
Part 5 Hari Pertama di Pesantren

“Luka tidak memiliki suara, sebab air mata jatuh tanpa bicara."
•••
JANI menatap wanita paruh baya itu yang terus saja memeluknya erat, Jani menggigit bibirnya, Jani terus saja memikirkan Mami di kantor polisi yang tidak bisa pulang dengannya, Jani menjadi pendiamdan memejamkan matanya— Mami ditangkap karena Jani, karena Mami mewakili Jani mengakui kenakalan yang sudah Jani lakukan.
“Ka singgah di apotek dulu.” kata umi membuat lelaki itu menganggukkan kepalanya, perhatian Jani lagi-lagi tertuju pada lelaki yang menyetir itu.
“Biar umi saja.” kata umi dan turun buru-buru dari mobil ketika Lingga memarkirkan mobil di depan apotek.
Jani nampak duduk dengan tenang di belakang sambil menatap kearah cermin dasbor dimana dari sana, ia bisa melihat pantulan lelaki itu.
Lelaki itu tampak melihat kearah ponselnya, Jani menatap lebih lekat, ia nampak memikirkan sesuatu, Lingga kemudian menoleh dan menemukan tatapan mata itu, sehingga ia dengan buru-buru memutus kontak mata mereka dan memutar audio mobil lalu bersandar di sandaran kursi.
Suara lantunan mulai terdengar membuat Jani mengerjapkan matanya, “Itu suara ust-”
“Tutup mata, tidak boleh berbicara.” kata Lingga membuat Jani patuh dan menutup matanya, padahal Jani mau bertanya apakah itu adalah suara ustadz atau tidak— tapi Jani malah disuruh tutup mata.
“Ini akan membuat kamu tenang, dengarkan saja sambil menutup mata.” kata Lingga menatap Jani dari cermin dasbor itu.
“Mirip suara ustadz.” kata Jani dengan suaranya yang kecil, ia masih menutup mata, dan mendengarkan lantunan suara itu. Jani merasa sangat mengantuk.
Tidak lama kemudian, pintu dibuka, Ara terkejut karena anak enam belas tahun itu nampak memejamkan matanya. “Jani tidur?” tanya Ara membuat Lingga menatap anak yang sudah tertidur pulas itu, padahal hanya empat menit disuruh menutup mata sudah terpejam saja, luar biasa.
“Setidaknya dia bisa sedikit tenang, umi sedih banget melihatnya ka, mana masih sangat kecil.” katanya membuat Lingga menatap Jani lagi.
“Takutnya anak ini trauma.” kata umi membuat Lingga menoleh pada uminya, “Dia akan baik-baik saja mi.” jawab Lingga menenangkan uminya, Lingga bisa menilai bagaimana Jani terlihat baik-baik saja.
“Di tubuhnya banyak lebam ka, dia-” Ara nampak terhenti, dia tidak seharusnya mengatakan ini.
“Sepertinya besok akan heboh, apalagi tersangka nya malah meninggal dunia, apakah mereka akan dibela? menurutmu ka bagaimana? umi khawatir sekali” tanya umi pada putra sulungnya itu, dan Lingga hanya menjawab dengan tenang.
“Allah tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya mi.”
“Entahlah Ka, disaat seperti ini malah umi yang ketakutan, Mami Jani sahabat umi sewaktu masih muda, kaka tau tadi betapa takutnya umi melihat pesan Mami Jani kan?"
“Umi sangat takut, jika sampai Jani diberitakan di media, demi Allah ia masih enam belas tahun, teman-temannya akan mengejeknya.”
“Dia di-” Lingga bertanya membuat Ara mengusap wajahnya kasar, “Hampir? umi tidak tahu, karena bagian itu umi tidak diberi tahu, umi juga takut jika mendengar jika anak sekecil itu memang berhasil di lecehkan oleh orang dewasa. Tapi Jani tidak merasa kesakitan saat berjalan, jadi umi menerka saja. Tapi semoga banyak yang mendukung Mami Jani saat beritanya keluar besok pagi.” kata Ara lagi membuat Lingga menganggukkan kepalanya.
“Semoga mi.”
“Umi benar-benar khawatir.” kata Ara lalu menatap keluar jendela.
Ia masih kaget, karena ternyata temannya itu belum berhenti dengan pekerjaannya di masa lalu, lalu pelanggannya itu malah mencoba ingin melecehkan putrinya.
“Umi benar-benar ingin melindungi gadis kecil ini Ka.” kata Ara membuat Lingga melirik uminya sebentar, dan kembali fokus menyetir lagi.
“Umi bisa melindunginya kapan saja.” kata Lingga membuat umi menganggukkan kepalanya.
••••
Hari pertama Jani dibawa ke Pesantren, dan tinggal di ndalem, hari itu Kian sampai kaget melihat temannya di bawa masuk ke rumah.
