
Part 3 Kelam Jani

"Mami jalang, nak. Jadi cukup mami saja. Kamu jangan"
••••
Saat Jani terbangun di pagi hari, Jani sudah melihat mami memeluk tubuhnya erat, Jani menatap mami lekat karena ternyata mami sudah bangun.
"Jani jalan tidur lagi ya, mi?" tanya Jani membuat Aurel menghela napasnya berat dan mencium keningnya.
"Mami, Jani buat masalah ya?" tanya Jani pada mami lagi, Jani itu meskipun tau mami seperti itu, Jani tetap sayang mami, Jani juga sayang sama papa, tapi papa semenjak sudah punya keluarga baru, sudah jarang menemui Jani.
"Mami nanti ke Jepang, kamu nggak apa-apa?" tanya Mami, Jani mengangguk.
"Jani mau mami titipkan ke Tante Ara nggak?" tanya Mami menatap Jani, Jani menatap mami lekat, "Tinggal di pesantren mi, Jani?" tanya Jani membuat Mami mengangguk.
"Jani malu mi kalau menginap disana, kalau bolak balik Rumah pesantren Jani bisa." kata Jani membuat Mami menghela napasnya.
"Dirumah ini bahaya, tinggal di pesantren sepertinya aman, asal Jani enggak nakal." kata mami lagi, Jani jadi diam berpikir.
"Tapi Jani nggak janji mi, Jani suka nakal." kata Jani membuat Aurel memeluk putrinya.
"Mami ngga tau mau menitipkan kamu dimana, Jani mau sama papa?" tanya Aurel lagi, Jani menggeleng.
"Pesantren aja ya, nanti kita temui Tante Ara." katanya lagi.
Jani diam saja, lalu mami berdiri, "Ayo siap-siap, Jani kan mau ke sekolah." kata mami membuat Jani langsung melirik jam, "Mami udah jam tujuhhh." kata Jani sedikit berteriak karena kaget.
"Iyaa ayo siap-siap, nanti mami yang bantu kamu masuk disekolah kalau pagarnya sudah di kunci." kata Aurel membuat Jani menganggukkan kepalanya dan buru-buru masuk ke kamar mandi.
Anaknya sedikit lagi tujuh belas tahun, Aurel ingin anaknya tidak seperti dirinya, mau bagaimana pun Aurel mendidik anaknya untuk tidak melakukan hal nakal sebelum usianya tujuh belas tahun.
••••
"JAnn aw" suara Adiba yang akan berteriak langsung surut ketika Kian memukul punggung Adiba dengan buku.
"Kiaan." rengek Dibah.
Kian tidak menanggapinya dan langsung menoleh ke jendela, sedangkan Jani duduk di bangkunya dekat Adiba.
"Kenapaa? muka kok kayak jemuran, kusut amat." kata Dibah membuat Jani mencebikkan bibirnya, "Cara mengatasi tidur berjalan bagaimana sih?" tanya Jani.
Dibah diam saja, "Mana tahu aku yang kaya begitu, aku mikirnya yang kaya gitu cuman akting doang Jan." kata Adiba membuat Jani tersenyum tipis.
"Coba sebelum tidur, wudhu dulu terus prepare sebelum tidur baca doa." kata Adiba lagi, membuat Jani mencebikkan bibirnya, kali ini Jani mana tau hal yang seperti itu.
Wudhu? Jani tidak pernah wudhu, baca doa? Jani tidak pernah lagi berdoa.
Doa doa Jani tidak pernah terkabul, mungkin karena doa Jani terlalu sulit kali ya.
Sepertinya iya.
Jani kemudian menoleh pada Kian yang duduk di belakang mereka, "Kalau hari ini aku ke pesantren boleh ga Kian?" tanya Jani, Kian menggeleng.
"Ga boleh, ngapain."
