KEDUA KALINYA (BAB 67)

43
8
Deskripsi

MAAF YA UPDATENYA LAMA. JADI BAB KALI INI NONA KASIH GRATIS! KALAU MAU KASIH TIP NONA SANGAT BERTERIMA KASIH SEKALI HEHE.

HAPPY READING, MEN-TEMEN SAYANG.

“Biar Larry kuangkat,” tutur Leon dengan panik. “Kalian lebih baik menghubungi rumah sakit terdekat agar mereka siap menangani Larry.”

“Baiklah.”

“Larry, tolong bertahanlah demi Carla dan anakmu. Tolong bertahanlah,” bisik Leon berusaha menstimulasi pikiran Larry agar tetap berada di alam bawah sadarnya.

Bennard terkapar dan menggeliat kesakitan setelah dihajar mati-matian oleh Leon, tetapi ia masih hidup. Matanya yang lengket penuh darah perlahan terbuka. Saat ia menggeliat ke kiri, ia mendapati sebuah senjata api di sisinya. Tangannya bergerak meraih senjata api tersebut di saat semua orang lengah karena mencemaskan keadaan Larry. Dengan sekuat tenaga, Bennard mengarahkan senjata api itu pada Larry yang sudah tidak sadarkan diri—yang kala itu dibantu oleh Leon, Dean dan para anak buahnya hendak membawanya ke mobil untuk pergi ke rumah sakit. 

Saat Leon hendak mengangkat tubuh Larry, ia dibuat terkesiap tatkala melihat Bennard yang ternyata masih sadar dan memegang senjata api yang diarahkan ke arah Larry karena Bennard sudah berjanji dalam dirinya sendiri ingin membunuh Larry dengan menggunakan tangannya sendiri. Namun, Leon tidak bisa menghentikannya akibat jarak yang cukup jauh. Itu sebabnya ia mendekap tubuh Larry hingga suara tembakkan yang berasal dari peluru yang dilepas oleh Bennard—teredam dan menembus punggung sebelah kiri Leon. Mata Leon mendelik. Darah tampak keluar dari mulutnya. Tubuhnya seketika merosot di lantai karena tidak sanggup menumpu beban berat tubuh Larry lagi. Bahkan tubuhnya menimpa laki-laki itu.

“Leonnnnnn!” Carla terkesiap dan berteriak histeris melihat kakaknya terkena tembakan dan seketika terkapar tidak sadarkan diri di lantai bersama Larry.

“Leon ….” Bennard salah sasaran, namun ia tidak memedulikan nasib kakaknya. Yang ia pedulikan saat ini bagaimana peluru dari senjata api yang ia pegang bisa menembus kepala Larry karena ia yakin Larry saat ini masih hidup dan ia ingin melenyapkan laki-laki itu dengan menggunakan tangannya sendiri. Bennard mencoba beranjak bangun dan hendak melesatkan peluru lagi ke arah Larry, namun niatnya berhasil digagalkan oleh Dean. Laki-laki itu terkapar saat Dean melesatkan peluru dari senjata apinya hingga tepat menembus jantung laki-laki itu. Bennard seketika tewas di tempat.

“Leonnn, bangunlah! Bangunlah!” Tangisan Carla semakin menjadi-jadi saat tidak mendapatkan tanda-tanda respon dari kakak sulungnya. 

Dean pun menyuruh para anak buahnya dan membagi tugas mereka untuk mengangkat tubuh Leon dan Larry untuk segera membawanya ke rumah sakit terdekat agar mereka dapat penanganan. Dan setibanya di rumah sakit, para tenaga medis berbondong-bondong dengan sigap membawa Leon dan Larry menuju ke meja operasi.

Sepanjang perjalanan tadi, Carla tak henti menangisi kakak dan suaminya. Bahkan saat di rumah sakit tangisannya semakin pecah karena takut hal buruk terjadi kepada Larry dan Leon.

“Carla tenangkan dirimu. Percayalah Larry akan baik-baik saja. Dia memiliki banyak nyawa. Dan kakakmu … dia juga pasti baik-baik saja.” Dean berusaha menenangkan Carla meskipun dirinya sendiri tidak yakin dengan ucapannya karena saat ini ia juga sangat mencemaskan Larry yang kehabisan banyak darah selama dalam perjalanan tadi.

Dean tidak bisa meninggalkan Carla begitu saja karena wanita itu butuh ditemani. Ia pun menghubungi Daisy dan juga sahabatnya untuk mengabari mereka akan apa yang sudah terjadi terhadap Larry dan Carla. Dan tak lama setelah memberikan kabar, Daisy, Keane dan William pun datang bersama dengan Sheila tentunya—yang tampak sudah berurai air mata saat tiba di rumah sakit.

