegur Frea.
Dibalas kekehan oleh Anna. "Yaudah, sampai jumpa di apartemen gue. Btw, abang gue naik Mercedes Maybach S-class warna selenite grey. Pakai jas navy, rambutnya klimis pake pomade, ganteng, tajir."
"Lo malah kedengeran lagi promosiin abang lo ke gue, anjir ...."
"Ya siapa tahu lo jadi tertarik sama laki well done yang udah mapan."
"Gak, kayanya gue bakal hidup sendiri sampai kapan pun. Males jadi janda kaya nyokap." Frea sedari tadi mengobrol sambil jalan ke arah depan kampus.
"Eh abang gue katanya udah sampai di depan, nih. Lo udah di mana?"
"Bentar, ini mau nyampe." Frea mendadak tertegun saat melihat seorang pria keluar dari mobil mewah yang sama persis seperti dideskripsikan oleh Anna. Beberapa kali ia mengerjapkan mata, takut salah. "Eh, Na, abang lo namanya siapa?"
"Frederick Gautier."
"Frederick Gautier."
Frea dan Anna menyebutkan bersamaan.
"Kok lo udah tau? Barusan kenalan?" tanya Anna.
"Anjir ... tau gitu gue mending jalan kaki daripada dijemput abang lo."
"Emang kenapa?"
"Gak papa." Frea sebal saja dengan om-om satu itu. Masih teringat jelas pertemuan pertama mereka saat di rumah.
"Yaudah, tenang aja, aman sama abang gue. Kalo dia macem-macem, tinggal patahin aja burungnya."
"Ngaco lo." Tiba-tiba panggilan sudah diakhiri oleh Anna. Lalu tatapan Frea tertuju pada om-om yang sekarang sedang berdiri di samping mobil.
"Mau berdiri di situ terus? Atau masuk?" Frederick membukakan pintu, seakan mempersilahkan Frea.
"Ah elah ... kenapa harus lo yang jadi kakaknya Anna. Gue males banget lagi ketemu om-om ngeselin," gerutu Frea. Udah tadi di dalam digangguin Kak Leon, sekarang malah berhadapan dengan kekasih mamanya yang sangat ia benci. Nasib begini amat, apes terus seharian ini.
"Saya sudah berbaik hati mau menjemputmu ke sini di sela kesibukanku yang padat. Cepat masuk!"
"Dih ... nyuruh, lagian gue gak minta dijemput lo juga sih."
Frederick melipatkan kedua tangan. Kali ini tatapannya penuh ancaman. "Saya hitung sampai tiga, tidak segera masuk, jangan salahkan jika ku angkat tubuhmu itu."
"Selain ngeselin, ternyata lo tukang ngancem, ya."
"Kamu harus tahu, Frea ... saya orangnya tidak sabaran. Jadi, pilih mana? Masuk sendiri atau harus dipaksa? Saya tidak masalah kalau harus membopong badanmu yang sangat enteng itu."
"Enteng? Kaya tau aja bobot gue," cibir Frea.
"Saya memang tahu, karena kamu sudah pernah tidur di atas badan saya."
Seketika mata Frea mendelik. Ia gelagapan melihat ke sekitar, memastikan tidak ada yang mendengar ucapan om-om menyebalkan itu. "Om, kalo ngomong dijaga, nanti ada yang denger, berabe."
"Kenyataannya memang seperti itu." Frederick justru tersenyum miring, sangat menikmati wajah wanita muda itu yang nampak kesal dengan dirinya. Seru juga menggoda bocah, sepertinya aku mendapat ide untuk hobi baru yang lebih mengasyikkan.
.
.
.
Part 3
Leon ternyata mengikuti ke mana Frea pergi, karena ingin memastikan wanita yang ia kejar-kejar selama empat semester itu baik-baik saja. Mengingat hari sudah gelap, siapa tahu membutuhkan bantuannya juga, misal mau minta diantar pulang. Tapi, yang ada justru dirinya mendengarkan sebuah perdebatan, sekaligus hal yang mencengangkan untuk diterima, seandainya benar seorang Freada pernah tidur dengan pria lain. Hatinya tidak terima, walau sekarang statusnya bukan siapa-siapa, tetapnya ia ingin jadi yang pertama.
