
Setelah memilih untuk pergi jauh, Jaselle justru dipertemukan kembali dengan Galtero, sumber lukanya. Ia melewati hari-hari sulit selama itu, tapi terpaksa harus profesional kerja.
Apakah yang terjadi dengan janin Jaselle? Dilahirkan atau justru sebaliknya? Apakah Galtero mengetahui tentang kehamilan mantan yang telah dicampakkan begitu saja?
Semua akan terjawab pada 8 part ini. Berisi 14500 kata dengan harga Rp 14500 atau setara dengan 145 kakoin
Part 3
Segalanya menjadi buruk, tidak ada perpisahan yang membuat seseorang baik-baik saja. Apa lagi perjalanan cinta Jaselle dan Galtero sangatlah indah, berjalan mulus, nyaris tak pernah bertengkar sedikit pun. Bahkan saat baru saja putus pun mereka tidak ada masalah sebelumnya.
Mungkinkah karena terlalu nampak sempurna dan berjalan tanpa hambatan justru kisah keduanya terkesan hambar? Jaselle sering mendengar bahwa hubungan tanpa adanya adu mulut kurang mengesankan. Tapi, ia tak pernah menganggap hal itu benar karena menurutnya untuk apa bertengkar kalau semua masalah bisa diselesaikan dengan dirinya yang cukup mengalah? Lagi pula, sejak kecil pun ia terbiasa menurunkan ego dan mengalah. Jadi, disaat menjalin bersama seorang pria pun sifatnya sama.
Jaselle tidak senang pertengkaran, lebih baik ia yang mengaku salah walau entah memang membuat kekeliruan atau tidak. Dia yang akan meminta maaf terlebih dahulu, membungkuk atau bahkan memohon ampun andai ada sesuatu yang mengharuskannya bertikai. Jalan damai adalah pilihan terbaiknya.
Jaselle masih tidak menyangka kalau semuanya berakhir. Sampai detik ini ia tetap merasakan sesak yang sulit dihilangkan. Selalu overthinking, apa kurangnya? Apa salahnya? Apakah ia kurang pengertian? Atau mungkin tak sengaja ia menuntut sesuatu yang belebihan? Terlalu banyak pertanyaan mengitari isi kepala, walau pening begitu menghantam diiringi air deras yang tak kunjung dihindari sampai detik ini.
Lebih dari tiga jam Jaselle membiarkan kaki bergerak tak tentu arah, dan tubuh basah kuyup oleh air dari langit. Telapak kaki dan tangan bahkan sudah berkerut dan pucat. Bibir juga menggigil kedinginan. Tapi, tidak membuatnya ingin menepi, berteduh, atau pulang.
Wanita itu sedang menikmati patah hatinya yang terlalu membekas. Perjalanan cinta yang indah dan berakhir hanya karena salah satunya mati rasa, tentu saja berhasil menggoreskan luka tanpa tahu bagaimana cara mengobatinya. Jaselle hanya bisa mengingat bahwa bersama Galtero hidupnya amat bahagia, pria itu tak pernah menyakitinya sedikit saja. Baru kali ini pilu ditorehkan. Dia sampai bingung bagaimana cara membenci dan melupakan sosok yang ia pikir adalah rumah. Tidak ada celah keburukan yang bisa dijadikan alasan, semua tentang Galtero adalah keindahan dan kenyamanan.
Jaselle memukul kepalanya begitu keras. Dia ingin menyingkirkan Galtero dari pikiran. Tapi, semakin ia melawan, justru bertambah ingat seluruh kenangan.
Sejak kecil, Jaselle tidak dianggap oleh keluarga. Dia diperlakukan seperti pelayan di rumah sendiri, padahal orang tuanya ada, ayah dan ibu tiri. Kamarnya dipindah menjadi satu dengan pelayan, sekolahnya ditempat biasa saja, tak pernah diajak makan bersama atau bepergian. Dia sampai tak tahu rasanya dicintai, disayangi, dikasihi, dipeluk, dicium, ditenangkan jika sedang sedih. Keluarga yang seharusnya adalah rumah, justru memberikan kesan tak ramah.
Tapi, sialnya Jaselle menuruni sifat sang ibu yang telah meninggal. Dia bukan sosok pembangkang, condong ke arah penurut, pengalah, lebih baik menyingkir, dan enggan ribut. Jadi, diperbudak oleh keluarga sendiri pun ia hanya bisa terima, lakukan, hingga merasa muak lalu memilih pergi.
Hidupnya tak pernah tersenyum, bahkan sekali saja. Mungkin pernah, tapi pasti Jaselle lupa karena ia masih amat kecil.
Jaselle dan kehidupannya yang tak menyenangkan. Siapa yang bisa menyangka kalau suatu hari ada tangan seorang pria terulur padanya? Dia sendiri tak paham kenapa disaat ia kebingungan akan kelanjutkan hidup, disitulah penolongnya hadir. Siapa lagi kalau bukan Galtero.
Mereka bertemu tanpa sengaja. Jaselle butuh pekerjaan, dan ia menjadi pelayan panggilan di apartemen milik Galtero. Singkatnya, mereka saling mengenal di sana, menjadi dekat juga di tempat itu. Entah apa yang dilihat pada dirinya, tapi suatu hari Galtero mengatakan kalimat yang membuatnya ingin menggantungkan hidup pada pria itu.
Lambat laun Jaselle merasakan bagaimana diperlakukan layaknya manusia. Tahu bagaimana enaknya dicintai, dikasihi, diperhatikan. Dia juga mengenal cara mencintai, debaran di jantung yang tidak normal, serta rasa takut kehilangan. Banyak hal baru yang Galtero perkenalkan padanya. Hingga pria itu ia nobatkan sebagai rumahnya untuk berpulang yang paling nyaman.
Jaselle pernah dianggap sangat berharga, bisa jadi semua orang iri dengannya. Tapi, kini semuanya menjadi kelabu. Galtero yang mewarnai hidup gelapnya, namun sekaligus yang memudarkan cahaya dan berakhir tak ada lagi warna di dalamnya.
Kisah Jaselle bagai diracun dan dipaksa untuk berhenti mencinta. Dia tersiksa sendiri oleh rasa yang lebur sempurna.
Galtero membawa hati Jaselle, menghancurkan segala mimpinya yang dibangun sejak dahulu. Harapan seorang wanita dengan pemikiran sederhana.
Semua angan terbang melayang, berceceran, dan Jaselle harap hanyut terbawa oleh genangan hujan. Jika boleh meminta, ia ingin melupakan segalanya, agar sakit yang dialami tak sebegitu hebatnya.
Kaki Jaselle mulai terasa lelah, tapi hatinya enggan memintanya berhenti. Dari derasnya air yang mentes dari atas langit, hingga kini telah reda, ia tetap berjalan tak pasti. Letihnya tak seberapa dibanding pedihnya.
"Aw ...," pekik Jaselle memegangi perutnya.
Mendadak kram menyerang di sana. Wanita itu membungkuk untuk menahan sakit yang tiba-tiba mengganggu.
Sepertinya janin di dalam perutnya tengah mengajukan protes karena diajak hujan-hujanan dan jalan sampai puluhan kilometer. Jaselle menengok ke seluruh penjuru, mencari tempat untuk duduk. Dia ingin istirahat sebentar.
Dengan kaki sedikit terseok, Jaselle menuju serambi sebuah minimarket. Mendaratkan pantat di sana, kaki lurus, lalu punggung ia sandarkan pada dinding kaca.
"Apa yang harus aku lakukan dengan anak ini?" gumam Jaselle bingung. Tatapnya nanar ke atas sana yang dipenuhi oleh awan gelap.
Awalnya Jaselle senang dengan kehamilannya. Mengira akan berakhir indah dan menikah bersama orang yang dicinta. Hidup bahagia bersama dan membangun keluarga cemara. Tapi, nyatanya belum sempat ia mengatakan, bibir tak kuasa untuk memberi tahu tentang hal itu. Dia terlalu terguncang dengan kenyataan bahwa sang pria mati rasa padanya, hingga memilih lebih baik bungkam. Lantas, sekarang bingung sendiri.
Jaselle tidak membenci kehamilannya, tapi dia tak tahu harus bagaimana. Tangan mengusap perut rata itu. Wajahnya kian sendu memikirkan nasib anak yang belum tahu kerasnya kehidupan. "Haruskah aku melahirkannya? Tapi, aku takut jika nasibnya hanya akan berakhir buruk seperti aku."
Tidak ada yang bisa dijadikan teladan ataupun disyukuri dari hidupnya, Jaselle merasa setiap napas yang ditarik hanya berisi kesakitan belaka. Maka, dia resah seandainya memaksakan diri, lalu sang anak merasakan pilunya hidup yang selalu menyiksa batin.
"Aku tak ingin memberimu kehidupan seperti Mommy. Maaf, bukan aku tak menyayangimu, tapi dunia ini terlalu kejam bagi kita yang tidak memiliki apa-apa." Jaselle menekuk lutut, memeluk diri sendiri walau tak mungkin ada hangat terasa. Satu-satunya harta yang ia miliki adalah hati tulusnya, tapi tidak menjamin bahagia juga.
Rasanya mata tak habis-habis memproduksi cairan bening gambaran rasa sakit. Lagi-lagi tangis itu luruh membasahi lutut yang digunakan untuk menyangga kepala peningnya. Jaselle mencintai anak dalam kandungannya, tapi rasa cinta itu juga yang membuatnya takut tidak bisa memberikan tanggung jawab sebagai orang tua.
Anak tidak pernah meminta atau bebas memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa. Jadi, orang tua memiliki peran dan tanggung jawab penuh atas kebahagiaan anak. Sementara Jaselle? Dia merasa belum bisa memberikan apa-apa. Bahkan disaat kehamilannya pun ia dicampakkan begitu saja.
Wanita itu tersedu-sedu. Di pojokan teras minimarket. "Maaf ... sekali lagi Mommy minta maaf karena tak sanggup menghadapi dunia ini, tak mampu memberikan keindahan untukmu." Tangan kanannya mengusap lagi perut, dan perlahan krammnya mulai pudar. "Nanti, aku akan antar kau ke surga, di sana pasti kau jauh lebih bahagia daripada hidup di dunia bersama mommymu yang tak berguna ini."
.
.
.
Part 4
Dia mendorong pintu kaca itu dengan tak bertenaga. Entah kapan terakhir makan, sepertinya Jaselle lupa dan tak merasakan lapar juga. Wanita itu masuk ke dalam minimarket, mengambil lima bungkus rokok, lalu membayar dengan uang yang basah karena kemarin tasnya kehujanan.
Jaselle memasukkan ke dalam tas, dan barulah ia pergi. Rasanya ingin merokok sepanjang jalan. Tapi, itu termasuk pelanggaran karena bukan kawasan bebas merokok. Dia harus menahan diri sampai menemukan tempat yang pas digunakan untuk menikmati batang nikotin.
Tak bisa merokok sembarangan di sana, tidak semua orang merasa baik-baik saja dengan asap, bisa jadi ada yang terganggu. Jadi, ia memilih untuk pulang.
Semalam Jaselle belum menginjakkan kaki di apartemen. Ia lebih baik menghabiskan seluruh waktu di luar hingga ketiduran di serambi toko yang sudah tutup. Setidaknya rasa lelah dan sakit fisiknya bisa menyamarkan pedihnya patah hati akibat orang tercinta.
Dia hanya belum siap menginjakkan kaki di apartemen pemberian Galtero. Terlalu banyak kenangan di sana. Tapi, teringat bahwa ia telah mengatakan mau meninggalkan tempat itu. Jadi, sekarang kakinya melangkah menuju perjalanan pulang.
Jaselle naik ke dalam bis. Mencari tempat duduk yang kosong. Ia sadar kalau diamati oleh beberapa pasang mata. Mencoba menghiraukan dan anggap tak tahu. Mungkin mereka penasaran, atau bingung dengan penampilannya yang berantakan. Rambut kusut, pakaian lembab, tas basah, tak memakai alas kaki karena putus dan berakhir ia buang ke tempat sampah. Semua akibat kehujanan dan ia tidak mengganti atau mengeringkan sampai detik ini.
Wanita itu tidak memikirkan nanti akan masuk angin atau sakit. Jaselle terkesan tidak peduli tentang hal itu. Dia hanya mau menutupi luka hati dengan lara lain.
Sepanjang perjalanan menuju halte dekat apartemen, matanya terpejam. Hingga saat ini kepala masih merasa pusing. Dia tak berani bercermin karena pasti wajahnya pun pucat.
Jaselle lekas turun saat sampai di pemberhentian tujuan. Dia harus sedikit jalan kaki lagi sampai lokasi tempat tinggalnya selama ini.
Langkah wanita itu kian lemah, terkesan berat menuju ke sana. Tapi, akhirnya sampai juga di depan pintu unit pemberian Galtero. Jaselle menarik napas sedalam mungkin untuk menguatkan diri, barulah ia menekan jajaran angka di pintu, dan mendorong kayu itu ke dalam.
Pertama kali masuk, semerbak kenangan bersama mantan pun langsung menusuk indra penciuman. Wewangian di sana adalah kesukaan Galtero, bahkan parfum yang sering dipakai oleh pria itu pun selalu disemprotkan ke sekitar.
"Ini hanya ingatan yang tak perlu dirisaukan." Jaselle menguatkan diri, lalu menutup kembali pintu.
Jaselle langsung masuk ke kamar, mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Dia bukan orang konsumtif. Jadi, pakaian dan seluruh barang pentingnya cukup dimasukkan ke dalam dua koper besar.
"Ku rasa harus mandi air hangat dahulu, sebagai perpisahanku dengan tempat ini," putus Jaselle.
Wanita itu melucuti seluruh kain lembab yang menutupi tubuh dan kini ia polos. Membiarkan percikan air bersuhu hangat pun mulai membasahi. Pusing kepala Jaselle belum hilang juga. Ia berusaha tidak dirasakan, anggaplah sehat, atau cukup pura-pura baik-baik saja.
Beres membersihkan tubuh, Jaselle berganti pakaian serba panjang. Tak ada niatan mengeringkan rambut. Tetesan air pun terjatuh di lantai sepanjang wanita itu berjalan.
"Sepertinya aku ingin mengenang tempat ini untuk terakhir kali." Walau tahu pasti membuatnya semakin sakit, tapi Jaselle tetap lakukan. Lagi pula setelah ini ia sudah memutuskan ke mana akan pergi.
Menarik tasnya, Jaselle bergerak menuju balkon. Tempat itu enak sekali digunakan untuk merenungkan nasib.
Melewati tiap sudut apartemen sama saja seperti sengaja ditarik untuk bernostalgia. Mulai dari sofa, tempat biasa Jaselle dan Galtero menghabiskan waktu saling berpelukan saat menonton film bersama. Dapur, tempat pertama kali ia menyerahkan diri pada sang pria. Tidak ada satu jengkal pun yang tidak mengingatkannya pada Galtero. Maka, tinggal di sana sama saja tak bisa melupakan mantannya.
Duduk seorang diri, mengeluarkan sekotak rokok, mengambil sebatang gulungan tembakau. Jaselle meletakkan ujungnya di bibir, kemudian mematik sebuah api untuk menghidupkan bara.
