
“Di sini bukan kau saja yang terluka, aku pun serupa.”
*****
Kira-kira apa yang terjadi antara Jaselle dan Galtero setelah pria itu menemukan bukti bahwa sang mantan pernah mengandung anaknya?
Yuk baca part 11 dan 12 agar tahu kelanjutan ceritanya. Setiap chapter memiliki keterkaitan, jadi bacanya jangan lompat-lompat ya bestie.
Part 11
Galtero termenung seorang diri, menanti Jaselle kembali. Ia terus amati kertas lusuh dan testpack yang ada di tangannya. Merasa ada sesuatu yang janggal dan harus diketahui sesegera mungkin. Yakin betul kalau itu ada kaitan dengannya. Tanggal yang tertera adalah hari di mana dirinya sedang melakukan perjalanan bisnis di Switzerland, sebelum akhirnya memutuskan kisah mereka.
Cukup lama Jaselle tak kunjung kembali. Galtero nyaris tak sabar. Pria itu hendak bangkit dan menyusul. Rasa penasarannya telah menggebu-gebu ingin dituntaskan secara cepat. Namun, saat kaki hendak melangkah, matanya menangkap wanita berparas cantik telah bergerak menggampiri.
"Sudah tak ada yang perlu dibicarakan, bukan? Aku harus pergi," ucap Jaselle. Ia abaikan makanan dan minuman di atas meja, langsung mengambil tas di atas kursi. "Kau tak perlu meminta izinku untuk menikah. Aku merestui dan berlapang dada menerima kenyataan bahwa kau tidak mungkin lagi bisa ku miliki." Menyempatkan untuk tersenyum walau sejak tadi wajah Galtero datar, kaku, dan tak berkedip sedikit pun menatapnya. Pria itu terlalu tajam saat memandang. "Permisi."
Secepat kilat Galtero menahan pergelangan Jaselle, menarik wanita itu hingga terduduk di kursi. "Siapa bilang urusan kita sudah selesai?" Ia letakkan benda yang sejak tadi menyita perhatiannya. "Bisa kau jelaskan apa ini? Milikmu, bukan?" Terus menggenggam tangan mantannya supaya tidak tiba-tiba menghindar atau kabur.
Jaselle membeku sesaat. Bagaimana bisa ada di tangan Galtero? Dia memang selalu membawa hasil USG dan testpack pertama, kemanapun dirinya pergi. Tidak memiliki maksud apa pun kecuali merasakan lebih dekat dengan sang putri. Dengan membawa itu, ia bagaikan dicambuk untuk terus berusaha melupakan sang mantan karena terus teringat perjuangannya di masa sulit. Lantas, kenapa pria itu tahu?
"Kau menggeledah tasku?" Jaselle sedikit panik, tapi berusaha mengontrol diri agar lebih tenang. Menarik dua benda yang ada di atas meja itu dan dimasukkan kembali ke dalam tas. "Lancang sekali!" Kini ia mendelik galak. Sebenarnya itu hanya salah satu cara mengelak dan tak perlu menjelaskan apa-apa.
Sayangnya, Galtero adalah manusia yang tidak mudah puas. Mau Jaselle mendelik sampai mata keluar pun tetap akan didesak untuk memberikan penjelasan. "Aku berhak tahu tentang kehamilanmu. Kau pernah mengandung, bukan? Tujuh tahun silam."
"Jangan sok tahu! Itu bukan milikku!" sentak Jaselle. Tangannya dikibaskan secara kuat hingga cekalan Galtero yang mengendur pun terlepas.
Jaselle merasa sang mantan tidak perlu tahu. Biarlah semua terkubur secara sempurna bersama seluruh kenangan yang pernah ada. Bukan egois, tapi terlalu rumit jika Galtero mengetahui sekarang. Kini bukan lagi tentang dirinya dan sang mantan, tapi ada hati lain juga yang telah hadir di kehidupan Galtero. Dia mempertimbangkan banyak hal, sekaligus tak ingin melukai siapa pun lagi. Sudah cukup dirinya mengorbankan sang putri. Jangan sampai ada yang tersakiti atas sisa-sisa kisah mereka yang telah usai.