“Jani kenapa bang?” tanya Kian menatap Lingga, Kian sangat kaget melihat Jani yang dirangkul umi mereka masuk ke kamar milik mbak Nara, mbak Nara itu anak kedua umi dan abi, mas Lingga anak pertama, mereka berdua seumuran, barulah Kian ketiga, usia beda hampir 8 tahun. Nara sedang kuliah, kuliah kedokteran dan sekarang tinggal di rumah nenek Livy, yang dekat dengan kampus dan tempat magangnya
Lingga mengusap wajahnya dan menggelengkan kepalanya tidak mau menjawab. Kian akan berjalan kearah uminya ketika Lingga menahan tangannya, “Jangan, biarkan umi membersihkan tubuh temanmu.” kata Lingga, Kian jadi kebingungan sendiri, “Jani kenapa sih bang? penampilannya begitu berantakan." kata Kian, kian sebenarnya punya jawaban saat melihat kondisinya saat itu.
"Besok pagi umi yang jelaskan." kata Lingga.
"Lalu abi dimana?” tanya Lingga lagi.
“Sama kakek belum pulang.”
“Oiya kamu tidur di rumah nenek.” kata Lingga, Kian menoleh, “Ha?”
“Tidur di rumah nenek.” jawab Lingga lagi memerintah.
“Ohh iyaa.” katanya lalu Lingga berlalu pergi, Kian jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
••••
“Berita pagi ini dimulai dengan seorang wanita A ditangkap karena membunuh seorang lelaki SA yang akan mencabuli putrinya. Lelaki itu menerima empat kali tusukan benda tajam di dada dan dua belas kali tusukan di punggungnya”
“Diketahui, A adalah seorang wanita penyedia wanita di kelab malam, dan juga memiliki hubungan asmara dengan SA-” Berita pagi itu dimulai dengan kasus Mami Jani, seperti yang Umi Ara prediksi.
Berita itu memancing perhatian publik karena wajah Mami Jani diketahui publik. Mami Jani juga diamuk bersalah, karena dinilai karma dari pekerjaannya yang membahayakan putrinya.
“Bahayanya berita hari ini, seakan membenarkan perilaku pelaku, kenapa harus pekerjaan juga harus di ekspos, jadinya perhatian publik jadi terbelah padahal sudah jelas siapa yang salah disini.” kata umi Ara menatap televisi itu.
“Membunuh memang tidak dibenarkan, tapi hati ibu siapa yang tidak sakit ketika melihat putri kecilnya di posisi itu, yakan bi??” tanya umi pada lelaki paruh baya yang nampak menatap televisi juga, ia memperhatikan dengan seksama.
“Sampai memar tubuhnya bi, lebam-lebam juga, jika memang tidak ada pemerko saan hari itu, tetap saja itu bisa dianggap sebagai bentuk kepanikan seorang ibu melihat putrinya yang hampir dilecehkan.”
“Anak itu ada di kamar Nara?” tanya Abi membuat umi mengangguk.
“Lebam-lebamnya semakin terlihat jelas, umi tadi mengambil gambarnya siapa tahu bisa dijadikan bukti.”
“Kasihan sekali.” kata Abi membuat Ara menundukkan kepalanya, “Bagaimana cara menghubungi media agar foto korban tidak di up? Abi punya kenalan?” tanya Umi membuat lelaki paruh baya itu berdiri dan mengambil ponselnya.
“Menghubungi siapa?”
“Regan, sepertinya dia punya kenalan ke media.” kata Abi membuat Ara mengangguk.
“Kian kamu sudah mau berangkat ke sekolah?” tanya umi begitu melihat Kian yang sudah lengkap dengan seragamnya.
“Kian mengira ada Jani mi?”
Suara helaan napas Umi terdengar, “Jani tidak boleh ke sekolah dulu, masih sakit. Umi sudah menyiapkan surat, kamu bawalah itu ke sekolah.”
Kian menggeleng, “Umi kenapa ga chat wali kelas kami saja?” tanya Kian membuat umi menegakkan tubuhnya, “Benar juga, astaga.” kata umi, lalu mengambil ponselnya. Kian menatap kesekitarnya dan melihat abangnya yang duduk sambil melihat televisi, dia akan berangkat ke Bandung. Lalu Kian juga menonton sebentar berita pagi itu, lalu pamit ke sekolahnya.
Lingga menatap televisi ketika tiba-tiba suara langkah terdengar. Lingga menoleh ke asal suara ketika tiba-tiba pemandangan seorang gadis tampak disana. Seketika Lingga mengalihkan tatapannya pada televisi.
