
Setelah perdebatan yang menguras emosi dan air mata, Jaselle dan Galtero menghabiskan malam bersama di hotel.
Apakah mereka berakhir dengan damai? Atau masih ada urusan yang belum terselesaikan juga? Atau justru ada malam panas yang menggelora?
Part 13
Bahu Jaselle nampak naik turun seirama dengan sesegukan yang muncul akibat menahan tangis. Ia masih mengucurkan air mata yang sulit dibendung begitu saja. Hari ini terlalu menyedihkan. Mengetahui bahwa tujuh tahun lalu mantannya berkenalan dengan wanita lain dan bisa jadi itu adalah alasan mati rasa padanya, karena tertarik pada Abby. Tak sampai di situ, disalahkan, direndahkan, dimaki karena ia gagal melahirkan anak Galtero. Rasanya benar-benar lelah, fisik dan hatinya. Ingin sekali segera pulang, lalu memeluk sang putri.
Mungkin memang sepenuhnya adalah salahnya, Jaselle merasa begitu. Dia sengaja menyembunyikan kenyataan bahwa anak mereka lahir ke dunia. Bukan tanpa alasan, tapi ia cukup menginginkan hidup tenang. Jika Galtero tahu tentang hal itu, maka sudah pasti akan berusaha mengambil Aleeza darinya, atau berusaha memulai kembali dengan alasan demi kebahagiaan anak. Jaselle tidak mau begitu. Keinginannya dari dahulu adalah dicintai secara tulus sepenuh hati.
Selain itu, Jaselle tak ingin merusak kebahagiaan orang lain. Cukup dirinya yang rusak, jiwanya yang sempat hancur, dan mentalnya terkadang juga masih sering berantakan. Abby dan Galtero berhak bahagia. Biarkan saja dirinya yang merana.
Lagi pula, kalau Galtero memang ingin tahu tentang seluruh kehidupannya yang sesungguhnya, pria itu bisa menggunakan kekuasaan dalam mencari informasi. Tapi, nyatanya tidak pernah dilakukan, bukan? Pada dasarnya memang ia tak lagi dianggap istimewa. Lantas, untuk apa Galtero tahu tentang putrinya? Hanya menambah urusan semakin rumit.
Semakin didalami lukanya, Jaselle kian tersedu-sedu. Ia tutup mulut supaya tidak mengeluarkan suara mengganggu.
Galtero hanya memandangi punggung mantannya yang terguncang. Belum ada niatan untuk bergerak menenangkan. Sebab, dirinya pun masih merasa kesal atas kehilangan anak yang baru sekarang diketahui.
Suasana kamar terasa sangat dingin. Pancaran dua manusia yang saling acuh itu membuat aura mencekam. Apa lagi tatap Galtero yang terus tajam.
Jika dahulu mereka akan saling memeluk untuk menenangkan satu sama lain, kini tidak lagi. Jarak begitu kontras. Keduanya meredamkan gejolak di dada sendiri-sendiri. Diam adalah cara keduanya mengembalikan adrenalin pikiran beserta hati pada poros semestinya.
Disaat hening, dua ponsel berbunyi secara bersamaan. Satu dari saku Galtero, sementara satu lagi berasal dari tas Jaselle.
Wanita yang masih menyelami sesaknya itu perlahan memutar tubuh dan menurunkan kaki. Ia hendak mengambil ponselnya, siapa tahu itu Mrs. Emm. Putrinya selalu menghubungi melalui pengasuh.
Tapi, sayangnya Jaselle kalah cepat. Galtero secara lancang mengambil alat komunikasinya dan mengangkat panggilan tersebut.
"Jaselle bersamaku, dia baik-baik saja. Malam ini dia tak pulang, kau tak perlu merisaukannya!" Setelah itu Galtero mematikan dan memasukkan lagi ke dalam tas. Ia lalu memberi tahu pada sang mantan. "Felicia yang menghubungimu."