Wanita beranak satu itu lekas beranjak pergi sebelum dihalangi. Jaselle berjalan cepat.
"Tentu aku tahu itu milikmu! Jelas tertulis namamu di belakangnya. Lalu, tanggal kau melakukan USG, tepat sekali ketika aku perjalanan bisnis ke sini." Galtero menyerukan suaranya. Dengan tak tahu malu ia berbicara lantang dan terdengar sampai telinga pengunjung lain. Biarlah, terlalu kesal karena Jaselle sulit diajak bicara secara baik-baik. "Itu anakku, bukan?" Pertanyaannya semakin dipertegas.
Dalam kondisi terguncang jiwa, hati, dan seluruh perasaannya, Jaselle selalu mengepalkan tangan begitu erat. Menahan gejolak amarah supaya tidak meledak. Bibirnya masih bungkam, enggan memberi jawaban. Haruskah Galtero tahu? Sepertinya tidak. Lebih baik memang hidup sendiri-sendiri seperti tujuh tahun yang telah berhasil ia lewati.
Tidak segera mendapatkan jawaban, Galtero menghampiri Jaselle. Mantannya membeku bagai patung. Meski telah lama berpisah, tapi ia tahu kebiasaan wanita itu. Jika tidak bergerak, tandanya apa yang ia tebak adalah benar.
Berhenti tepat di belakang punggung sang mantan, Kedua tangan kekarnya menyentuh pundak rapuh dan memutarkan tubuh Jaselle supaya menghadapnya. Galtero paksa wanita itu supaya mendongak menatapnya. "Sekarang di mana anakku?" Suaranya sedikit melembut. Berharap dengan cara tak kasar bisa membuat mantannya mau memberi tahu semuanya.
Masih bisu, tapi ada cairan bening mulai bergerombol melapisi pandangan mata Jaselle. Tenggorokan juga tercekat hingga membuat bibir sedikit bergetar menahan sedih. "Gone." Ada goyang di suaranya, lalu diiringi tangis pecah saat mengatakan itu. Lelehan air menembus benteng pertahanan yang tak seberapa kokoh.
"Apa maksudmu?" Galtero menggoyangkan bahu mantannya agar bicara lebih jelas. Tatapnya kalut oleh perasaan yang tidak keruan.
"Anak itu ... tiada." Maafkan aku karena berbohong, tapi begini jauh lebih baik. Jaselle melanjutkan kalimat itu dalam hati. Dia sengaja menutupi kenyataan bahwa darah daging mereka terlahir dengan sempurna dan sehat sampai sekarang. Niatnya hanya satu, tak ingin membuat Galtero memaksakan diri untuk bersamanya jika tahu ada anak diantara mereka. Juga ia tak mau melukai perasaan Abby yang terlihat sangat senang dan antusias dalam menyambut pernikahan.
Cukup Jaselle saja yang merasakan pedihnya patah hati, dan hancurnya harap yang ingin dinikahi oleh orang terkasih. Jangan sampai apa yang terjadi padanya tujuh tahun silam, terulang pada orang lain. Apa lagi diakibatkan oleh pria yang sama.
Sepasang tangan kekar Galtero lemas seketika. Pandangannya kosong saat tahu berita mencengangkan itu. Tapi, hanya beberapa detik. Sebab, setelah itu suaranya melengking, menunjukkan kemarahan. "Kenapa bisa kau kehilangan anakku?! Apa kau tak becus merawatnya dengan benar? Menjaganya dengan baik?! Sebodoh dan seceroboh itu dirimu sampai anak pun tak bisa dipertahankan?!"
