
Narasi ini, tentang sudut pandang si semata wayang-- Mulai dari hadirnya, perjalanan hidup nya, hingga kisah manis dan tragis yang menjadi corak peta hidup yang ia lakoni.
Barangkali, setelah ini kita jadi memahami. Bahwa 'Kesempurnaan' itu, hanyalah mimpi indah yang tidak akan pernah terwujud.
Sebab hanya Tuhan, yang memiliki.
Alleia Hazel, mari kita menyusuri dimensi hidup mu yang katanya bergelimang dengan 'Kesempurnaan'.
With Love, Nona Keju Velvet.
•••
full AU on X: Nonakejuvelvet
> GANTUNGAN LEICA
> GENGGAMAN LEICA (sequel)
[ HADIAH DARI TUHAN ]
Jakarta, puluhan tahun yang lalu. Sepasang suami Istri yang sudah menginjak usia 5 tahun pernikahan, masih Tuhan izinkan hanya berdua saja dalam bahtera yang sudah mereka jalani.
Ya, pasangan itu adalah Raden Bimantara Dipati juga Mentari Iriana Prameswari.
"Jangan dengerin kata Mama, ya?"
Ucap Bima menenangkan, tak lama dari pamit nya sang Ibu yang baru saja berkunjung.
"Tapi kayanya bener apa kata Mama, Mas."
Ucap Mentari, terlihat gusar dan merasa bersalah.
"Kamu harus punya keturunan."
Lanjut Mentari lagi, membenarkan apa yang baru saja mertua nya itu lontarkan untuk mereka.
"Aku yakin, sama waktu terbaik Tuhan."
Sedangkan Bima, hanya ingin Istri nya itu tenang dan tak lagi merasa bersalah.
"Ya kapan waktunya?"
Lirih mentari, dengan tatapan yang begitu putus asa.
"Tahun depan."
Tiba-tiba, Mentari mengatakan satu kalimat yang membuat Bima menatap tak mengerti.
"Maksudnya?"
Tanya Bima.
"Tolong kasih waktu aku sampai Tahun depan."
Mentari terlihat membuang nafas nya kasar.
"Setelah itu?"
Bima kembali bertanya, perihal jawab yang belum jelas ia terima.
"Kalo aku ga bisa kasih kamu keturunan dalam waktu satu tahun lagi, aku rela kamu nikah lagi, Mas."
Final Mentari, dengan tatapan yang mantap. Seperti keputusan ini, sudah bulat ia pertimbangkan.
Sebab, pada usia pernikahan yang sudah terbilang cukup matang, banyak khawatir yang menghantui Mentari selama ini. Terlebih, kehadiran seorang Cucu sangatlah Mertua nya itu nantikan.
Itulah sebabnya, Mentari tak dapat mengelak sepenuhnya, atas tekanan yang selalu Mertua nya itu berikan.
-- 1 tahun kemudian
Los Angeles, adalah salah satu kota yang membersamai keluarga Bima tumbuh beberapa bulan ke belakang.
Ya, Bima memiliki tugas perjalanan ke Negeri Paman Sam sejak awal tahun kemarin. Meninggalkan Istri yang sedang berbadan dua, tidaklah mudah untuk nya.
Oleh sebab itu, Bima memilih untuk memboyong Mentari yang sedang mengandung darah dagingnya itu, menetap pula di Amerika.
"Kalo Alleia ga lahir, Mami sama Papi udah ga bisa bareng lagi."
Ucap Mentari, sembari menggendong Bayi merah yang kini sedang terlelap di dekap nya.
"Mirip kamu ya?"
Ujar Bima yang sedari tadi, tak pernah melunturkan senyum bahagia nya.
"Mas, dia penyelamat cinta kita ya?"
Kembali Mentari berujar, dengan tatapan haru yang penuh dengan rasa syukur atas kehadiran Bayi Perempuan yang begitu mereka nantikan.
"Alleia itu penguat untuk kita. Karena, sampai kapanpun aku ga akan pernah merubah besar nya perasaan aku sama kamu."
Bima meyakinkan Mentari, bahwa selamanya ia tak akan pernah merubah rasa cinta nya.
"Tapi setelah ada Alleia, kayanya aku yakin akan hidup dan mati sama kamu."
Kali ini, Mentari bahkan terlihat berkaca sembari berucap tulus.
"Sesuai arti nama nya, Alleia itu anak pemberian surga."
Sembari mengambil alih gendongan Alleia, Bima menatap penuh kagum pada bayi merah yang nanti akan menjadikan diri nya, sebagai 'cinta pertama'.
"Alleia jangan takut ya? Karena selamanya, kamu akan di kelilingi oleh cinta yang penuh."
Bima menoel hidung mancung, milik putri nya itu, dengan tatapan haru.
"Aku kayanya mau panggil 'Nonik' deh, kaya apa kata Mami."
Tiba-tiba, Mentari berujar sembari mengingat sebuah nama panggilan, yang Ibu nya itu pernah berikan untuk calon cucu pertama nya.
"Boleh, karena Alleia kan 'Nonik' kita."
Ucap Bima menyetujui panggilan sayang mereka, untuk Alleia.
"Iya, Alleia kesayangan kita semua."
'Nonik' itu berasal dari bahasa Belanda yang artinya kesayangan. Seperti makna kehadiran nya di dunia, Alleia memang lahir dengan sambutan cinta kasih yang berlimpah.
Seperti mimpi indah, bayi merah yang akan beranjak menjadi seorang gadis manis itu, menjadi penyelamat pernikahan mereka yang tadinya sudah berada di ujung tanduk.
Raden Ratu Alleia Hazel, memang sudah menjadi takdir nya, hadir di tengah limpahan cinta kasih yang tak akan pernah surut untuk si 'permata hati' yang begitu di nantikan sejak lama.
•••
[ TEMAN HIDUP YANG DI NANTIKAN ]
Jakarta, puluhan tahun yang lalu. Siang itu, Alleia kecil bersama sang Ibu yang ia panggil dengan sebutan 'Mami', sedang berbincang di ruang keluarga.
Biasanya, memang si 'Nonik' ini selalu pulang ke rumah dengan segudang cerita yang ia alami di sekolah.
Lain dengan siang ini, tiba-tiba Alleia membawa topik baru yang sebetulnya, sudah lama selalu ia tagih janji untuk kapan bisa Ayah dan Ibu nya itu realisasikan?
"Mami, Leia kapan punya temen?"
Tanya Alleia kecil, dengan tatapan manja khas nya.
"Kan, Nonik udah banyak temen di sekolah."
Lembut Mami, sembari merapikan rambut Alleia yang baru saja selesai di kepang dua.
"Bukan, Mi..."
Alleia kecil, menatap Mami dengan sungguh.
"Adek. Leia mau punya Adek."
Lanjut Alleia kecil, dengan tatapan memohon. Bibir mungil nya itu, ia majukan ke depan. Tanda bahwa diri nya, sangatlah mendambakan sosok Adik yang ia harap bisa menemani kesepian nya di rumah.
"Doain aja ya, semoga Tuhan segera percayakan Adek kecil di tengah Mami, Papi dan Nonik Leia."
Meskipun sempat terdiam, Mami Alleia memberikan kalimat penenang.
"Nanti panggil nya bukan Nonik kan?"
Tanya Alleia kecil begitu jenaka.
"Mau nya Nonik di panggil apa?"
Mami Alleia, balik bertanya.
"Kakak Leia!"
Jawab Alleia, dengan penuh percaya diri.
Selain karena di kelilingi banyak cinta, Alleia kecil juga sangat penuh dengan dukungan yang positif dari keluarga nya. Tak heran, Alleia tumbuh menjadi gadis penyayang dengan prestasi yang acap kali, ia raih dalam berbagai bidang.
"Oh ini, Kakak Leia."
Goda Mami Alleia, sembari menoel hidung mancung milik putri semata wayangnya itu.
Beberapa bulan kemudian, Alleia kecil yang baru saja selesai berganti pakaian rumah, selepas pulang dari sekolah itu, langsung di ajak untuk masuk ke dalam kamar Ayah dan Ibu nya.
"Non, sini!"
Terlihat, Mami sedang duduk di atas kasur bersama sebuah kotak kecil, yang Alleia belum ketahui isi nya apa.
"Kenapa, Mami?"
Tanya Alleia bingung, sembari menerima gendongan sang Ayah untuk naik ke atas kasur.
"Sini, duduk dulu Sayang."
Mami mengajak Alleia untuk duduk di sebelah nya.
"Ini kado siapa, Pi? Leia kan ga lagi ulang tahun."
Bingung Alleia, ketika tiba-tiba ada sebuah kado yang di sodorkan untuk ia genggam.
"Ayo kita buka."
Bukan menjawab, justru Mami dan Papi Alleia begitu antusias, mengajak Alleia melihat isi dari kotak tersebut.
"Satu, dua, tiga..."
Hitung mereka bersama-sama.
"Ini apa?"
Bingung Alleia, ketika di dapati ada sebuah benda pipih nan kecil di dalam kotak itu.
Bukan menjawab, Mami dan Papi Alleia lebih dulu saling menatap sembari tersenyum haru menatap Alleia yang kebingungan.
"Ini hadiah dari Tuhan, untuk anak baik, yang selalu berdoa minta teman main di rumah."
Ucap Papi Alleia, dengan tatanan kalimat yang lembut dan penuh makna.