Jani mempoutkan bibirnya, "Kok ga boleh sih? jalan-jalan mau lihat lingkungan jodoh aku tinggal." kata Jani membuat Kian berdecak kesal, Adiba menoleh, "Belum nyerah juga Jan?" tanya Diba, Jani mengangguk.
"Tadi malam ga bisa tidur tau."
"Gara-gara mas Lingga?"
Jani mengangguk.
"Nah ini, gara-gara ini Jan, kamu kan pernah bilang udah jarang tidur berjalan lagi tiba-tiba tadi malam kamu begitu lagi." kata Diba.
"Apa gara-gara itu?" tanya Jani.
"Ya karena apa lagi." tanya Diba, Jani kemudian menghela napasnya berat.
"Caranya cuman satu." kata Jani membuat Diba menoleh, "Apa caranya?"tanya Diba.
"Comblangin aku sama masnya Kian."
Bugh.
"Aa Sakit tauu Dib." kesal Jani.
"Jan Lo hampir stress deh." kata Diba, membuat Jani mengangkat bahu.
"Mas Lingga itu sudah dewasa, kita masih kecil, Mas Lingga nyarinya ukhti ukhti Jan, ukhti ukhti yang sudah matang, bukan anak-anak kayak kita, carilah yang seumuran juga misal yaa, Gus Kian." kata Adiba membuat Jani menatap Kian.
"Jani mau yang dewasa juga Diba." kata Jani membuat Diba menghembuskan napasnya.
"Mas Lingga itu galak, Jann. Aku takut kamu sakit hati karena kata-katanya."
"Aku suka kasar kasar kok Dib." kata Jani membuat Diba menepok jidatnya, "Kamu kalau ngomong harus di filter dulu, banyak yang salah paham ntar Jan." kata Diba membuat Jani menghembuskan napasnya.
"Pokoknya mas Lingga itu galak pol Jan, dia ga suka cewek yang ngejar ngejar cowok, mana hape kamu, aku tunjukkin media sosialnya mas Lingga." kata Adiba membuat Jani memberikan ponselnya.
"Mas Lingga punya akun media sosial?" tanya Jani membuat Adiba mengangguk, "Memang siapa sih yang ga punya media sosial di masa ini Jan?" tanya Adiba, "Ya kecuali Kian, karena dia pemalas." kata Adiba membuat kursi Diba di tendang Kian.
"Iya kan fakta, coba aja kamu punya medsos, apakah akan setenar Ruri? atau masmu? who knows" kata Diba lalu memberikan ponsel Jani.
"Wah." kata Jani melihat pengikut lelaki yang Jani sukai itu. Satu juta followers, lelaki itu apakah seorang artis?
"Kaget kan pengikutnya? umi Ara itu selebgram, lalu ustadz Lingga memanfaatkan media sosial untuk berdakwa. Banyak videonya yang viral, dan karena ganteng terus sholeh, akhirnya punya banyak penggemar deh."
"Gus Lingga?"
"Kalau kita manggilnya ya pak ustadz' kata Diba.
"Banyak yang jodoh-jodohin mas Lingga Jan, makanya aku bilang kalau suka jangan terlalu di pamerkan atau di perlihatkan, itu di luar kodratnya perempuan yang seharusnya di kejar. Sebenarnya boleh-boleh aja, tapi mas Lingga ga suka cewek begitu. Mas Lingga udah terbiasa di kejar-kejar, makanya kalau suka di pendam saja, jangan sampai kamu sakit hati, lawan kamu aja segini banyaknya."kata Adiba menunjuk followers lelaki itu.
Jani jadi diam, tapi jani bukan tipe perempuan yang pendiam, setiap kali melihat lelaki tampan itu, darah Jani berdesir, jani merasa tertantang untuk mendekatinya, semacam ada magnet yang menarik Jani ke dekatnya terus, "Susah." kata Jani.
"Ya udah, kayaknya kamu ga akan berenti deh sebelum di tampar dengan kata-katanya sendiri." kata Diba menyerah.
