Terjerat Gairah Sahabat Kekasihku Bab 8-10

1
0
Deskripsi

Selamat Membaca ❤️

Bab 8. Tawaran yang Menggiurkan


Alden tersentak ketika mendengar ucapan Rayna. Buru-buru pria itu bangun dari tubuh Rayna.

Alden mengusap wajahnya dengan kasar, sesekali menjambak rambutnya.

"Berengsek! Sialan! Apa yang kamu lakukan, Alden," geram pria itu.

Pria itu melirik Rayna sebentar, wanita itu kini memejamkan matanya, sesekali meringis pelan.

Alden terus menggeleng, dia benar-benar merutuki kebodohannya karena sudah berani mencium wanita itu, wanitanya Zidan, temannya sendiri. Bisa-bisanya Alden bertindak di luar batas? Sialnya sampai saat ini dia masih menginginkan wanita itu.

"Zidan," kata wanita itu lirih, tak lama kemudian Rayna terisak pelan.

Alden terenyuh karena mendengar suara tangisan wanita itu, dia mendekati wanita itu lalu berbisik pelan. "Kamu kenapa?"

"Zidan."

"Aku bukan Zidan, aku temannya," koreksi Alden.

"Ke mana dia?" tanyanya dengan mata terbuka.

Alden terdiam cukup lama, lalu menghela napas berat. "Dia sedang mengadakan launching kafe barunya. Dia yang menyuruhku untuk temani kamu ketika dia lagi sibuk," katanya jujur, sebenarnya dia berat untuk mengatakannya, tapi kalau dia diam saja, dia kasihan pada Rayna. Apalagi saat ini wanita itu tengah bersedih, membuat Alden tak tega.

Rayna tertawa miris, ternyata pria itu bohong padanya. Tadi Zidan mengatakan jika kafenya sangat ramai, karena karyawannya banyak yang tidak datang, terpaksa dia turun tangan sendiri.

Sampai saat ini Rayna paham apa maksud Zidan, Zidan dengan perlahan menjauhinya, dengan alasan tentang pekerjaannya.

"Begitu ya? Lantas kenapa kamu mau disuruh-suruh olehnya?" tanya Rayna lirih.

"Sebagai teman, aku wajib membantunya, dulu ketika aku sedang terpuruk hanya dia yang selalu menemaniku. Masa iya aku harus melupakan jasa-jasanya. Dan sekarang dia juga membutuhkan bantuanku."

"Tapi aku sama sekali tidak membutuhkanmu, yang aku butuhkan saat ini hanya Zidan, bukan kamu," kata wanita itu tajam.

Alden mengangguk paham. "Aku mengerti, hanya saja Zidan nggak mau lihat kamu kenapa-kenapa, dia sangat khawatir sama kamu karena kamu sudah sekali untuk dihubungi."

Kepala Rayna kembali berputar, rasa pening itu kembali hadir, Rayna merutuki dirinya sendiri karena sudah berani meminum alkohol itu, perlu diketahui, itu adalah kali pertama Rayna meminumnya.

"Apa kamu baik-baik saja?"

"Jangan menyentuhku," sergah Rayna.

"Oke, sorry. Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya memastikan kalau kamu baik-baik saja," jelas Alden.

"Serius hanya ingin memastikan? Lalu bagaimana dengan tadi ketika kamu menciumku?" tanya wanita itu remeh.

Wajah Alden seketika memerah. "Maaf, aku khilaf. Tadi terbawa suasana. Seandainya saja tadi kamu tidak memancingku pasti aku tidak akan berakhir menciummu."

"Apa kamu sering melakukannya dengan wanita lain?"

Alden tak menjawab, dengan diamnya Alden, Rayna sudah memastikan jika pertanyaannya memang benar.

"Aku membayar mereka, jadi rugi dong kalau aku nggak ngapa-ngapain mereka," jawab Alden pada akhirnya.

"Mereka? Jadi tidak hanya dengan satu wanita?" tanya Rayna dengan wajah terkejut.

Alden mengangguk. "Aku butuh hiburan, dan hiburanku adalah para wanita."

Rayna tercengang, kepalanya semakin menjadi pusing dengan jawaban Alden.

"Apakah Zidan juga seperti itu?" tanya Rayna ragu.