Namun suara langkah kembali terdengar lagi mendekat ke arahnya, disana Jani hanya memakai Kaos oversize milik Nara, ia tidak memakai celana, dia mendekat berdiri didepan Lingga dan duduk di depan lelaki 24 tahun itu enteng
“Kembali ke kamar.” suara Lingga tampak tidak senang melihat Jani di depannya, Jani akhirnya menoleh dan menatap wajah Lingga dibelakangnya.
“Kamar ustadz yang mana?” tanya Jani membuat Lingga mengerutkan keningnya.
“Bukan ke kamar saya.”
“Jani pikir ke kamarnya ustadz.” jawab Jani membuat Lingga mengerutkan keningnya lagi. “Masuklah ke kamar yang tadi.”
Jani menatap Lingga lagi, “Ustadz mau masuk ke kamar itu juga?” tanya Jani menarik perhatian Lingga.
“Kenapa saya harus masuk, kamu masuk ke kamar itu sendiri cari celana dan hijab, tidak malu hanya berpakaian seperti itu disini ha?” tanya Lingga menyinggung penampilan Jani.
“Ka kenapa ribut ribut?” tanya Umi datang dan melihat Jani yang menatap Lingga kebingungan.
Umi menghela napasnya, dan mendekat, menyentuh tangan Jani lembut, “Ayo ikut umi, umi bantu Jani mandi dan membersihkan diri.” kata Umi begitu menjaga Jani, sedangkan Lingga tak berkutik di samping mereka.
“Ustadz tampak tidak senang melihat Jani umi.” kata Jani memandang Lingga. Tatapan Jani terlihat tajam tapi sangat dalam, Jani itu cantik, satu alasan kenapa Lingga begitu sensitif dengan gadis muda ini.
Lingga berdecak dan akan bersuara, ketika umi memotong, “Anak umi bukannya tidak senang melihat Jani, tapi mereka memang sedang menjaga pandangan nak.”
“Menjaga pandangan?”
“Assalamualaikum, Gus.” suara seorang lelaki terdengar membuat Lingga menoleh, “Umi bawa ke kamar saja, takut nya dia keliling pesantren dengan pakaian seperti itu berbahaya.” kata Lingga membuat umi mengangguk mengerti
“Sudah mau berangkat ke Bandung nak?” tanya umi membuat Lingga menganggukkan kepalanya.
“Lusa pulang mi, kami pamit ya.” katanya membuat umi menganggukkan kepalanya, “Hati hati nak dijalan.” Lingga kemudian meraih tangan umi dan salim, Lingga juga memeluk uminya penuh sayang. Setelah pelukan itu dilepas, Jani menatap Lingga, dan memberikan tangannya untuk diperlakukan sama seperti umi Ara.
Tapi Lingga menatapnya tajam, “Berpakaian lah yang benar” kata Lingga dan mengambil tas besarnya, Jani menatap tangannya yang tidak dipedulikan umi sedikit tersenyum dan menggenggam tangan itu erat, “Nak assalamualaikum.” suara Umi, membuat Lingga menoleh menatap uminya dengan lembut, “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh—"
“Sudah mau berangkat?” tanya Abi pada Lingga, Jani terlalu memperhatikan lelaki itu membuat Umi menyentuh punggungnya, “Mari masuk ke kamar.” kata Umi membuat Jani menganggukkan kepalanya.
“Ustadz mau kemana umi?” tanya Jani membuat umi tersenyum lembut, “Ke Bandung, ada kajian bersama Kyai besar Idris Khalid.”
Melihat Jani yang mengerjapkan matanya membuat Ara tersenyum, “Tidak kenal ya?”
Jani mengangguk, membuat Ara tersenyum lagi, “Tidak apa-apa kalau tidak tahu orangnya siapa. Tapi harus tahu kajian itu apa, Jani tau nda kajian itu apa?” tanya Ara membuat Jani menggeleng.
“Hari ini kebetulan ada kajian di masjid, kamu ikut yaa bareng umi.” katanya lembut bersemangat, membuat Jani bingung.
“Ikut aja, umi itu juga punya anak cewe, tapi dia benar-benar sibuk sekali, mengambil kuliah kedokteran, dan sudah dua semester tinggal di rumah neneknya karena dekat dari kampus dan tempat magangnya.” kata umi membuat Jani menganggukkan kepalanya.
••••
Kehadiran Jani bersama umi Ara hari itu begitu menarik perhatian penghuni pesantren, pasalnya tiba-tiba saja ada anak perempuan cantik yang dibawa umi Ara ke kajian yang dilakukan di masjid besar pesantren itu, mereka itu hafal dengan keluarga pesantren baik dengan keluarga inti ataupun keluarga di luar pesantren.
Hanya saja anak perempuan ini cukup tidak bisa mereka kenali. Mereka jadi was was jika itu adalah jodoh yang secara khusus sudah disiapkan Bu nyai mereka untuk salah satu matahari pesantren Al Khaf.