Tak tinggal diam, Leon lantas semakin mendekat dan berada di samping Frea. "Lo beneran tidur sama om-om ini?" tanyanya dengan tatapan setengah tidak percaya. Dia ingin memastikan, walau hati menampik dan meyakini kalau semua itu tidak mungkin dilakukan oleh Frea.
"Menurut lo?" Frea malah balas mengajukan pertanyaan. Lagi pula Kak Leon ngapain nyamperin sampai depan kampus? Dia tidak mau menyangkal atau membenarkan, toh bagus kalau ketua BEM satu itu ilfeel pada dirinya setelah ini. Jadi, tidak akan diganggu lagi.
"Menurut gue, gak mungkin. Lo adalah jenis wanita yang susah diluluhin. Frea yang gue kenal, gak semurah itu sampe tidur sama laki," ucap Leon.
"Yaudah, terus ngapain nanya kalo lo udah tau jawabannya?" Frea memang tipikal cewek yang selalu sinis dengan lelaki.
Mau seganteng apa pun, biar dikata tajir melintir, tua atau muda, Frea tidak peduli. Menurutnya, berhubungan dengan pria dan asmara hanya akan menambah masalah. Namun, selama ini selalu ada saja laki-laki mendekati dirinya, heran, padahal ia sudah memasang tameng tebal yaitu ketus, galak, sinis, pokoknya bintang nol untuk keramahannya pada cowok.
Maklum, Frea tidak pernah mengenal peran seorang Papa. Yang dia lihat selama ini hanyalah perjuangan sang Mama dalam membesarkan dirinya sendirian. Jadi, bagi dirinya, wanita tidak begitu membutuhkan laki-laki dalam hidupnya.
"Mau mastiin aja. Kalo dia cuma ngomong sembarangan," kata Leon sambil menunjuk wajah si Om. Napasnya terdengar lega karena incarannya masih tersegel rapat dan terjaga dengan ketat.
"Terus, apa untungnya buat lo setelah memastikan?" Frea menaikkan sebelah alis.
"Yang pasti gue jadi makin yakin buat dapetin lo, cewek yang paling susah dideketin di kampus ini." Tanpa segan Leon mengusap rambut halus Frea, ditambah mengulas senyum pula. "Gue tambah semangat ngeluluhin hati si ketus."
Frea menepis tangan Kak Leon yang tiba-tiba sudah ada di pipinya. "Mendingan lo cari kesibukan lain aja, deh, Kak! Gue gak tertarik cinta-cintaan."
Frederick sedari tadi diam sambil mendengarkan dua bocah saling berinteraksi. Satunya berusaha mendekati, sementara yang didekati terang-terangan langsung menolak. Lucu juga menyaksikan drama anak kuliahan. Pasti lebih seru lagi kalau dirinya ikut membakar suasana supaya semakin memanas.
"Sayangnya, Frea memang sudah pernah tidur di atas badan kekar saya," ucap Frederick. Dia tersenyum miring ketika mata wanita muda itu melotot ke arahnya, sangat menyukai reaksi kesal Frea. Dia juga makin menarik sudut bibir sinis, kala pria berjaket BEM itu menatap marah.
"Om!" seru Frea. Dia tidak mau besok ada gosip menyebar dan dirinya dijadikan bahan omongan seluruh anak kampus. "Mulut lo bisa diem, gak? Jangan bikin gue kena masalah, anjir!" omelnya.
Saking sebalnya Frea, dia menghampiri Frederick, lalu mencubit bibir pria itu supaya tak banyak bicara tentang dirinya. "Rasanya mau gue jait congor lo!"
Bukannya takut, Frederick malah semakin senang mengusili Frea. Salah sendiri reaksi wanita itu menggemaskan di matanya. "Memang kenyataannya seperti itu, kan? Kamu juga pasti tidak lupa tentang kejadian di rumah kamu beberapa minggu yang lalu."
"Itu salah lo yang tiba-tiba tiduran di sofa, gue gak sengaja jatoh di atas lo, sialan! Ngapain diungkit terus, sih?" Frea meremas wajah om-om ngeselin itu. "Namanya gak sengaja!" Dia sampai menekan kalimat tersebut supaya Frederick paham kalau apa yang terjadi saat itu bukan termasuk tidur dalam artian negatif.