"Tidak," jawab Alden tegas. "Zidan pria yang begitu setia, hanya saja sekarang dia lagi silau dengan kesuksesannya, dia sudah lupa siapa yang menemaninya dari nol. Kamu. Tapi kamu tenang saja, dia tidak pernah bermain wanita, dia benar-benar tulus sama kamu, dia rela seperti itu demi kamu."

"Lalu kenapa kamu tidak mencontoh pribadi Zidan. Kenapa kamu tidak mencoba menetap dengan satu wanita?" tanya Rayna heran.

Alden tersenyum tipis, dia menatap ke depan, pikirannya menerawang jauh ke dalam masa lalunya.

"Dulu aku pernah mencintai satu wanita. Dia baik, sangat baik, selalu perhatian. Suatu hari aku mendapat pekerjaan di luar kota, aku jarang menemuinya, tapi kalau masalah komunikasi kami selalu lancar. Tiba saatnya aku kembali ke kota itu, aku sengaja tidak memberitahu tentang kepulanganku padanya, aku ingin memberikan kejutan padanya." Lagi-lagi Alden tersenyum, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia merasa ngilu. "Ketika aku sudah sampai di rumahnya, malah aku yang dibuat terkejut. Ternyata selama ini dia berselingkuh di belakangku, dan di depan mataku sendiri aku melihat dia sedang bercinta dengan pria yang tidak aku kenal. Dari situlah aku tidak percaya dengan yang namanya cinta, karena cinta tidak akan berakhir membahagiakan."

"Itu karena kamu salah ketemu sama cewek, jangan bilang kayak gitu. Pasti suatu nanti kamu bakal ketemu sama wanita yang benar-benar setia. Harusnya kamu jadi pria yang lebih baik, bukan jadi lebih buruk. Kamu sering gonta-ganti wanita, kamu nggak takut kalau nanti anak perempuanmu digituin juga sama laki-laki?" tanya Rayna menakuti.

"Rayna, jangan menakutiku seperti itu. Aku pastikan aku akan membunuh pria itu jika berani macam-macam dengan putriku!" geram Alden.

Rayna tergelak kencang. "Nah, kalau pemikiranmu seperti itu, mulai sekarang jadilah pria yang baik."

"Aku pasti akan berubah jika aku sudah menemukan wanita yang tepat."

"Ya makanya dicari dong, kalau ngomong doang ya aku juga bisa," cibir Rayna.

"Ini juga lagi usaha kok, wanitanya sekarang lagi ada di samping aku. Dia sekarang lagi mabuk."

"Ish! Sembarangan aja, aku masih waras ya, walaupun cuma sedikit," kata Rayna tak terima.

"Omong-omong, kamu nggak jenuh jalani hubungan seperti ini, Rayna?" tanya Zidan, kali ini pria itu berkata serius. "Aku merasa, kok hubungan kalian begitu membosankan, ya?"

"Ya begitulah, namanya juga pacaran dewasa."

"Memangnya pacaran ala dewasa itu seperti apa?" tanya pria itu dengan dahi berkerut. Heran saja, dia baru kali ini dengar ada macam-macam jenis pacaran. "Apa pacaran dikategorikan menjadi pacaran anak kecil, anak remaja, dan juga dewasa?" sambung pria itu lagi.

"Ya nggaklah, aneh-aneh aja pertanyaan kamu itu. Maksud aku ya beda gitu loh, kalau pacaran pada umumnya itu, kan, ya saling gombal, dikit-dikit nelepon, panggil sayang-sayangan. Ya gitu," jelas Rayna.

"Terus kalau pacaran dewasa kayak gimana?" tanya Alden penasaran.

"Pacaran orang dewasa tuh kalau pagi, siang, sampai sore itu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Nah malamnya baru obrolin tentang keseharian. Saling curhat hari ini ngapain aja, gitu loh."

Alden menggeleng tak setuju. "Kalau menurutku ini sih ya, pacaran orang dewasa itu ya saling menyalurkan hasrat."

Rayna terdiam cukup lama, dia menatap Alden dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Maksudnya?"

"Nggak mungkin kalau kamu nggak paham, Rayna. Semakin dewasa, pasti kita bakal semakin penasaran untuk main-main."