Galtero merasa kehilangan. Meski baru tahu sekarang, tapi ada sesak di dada yang membuatnya tidak terima kalau anaknya pergi sebelum bertemu dengannya.
Sementara Jaselle, ada senyum getir sangat tipis. Sakit sekali direndahkan dan diremehkan oleh pria yang pernah ia cintai—ralat, masih dicintai sampai detik ini. Ya, memang dirinya bodoh karena terlalu sulit menyingkirkan perasaan itu.
"Benar, aku memang seburuk itu. Aku tak becus menjadi orang tua, itulah sebabnya anak itu pergi!" Dada Jaselle sampai naik turun. Aslinya dia tidak terima dituduh seburuk itu, tapi biarlah Galtero menganggap ia wanita yang tidak bisa melakukan apa-apa. Toh mantannya juga mati rasa dengannya, bukan? Untuk apa berusaha membuat pria itu menyukainya? Terlalu membuang waktu dan ia juga tak begitu mengharapkan bantuan apa pun dari Galtero.
Jaselle bisa berdiri dengan kerja keras sendiri. Ia memenuhi seluruh kebutuhan pribadi dan sang putri pun atas hasil keringatnya. Jadi, mengemis cinta pada Galtero adalah sesuatu yang pantang dilakukan. Cukup dirinya memiliki sebagian dari hidup sang mantan, dalam bentuk si cantik Aleeza.
"Kau menggugurkannya?" tuduh Galtero. Kali ini matanya telah mendelik kesal.
"Ya." Meski jawaban singkat, tapi jelas sekali ada getar di suara Jaselle.
"Beraninya kau menghilangkan anakku!" Galtero dikuasai oleh amarah. Tak sadar ia mencengkeram rahang Jaselle dengan kuat. "Jika kau tak mau mempunyai keturunan, seharusnya tetap lahirkan dan berikan padaku! Akan ku rawat dia seorang diri."
Miris sekali jadi Jaselle. Sudah disakiti hatinya, sekarang ditambah ia harus merasakan fisik yang dilukai. Walau sebatas cengkraman pada wajah, tapi baginya itu menambah bekas kepiluan. Namun, setelah dipikir-pikir, baguslah, membuatnya bisa mengisi daftar alasan kenapa harus membenci dan menghindari seorang Galtero Wagen Giorgio.
"Kenapa kau hanya terfokus pada kesalahanku? Apa kau tak berpikir alasan dibalik aku melakukan itu?" Dengan dada sesak, mata yang terus memproduksi air, Jaselle berusaha keras melawan kesakitannya agar berani menatap Galtero yang nampak dipenuhi oleh amarah. "Sebelum kau menuduhku tak mau memiliki keturunan atau secara sengaja menggugurkannya, lebih baik kau bertanya kenapa anak itu bisa pergi dari hidupmu!" Ia dorong dada bidang sang mantan supaya menjauh dan melepaskan wajahnya.
Jaselle tidak bisa diperlakukan kasar. Hatinya terlalu lembut. Membalas dengan sedikit membentak pun sebenarnya ia terpaksa agar tak terlihat lemah sekali di depan orang yang telah menyakiti.
"Memangnya apa salahku sampai anak itu harus pergi dariku?!" desak Galtero. Ia tahan lengan Jaselle yang hendak menghindarinya.
"Banyak! Kau pikir saja sendiri!"
Keributan yang dibuat oleh sepasang mantan kekasih itu berhasil membuat pengunjung di restoran tersebut muak mendengarkan. Mereka merasa terganggu oleh suara yang saling menyahut penuh emosi.
"Hei! Kalau mau bertengkar jangan di sini."
"Selesaikan urusan kalian di rumah, pulang saja, sana!"
"Jangan rusak Zermatt yang tenang ini dengan perdebatan kalian!"
"Hargai kami yang mau menikmati makanan dengan penuh kesunyian."
"Jika ada masalah, jangan dibawa-bawa ke luar, memuakkan sekali mendengarnya!"