Frederick lantas menahan tangan wanita muda itu supaya Berhenti mencubit dirinya. Tatapnya terlihat jelas sedang menggoda Frea agar semakin marah. Dia suka menyaksikan wajah Frea saat mengomel dan kesal, seakan aura cantiknya bertambah.
"Lo gausah ganggu cewek gue!" Tiba-tiba Leon menyingkirkan tangan om-om itu. Dia juga mendorong dada bidang Frederick hingga membentur badan mobil. "Gue juga lebih percaya omongan Frea daripada lo. Jadi, mending lo pergi, sana!" usirnya seolah-olah area kampus adalah daerah kekuasaannya. "Sebelum gue panggilin anak-anak BEM buat ngehajar lo!" ancamnya kemudian.
"Oh ... jadi kamu preman kampus?" sindir Frederick dengan wajahnya yang sangat santai tapi cukup mengesalkan bagi Leon. Dia sambil mengibaskan tangan di jasnya, seolah-olah sedang membersihkan kotor bekas dipegang pria sok jagoan itu. "Panggil saja semua antek-antekmu, saya tidak takut."
"Preman?" Leon memekik tak terima. "Gue ketua BEM! Jangan sembarangan lo ngatain."
"Kenapa jadi pada ribut?" gerutu Frea, diakhiri dengan decakan.
Karena tidak mau urusan jadi panjang, Frea lantas membuka mobil Frederick supaya segera memisahkan dua pria beda generasi itu. "Udah ayo, Om, anterin gue ke apartemen Anna." Daripada tak kunjung berakhir perdebatannya, lebih baik ia merelakan perjalanan dihabiskan dengan satu mobil bersama pria menyebalkan. Semoga saja tahan sampai tujuan, mengingat tiap kali ada di dekat laki-laki pasti dirinya akan berada di mode senggol bacok alias mudah sekali marah-marah.
Sebelum masuk, Frederick masih sempat tersenyum smirk menandakan bahwa dirinya yang menang. "Kamu itu masih seperti kecambah yang baru tumbuh, mau melawan pria matang seperti saya? Jangan harap bisa menang." Setelahnya ia menempatkan diri untuk mengemudi.
Frea bisa melihat tangan Kak Leon mengepal dan mata memancarkan kilatan permusuhan. Namun, ia lebih memilih mengabaikan kakak tingkatnya itu.
"Lo udah tua, Om, ngapain ngajak ribut di kampus orang, sih?" Di perjalanan, Frea mengomel, mana wajahnya juga cemberut pula.
"Dia yang menantang saya." Frederick mengelak, tidak sepakat kalau dirinya yang dinilai sebagai pemantik keributan.
"Ya gak usah lo ladenin, tinggal diem. Omongan lo tuh maut banget, asli, bisa bikin orang kesel," beri tahu Frea, karena itu yang selalu dia rasakan kalau Om Erick mengeluarkan suara.
"Kamu kesal pada saya?" tanya Frederick sambil menengok ke samping dan menikmati wajah cemberut Frea. Terlihat menggemaskan, lucu.
"Iya! Emang sejak kapan gue gak kesel sama lo? Bahkan dari pertama ketemu, selalu dibikin naik darah terus." Frea memasang sorot matanya dengan kilatan permusuhan.
Frederick malah menepuk-nepuk puncak kepala wanita muda itu, tapi lebih tepat disebut mengusap karena terlalu halus gerakan tangannya, sambil tersenyum layaknya manusia tidak merasa punya salah. "Bagus, lanjutkan. Saya suka melihat wajah kamu saat kesal." Manis.
.
.
.
Part 4
"Jangan pegang-pegang kepala gue!" Frea menepis tangan Frederick dengan kasar. Makin bersungut saja muka manisnya itu. "Gak sudi disentuh sama tangan najis lo, ngerti gak?!" Dia menegaskan sekali lagi, ditambah menggunakan kata hinaan juga.
Serisih itu seorang Freada pada laki-laki. Tapi tingkat amarahnya jauh lebih banyak saat menghadapi si om-om yang seenaknya itu. Dibanding pria-pria di kampus yang sering berusaha mendekatinya, Frederick adalah tingkatan pertama yang sangat ingin dia tendang pergi menjauh dari kehidupannya. Sebab, berhadapan dengan yang satu itu selalu berhasil membuatnya mendidih dalam waktu sekejap, bahkan baru sebatas melihat keberadaan Frederick pun mampu membuatnya menggerutu atas keberadaan sosok tersebut.