'Apa itu alasannya Zidan berubah menjauhiku? Karena selama ini aku selalu melarangnya untuk menyentuhku? Tapi dia tidak keberatan kok, dia malah janji akan menyentuhku kalau aku sudah halal menjadi miliknya,' batin Rayna.

"Begitu ya?"

"Iya, kalau pacaran seperti apa yang kamu bilang, itu hubungan rasanya hambar," jelas Alden lagi, padahal dia hanya menjawab iseng saja.

"Kalau begitu apa kamu mau mengajariku?"

"Hah? Maksud kamu?"

"Bagaimana caranya jalani hubungan dewasa?"

Sial, harusnya Alden mengambil kesempatan dalam kesempitan, kan? Apalagi saat ini dia tengah berbicara pada wanita yang sedang setengah mabuk. Akankah dia menolak tawaran wanita itu?

"Kamu mau?" tanya wanita itu, kini wajahnya sudah mendekat di depan wajah Alden.


Bab 9. Bagaimana Kalau Aku Khilaf?


Berkali-kali Alden membasuh wajahnya di wastafel tersebut. Wajah Rayna yang tengah mabuk itu selalu terbayang-bayang di dalam ingatannya.

"Sial! Lupakan Alden, lupakan. Dia bukan untuk dijadikan bahan fantasi, dia adalah tunangan temanmu. Ingat itu, Alden," ucapnya dalam memperingati dirinya sendiri.

Alden masih ingat betul kejadian malam itu, ketika Rayna menggoda dirinya. Alden tahu jika Rayna baru pertama kalinya bertindak seperti itu, terbukti dari caranya yang begitu amatir. Kendati demikian, Alden begitu bergairah dengan sentuhan-sentuhan yang Rayna berikan.

"Argghhh!" Alden berteriak, dia frustrasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Pikiran itu sangat mengganggunya.

Drrttt ... drtttt ... drtttt ...

Alden melirik ponsel yang ada di meja, dia langsung menyambar ponsel itu, dia melakukan seperti itu agar pikirannya tentang Rayna segera hilang.

Zidan is calling.

Alden tersenyum sinis. "Mau apa lagi nih orang, selalu menyusahkan diriku saja," gerutunya pelan.

"Halo, kenapa?" tanya Alden to the poin.

"Halo, Alden. Kamu di mana?"

Alden mengerutkan keningnya ketika mendengar suara Zidan begitu cemas.

"Di rumah, kenapa?"

"Bisa bantu aku?"

"Apa? Untuk menemui pacarmu lagi?" tebak Alden.

"Ya, seperti itu. Saat ini Rayna tengah sakit."

"Lalu apa masalahnya denganku?" tanya pria itu sinis.

"Aku butuh bantuanmu."

Alden tertawa terbahak-bahak. "Aku muak dengan kata-kata itu, Zidan. Kalau kamu tidak mau mengurus pacarmu itu lebih baik putusin aja dia," ucapnya dengan nada kesal.

"Aku tidak mungkin melepaskan dia, karena aku mencintai dia. Kamu ini bicara apa?" Zidan sepertinya juga kesal, terdengar suaranya begitu marah dari ujung sana.

"Kalau kamu memang mencintai dia, nggak mungkin kamu selalu menyuruh orang lain buat selalu ada di samping dia, Zidan. Maaf, kali ini aku tidak bisa, aku takut kejadian yang tidak diinginkan malah terjadi. Sebaiknya kamu datangin sendiri aja pacarmu itu," tolak Alden tegas.

"Alden, kali ini aja please. Aku janji ini yang terakhir kalinya aku butuh bantuanmu. Kamu mau ya?"

Alden menghela napas berat, dia sudah mengingatkan Zidan berkali-kali, tapi mengapa pria itu begitu bebal?

"Zidan, aku ini pria berengsek, dan kamu tahu itu. Bagaimana kalau nanti aku rebut dia dari kamu. Atau bisa jadi aku bukan cuma rebut aja, tapi aku tiduri dia juga bagaimana? Kamu pikir, Zidan," peringat Alden.

"Aku tahu itu. Tapi aku percaya sama kamu, Alden. Kamu tidak mungkin melakukannya karena aku ini sahabatmu sendiri. Nggak mungkin kamu tega melakukan seperti itu."