“Tuan Dean, di mana Larry? Bagaimana keadaannya?” Suara Sheila terdengar parau di sela-sela isak tangisnya. Tidak sabar menunggu jawaban Dean yang ekspresinya tampak memprihatinkan saat didesak pertanyaan yang sama oleh Sheila, istri serta sahabatnya.

“Larry … dia masih ditangani oleh dokter. Dokter sedang melakukan tindakan operasi,” kata Dean dengan minim harapan. Sudah lebih satu jam Larry ditangani di dalam ruang operasi, tetapi sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda dokter keluar dari sana untuk memberikan kabar terkait keadaan Larry dan Leon di dalam sana. Hal tersebut yang membuat Dean dan Carla semakin cemas.

Sheila mendapati Carla yang sedang menangis di pelukan Daisy, sebab saat datang Daisy langsung menenangkan Carla yang tak kunjung berhenti menangis.

“Ini semua gara-gara dirimu! Larry seperti ini gara-gara dirimu!” Sheila berteriak histeris dan hendak memukul Sheila dan menarik rambutnya. Namun, dihalangi oleh William, Keane dan Dean.

“Sheila, sadarlah!” Bentakan Dean seketika membungkam mulut Sheila. “Tidak ada yang perlu disalahkan di sini. Kau pikir Carla juga menginginkan hal ini terjadi?!”

“Tapi Larry … dia banyak menderita karena Carla. Dia selalu menempatkan Larry dalam kondisi sulit seperti ini! Dia selalu membuat Larry berada dalam bahaya!” Sheila menangis terisak-isak. Belum sempat ia menenangkan hatinya yang hancur karena ditipu oleh Leon, dan sekarang ia harus menelan kabar bahwa Larry sedang meregang nyawa di ruang operasi.

“Larry yang memilih jalan hidupnya sendiri. Dia memilih Carla sebagai wanitanya. Jadi sudah sepatutnya Larry melindungi Carla apalagi yang dilindungi Larry bukan hanya Carla saja, tetapi juga calon anaknya. Jika aku berada di posisi Larry, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama. Jadi jangan menyalahkan Carla akan apa yang telah terjadi. Tenangkan dirimu, Sheila. Marah dan menyalahkan orang lain tidak akan membuat semuanya kembali seperti semula,” tutur Dean.

Sheila menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia berusaha mendengarkan nasihat dari Dean agar pikirannya kembali tenang meskipun ia tidak bisa menghentikan isak tangisnya akan kecemasannya terhadap Larry, terlebih lagi melihat Carla di sana. Kejadian yang menimpa Larry hari ini semakin membuat kebencian Sheila kepada Carla semakin bertambah, namun ia berusaha menahan diri untuk tidak membuat keributan di sana. Yang terpenting sekarang adalah memikirkan bagaimana keadaan Larry. 

Tak lama setelah itu, tanda lampu yang ada di atas pintu ruangan operasi berhenti. Menandakan operasi telah selesai. Dan beberapa dokter pun tak lama kemudian keluar dari sana dengan wajah lelahnya.

Carla dan lainnya buru-buru berhambur mengepung para dokter itu dan saling melemparkan pertanyaan yang sama tentang keadaan Larry dan Leon.

“Bagaimana keadaan Larry dan Leon? Bagaimana keadaan suami dan kakakku, Dokter? Bagaimana keadaan mereka?” Suara Carla parau dan masih teredam oleh isak tangisnya. Ia tidak sabar menunggu jawaban para dokter. 

“Leon?” ulang Sheila—menoleh ke arah Carla dengan wajah yang terkesiap saat nama kekasihnya itu disebut. Kenapa Carla menanyakan keadaan Leon? Pikir Sheila bingung. Ya, Sheila belum mengetahui bahwa Leon juga sempat celaka akibat tertembak oleh peluru yang dilesatkan Bennard. Ia tidak tahu bahwa di dalam ruang operasi itu Leon juga sedang meregang nyawa. “Kenapa dengan Leon, Carla? Apa yang terjadi dengannya? Apa dia juga terluka?”

Mata sembab Carla yang berurai air mata menemui Sheila. Ia mengangguk pilu sembari menyeka cairan bening yang terus menggenangi wajahnya. “Ya, Sheila. Leon juga tertembak saat melindungi Larry dari tembakan Bennard.”