"Tapi kan belum di kasih? Leia mau nya ada Adek."
Alleia kecil, ternyata masih belum mengerti dari maksud yang Ayah nya itu sampaikan.
"Ya ini, ini gambar Adek Leia di perut Mami!"
Tiba-tiba, Papi Alleia memberikan sebuah hasil USG yang juga, belum Alleia pahami makna nya apa.
"Ini Adek?"
Tanya Alleia bingung, menatap Mami dan Papi nya itu secara bergantian.
Kemudian, Mami dan Papi Alleia kompak memberikan anggukan. Seperkian detik setelah itu, Alleia hanya bisa tertawa malu dengan perasaan yang membuncah.
Akhirnya, sosok kecil yang ia dambakan itu, segera hadir membersamai nya untuk tumbuh beriringan.
"Ini Adek nya belum bisa bergaya ya?"
Tunjuk Alleia, pada titik kecil yang ia yakini itu adalah janin.
"Hahahaha! Iya, Adek nya masih bisa bobo di perut Mami."
Gemas Mami Alleia, sembari memeluk putri sulung nya itu dengan penuh kasih sayang.
"Adek nya boy or girl?"
Kali ini, Alleia kecil kembali bertanya.
"Katanya dokter, kemungkinan Boy!"
Jawab Papi Alleia sumringah.
"Gapapa kan?"
Mami Alleia yang mengetahui, bahwa Alleia begitu ingin memiliki Adik perempuan, balik bertanya dengan ragu.
"Gapapa, kok! Nanti kan, bisa jagain Leia kalo udah besar!"
Kemudian, Alleia menjawab dengan sebuah anggukan antusias dan juga senyum yang begitu sumringah.
"Ayo kita pelukan!"
Ajak Papi Alleia dengan tatapan penuh haru, mereka bertiga akhirnya memeluk satu sama lain, sebagai tanda syukur atas kehadiran si janin yang masih bertumbuh itu.
"Adek Raja, semoga tidur nya ga terlalu lama ya..."
Tiba-tiba, Alleia berucap dengan polos nya.
"Soalnya, Kakak mau cepet ketemu Adek!"
Lanjut Alleia kecil, dengan senyuman manis nya menatap hasil USG yang berada dalam genggaman.
"Adek Raja?"
Mami dan Papi Alleia membeo, bingung dengan panggilan yang baru saja Putri nya itu berikan untuk si jabang bayi.
"Iya, ini kan Kakak Ratu!"
Ucap Alleia dengan penuh percaya diri.
"Oh gitu..."
Kemudian, ketiganya sama-sama tertawa lepas meratapi kisah indah yang sebentar lagi, akan menjadi nyaris sempurna.
•••
[ SAMPAI JUMPA LAGI, YA? ]
Jakarta sedikit mencekam bagi keluarga kecil Alleia, sore itu. Selepas pulang dari sekolah, Alleia kecil langsung di jemput oleh sopir nya untuk menuju rumah sakit.
Sudah ada Papi yang terlihat gusar, mondar-mandir di depan ruangan operasi yang Alleia kecil ingat betul.
"Papi, Mami lagi keluarin Adek?"
Tanya Alleia bingung, sembari mengamati sekitar. Suasana sepi ini, begitu asing untuk nya.
"Sini, Nak. Peluk Papi."
Bukan menjawab, Papi Alleia justru meminta dekap hangat Alleia, sebagai penenang.
"Papi kenapa cry?"
Alleia yang belum mengerti, kembali melontarkan sebuah tanya jenaka.
"Maaf ya, maaf karena Mami sama Papi ga bisa kasih Leia temen untuk main di rumah."
Tiba-tiba tubuh kecil Alleia itu membeku, sedih dengan kenyataan yang baru saja ia dengar keluar dari mulut sang Ayah.
Meskipun belum paham, Alleia seperti menyadari bahwa kali ini suasana mereka sedang berkabung.
"Adek Raja, lebih di sayang sama Tuhan."
Papi Alleia, kembali memberikan pernyataan, meskipun dengan hati yang hancur.
"Adek Raja, pulang lagi, Nak..."
Lanjut nya lagi, dengan isak tangis yang tak bisa ia bendung di hadapan putri sulung nya itu.
"Papi?"
Alleia membeo, sembari mencerna maksud dari 'pulang' yang Ayah nya itu maksudkan.
"Gamau! Mau peluk Adek Raja!"
Tiba-tiba, tangis Alleia kecil menggema pada seluruh penjuru ruang.
Perasaan yang belum terlalu paham itu, sama hancur nya.
"Leia mau peluk Adek Raja!"
Keukeuh Alleia, di tengah tangis nya yang begitu histeris.
Beberapa jam kemudian, keluarga kecil Alleia itu sudah berkumpul pada sebuah ruang rawat inap yang megah, namun di selimuti suasana berkabung nan pilu.
"Maaf karena cuma bisa kasih Leia aja di hidup kamu."
Lirih Mami Alleia, dengan keadaan lemah sembari menatap kosong ke arah depan.
"Sayang?"
Papi Alleia mendekat ke arah istri nya.
"Leia sama Raja yang sekarang udah di surga aja, sangat cukup untuk aku."
Ujar nya menenangkan, dengan Alleia yang masih memeluk nya erat di dalam gendongan.
"Kamu masih ada disini aja, sangat aku syukuri."
Lanjut nya lagi, menatap Istri nya itu dengan penuh ketulusan.
"Aku udah kasih nama, biar Raja selamanya ada di hidup kita."
Tiba-tiba Papi Alleia mendudukkan diri nya, pada kursi pendamping pasien. Masih dengan Alleia, yang berada di gendongan nya.
"Raden Raja Ardana Bima."
Ujar nya dengan percaya diri namun hati-hati. Entahlah, rasanya begitu campur aduk, menyerukan sebuah nama indah yang sudah ia siapkan sejak lama, untuk si calon pewaris.
"Ardana itu artinya bersinar. Sesuai sama makna kehadiran Raja di hidup kita. Meskipun sinar nya belum sempat benderang di dunia, tapi selamanya akan bersinar di hidup aku, kamu dan Alleia."
Final Papi Alleia, dengan kerongkongan yang rasanya tercekat.
Sinar baru yang begitu di nantikan, ternyata Tuhan hanya titipkan sesaat saja. Barangkali takdir Tuhan, memang Alleia lah yang akan menerangi gulita nya mereka, menyusuri peta kehidupan yang masih Tuhan takdirkan.
'Si Raja' sangat Tuhan sayangi, hingga tak di biarkan untuk menatap dunia yang fana, lebih lama.
•••
[ HARI REMAJA PERTAMA NYA ]
Siang ini, Alleia remaja baru saja kembali dari kegiatan sekolah menengah atas pertama nya. Ya, ini adalah hari pertama Alleia menjadi seorang remaja seperti banyak di sebutkan.
Bukan masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian terlebih dahulu, Alleia memilih untuk berjalan ke arah dapur dengan tas yang masih lengkap ia gunakan di bahu.
"Udah pulang, Non?"
Tanya salah satu asisten rumah tangga, yang memang begitu dekat dengan nya.
"Udah..."
Jawab Alleia lesu, sembari mendudukkan diri nya pada kursi meja makan.
"Mami Papi pulang nya kapan, Mbak?"
Tanya Alleia sedih, dengan sorot mata yang sayu.
"Besok siang, Non."
Jawab sosok yang akrab di sapa 'Mbak Yayu'.
"Kenapa lemes banget?"
Tanya Mbak Yayu penasaran. Pasalnya, Alleia termasuk gadis yang selalu ceria, meskipun sedikit pemalu.
"Ada yang jahil di sekolah?"
Lanjut Mbak Yayu masih bertanya.
"Eh, ini jaket siapa?"
Sebelum melanjutkan tanya selanjutnya, Mbak Yayu lebih dulu penasaran dengan jaket pria yang Alleia gunakan sebagai penutup rok pendek seragam nya.
"Gatau, jaket orang asing."
Jawab Alleia acuh tak acuh. Terlihat tidak tertarik, dengan topik yang sedang mereka bawakan.
"Lho?! Kok bisa jaket orang asing, Non pakai?"
Mendapati jawaban bingung Alleia, tentu membuat Mbak Yayu semakin keheranan.
"Dia nya maksa, Mbak..."
Alleia kini mendudukkan diri nya tegak. Tidak lagi lesu, seperti sebelumnya.
"Naksir kali itu, Non."
Celetuk Mbak Yayu, yang berhasil membuat Alleia menatap tak percaya.
"Ih apaan! Engga ah, Leia suka nya sama orang lain."
Alleia remaja saat itu, menyangkal dengan cepat.
"Waduh siapa itu?"
Tanya Mbak Yayu penasaran, dengan sosok yang Alleia sukai.
"Curhat dong sama, Mbak."
Mbak Yayu mendudukkan diri nya, tepat di sebelah Alleia.
"Nama nya Refal, dia keren banget Mbak main basket nya!"
Ajaib, ketika membahas hal ini, bahkan sorot mata Alleia terlihat begitu antusias bukan main.
"Oh jadi ini jaket nya, Refal itu?"
Goda Mbak Yayu gemas dengan tingkah puber Alleia.
"Bukan, Mbak..."
Lirih Alleia, mengingat kembali bahwa jaket yang di maksudkan itu, bukanlah milik sosok yang saat ini ia kagumi.