Alden tertawa sumbang. Dia mengacak rambutnya dengan kasar. Sumpah! Dia ingin memaki Zidan, tidak tahukah pria itu jika dirinya sudah berhasrat ketika pertama kali melihat wanita itu?

"Bagaimana kalau aku khilaf, Zidan?" tanya Alden lirih.

Hening. Zidan terdiam cukup lama, sepertinya dia kaget dengan ucapan Alden, atau bisa jadi pria itu sedang memikirkan sesuatu.

"Aku percaya sama kamu, Alden. Jangan menakutiku. Kalaupun kamu melakukannya, jangan harap aku bisa memaafkanmu," ancam pria itu.

"Kalau begitu lebih baik kamu saja yang menemani wanitamu, jangan menyuruhku lagi."

"Tapi kali ini aku butuh bantuanmu, aku sibuk banget."

Alden mengerang frustrasi, sekali lagi dia berkata pada Zidan, memperingatkan pria itu, jika Zidan tetap kekeh dengan pendiriannya, maka Alden berniat untuk merebut wanita itu dari pria itu.

"Zidan, sekali lagi aku tanya. Setelah aku mengatakan kalau aku berengsek, apa kamu tetap ingin menyuruhku membantumu?"

"Iya, ini yang terakhir kalinya."

Alden tertawa miris, kasihan sekali Rayna mempunyai pacar yang sangat berambisi dengan uang.

"Aku hanya ingin menasehati kamu, terserah mau didengar atau tidak. Dengar, Zidan, fisik seseorang bisa dirubah, sebuah materi bisa saja dicari, tapi ...." Alden menghela napas panjang, "orang tulus itu tidak datang dua kali, jangan menyesal dengan keputusanmu itu, Zidan."

Setelah berkata seperti itu, Alden mematikan sambungan teleponnya, dia bersiap-siap untuk menemui wanita itu.

Ya, dia sudah bertekad ingin merebut Rayna dari Zidan, karena sejujurnya dia sudah tertarik dengan wanita itu ketika pertama kali mereka bertemu, yang pasti bukan hanya tertarik dengan tubuh wanita itu saja.

***

Alden menggeleng tak percaya karena sedari tadi melihat Rayna muntah-muntah. Dia bingung harus bereaksi seperti apa, ingin tertawa tapi juga kasihan.

"Aku benci minuman alkohol, kenapa efeknya seperti ini," keluh wanita itu. "Kepalaku juga sakit sekali."

Alden tersenyum tipis. "Itu karena kamu baru minum pertama kalinya, nanti kalau sudah terbiasa kamu tidak akan seperti ini lagi. Sini coba aku olesi tengkukmu dengan minyak kayu putih, siapa tahu mendingan," usul Alden.

Rayna menggeleng. "Nggaklah, aku bisa sendiri. Nanti malah kamu berbuat mesum ke aku," kata wanita itu sengit.

Alden tertawa kecil. "Kamu tahu aja pikiran aku, jangan-jangan kita sehati lagi," goda pria itu.

"Idih, idih. Sorry ya, jangan samakan aku sama wanita-wanitamu, karena aku sama sekali nggak bakalan mempan dengan gombalan-gombalan recehmu itu."

Lagi-lagi Alden tertawa.

"Omong-omong, ngapain kamu datang ke sini? Kangen sama aku?" Sebenarnya Rayna tak benar-benar bertanya seperti itu, dia hanya ingin balas dendam balik menggombal pria itu.

"Nah itu dia, ngapain ditanya lagi sih. Sini-sini, jangan jauh-jauh dari aku dong, aku kan pengin peluk kamu, pengin mesra-mesraan sama kamu," ucap pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Rayna menelan salivanya dengan susah payah, sepertinya dia terjebak dengan permainannya sendiri.

"Apaan sih, aku serius tanya, ngapain kamu ada di sini?" Kali ini suara Rayna tampak galak.

"Loh, kamu nggak percaya sama apa yang aku bilang barusan?"

"Cih! Mana mungkin aku percaya. Kamu disuruh sama Zidan, ya?" tebak wanita itu.

Alden diam saja, ketika Rayna menyebut nama Zidan, tiba-tiba saja dia teringat dengan percakapan mereka tadi.