Hari itu Jani ingin bilang kalau Jani akan dititip mama ke pesantren. Tapi Jani rasanya malu bilang nya. Yang pada akhirnya Jani diam saja dan mengangguk sebagai jawaban kata-kata Adiba.
***
Sepulang sekolah Jani melihat Adiba yang di jemput orangtua lengkap, sehingga mereka tidak jadi ke pesantren, Jani jadi sedih meskipun begitu Jani cukup iri melihat keharmonisan keluarga Adiba. Ayah Adiba seorang dokter, dan mamanya pemilik toko kue yang sudah punya banyak cabang di banyak daerah.
Dari tatapan mata ayahnya, tampaknya ayah Adiba sangat mencintai keluarganya. Benar- benar keluarga yang sangat damai.
Lalu Gus Kian berhenti di samping Jani dengan sepeda motornya, Jani menoleh dan mendekat, "Kian mau langsung pulang ya? mama Jani enggak jemput Jani, mama belum pulang, dirumah jani sendirian aja, bosan banget Kian, jadi boleh nda Jani ikut ke pesantren?" tanya Jani dengan senyum di bibirnya lebar.
"Nggak." kata Kian, Jani mendesis, "Kian kalau Jani di jalan-jalan kenapa-kenapa gimana."
"Kita ga terlalu kenal Jan."
"Kenal! aku ramal kamu bakal jadi adik ipar aku." kata Jani membuat Kian menggelengkan kepalanya.
"Enggak akan mungkin itu."
"Mungkin tahu, Jani kan cantik."
"Awas saya mau pergi." kata Kian membuat Jani menahan setir itu.
"Kian."
"Saya ramal, kita bakal ketemu besok. Jadi kamu ga akan kenapa-kenapa." kata Kian membuat Jani semakin menggeleng.
Kian menghela napasnya, "Mas Lingga ga suka sama cewek yang suka dekat-dekat sama cowo lain." kata Kian.
Jani akhirnya melepas genggaman nya, "Bagus." kata Kian.
Jani menundukkan kepalanya, "Mundur dua langkah." Jani menurut. "Pulang ke rumah kamu Jan, kalau saya bonceng kamu ke pesantren bisa heboh satu pesantren. Mas Lingga juga bakal ilfil sama kamu"
"Kenapa?" tanya Jani polos.
"Karena ga boleh lah." seru Kian, membuat Jani mencebikkan bibirnya.
"Pulang ke rumahmu." kata Kian menjalankan mesin motornya membuat Jani diam saja, lalu Kian menoleh pada Jani, "Saya duluan Jan, assalamualaikum."
"Kumsalam." kata Jani, Kian menoleh pada Jani karena mendengar jawaban salam yang tidak asing di telinganya.
"Telpon mama kamu." katanya dan meninggalkan Jani.
Seperginya Kian, Jani merasa sendirian, rasanya kaki Jani ingin berjalan ke pesantren, tapi Jani juga malu, Jani menundukkan kepalanya dan menggigit bibirnya. Lalu ponsel Jani berbunyi, "Mami Jani-."
"Jani ke pesantren kan hari ini? hari ini mami lagi sibuk sampai malam. Biar nanti malam mama jemput disana bagaimana" kata Mami membuat Jani menggembungkan pipinya.
"Enggak jadi mami." kata Jani.
"Enggak jadi? kenapa?"
"Adiba pulang ke rumahnya, bukan ke pesantren mi" jawab Jani.
"Yaudah, Jani pulang ke rumah aja ya."
"Jani jadi di titipkan ke pesantren kan mi?" tanya Jani membuat Aurel menghela napasnya berat, "Jadi, tapi nanti ya dua hari sebelum mami ke jepang bagaimana?" kata mami membuat Jani menganggukkan kepalanya.
"Iya."
"Mau mami pesankan ojek?" tanya Mami membuat Jani menggeleng, "Biar Jani aja mi."