Jaselle tidak menanggapi, hanya menghela napas, lalu berjalan untuk mengambil tas. Dia harus mematikan ponsel supaya tidak tiba-tiba dihubungi oleh sang putri. Kembali duduk di tepi ranjang, mengirimkan pesan pada Mrs. Emm agar jangan mencarinya untuk beberapa saat. Meski fokusnya sedang di layar enam koma tujuh inch, tapi telinga bisa mendengar percakapan Galtero yang sedang telepon.
"Malam ini aku menginap di luar, kau tak perlu menungguku pulang. Tidurlah sendiri dulu, ok? Besok aku akan kembali dan memelukmu saat tidur."
Jaselle merutuki dirinya yang merasa cemburu oleh cara bicara mantannya pada Abby. Lembut dan memanjakan. Dada kembali didorong oleh sesak, gemuruh melandanya kian hebat.
Daripada terlihat menyedihkan, lebih baik Jaselle berusaha tidur saja. Sejujurnya ia ingin kembali ke Zermatt, tapi kamar saja dikunci dan Galtero tak mengizinkannya pergi.
Membiarkan tasnya tergeletak di lantai, Jaselle meringkuk. Masih dalam posisi memunggungi sang mantan. Mau bagaimanapun ia menahan diri, cairan dari mata selalu tanpa permisi lolos begitu saja. Sudahlah, nanti kalau lelah juga berhenti sendiri. Ia pejamkan kelopak, mengistirahatkan seluruh gundah, dan hati beserta fisik yang sangat lelah.
Dahulu, ketika mereka masih menjadi sepasang kekasih, jika Jaselle tengah bersedih karena teringat oleh keluarga yang tak pernah menganggapnya ada, pasti Galtero menjadi orang pertama yang menenangkan. Pria itu selalu memeluknya, tanpa bicara apa-apa, cukup membiarkan tangisnya tumpah. Tapi, sekarang tidak lagi sama. Ia dipeluk oleh kesendirian, walau Galtero ada di dalam sana bersama dengannya.
Tujuh tahun dilalui dengan berlari hingga terseok-seok melawan kehidupan, mengalahkan rasa takut, trauma, depresi, sakt hati. Semua Jaselle tahan demi mendapatkan kewarasan dan hidup tenang tanpa ada dendam ataupun kebencian pada mantan atau siapapun yang telah menyakitinya. Dia sering bersembunyi dari rasa kecewa.
Sejatinya, dunia Jaselle memang telah hancur sejak dari lahir. Di rumah tak pernah dianggap ada, diabaikan, dijadikan budak oleh keluarga sendiri. Banyak orang membantai mentalnya secara habis-habisan.
Disaat titik terendahnya itu, Galtero sempat hadir mengisi harinya hingga tak begitu kelabu. Tapi, nyatanya pria itu justru menjadikan hidupnya kian semu.
Menyedihkan jika diingat, tapi semua kenangan itu mendadak terlintas begitu saja tanpa Jaselle minta. Tak sadar hingga kini tangisnya meledak lebih hebat. Memang tidak histeris, tapi sesegukan sampai kesulitan untuk bernapas.
Dan disaat begitu, tiba-tiba Jaselle merasakan ada sebuah tangan hangat melingkar di perutnya. Kemudian dada lebar juga menyatu di punggungnya. Ia gigit bibir sekuat mungkin supaya tidak semakin menjadi-jadi.
"Keluarkan saja tangismu, jangan ditahan," bisik Galtero. Pipinya mendempel pada ujung kepala sang mantan, sementara tangan satunya menyusup ke bawah leher Jaselle untuk bantalan.
Bukannya semakin reda sedihnya, justru Jaselle kian tersedu. Ia tak paham dengan Galtero yang sekarang. Tadi melukai perasaannya, lalu sekarang mendadak memberikan perhatian. Namun, ia tidak berusaha menepis, tenaganya sudah dihabiskan oleh pertengkaran.