Masih banyak lagi protesan dari orang-orang yang terganggu. Mereka tidak salah, Jaselle dan Galtero saja yang tak tahu tempat untuk berdebat.
Tidak semua orang mau tahu tentang masalah hidup orang lain. Mereka juga punya urusan sendiri, untuk apa menambah beban dengan mendengar pertengkaran yang bukan berkaitan dengan masing-masing individu di sana.
Jaselle segera membungkuk sebagai wujud rasa bersalah. "Maafkan kami telah mengganggu." Ia lalu berjalan menuju pintu untuk keluar dan mengambil jarak dari Galtero.
Si pria yang masih merasa belum terpuaskan dengan Jaselle itu pun mengekori. Tapi, ia ditahan oleh pelayan di sana. Dihadang agar tak bisa melewati pintu.
"Anda belum membayar makan dan minum, Tuan."
Galtero berdecak, mencari-cari dompetnya. Matanya berotasi secara tiba-tiba saat teringat kalau benda itu masih berada di atas meja. Ia pun kembali untuk menyelesaikan transaksi.
Selepas membayar hidangan yang dipesan tapi belum sedikit pun dinikmati, bahkan ia tinggalkan masih utuh, Galtero segera menyusul Jaselle. Kepala menengok ke seluruh penjuru, mencari tanda-tanda keberadaan sang mantan.
Untung diantara banyaknya orang yang berlalu lalang di sana, mata tajam Galtero bisa menemukan orang yang dicari. Jaselle dengan blouse merah maroon dan cara jalan terburu-buru.
"Kau pikir bisa menghindariku?" gumam Galtero. Bibirnya tertarik sebelah dan menampakkan kesan sinis.
Langkah kaki Galtero lebar dan cepat. Menyusul Jaselle bukanlah sesuatu yang sulit. Tepat di belakang wanita itu dan bisa dijangkau, untuk kesekian kali ia cekal tangan sang mantan. "Ikut denganku! Urusan kita belum selesai!"
Banyak hal yang ingin Galtero ketahui. Apa yang membuat mantannya sampai menggugurkan anak mereka? Meski kesal, tapi tetap saja penasaran. Maka, harus dituntaskan meski ia harus berakhir membenci Jaselle yang sudah seenaknya menghilangkan darah dagingnya.
.
.
.
Part 12
Meski telah berusaha memberontak supaya tak dipaksa, justru Galtero semakin menggila saat mendesak Jaselle agar menuruti kemauan pria itu. Tidak menerima penolakan sedikit pun. Bahkan ada saat di mana Galtero membopong mantannya bagai karung karena hendak berlari menghindarinya. Hingga pada akhirnya wanita beranak satu itu pasrah, menurut, daripada menjadi bahan tontonan orang-orang.
Entah mau dibawa ke mana, sepasang mantan kekasih itu masuk ke stasiun. Ketika Galtero memesan tiket pun tidak melepaskan Jaselle. Justru mengungkung dalam penjara tangannya, diberdirikan tepat di depannya, sementara ia membeli untuk perjalanan ke tempat yang tidak dalam wilayah Zermatt.
Sepanjang perjalanan Jaselle hanya diam. Tidak mau menatap pria yang duduk di hadapannya. Lebih baik menyaksikan pendangan di luar saja.
Beberapa kali Galtero berusaha mengajaknya bicara, namun tak pernah Jaselle tanggapi. Dia terkesan sangat acuh bagi orang yang masih menyimpan perasaan. Tepatnya adalah berhasil menyembunyikan hatinya yang sebenarnya tidak baik-baik saja.
Lagi pula Jaselle juga tak begitu yakin bisa mengontrol diri saat menghadapi Galtero yang sedang marah. Jadi, diam adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
"Kau haus atau lapar? Pesan saja makan dan minum, sejak tadi belum terisi apa pun, bukan?" tawar Galtero.