Gadis perempuan itu sangat cantik, sehingga benar-benar membuat mereka hampir menyerah. Sedangkan Jani sedikit kaget dengan banyaknya orang yang datang ke tempat itu. Jani merasa sesak di dekati banyak sekali orang.
“Gadis cantik ini siapa ya Bu Nyai? jodoh salah satu Gus ya bunyai jangan-jangan.” tanya Seorang perempuan cantik berkerudung panjang itu pada umi, dia kemudian duduk dan memberi salam pada umi.
“Anak temanku nak Nayla, dan masalah jodoh itu juga tidak ada yang tahu, huss jangan ngomongin itu lagi nak” peringat umi, Nayla itu salah satu mbak pengurus pondok, sudah empat tahun masa mengabdi di pesantren.
“Oh cantik sekali ya” katanya tersenyum lembut, lalu menatap umi lagi, “Bunyai benar Gus Lingga jadi ke Bandung ya?” tanyanya lagi dan mendengar nama itu disebutkan, sontak Jani merasa perhatian para wanita memandang ke arah mereka.
“Iya menghadiri kajian kiai Idris Khalid nak.” kata umi, membuat wanita itu tampak terpesona.
“Gus Lingga semakin di kenal banyak orang ya Bunyai.” kata nya lagi membuat umi tersenyum tipis.
“Followers Gus Lingga semakin banyak ini” katanya tertawa.
“Saingan jadi semakin banyak, para wanita jadi semakin ketar ketir umi” kata wanita dewasa disamping Jani, membuat Umi tersenyum.
“Mbak pita ihh.” kata seorang mbak santri itu.
“Kalian ini jangan terlalu mengagumi seseorang yang masih hidup, nanti jadi sakit hati.” kata umi membuat Jani menatapnya lekat.
Sepertinya disini rata-rata para wanita begitu mengagumi Gus Lingga, Gus Lingga, pak Ustadz nya Jani?
Heum, Jani diam, memikirkan dirinya.
Mulanya Jani ingin menjadikan Gus Lingga adalah pelanggan pertama Jani. Tapi Jani mulai tidak suka dengan hubungan badan yang sering Mami lakukan dengan pelanggannya.
Rasanya tidak enak dan sakit, Jani tidak suka, Jani takut, rasanya jika mengingat itu Jani ingin berteriak, tubuh Jani dingin, dan seperti di lempar telur busuk, Jani merasa sentuhannya masih ditubuh Jani dan mulai membusuk.
Sewaktu itu katena Jani tidak suka, Jani bunuh.
Dan olehnya Jani tidak mau menjadikan pak ustadz sebagai pelanggan Jani lagi, Jani takut karena tidak suka juga, maka Jani akan melakukan hal yang sama pada ustadz tampan itu.
Dia punya banyak penggemar, dan Jani takut membuat Mami menanggung kenakalan Jani lagi.
“Tapi ya ning, dengar-dengar dari anakku, Gus Lingga lagi dekat sama Ning Hilya ya” tanya wanita paruh baya itu, seorang pengurus pesantren yang duduk di belakang umi.
Umi menggeleng tidak tahu, “Sampai ramai di tok tok ning, Gus Lingga kan sering kalau ada berita perjodohan begitu langsung dibantah, kan— tapi ini Gus malah membiarkannya saja tidak membuat klarifikasi apa-apa.” kata Wanita itu lagi.
Jani menundukkan kepalanya, Jani sudah tahu dari Kian, katanya pak ustadz nya sudah punya wanita idaman, jadi apakah itu Ning Hilya? Jani menundukkan kepalanya, Jani tidak boleh memikirkan cinta-cintaan dulu.
“Entah mbak." kata Umi, "Sudah ah jangan di bahas lagi, masalah jodoh aku menyerahkan pada anak-anak saja. Ah itu Bu ustadzah sudah datang.” peringat umi lagi, membuat semuanya diam.
Jani ikut diam, gadis muda itu berpikir apakah Jani bisa melepaskan calon pelanggan pertama Jani? Satu satunya yang Jani pernah harapkan, tapi sekarang Jani punya banyak ketakutan.
Mami bilang untuk pelanggan Jani tidak boleh menggunakan suami orang. Jadi jika pak Ustadz jadi suami orang, Jani mungkin tidak akan punya pelanggan lagi.
Tapi siapa yang memikirkan itu di saat seperti ini? Jani tidak boleh memikirkan itu lagi kan? Mami lagi di penjara gara-gara kenakalan mu Jan, jadi jangan menambah kenakalan lagi.

Jani merasa tubuhnya membusuk:"😔
Dan terimakasih banyak sudah membaca, jangan love disukai dan meninggalkan komentar juga🤗💜
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