"Jadi mami matikan panggilannya?"
"Iya mi." kata Jani lalu setelah ponsel di matikan, Jani mulai memesan ojek seperti biasa membawa Jani pulang ke rumah.
Jani kemudian membuka ponselnya dan melihat akun media sosial ustadz Lingga. Kata Diba, Jani enggak seumur dengan masnya jadi memanggilnya harus dengan panggilan ustadz.
Nama lengkapnya, Muhammad Kalingga Arayyan Azami Al Khaf, namanya sangat panjang, penggemarnya pun sangat banyak, wajahnya tampan, ilmu agamanya luas, dari keluarga yang baik berada dan terpandang.
Dia sempurna.
Jani membuka kolom komentar dimana banyak sekali komentar, foto profil mereka terpampang nyata, mereka wanita berhijab yang sudah siap menikah.
Jani sudah mengikuti Lelaki ini tapi Jani tidak di follback, ya memang apa yang Jani harapkan, padahal mengikutinya tadi 203 sekarang sudah 205, dua orang yang diterima permintaan nya.
Apa pak ustadz melihat akun Jani? Jani sudah memasang foto profil dirinya, membuat stori juga, tapi Jani lihat distory nya tidak ada akun pak ustadz.
Atau harus kan Jani menandainya? supaya ustad mengenalinya?
***
Hari itu di pikiran Jani, cuman ada ustadz Lingga saja, Jani ingin menjadikan ustadz sebagai pelanggan Jani yang pertama setelah menjadi dewasa, tapi bagaimana cara mengajaknya. Haruskah Jani mengajak lewat dm saja? ataukah Jani mengajak langsung?
Jani memikirkan itu sampai di depan rumahnya, setelah membayar ojek, Jani masuk kedalam rumah, Jani berjalan kearah ruang keluarga yang televisinya berbunyi.
Jani kira itu mami, ternyata itu seorang lelaki, dia menatap Jani, lelaki itu menonton film dewasa, yang membuat Jani meremas tangannya sedikit takut.
"Om kenapa bisa masuk di rumah Jani?" tanya Jani menatap lelaki itu, dia om Abra.
"Om buru-buru pulang tadi malam, sampai melupakan barang. Jadi om mengambilnya." katanya, Jani melirik film tidak senonoh itu lagi dan kemudian mengangguk dan pergi.
Tiba-tiba lelaki itu berdiri, dan berjalan kearahnya, "Kamu sudah makan?" tanyanya membuat langkah Jani terhenti, Jani menoleh kebelakang.
"Sudah, jadi om kalau sudah menemukan barangnya langsung pulang saja." kata Jani lalu buru-buru masuk kekamarnya, hanya saja lelaki itu menahan pintu kamar Jani, Jani menatap lelaki itu sedikit takut, "Om kenapa?" tanya Jani suaranya sampai bergetar.
Lelaki itu tiba-tiba tersenyum, "Kamu pikir om mau ngapain hm?" tanyanya, dia menikmati ketakutan diwajah gadis kecil itu.
"Kamu tahu Jani, om sudah bosan dengan pelayanan mami kamu, jadi bagaimana jika sekarang kamu menggantikannya?" tanyanya dengan seringainya.
Jani meremas tangannya, ia takut, tentu saja. Kata mami, Jani masih kecil. Jani nggak boleh nakal sebelum Jani dewasa. Lagipula Jani meskipun sudah dewasa, Jani mau pelanggan pertama Jani pak ustadz bukan lelaki ini.
Ahh seharusnya Jani ke pesantren saja, meskipun Kian tidak membiarkan Jani, Jani seharusnya ke pesantren mandiri saja.
Sekarang Jani harus bagaimana??

Terimakasih sudah membaca bab 3, selamat menunaikan ibadah puasa, semoga puasa kita diterima Allah🤗❤️ Jangan lupa LoVE yaa teman-teman ❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