Meski mantannya terus memalingkan tatap, namun ia tetap terpaku ke depan. Kali ini Galtero telah menurunkan emosinya, jadi sedikit melembut.
Jaselle menggeleng sebagai penolakan. Ia lipat dua tangan di dada, menyandarkan punggung, lalu memejamkan mata. Perjalanan terasa lama, padahal di tiket tertera kurang lebih dua jam lebih tujuh belas menit. Rasanya bagai dua tahun karena ia harus menghadapi masa lalu yang berusaha mengulik segala sesuatu tentang kehamilannya dahulu.
"Ok jika kau tak mau." Galtero berinisiatif untuk membeli minuman yang dijual oleh pihak kereta api. Dia tak sekejam itu membawa pergi orang tapi tak diberi asupan.
Kembali lagi membawa dua botol kaleng soda. Meletakkan di meja kecil. "Minum, hargai aku yang sudah berjalan ke gerbong tengah untuk membelikan itu!" titahnya. Ada suara buih dari kaleng yang baru dibuka. "Masih baru, aku tak mencampur apa pun di dalamnya. Aman, kau tenang saja."
Jaselle menghela napas kasar. Malas ribut di tempat umum untuk kedua kalinya. Ia membuka mata dan meraih minuman itu, meneguk sedikit demi sedikit. Tapi tetap mengabaikan Galtero.
"Apa kau bisa menceritakan kejadian tujuh tahun lalu? Kenapa kau memutuskan untuk menggugurkan anak kita?" Galtero mulai menginterogasi. Rasa penasarannya menggebu dan belum terpuaskan, masih haus oleh penjelasan.
"Bisa tidak jangan dibahas di sini?" pinta Jaselle, tatapannya kini terpancar aura lelah.
"Ok."
Akhirnya Jaselle bisa sedikit lega karena tak didesak terus. Dia tak mau ambil risiko kalau harus menuntaskan rasa penasaran mantannya di sana. Bisa jadi ia terlalu terbawa perasaan saat memberi alasan, lalu berakhir menangis karena harus mengulik kejadian yang telah berlalu.
Sampai juga di Kota Bern. Galtero langsung membawa Jaselle ke sebuah hotel. Memesan satu kamar hanya untuk berbicara empat mata dan dari hati ke hati.
"Sekarang tak ada lagi alasan untuk menghindar. Katakan padaku kenapa kau menggugurkan janin itu?" Galtero mengunci kamar, menyimpan kuncinya agar tak ada yang bisa pergi tanpa seizinnya.
Jaselle bergerak memunggungi mantannya, berdiri di jendela, menatap luar yang cahaya langitnya mulai redup. "Aku depresi." Tatapnya sendu walau sebatas mengingat masa sulit.
Jaselle hanya berbohong tentang janin yang digugurkan. Tapi, memang awalnya ia berniat begitu. Untung digagalkan oleh nasihat Felicia.
"Apa yang membuatmu depresi?" Galtero cukup berdiri di belakang sang mantan, dalam jarak dua meter. Ia biarkan mata sebatas menyaksikan punggung yang terkesan sangat rapuh.
"Kau." Jaselle menunduk. Menggigit bibir bawah yang mulai bergetar. Sedih sekali rasanya, tujuh tahun berusaha bangkit, kini lukanya dipaksa kembali terbuka hanya untuk menuntaskan rasa penasaran sang mantan tercinta.
Galtero tak bisa berbicara dalam posisi ada jarak dan tak saling tatap. Ia harus menyelami apakah Jaselle jujur atau bohong. Maka, pria itu pun menuntun sang mantan supaya mengikutinya. "Duduklah."
Jaselle masih menunduk saat pantatnya terpaksa harus menyatu dengan kursi. "Kau yang membuatku depresi, bahkan satu tahun aku harus berobat hanya untuk menyembuhkan jiwaku yang terganggu." Tatapan mata berkaca-kaca. Ia tak bisa melihat suasana sekitar dengan jelas.