"Ini jaket nya orang asing, Leia juga ga kenal dia."
Lanjut Alleia, dengan tatapan jengah.
"Jadi ini ceritanya, Non naksir Refal, terus orang asing itu naksir Non, gitu?"
Tiba-tiba Mbak Yayu memberikan sebuah perumpamaan, yang membuat Alleia semakin bingung.
"Ih kok jadi gini?"
Tanya Alleia menetap Mbak Yayu jengah.
"Ya intinya, ini jaket orang asing itu."
Lanjut Alleia tak ingin memperpanjang topik yang menurut nya, begitu tak menarik.
"Besok mau Leia kembaliin, Mbak."
Ujar nya lagi, sembari menenteng jaket yang sebelumnya ia gunakan melingkari pinggang.
"Boleh minta tolong di cuci?"
Tanya Alleia pelan.
"Boleh, sini."
Mbak Yayu yang masih tersenyum menggoda itu, akhirnya menerima sodoran jaket yang Alleia berikan.
"Besok pagi, Mbak anterin ke kamar Non."
Ucap Mbak Yayu lagi.
"Makasih banyak, Mbak..."
Tak lupa, Alleia mengucapkan terima kasih pada Mbak Yayu.
Beberapa jam kemudian, Alleia yang baru saja selesai berganti pakaian dan menyiapkan segala persiapan untuk besok kembali sekolah, kini sudah merebahkan tubuh lelah nya di atas kasur dengan nuansa dominasi merah muda.
Pikiran nya, kembali ia layangkan pada saat diri nya bercengkrama dengan sosok asing yang tak segan untuk memberikan bala bantuan. Padahal, Alleia tidak begitu tertarik untuk berbincang.
"Saskara Adyatama?"
Alleia remaja, kala itu membeo. Menyebutkan kembali nama sosok yang sebelumnya sudah memperkenalkan diri.
"Eh, dia mau ga ya jadi temen gue?"
Tiba-tiba sebuah pemikiran itu, terlintas di benak nya.
"Terus, nanti gue minta tolong deh kenalin ke Refal."
Lanjut nya lagi, merasa bahwa ini bisa menjadi batu loncatan untuk nya menjalin hubungan dengan sosok kapten basket yang begitu menyita perhatian.
"Saskara, tolong jadi teman yang berguna."
Gumam nya, dengan tatapan yang sungguh.
Keesokan hari nya, Alleia berdiri di tengah kerumunan siswa baru berhamburan untuk pulang. Ini memang hari terakhir masa ospek mereka menjadi siswa menengah atas.
Retina nya menyapu sekitar, mencari sosok jangkung yang kemarin sudah berbesar hati memberikan nya pinjaman jaket.
"Saskara!"
Panggil Alleia, ketika di dapati sosok itu sedang berjalan ke arah nya juga.
"Iya?"
Jawab Aska dengan senyum yang tak bisa ia tahan untuk di perlihatkan pada Alleia.
"Ini jaket, Lo."
Langsung saja, Alleia menyodorkan jaket milik Aska yang sudah ia cuci bersih.
"Makasih ya."
Lanjut nya lagi, dengan langkah yang sudah bersiap untuk kembali pergi
"Kenapa?"
Tanya Alleia, ketika tiba-tiba tangan Aska mencekal nya untuk tetap tinggal disini.
"Maaf."
Cepat Aska melepaskan cekalan itu, takut Alleia merasa tak nyaman.
"Kita sekelas."
Ucap Aska tiba-tiba.
"Terus?"
Tanya Alleia seadanya.
"Bangku nya mau deketan? Nanti gue yang tempatin."
Ujar Aska menawarkan diri. Tatapan nya begitu yakin menatap Alleia.
"Oh, terserah."
Acuh tak acuh Alleia memberikan jawaban. Memang pasalnya, Alleia tidak begitu tertarik dengan sosok yang ada di hadapan nya ini.
"Tadi juga makasih ya, makanan tebakan nya."
Lanjut Alleia, mengingat kebaikan Aska hari ini. Sudah rela membawakan seluruh tugas makanan tebakan untuk nya.
"Gue perlu bayar berapa?"
Tanya Alleia lagi.
"Bayar nya nanti minggu depan."
Jawab Aska, dengan tangan yang ia masukkan ke dalam kantong celana.
"Kok lama banget?"
Alleia menatap Aska bingung.
"Bayar nya, kita jadi temen aja gimana?"
Tiba-tiba Aska memberikan sebuah penawaran, yang membuat Alleia semakin keheranan.
"Temen kelas?"
Tanya Alleia tak mengerti.
"Engga, temen baik."
Cepat Aska menimpali dengan yakin.
"Lo balik sama siapa?"
Tanya Aska, ketika tak mendapati jawaban apapun lagi dari Alleia.
"Sopir."
Jawab Alleia cepat. Sembari retina nya, ia sapukan pada sembarang arah. Berharap ada sosok, yang begitu ia ingin lihat muncul di hadapan nya.
"Udah di jemput?"
Aska kembali bertanya dengan gigih, meskipun tak mendapatkan jawaban apapun.
"Mau ke kantin dulu ga?"
Tanya Aska lagi.
"Gue udah kenyang."
Kali ini, Alleia kembali menatap lawan bicara nya.
"Lo suka nya apa?"
Tak menyerah, Aska terus melontarkan sebuah tanya untuk memperpanjang percakapan mereka.
"Refal."
Celetuk Alleia tanpa sadar.
"Hah?"
Aska menatap bingung dan tak mengerti.
"Eh? Lo tanya apa?"
Seperkian detik, Alleia baru menyadari apa yang ia lontarkan baru saja.
"Oh engga, gapapa lupain aja."
Ucap Aska tak mau ambil pusing. Ia pikir, mungkin Alleia sedang memikirkan bola basket, hingga satu nama itu yang akhirnya terlontar dengan spontan.
"Gue mau temenin, sampe sopir Lo datang, boleh?"
Tanya Aska meminta persetujuan. Ingin lebih lama berinteraksi dengan Alleia.
"Kenapa mau tungguin?"
Alleia balik bertanya, sembari menatap bingung.
"Ya, gue mau aja deket terus sama Lo."
Ujar Aska dengan kesadaran yang penuh. Namun kali ini, tak lagi berani menatap Alleia seperti sebelumnya.
Lain dengan Aska yang kali ini begitu gugup, Alleia justru tak merasakan apa-apa atas ujaran manis yang baru saja Aska lontarkan.
Tidak ada getaran apapun.
•••
[ KADO YANG TAK SAMPAI ]
Siang ini, Alleia kembali turun setelah selesai berganti pakaian. Gadis itu, berjalan ke arah dapur, seperti sedang mencari sesuatu.
"Mbak?"
Panggil Alleia, kepada Mbak Yayu yang sedang merapikan meja makan.
"Eh, Non."
Mbak Yayu sedikit terkejut, dengan kehadiran Alleia yang tiba-tiba.
"Mau Mbak buatin apa?"
Tanya Mbak Yayu, mengingat Alleia baru saja pulang dari sekolah beberapa jam yang lalu.
"Engga, Mbak. Makasih."
Tolak Alleia secara halus, sembari mendudukkan diri nya di atas kursi meja makan.
"Mau cerita ya?"
Mbak Yayu yang sudah hafal dengan gerak-gerik Alleia, langsung saja menodongkan pertanyaan dengan kekehan khas nya.
"Iya hehehe."
Ucap Alleia sembari terkekeh malu.
"Yaudah sini, Mbak dengerin."
Lanjut Mbak Yayu, sembari ikut mendudukkan diri di samping Alleia.
"Mbak, kado buat temen cowok itu biasanya apa ya?"
Tanya Alleia tiba-tiba.
"Kado buat cowok?"
Mbak Yayu membeo, dengan raut wajah yang bingung.
"Buat temen cowok."
Timpal Alleia cepat, tak ingin Mbak Yayu memikirkan hal lain di luar yang ia maksudkan.
"Oh, buat Refal ya?"
Goda Mbak Yayu tiba-tiba. Mengingat, beberapa waktu lalu Alleia bercerita tentang hubungan nya bersama Refal, yang baru saja resmi berpacaran.
"Ih, engga ya."
Alleia melirih kali ini.
"Kan udah putus."
Lanjut nya dengan raut wajah yang sendu.
"Terus buat siapa dong, Non?"
Tanya Mbak Yayu semakin kebingungan.
"Buat Aska."
Jawab Alleia cepat.
"Cie udah jadian ya?"
Tak cukup sekali, bahkan kali ini Mbak Yayu kembali melontarkan sebuah godaan untuk Alleia.
"Mbak, Aku sama Aca itu ga mungkin jadi pacar."
Ucap Alleia menegaskan. Mengingat, diri nya hanya menganggap Aska sebagai teman baik saja. Terlebih, saat ini mereka berada pada kelas yang sama.
"Kenapa?"
Tanya Mbak Yayu penasaran.
"Ga tau, soalnya Papi ga suka."
Kali ini, Alleia sedikit serius dengan apa yang ia katakan. Semenjak beberapa waktu lalu, ketika Ayah nya itu melarang dirinya untuk dekat dengan Aska.
"Tapi, Non suka kan?"
Ujar Mbak Yayu masih tak puas menggoda Alleia.
"Engga kok."
Cepat Alleia menyangkal, dengan gelengan kepala.