Kepulan asap mulai mengudara, keluar dari celah bibir yang baru saja dihembuskan oleh Jaselle. Dia kembali pada kebiasaan dahulu. Merokok setelah merasakan kesedihan. Sempat berhenti karena Galtero tak menyukai hal itu. Tapi, sekarang siapa yang peduli dengannya? Tidak ada.
Jaselle melakukan itu sejak umur belasan tahun. Pertama kali mencoba dan akhirnya ketagihan. Hanya disaat hatinya tak keruan. Sebab, ia tak tahu bagaimana cara membuat suasana menjadi lebih lega dan ringan dari masalah yang selalu menimpanya. Jadi, ketika zat-zat nikotin mulai terhirup, di situ ia berasa bebannya lebih ringan.
Terkesan buruk memang. Tapi, hanya dengan cara itu Jaselle bisa sedikit menenangkan diri.
Entah sudah bungkus keberapa yang ia habiskan. Kemarin juga Jaselle merenung ditemani oleh tembakau digulung kertas itu.
Habis dua batang, Jaselle akhirnya meninggalkan apartemen itu. Merelakan seluruh kenangan di sana. "Aku harap tak ada satu pun tentangnya yang memenuhi pikiranku. Tinggallah kalian di sini, jangan menemani pergiku." Begitu kiranya ia berpamitan pada seluruh ruangan.
Tidak ada tempat tinggal lain yang bisa Jaselle tuju kecuali apartemen sahabatnya. Sekarang dia berdiri di depan pintu berwarna abu-abu muda. Dua koper besar menemaninya menanti dibukakan.
"Fel?" Jaselle menyapa teman yang ia temui saat sama-sama berlatih merias. Felicia Freyda Felix, sahabat seperjuangan yang tahu bagaimana kisah hidupnya.
Bukannya balas sapaan, Felicia justru membulatkan mata. Dia terkejut melihat dua koper itu. "Kau diusir?" tebaknya sedikit berteriak.
Menggeleng, Jaselle mempertegas dengan kalimat. "Aku memutuskan untuk keluar dari apartemen itu."
"Why?" pekik Felicia. Namun, saat melihat wajah sahabatnya sangat pucat, lebih baik ia mengajak ke dalam terlebih dahulu. "Masuklah, kau hutang cerita denganku."
Felicia mengambil alih semua koper sahabatnya, menarik ke dalam dan dibiarkan ada di ruang tamu untuk sementara. "Kau istirahat dulu, aku buatkan minuman hangat untukmu."
Jaselle hanya mengangguk. Ia menuju balkon. Duduk di sana menikmati udara yang menghantarkan sedikit percikan air dari gerimis. Lagi-lagi mengeluarkan rokok dari dalam tas. Namun, ada sesuatu yang tidak sengaja jatuh.
Gulungan tembakau itu dia tahan di bibir, sementara tangan sedikit membungkuk untuk mengambil barang miliknya yang terjatuh.
Mata Jaselle seketika sendu memandang dua benda yang kini digeletakkan pada atas meja. Kertas USG yang sudah kusut karena pasti kemarin ikut basah, untung masih jelas cetakannya. Serta testpack garis dua.
Jaselle menarik napas sedalam mungkin. Ada rasa bersalah hinggap di dadanya. Ia kembali sesak. Sejatinya sayang pada darah daging sendiri. Tapi, apalah daya, masa lalu dan kehidupannya yang buruk memberikan rasa takut untuk melahirkan si mungil.
Hembusan napas itu beriringan dengan asap dari mulut. Jaselle menyimpan lagi ke dalam tas karena tak kuat kalau terlalu lama memandangi. Hanya membuatnya merasa bersalah terus.
"What the fuck is that?" Felicia segera meletakkan dua cangkir ke atas meja. Matanya melotot sempurna menyaksikan sahabatnya mengkonsumsi barang yang seharusnya tidak boleh. "Kau merokok?"
"Hm ...." Jaselle mengangguk membenarkan. "Seperti yang kau lihat," imbuhnya berusaha menunjukkan kesan santai.
"Kau gila, ya?!" pekik Felicia. Tangan reflek menarik pergelangan sahabatnya saat rokok itu hendak dihisap kembali. "Apa yang membuatmu sedih?" Dia tahu kebiasaan Jaselle. Bahkan saat melihat wanita itu tiba-tiba berdiri di depan apartemen bersama barang bawaan banyak, ia yakin ada sesuatu yang tidak beres.
Jaselle berusaha melepaskan. Bukannya menjawab, ia justru memberikan pembelaan. "Cigarettes After Sad is always make me feel better." Tangannya ditarik kuat agar ujung rokok bisa masuk ke bibirnya, lalu menghembuskan asap ke samping agar tak mengenai wajah temannya. "Biarkan aku habiskan ini," pintanya, dan berhasil meloloskan cekalan.
"Kau sedang hamil, Elle!" Lantas tak membuat Felicia memperbolehkan sahabatnya terus merusak diri. Kali ini ia tepis tangan Jaselle dengan tenaga, hingga putung yang masih setengah itu teronggok di lantai. "Ingat, merokok bisa mengganggu kesehatan janinmu, bahkan lebih parah lagi kalau sampai keguguran!" serunya agar yang diajak bicara sadar. "Aku yakin itu bukan batang pertama, kan?"
Jaselle mengangguk sendu, mata kembali meragu, pilu, dan segalanya kembali terasa kelabu. Menyandarkan punggung ke kursi, kepala menengadah ke atas supaya menahan air mata yang kembali membangun suasana mengharu-biru.
Menyaksikan teman terdekat sedih, Felicia menggeser kursi supaya berada di samping persis. Ia rangkul pundak Jaselle, menggiring agar bersandar di bahunya. "Katakan apa yang membuatmu seperti ini?"
"Galtero memutuskan aku, kami ... berpisah," ungkap Jaselle dengan suara lirih.
"Kau tidak bercanda, kan? Bagaimana bisa? Keparat pria itu, sudah tahu kau sedang hamil, tapi berani sekali mencampakkan sahabatku!" Amarah Felicia langsung menggebu.
"Dia belum tahu tentang kehamilanku. Aku tidak memberi tahu," sanggah Jaselle.
"Kenapa?" Felicia mencengkeram pundak sahabatnya, memaksa wanita itu menatap dan menjelaskan secara detail. "Seharusnya kau katakan agar dia tak seenaknya mengakhiri hubungan."
Jaselle menggeleng lemah, menunduk pasrah. "Dia sudah mati rasa denganku, tak lagi ada cinta untukku. Dan ... aku tak ingin membuatnya terpaksa bertahan hanya karena anak. Aku tak mau memaksanya atau mengikatnya. Mungkin bahagianya memang bukan bersamaku, walau bahagiaku adalah dengannya."
Sendu menjalar di wajah Felicia. Dia ikut prihatin dengan kondisi teman dekat yang telah dianggap seperti saudara sendiri. Peluk hangat mendekap Jaselle, membiarkan tangis tumpah tanpa malu. "Keluarkan saja kesedihanmu, sampai kau merasa lega. Tapi, jangan sakiti anakmu. Dia tersiksa di dalam sana kalau kau terus merokok."
"Aku ingin membawanya ke surga supaya merasakan bahagia. Dia pasti hanya berakhir oleh luka seperti aku kalau terlahir di dunia. Aku ... tak ingin menyaksikan anak sendiri menderita. Hatiku terlalu rapuh. Jadi, temani aku untuk menggugurkannya, ya?" pinta Jaselle. Tatapnya mengiba, memohon dengan segenap rasa. Berat baginya, tapi dia tak bisa memikirkan jalan pilihan lain.
Untunglah Felicia menggeleng sebagai penolakan. "Aku tahu kau sedang sakit hatinya. Tapi ... bukan begini caramu mengatasi permasalahan yang ada." Ia tangkup kedua pipi Jaselle, memaksa wanita itu fokus pada manik matanya. "Aku paham kenapa kau tak ingin melahirkannya. Kau takut dunia tidak bisa memberikan bahagia untuknya, bukan?"
Mengangguk, Jaselle tak mengeluarkan sepatah kata apa pun sebagai jawaban atau sanggahan.
Felicia tersenyum lembut, menggenggam dan mengusap tangan sahabatnya yang terasa sangat dingin. "Kau tidak perlu merisaukan dunia yang akan berbuat kejam untuknya. Yang anakmu butuhkan bukanlah kebaikan seisi bumi ini, tapi kasih sayang dan cintamu sebagai seorang ibu." Ia tuntun tangan kanan Jaselle dan letakkan ke perut rata berisi janin di dalam sana, supaya merasakan getaran rasa. "Jika kau tidak dapat cinta tulus seperti apa yang diinginkan, kenapa tidak kau saja yang belajar mencintai anak ini? Terima dia dan perlakukanlah sebagaimana kau ingin dirawat sepenuh hati selama ini."
Jaselle tak mampu menanggapi. Tangisnya justru kian pecah. Menghambur memeluk sahabatnya yang selalu lebih bijak, sementara ia yang sering kalut oleh kesedihan. Entah apa yang akan terjadi seandainya tidak ada temen seperti Felicia dalam hidupnya.
Felicia menepuk pelan punggung yang terasa rapuh itu. "Perlahan kau pasti bisa melupakan Galtero. Meski awalnya berat, lawan terus. Aku yakin, suatu hari nanti pria itu menyesal sudah melepaskan wanita sepertimu."
Tenggorokan sedang tercekat. Ah ... Jaselle terlalu kalut oleh patah hatinya sampai tak sadar bahwa masih ada anugerah yang Tuhan berikan padanya. Sahabat yang selalu menenangkan jiwa.
Selama lima menit kedua wanita itu saling memeluk. Hingga Jaselle merasa lebih tenang, akhirnya ia melepaskan rengkuhan dan menyeka air mata. "Aku ingin pergi dari sini."
Alis Felicia terangkat sebelah. "Kau sudah pergi dari apartemen itu. Lantas, mau pergi ke mana lagi yang kau maksud?"
"Dari negara ini. Aku ingin memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Galtero." Jaselle menggenggam tangan sahabatnya begitu erat. "Maukah kau menemaniku? Hanya kau satu-satunya yang kini ku miliki."
"Ada anakmu juga di perutmu. Jangan lupakan dia, jadikan salah satu sumber semangatmu."
"Ya, dan anak ini." Jaselle mengusap lagi perutnya.
.
.
.
Part 5
Bangkit dari keterpurukan tidaklah mudah. Jaselle beruntung memiliki sahabat yang selalu memberikan dukungan sehingga ia berhasil melewati masa-masa sulit. Meski sempat depresi akibat diputuskan, ditambah dalam kondisi hamil yang mana mentalnya sangat mudah terguncang. Tapi, bersyukur sekarang dia menjadi sosok lebih baik dari sebelumnya, terlihat tegar walau harus kehilangan orang-orang yang dicintai.
Tujuh tahun berlalu, Jaselle menyibukkan diri dengan menggali kemampuan meriasnya dan ditambah melebarkan sayap ke bidang tata busana juga. Tak ada satu hari pun ia gunakan untuk melamun atau membiarkan diri diserang oleh kenangan. Sempat dia teringat oleh mantan, tapi buru-buru ditepis dengan hal-hal positif.
Sekarang Jaselle nampak lebih segar diusia tiga puluh dua tahun. Tak menyangka bahwa ia bisa menjalani hari tanpa cinta.
Dari kehidupan sebelumnya, Jaselle bisa belajar banyak hal. Jika tak ada yang mencintai, setidaknya cintailah diri sendiri dengan merawat kesehatan mental.
Tidak itu saja, tapi juga ia menerapkan cara move on supaya ampuh. Pergi jauh dari sumber luka, dia lakukan dengan pindah ke salah satu negara di Eropa barat, buktinya hidup nyaman dan tenteram sampai saat ini. Kedua, menutup seluruh akses agar tidak bisa berkomunikasi lagi, ia buang ponselnya, lagi pula rusak akibat kehujanan juga, sehingga seluruh foto sirna tak ada satu pun yang dibawa. Ketiga, tidak mengikuti media sosial ataupun mencari tahu tentang kehidupan mantan, meski sempat terbesit, tapi selalu berhasil diurungkan. Jadi, selama tujuh tahun ini ia tak pernah tahu bagaimana kondisi Galtero, sehat atau sakit, semakin sukses atau masih sama, telah berkeluarga atau belum, siapa kekasih sekarang.
Dia enggan mencari tahu. Lebih baik tutup mata, hati, dan telinga dari apa pun yang bersangkutan dengan mantan. Itu adalah hal terbaik untuk melupakan. Jaselle tidak membenci, dia hanya mencari ketenangan pikiran agar jiwa menjadi tenang.
Dibanding larut oleh meratapi nasib, lebih baik menggali potensi diri hingga sukses, dan tiada celah untuk kesedihan merusak kebahagiaan yang selama ini berusaha dibangun. Jaselle berhasil melakukan itu. Dia awalnya hanya seorang Make Up Artist biasa, belum terlalu terkenal. Tapi, setiap hari kemampuannya diasah, mengikuti banyak event, dan bergabung juga dengan wedding organizer supaya tidak sepi job. Membangun nama melalui jaringan sosial media juga supaya cakupan orang yang mengenalnya lebih luas lagi.
Dengan kerja kerasnya, Jaselle membuktikan bahwa kebahagiaannya tidak bergantung pada laki-laki maupun cinta kasih pasangan. Seluruhnya ada di tangan sendiri. Dan sekarang ia menjadi Make Up Artist terkenal. Sering ke luar negeri karena banyak klien yang ingin menggunakan jasanya.
Bahkan, kini Jaselle memiliki kantor sendiri. Tidak terlalu besar, setidaknya cukup untuk kebutuhan penyimpanan alat-alat dan gaun koleksinya. Dia juga ada ruang sendiri sebagai tempat berpikir mencari ide-ide kreatif.
Dua wanita yang baru saja kembali dari Paris Fashion Week itu nampak lelah sekaligus cerah. Jaselle dan Felicia menghampaskan tubuh ke kursi. Di sana ia diberi tanggung jawab sebagai penata rias model yang akan berlenggang di runway.
"Akhirnya acaranya sukses juga," ucap Jaselle dengan riang. Tiap berhasil menjalankan projek dan puas, ia selalu berteriak lantang. "Setelah ini, apa lagi agendaku?" tanyanya kemudian.
Mata Jaselle tertuju pada sahabat yang kini sekaligus merangkap sebagai asistennya. Felicia bisa saja berkarir sendiri, tapi memilih untuk menemaninya dan mendampingi sampai akhir. Sahabat yang sangat jarang ditemukan, maka ia harus bersyukur akan hal itu.
"Besok ada jadwal merias untuk prewedding di Switzerland." Felicia menggerakkan jemari di layar iPad. Di sana berisi agenda yang sangat padat.
"Lalu?" Sembari Jaselle minum vitamin supaya tubuhnya tidak tumbang karena terlalu sibuk.
"Satu minggu dia membayar jasa kita. Sudah dibayar sejak satu bulan lalu. Bahkan dari satu tahun lalu, klien ini menanyakan jadwalmu yang kosong ada di tanggal berapa. Dia rela menunggumu demi bisa merasakan hasil tangan yang selalu memberi sentuhan magic." Felicia memutar iPad itu agar Jaselle bisa membaca sendiri tanggal yang telah ia tandai.
Jaselle hanya mengangguk. Dia tak pernah bertanya siapa yang akan menjadi kliennya. Semua dipercayakan pada karyawan yang lain. "Tiket sudah disiapkan?"