"Nggak kok, aku inisiatif sendiri datang ke sini, aku kasihan sama kamu. Sebenarnya tadi malam niatnya aku mau bawa kamu ke hotel, tapi nggak tahu kenapa malah aku bawa kamu pulang."

Mata Rayna melotot, "mau ngapain bawa aku ke hotel?"

"Alah, masa kayak gitu nggak tahu sih. Ya mau bobo bareng dong. Bukannya tadi malam kamu nantangin aku?"

Rayna mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam, sayangnya tak ada satu pun yang dia ingat.

"Kamu jangan ngarang cerita deh. Emangnya aku ngapain?" Sebenarnya Rayna malas untuk membahas tentang ini, tapi dia juga penasaran.

"Kamu lupa? Astaga! Atau mau aku ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?"

Rayna mengangguk ragu.

"Tadi malam kamu tuh coba-coba goda aku, gerayangin badan aku, terus kamu juga cium-cium aku."

Rayna mendelik tajam, mana mungkin dia percaya dengan omongan pria itu.

"Kamu nggak percaya?" tanya pria itu.

"Mana mungkin aku percaya."

"Oke, kalau nggak percaya biar aku contohin kayak apa brutalnya kamu tadi malam. Jadi yang pertama-tama kamu pegang dada aku, dielus-elus seperti ini, seperti ini, seperti ini," kata pria itu sambil mengusap dada milik Rayna. "Lalu yang terakhir aku menciumku seperti ini."

Mata Rayna membulat ketika Alden mendaratkan ciuman di bibirnya.


Bab 10. Penyakit Kesepian


Rayna mendorong tubuh Alden sekuat tenaga.

"Maksud kamu apa, Alden?" tanya Rayna tak percaya, dia masih begitu syok dengan tindakan Alden barusan. Bukankah itu tindakan yang sangat kurang ajar? Alden telah melecehkan Rayna.

"A--aku hanya mencontohkan apa yang kamu lakukan padaku tadi malam," jawab pria itu gugup.

Rayna menggeleng cepat, dia tidak mungkin percaya dengan ucapan yang pria itu berikan. Bukankah pria itu penjahat wanita? Bisa saja itu adalah sebuah trik agar Rayna jatuh dalam permainannya. Tapi sayangnya Rayna masih mempunyai akal sehat. Semarah-marahnya dia dengan Zidan, tidak mungkin segampang itu cintanya goyah.

"Kamu pikir aku percaya?" tanya Rayna sinis.

"Untuk apa aku berbohong padamu," kata Alden tak terima. "Nggak ada untungnya," lanjutnya kemudian.

"Bukankah seperti itu untuk menjerat wanita? Itu kan trik yang selalu kamu lakukan agar para wanita bertekuk lutut padamu?"

"Kamu nggak usah ngalihin pembicaraan, memang kenyataannya kamu memang seperti itu, mencoba merayuku, bahkan kamu juga menyuruhku untuk menidurimu, untungnya saja aku masih waras, kalau tidak ... ya kamu tahu sendiri akan berakhir seperti apa. Seberengsek-berengseknya aku, aku juga masih punya hati nurani, Rayna. Aku tahu mana wanita yang baik-baik dan juga yang tidak baik," jelas Alden.

Rayna tertawa sumbang. "Mana mungkin aku seperti itu, kamu jangan ngarang cerita!" bantah Rayna.

"Kalau nggak percaya ya sudah, apa perlu kita buktikan apa yang aku ucapkan memang benar adanya?" tantang pria itu.

Kedua alis Rayna bertaut. "Caranya?"

"Gampang aja, kamu mabuk lagi."

"Itu bukan sebuah pembuktian, tapi kamunya yang mau cari kesempatan."

Alden menggeleng. "Biasanya kalau orang mabuk itu nggak bakalan nyadar apa yang udah dia lakukan. Memang kalau kesehariannya dia memang normal, tapi kalau sudah mabuk dia bakal lepas kendali, bahkan bisa aja curhat apa yang sedang dirasakannya. Kamu adalah salah satunya yang seperti itu, Rayna."

"Nggak mungkin." Lagi-lagi Rayna membantah. Apa dia ingin meminum alkohol lagi? Mana mungkin dia mau. Selain rasanya yang menurutnya sangat menyakiti tenggorokan, dia juga tidak mau sakit kepala. Ini saja efeknya masih belum hilang total. Rasa pusing masih menderanya.