"Setelah ku pikir-pikir, tidak sepenuhnya salahmu. Aku juga turut andil dalam perginya anak kita. Saat itu aku terlalu fokus pada keinginan mengakhiri hubungan, dan tak memberimu kesempatan sedikit pun untuk menolak." Galtero menelusupkan tangan ke balik pakaian Jaselle, mengusap perut rata sang mantan.
Geli, Jaselle terlalu sensitif jika disentuh langsung bagian kulit yang berdekatan dengan area-area terlarang. Ia berusaha menarik tangan Galtero agar berhenti membuatnya semakin sulit menahan diri. "Tolong jangan begini, Gal," pintanya dengan suara lirih.
Tapi, Galtero enggan menurut. "Sebentar saja, aku hanya ingin mengenang bagaimana rasanya jika saat itu tahu tentang kehamilanmu. Pasti setiap hari akan selalu mengusap perutmu."
"Semua telah berlalu, tidak perlu ada yang dikenang lagi."
"Sht ... diamlah, Elle!" titah Galtero dengan suara rendahnya. "Aku sedang mengobati rasa bersalahku pada anak kita. Karena aku yang mengakhiri hubungan sampai membuatnya harus menjadi korban."
Andai Galtero tahu tentang Aleeza, pasti pria itu akan sangat senang dan menyayangi. Putrinya tak akan kehilangan kasih sayang seorang Daddy. Tapi, sayangnya, Jaselle tidak ingin mengulang kisah yang akhirnya bisa jadi sama seperti sebelumnya.
Keduanya diam. jaselle membiarkan Galtero terus mengusap perut. Perlahan mengikis kesedihan bersama-sama, walau bagi Jaselle cara itu amat salah. Seharusnya mereka tidak berduaan di dalam kamar, apa lagi status Galtero yang sedang mempersiapkan pernikahan.
"Kau ingat aku sangat ingin memiliki anak perempuan?" Tiba-tiba Galtero bertanya dan menarik tangan untuk menyudahi usapan. Ia cukup puas dan lumayan tenang, bisa menerima rasa kehilangan.
Jaselle mengangguk, bahkan segala sesuatu tentang Galtero pun Jaselle masih ingat. Dan anakmu memang perempuan. Kalimat itu terucap dalam hati.
"Lalu, aku ingin memberi dia nama—"
Jaselle langsung memangkas ucapan sang mantan. "Aleeza Basheera Giorgio."
Galtero terkekeh pelan dan kian mengeratkan pelukan. "Rupanya kau masih mengingat itu, padahal sudah lama berlalu."
Bagaimana aku bisa lupa? Anak kita memang ku beri nama itu, hanya pada akhir saja yang berbeda. Putrimu bernama Aleeza Basheera Kristol. Sayangnya pengakuan Jaselle sebatas dibatin, tak berani dilontarkan secara terang-terangan.
Bukan maksud Jaselle melupakan identitas Galtero, tapi mereka tidak ada ikatan yang menguatkan. Jadi, memberi nama keluarga Giorgio rasanya terlalu lancang.
"Boleh ku tanya sesuatu denganmu?" Galtero membalikkan posisi tidur mantannya agar menghadapnya.
Tangis Jaselle telah mereda. Sejak dahulu pelukan Galtero adalah obat dari segala perasaan gundah gulana. Ia mengangguk memberikan izin.
"Kenapa kau mengiyakan saat ku ajak putus? Saat itu kau pasti masih sangat mencintaiku, bukan?"
Jaselle membiarkan bola matanya saling bertemu dengan manik abu milik Galtero. Wajah keduanya begitu dekat, kurang dari satu jengkal. Tak sadar tangan terulur ke atas, membelai rahang tegas sang mantan. Mungkin karena ia terlalu merindukan sosok itu.
"Burung tak akan bisa terbang menggunakan satu sayap. Begitu juga dengan kisah kita yang tak mungkin bahagia kalau aku saja yang masih memiliki rasa." Jaselle memberikan jeda sejenak untuk tersenyum, lalu jemarinya mengusap alis tebal pria yang masih dicintai sampai sekarang. "Begitulah caraku mencintaimu, Gal. Melepaskanmu dengan lapang dada agar kau menemukan kebahagiaan sesuai keinginanmu."