Entahlah, Frea juga tak begitu paham kenapa bisa membenci Frederick. Sepertinya karena pertemuan pertama mereka yang tidak mengenakkan, lalu berimbas sampai sekarang.
"Kenapa galak sekali? Jangan terlalu ketus padaku, nanti kamu akan tahu akibatnya jika memperlakukan aku buruk." Frederick memberi peringatan dengan seringai mengerikan disembunyikan dalam tarikan satu sudut bibirnya. Karena semakin Frea menunjukkan respon sinis dan marah-marah, justru membuat dirinya makin terpacu untuk terus iseng pada wanita itu. Sepertinya aku mulai ketagihan menggoda dia.
"Ramah sedikit dengan kekasih mamamu ini." Frederick menambahkan, menyempatkan menengok ke samping juga agar Frea melihat mimiknya yang tampan, sekaligus supaya dirinya bisa memerhatikan wajah wanita itu yang makin lucu menggemaskan ketika kesal ditambah cemberut.
Frea memutar bola mata malas, lalu melipat kedua tangan di dada. "Gue? Ramah sama lo? Gak mungkin dan gak sudi juga!"
Mengatur napas sejenak, Frea meniup udara ke atas hingga rambut-rambut halusnya di kening berhamburan. "Lagian lo duluan yang ngajak perang gue, terus dengan santainya minta gue ramah? Sorry, gue bukan mbak-mbak indomaret."
Frederick mengulum senyum, menahan diri agar tidak terkekeh mendengar respon Freada yang menurutnya makin ke sini malah tambah lucu. Ada saja kosa kata yang digunakan. "Saya tidak pernah mengajak kamu perang, justru sebaliknya, saya ingin lebih dekat dengan kamu."
"Idih ... mau dekat, gue yang ogah deket sama lo." Frea mengibaskan tangan seakan mengusir Om Frederick. "Kalau perlu, jauh-jauh dari gue."
"Bukankah mestinya begitu? Kamu anak pacar saya, dan demi menjaga hubungan tetap harmonis, harusnya kita saling mendekatkan diri." Padahal yang sekarang Frederick rasakan justru ia lebih bersemangat saat bersama dengan Frea dibanding kekasihnya sendiri. Biasanya tidak suka dengan wanita muda, tapi entah kenapa yang satu ini sangat berbeda. Adrenalin diri menggebu-gebu. Yang biasanya tidak bisa merasakan bahagia, kini ia dapat kesenangan tersendiri dari mengusili anak kekasihnya.
Terasa lebih hidup dan berwarna, tidak flat seperti biasanya. Begitulah batin Frederick sepanjang berinteraksi dengan Frea.
"Gak harus deket sama gue, Om! Kita cukup saling kenal aja, gak usah ada interaksi lebih," tegas Frea, memasang batasan yang dibentengi sangat tinggi.
"Tapi saya maunya kita sering bertemu, agar kamu tidak begitu membenci saya." Frederick tersenyum saat Frea melirik ke arahnya. "Ya ... sekaligus ingin menikmati wajah kesal kamu selama berhadapan dengan saya."
Alis Frea naik sebelah, wajahnya sampai sulit digambarkan, saking speechless dengan om-om satu itu yang tak bisa mencerna ucapannya. "Maksud lo apa, sih, Om? Lo sengaja mau bikin gue kesel tiap hari gitu?"
Frederick menganggukkan kepala dengan sangat santai. "Hm ... sangat menghibur hari-hariku yang telah penat dan lelah oleh pekerjaan."
"Wah ... bener-bener sinting lo!" Frea menunjuk wajah pria yang usianya selisih sepuluh tahun darinya. "Emang muka gue cocok dijadiin bahan hiburan lo?"
Kebetulan sekali lalu lintas sedang padat. Kendaraan itu Frederick berhentikan. "Em ...." Dan dia bisa leluasa menatap wanita muda yang menarik perhatiannya.
Pria itu mengusap dagunya sendiri seakan sedang berpikir dan menilai Frea. Sementara wanita itu tetap sama, memasang mode sinis.
"Ku rasa kamu cocok saya jadikan sebagai mainan baru." Setelah satu menit berlalu, ternyata kalimat itu yang diucapkan oleh Frederick.