"Masa sih?"
Goda Mbak Yayu, untuk yang kesekian kalinya.
"Beneran, Mbak..."
Jengah Alleia, merasa tak tahan dengan segala ejekan dan godaan yang ia terima.
"Ga suka, tapi kok udah ada panggilan sayang gitu sih."
Ucap Mbak Yayu tiba-tiba.
"Itu panggilan teman, Mbak..."
Alleia menjelaskan, maksud dari panggilan 'Aca' untuk Aska.
"Aduh lucu sekali, dari Saskara jadi Aca."
Mbak Yayu membeo, sembari tersenyum malu mengumpamakan jika dirinya, menjadi Alleia.
"Ih! Mbak..."
Alleia mulai jengkel, dengan godaan yang terus menyerang perasaan bingung nya itu.
"Berdoa aja, Non. Semoga aja dari panggilan Aca berubah jadi Mas Aca di suatu hari nanti."
Tiba-tiba raut wajah Mbak Yayu terlihat yakin, ketika mengucapkan hal tersebut.
"Kok jadi Mas Aca?"
Tanya Alleia penasaran.
"Ya, itu kan panggilan untuk Suami."
Celetuk Mbak Yayu begitu saja.
"Mbak!!! Kok gitu!!"
Alleia bahkan sudah merengek kali ini. Merasa bahwa godaan dari Mbak Yayu, membuat diri nya salah tingkah tanpa sebab.
Terlebih, Alleia merasa bahwa dirinya bersama Aska, tidak akan pernah menjadi lebih dari sosok teman baik seperti saat ini.
•••
[ SOSOK KAKAK ]
Kelas hari ini sudah selesai, seluruh kegiatan sekolah juga tidak lagi ada yang perlu di ikut sertakan.
Alleia menunggu Aska yang beberapa waktu lalu, pamit sebentar untuk mengunjungi ruang OSIS terlebih dahulu, sebelum mereka pulang bersama.
"Aca kok lama banget sih..."
Gumam Alleia, sembari beranjak dari duduk nya. Kelas mereka sudah sepi, hanya tinggal Alleia lah yang berada disana.
"Apa gue susul aja ya?"
Monolog Alleia dengan langkah kaki yang ia bawa keluar dari kelas.
Alleia memutuskan untuk pergi menyusul Aska ke ruang OSIS. Ia berjalan, menyusuri koridor sekolah yang sudah mulai sepi itu.
Retina nya ia sapukan pada sekitar, berharap sosok jangkung itu berada dalam jangkauan.
Hingga pandangan Alleia menangkap sosok Aska yang sedang berhadapan dengan salah satu siswa di sekolah yang sama, ia lihat begitu jelas.
Aska terlihat sibuk berbincang, hingga tidak menyadari kehadiran Alleia di sekitar nya.
"Kak Saskara!"
Panggil remaja wanita itu, pada Aska.
"Iya?"
Tanya Aska sembari menatap nya bingung.
"Selamat ulang tahun, Kak."
Tiba-tiba wanita itu, mengulurkan tangan nya untuk mengucapkan selamat.
"Oh iya, makasih."
Ucap Aska sembari membalas singkat, uluran tangan itu.
"Kak, tunggu."
Wanita itu terlihat mengeluarkan sebuah kotak, pada ransel yang ia gunakan.
"Kenapa?"
Tanya Aska bingung.
"Gue tau, waktu Lo ga banyak."
Ucap wanita itu, sembari menyodorkan kotak yang sudah ia hias rapi.
"Kak, ini kado gue bikin sejak hari pertama gue liat Lo. Isi nya semua harapan baik gue, untuk Lo yang menyita hampir seluruh atensi di hidup gue."
Lanjut nya lagi, tatapan nya begitu tulus dan penuh atensi untuk Aska yang menatap nya penuh tanya.
"Gue suka sama Lo, kak."
Final nya tanpa ragu.
"Lo mau buka hati, buat gue?"
Kali ini, ia selipkan sebuah tanya untuk segala gusar nya belakangan ini.
Aska terlihat membeku, selama mencerna apa yang baru saja terjadi di hadapan nya. Gadis yang ia ketahui adalah adik kelas nya itu, begitu yakin menyatakan cinta dengan tatap yang penuh harap.
Namun sayangnya, hati Aska seperti tak tersentuh barang setitik. Terkunci rapat, seakan sudah ada yang menempati seluruhnya.
"Kanaya, gue berterima kasih banget untuk pemberian Lo ini."
Kali ini, Aska mulai berani membuka suara..
"Tapi, kalo di balik pemberian ini, ada suatu perasaan timbal balik. Kayanya gue ga bisa. Maaf ya."
Ucap Aska hati-hati, sembari mengembalikan kotak itu dengan tatapan bersalah.
"Kenapa kak? Lo udah punya cewek?"
Kanaya, menatap Aska penuh kecewa. Merasa bahwa perjuangan ia untuk mengumpulkan niat selama ini, begitu sia-sia.
"Karena hati, gue udah ada pemilik nya."
Ucap Aska tanpa ragu.
"Pacar Lo?"
Tanya Kanaya penuh penekanan.
"Lebih dari itu, dia pemilik hati gue."
Ujar Aska dengan tatapan yang sungguh.
"Maaf ya, gue permisi."
Setelah mengucapkan itu, Aska berjalan melewati Kanaya dengan langkah sedikit tergesa.
Kembali menyadari, bahwa beberapa waktu lalu, ia meminta Alleia untuk menunggu nya di kelas.
Sedangkan Alleia, ia hanya bisa membeku dengan senyum getir nya. Mengetahui fakta lain, bahwa sosok yang selama ini ia anggap menyukai diri nya itu, ternyata diam-diam memiliki hati lain untuk dijaga.
"Oh, Aca punya pacar ternyata."
Gumam nya, dengan tatapan putus asa.
Ketika Alleia berbalik badan, ia di kejutkan dengan Aska yang sudah berada di hadapan nya.
"Eh, kok ketemu disini?"
Alleia terkejut bukan main.
"Maaf ya, nunggu lama."
Ucap Aska merasa bersalah.
"Kemana dulu?"
Tanya Alleia, pura-pura tak mengetahui apapun.
"Tadi, ada yang ngajak ngobrol dulu."
Jawab Aska cepat, sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Tidak begitu peduli dengan reaksi Aska, Alleia akhirnya berjalan lebih dulu menyusuri koridor untuk menuju parkiran motor.
"Mau cerita apa?"
Tanya Aska, sembari menyamakan langkah nya dengan Alleia.
"Engga, tadinya gue mau kasih kado ini buat Lo."
Tiba-tiba, Alleia memberikan sebuah paper bag yang sedari tadi ia tenteng untuk di berikan pada Aska.
"Selamat ulang tahun, Aca nya Leilei."
Ucap Alleia tulus, dengan seutas senyum yang ia berikan.
"Wah!"
Aska sedikit terkejut, dengan apa yang Alleia berikan.
"Beneran buat gue?"
Tanya nya tak percaya, sembari menatap paper bag itu dengan binar.
"Tapi ga ada yang special sih, ini gue beli jadi juga."
Ucap Alleia seadanya. Mengingat kado indah yang Kanaya berikan saja, Aska tolak. Apalagi kado instan darinya ini? Itu pikir Alleia.
"Apapun yang Lo kasih, gue pasti suka."
Ujar Aska terdengar tulus, dengan tatapan teduh dan senyuman manis yang ia tampakkan.
"Tapi, Ca?"
Tiba-tiba Alleia menatap Aska penuh atensi.
"Hm?"
Aska juga menatap Alleia penuh dengan perhatian.
"Pacar Lo, ga akan marah?"
Tanya Alleia hati-hati.
"Kenapa tanya gitu?"
Aska justru balik bertanya. Semakin membuat Alleia yakin, bahwa diam-diam sahabatnya ini memiliki seorang kekasih.
"Lo anggap gue apa?"
Alleia kembali melontarkan tanya, dengan hati yang campur aduk kali ini.
"Temen ya?"
Lanjut nya lagi, membuat Aska semakin menatap keheranan.
"Kalo temen kejauhan kan?"
Kali ini, Aska bermonolog.
"Yaudah, adik gue aja."
Gemas Aska, sembari mengacak rambut Alleia.
"Gue kan lebih tua dua tahun."
Lanjut Aska menambahkan.
"Berarti, Lo sebatas Abang buat gue ya?"
Alleia mendongak, menatap Aska tanpa ekspresi apapun.
"Apapun itu, Lo selalu jadi kesayangan gue."
Ujar Aska lembut, dengan kekehan manis serta usapan lembut pada puncak kepala Alleia.
•••
[ DUNIA MERIUH, DIA SELALU ADA DI SISI ]
Sore ini Jakarta tidak secerah biasanya, seperti pertanda bahwa hujan akan turun sebentar lagi. Meskipun cuaca tak bersahabat, Alleia tetap saja tidak mau kembali ke rumah.
Aska dengan setia, selalu berada di sisi Alleia dalam keadaan apapun. Ya, mereka sedang duduk pada sebuah kedai kopi yang setting tempat duduk nya, mengarah langsung pada riuh nya ibu kota.
"Kayanya gue gagal deh, Ca..."
Lirih Alleia, sembari mengaduk segelas kopi yang sebelumnya sudah ia cicipi.
"Menurut gue, engga tuh?"