Seketika Galtero merasa bersalah mendengar suara lirih tersebut. Mungkin selama ini ia tidak bisa melewati hari-hari dengan tenang karena hal itu. Ada hati dan jiwa yang secara tak sadar telah ia rusak.
Galtero tak lagi mengedepankan amarahnya seperti saat di restoran tadi. Kini ia lebih merendah. Berjongkok di hadapan Jaselle, menggenggam tangan sang mantan yang ternyata telah ia sakiti sedemikian buruknya. Sampai butuh pengobatan, berarti parah sekali akibat dari keputusannya saat itu.
"Aku akan mendengarkan ceritamu. Kau katakan mulai sejak kapan mengetahui bahwa hamil, dan kenapa tidak memberi tahu padaku?" pinta Galtero. "Jika terlalu sakit mengatakannya, ku genggam tanganmu untuk menguatkan. Biarkan aku tahu alasanmu menghilangkan anak kita."
Belum juga mulai cerita, Jaselle telah larut oleh derasnya air mata. Dia selalu kalah oleh kelembutan dan perhatian mantannya. Padahal tadi memiliki daftar untuk membenci Galtero yang telah mencengkram rahangnya di depan umum. Sekarang mendadak hilang dan terkalahkan oleh tangan kekar yang sedang mengusap kulitnya.
Jaselle rindu dengan sentuhan pria itu. Tapi, sadar bahwa Galtero bukan lagi miliknya. Mereka tidak lagi bisa saling menjangkau. Jarak terlalu luas, dan tembok yang harus ia bangun juga perlu ditinggikan. Mengingat ada hati yang harus mereka jaga.
Dengan suara sesegukan, Jaselle memulai membuka kembali kisah yang seharusnya ditutup secara paksa. "Saat kau pergi perjalanan bisnis ke Switzerland. Aku sering merasa pusing dan mual. Karena saat itu curiga, diminumi obat tak kunjung sembuh, maka aku iseng membeli testpack. Ternyata ... hasilnya positif." Sesekali memberikan jeda untuk menyusut ingus yang tanpa permisi keluar begitu saja, juga menyeka pipi yang basah oleh air mata. "Lalu, aku perkuat dengan ke dokter kandungan, USG, dan ternyata memang benar ada janin berusia delapan minggu telah hadir di rahimku." Sembari mengusap perut rata yang kini tak ada isinya.
"Kenapa kau tak memberi tahu padaku saat itu? Kenapa kau diam saja? Seharusnya kau menghubungiku. Lagi pula aku tak mungkin lari dari tanggung jawab." Galtero menggoyangkan bahu Jaselle. Ia terbawa suasana, menyayangkan segalanya. "Seandainya kau mengatakan padaku, pasti dia ada di sini bersama kita, Elle!"
Bukan hanya Jaselle yang terlihat sedih, Galtero pun demikian. Mata pria itu menunjukkan tanda-tanda merah di bagian yang awalnya putih. "Sesakit ini tahu anakku pergi begitu saja, lebih parahnya yang menghilangkan adalah orang yang mengandungnya."
Awalnya Galtero pikir ia turut andil atas kesalahan itu. Ternyata memang sejak awal Jaselle tak ada memberi tahu. Dia berhenti berjongkok di hadapan sang mantan, berdiri memunggungi dan menarik rambut sekuat mungkin untuk menyalurkan rasa kesalnya. "Kau egois, Elle! Tidak memberi tahu padaku tentang hal seperti ini!" teriaknya begitu lantang.
Sesak sekali Galtero, ia pukul dadanya begitu kuat. "Aku daddynya, berhak tahu!" Berbalik badan dan kembali menatap Jaselle dengan sesal. Sangat disayangkan anaknya tak terlahir di dunia. "Bahkan aku akan mengangkat teleponmu seandainya kau menghubungiku saat itu."