Dan berhasil membuat Frea melontarkan kata kasar. "Anjing! Lo kira gue cewek apaan, fuck!" Dia mencondongkan badan agar tangan bisa mendorong dada bidang si om.
Frederick menangkap kedua tangan Frea, lalu memegang kendali meski wanita itu berusaha memberontak melepaskan diri. "Kamu adalah wanita muda yang menggemaskan saat marah-marah. Bukannya membuat aku takut, tapi justru ingin tertawa karena wajahmu tidak cocok sebagai sosok yang galak."
Iya, sih ... benar muka Frea memang terlalu imut. Banyak orang mengatakan itu. Sepertinya makin banyak bicara malah membuatnya kehilangan banyak tenaga. Pasalnya, Om Frederick selalu menimpali terus, dan sekarang dirinya lelah sendiri menghadapi kelakuan pria dua puluh sembilan tahun itu.
"Udahlah, gue diem aja mulai dari sekarang." Frea menarik kasar tangannya, lalu memalingkan tatapan ke arah kaca, membiarkan sepasang matanya melihat kemacetan di luar.
"Silahkan kalau kamu kuat." Selagi Frea tidak memerhatikan dirinya, justru Frederick yang terus memusatkan pandangan pada wanita itu. Dia menilai dan menimbang, sebenarnya apa yang membuat sosok Freada berbeda, sampai berhasil membuatnya tidak bosan dengan yang lebih muda.
Bisa dikatakan ini adalah kali pertama Frederick mau berinteraksi dengan wanita yang usianya di bawahnya, mana masih sembilan belas tahun pula. Lumayan jauh juga. Biasanya selisih satu tahun pun ia malas, yang seumuran juga tidak tertarik. Sejauh ini janda yang lebih sering dia dekati.
Frea terasa berbeda, mungkin karena respon dia yang tidak menunjukkan ketertarikan padaku. Lain hal dengan wanita-wanita muda lainnya yang mudah sekali luluh atau terpesona padaku. Dia juga tidak manja, nampak pemberani, tak murahan, dan pastinya sifat ketusnya pada pria adalah hal yang menurutku unik dan menarik. Jadi, karena itu, makanya aku betah berhadapan dengan bocah cilik satu ini. Batin Frederick, sambil menanti kendaraan depan maju sedikit demi sedikit.
Nyaris sudah satu jam lamanya terjebak macet. Tahu begitu Frederick tadi lewat tol dalam kota saja dibanding jalan biasa. Ia pikir bakal menarik jika perjalanan ditempuh lebih lama, bisa menggoda Frea dan menikmati wajah menggemaskan wanita itu saat kesal. Tapi ternyata, sekarang malah didiamkan begini.
Sunyi sekali suasana mobil itu. Tidak ada yang mengobrol, apa lagi musik. Benar-benar membosankan.
"Mau dengarkan lagu?" tawar Frederick tiba-tiba.
"Terserah lo aja, Om, yang penting jangan ajak ngobrol gue. Lagi capek banget ngadepin omongan lo," jawab Frea tanpa mau menatap lawan bicara.
"Mau saya pijitin bibirnya? Supaya lelahnya hilang?" tawar Frederick, sambil salah satu jari telunjuknya menyentuh layar untuk memutar musik. Volume sengaja tidak terlalu besar, agar masih bisa kedengaran kalau ada orang berbicara.
"Gimana caranya pijitin bibir? Lo mau nyubit gue, gitu?" Frea selalu saja berburuk sangka, memang susah mau menilai positif seorang om-om yang secara terang-terangan sengaja membuatnya kesal demi kesenangan pribadi pria itu.
"Tentu saja bukan. Untuk apa saya mencubit bibir kamu? Itu namanya menyakiti."
"Terus?" Frea menanggapi sambil mencari botol minum di dalam tasnya, haus sekali rasanya. Sambil mendengarkan si om menjawab, dia meneguk air mineral.
"Pijat bibir itu enaknya dengan ciuman, dijamin lelahnya pasti hilang. Kamu mau coba melakukan dengan saya?" tawar Frederick dengan gayanya yang formal tapi santai.
*****
Cerita ini ada di wattpad juga. Bedanya, yang di karyakarsa update lebih cepat dan ada part tambahan yang tidak bisa dibaca versi wattpad
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