Bagai dicambuk ribuan kali, Galtero merasakan bahwa mantannya terlalu tulus. "Wanita seperti dirimu memang pantas kalau mendapatkan sosok pria yang lebih baik dariku, Elle. Kelak kau akan menemukan orang yang bisa mencintaimu secara tulus juga." Malam ini ia ingin menghabiskan waktu dengan memeluk sang mantan.
Harapan Galtero mana mungkin terkabul. Rasanya cinta Jaselle telah habis pada pria itu. Sejak tujuh tahun ini ia banyak yang mendekati, tapi tak satu pun diterima. Bukan menutup diri, namun ia tidak ingin menyakiti perasaan orang lain dengan memaksakan diri menerima salah satu dari mereka. Hatinya saja masih terisi oleh daddnya Aleeza. Ia ingin terlebih dahulu berdamai dengan masa lalu, kemudian membuka hati untuk yang baru. Sayangnya, langkah itu belum berhasil, apa lagi sekarang perasaannya kian dibangkitkan oleh sang mantan.
Tujuh tahun yang berjalan secara sia-sia. Ternyata, perasaanku padanya hanya terkubur untuk sementara, bukan selamanya.
.
.
.
Part 14
Jaselle sampai lupa kapan terakhir kali bisa tidur nyenyak. Dia nyaris tak bisa terlelap dan mimpi indah sejak putus dari Galtero. Tiap malam sering tiba-tiba terbangun, lalu tak bisa terpejam lagi. Ia juga mengalami insomnia, dan terkadang mengkonsumsi obat tidur supaya bisa istirahat.
Dia pikir dengan berada di dalam dekapan mantannya, bisa membuat lelap. Tapi, ternyata tidak. Justru kali ini ia menjadi gelisah.
Namun, tidak dengan Galtero yang sudah terdengar dengkuran halus. Pria itu cepat sekali tidurnya, seakan tak memiliki masalah apa-apa dalam hidup.
Miris sekali perbedaan sepasang mantan itu pasca putus. Oh tentu Jaselle yang paling menyedihkan karena merasa terganggu kalau harus terus berdekatan dengan sang mantan.
Berhubung Galtero telah lelap, lebih baik Jaselle melepaskan diri demi kebaikan batinnya. Tidak bisa bohong kalau dadanya masih berdebar sampai saat ini.
Mengangkat tangan yang sejak tadi merengkuh dan tak membiarkannya berjarak. Tapi, pria itu justru kian merapatkan tubuh.
"Biarkan seperti ini, Elle. Aku tak bisa tidur nyenyak selama tujuh tahun terakhir," pinta Galtero dengan suaranya yang parau. Dia tidak membuka mata sedikit pun.
Jaselle pikir hanya dirinya yang begitu, ternyata Galtero juga sama. Mungkin karena mereka memang belum selesai dengan urusan satu sama lain.
"Aku sesak, tidak nyaman. Aku tak biasa tidur dipeluk," tolak Jaselle. Ia tetap berusaha keluar dari dekap sang mantan.
Sayangnya, Galtero tidak mau melepaskan. "Dulu kau sangat suka ku peluk."
"Dulu, sekarang semua telah berbeda. Lagi pula, kau memiliki calon istri. Tolong pikirkan perasaan Abby seandainya dia tahu."
"Dia tak mungkin tahu."
Jaselle mengepalkan tangan, lalu memukul lengan Galtero. "Apa dulu kau juga begini saat pertama kali mengenal Abby? Memeluknya sesuka hati disaat aku jauh di Helsinki dan tak tahu apa yang kau lakukan di sini?"
Galtero berdecak mendengar ocehan itu, tapi tak juga membebaskan mantannya. "Terserah kau mau berpikir apa. Kalau menurutmu begitu, ya silahkan." Ia tidak berniat untuk menyanggah, terlalu malas.