"Oh, ya? Bukankah ketika kau perjalanan bisnis di Switzerland, kau juga sedang berkenalan dengan Abby?" Jaselle tak sadar menyelutuk apa yang membuat hatinya mengganjal sejak tahu tentang hal itu.
Galtero terdiam sesaat. "Dari mana kau tahu?"
"Tak penting dari mana. Yang jelas, semua berubah setelah kau pulang dari sini."
"Kau tak tahu apa-apa tentang yang ku alami!"
"Kau juga tak tahu apa pun tentangku. Kau hanyalah pria egois yang mementingkan perasaanmu sendiri. Apa kau pikir aku tak berusaha memberi tahu?" Jaselle muak, benar-benar muak. Galtero terus menyalahkan dirinya, tapi tak pernah berkaca bahwa sudah memberinya luka yang terlalu dalam.
Jaselle berdiri meski dengan derai air mata. Suasana di kamar itu sangat mencekam oleh dua manusia yang kalut oleh kesedihan. Galtero dengan rasa penyesalan karena tak bisa melihat anaknya yang telah digugurkan, dan Jaselle dengan kepedihannya yang terus dianggap salah oleh sang mantan.
"Saat kita bertemu, ketika kau memutuskan aku tujuh tahun lalu." Jaselle mendorong dada mantannya dengan amarah mengumpul di telunjuknya. "Saat itu aku berniat memberi tahu bahwa aku sedang mengandung anakmu."
"Lantas, kenapa tak kau lakukan?!" sentak Galtero.
Postur tinggi yang berbeda, membuat Jaselle harus mendongak supaya bisa menantap keangkuhan Galtero. "Bagaimana aku mengatakan kalau kau saja fokus untuk mengakhiri hubungan denganku?"
"Kau punya bibir yang bisa berucap jelas. Seharusnya tolak ajakanku putus dengan memberi tahu kehamilanmu!"
"Lalu memaksamu untuk meneruskan kisah kita dengan kau yang terpaksa bertahan, walau telah mati rasa?" Jaselle bergeleng pelan. "Kau sendiri yang mengatakan kalau terus dilanjutkan hanya akan membuatku terluka, bukan?"
"Argh!" Galtero mengacak-acak rambut kesal. Perkataannya di masa lalu dibalikkan kembali dan ternyata itu adalah boomerang baginya.
Pria itu tak puas hanya sekadar berteriak. "Tetap saja kau salah, Elle! Aku juga perlu tahu! Kenapa kau memilih diam saja?!"
Masih terus diungkit, membuat Jaselle bosan menanggapi. "Aku lelah bertengkar. Bisa kita akhiri pertikaian ini?" pintanya. Suara terdengar bergetar, dada juga bergemuruh karena terus disalahkan.
Jaselle mendekati ranjang, lalu duduk di bagian tepi, menatap sang mantan yang terus melihatnya dengan mata tidak terima oleh kenyataan yang sebenarnya adalah kebohongannya. "Izinkan aku istirahat, Gal. Di sini bukan hanya kau saja yang merasa terluka, aku pun serupa." Perlahan ia merebahkan tubuh. "Kau hanya sakit hatinya, tapi aku semuanya. Jiwa dan ragaku tidak baik-baik saja sejak kisah kita dipaksa harus berhenti pada titik yang tidak semestinya."
Jaselle memutar posisi tidur hingga punggung yang bisa ditatap oleh Galtero. "Mari kita sudahi perbincangan ini. Semakin dilanjutkan, hanya membuat satu sama lain terus terluka. Jadi, lebih baik kubur saja, dan lanjutkan hidup masing-masing seperti saat kita belum bertemu kembali. Kau dengan Abby, dan aku bersama kesendirianku."
*****
Gimana? Sesek gak? Berasa gak ada jeda buat napas bentar, ya? Hantam konflik terus hehehe keluarga Giorgio ni spesialis banyak masalah memang. Kayanya sih kutukan keturunan Giorgio emang kisahnya pada nyesek
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