Aska mengedikkan bahu nya acuh, tak setuju dengan opini yang Alleia keluarkan, untuk diri nya sendiri.
"Gue lagi ga mau di kasih saran."
Sanggah Alleia cepat, membuat Aska bungkam dan tak lagi menyangkal apapun.
"Oke, gue mau diem aja di sini."
Lanjut Aska, sembari memainkan sedotan pada cup americano yang ia pesan.
"Kenapa ga pergi?"
Tanya Alleia, menatap Aska yang ada di sebelah kanan nya.
"Lei, sekali aja gue kasih pendapat boleh ga?"
Tiba-tiba, Aska meminta izin untuk memberikan saran pada sahabat nya itu.
"Apa?"
Alleia balik bertanya.
"Menurut gue konotasi Mami Papi ga sayang Lo, itu kurang tepat."
Aska dengan hati-hati mulai membuka suara.
"Kalo Sayang, ga mungkin larang gue kejar mimpi."
Timpal Alleia cepat. Merasa bahwa perkataan Aska, perlu ia benahi.
Ya, Alleia sedang dihadapkan pada situasi yang menurut nya menjengkelkan. Sebab, mimpi nya untuk kuliah di luar negeri, harus ia kubur dalam-dalam.
"Gue juga kalo menempatkan sudut pandang sebagai orang tua dan punya anak cewek, pasti akan melakukan hal yang sama."
Kali ini, Aska menatap Alleia serius.
"Larang anak Lo kuliah di luar negeri?"
Tanya Alleia dengan tatapan putus asa.
"Menahan, anak perempuan gue untuk tetap berada di sekitar."
Ucap Aska meluruskan konotasi yang ia maksudkan.
"Apalagi kalo itu anak tunggal."
Lanjut Aska, menambahkan.
"Lo ada di kubu Mami Papi. Kita bukan temen sekarang."
Jengkel Alleia, merasa bahwa kali ini semua yang ada di sekitar, tidak berpihak pada kubu nya.
"Kalo Mami Papi ikut Lo ke UK, terus Eyang Mami Lo tiba-tiba ada suatu hal, sedangkan Mami Lo juga anak tunggal, itu pasti bikin sedih dan bimbang banget."
Aska kembali menjelaskan, dengan nada yang begitu lembut dan tertata.
Mencoba membuat Alleia paham, bahwa situasi nya saat ini memang tidaklah mendukung untuk diri nya pergi jauh. Bukan tanpa sebab, justru karena situasi keluarga yang mengharuskan nya menatap untuk berada di sekitar.
Aska juga paham, bahwa orang tua Alleia bukanlah sembarang orang yang tidak memiliki kesibukan, meskipun tak pernah ada sambutan baik untuk nya sebagai sahabat Alleia, Aska selalu menghormati apapun keputusan yang keluarga Alleia buat. Ia paham betul.
"Kita belum jadi orang tua, Lei. Jadi, kayanya kita belum paham ada di posisi itu."
Lanjut Aska dengan tatapan penuh perhatian.
"Lo juga kenapa ngotot banget ga setuju sih? Kalo gue kuliah di UK?!"
Alleia jengah menatap Aska tajam.
"Karena gue juga ga mau jauh dari Lo."
Ujar Aska tanpa beban.
"Idih, Aska!"
Alleia memukul lengan atas kekar milik Aska itu, sedikit kencang.
Entahlah, ketika dunia Alleia rasanya riuh, Aska selalu berada di sisi nya. Entah hanya ia jadikan patung, atau bahkan samsak, Aska selalu tetap berada di sisi.
Aska tak pernah beranjak, meskipun Alleia seringkali menjengkelkan.
•••
[ PADA TITIK ITU, AKHIRNYA MENYADARI ]
Siang ini, Alleia sudah selesai kelas. Ia berjalan ke arah luar gedung fakultas nya, bersama Sesa yang sudah menjadi teman baik Alleia, sejak mereka ospek kuliah.
Ya, Alleia memang tidak memiliki banyak teman dekat, meskipun ia terbilang populer. Selain Alleia merasa cukup dengan beberapa teman dekat saja, Alleia juga selektif untuk membawa seseorang lebih dekat dengan hidup nya.
"Itu Bian, Sa."
Tunjuk Alleia, pada Abian yang sudah menunggu Sesa di depan gedung fakultas mereka.
"Oh iya."
Ucap Sesa sumringah.
"Hallo, Bu Presma."
Sapa Bian, pada Alleia yang baru saja bergabung.
"Apaansih!"
Gerutu Alleia, merasa malu mendapati panggilan tersebut.
"Aska mana?"
Tanya Alleia, pada Bian yang ia ketahui memang dekat dengan Aska.
"Lagi ambil motor."
Jawab Bian santai, lalu Alleia mengangguk sebagai jawaban.
"Gimana rasanya jadi alasan?"
Tiba-tiba, Bian melontarkan pertanyaan yang ambigu.
"Hah? Alasan apaan?"
Tanya Alleia bingung.
"Alasan seseorang daftar menjadi anggota eksekutif mahasiswa di waktu mepet, lalu alasan nya mencalonkan diri. Supaya anda tidak ada yang mengganggu?"
Begitu baku, Bian mengatakan kalimat godaan tersebut. Hingga Sesa, di buat terbahak oleh nya.
"Apaan sih? Gue ga ngerti."
Meskipun ikut terkekeh, Alleia tetap saja belum paham dengan apa yang Bian maksudkan.
"Bahasa bayi nya, Lo alasan Aska jadi Presma."
Sesa ikut menimpali kali ini. Hal tersebut, sukses membuat Alleia paham dan sedikit mematung.
"Mana ada, dia mah dari dulu juga emang ambis."
Tak ingin berharap lebih, Alleia menyangkal hal tersebut dengan cepat.
"Leilei!"
Tiba-tiba suara Aska menggema, terlihat sosok itu sedang berjalan ke arah nya dengan senyum yang begitu sumringah.
"Tuh orang nya datang, tanya aja."
Bian menunjuk Aska, menggunakan dagu nya.
"Kenapa?"
Tanya Aska bingung.
"Alasan Lo jadi Presma kan karena Alleia ya?"
Celetuk Bian, membuat Aska tak tentu gerak. Padahal, ia baru saja bergabung bersama mereka.
"Mau makan apa?"
Tak ingin menanggapi, Aska langsung saja mengalihkan Alleia dengan pertanyaan lain.
"HAHAHAHAHA!"
Sontak, Bian terbahak dengan puas. Menyaksikan, betapa sahabat karib nya itu begitu salah tingkah.
"Bian ga jelas, ih!"
Alleia yang tak mengerti dengan tawa pecah Bian, hanya mengedikkan bahu nya acuh.
"Iya ya, ga jelas."
Ucap Aska tenang, sembari merangkul pundak Alleia untuk berjalan menjauh.
"Kaya hubungan kita."
Celetuk Alleia tanpa sadar. Namun sayangnya, telinga tajam Aska, mampu mendengar kalimat itu dengan jelas.
•••
[ SUMRINGAH, SETELAH MEMBUKA PROPOSAL ]
Pagi pada hari libur, Mami dan Papi Alleia dibuat bingung oleh teriakan juga tawa pecah yang gadis mereka itu keluarkan.
Alleia dengan hati yang membuncah, belum lagi pipi yang memanas, setelah membaca pesan juga isi proposal yang Aska berikan untuk nya, begitu salah tingkah hari ini.
"Non kenapa sih, kok teriak-teriak di kamar?"
Tanya Mami Alleia bingung, ketika anak gadis nya itu, baru saja bergabung untuk makan siang bertiga.
"Engga, kok."
Malu Alleia, sembari menggelengkan kepala nya.
"Ih, kok senyum-senyum sendiri gitu?"
Papi Alleia dibuat heran, dengan Alleia yang tak melunturkan senyum nya. Bahkan, ketika ia sedang menyendok nasi ke atas piring.
"Mami sama Papi mau di beliin apa?"
Tanya Alleia tiba-tiba.
"Mi?"
"Pi?"
Mami dan Papi Alleia, bersamaan menyerukan nama satu sama lain. Sembari saling menatap keheranan, tak mengerti dengan sikap tak biasa, dari putri mereka.
"Mami sama Papi tau sih, Leia anak baik."
Ucap Papi hati-hati.
"Tapi kok tiba-tiba banget gini?"
Lanjut Mami bertanya.
"Ini pajak jadian."
Celetuk Alleia malu-malu.
"Hah?"
Mami dan Papi Alleia, bahkan kini sudah menganga tak percaya.
"Aska udah tembak Leia."
Ujar Alleia malu-malu.
"Owalah..."
Bersamaan, Mami dan Papi Alleia akhirnya mengetahui dan paham sebab gadis mereka itu, bersikap tak biasa sejak tadi pagi.
"Mami, Papi!"
Tiba-tiba Alleia menyerukan nama Ayah dan Ibu nya, dengan tatapan penuh harap.
"Kenapa?"
Tanya Papi lembut.
"Jadi, kapan Leia boleh nikah?"
Tanya Alleia dengan sungguh. Hal itu, sontak membuat Papi Alleia, membelalakkan mata tak percaya.
"Non, Kuliah aja baru mau tamat."
Mami Alleia yang menimpali.
"Katanya ga mau kalo nikah muda."
Lanjut Papi Alleia.
"Kalo sama Aska mau."
Lirih Alleia, dengan tatapan yakin.
"Leia mau nikah sama Aska."
Rengek Alleia, sembari menggoyangkan tubuh nya tak tentu arah.
"Ga mau pisah, mau tidur bareng."
Lanjut nya lagi dengan nada memohon.
"Astaga..."
Mami dan Papi Alleia, bahkan kali ini hanya bisa menggeleng tak percaya menyaksikan hal ini.
Baru resmi berpacaran saja, Alleia bahkan sudah ingin menjadi sosok istri bagi sahabat yang tadi pagi, menyatakan cinta dengan hal yang tak biasa.
Ah! Hari itu, rasanya Alleia di bawa tebang ke awang-awang.
•••
[ PADAHAL BARU SEJENAK ]
Sore ini kelabu, Alleia sedang berada di atas kasur dengan keadaan yang kacau. Mami dan Papi Alleia, setia mendengarkan keluh kesah si semata wayang, yang baru saja putus dari hubungan asmara nya.
Ya, ini adalah ketika Aska memutuskan Alleia setelah debat panjang yang tak berujung itu.
"Kayanya, Leia sama Aska emang ga ada Takdir untuk bareng deh."
Lirih Alleia, terdengar begitu putus asa.
"Ini cuma ujian buat hubungan kalian."
Sedangkan Mami, masih berusaha menenangkan. Seperti yakin, bahwa Aska sebetulnya tidak ingin pisah juga dari Alleia.
"Tapi Aska udah bilang putus."
Gumam Alleia, dengan tatapan kosong nya.
"Aska lagi kalang kabut, mungkin?"
Ujar Papi Alleia, menerka. Padahal, baru beberapa waktu, ia menemui Aska ke Amerika tanpa Alleia ketahui.
"Emang Aska udah ga sayang Leia."
Alleia kembali melirih, dengan tatapan sendu nya.
"Yasudah, cari bahagia Leia sendiri aja."
Papi Alleia menenangkan, sembari mengingat pernyataan yakin Aska, bahwa pria itu belum siap untuk menjalin hubungan yang serius bersama Alleia.
"Leia harus pergi."
Tiba-tiba Alleia berujar dengan yakin.
"Beneran mau ke UK, Non?"
Tanya Mami Alleia, mengingat permintaan putri nya itu, beberapa hari yang lalu.
"Leia harus cari mimpi-mimpi Leia disana."
Ucap Alleia yakin, meskipun harap nya sedang hancur berkeping-keping.
"Janji, Leia akan bahagia?"
Kali ini, entahlah Papi Alleia hanya ingin putri semata wayangnya itu, bahagia.
Melihat Alleia begitu terpuruk, membuat dunia nya ikut hancur lebur.
"Janji!"
Alleia mengangguk yakin, meskipun mata nya masih sembab.
"Leia janji akan sembuh dan bisa lupain Aska."
Lanjut Alleia, dengan keyakinan yang ia tekadkan. Sebab, dirinya sendiri pun sebetulnya masih ragu.
"Padahal baru sebentar, tapi emang Leia ga ada jalan lagi buat bareng Aska."
Ucap Alleia, sembari membuang nafas nya kasar.
"Kalo udah di atur Tuhan, nanti juga akan balik lagi kok, Non."
Mami tetap, ingin memberikan kalimat penenang.
"Dan setelah sembuh, Leia ga akan pernah mau kembali sama luka yang sama."
Final Alleia, dengan tatapan yakin dan anggukan yang terlihat tak gentar.
Ya, mulai hari itu, Alleia berhenti meratapi kisah yang sudah Aska putuskan untuk berakhir. Alleia ingin beranjak, dari harap semu yang sudah Aska tinggalkan untuk nya.
•••
[ MENCARI PEMERAN BARU ]
Sudah lebih dari 1 tahun, Alleia menatap di Inggris. Tujuan untuk melupakan Aska, sedikit banyak sudah berhasil ia alihkan dengan banyak kesibukan.
Alleia banyak berbaur di kampus baru nya ini, tak jarang pula Alleia hang out selepas kelas di siang hari.
Namun entah mengapa, meskipun banyak sekali orang baru yang datang menghampiri, hati nya masih tertutup rapat seperti masih ada yang hinggap di dalam sana.
Hingga suatu hari, ada waktu dimana ia kembali membuka komunikasi dengan orang lama di hidup nya. Bukan, kali ini bukan Aska jawaban yang tepat.
Melainkan, Refal si cinta pertama yang kali ini seperti sedang mencari celah.
"Refal?"
Panggil Alleia, ketika di dapati sosok itu, sudah duduk menunggu.
Mereka berdua, memang memiliki janji temu pada sebuah restoran, untuk makan siang bersama. Kebetulan, Refal sedang berlibur di Inggris untuk beberapa minggu ke depan.
"Kamu kuliah disini?"
Tanya Refal, ketika mereka baru saja berbincang tanya kabar, seperti pada umumnya.
"Iya, aku baru lanjut lagi disini."
Jawab Alleia, dengan perasaan gugup tanpa sebab.
"Kamu lagi apa?"
Alleia balik bertanya, karena bingung harus membawa topik apa. Bersama mantan lama nya ini.
"Lagi cari kamu."
Celetuk Refal, dengan kekehan khas nya. Ternyata, memang tak berubah.
"Perasaan kamu masih sama?"
Tiba-tiba Refal melontarkan sebuah tanya, yang tidak Alleia pahami dengan betul.
"Buat siapa?"
Tanya Alleia penasaran.
"Buat aku."
Ucap Refal lagi, sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Alleia hanya bisa terkekeh malu, dengan tatapan yang ia buang ke sembarang arah. Rasanya canggung sekali. Ia tak suka, berada dalam situasi asing ini.
"Udah berubah sih, Fal."
Namun seperkian detik, Alleia seperti meluruskan apa yang Refal terka.
"Tapi kalo kamu mau jadi pemeran utama lagi, aku persilahkan."
Entah mendapatkan keberanian darimana, untuk Alleia mengutarakan hal tersebut, pada sosok mantan yang sudah lama tidak pernah ia temui.
Setelah hari itu, mereka beberapa kali bertemu di Inggris. Sebelum akhirnya, kembali berpisah karena Refal harus pulang ke Indonesia.
Tidak ada percakapan lebih dari mereka yang menjurus ke arah serius. Karena ternyata, pada kenyataannya Alleia belum siap membuka hati kembali.
Hingga beberapa tahun setelah itu, mereka kembali berkomunikasi. Komunikasi yang di selimuti kecanggungan, sebab sudah begitu lama sejak mereka bertemu di Inggris.
Karena saat itu juga, Alleia sudah kembali pulang ke Indonesia.
Mereka sempat menjalani hubungan lagi, Refal pun sempat merayakan ulang tahun Alleia di Korea. Meskipun ketika itu, ternyata Aska lah justru dalang di balik meriah nya acara ulang tahun Alleia.
Beberapa waktu setelah pertemuan mereka di Korea, Refal harus kembali melanjutkan study nya. Sedangkan Alleia, sudah merasa cukup dengan perjalanan masa muda nya.
Tujuan mereka mengenai masa depan, ternyata beseberangan. Akhirnya, kisah singkat yang baru saja mereka mulai kembali, harus kandas saat itu juga.
"Kayanya ga bisa di lanjut, Fal."
Ujar Alleia, pada sambungan telepon kala itu.
"Kenapa?"
Tanya Refal di seberang sana.
"Gara-gara Aska kemarin?"
Refal kembali menimpali. Entah mengapa, Alleia menjadi kelu.
"Bukan."
Jawab Alleia cepat, meskipun lama terdiam.
"Tujuan kita beda."
Lanjut Alleia, menjelaskan.
"Aku ga mau nunggu lebih lama lagi."
Ujar Alleia, tak terbantahkan.
"Yaudah, terserah."
Pasrah Refal di balik sambungan telepon mereka.
"Kita putus?"
Tanya Alleia meyakinkan.
"Makasih ya, udah bikin aku bahagia kemarin-kemarin."
Bukan menjawab, Refal justru melontarkan lebih dari sekedar kata meyakinkan.
"Cari bahagia kamu, ya Al?"
Refal terdengar begitu ikhlas, melepas Alleia begitu saja.
"Pemeran utama di hidup kamu itu, masih sama."
Lanjut nya lagi.
"Masih Aska pemenang nya."
Final Refal, membuat Alleia mati kutu.
Seperti apa yang baru saja Refal katakan, sepenuhnya ia betulkan. Sebab, ketika Refal mengiyakan kata putus nya, tidak ada keinginan Alleia untuk Refal tahan.
Tidak seperti saat Aska melepas nya dulu, Alleia begitu histeris mendapati kabar yang memilukan itu.
•••
[ RASA ITU, APAKAH MASIH UTUH? ]
Hari ini, Alleia sengaja berkunjung ke rumah Eyang Mami. Nenek tersayang, yang sampai saat ini masih sehat dan segar.
Seperti biasanya, ketika perasaan Alleia sedang kalang kabut dan tak terkendali, gadis itu akan datang menghampiri Eyang Mami, untuk mendapatkan wejangan.
Saat ini, Alleia datang. Bukan karena suatu masalah, sebetulnya ini hanya karena sebuah keraguan.
Alleia datang ditengah bimbang nya perasaan. Sebab belakangan ini, nama Aska selalu menghantui juga membuat nya semakin penasaran dan bingung.
Ini ketika Aska, kembali menampakkan batang hidung nya secara tiba-tiba. Lalu, membuat nya semakin tak percaya, ketika didapati sosok yang membuat nya yakin untuk berkelana jauh melupakan, justru kembali dengan ungkapan cinta juga lamaran yang tiba-tiba.
"Menurut Eyang gimana?"
Tanya Alleia sembari menyandarkan tubuh nya, pada kepala sofa mewah yang berada di dalam kamar Eyang Mami.
"Ya kalo menurut Eyang sih, Aska ini anak nya tekun ya."
Jawab Eyang yakin, sembari menatap cucu semata wayangnya itu dengan penuh kelembutan.
"Dengan cara dia menjauh kemarin, itu memperlihatkan bahwa Aska ga egois untuk menahan Kakak tetap tinggal. Padahal kenyataannya, Eyang yakin Aska banyak sekali mengorbankan perasaan."
Bukan tanpa alasan Eyang berujar demikian, sebelumnya mereka memang sudah berbincang banyak, tentang kisah Alleia bersama Aska ini.
"Kalo untuk latar belakang, menurut Eyang gimana?"
Tanya Alleia lagi, kali ini bertanya tentang asal-usul Aska.
"Karena Aska anak sulung?"
Eyang Mami balik bertanya, memastikan jawaban pasti yang cucu nya itu inginkan itu seperti apa.
"Soal Ayah dan Adik tiri nya Aska."
Pungkas Alleia cepat. Mengingat, bahwa latar belakang Aska ini, memang tidak biasa.
"Itu bukan salah Aska sama sekali, kenapa kita harus memikirkan itu, Kak?"
Lain dengan Alleia yang bimbang, Eyang Mami justru melontarkan kalimat tanya yang menohok bagi Alleia.
"Mertua itu emang jahat ya, Eyang?"
Kemudian, Alleia kembali bertanya setelah mengingat suatu isu yang ramai di perbincangkan pengantin baru.
"Meskipun manusia mudah sekali berubah, tapi mendengar cerita kedekatan Kakak Ratu dan Ibu nya Aska, membuat Eyang yakin kalo kedepannya hubungan kalian juga bisa tetap baik seperti ini."
Eyang Mami, berujar dengan tenang dan tertata.
"Sebenernya yang masih Leia pertimbangkan adalah, Aska tuh orang nya kerja terus Eyang, dia ga kenal waktu."
Alleia kembali mengeluarkan kekhawatiran nya. Tentang Aska yang begitu gila kerja, seperti yang kita semua ketahui.
Ya, Aska memang pekerja keras bahkan sejak ia masih menjadi seorang Mahasiswa.
"Terus, Aska juga punya Ibu dan Adik yang tetep harus di sayang."
Lanjut Alleia dengan nada yang pelan. Sedikit ragu, dengan apa yang ia khawatirkan.
"Nanti, Leia punya waktu ga ya sebagai Istri nya?"
Tanya Alleia kali ini, terdengar begitu lirih dan bimbang.
Eyang Mami, hanya bisa tersenyum sebelum akhirnya menanggapi dengan pandangan yang netral.
"Nak, kalo boleh Eyang berpendapat, ga ada yang sepenuhnya bisa sesuai apa yang kita impikan di dunia ini."
Lembut sekali, Eyang Mami memberikan wejangan dengan hati-hati.
"Aska itu, idaman Kakak Ratu kan?"
Tanya Eyang Mami, kemudian Alleia mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Idaman nya sudah di depan mata, maka kurang nya juga harus di cintai."
Ujar Eyang Mami, dengan senyuman menenangkan khas nya.
"Karena Aska pun sama. Eyang rasa Aska juga mencintai kurang nya si cantik ini."
Lalu, Eyang Mami menatap Alleia begitu penuh dengan kelembutan.
"Leia takut, anak Leia ga ada waktu sama Ayah nya."
Ternyata, masih ada suatu hal yang begitu Alleia pertimbangkan. Mengingat, betapa Aska, harus memenuhi banyak peran.
"Jalani dulu saja peran berdua, saling mengisi kekosongan itu."
Tak banyak memberikan kalimat beruntun, kali ini Eyang Mami seperti ingin fokus pada apa yang seharusnya Alleia pahami.
"Setelah ada si pelipur lara di tengah cinta yang sama kuat nya itu, Eyang yakin Aska juga sudah mempertimbangkan dengan matang."
Lanjut Eyang Mami, dengan tenang.
"Terlebih, Aska pasti belajar dari sesuatu yang selama ini tidak pernah ia dapatkan."
Final Eyang Mami, setelah mempertimbangkan latar belakang Aksa yang menurut nya, bisa Aska jadikan pembelajaran untuk membina sebuah rumah tangga.
"Bisa selamanya sama Aska ga ya, Eyang?"
Alleia berjalan mendekati Eyang Mami.
"Eyang ga bisa menjanjikan apapun, karena sepenuhnya yang akan menjalankan itu ya Kakak sama Aska nanti nya."
Ucap Eyang Mami, sembari memeluk Alleia dengan sayang.
"Hanya yang Eyang pesankan adalah, luaskan sabar Kakak ya..."
Lembut sekali Eyang Mami berucap, dengan usapan lembut pada punggung Alleia yang ia berikan.
"Karena suami mu ini di bentuk keras, jadi mungkin watak dan prinsip nya itu selalu tak mudah goyah."
Ucap Eyang Mami penuh perhatian, mendengar betapa Aska harus berjuang keras untuk kelangsungan hidup keluarganya, membuat Eyang Mami yakin bahwa sosok yang akan menjadi suami dari cucu semata wayangnya itu, adalah sosok yang tegas akan prinsip dan pendirian.
Sebab selama hidupnya, ia harus bertanggung jawab untuk orang di sekitar dengan jerih payahnya.
Sekali saja salah langkah, itu akan berakibat fatal.
"Tapi rasa sayang nya, tidak perlu di pertanyakan lagi."
Final Eyang Mami meyakinkan.
Setelah itu, Alleia merasa lega dengan setiap jawaban penenang dari Eyang Mami.
Lentera untuk ia bawa dengan keyakinan hidup bersama Aska, semakin kuat ia genggam.
Dengan harap baik, semoga bahtera itu bisa selamanya ia pertahankan. Rumah itu, bisa selamanya menjadi tempat ia berteduh dan pulang.
•••
[ MENJALANI PERAN MIMPI INDAH NYA ]
Siang ini, Alleia bingung dengan apa yang harus ia lakukan, ketika Aska sedang bekerja. Tidak banyak aktivitas berlebihan yang dapat ia lakoni, sebab kini Alleia sedang berbadan dua.
"Hey, bayiik..."
Panggil Alleia, pada perut buncit yang isi nya adalah si jabang bayi.
"Tendang-tendang terus ya?"
Goda Alleia, merasa bahwa calon anak pertama nya ini, begitu aktif di dalam sana.
Alleia memilih untuk merapikan baju bayi, yang sudah selesai di laundry. Pikirnya, mencari kesibukan sembari menanti Aska kembali ke rumah, sore nanti.
"Banyak banget Nak, baju nya."
Ucap Alleia, ketika mendapati tumpukan baju yang sudah di lipat dengan rapi, begitu banyak dari yang ia perkirakan.
"Ini di beliin Nena, ini di beliin Uti."
Alleia memperkenalkan satu-persatu baju, sembari ia susun rapi di dalam lemari calon anak nya bersama Aska.
"Oh ini juga ada di beliin Tiya."
Ucap Alleia, memperkenalkan baju lucu yang adik ipar nya itu berikan.
"Ini sepatu di beliin Omcaga, bagus banget kan?"
Kali ini, Alleia sudah berpindah pada bagian sepatu kecil untuk ia susun rapi.
"Ini ada topi, katanya di pilih sama Popa."
Kemudian, Alleia berlanjut pada bagian topi bayi yang akan anak nya itu kenakan nanti.
"Mami sama Papi mana ya?"
Alleia bermonolog, seakan yakin bahwa si janin, dapat mengenali suara nya dengan baik.
"Akhirnya, selesai juga Sayang."
Ucap Alleia lega, ketika semua tumpukan itu, ternyata berhasil ia susun dengan rapi dan tertata.
"Apalagi ya? Sambil tunggu Papi pulang."
Karena tubuh nya sudah mulai mudah sekali pegal, Alleia memilih untuk duduk pada sebuah kursi yang nantinya akan ia gunakan untuk menyusui dengan nyaman.
"Mau dengerin musik?"
Alleia meraih sebuah headphone, untuk ia kenakan di atas perut buncit nya.
"Oke, kita relaks Nak..."
Gemas Alleia, sembari memutar musik untuk membuat janin nya itu merasa tenang dan terhibur di dalam sana.
"Aduh lincah banget ini."
Alleia terkekeh gemas, mendapati bahwa perut nya itu kali ini sudah bergerak tak karuan.
Senyum gemas nya itu, berangsur tergantikan dengan seutas senyum haru yang tak ternilai. Entahlah, ini seperti mimpi indah Alleia yang menjadi kenyataan.
"Nak, kamu itu mimpi indah Mami, tau."
Monolog Alleia, dengan tatapan penuh rasa syukur.