Muak sekali Jaselle menghadapi Galtero. Sudah ada calon istri, tapi masih saja menyentuhnya. Memang dirinya wanita apa? Murah sekali di mata pria itu sampai begitu mudah seenaknya dipeluk kembali?
Jaselle tetap memberontak dengan mendorong dada mantannya. "Belajarlah menghargai perasaan orang lain, Gal!"
Akhirnya berhasil juga keluar dari dekap tangan kekar pemaksa. Jaselle bernapas lega. Sementara Galtero cukup menyeringai saat mata terbuka.
Ketika Jaselle menggeser posisi supaya ada jarak diantara keduanya, tiba-tiba Galtero menariknya lagi. Kali ini kaki dan tangannya dikunci hingga sulit bergerak.
"Kau tahu aku tidak suka dibantah, kan?" bisik Galtero tepat di telinga Jaselle. "Maka, menurut saja, lagi pula hanya malam ini."
"Aku tidak mau! Kau pikir aku wanita murahan yang begitu mudah bisa diperlakukan seenaknya setelah dicampakkan?" Jaselle menggoyangkan badan sebagai aksi pemberontakan.
"Aku tak pernah berpikir begitu tentangmu, tapi kalau mau menganggap dirimu murahan, mari ku bantu wujudkan." Galtero menarik sebelah sudut bibir, menantang mantannya apakah berani melakukan atau tidak. "Bagaimana? Kita ingat lagi masa-masa di mana kau mendesah dan gelisah tiap kali ku—"
Jaselle membekap bibir Galtero yang begitu enteng mengatakan hal-hal sialan. "Cukup! Jangan kau paksa aku mengenang kembali tentang kita," pintanya. Dada sedikit naik turun saat menghirup oksigen. "Tujuh tahun aku berusaha melupakanmu, maka tolong jangan buat semuanya sia-sia. Berikan ketenangan dalam hidupku." Saking lelahnya, ia sampai memohon dengan suara mengiba.
"Menurut, jadilah Jaselle si wanita yang selalu mengikuti kemauanku." Galtero mulai melembutkan suara, ia usap puncak kepala mantannya.
"Aku bukan lagi wanitamu, berapa kali harus ku ingatkan?"
"Malam ini saja, Elle." Galtero meraih dagu Jaselle dan memaksa wanita itu menatapnya. "Aku ingin mengenang anak kita yang pernah tumbuh di rahimmu walau sementara." Tiba-tiba bibirnya kian mendekati wajah sang mantan dan melabuhkan kecupan pada kening. "Jangan menolak, ku mohon."
Jaselle sadar bahwa Galtero adalah manusia yang harus terpenuhi segala keinginannya. Bagaimana pun caranya, meski dengan memaksa. Jadi, dia berakhir pasrah walau sejatinya pikiran tak menginginkan hal itu, akan tetapi hati selalu berkhianat.
.....
Keduanya sampai lupa mandi. Terlalu kalut oleh suasana, sehingga membersihkan tubuh pun tak lagi menjadi poin utama.
Galtero paling awal bangun. Saat membuka mata, langsung disuguhkan oleh wajah sang mantan yang berhasil membuatnya merasakan tidur lelap lagi.
Sementara Jaselle justru sebaliknya. Dia baru tertidur tiga jam lalu. Terlalu banyak pikiran hingga membuatnya kesulitan istirahat.
Tak langsung beranjak, Galtero memainkan rambut panjang Jaselle. Dahulu ia sering melakukan itu. Entah memutar-mutar bagian ujung, atau menyingkirkan helai demi helai surai yang berjatuhan menutupi wajah cantik. Dia bagaikan mengenang masa lalu.
Tak sengaja jemari kekar itu menyentuh pipi, membuat Jaselle terkejut dan langsung membuka mata. Dia sensitif jika merasakan ada sentuhan. Sebab, dahulu sempat mau dilecehkan ketika terlelap.
Wanita itu terlihat bernapas lega. Tanpa mengucapkan apa-apa, tangan pun memijat pelipis yang terasa berdenyut akibat bangun oleh keterkejutan.
"Kau mau tetap di sini atau kembali ke Zermatt?" tanya Galtero.
Bukan langsung menjawab, Jaselle melihat waktu di jam tangannya yang masih melingkar sejak kemarin. "Tentu saja kembali, ada pekerjaan yang harus ku selesaikan." Ia bangun dari tidur, bergerak menuju kamar mandi. Setidaknya cuci muka. Urusan bau badan tenang saja, itu tidak mungkin karena selalu sedia parfum.
Lagi pula Jaselle tidak mau terjebak berdua terus dengan Galtero. Bersama mantan hanya membuatnya terus mengenang keindahan.
Selepas menyegarkan wajah, Jaselle meraih tasnya. "Tolong buka pintunya."
"Kau yakin tidak mau memanfaatkan waktu bersamaku?"
Jaselle berdecak karena mantannya mengulur-ulur waktu. "Sangat yakin. Aku terlalu muak dan lelah menghadapimu." Cara bicaranya tegas.
Membuat Galtero terkekeh pelan. "Sekarang kau jauh lebih berani mengutarakan kekesalan, ya? Dulu mana bisa bibirmu berkata begitu denganku."
Lebih baik diam, semakin ditanggapi justru tak kunjung selesai. Jaselle berdiri di depan pintu, menanti sang mantan segera membebaskannya.
Pagi itu, pukul tujuh pagi waktu Switzerland, Galtero dan Jaselle nampak keluar dari kamar yang sama, secara bergantian. Tapi setelah itu mereka menjadi sejajar karena langkah si pria yang berusaha menyamakan.
Di dalam kereta menuju Zermatt, Jaselle memilih untuk duduk di kursi yang berjauhan dari Galtero. Sudah cukup satu hari penuh dihabiskan berdua dengan sang mantan. Cukup menambah tekanan batin karena harus menampar diri dengan kenyataan bahwa pria itu tidak mungkin bisa dimiliki.
Sesampainya di stasiun, Jaselle lekas turun terlebih dahulu. Dia tidak menunggu Galtero. Berusaha masa bodoh juga. Harus kembali pada mode asing seperti semestinya.
Jaselle telah berusaha membentang jarak yang amat jauh, tapi rupanya Galtero justru sesuka hati jalan di sampingnya tanpa takut ketahuan oleh Abby. Ia terus bergerak cepat, tapi pria itu terus mensejajari. Maka, pelankan sedikit agar mantannya mendahului. Ternyata Galtero memang sengaja mau jalan bersama.
"Tolonglah jalan dulu, aku tak ingin Abby salah paham jika melihat kita berdua seperti ini," pinta Jaselle penuh kefrustasian.
"Aku masih ada hal yang ingin ditanyakan."
Namun, Jaselle menggeleng dan tidak menerima segala bentuk pertanyaan. "Cukup, ya? Aku saja berusaha menghargai Abby sebagai pasanganmu, kenapa kau tidak?"
"Karena aku merasa masih ada sesuatu yang mengganjal dan belum terselesaikan denganmu, Elle."
Meski Jaselle terus mengabaikan, tapi Galtero hatinya belum juga merasa tenang. Padahal kemarin telah melewati perdebatan menyakitkan. Maka, pria itu terus berusaha menyusul. "Elle!" Ia tarik tangan sang mantan.
Lantas hal itu tidak membuat Jaselle berusaha menghindar. Dia terus saja berjalan lurus, dan Galtero juga sama tak henti mengajak bicara hanya untuk menuntaskan ketenangan jiwa.
Keduanya terlalu fokus pada urusan yang belum juga dianggap selesai, hingga tidak sadar bahwa ada seorang wanita menyaksikan Galtero dan Jaselle yang jalan bersama. Tentu saja itu adalah Abby.
*****
Lumayan bisa napas kan di updatean kali ini?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