"Aman. Tiket, tempat tinggal, semuanya sudah diatur oleh klien. Jadi, kita hanya harus berangkat." Felicia menutup iPad dan memfokuskan pandangan pada Jaselle. "Nampaknya yang ini dari keluarga kaya raya. Belum juga dirias, tapi sudah memberi tip."
"Oh, ya?" Jaselle menaikkan kedua alis tak percaya. Biasanya tip diberi setelah klien merasa puas dengan hasilnya.
"Hm ...." Kepala Felicia mengangguk, lalu meraih toples berisi kue kering, dan memakannya.
"Sepercaya itu dia padaku?"
"Hei ... kau itu sekarang penata rias terkenal. Instagram dan tiktok saja memiliki jutaan pengikut. Jadi, wajar saja kalau ada yang rela menunggu dan membayar banyak demi merasakan sentuhan jemari ajaibmu ini." Felicia mengangkat ujung telunjuk sang sahabat. "Asal kau tahu saja, klien kita yang besok akan ditemui itu juga bertanya apakah kau bisa meriasnya saat hari pernikahan atau tidak. Sayangnya jadwalmu sangat padat, dan dia terkesan kecewa saat itu, lalu memohon supaya mau meluangkan waktu ketika hari pernikahan."
Jaselle terkekeh. Hal biasa baginya ada klien yang begitu, sampai minta bertukar dengan klien lainnya.
Hembusan napas bangga itu dikeluarkan oleh Jaselle. Ia mendorong punggung ke belakang hingga tersandar. "Aku tak menyangka bisa mencapai titik ini. Jika tak ada kau, entahlah apa yang akan terjadi denganku. Pasti sudah terkubur di dalam tanah."
.....
Hari keberangkatan Jaselle menjadi penanggung jawab prewedding yang entah siapa calon pengantinnya. Dia berangkat bersama Felicia tentu saja. Pagi-pagi sekali keduanya telah berada di bandara, naik burung besi menuju negara dengan keindahan alam yang luar biasa memukau.
Setelah menempuh perjalanan, mereka mendarat dengan selamat. Keluar dari pintu kedatangan internasional pun langsung ada orang yang menunggu dengan membentangkan kertas bertuliskan nama seorang penata rias terkenal.
"Ku rasa, klien kali ini memang bukan orang sembarangan," gumam Jaselle di telinga sahabatnya saat menatap mobil yang menjemput adalah edisi terbaru dan masih sangat mulus.
"Lumayan, lah ... anggap saja kita sedang menjadi princess," kelakar Felicia, diiringi tawa.
"Andai jadwal tidak padat, pasti aku akan menggunakan waktu di sini untuk jalan-jalan." Switzerland adalah tempat yang sangat indah untuk menghilangkan penat. Dia awalnya ingin tinggal di sana, tapi rupanya memilih negara lain karena mau belajar tentang fashion.
Felicia menepuk pelan punggung sang sahabat. "Gampang, kita curi-curi waktu luang saja. Pasti bisa jalan-jalan walau sebentar. Anggaplah kerja sambil liburan."
Keduanya pun masuk ke dalam mobil. Mereka mendiskusikan tentang konsep yang diminta oleh klien. Sepanjang perjalanan hanya berisi perbincangan terkait pekerjaan. Selalu begitu. Jaselle dan Felicia tak pernah mengungkit masalah cinta. Sebab, keduanya telah merasakan bagaimana enaknya hidup tanpa ada luka.
Kurang lebih empat jam tiga puluh menit mobil itu melaju tanpa suara bising. Tentu saja karena menggunakan tenaga listrik agar tidak menambah polusi di lingkungan. Akhirnya berhenti juga di depan sebuah rumah kayu.
Di Zermatt tidak boleh sembarang mobil masuk ke sana karena kota itu memang menjaga kualitas udara dari polusi. Namun, entah keluarga seperti apa kliennya kali ini sampai kendaraan pun berhenti di depan rumah. Mungkin karena menggunakan tenaga listrik sehingga tak ada asap yang dikeluarkan atau bisa jadi membayar denda? Sudahlah, Jaselle tak akan memikirkan tentang hal itu, yang penting pekerjaannya selesai.
"Nona, sudah sampai," supir membangunkan penumpang di belakang yang tengah tertidur. Hingga tiga kali ia bersuara, barulah ada yang terbangun.
"Ha? Oh, ya." Jaselle mengerjapkan mata, kemudian menggoyangkan lengan sahabatnya supaya bangun.
Kedua wanita itu turun di depan sebuah rumah yang dibangun menggunakan kayu. Nampak artistik, indah dipandang, dan pasti interior dalam juga tak kalah bagus.
Jaselle hendak membuka bagasi untuk mengambil seluruh barang bawaannya. Tapi, supir yang menjemputnya telah melarang.
"Anda langsung masuk saja, Nona, saya yang bawakan," ucap supir itu dengan ramah.
"Tidak apa, aku bisa," tolak Jaselle.
"Ini tugas saya, Nona. Jika pekerjaan saya diambil alih oleh Nona, lantas saya harus bekerja apa?"
"Aku hanya mau meringankan tugasmu," jelas Jaselle. Rupanya kebaikan hatinya tak pernah hilang walau sekecil apa pun.
"Saya lebih baik direpotkan saja." Supir itu telah lebih dulu membuka bagasi dan menggenggam pegangan koper. "Silahkan jalan, Nona."
Felicia menepuk pundak Jaselle supaya mengalah. "Sudahlah, biarkan saja dia melakukan pekerjannya."
Akhirnya Jaselle mengikuti sahabatnya untuk menghampiri pintu rumah kayu itu. Dengan sedikit perasaan tak enak karena barang-barangnya harus merepotkan orang lain.
Punggung jembari Jaselle mengetuk pintu, memberi tahu pada orang yang ada di dalam bahwa tamu datang. Walau ia tak tahu apakah benar di sana berpenghuni atau tidak. Tapi, melihat supir yang mengantarnya juga ikut berhenti dan menunggu, tandanya memang mereka perlu menanti seseorang membukakan agar bisa masuk ke dalam.
"Tidak ada jawaban, Nona?" tanya supir itu.
"Belum, mungkin sedang pergi," jawab Jaselle.
"Biar saya coba ketuk, mungkin Nona kurang keras." Supir itu lebih ke arah menggedor karena menggunakan tenaga.
Dan ... benar saja cara itu jauh lebih ampuh karena kini terdengar kayu yang tertarik ke dalam. Lalu, memunculkan sosok perempuan cantik berambut panjang.
"Siap—" Pemilik hunian itu tak jadi bertanya saat melihat bahwa yang datang adalah penata rias yang ditunggu-tunggu.
Wanita itu justru membulatkan mata dan memekik senang. "Aaa ... Jassy, right?" Sangat heboh, dia main memeluk Jaselle.
"Ya." Jaselle mengangguk. Dia bukan mengganti nama, tapi membranding dirinya dengan sebutan Jassy.
"Ayo masuk, aku sudah menunggumu dari tadi," ajak wanita itu. Terliat riang, ia menarik pergelangan Jaselle.
"Duduklah, istirahat dulu, pasti lelah perjalanan ke sini." Dia juga mempersilahkan dengan menunjuk sofa berbahan beludru abu-abu itu.
Jaselle dan Felicia saling berpandangan. Mereka kebingungan sendiri menghadapi klien yang amat ceria. Demi apa pun, baru kali ini keduanya dihadapkan oleh manusia yang sekali ketemu sudah heboh layaknya sahabat lama yang baru bertemu setelah sekian lama. Atau lebih tepatnya manusia yang sok kenal sok dekat.
"Tunggu di sini sebentar, aku akan buatkan minum." Dia pergi begitu saja dengan berjalan cepat menuju dapur.
"Apa mungkin dia kelebihan konsumsi gula sampai membuatnya menggebu-gebu begitu?" bisik Felicia di telinga Jaselle yang duduk di sebelahnya.
Jaselle menyenggol lengan Felicia. "Jangan begitu, setiap orang mengekspresikan rasa senang dengan cara berbeda-beda."
"Tapi, dia ini terkesan hyperactive."
"Dia bukan anak-anak yang terkena sugar rush akibat konsumsi gula berlebih. Lebih tepatnya dia periang, mungkin memang begitu sifatnya, wanita ceria."
Jaselle dan Felicia berhenti saling berbisik saat si pemilik rumah telah muncul lagi dari arah dapur.
"Aku buatkan cokelat hangat untuk kalian. Juga cookies buatanku." Dia menjamu tamu dengan sangat niat. "Aku sengaja mempersiapkan." Lalu ikut duduk di seberang Jaselle. "Ayo, dicoba."
Jaselle mengangguk, dan meraih mug kecil itu. Sedikit menyeruput. "Em ... enak," pujinya dengan jujur.
"Syukurlah kalau kau suka. Aku sengaja membuat ini special memang untukmu. Aku fans berat dengan semua konten di instagram dan tiktok Jassy." Terlalu senang, dia sampai lupa sesuatu. "Oh iya, belum memperkenalkan diri." Tangannya terulur mengajak salaman. "Abigail Chalista Bonnie. Kau bisa memanggilku Abby."
"Jase—" Bibirnya hendak mengucap nama asli, tapi Felicia segera menyenggol lengan untuk mengingatkan. Jadi, segera diperbaiki. "Jassy." Ia juga balas dengan ramah penuh keceriaan.
Abigail juga menjabat wanita satunya. "Kau pasti sahabat Jassy, kan? Aku juga fans beratmu. Bahkan sangat kagum dengan persahabatan kalian," pujinya sangat menggebu-gebu. Dia tahu karena mengikuti perjalanan sosial media Jassy dari pengikut masih sedikit hingga jutaan.
"Ya, Felicia. Kau bebas memanggilku apa saja."
"Aku akan memanggilmu Feli seperti Jassy. Siapa tahu kita bertiga bisa berteman dekat." Abigail meringis polos. Tapi, dia memang sosok yang seperti itu, periang karena sebetulnya tidak memiliki banyak kawan.
Jaselle dan Felicia hanya mengangguk bersamaan. Mereka menganggap kalimat tadi hanya basa-basi dan keramahan dari klien.
"Mau ku perlihatkan kamar kalian menginap?" tawar Abigail.
"Boleh." Jaselle mengangguk.
"Ayo, ikut denganku." Begitu antusias bertemu idola, Abigail bahkan mengampit tangan Jaselle dan Felicia. Ia berada di tengah-tengah.
Membawa ke ruangan yang tidak jauh dari ruang tamu. "Nah ... ini dia tempat kalian istirahat. Sudah aku bersihkan."
Biasanya Jaselle akan diberi kamar hotel kalau ada klien dari luar negeri. Baru kali ini ia diajak menginap di rumah yang sama. Tapi, ruangan yang diberikan untuknya memang luas. Bisa ditempati untuk dua orang.
"Bagaimana, kalian suka? Kalau tidak, katakan saja, nanti aku bisa rubah sesuai keinginan, yang penting selama di sini bisa membuat nyaman." Abigail itu jauh dari kata sosok menyebalkan. Terlalu ramah dengan wajah yang cantik memesona.
"Sudah, cukup." Jaselle merangkul Abigail. "Kau baik sekali dengan kami, ramah. Beruntung yang menjadi calon suamimu."
Senyum Abigail mengembang. "Aku hanya berusaha memperlakukan orang sebagaimana diriku ingin diperlakukan."
Jaselle mematung sejenak. Dia seakan ditarik kembali ke masa tujuh tahun silam. Kalimat itu seperti ucapan sahabatnya yang memberi saran supaya memperlakukan janin dalam kandungannya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Mendadak wajah berubah sendu jika teringat masa kehamilan yang sangat berat itu.
"Apa aku salah bicara?" Abigail menangkap gurat yang berbeda di wajah idolanya. "Aku minta maaf jika kalimatku menyakitimu."
Jaselle menggeleng dan tersenyum lembut. Dia bagai melihat diri sendiri yang selalu mengatakan maaf di masa lalu, walau tak salah sekali pun. "Aku senang memiliki klien sepertimu."
"Baiklah, sepertinya sudah cukup kita beramah-tamah. Bagaimana jika mulai siap-siap merias? Pemotretannya dimulai hari ini, kan?" Felicia lekas mencari topik agar suasana kembali pada jalan yang semestinya.
"Iya, sore ini. Tapi, calon suamiku belum sampai. Sepertinya sedang perjalanan ke sini," jelas Abigail.
"Tidak masalah, pria biasanya hanya berganti pakaian saja. Persiapannya cepat." Jaselle meminta ditunjukkan ruang untuk merias.
Ketiga wanita itu pun kini berada di dalam kamar Abigail. Koper berisi makeup telah berada di hadapan Abigail. Wanita itu bisa melihat pantulan wajah di cermin berlampu terang.
"Aku mulai, ya?" izin Jaselle.
"Ok, ku percayakan hasilnya padamu." Abigail mengangkat jempol. Dia pasrah dan menurut saja dengan instruksi yang diberikan.
Jaselle yang mengurus bagian wajah, sementara Felicia bagian rambut. Mereka melakukan pekerjaan secara bersamaan supaya cepat selesai.
Sudah sering melakukan hal begitu, jadi merias satu orang tidak membutuhkan waktu lama. Apa lagi kliennya tak meminta yang aneh-aneh.
"Selesai," ucap Jaselle. "Kau hanya perlu ganti pakaian saja," imbuhnya.
Melihat diri sendiri di cermin, mata Abigail membola dengan binar memuja. "Ternyata memang benar, hasilnya bagus, halus, dan natural."
"Terima kasih pujiannya." Jaselle memegang dada dan sedikit membungkuk. Ia lalu mengemasi peralatan makeup.
Telinga yang tajam menangkap sebuah suara derit pintu kayu yang terdorong. Jaselle memastikan sekali lagi dan kali ini justru langkah kaki seseorang yang ditangkap.
"Abby, ku rasa ada orang masuk ke dalam rumahmu," beri tahu Jaselle.
"Oh ... mungkin calon suamiku sudah datang. Di sini aman, tenang saja. Tak mungkin ada orang jahat yang berkeliaran di lingkungan seaman Zermatt." Abigail mengusap lengan Jaselle, lalu ia berdiri dari tempat duduk.
"Ayo, ku kenalkan dengan calonku," ajak Abigail.
Tapi, pintu kamar justru sudah dibuka oleh orang yang baru saja datang. Manusia itu tanpa suara, bahkan tak memanggil nama pemilik rumah juga. Seakan sudah terbiasa melakukan itu.
Jaselle membeku melihat siapa yang hadir di sana. Pria yang sangat tak ingin ia ingat lagi. Bahkan untuk melupakan sosok itu pun butuh waktu dan perjuangan yang tidak main-main.
Sebentar, apa hubungan Galtero dengan Abby? Jika tak salah menduga, apakah pria itu adalah ....
"Akhirnya kau datang juga, Sayang." Abigail berpindah, menjadi berdiri di samping pria tanpa ekspresi. Dia melingkarkan tangan di lengan kokoh tersebut. "Kenalkan, ini calon suamiku, Galtero Wagen Giorgio." Lalu ia balik memperkenalkan dua wanita tadi. "Dan mereka adalah penata rias yang sering aku ceritakan padamu. Dia Felicia, dan satu lagi Jassy." Telunjuknya menunjuk Jaselle.
.
.
.