Lutut Sheila melemas. Air mata seketika meluncur deras dari sudut matanya. Kenapa ia harus menangis? Tidak sepantasnya Sheila menangisi seorang penipu seperti Leon. Tidak sepantasnya ia mencemaskan laki-laki yang sudah memanfaatkan dirinya demi kepentingan pribadi.

“Katakan bagaimana keadaan suami dan kakakku, Dokter?!” Carla kembali mendesak pertanyaan yang sama kepada para dokter yang masih diam.

“Operasi berjalan lancar. Tuan Larry kehilangan banyak darah, tetapi kami bisa mengatasinya. Tulang punggungnya mengalami cedera cukup serius akibat benturan benda keras.”

Carla meyakini bahwa benturan keras itu akibat rantai besi yang dipukulkan oleh Bennard berulang kali di punggung suaminya.

“Lalu bagaimana? Apa Larry akan baik-baik saja?” Carla menyeka air matanya yang semakin menganak sungai. Sementara Daisy setia merangkul temannya itu sembari memberikan usapan di bahunya.

“Nona tidak perlu khawatir. Tuan Larry baik-baik saja. Dia hanya memerlukan waktu untuk memulihkan keadaannya. Dan kita harus sabar untuk menunggunya sadar.”

Carla dan lainnya seketika bernapas dengan lega, kecuali Sheila yang masih memikirkan Leon yang belum diketahui keadaannya setelah mengetahui kekasihnya itu juga terluka.

“Bagaimana dengan Leon?” tanya Sheila dengan lirih dan parau, “apa dia juga baik-baik saja?” Suaranya yang teredam oleh isak tangisnya terdengar penuh pengharapan. “Apa Leon juga akan segera sadar, Dokter?”

Saking leganya mendengar keadaan Larry, Carla sampai melupakan Leon. “Ya, Dokter. Bagaimana keadaan kakakku? Dia juga baik-baik saja, bukan?” 

“Tuan Leon …” Para Dokter itu saling bersitatap dengan ragu, kemudian pandangannya kembali menemui Carla dan yang lainnya. “Operasi pengangkatan pelurunya berjalan dengan lancar, untung saja peluru itu tidak mengenai organ jantung atau paru-parunya, jika tidak … mungkin akan berakibat sangat fatal. Tetapi …” Suara Dokter itu terdengar ragu-ragu setelah menghelakan napas panjang, “keadaan Tuan Leon masih sangat kritis dan kami tidak bisa menjanjikan apa-apa. Kita hanya perlu berdoa menunggu keajaiban. Semoga Tuan Leon bisa melewati masa kritisnya.”

Tangisan Carla kembali pecah setelah mendengar pernyataan dokter yang terdengar seperti sedang kehilangan harapan terhadap keadaan Leon. Begitu pun juga dengan Sheila. Air matanya semakin berurai meskipun tangisannya teredam di dada. Sesak. Itu yang saat ini ia rasakan. Secara tidak langsung, para dokter itu mengatakan bahwa kemungkinan harapan hidup Larry sangatlah kecil. Lutut Sheila tiba-tiba melemas. Pandangannya berkunang. Tubuhnya seketika ambruk dalam hitungan detik saat kegelapan menyelimuti pandangannya, namun William dan Keane yang berdiri tepat di belakangnya, buru-buru menahan tubuh Sheila hingga tubuh wanita itu tidak sampai terjatuh ke lantai. Sheila tidak sadarkan diri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya KEDUA KALINYA. BAB 68 - 79 TAMAT! 11 BAB.
53
16
11 BAB SEKALIGUS.Carla pun begitu terkesiap setelah mengetahui bahwa kertas yang diberikan oleh Sheila—yang tadi sempat disembunyikan darinya,  ternyata ialah lembaran hasil USG yang menunjukan bahwa di sana terdapat sebuah kantung janin yang baru tumbuh dan dalam hasil USG tersebut tertera nama Sheila di bawahnya.Mata Carla membeliak terkejut. “She-sheila, kau—”Sheila menganggukan kepalanya dengan menahan isakan tangis. “Ya, Carla. Aku hamil. Aku sedang mengandung anak Leon.” Tangisannya semakin menjadi-jadi. Ternyata ini yang membuat Sheila tak henti menangisi keadaan Leon. “Sheila ….” Carla memeluk Sheila dan mencoba menenangkan wanita itu.“Aku harus bagaimana, Carla? Aku tidak mau anakku lahir tanpa memiliki seorang ayah. Aku tidak mau hal serupa yang aku alami terjadi kepada anakku. Lahir tanpa seorang Ayah adalah hal yang sangat menyakitkan. Aku tidak mau anakku lahir tanpa seorang Ayah.” Suara tangisan Sheila teredam di bahu Carla. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan