
"Mau ikut dengan om, Abi, ke tempat yang sangat indah, om yakin kamu akan suka." kata Aaron membuat Abi menggeleng, "Abi sudah ditunggu mama." kata anak kecil itu.
"Dia tahu tempat yang om maksud. Dia bisa mengantar mama kamu ketempat kita." kata Aaron lagi.
Senyum di bibir Aaron kemudian hilang, "Jika abi tidak mau, om akan sering mengganggu mamamu. Pilih sekarang, mau ikut dengan om atau, mama kamu om buat kelelahan." kata Aaron.
Abigail menatap Sam, dan tersenyum sedih. Lalu turun di gendongan Sam....
BAB 29-30
BAB 29
Langkah Aaron berat dan wajahnya penuh kebencian ketika ia melewati para pekerjanya, jantungnya berdebar tak tertahankan saat matanya tertuju pada Ana yang sedang duduk berhadapan dengan Laura. Aaron tidak suka melihatnya, apalagi saat Ana yang melihat kearah Aaron, hanya sebentar dan kemudian mengalihkan tatapannya pada Laura..
"Jadi ini teh buatanmu? Tidak ada yang spesial, sama seperti teh biasa saja," kata Laura sembari mencicipi teh Ana dan memberikan penilaiannya yang tajam. Tapi Ana hanya tersenyum dengan tenang, melihat itu Laura semakin terpancing emosinya, “Kenapa kamu malah tersenyum?” tanya Laura dengan pandangan tajam yang penuh kecurigaan.
Ana tetap diam, sikapnya itu membuat Laura semakin tidak sabar, “Kenapa kamu tidak menjawab?” Ana menatap Laura dan berkata dengan lembut namun berani, “Saya kira, Anda melarang saya menjawab pertanyaan Anda, Nyonya,” ucap Ana, tersenyum tipis sambil menahan diri dari kemarahan Laura, Wanita itu kemudian berdiri dan berjalan kearah Ana, "Kau pikir kau keren seperti itu ha?" tanya Laura, dan Ana hanya diam saja.
"Kau pahami posisimu disini, jangan sampai kau dalam masalah tak ada rasa hormat pada atasanmu seperti ini." Kesalnya menasihati meskipun begitu, Ana rasanya tidak mau mendengarkan, Ana rasanya ingin membalas apa yang sudah dilakukan Laura pada putranya.
Ana melihat Aaron, Apakah Aaron mau memarahi Laura?? Apakah Ana harus memancingnya?
"Saya hanya melaksanakan sesuai perintah, Nyonya. Bukan kah anda tidak suka saya menjawab?" tanya Ana membuat Laura nampaknya kesal, "Benar saya tidak senang kamu menjawab pertanyaan saya. Tapi kau punya mulut, bagaimana jika saya membuatmu tidak bisa berbicara lagi." kata Laura balik bertanya.
Namun Ana tampaknya tidak takut apapun, "Haruskah saya menjawab pertanyaan Nyonya, tentang teh tadi? Jika Nyonya bilang teh saya biasa saja, secara tidak langsung Nyonya menilai selera Tuan juga biasa saja," ucap Ana dengan suara berani. Laura mencibir, kerut di dahinya semakin dalam. "Mungkin saja kamu menaruh sesuatu dalam tehnya yang membuat suami saya kecanduan teh buatanmu," balasnya dengan nada sinis.
Mata mereka terkunci dalam tatapan yang tajam, Ana tidak mengucap sepatah kata pun, akan tetapi dalam kedalaman matanya terlihat seperti mengejek, menyulut amarah Laura hingga ia hampir menampar Ana.
Namun, saat tangannya terangkat, Aaron datang dan dengan cepat menahan tangan Laura. "Kenapa kau seperti ini, ha?" Aaron mencecar dengan tatapan tajam. Ana menatap bagaimana tangan Aaron menggenggam erat tangan Laura, membuat Ana menundukkan kepalanya lalu mundur dua langkah. Rasanya Ana sakit hati melihatnya.
"Kenapa?? kau mau membelanya??" tanya Laura, "Saya hanya menghukum pelayan Aaron, bukannya menghukum istri kamu! dia ini pelayan, dia tidak sopan kepada saya, bahkan wanita yang pernah tidur denganmu saja bisa saya singkirkan, dan kamu tidak peduli, lalu kenapa dengan wanita ini kamuu begitu membela nya. Kamu tidak membiarkan saya menyentuhnya walau sedikit. Bukankah ini tidak masuk akal?" tanya Laura menatap Aaron tajam.
"Saya tidak suka kamu membelanya seperti ini! Kalian punya hubungan, kan? Apa dia simpanan kamu, kali ini?" tanya Laura di depan para pelayan yang diam-diam mencuri dengar itu.
Laura menatap Aaron, "Kamu lebih senang berduaan di dalam kamar dengan wanita berhijab ini daripada dengan saya yang masih berstatus istrimu. kenapa? apa kalian ada hubungan?"
Ana sedikit tertawa, "Anda cemburu dengan saya nyonya?" tanya Ana menatap Laura lagi.
"Anda cemburu pada wanita yang sudah mempunyai anak, nyonya?" tanya Ana lagi membuat Laura menoleh, "YAA!" rasanya Laura ingin sekali berteriak, Kenapa pembantu ini begitu tidak punya tata krama apalagi Ana punya anak laki laki yang sungguh mirip dengan Aaron.
Bagaimana caranya menghubungi papanya Aaron? Lagipula lelaki itu tidak bisa ditemui oleh siapapun, Laura juga begitu.
Ana memegang dagunya, suaranya tenang namun tajam. "Tapi tenang, Nyonya, hati saya hanya untuk suami saya," ucapnya, membuat Aaron menoleh ke arahnya.
"Dengar nyonya, tingkah saya yang kelewatan begini, semata-mata karena Anda berani menyentuh putra saya. Saya tidak pernah sekalipun memukulnya; saya menjaganya lebih dari nyawa saya sendiri." Matanya berkaca-kaca, tapi suaranya tetap kuat, "Jika saya dibebaskan, saya akan pergi, namun saya terjebak di sini. Dan saya bersumpah, apa pun akan saya lakukan untuk melindunginya."
Saat menatap Laura, Ana menghela napas berat, "Nyonya, Anda dan tuan sangat serasi, jadi tak perlu khawatir akan saya." Dia berhenti, pandangannya mengeras, "Tapi jika Anda berani menyakiti putra saya yang tidak bersalah, hati-hatilah. Saya tidak takut menghadapi kematian demi melindunginya." Dengan itu, Ana berbalik pergi, tapi langkahnya terhenti, dia lupa mengatakan sesuatu,
"Dan satu hal lagi, Nyonya," suaranya rendah namun jelas, "jangan menyentuh putra saya, saya sama sekali tidak takut di pecat. Saya tidak pernah takut apapun, dan juga sayapun tidak akan pernah mau di sentuh oleh Tuan," Matanya kini terpaku pada Aaron yang berdiri beberapa langkah di belakang Laura, wajahnya pucat dan matanya menyiratkan rasa bersalah. "Lebih baik saya mati, jika harus di sentuh oleh suami anda, nyonya Laura. Itu saja, jadi jangan menyentuh putra saya." Dengan kata-kata terakhir yang meninggalkan bekas dingin di udara, Ana melangkah pergi dengan mantap, meninggalkan keheningan yang menyayat di ruangan itu.
Seperginya Ana, Aaron diam, dia jadi semakin dingin,
"Lihatlah, dia berbicara dengan nada seperti itu padamu, biasanya kau tidak segang-segang membunuhnya tapi sekarang kamu tidak melakukan apapun.
"Dia marah karena saya menyakiti putranya, memang pantas, dia sudah menyakiti putri kita." kata Laura lagi.
Aaron menatap Laura kemudian, "Ikutlah dengan saya." kata Aaron dingin membuat Laura menatap punggung itu, kenapa sepertinya lelaki itu lebih membela Ana?
Mungkin hanya pemikirannya saja?
Aaron berjalan lebih dahulu, meninggalkan Laura di belakangnya. Tiba di atas, Aaron memandang pintu kamar yang tertutup. Laura, dengan napas yang berat, melangkah mendekat sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam dan membuka pintu kamar tersebut. Tak sempat ia melangkah lebih jauh, tangan Aaron yang kuat dengan cepat menariknya masuk. Pintu ditutup dengan keras, Laura terjepit di antara kayu dan tubuh Aaron yang tegap.
"Saya paling tidak suka melihat seseorang menyakiti anak kecil, Laura. Kau tahu itu, alasan kenapa Luna saya biarkan berada di sekitar saya, meskipun tidak menyukai anak kecil." ucap Aaron, suaranya tajam menusuk udara, tangan kirinya menopang di samping kepala Laura, sementara tangan kanannya mencekik lehernya dengan kekuatan yang membuat Laura kesulitan menghirup udara. Laura berusaha bicara, namun suara yang keluar hanyalah desahan kesakitan. "Sakitt!" dia berhasil mengerang, matanya menatap Aaron penuh rasa sakit dan kebingungan.
Aaron menatap Laura dengan dingin, matanya menyiratkan kebencian mendalam. "Kamu menyakiti anak kecil itu, Laura. Saya rasanya ingin menghabisi kamu di sini dan sekarang juga," bisik Aaron, ingatan bekas luka ditubuh Abi, membuat Aaron makin membara.
Laura, terengah-engah, menghentak-hentak dada Aaron dengan putus asa. "Sakit, Ha!" katanya dengan suara tersekat, mata berair hampir menangis. "Saya akan memperhatikan setiap gerak-gerikmu selama di rumah ini. Ingat, Laura, kita sudah bercerai!" Aaron masih mengendalikan suaranya menjadi bisikan tegas, menyimpan ancaman. "Jadi hentikan anganmu bahwa saya masih milikmu." Dengan jarak dekat, Aaron melanjutkan, "Dengar, Laura, saya tidak pernah menjadi milik siapa pun. Tidak pernah. Saya tidak tahu dan tidak ingat alasan mengapa saya pernah menikah denganmu." bisiknya dan melepas kasar cengkramannya, Laura jatuh luruh, rasanya ia hampir saja mati.
****
BAB 30
"Papa, aku sudah menyerah, aku hampir mati di cekiknya. leher ku merah karenanya" kesal Laura sambil menghentak-hentakkan kakinya, dia duduk di dekat jendela menatap keluar jendela dengan tatapan matanya yang merah.
"Kau memang tidak becus, Laura." kata lelaki itu di balik telpon..
"Pa." kata Laura kesal, tapi anak kecil dengan gaun cantiknya datang, "Mami, Una bocan hiks." kata Luna, mencebikkan bibirnya,
"Itu kakek ya mami, Una mau bicala.: kata Luna, membuat Laura kesal bukan main, dan menendang putrinya, "Jauh!" kesal Laura.
"Mama, Una mau main cama Abi."kata Luna lagi, membuat wanita paruh baya itu kesal bukan main, dan mendorong ana kecil itu lagi.
Luna masih dua tahunan, membuat Luna menatap mamanya sedih, Mamanya menatapnya sangat tajam, "Gara gara kamu daddy mu marah lagi dengan mami." kata Laura tajam.
****
Hari itu Aaron kembali duduk di balkonnya, duduk dengan rahangnya yang mengeras, menatap keharmonisan, keluarga kecil Ana. Mereka di sana bermain bersama, main sepak bola?
Anak lelaki yang sangat mirip dengannya sangat bahagia sampai melompat-lompat bermain dengan Rex. Aaron tiba-tiba merasa cemburu, melihat anak kecil itu.
Abigail anteng saja di pelukan Rex membuat Aaron mengepalkan tangannya. Anak kecil itu mirip sekali dengan Aaron dan Ana, perpaduan mereka bertiga, dan membayangkan Abigail, membuat darahnya selalu berdesir.
Aaron mengambil ponselnya, dan tampak menghubungi seseorang disana. "Temukan Identitas saya, di Indonesia, Jakarta khususnya di perumahan Menteng, dan Rumah Sakit." kata Aaron lelah.
"Baik, tuan." kata lelaki itu.
Aaron kembali bersuara dengan dingin, "Lakukan secara rahasia, tanpa di ketahui siapapun, kau bekerja dengan saya, dan jika kau berkhianat, satu-satunya yang memegang identitas aslimu, Riggs. Saya. Jika kau berkhianat, keluarga kecilmu mati di depanmu." kata Aaron membuat lelaki tak kalah dingin bersuara di seberang sana.
"Belum saya mencari tahu, Tuan. Kita lihat apakah identitas asli anda di sini masih ada ataukah sudah hilang."
"Anda bisa menilai cara kerja saya, tuan." kata lelaki itu, membuat Aaron menganggukkan kepalanya. Dan panggilan berakhir disana.
Aaron kembali menyandarkan punggungnya di sandaran kursi itu, "Sejujurnya saya sangat penasaran dengan dokter itu Ana, semirip apa dengan saya."
Tanpa mengalihkan pandangannya, dan hanya menatap kearah orang orang yang tampak sangat bahagia itu. Lelaki itu membiarkannya, tanpa merusak keharmonisan itu.
Ia tidak mengganggunya, menguji sampai dimana ia bertahan, tanpa dua orang itu. Beberapa hari itu ia hanya memandang dari jauh saja.
Bagaimana interaksi Ana, Rex dan anak empat tahun yang begitu mirip dengannya, namanya Abigail. Aaron panas sendiri melihat.Aaron cemburu sekali pada Rex yang bisa membuat Ana dan Abi tertawa.
Sebenarnya siapa mereka.
Dihari ketiga, Aaron tampak sepi, lelaki itu memutuskan untuk keluar jalan-jalan, ia akan kepaviliunnya di dekat danau.
Ini sudah pukul delapan malam, Aaron berjalan menenangkan dirinya ke Paviliun, ia akan melewati rumah pelayan itu, menatapnya dalam, rasanya ia ingin masuk kedalam rumah itu.
Lalu ketika akan kembali berjalan kearah paviliun miliknya yang berada di dekat danau itu langkahnya tiba-tiba saja terhenti ketika Sam berada disana, ia menggendong seorang anak kecil.
Aaron menatap dua orang itu dingin, namun ketika Abi yang memandangnya, Aaron menjadi seperti anak kucing, ia tidak bisa bersikap tidak lembut pada Abi. Aaron menatapnya dengan senyum dibibirnya yang diusahakannya tulus.
"Sudah lama tidak bertemu, nak." kata Aaron pada Abigail.
Abi menatap Aaron lekat, lalu menundukkan kepalanya.
"Mau ikut dengan om, Abi, ke tempat yang sangat indah, om yakin kamu akan suka." kata Aaron membuat Abi menggeleng, "Abi sudah ditunggu mama." kata anak kecil itu.
"Dia tahu tempat yang om maksud. Dia bisa mengantar mama kamu ketempat kita." kata Aaron lagi.
Senyum di bibir Aaron kemudian hilang, "Jika abi tidak mau, om akan sering mengganggu mamamu. Pilih sekarang, mau ikut dengan om atau, mama kamu om buat kelelahan." kata Aaron.
Abigail menatap Sam, dan tersenyum sedih.
Lalu turun di gendongan Sam.
Aaron tersenyum begitu anak empat tahun berdiri di depannya, "Saya senang, kamu anak yang sangat pandai." kata Aaron memuji Abi, lalu menggendongnya.
"Bilang sama Ana, Putranya di paviliun ku. Datanglah jika ingin bertemu dengan putranya." Kata Aaron menggendong Abi enteng.
Abi memeluk leher Aaron. Entah kenapa hari itu Abi tampak bersedih di dalam dekapan Aaron, sedangkan bagi Aaron ia merasakan kehangatan dipeluk oleh anak empat tahun itu.
Tangannya kecil mengalung di lehernya.
Anak kecil ini benar-benar bisa meruntuhkan kearoganan seorang Aaron Van Gerhardt.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