"Mami campur aduk waktu kamu ada di perut Mami. Bukan, bukan Mami gamau jadi Ibu dari hadiah paling indah ini."
Ujar Alleia tertahan.
"Mami cuma ragu sama diri Mami sendiri, bisa ga ya Mami jadi Ibu yang cukup untuk kamu yang sangat berharga ini?"
Alleia rasanya ingin menangis tanpa sebab.
"Tapi kata Papi, kita belajar bareng aja. Karena ketika nanti kamu lahir menjadi anak Mami dan Papi, kita pun sama. Mami Papi lahir menjadi orang tua untuk kamu."
"Kita belajar bareng ya?"
"Oh iya, Nak. Kita sama-sama anak pertama ya?"
"Mami, Papi dan Kamu itu anak pertama."
"Katanya jadi Anak pertama itu berat, tapi Mami akan berusaha untuk tidak membebankan hal yang lebih untuk kamu yang baru pertama kali hadir di dunia ini."
"Mami akan minimalisir semua itu."
"Jangan tanya Papi, Papi pasti lebih paham cara meminimalisir setelah perjalanan panjang Papi, menjadi anak pertama dan anak yang paling menakjubkan."
"Oh iya, Nak. Karena ini sama-sama menjadi kali pertama untuk kita, Mami mau minta maaf kalo nanti di depan sana, Mami banyak bikin salah."
"Kedepannya dan sampai kapanpun itu, predikat anak pertama sebagai penanggung semua nya, akan Mami dan Papi usahakan supaya tidak kamu alami."
"Tumbuh baik ya? Mami selalu berdoa, semoga kamu jadi anak yang selalu berani, hidup dengan penuh cinta dan kepunyaan atas diri kamu sendiri."
"Bahagia kamu, akan terus kami perjuangkan."
"Terima kasih, sudah hadir dan membuat Mami merasakan dimensi mimpi indah, sebagai seorang Ibu dari hadiah paling berharga, titipan Tuhan."
"Semoga Mami dan Papi, selalu bisa jadi cukup untuk kamu, Alaska."
Seperti itulah, siang menjelang sore yang begitu syahdu untuk Alleia nikmati bersama si kecil titipan Tuhan yang berharga.
Meskipun rasanya ini terlalu cepat, tetapi Alleia akhirnya ada pada titik 'syukur' yang tak ternilai. Karena, Tuhan beri kesempatan untuk mewujudkan mimpi indah, yang sejak lama Alleia semogakan.
Menjadi seorang Ibu, adalah mimpi indah untuk Alleia.
Terlebih, si jabang bayi ini, berasal dari setetes darah, sosok yang juga sejak lama Alleia kagumi untuk menjadi seorang Ayah dan Suami.
•••
[ MENCARI RASA; YANG HAMPIR HILANG DARI GENGGAM ]
Jerman, adalah negara yang kali ini ingin Alleia kunjungi hanya sendirian. Bukan tanpa sebab Alleia memilih Jerman. Setelah melewati badai dalam bahtera rumah tangga nya belakangan ini, Alleia berharap ada sebuah keyakinan di negara yang selalu menjadi tempat tujuan dirinya bersama Aska, menghabiskan waktu berdua.
Alleia harap, rasa cinta yang semakin pudar itu, berangsur kembali ketika ia bawa ke sebuah tempat yang begitu sarat akan makna dan kenangan indah, bersama Aska.
"Arsen pasti seneng, kalo punya temen main di rumah."
Alleia tiba-tiba bergumam, ketika baru saja mendudukkan diri pada sebuah kursi balkon hotel yang ia pesan sama persis, ketika dulu ia sedang menikmati bulan madu, bersama Aska.
"Gue gagal ya?"
Lirih nya lagi, dengan tatapan lurus ke depan.
"Harusnya, kesini lagi bareng Mas Aska dan Arsen."
Kali ini, Alleia tersenyum getir untuk dirinya sendiri.
"Tidur berempat, bareng Adik juga."
Ya, Alleia benar-benar merasa kehilangan, atas keguguran calon adik Arsen yang ia rasa, pergi karena kecerobohan nya.
"Dulu, Mas Aska pernah recokin gue setiap masak."
Alleia berjalan menyusuri setiap inci dapur, kamar hotel ini. Sembari mengingat, setiap kenangan manis yang ia ukir bersama Aska pada saat itu.
Tidak ingin tinggal diam, dalam upaya nya mencari Asa, Alleia memilih untuk berjalan mengitari kota Jerman, seperti apa yang pernah ia lakukan bersama Aska.
Pikirnya, harap itu apakah masih bisa ia genggam erat?
Perasaan itu, apakah masih sama besar nya?
"Indah banget, pasti Mas Aska ajak gue foto kalo langit nya cerah gini."
Alleia menatap indah nya, langit Jerman sore itu.
Segala kenangan manis, pada setiap inci jalan yang sedang ia tapaki, begitu membekas bersama Aska beberapa tahun yang lalu.
"Tapi gatau sih, soalnya pasti heboh bawa stroller Arsen dan Adek nya."
Kali ini, Alleia berandai, jika saja anak kedua mereka berhasil hadir, lalu dapat berlibur dengan formasi yang ia idamkan itu, menurut nya begitu sempurna.
"Tapi kenapa hampa sih?"
Alleia bergumam, bertanya pada dirinya sendiri. Tentang mengapa, tidak ada getaran yang ia rasakan, ketika kembali menapaki setiap inci kenangan, yang ia pernah lewati bersama Aska.
"Harusnya, udah beli ice cream itu, gue cinta lagi deh sama Bapak nya Arsen."
Tiba-tiba Alleia mendapati sebuah kedai ice cream, yang selalu Aska beli untuk mereka berdua.
"Soalnya setiap kesini, pasti ga absen beli itu."
Sebuah senyum getir, tercetak jelas pada sudut bibir Alleia yang kelu.
"Terus dia selalu abis duluan."
Alleia kembali tersenyum tanpa sadar, mengingat hal tersebut. Meskipun, tatapan nya begitu hampa.
"Biasanya, suka duduk disitu."
Sebuah kursi jalanan, yang menghadap langsung ke arah danau, selalu Aska dan Alleia tempati di tengah jalan santai mereka.
Kemudian, malam hari Alleia hanya berbaring tanpa antusias yang berlebih. Pada sebuah ranjang yang sama, tempat dirinya menghabiskan malam bersama Aska, beberapa tahun yang lalu.
"Kalo ada Mas Aska, pasti gue lagi di pijitin sih."
Gumam Alleia, mengingat betapa Aska selalu gigih membuat diri nya merasa nyaman.
"Terus reward nya cuma minta peluk."
Lanjut Alleia, dengan monolog yang masih sama hampa nya.
"Lagi apa ya, disana?"
Tiba-tiba, Alleia memikirkan Aska dan Arsen yang sedang jauh disana.
"Cincin ini masih cantik, kalo gue lepas, jari ini kesepian ga ya?"
Alleia melayangkan tatap, pada jari manis yang dilingkari cincin pernikahan nya, bersama Aska.
"Udah hampir lima tahun jadi pemanis."
Ucap Alleia lirih, sembari mengelus cincin itu dengan hati-hati. Seakan rentan, jika terlalu keras ia mainkan. Sama seperti hati nya.
"Emang lima tahun pertama, seberat ini ya?"
Alleia kembali bergumam, dengan posisi yang kini meringkuk.
"Kalo gue nyerah, Arsen benci ga ya sama gue?"
Ketika pemikiran berpisah itu kembali datang, satu pertanyaan yang selalu terbesit di benak Alleia, adalah tentang Arsen.
"Mas Aska punya trauma, tapi gue juga hampir gila bertahan kemarin."
Ujar Alleia, mengingat bahwa Aska memiliki trauma berat, tentang sebuah perpisahan. Namun, ia juga hampir hilang arah, bertahan di tengah situasi yang menyakitkan kemarin.
"Ini pasti jadi luka buat semua nya, tapi gue takut mati kalo terus bertahan."
Tanpa sadar, air mata Alleia kembali lolos membasahi pipi nya.
"Rasa nya, udah mulai hilang ya Lei dari genggam?"
Alleia bertanya pada dirinya sendiri, dengan dada yang rasanya sesak.
Pilu sekali, memutuskan sebuah harap yang memang sudah tak lagi dapat ia genggam dengan erat. Tumpuan nya, seakan hancur lebur, secara perlahan.
"Tapi selamanya, gue sayang banget sama Mas Aska."
"Selamanya..."
Sejak malam itu, Alleia selalu menumpahkan sebuah sisa rasa yang rasanya, tak mampu untuk selamanya ia dekap dengan hangat, seperti sedia kala.
Ribuan pertanyaan, pertimbangan, juga penyesalan begitu berhasil membuat Alleia ketakutan.
Tidak mudah, untuk Alleia memutuskan sebuah keputusan berat, yang akan melukai banyak hati. Terlebih, dirinya sendiri.
Namun untuk kembali melaju, rasanya sudah buntu.
Biarlah, mungkin Takdir mereka memang selamanya menjadi 'Sahabat baik' yang tak akan pernah terpisahkan, sampai kapanpun.
Jika memang akan kembali, biarlah waktu yang menjawab segala tangis pilu, juga harap luruh, yang barangkali masih bisa disusun kembali.
Kali ini dan kedepannya, biar Tuhan yang mengambil alih.
•••
© Nonakejuvelvet
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