Part 6
Selama hidup tanpa pasangan dan fokus karir, Jaselle meyakini dirinya bahwa sudah berhasil melupakan mantan, kenangan, serta menghapus segala rasa yang pernah ada. Namun, kenapa ketika melihat sosok itu, orang yang pernah dicintai tulus sepenuh hati sekaligus penancap luka, ada sesuatu yang aneh hinggap di tubuhnya? Tepatnya bagian dada.
Jaselle bahkan mematung dan belum bisa bergerak atau menyapa. Mata juga tidak berkedip. Justru terkejut bukan main. Entah ini kebetulan secara sengaja atau tidak, tapi ada rasa sesak tanpa permisi menggerogoti jiwanya.
Tanpa sadar, wanita itu seakan kembali dihantarkan perih dari sakit hati, padahal ia dan Galtero tak memiliki hubungan apa pun sejak tujuh tahun silam. Namun, menyaksikan pria yang pernah menjadi rumahnya untuk pulang itu digandeng wanita lain, membuat tenggorokan jadi tercekat.
Jaselle tidak mengenali dirinya lagi. Mengapa bisa pria itu mempengaruhi kondisi hatinya sedemikian hebat? Selama ini dia berhasil melewati masa sulit. Tapi, ketika dihadapkan kembali justru membuat perasaannya goyah.
Untuk apa aku sedih? Seharusnya bahagia karena dia telah menemukan orang yang dijadikan pelabuhan terakhir. Jaselle sebatas berkata dalam hati. Dia harus ingat bahwa pria itu bukanlah Galteronya yang dahulu, bukan miliknya lagi.
Bukan Jaselle saja yang dibekukan oleh pandangan. Sepasang mata abu-abu gelap Galtero pun sejak tadi tak berhenti menatap ke arah si penata rias itu. Tapi, sulit menyelami apa yang tengah dirasakan karena dia memang tak mudah terbaca. Terlalu datar.
Sama halnya dengan Felicia. Ia tak kalah terkejut dengan kenyataan yang ada. Demi apa pun, jika tahu klien yang akan dihadapi adalah mantan kekasih sahabatnya, lebih baik tidak ia terima daripada membuat suasana hati Jaselle kembali buruk. Sejak tadi mengamati perubahan reaksi wanita di sampingnya. Memastikan apakah baik-baik saja atau justru sebaliknya.
Hanya Abigail yang tidak mengerti akan situasi. Dia menangkap keheningan di sana karena memang prianya yang kurang ramah. Jadi, bibir kembali berbicara. "Ah ... maafkan calon suamiku yang tidak menyapa kalian." Ada ringisan kecil pertanda tak enak hati. "Dia memang begini, kaku, jarang bicara pada orang yang belum dikenal."
Begitu entengnya Abigail menunjukkan kedekatan dengan mengusap lengan Galtero. Mungkin wanita itu tak tahu jika Jaselle adalah bagian dari masa lalu pria itu.
Jaselle mengangguk dan menarik dua sudut bibir kaku. Mata mendadak terasa panas menyaksikan kemesraan itu. Tidak, dia menyangkal bahwa cemburu. Tujuh tahun telah meyakinkan dirinya bahwa Galtero bukan lagi siapa-siapa. Hanya saja, ingatan tentang masa lalu mendadak mengisi kepalanya. Kenangan yang selama ini berusaha disingkirkan, begitu mudah masuk kembali dalam sanubari.
Abigail tak perlu memberi tahu kenapa pria itu tidak menyapa, Jaselle telah mengenal lama, bahkan tahu hampir seluruh kebiasaan Galtero. Namun, dia tak ingin memberikan kesan kalau sebenarnya tahu tentang siapa calon suami kliennya itu.
"Fotografernya sudah siap?" tanya Galtero. Orang yang ditanya ada di samping persis, tapi tatapnya tertuju pada wanita masa lalu. Sebagai calon pengantin, dia terkesan tidak romantis. Buktinya hanya Abigail yang bergelayut, sedangkan ia tidak membalas dengan merangkul. Cenderung pasrah dan membiarkan wanitanya melakukan apa pun sesuka hati.
"Sudah, mereka langsung di lokasi. Jadi, kita tinggal berangkat ke sana." Abigail menunjuk setelan yang sudah ia siapkan di atas ranjang. "Itu pakaian gantimu."
Tak berkedip sejak tadi, entah apa isi pikiran Galtero, pria itu kini melepaskan tangan calon istri. Sepasang kakinya berjalan ke arah Jaselle yang tetap mematung bagai orang bodoh.
Ah ... memang sebegitu kuat pengaruh Galtero dalam diri Jaselle. Bahkan ia sadar kalau sejak tadi tatap itu tertuju padanya. Ketika pria masa lalunya kian mendekat, ada debaran yang telah lama tak ia rasakan pun mengobrak-abrik jiwa. Demi apa pun, aku benci situasi begini. Bibirnya sulit berucap, dan sebatas keluhan tanpa suara yang ia keluarkan.
Jaselle khawatir dan risau kalau Galtero mendadak melakukan hal yang bisa membuat suasana menjadi kacau atau canggung. Misal tiba-tiba memeluknya, lalu mencium kening. Dahulu sering kali pria itu melakukannya dengan ekspresi yang sama, datar tapi tiba-tiba menghambur dalam pelukan.
Namun ... itu dahulu. Sekarang rupanya telah berbeda, kekhawatiran Jaselle tak terjadi. Galtero hanya melewatinya, tepat di samping kiri. Lengan pria itu sempat bergesekan dengannya. Semerbak parfum woody bercampur spice langsung menguar di indra penciuman. Hanya sebatas menghirup aroma tubuh Galtero pun berhasil membuatnya teringat masa lalu. 'Aku suka wangimu saat memakai parfumku.' Itu adalah kalimat yang selalu Galtero katakan padanya saat mendusel di lehernya, lalu mengecup, dan memberikan sentuhan sensual lain.
Seharusnya Jaselle lega karena ia tak perlu bersusah payah pura-pura tidak mengenal. Namun, kenyataannya berbeda. Dilewati begitu saja justru membuatnya bagai dihantam oleh kenyataan bahwa perpisahan kala itu benar-benar berakhir buruk.
'Ku mohon, jadilah asing, meski suatu saat kita tak sengaja bertemu.' Jaselle ingat kalimat terakhir kala itu. Lantas, kenapa sekarang ia terkesan gundah karena Galtero bersikap layaknya orang yang tidak mengenalnya? Seharusnya dirinya pun berbuat begitu. Toh tak ada urusan apa-apa, semua sudah selesai tujuh tahun silam.
"Kenapa kalian masih di dalam? Keluar! Aku mau ganti!" Suara Galtero mengusir dengan tegas dan dingin.
Jaselle menarik napas dalam dan tak sadar tangannya sudah mengepal. Selalu begitu jika hati sedang gundah, resah, atau gelisah. "Oh, iya, maaf." Dia berjalan menuju pintu dengan menahan diri supaya tidak menangis.
Mengaku payah, Jaselle lemah sekali kalau masalah menghadapi Galtero. Mungkin karena ada sesuatu yang sesungguhnya benar-benar belum terselesaikan, tapi dia memaksa dan menganggap semua telah beres. Entah bagian perasaan atau mungkin tentang kandungannya yang belum sempat diceritakan pada masa itu.
Abigail juga ikut meninggalkan kamar. Dia tahu kalau Galtero tak menyukai ada orang lain mengintip saat berganti. Padahal, tanpa ia ketahui, dahulu saat bersama Jaselle justru kebalikannya.
"Maaf, ya ... tolong jangan dimasukkan ke hati perlakuan calon suamiku itu. Dia memang sedikit kurang ramah, tapi aslinya baik." Abigail mengusap lengan Jaselle dan menatap sendu. "Tolong jangan kapok menjadi penata riasku," pintanya.
Berkali-kali mendengar kata calon suami dari bibir Abigail, dalam hati Jaselle yang tersembunyi rasa ingin meminta supaya tidak menyebut begitu lagi. Maksudnya adalah sudah cukup sekali saja memperkenalkan sebagai pendamping masa depan, tidak perlu dipertegas setiap kali berbicara. Dia juga akan selalu ingat akan hal itu.
"Iya, kami istirahat di kamar dulu," sahut Jaselle. Dasar wanita, bisa-bisanya berkamuflase menjadi sosok yang sok tegar padahal aslinya rapuh.
"Oh, silahkan. Kalian istirahat saja, nanti tak perlu ikut bersamaku ke lokasi pemotretan. Pasti lelah juga baru datang." Abigail berhenti mengikuti.
Jaselle dan Felicia pun masuk ke dalam kamar. Tidak lupa mengunci.
Langsung menghempaskan pantat di ranjang, Jaselle mendesah lelah. "Kenapa harus bertemu dia?" gumamnya sangat menyayangkan. "Dari sekian banyak negara yang sudah ku datangi, kenapa kami berjumpa? Setelah tujuh tahun tak pernah sekali pun berpapasan."
Felicia mengerti bagaimana perasaan sahabatnya. Maka, ia duduk di samping untuk menyalurkan semangat. "Aku juga tak tahu kalau klien ini adalah mantanmu. Seperti biasa, kita tidak pernah bertanya tentang nama yang akan dirias. Hanya menerima siapa yang memesan dan pembayaran." Mengusap punggung Jaselle, ia ikut merasa bersalah atas kejadian hari ini karena dirinya yang bertugas menyetujui agenda. "Maaf, lain kali aku akan bertanya siapa nama yang akan dirias, supaya tidak terjadi hal seperti ini dikemudian hari."
"Kau tidak salah, Fel. Aku saja yang belum siap bertemu lagi dengannya." Jaselle bersandar di pundak sang sahabat, menghela napas berat. "Tapi, tetap harus profesional, bukan? Lagi pula, aku yang meminta supaya kami asing saat bertemu. Aku cukup menganggap tidak mengenal Galtero."
"Ya, kau pasti bisa." Felicia itu memang tipe sahabat yang sangat diinginkan banyak wanita. Selalu mendukung dan ada disetiap situasi apa pun.
Sementara di ruangan tadi, Galtero baru saja selesai berganti. Keluar dengan wajah tampan tiada celah cacat sedikit pun. Dia berjalan begitu gagah menuju calon istri yang sudah menanti di ruang tamu.
"Sudah siap? Ayo kita berangkat," ajak Abigail. Wanita itu senang sekali melingkarkan tangan di lengan Galtero.
Tak langsung bergerak, Galtero menengok sekitar. "Penata rias itu, mana?" terkesan datar bagi orang yang penasaran. Entah apa maksud ia bertanya, terlalu sulit untuk dimengerti.
"Istirahat. Biarkan saja, lagi pula make up ini tak mungkin luntur juga."
Galtero mengabaikan kalimat tersebut. Dia singkirkan tangan Abigail dan menuju kamar yang diyakini adalah ruangan Jaselle. Sebab, tadi sempat mendengar pintu itu tertutup ketika ia masih berganti.
Tanpa mengetuk atau permisi, Galtero mencoba membuka pintu, tapi tak bisa karena dikunci dari dalam. "Buka!" titahnya.
"Sayang, jangan ganggu mereka. Biarkan saja tidur, pasti lelah perjalanan jauh." Abigail menarik lengan calon suaminya supaya menjauh dari pintu.
"Aku tak ingin menyia-nyiakan uang yang sudah dikeluarkan untuk membayarnya," tepis Galtero. Dia tetap memaksa supaya Jaselle membuka dan memunculkan wajah di depannya. "Ku dobrak jika kalian tidak segera keluar!" ancamnya kemudian.
Abigail tak bisa berbuat apa-apa jika sudah begitu. Dia diam dan lagi-lagi merasa bersalah.
Malas mendengar keributan, akhirnya Felicia membuka. Dia melotot pada Galtero. Pasti Jaselle tak mungkin berani melakukan itu. Maka, biarkan ia yang mewakili. "Ada apa?!" Kedua tangan melipat di dada, memberikan kesan menantang.
Oh tentu sebagai sahabat merasa kesal jika Jaselle diganggu. Tugas mereka telah selesai juga untuk merias Abigail.
"Kalian, ikut bersamaku!" titah Galtero. Namun, tatapnya lagi-lagi tertuju pada Jaselle yang duduk di ranjang. "Aku membayar bukan untuk kalian bersantai di sini," tegasnya kemudian.
"Kami tak bersantai, ya! Aku dan Jasel—" Felicia segera meralat panggilan tadi sebelum kelepasan. "Jassy sudah melakukan tugas." Ia tunjuk Abigail yang ketakutan melihat pertikaiannya dengan Galtero. "Lihat calon istrimu itu, sudah cantik bagai bidadari yang baru saja turun dari kayangan."
"Aku tidak mau ambil risiko. Bagaimana jika riasannya luntur, lipstik memudar, dan lain sebagainya?" Galtero masih kukuh tanpa mau dibantah.
"Tidak mungkin, riasanku terkenal awet, tahan lama. Jadi, kau tenang saja." Jaselle berusaha menanggapi dengan tenang.
"Dengar apa yang dia katakan!" seru Felicia. Dia kesal sekali, entah kenapa merasa bahwa pertemuan ini bukan secara tidak sengaja. Sebab, tujuh tahun berkelana, baru kali ini mendapatkan klien Galtero.
"Sudah, Sayang. Ayo kita pergi tanpa mereka." Abigail berusaha menarik tangan calon suami. Tapi, tetap tak berhasil.
"Membiarkan orang tak dikenal berada di rumahmu tanpa pengawasan? Bagaimana jika mereka mencuri barang berharga di sini?" Sebelah sudut bibir Galtero tertarik sebelah. Tatapnya tak pernah bergeser sedikit pun dari Jaselle.
"Apa maksudmu?! Kau menuduh kami pencuri?!" Felicia tidak terima, dia dorong dada bidang mantan kekasih sahabatnya.
"Aku tak berkata begitu, tapi kau sendiri yang semakin memperjelas." Selain berhati dingin, ternyata Galtero masih sama, tak berperasaan. Seperti saat tujuh tahun silam, ketika memutuskan hubungan dengan Jaselle.
Jaselle paling anti dengan keributan. Galtero juga tahu tentang hal itu. Maka, ia memilih bangkit. "Iya, kami akan ikut," putusnya.
"What?" pekik Felicia. "Diperjanjian tak ada kita harus mengikuti kemanapun klien pergi. Kalau memang tidak percaya dengan kita, cukup keluar saja. Tinggalkan tempat ini dan pergunakan untuk jalan-jalan."
"Aku akan membuat ulasan buruk tentang jasa kalian. Penata rias kelas internasional tidak bisa bekerja secara profesional," ancam Galtero.
Felicia mengepalkan tangan. Ingin sekali menonjok wajah pria itu yang kini bertambah arogan dan seenaknya.
"Tenang saja, aku sangat profesional." Jaselle manatap manik abu-abu gelap itu dengan berani. Dia tidak boleh goyah atau menunjukkan bahwa ada rasa yang mendadak bangkit dari tidur panjangnya.
.
.
.
Part 7
Jika ada yang bertanya pada Jaselle tentang hal apa yang paling menyedihkan akhir-akhir ini? Pasti wanita itu akan menjawab tanpa banyak berpikir panjang. Tentu saja bertemu kembali dengan mantan, seseorang yang pernah berarti baginya, tapi kini bukan lagi apa-apa.
Jaselle terjebak dalam situasi yang sangat tak diinginkan. Selama tujuh tahun terakhir begitu kerja keras untuk menepis seluruh ingatan tentang Galtero. Tapi, saat takdir mempertemukan mereka, rasanya semua bagai perjuangan yang sia-sia.
Rasanya tetap sama, ada sesak secara diam-diam Jaselle sembunyikan. Ia piawai untuk menutupi gundah hati yang melanda. Padahal, jika boleh jujur, tidak tahan terlalu lama berada di sana. Duduk menanti orang yang pernah dicintai sedang melakukan prewedding bersama wanita lain.
Rupanya hati Jaselle tak sekuat itu. Kemarin ia lewati sangat sulit, tapi pada akhirnya berhasil tidak mengacaukan pemotretan, meski Galtero sering kali membuat gara-gara dan membuatnya susah hingga mau tak mau harus mendekat pada dua calon pengantin tersebut. Entahlah, mungkin pria itu memang sengaja ingin membuatnya kian merasakan kepiluan, atau berpikir mau menguji apakah dirinya sudah move on atau belum.
Jaselle hanya berharap waktu satu minggu di Switzerland lekas berlalu. Dia ingin segera kembali ke negara tempatnya tinggal, lalu menetralisir perasaannya supaya kembali pada titik yang semestinya.
Semakin diharapkan justru jarum jam terasa begitu lambat berputar. Dua puluh empat jam seperti satu tahun. Nyatanya, sekarang baru hari kedua Jaselle berada di negara yang seharusnya sangat indah untuk dinikmati. Namun, cantiknya suasana sekitar dan pemandangan yang ada, tidak mampu membuat perasaannya baik-baik saja. Ia tak bisa menikmati surganya dunia dengan tenang. Padahal, Switzerland adalah tempat yang sangat ia sukai karena nampak menenangkan. Sayangnya, semua tak lagi begitu karena ada Galtero yang membuat harinya berubah gelisah.
Jaselle hanya bisa terduduk diam di atas alas yang menutup rerumputan hijau. Sejak tadi wajahnya menunduk dan memainkan jemari saling bertarung. Ia bingung, pikiran mendadak beku untuk menghindar dari sumber sakitnya.
"Jika kau tak kuat berada di sini, ayo kita pergi saja," ucap Felicia. Dia paling mengerti bagaimana perasaan sahabatnya, sampai menggenggam tangan Jaselle yang terasa sangat dingin.
"Apa bisa?" Mata Jaselle menatap sosok yang selalu ada di sisinya, memancarkan sorot lelah tergambar jelas dari maniknya. "Jika dia membuat ulasan buruk tentang jasa kita, bagaimana? Kau tahu ancaman Galtero tidak pernah main-main. Aku tak ingin karir yang kita bangun dengan susah payah, berakhir begitu saja."
"Daripada kau murung terus begini. Aku tidak ingin kau kembali pada masa-masa depresimu. Jika Galtero masih bisa memengaruhi kondisi mentalmu, lebih baik aku kehilangan nama daripada sahabatku tertekan batinnya." Felicia meyakinkan dengan menepuk punggung tangan Jaselle.
Namun, Jaselle menolak. "Kita perlu menghidupi banyak orang, Fel. Jika aku hanya memikirkan diri sendiri, pasti aku langsung pergi saat tahu kalau klien kali ini adalah Galtero. Tapi, banyak yang bergantung pada kita."
Felicia menghembuskan napas berat. "Kau selalu begitu, memikirkan orang lain dalam setiap keputusanmu." Ia menggeser duduk supaya lebih dekat, lalu menepuk pundak. "Bersandarlah, aku tahu kepalamu pasti sedang berat."
Jaselle terkekeh, perlahan ia bersandar di bahu yang selalu berusaha menguatkannya. "Ku harap pemotretan hari ini tidak seperti kemarin."
Kemarin terasa lama karena Galtero susah sekali diarahkan gayanya. Fotografer juga sampai kesal. Jaselle tak tahu persis akibat apa, ia tidak begitu memerhatikan. Sebab, tak kuasa jika harus menatap kemesraan di depan matanya. Andai pasangan itu adalah orang lain, pasti tak masalah. Tapi, itu adalah bagian dari masa lalunya yang ternyata belum benar-benar berhasil dilupakan begitu saja.
Sayangnya, apa yang diharapkan oleh Jaselle tidak mungkin terkabul begitu saja. Fotografer mengeram kesal karena sejak tadi belum ada pose yang bagus.
"Tuan, tolong tatap calon istri Anda!" tegur fotografer itu. Ini sudah yang kesepuluh kali ia mengingatkan. "Objeknya ada di depanmu, bukan di belakang punggunggku," imbuhnya.
Abigail mendesah lelah. "Ayolah ... fokus sebentar," pintanya. Lalu, ia ikuti arah tatapan Galtero yang sejak tadi membuat mereka tak kunjung selesai di lokasi pemotretan pertama pada hari kedua.
Alis Abigail terangkat sebelah kala menyadari bahwa Galtero menatap penata rias idolanya. "Kenapa? Ada yang salah dengan mereka?"
Galtero mengedikkan bahu tanpa memberikan penjelasan apa-apa. Namun, tatap itu tak henti. Ada sesuatu yang membuatnya terusik tiap kali melihat wanita dari masa lalunya.
"Jangan buat mereka tak betah mendapatkan klien kita. Nanti aku tak bisa menggunakan jasanya lagi kalau kau terus membuat masalah dan merepotkan mereka," pinta Abigail. Yang dia mengerti dari situasi saat ini adalah calon suaminya terkesan tidak suka dan mau mencari gara-gara pada penata riasnya. Ia sentuh rahang sang pria, lalu diarahkan supaya menatapnya. "Pandang aku saja. Kau pasti terusik dengan keberadaan orang baru disekitarmu, kan? Maka, cukup anggap mereka tidak ada di sini, atau biarkan Jassy dan Felicia jalan-jalan menikmati Switzerland."
Rupanya Abigail tak begitu mengenal calon suami. Apa lagi kisah masa lalu dari seorang pria yang akan menikah dengannya beberapa bulan lagi.
Galtero tetap tak bersuara, tapi kali ini ia memindai penampilan wanita yang berusaha mengalihkan pikirannya. Tiba-tiba satu sudut bibirnya tertarik. "Hei, kau!" Suaranya berseru diiringi tangan menunjuk Jaselle dan Felicia. "Penata rias!" Padahal ia tahu namanya, tapi enggan mengatakan.
Sepasang sahabat yang sejak tadi memunggungi Galtero itu pun menengok bersamaan.
"Apa?!" Felicia yang bertanya dengan sedikit songong.
"Ke sini!" titah Galtero. "Rias ulang calon istriku, wajahnya terlalu pucat!"
Abigail segera bergeleng. "Tidak perlu, aku suka dandanan begini, natural," tolaknya.
Mata Galtero melotot pada calon istri. "Aku yang tidak suka! Bibirmu kurang merah."
Jaselle yang mendengar kalimat itu pun reflek mengerutkan kening. Sejak kapan dia suka wanita berbibir merah?
Tapi, sudahlah, tak perlu dicari jawabannya. Jaselle cukup mengikuti kemauan kliennya yang lumayan merepotkan.
"Hei ... kalian bisa mendengar perintahku atau tidak?!" Galtero berseru sekali lagi. "Ku katakan bahwa calon istriku harus dirubah penampilannya!" Ia sengaja menekankan kata calon istri. Entah untuk apa.
Tapi, hal itu berhasil membuat Jaselle merasa berdesir. Desir penghantar sakit. Sekarang ia sadar bahwa usaha selama ini bukan membuatnya melupakan mantan, tapi sekadar memaksa diri untuk tidak memikirkan. Nyata, kini kembali berpusar pada kenangan yang pernah terjadi di masa lampau. Galtero pernah memanggilnya dengan 'calon istri' juga. Walau kenyataannya dia tidak benar-benar dinikahi, atau dilamar juga tidak. Oh ... ya memang miris karena saat itu ia sangat percaya dan mudah terbawa perasaan.
"Abby ... kau bisa ke mari?" pinta Jaselle dengan lembut. "Alat makeup ada di sini."
"Oh, ya, tentu." Abigail menghampiri Jaselle. Dia sepertinya jenis wanita yang tidak memiliki kekuatan melawan Galtero. Atau lebih tepatnya memang pria itu yang sulit untuk dilawan jika sudah memiliki keinginan dan perintah harus dilaksanakan.
Saat Jaselle membuka koper berisi alat tempur kerjanya, Galtero kembali memberikan perintah. "Cukup satu saja yang mengurusnya. Aku berkeringat, pasti wajahku jelek jika difoto. Kau ...." Telunjuknya terarah pada Jaselle. "Buat wajahku kembali segar!"
Menghela napas, Jaselle hendak berdiri, namun Felicia menahan.
"Biar aku saja yang mengurusnya, kau pegang Abby," ucap Felicia. Ia ambil tisu dan beberapa alat makeup. Ingin membuat pelajaran pada Galtero karena menyebalkan.
"Siapa yang bilang aku mau disentuh olehmu?" Galtero menepis tangan Felicia yang hendak mengusap wajah dengan tisu. "Aku minta dia." Matanya melirik Jaselle. "Jassy." Seakan sengaja memanggil dengan penekanan, itu terkesan mengejek.
Felicia mengepalkan tangan. "Dia atau aku, sama saja. Kami memiliki keahlian yang sama." Lalu, sedikit mendekat dan berbisik. "Aku tak tahu apa tujuanmu melakukan ini. Aku yakin kau sengaja menggunakan jasa kami. Apa pun alasannya, jangan menyusahkan Jaselle, brengsek!"
Galtero bertingkah seolah ia tidak mendengar apa yang dikatakan. "Aku tak ingin calon istriku dirias oleh tangan tak kompeten. Lihat saja hasilnya tadi, terlalu pucat. Jadi, kau saja yang meriasnya, dan dia yang mengurus aku."
"Turuti saja, Fel. Calon suamiku tak pernah mau kalah, daripada kalian ribut di sini," mohon Abigail. Ia mengusap lengan Jaselle dan menatap penuh rasa iba. "Maaf, ya ... jadi merepotkanmu. Nanti ku bayar lagi untuk kompensasi."
Jaselle menyengir. "Tidak perlu." Dia anggap itu adalah risiko kerja.
Jaselle pun berdiri, berjalan ke arah sang mantan. Ia menerima tisu, bedak, dan lip gloss.
"Aku akan meninju wajahnya kalau kau menginginkan itu," bisik Felicia saat berhadapan dengan sahabatnya.
Jaselle terkekeh lirih. "Ingat, umur kita sudah kepala tiga." Ia tepuk pundak Felicia. "Aku masih bisa mengatasi ini, tenang saja."
Mereka bertukar posisi. Kini Jaselle berdiri menghadapi Galtero, sang mantan. Jika ditelaah lebih dalam, jujur ia masih memiliki rasa. Sakitnya sama, ada sesuatu yang membuatnya mengganjal dan seperti belum rela kalau masa lalunya dimiliki wanita lain. Namun, semua ia anggap sebatas angin lalu, nanti juga sembuh lagi lukanya. Mungkin itu perasaan sesaat.
Jaselle menarik satu tisu, lalu mengulurkan ke arah wajah. Padahal tak ada keringat sedikit pun yang menetes. Dia hanya menuruti perintah karena malas berdebat, agar cepat selesai juga. Berusaha menghindari tatapan mata.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Galtero. Suaranya lirih dan cukup didengar oleh Jaselle saja. Lagi pula jaraknya dengan Abigail lumayan jauh, kurang lebih delapan meter.
Jaselle tidak menjawab. Bukan urusan Galtero juga tahu tentang keadaannya. Tak ada hubungan apa pun lagi yang mengharuskan saling tahu kabar satu sama lain.
"Kenapa diam? Kau mendadak bisu?" Galtero menahan pergelangan Jaselle agar berhenti membersihkan wajahnya. "Atau ... jangan-jangan kau cemburu melihatku mau menikah dengan wanita lain? Sampai-sampai sejak kemarin tidak berani menatapku. Jika ku tebak, kau belum bisa melupakan aku, benar?"
Jaselle mengeluarkan udara dengan segenap rasa lelah. Jika benar, memang mau apa? Semakin melukai hatinya, begitu? Sayangnya, ia jauh lebih bisa membawakan diri sesuai prosi. Tidak mau terkesan menunjukkan kalau ada rasa yang belum berhasil dikubur begitu saja.
"Apa tidak salah pertanyaan itu? Seharusnya aku tujukan padamu. Kenapa kau mencari gara-gara padaku terus sejak kemarin?" Jaselle menepuk dada sang mantan dengan bibir terulas kaku. "Ingat, sekarang kita hanyalah orang asing yang tak saling mengenal."
Postur tubuh yang berbeda tinggi itu membuat Jaselle mendongak dan Galtero perlu menunduk supaya mereka bisa saling menatap. Pria itu perlahan kian menurunkan kepala dan berhenti tepat di samping telinga. "Apa harus seasing ini? Seperti kita tak pernah bercinta dan saling beradu lidah saja," bisiknya tanpa malu.
.
.
.
Part 8
Jaselle mengemasi seluruh barang bawaan. Tidak peduli bahwa ia baru saja memijakkan kaki di dalam kamar yang telah ditempati selama dua hari. Masa bodoh kalau badan masih terasa lelah setelah seharian dibuat dongkol, namun selalu tak pernah bisa diutarakan. Lebih tepatnya memang tidak mau mengeluarkan unek-uneknya di depan pria dari masa lalunya. Sebab, dia tak ingin terkesan menunjukkan masih ada rasa.
Felicia yang melihat sahabatnya menurunkan koper pun kebingungan karena sejak tadi Jaselle hanya diam saja. Tapi, reflek tangan mengikuti untuk membawa pergi bawaannya.
"Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba kau seperti ini?" tanya Felicia.
"Kita keluar saja dari rumah ini. Jujur, aku tak tahan jika terlalu lama berada satu atap bersama Galtero." Tentu ada penyebab dari keputusan tersebut. "Nanti aku beri tahu. Tapi, sekarang kita cari penginapan saja."
Felicia mengukuti apa mau temannya. Mereka berjalan keluar dari kamar. Kebetulan berpapasan dengan Galtero dan Abigail yang baru masuk entah dari pergi ke mana. Nampak dekat, mesra, tentu dengan si wanita yang terus melingkarkan tangan di lengan pria. Jaselle lekas memalingkan pandangan dari sumber sakit itu.
"Kalian mau pergi?" tanya Abigail.
"Ya, maaf kami tak bisa terlalu lama di sini," ucap Jaselle.
"Kenapa? Bukankah perjanjian kita selama satu minggu? Seharusnya masih ada lima hari lagi." Abigail terlihat menekuk wajah sedih.
"Oh ... tenang, kami akan menyelesaikan sesuai perjanjian. Aku dan Jaselle hanya ingin memberikan kalian waktu berdua saja. Jadi, memilih untuk mencari penginapan di sekitar sini," jelas Felicia.
"Kami sudah sering berdua. Jadi, tak perlu memberi waktu. Lagi pula, masih banyak hari juga setelah menikah akan dihabiskan tanpa gangguan." Abigail melepaskan tangan yang melingkari lengan calon suaminya. Ia bergerak berpindah mendempel Jaselle dan Felicia. "Tetap di sini, ya?" mohonnya.
Jaselle tersenyum lembut. Keputusannya sudah bulat. "Maaf." Telapaknya mengusap lengan Abigail dengan penuh rasa bersalah dan sesal. "Bukan tidak menghargai niat baikmu, tapi kami butuh ketenangan."
Wajah Abigail menoleh ke arah sang calon suami yang sejak tadi hanya diam bagaikan patung. "Sayang ... bisa kau lebih ramah sedikit dengan mereka? Buatlah nyaman selama satu minggu ini. Kau sangat tahu kalau aku mengidolakan Jassy."
"Biarkan saja dia pergi. Lagi pula tak ada gunanya juga berada di rumah ini," sahut Galtero dengan sebelah sudut bibir tertarik sinis.
Jaselle yang mendengar penuturan itu pun tersenyum miris. Bisa-bisanya dia masih memiliki rasa pada manusia tak berhati seperti mantannya. "Tentu, dengan senang hati aku akan angkat kaki dari sini."
Sama seperti saat ia diputuskan, Jaselle memilih pergi dan melepas daripada berusaha bertahan. Walau saat itu dia memiliki kartu sakti berupa berita kehamilannya, tapi tak pernah diungkap untuk meminta rasa iba.
Jaselle belajar bahwa menjadi wanita jangan sampai mengemis cinta. Takutnya hanya akan dipandang remeh dan sebelah mata karena memiliki perasaan yang jauh lebih besar dibanding si pria. Meski sebenarnya pun begitu adanya, cintanya masih melekat walau bercampur dengan luka yang awet tertancap.
Galtero menepi, memberikan jalan supaya Jaselle bisa lewat ke pintu dengan mudah. Ada sebuah senyum samar yang hanya diketahui olehnya, dan entah apa artinya karena terlalu sulit menembus isi pikiran pria itu.
Jaselle dan Felicia menyusuri Zermatt sembari mencari penginapan yang masih kosong. Mereka tidak bersuara keras karena di sana ada larangan supaya tidak berisik atau mengganggu jam istirahat orang lain.
"Aku ke minimarket sebentar," ucap Jaselle. Ia menitipkan koper dan masuk sendirian.
Tak berselang lama, keluar lagi tanpa membawa apa-apa. Membuat Felicia mengernyit bingung. "Kau beli apa? Cepat sekali."
"Rokok." Jaselle menjawab jujur. Isi pikirannya terlalu menyedihkan hingga membuat dirinya ingin menghisap nikotin.
Felicia hanya bergeleng kepala tanpa melarang. "Untung kau sedang tidak hamil. Jadi, ku perbolehkan merokok." Sebab, dia tahu pasti Jaselle sedang tak baik-baik saja kalau sudah membeli sebungkus tembakau digulung kertas.
Setelah mengelilingi beberapa tempat, akhirnya keduanya mendapatkan penginapan juga berupa rumah sederhana. Hanya ada satu kamar, tapi ada kamar mandi, dapur, dan ruang santai kecil.
Jaselle sebatas meletakkan barang di kamar, lalu ia duduk di ruang santai ditemani oleh gelas kecil karena tak ada asbak untuk abu rokoknya. Dia nikmati sebatang demi sebatang agar pikirannya lebih tenang.
Mungkin sebagian orang bertanya-tanya kenapa seorang wanita doyan merokok. Terkesan nakal, buruk di pandang orang lain. Ketahuilah bahwa tidak semuanya bisa melewati kesedihan dengan menangis, kemudian hatinya terasa lega. Kurang lebih begitu yang dilalui oleh Jaselle, dia merokok untuk menyurutkan kesedihan. Sebab, zat-zat nikotin yang dihirup itu berhasil membuatnya lebih tenang. Lagi pula, ia merokok hanya saat merasa sedih, bukan yang aktif setiap hari.
Felicia menyusul duduk di samping Jaselle setelah ia selesai mandi. "Jadi, apa yang membuatmu kacau?" Meraih kotak rokok dan mengambil satu gulungan nikotin tersebut. "Ku temani kau merokok."
Jaselle menghembuskan napas ke sisi kanan agar tak mengenai sahabatnya. Mematikan bara dan membuang sisa yang masih setengah itu ke dalam gelas kecil. Ia lalu menyambar rokok yang hendak dipantik oleh Felicia. "Kau tak pernah merokok, jangan main-main."
"Aku sudah pernah bilang tak akan melarangmu. Tapi, justru akan menemanimu." Felicia tersenyum. "Ku tepati, bukan?"
Jaselle mendesah lelah sembari mendorong punggung hingga tersandar di sofa. "Itu akal-akalanmu supaya aku berhenti."
Felicia terkikik pelan. Memang betul, karena begitulah triknya agar membuat Jaselle tidak merusak diri sendiri. "Pertanyaanku belum kau jawab."
Jaselle perlu mengumpulkan energi untuk menceritakan hatinya yang mendadak tak enak. Sebab, ia bagai mengulas kenangan pahit yang seharusnya tidak perlu diingat. Hanya saja sulit karena orang yang berusaha dilupakan justru kembali mengingatkannya tentang masa indah yang pernah dilewati.
"Galtero mempertanyakan kenapa kami harus menjadi asing? Kemudian dia mengungkit tentang bercinta dan ciuman yang dahulu sering dilakukan." Kepala Jaselle perlahan bergerak dan menyender di pundak sahabatnya. "Susah payah aku berusaha mengubur kenangannya, dengan mudah dibangkitkan hanya sebatas perkataan yang mana mengandung fakta." Ia lagi-lagi mendesah. "Aku benci diriku yang lemah hati begini, Fel."
Felicia menepuk pelan lengan sang sahabat. "Jujur padaku. Kau sebenarnya masih suka dengannya, kan?"
Bahu Jaselle mengedik bingung. "Entahlah. Perasaanku tidak enak semenjak melihat Galtero lagi. Hatiku selalu menghantarkan desiran sesak."
"Aku mau memberikan saran, tapi kau tahu sendiri kalau aku tak pernah jatuh cinta pada siapapun."
Keduanya sama-sama diam. Membiarkan bisu menguasai keheningan malam.
Hingga Felicia kembali berbicara. "Kalau kau benar-benar menginginkan Galtero, bagaimana jika kita beri tahu saja tentang anakmu? Siapa tahu dengan cara itu bisa membuatnya kembali memiliki rasa padamu."
Jaselle langsung menggeleng tanpa banyak berpikir. "Aku tak seegois itu, Fel. Sekarang dia sudah memiliki yang baru, ada hati seorang wanita yang harus dijaga." Ia menghela napas. Rasanya kian sesak hingga mata memupuk cairan yang ingin dikeluarkan. "Meski aku masih mencintainya, tak mungkin ku rebut dia dari calon istrinya. Lagi pula, aku sudah memiliki sebagian dari hidupnya." Tak kuasa menahan diri, ada tetes yang terjatuh juga.
Jaselle teringat dengan anak yang ia tinggalkan jauh di sana. Bagiamana sembilan bulan terlewati dalam kondisi susah payah. Ekonomi belum stabil, sering sakit akibat stress hingga depresi pasca ditinggalkan Galtero. Dua tahun awal perpisahan tak mudah dilewati. Dia bahkan merasakan bagaimana baby blues. Sempat tak sadar hendak membanting anak ke lantai kala menangis terus. Segila itu hingga butuh perawatan dari ahli. Perjuangannya untuk menjadi seorang ibu tidaklah mudah.
"Andai kalian tidak meninggikan ego masing-masing, pasti Aleeza bisa mengenal orang tua kandungnya," ucap Felicia. Dia memeluk Jaselle, menenangkan wanita yang tengah menangis. "Andai dulu kau mau memberi tahu tentang kehamilanmu, pasti Galtero akan bertahan di sisimu walau demi anak. Setidaknya kalian tak mengorbankan perasaan Aleeza."
Jaselle bergeleng dan mendorong diri agar berhenti membasahi baju Felicia dengan air matanya. Dia tidak sepakat dengan penuturan itu. "Meski ku beri seluruh semestaku untuknya, tidak menjamin dia akan tetap di sampingku untuk selamanya."
Maafkan diri Jaselle yang hari ini ingin menangis. Sesaknya sangat tumpah karena hati dan pikiran tidak sejalan. Hati gagal mengubur perasaan, sementara pikiran melarang. "Aku berusaha mencintainya secara dewasa, tanpa kabar, komunikasi, bahkan berusaha tegar saat tahu dia hendak menikah bersama wanita lain." Kepalanya menunduk, terasa sangat berat. "Aleeza ...." Itu nama anaknya. "Maafkan aku karena mengorbankanmu hingga tak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang Daddy." Awalnya tangis sebatas diam, namun kini berakhir pecah dan tersedu-sedu.
.....
Jaselle tetap profesional dalam pekerjaan. Dia datang pagi-pagi sekali ke rumah Abigail. Sempat mengobrol tiap kali merias wanita itu, jadi tahu kalau ternyata Abigail berasal dari Switzerland. Namun, tak banyak mengulik atau bertanya tentang kehidupan kliennya. Apa lagi ingin mencari tahu tentang sejarah pertemuan bersama Galtero. Lebih baik cukup dengarkan kalau diceritakan, jika tidak pun diam saja. Sebab, ia yakin bahwa semakin ingin mengetahui sesuatu, maka hanya akan menambah sakit.
Jaselle bisa bernapas lega karena hanya ada Abigail yang meminta dirias. Entah Galtero ke mana, katanya sedang menerima telepon penting urusan pekerjaan.
Jadi, hari ketiga Jaselle lewati dengan sedikit tenang. Sebab, tak ada Galtero yang menyusahkan selama tangan ajaibnya memoles wajah si cantik Abigail.
"Kami baru pertama kali ini melayani klien yang prewedding sampai satu minggu. Biasanya satu atau dua hari selesai, itu pun dibeberapa lokasi berbeda." Sembari menata rambut Abigail, Felicia berusaha mengajak mengobrol agar suasana tidak terlalu hening.
"Itu permintaan calon suamiku. Awalnya dia minta satu bulan untuk booking jasa kalian. Agak aneh memang Galtero." Abigail terkekeh kecil menertawakan tingkah laku sang pria.
Jika hal itu terkesan menggemaskan di mata Abigail, justru berbeda dengan Jaselle dan Felicia yang kali ini sama-sama mengernyitkan kening dan saling bersitatap. Meski tanpa sepatah kata terucap, sepasang sahabat itu seolah bisa berkomunikasi dengan sorot mata.
Mungkinkah sejak awal Galtero sengaja booking jasanya hanya untuk pamer sudah bahagia bersama wanita baru? Atau ingin menguji apakah Jaselle sudah move on atau belum? Semua terlalu janggal untuk dinilai tanpa rencana. Sebab, di Switzerland juga banyak make up artist bagus, Helsinki pun ada, tapi kenapa justru mau memakai jasa Jaselle yang berkantor di Paris? Bahkan mau menunggu dan menyesuaikan jadwal kosongnya pula.
Aksi saling pandang itu terputus saat ponsel Jaselle berdering. Ia melihat layar di atas meja rias yang menyala-nyala, menunjukkan caller id Mrs. Emm.
"Aku keluar sebentar, angkat ini," pamit Jaselle pada Abigail dan Felicia.
"Oh, silahkan," ucap Abigail. Sebagai klien, dia termasuk baik dan pengertian.
Jaselle keluar dari ruangan itu dan menutup pintu lagi. Ia baru menekan logo berwarna hijau setelah berada di luar rumah. Ternyata panggilan video, maka mengarahkan layar supaya kamera terisi wajahnya.
"Ada apa, Mrs. Emm? Semua baik-baik saja, kan?" tanya Jaselle.
"Maafkan aku mengganggu kesibukanmu, Nona. Tapi, Aleeza sejak tadi merengek dan meminta diteleponkan mommynya."
"Oh ... iya, tak masalah. Sekarang dia di mana?"
"Aku di sini ...!" Suara bocah usia enam tahun terdengar memekik dan kini layar ponsel Jaselle terisi si cantik menggemaskan.
Jaselle terkekeh gembira. Keceriaan putrinya selalu berhasil menyalurkan semangat untuknya. "Kangen, ya?"
Aleeza mengangguk. "Kapan pulang? Aku ingin tidur dipeluk," rengeknya.
"Sabar, ya ... minggu depan sudah di Paris lagi." Berat meninggalkan sang anak untuk pergi jauh. Tapi, Jaselle tetap harus melakukan itu agar bisa memenuhi kehidupan putrinya. Biaya hidup tak murah, maka ia perlu kerja keras.
Sepasang ibu dan anak itu saling mengobrol. Jika tak bisa bertatap muka langsung, setidaknya menghubungi walau sebatas panggilan video. Aleeza itu selalu merindukan sang Mommy tiap kali ditinggal bekerja.
Terlalu asyik mengobrol dengan si kecil, Jaselle sampai tak sadar kalau di belakangnya kini telah berdiri seorang pria yang diam-diam mengamati.
Mungkin Jaselle tak mengetahui, tapi di layar ponsel yang Aleeza pegang itu memperlihatkan secara jelas bahwa ada seseorang yang asing dan belum pernah ia lihat. "Itu di belakang, siapa?"
.
.
.
Part 9
Reflek tangan Jaselle menarik ponsel ke bawah, lalu menekan tombol power hingga panggilan otomatis terputus dan layar menjadi gelap. Ia menengok ke belakang, mendapati Galtero telah berdiri tegak di sana dengan tatap datar tapi seolah tersirat sebuah rasa penasaran.
"Kau menguping pembicaraanku?" tanya Jaselle memastikan. Dia ingin tahu sampai sejauh mana pria itu mengetahui. Ada resah melanda, was-was jika Galtero mengetahui tentang sang putri yang memang tidak pernah berniat ia kenalkan pada Daddy kandung, apa lagi dalam situasi sekarang yang mana mantannya hendak menikah bersama wanita lain. Biarlah lebih baik semua berjalan sendiri-sendiri.
"Aku baru sampai, untuk apa juga mendengarkan kau telepon dengan seseorang yang pasti tak penting untukku," jelas Galtero. Dia hanya sempat mendengar suara anak kecil, tak nampak wajah karena saat itu layar ponsel Jaselle berisi langit-langit ruangan.
Jaselle bisa bernapas lega. Setidaknya mantannya tak tahu tentang Aleeza. "Baguslah."
Merasa tak ada urusan dengan Galtero, Jaselle pun memutar tubuh dan hendak kembali masuk ke dalam rumah. Namun, tangan kekar mendadak melingkar di pergelangannya, menahan supaya ia tak segera beranjak.
"Apa aku harus diam-diam menguping saat kau sedang telepon atau melakukan panggilan video, agar kau mau berbicara denganku?" tanya Galtero.
Berusaha keras menarik udara supaya masuk memenuhi paru-parunya. Jaselle hanya ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang mantan. Apa lagi job satu minggu di Switzerland terasa sangat lama, mungkin karena ada mantan di sana. Ia menepis tangan Galtero agar melepasnya.
"Kita tak ada urusan apa pun yang perlu dibicarakan. Jadi, tolong anggaplah tidak saling mengenal. Lanjutkan saja hidupmu seperti apa yang kau inginkan. Biarkan aku menjalani hari-hari dengan tenang dan tanpa bayangmu," pinta Jaselle dalam posisi memunggungi Galtero. Oh jelas ia tak mungkin tahan kalau harus berbicara saling menatap.
"Tak bisakah kita berteman?" tawar Galtero tanpa malu sedikit pun. Dia yang membuang Jaselle begitu saja karena mati rasa, lalu sekarang meminta untuk jadi teman? Lucu sekali.
Jaselle terkekeh getir. Kepala menggeleng sebagai penolakan. "Kau adalah sumber lukaku yang bekasnya sulit dihilangkan. Kau pelaku utama yang membuat aku berada dalam situasi menyedihkan. Kau juga orang yang telah membuat rumah beserta harapanku runtuh. Berteman denganmu sama saja meneteskan cairan asam pada luka yang kembali menganga."
Galtero menarik bahu sang mantan hingga Jaselle terpaksa harus menghadap dirinya. Wanita itu tidak berani mendongak menatap matanya, jadi sebatas leher yang pasti sedang dipandang oleh Jaselle.
Lagi-lagi pria itu memaksa, menyentuh dagu Jaselle agar mendongak. Galtero mengunci pandangan dengan sorot meremehkan sekaligus mengejek. "Jawabanmu menandakan bahwa kau belum bisa berdamai dengan masa lalu. Apa sesulit itu melupakan dan memaafkan kejadian yang sudah lampau?"
Dua tangan Jaselle mengepal erat. Untunglah baru dipotong dan sedang tak menumbuhkan kuku, jadi tidak mungkin telapaknya terluka akibat tekanannya.
Jaselle terdiam dan tak langsung memberikan tanggapan. Berdamai dengan masa lalu tentu saja bisa. Tapi, menjauhi peluka hati jauh lebih baik. Dia tak mau mencari penyakit dengan mendekati atau berhubungan dengan mantan, meski sebatas teman. Itu terlalu menyedihkan disaat ia masih setia bersama kesendirian, tapi tidak dengan Galtero yang telah menemukan pengganti.
"Jangan terlalu percaya diri, wahai ... Galtero Wagen Giorgio." Jaselle berusaha berucap tegas, mengusap kemeja sang mantan tepat di bagian dada. "Aku jelas sudah memaafkan kejadian yang telah berlalu. Tapi ...." Sekarang dia mendongak berani supaya pria itu melihat tekad dari keputusannya. "Kini, kau dan aku bukan lagi kita. Tapi, dua kata yang berada di paragraf berbeda." Ia dorong dada sang mantan, lalu pergi masuk ke dalam.
Tujuh tahun silam Galtero yang meninggalkan Jaselle dan wanita itu memandangi punggung yang kian menjauh. Sekarang kebalikannya, ia yang menyaksikan Jaselle hilang dari jangkauan mata.
Entah, tapi Galtero merasa bahwa ada sesuatu yang terasa menganjal dan seakan ada urusan yang belum terselesaikan dengan Jaselle. Dia tak tahu apa. Maka, berharap dengan memesan jasa wanita itu dan bertatap muka lagi bisa membuat dirinya tahu penyebab selama ini merasakan tak pernah tenang ditiap langkah hidupnya. Tapi, hasilnya justru sebaliknya, ia masih berada dalam ruang buntu dan hampa karena berbicara dengan Jaselle sangatlah sulit.
"Haruskah aku lebih lembut lagi supaya dia mau diajak bicara empat mata?" pikir Galtero.
.....
Baru hari ke empat, masih tersisa tiga lagi. Lama juga, baru kali ini melayani klien untuk prewedding selama satu minggu penuh. Sudah begitu yang membuat lama adalah tiap sehari hanya satu destinasi, bukan secara sekaligus berpindah-pindah tempat.
Hari ini jadwalnya pemotretan di lokasi yang pemandangannya sangat indah. Bahkan dari tempat Jaselle berdiri pun bisa melihat Gunung Matterhorn yang terkenal ada di bungkus coklat Toblerone.
Sesaat Jaselle mengagumi keindahan alam tersebut dan melupakan kejadian yang tak enak. Cukup berdiam diri, lalu mengeluarkan ponsel untuk memotret pemandangan itu, kemudian tidak lupa selfie.
"Apa kau tak ingin berterima kasih padaku?"
Jaselle terkejut dengan suara yang mendadak menyambar ketenangannya. Berdecak saat menyaksikan Galtero sudah ada di sana mengganggunya. Kemudian pandangan beredar mencari Felicia dan Abigail yang tak terlihat.
"Ku suruh mereka membeli camilan," beri tahu Galtero seolah ia mengerti apa yang sedang dicari oleh sang mantan.
Jaselle mencebik tanpa menanggapi. Jalan saja, yang penting menjauh. Ingat, ia berusaha membangun jarak supaya asing. Sekaligus tak ingin ada salah paham jika ada yang melihat secara tak sengaja kalau terlalu menunjukkan kedekatan.
"Kenapa kau menghindar terus?!" Galtero menarik lingkar leher dari blouse yang dipakai oleh Jaselle.
Napasnya keluar kasar karena lelah menghadapi Galtero yang masih seenaknya. Sejak dahulu tak pernah berubah. "Kenapa kau mengganggu aku terus?"
"Siapa yang mengganggu? Aku hanya bertanya padamu. Apa kau tak ingin mengucapkan terima kasih padaku?" ulang Galtero. Dia yang bergeser posisi menjadi di hadapan mantannya.
"Terima kasih? Untuk apa?" Jaselle tidak merasa perlu mengatakan itu.
"Karena sudah membawamu ke sini. Bukankah kau sangat ingin datang ke Zermatt karena kota ini sangat tenang?"
Oh ... jadi Galtero masih mengingat sesuatu yang berhubungan tentangnya, ya? Tapi, sudah tak ada artinya lagi untuk saat ini. Meski benar apa yang dikatakan oleh pria itu, Jaselle menyukai Zermatt karena terkenal dengan wilayahnya yang tenang.
"Untuk apa berterima kasih? Aku datang ke sini pun demi pekerjaan, bukan liburan." Jaselle melengos melewati Galtero begitu saja.
Namun, pria berwajah menyebalkan karena terlalu datar itu terus menyusul. "Jika aku tak booking jasamu, mungkin kau tak pernah pergi ke tempat impianmu ini." Galtero terlalu percaya diri seolah ia masih menjadi pusat dunia bagi Jaselle.
Ada tawa geli nyaris terbahak, Jaselle berasa digelitik. "Kau hanya tahu tentangku tujuh tahun silam." Kepalanya bergeleng seakan memberi tahu jika sekarang tak lagi sama. "Kini, kau tak tahu apa pun. Zermatt bukan kota yang ku idamkan, dan kau tidaklah pusat duniaku lagi. Jadi, berhentilah sok tahu karena dulu dan sekarang sudah berbeda."
Termasuk Aleeza yang pasti Galtero tak tahu. Jaselle menjadi sangat yakin bahwa selama ini ia bukan seseorang yang dianggap penting. Sebab, dia tahu bahwa sang mantan memiliki kekuasaan untuk mencari informasi. Andai dirinya berharga, tentu Galtero akan mencari segala sesuatu tentangnya, termasuk kehamilannya. Tapi, pada kenyataannya tidak, kan? Berarti memang benar kalau hanya Jaselle yang menganggap pria itu adalah dunianya, sementara tidak dengan sebaliknya.
.....
Selama pemotretan, wajah Galtero terkesan menahan sesuatu yang hanya diketahui oleh pria itu. Rahang mengeras dan tiap diarahkan oleh fotografer atau Abigail, pasti akan dibalas pelototan. Dia sulit diajak kompromi.
"Sudahlah, melelahkan!" umpat Galtero seraya membuka dua kancing kemeja bagian atas. Namun, tatapnya kesal ke arah Jaselle. Wanita itu berhasil menyentil egonya karena telah menganggap sok tahu tentang sang mantan.
Namanya juga pria, haus oleh ego. Ditambah sejak pertama kali bertemu tidak pernah ada kesan baik yang ditunjukkan oleh Jaselle. Padahal, dia hanya ingin berteman. Setidaknya sedikit mengurangi rasa bersalah karena memutuskan secara sepihak tanpa memikirkan perasaan Jaselle saat itu.
"Sayang ... belum selesai, kau mau ke mana?" Abigail berusaha mengejar calon suaminya yang menjauh.
"Pergi, dan kau jangan ikuti aku!" titah Galtero. Saat melewati Jaselle, ia melirik tajam. Sayangnya wanita itu memalingkan pandangan. Malam ini akan ku buat kau mau bicara berdua padaku tanpa melengos sedikit pun.
.
.
.
Part 10
Galtero pergi entah ke mana, pria itu jalan kaki. Tentu saja karena di Zermatt tidak ada kendaraan yang nampak lalu lalang di sana. Kalau mau berkeliling pun perlu menggunakan sepeda, dokar, atau transportasi lainnya yang tidak menyebabkan polusi udara. Kota itu memang sangat menjaga kelestarian lingkungan.
Biarlah pria itu menjauh, Jaselle lebih tenang tanpa harus berusaha memalingkan pandangan agar tak ditatap terus. Dia juga tak perlu menahan hati menyaksikan sang mantan berciuman kala pemotretan.
"Berhubung tidak ada yang dikerjakan lagi, kalau begitu kami kembali ke penginapan," ucap Jaselle seraya mengangkat koper kecil berisi alat tempur kerjanya.
"Buru-buru sekali." Abigail menahan lengan Jaselle agar tak langsung pergi. "Kita jalan-jalan dulu. Kalian belum menikmati wisata ataupun kuliner di Zermatt, kan?" ajaknya dengan sangat ramah.
"Sepertinya tidak perlu, calon suamimu sedang marah, bukan? Lebih baik kau tenangkan dia," tolak Jaselle secara sopan.
"Dia kalau sedang marah lebih baik didiamkan. Justru semakin menjadi-jadi kalau aku menyusulnya," kata Abigail.
Jaselle menaikkan kedua alis. Ternyata bukan hanya Galtero yang tak tahu tentang dirinya, tapi begitu juga dengan sebaliknya. Rupanya pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya itu telah berubah. Padahal, dahulu saat bersamanya, Galtero selalu minta ditenangkan ketika marah. Entah dipeluk hingga emosi mereda, atau cukup ditemani tanpa suara.
"Hei." Abigail menyenggol lengan Jaselle karena melamun. "Aku akan ajak kalian mencoba cheese fondue. Enak sekali ... suka keju, kan?"
Jaselle sedikit terperanggah. "Oh ... ya." Sudahlah, tak baik menolak ajakan. Lagi pula Abigail terlihat sangat memohon dan ingin sekali menemaninya jalan.
Ketiga wanita itu pun berjalan kaki menuju tempat makan yang dimaksud. Sebuah restoran dengan pemandangan menghadap ke puncak Gunung Matterhorn. Mereka menanti sejenak, lalu tak lama kemudian pelayan pun datang membawakan sebuah panci dan diletakkan ke atas kompor yang menyatu dengan meja. Di dalamnya terdapat keju yang dibiarkan tetap meleleh oleh panasnya api kecil. Keju itu dinikmati dengan kentang atau roti yang disajikan juga di sana.
"Ayo ... dicoba, ini enak sekali bagi pecinta keju," ucap Abigail.
Jaselle dan Felicia hanya tersenyum kecil, kemudian mulai meraih garpu dan mengambil seiris kentang. Mencelupkan ke dalam keju leleh tersebut. Mereka sebenarnya sudah pernah mencoba itu, tapi untuk menghargai niat baik Abigail, keduanya berkedok seolah baru pertama kali ini merasakan.
"Wah ... benar, rupanya sangat lezat," tutur Felicia seraya mengangkat jempol.
"Ya ... tempat ini adalah kesukaanku dan Galtero. Tujuh tahun lalu aku pertama kali bertemu dengannya di sini." Padahal tak ada yang bertanya, tapi Abigail menceritakan kisahnya seolah semua orang harus tahu akan hal itu.
Jaselle menghentikan tangan yang hendak menusuk kentang lagi. Jantung terasa dipaksa berhenti karena tujuh tahun silam adalah terakhir kali mereka menjalin hubungan. "Oh ... kapan itu?" Ia sedikit penasaran.
Jujur, Jaselle sampai sekarang masih sering kepikiran tentang alasan Galtero mati rasa padanya. Apa sebenarnya salahnya hingga pria itu tak lagi cinta? Mendengar cerita singkat Abigail justru membuatnya ingin tahu. Mungkinkah berkaitan dengan wanita itu?
"Saat hujan datang dan dia tiba-tiba menghampiriku di sini. Kala itu Galtero sedang perjalanan bisnis di Switzerland." Abigail menceritakan dengan wajah berseri. Padahal di sana ada Jaselle yang mendadak berubah tak nafsu lagi.
Melepaskan garpu begitu saja, Jaselle meraih tas dan berdiri tanpa menghabiskan hidangan tersebut. "Aku kembali dulu, ada klien yang harus ku hubungi." Itu hanya alasan agar ia bisa pergi tanpa menyinggung perasaan Abigail.
Felicia mengerutkan kening. Yang mengurus komunikasi dengan klien adalah dirinya. Tapi, otak cerdasnya untung langsung menangkap sesuatu yang janggal. "Aku ikut."
"Tidak perlu, kau di sini saja temani Abby. Sayang juga makanannya kalau tak dihabiskan," larang Jaselle. Ia tahan pundak sahabatnya agar tak beranjak juga.
Jaselle dan Felicia saling pandang. Keduanya berkomunikasi dari tatapan. Jaselle mengangguk memberikan pertanda bahwa ia baik-baik saja dan tak perlu khawatir.
"Baiklah, nanti aku susul." Akhirnya Felicia pun melambaikan tangan.
Jaselle berjalan seorang diri dengan hati hampa. Namun, perlahan ia mengerti situasi yang dihadapi. Alasan kenapa Galtero mengakhiri hubungan dengannya. Jika tak salah duga, karena mulai memiliki rasa pada Abigail.
"Ku rasa memang begitu. Nyatanya mereka akan menikah juga, tidak seperti aku yang dicampakkan begitu saja walau sudah memberikan segalanya." Jaselle mendesah gundah.
Seharusnya tidak mencari penyakit dengan mengulik kisah orang lain walau ada kaitan dengan percintaannya. Semakin tahu alasannya, ternyata menambah beban di dada yang menyesakkan. Tapi, kalau dia tak mencari tahu, merasa seperti wanita bodoh yang tidak memahami situasi. Bahkan konyolnya dia masih memiliki rasa yang belum terkubur sempurna.
.....
Jaselle memang telah lama tak menangis, tapi hati tetap saja bisa merasakan sedih. Mau tak memikirkan apa pun tentang yang sudah berlalu, tapi otak selalu berkhianat. Paling enak menikmati sebatang nikotin jika sedang dalam suasana begitu.
Mencari smooking area di sekitar sana. Jaselle duduk seorang diri dan memesan coklat panas. Dia hanya diam ditemani oleh gulungan tembakau sisa beberapa hari lalu. Tiada yang dipikirkan, hanya sedang mengosongkan seluruh hal yang memberatkan dirinya, termasuk Galtero beserta alasan pria itu menjadi mati rasa.
"Apa yang membuatmu sedih sampai kembali merokok?"
Mata Jaselle yang sejak tadi melamun itu pun mengerjap kala telinga mendengar suara seseorang. Ia menghembuskan asap ke samping dan mematikan baranya.
Dua pasang mata itu saling tatap tanpa ada yang terucap. Ternyata Galtero masih ingat kebiasaan Jaselle yang sering merokok saat suasana hati buruk.
"Apa karena aku? Sebenci itu kau denganku? Sampai merokok lagi karena kau tahu aku tidak menyukai wanita perokok?" Tak ditanggapi oleh sang mantan, Galtero kembali berbicara. Ia ambil sekotak tembakau yang ada di atas meja. "Berhentilah merusak paru-parumu."
Jaselle menghela napas berat. Lelah sekali mendengar ocehan mantannya. Sudah tak ada hubungan apa-apa, tapi masih saja memberi perhatian. Seharusnya berikan saja kesan buruk agar ada alasannya untuk mudah membenci. Jangan seperti ini yang justru menggoyahkan hati.
Tak tahu sejak kapan pria itu sudah berada di sana, duduk di depannya tanpa permisi. Jaselle tidak mau bertanya atau menanggapi. Dia meneguk coklat yang telah hangat itu sampai habis, lalu beranjak berdiri. Enggan menanggapi apa pun karena merasa tidak ada kewajiban baginya untuk berbincang yang berakhir mengulas kenangan.
Sepasang kaki Jaselle bergerak. Namun, saat melewati Galtero, pria itu menahan pergelangan tangannya.
"Beri waktu sebentar, aku ingin bicara denganmu," pinta Galtero.
"Aku tak bisa," tolak Jaselle.
Dua manusia itu sama-sama memandang lurus ketika berbicara, barulah sekarang Galtero menengok dan sedikit mendongak agar bisa melihat sisi wajah mantannya yang selalu menghindar. "Dewasalah, Elle. Sekarang kita sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Aku hanya ingin mengetahui kabarmu."
"Kabarku baik, sangat baik." Jaselle semakin mempertegas. Ia sentakkan tangan supaya terlepas dari cekalan.
"Jangan salahkan aku kalau harus menggunakan cara memaksa hanya untuk berbicara denganmu!" ancam Galtero. Ia muak meminta secara baik-baik selalu diabaikan. "Memang apa salahku sampai harus menerima perlakuan seperti itu?"
Jaselle mengeratkan gigi beserta kedua tangan. Menarik napas sangat dalam saat kaki berhenti bergerak. Dia yakin kalau saat ini menjadi bahan perhatian pengunjung lain, untung masih sore dan belum diberlakukan jam tenang, jadi dia tak mungkin ditendang secara tidak terhormat.
Mendadak ada tawa getir mengiringi wajahnya yang tak keruan. Rindu dan kesal bercampur menjadi satu. Dengan tak tahu malunya Galtero bertanya tentang kesalahan yang sudah diperbuat. Baiklah, dengan senang hati akan ia jawab. Berbalik badan agar pria itu melihat seberapa tegar dirinya menghadapi sifat Galtero yang tak memiliki hati.
"Kau lupa bagaimana caramu mengakhiri hubungan denganku? Katamu ... mati rasa. Lantas, kenapa sekarang kau berusaha mengajakku berbicara? Secara sengaja menggunakan jasaku untuk persiapan pernikahanmu bersama seorang wanita yang kau temui ketika tujuh tahun silam." Jaselle menahan diri agar tak menangis. Namun, tetap saja ada cairan bening tipis mulai mengaburkan pandangan. "Apa kau memang berniat menghancurkan perasaanku supaya tak berbentuk lagi?"
Entah helaan napas kasar keberapa yang telah Jaselle keluarkan. Tenggorokannya mulai tercekat karena mau bagaimanapun, seorang Galtero begitu mudah memengaruhi adrenalin hati, pikiran, dan pria itu selalu berhasil membuatnya merasa bodoh sekaligus gila karena sampai detik ini masih saja menyimpan rasa yang sama seperti sedia kala.
Galtero lekas berdiri, menghampiri Jaselle. Merangkul dan memaksa wanita itu untuk mengikutinya. "Kita bicarakan di luar. Di sini hanya menjadi tontonan orang-orang."
Mau menolak, tapi dorongan tangan Galtero terlalu kuat. Pria itu memang lumayan pemaksa, sejak dahulu. Apa pun yang diinginkan harus terpenuhi dan dituruti.
Bahkan Jaselle tidak bisa memberontak. "Aku tak ingin ada salah paham seandainya Abby melihat kita," ucapnya seraya menggerakkan bahu supaya Galtero menyingkirkan tangan dari sana.
"Tidak akan, aku tahu di mana tempat yang tak mungkin dilewati atau didatangi oleh calon istriku."
Jaselle terkekeh getir. Masih saja merasa terluka saat mendengar mantannya menyebut wanita lain dengan kata calon istri. "Itu adalah impianku, kau tahu?"
"Ya, dan maaf aku tak bisa mewujudkannya," sahut Galtero yang paham dengan maksud Jaselle. "Aku terlalu berengsek untukmu."
Rasanya sudah lelah menghindar. Sudahlah, lebih baik pasrah saja. Mau melakukan cara apa pun untuk menjauh, kalau Galtero menginginkan bicara dengannya, pasti pria itu akan menggunakan apa pun agar bisa tercapai.
Galtero membukakan pintu sebuah restoran yang menjual berbagai olahan daging. Mempersilahkan Jaselle masuk terlebih dahulu. Tidak lupa menarikkan kursi untuk wanita itu duduk.
"Abby tak suka steak, dia tidak mungkin ke sini," beri tahu Galtero, padahal Jaselle tak bertanya.
"Kau sedang pamer kalau sangat mengetahui kebiasaan calon istrimu?" Jaselle memutar bola mata malas. Dia jadi terkesan pengganggu hubungan orang jika seperti ini.
"Aku tak bermaksud begitu." Galtero meminta menu pada pelayan. Dia langsung memesan apa yang diinginkan, lalu menyodorkan menu satu lagi pada Jaselle. "Pesanlah, aku yang membayar."
"Aku sudah kenyang," tolak Jaselle. "Lagi pula waktuku tak banyak." Ia tunjukkan reaksi tak antusias. Menatap mantannya pun enggan.
"Setidaknya pesanlah minum," bujuk Galtero.
Namun, Jaselle tetap tidak mau. "Langsung saja pada intinya. Kau mau bicara apa padaku?"
"Masing-masing dua." Tanpa diminta, Galtero main memesankan saja untuk Jaselle. Kemudian dia fokus pada wajah wanita masa lalunya yang semakin berumur justru kian memukau. "Buru-buru sekali, memangnya apa yang akan kau kerjakan?"
"Banyak, waktuku mahal."
"Semahal apa? Katakan saja, ku bayar." Galtero mengeluarkan dompet, meletakkan ke atas meja dan mendorong hingga ke hadapan Jaselle. "Ambil semua kalau perlu."
Susah memang menghadapi manusia pemaksa. "Intinya?" Jaselle tidak menyentuh sedikit pun tawaran mantannya.
"Aku minta maaf," ucap Galtero. "Semua kesalahanku di masa lalu sampai saat ini, seandainya ada yang melukaimu."
"Aku sudah memaafkan." Jaselle sebatas membalas yang perlu saja.
"Jika diajak bicara, tatap orangnya, Elle!" peringat Galtero. Dia paling tak suka kalau ada yang mengabaikan begitu. "Apa perlu ku cium kau di sini agar menurut?" ancamnya kemudian.
Dengan berat Jaselle merotasikan kepala. Ancaman Galtero tidak pernah main-main. "Sekarang tak lagi seperti dulu. Kau tidak bisa memaksaku untuk menuruti perkataanmu. Berhentilah semena-mena."
"Salahmu karena susah diajak bicara secara santai. Kau yang membuatku terpaksa mengeluarkan ancaman."
Jaselle tersenyum kaku penuh paksaan. "Baiklah, Tuan Galtero Wagen Giorgio yang terhormat, waktu dan tempat dipersilahkan untuk berbicara." Ia lipat dua tangan di dada dan memandang mata si pria tak tahu malu. Sudah mencampakkannya, sekarang berusaha mengajak mengobrol empat mata tanpa melibatkan rasa.
"Aku tak ada niat sedikit pun seperti apa yang kau pikirkan tadi. Aku menggunakan jasamu karena tak tahu lagi bagaimana caranya supaya bisa bertemu denganmu. Kau ... sulit ditemui, bahkan untuk sekadar secara tidak sengaja."
Keduanya saling pandang dan tidak melibatkan emosi bergejolak. Sementara Jaselle lebih memilih diam dan mendengarkan supaya cepat selesai. Apa pun yang dikatakan mantannya terasa percumah dan tiada artinya. Sebab, kini ia harus mengingat bahwa tidak ada hubungan apa-apa. Benteng tinggi perlu mulai dibangun supaya hatinya tak kembali terluka.
"Tujuh tahun ini ku lewati dengan perasaan tak tenang. Ada sesuatu yang mengganjal," lanjut Galtero. "Alasanku ingin berbicara denganmu karena ingin memastikan penyebab gundah yang tak jelas arah."
"Apa hubungannya denganku?" Jaselle sedikit menyiniskan nada bicara agar menyamarkan getaran di tenggorokan. Dia harus terlihat tegar dan baik-baik saja.
Galtero mengedikkan bahu. "Entah, tapi sepertinya ada kaitannya denganmu." Ia amati mimik wajah sang mantan secara detail. "Sekarang kau semakin cantik, apa kebetulan sudah menemukan penggantiku dan hidup bahagia bersamanya?"
"Percintaanku bukan urusanmu. Kita cukup pikirkan masalah masing-masing."
"Menjadi urusanku kalau itu membuatku jadi tak bisa menjalani hari dengan tenang."
"Kau punya kuasa, bukan? Bisa mencari tahu sendiri dengan uangmu yang tiada batas."
"Memang, tapi aku lebih puas jika mendengar langsung darimu."
Jaselle menghela napas lagi. Terlalu banyak karbondioksida yang ia hempas secara kasar tiap kali berbincang bersama mantan. "Apakah menurutmu mudah mempercayai pria lagi setelah kau hancurkan semuanya? Aku terlalu malas mengulangi kisah yang bisa jadi hanya akan berakhir seperti sebelumnya."
"Jadi, kau masih sendiri?" Galtero menyimpulkan. Pantas saja selama ini ia tak pernah merasa bebas melakukan segala sesuatu. Terkadang terpikirkan tentang Jaselle, tapi tidak sekali pun mencari tahu tentang wanita itu.
"Begitulah," jawab Jaselle acuh.
"Boleh aku minta tolong padamu?"
Jaselle menyentakkan kedua alis, mempersilahkan Galtero lanjut bicara.
"Tolong relakan aku menikah bersama Abby, ikhlaskan, dan mulailah membuka hati pada orang baru," pinta Galtero dengan tak tahu malunya dia.
Kening Jaselle sampai berkerut. "Masalah aku akan membuka hati pada orang lain atau tidak, itu urusanku. Kau tenang saja, aku tak akan mengganggu rumah tanggamu seandainya kau mau menikah bersama Abby. Lagi pula, sejak kita berpisah, tak pernah aku memaksamu untuk bertahan, bukan? Ku lepas kau dengan lapang dada. Sebab, aku sadar, perasaan tak bisa dipaksa."
"Ya, aku paham. Tapi, dengan kau tak menjalin hubungan dengan siapapun, membuatku jadi merasa bersalah."
"Oh itu urusanmu. Kau tidak bisa memaksaku untuk kembali membuka hati pada pria. Mau aku sendiri sampai mati, itu masalahku, kau tak perlu ikut campur." Jaselle mempertegas dengan setenang mungkin penyampaiannya.
Tas di pangkuan Jaselle terasa bergetar. Ia memalingkan tatap dengan menunduk, mengabaikan Galtero. Mengeluarkan ponsel untuk melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Mrs. Emm, pengasuh putrinya. Pasti Aleeza merindukanny dan ingin bicara.
"Aku harus mengangkat telepon." Jaselle meninggalkan tasnya yang lupa belum ditutup kembali. Tak menunggu persetujuan, dia pergi ke toilet supaya bisa berbicara leluasa dengan sang putri, tanpa takut didengar oleh Galtero.
Sementara di meja tempat Galtero duduk, pelayan baru saja datang menyajikan pesanan. Dua steak dan dua cocktail.
"Pesanannya sudah semua, Tuan. Jika ada kekurangan dari masakannya, bisa panggil saya, nanti akan diperbaiki," ucap pelayan tersebut.
Galtero sebatas mengangguk dan mengibaskan tangan. Pelayan itu pun hendak beranjak kembali ke belakang, namun tak sengaja menyenggol kursi tempat Jaselle duduk. Karena sedikit kuat tenaganya, jadilah kursi itu jatuh dan seisi tas wanita berserakan di lantai.
"Maaf, saya tidak sengaja," ucap pelayan itu dengan menunduk berkali-kali karena merasa bersalah. Ia mau berjongkok dan mengemasi barang-barang tersebut.
Tapi, Galtero telah berseru. "Jangan kau sentuh satu pun, biar aku saja!" Dia tidak percaya dengan pelayan itu. Bisa jadi sengaja menjatuhkan untuk mengambil barang berharga Jaselle.
Jadilah Galtero yang berjongkok untuk memasukkan isi tas mantannya. Tapi, baru juga tangan hendak meraih satu benda, tatapnya telah terpaku oleh sesuatu yang menyita perhatian. Ia raih sebuah kertas USG lusuh dan sebuah testpack.
Memandangi, membolak balikkan, dan mencermati seluruh tulisan di kertas yang nampaknya pernah basah terkena air. "Apa dia hamil?" gumamnya. Namun, itu terkesan benda lampau yang telah dilewati beribu-ribu hari.
Semakin diamati, Galtero membaca tulisan-tulisan kecil yang amat sulit untuk ditangkap oleh indra penglihatan. Ada tanggal tertera di sana, waktu pengecekan kandungan. Kemudian di balik kertas lusuh itu ada tulisan tangan yang memudar tapi masih bisa dibaca. Di sana tertulis nama lengkap Jaselle Karlotta Kristol.
Dada Galtero mendadak berdesir. Ia mengorek isi di dalam tas mantannya, berharap menemukan kertas USG lainnya yang mudah dibaca informasinya. Namun, sayang hanya ada itu. Dia lekas memasukkan barang-barang lain ke tas Jaselle, tapi tidak dengan apa yang membuatnya merasa penasaran.
*****
Gimana Gal? Udah siap buat menerima kenyataan yang ada? Apa kau akan menyesal setelah mengetahui fakta mencengangkan nantinya? Tapi kau sudah gagal menjadi Daddy, sesuai namamu Gagal. Ganti nama aja deh jangan Galtero biar gak dipanggil Gagal. Siapin batin yang kuat deh buat dengerin jawaban dari Jaselle setelah ini.
Idihhhh padahal udah pede gila minta direlain buat nikah sama Abby. Eh abis ini kau melongo dah sono tau punya anak. Definisi ngomong gak mikir perasaan orang. Chuaksss kocak lu jadi laki
Mewek mewek deh abis ini sono Gal wkwkwk aku sih gak peduli kamu mau menyesal apa nangis guling-guling ya. Salah sendiri lu lepas tu si Jasjus. Bunting sendirian, lahirin sendirian, gedein sendirian. Lu mah punya kuasa tapi gak nyari tau sihhh, emang dasar mati rasa kan lu? Ah udehlah gue aja kesel ini sama lu Gal, gimana si Jasjus tuh makin gondok kali dia
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