"Ya terserah aja sih. Aku datang ke sini bukan mau aneh-aneh sama kamu. Meskipun memang ada niat kayak gitu, tapi ya ... tahu diri juga kalau nggak dikasih. Aku disuruh Zidan datang ke sini buat kasih kamu obat pereda nyeri sakit kepala."

Rayna mendelik tajam. "Terus mana obatnya? Aku sama sekali nggak ada lihat kamu bawa obat, yang ada tangan kosong."

"Kata siapa aku nggak bawa apa-apa. Ini aku bawa diriku."

Rayna mengerutkan dahi. "Maksud kamu aku bakalan sembuh dengan adanya kamu, gitu?"

"Yap, Anda pintar sekali, Nona. Jadi selain cantik, Anda juga pintar membaca pikiran seseorang," puji Alden.

Rayna memutar bola matanya malas.

"Jujur saja ya, Rayna. Kamu itu sebenarnya terkena penyakit kesepian karena selama ini tidak pernah ditemani Zidan, jadi aku berinisiatif untuk menemani kamu, aku jamin deh, pasti penyakit kesepian kamu itu akan segera sembuh, cepat malah."

Rayna tersenyum manis namun terkesan dipaksakan. "Tuan Alden yang terhormat, terima kasih atas tawarannya, tapi saya mohon maaf karena menolak tawaran itu, karena menurut saya jika Anda terus berdekatan dengan saya, yang ada saya malah tambah pusing."

"Ah, mana mungkin bisa seperti itu, belum saja mencoba sudah bilang seperti itu. Perlu kita coba mulai dari sekarang, Nona?" tawar Alden.

"Ogah! Kamu pulang aja deh sana, aku mau tidur nih. Tambah pusing kalau ngomong sama kamu," gerutu wanita itu.

"Kamu mau tidur? Wah, kebetulan banget nih, aku juga belum tidur. Kita bobo bareng yuk?" goda Alden.

"Kamu ini lama-lama ngelunjak ya," dengkus Rayna. "Apa karena aku tadi malam mabuk membuat tingkahmu aneh seperti ini?" tanya wanita itu. Dia jadi penasaran, apa benar yang dikatakan Alden itu memang benar? Pasalnya tingkah Alden yang awalnya biasa saja, kali ini terlihat begitu mesum. Bahkan Alden terang-terangan mengatakan seperti itu.

'Pasti ada yang nggak beres,' batin Rayna.

"Kamu baru menyadarinya?" tanya Alden remeh. "Apa kamu mau mabuk lagi, ingin melihat apa saja yang kamu lakukan padaku ketika mabuk?"

Rayna menggigit bibir bawahnya. "Jujur aja ya, aku sebenarnya nggak percaya sama apa yang kamu omongin, tapi karena aku ingin membuktikan kalau aku tidak seperti itu, oke deh aku terima tantangan itu. Dengan syarat ketika aku mabuk tolong divideokan, video itu jangan dipotong-potong apalagi diedit-edit. Gimana?"

Alden tersenyum menyeringai, kali ini dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan wanita itu, dan Alden sangat yakin jika kali ini dia tidak akan gagal.

"Oke, aku setuju banget. Jangan nyesal ya kalau semuanya sudah terjadi. Kamu yang lebih dulu memulainya," kata pria itu sambil tersenyum menyeringai.

Seketika Rayna menelan salivanya dengan susah payah. Dia berubah menjadi ragu karena melihat anggukan antusias yang Alden berikan.

'Apa keputusanku ini tepat?'

***

"Apa kamu siap?" tanya Alden.

"He'em. Kenapa? Kamu meragukanku?"

Alden menggeleng. "Aku hanya takut kalau kamu nantinya menyesal."

"Mana mungkin aku menyesal karena aku tidak melakukan apa-apa."

"Baiklah, silakan kita mulai. Kamu lihat ada kamera di ujung sana, di sana, di sana, dan juga ada juga di depan kamu," ucap Alden sambil menunjuk kamera satu persatu pada Rayna.

Rayna mengangguk paham. "Ingat, jangan diedit-edit ataupun dipotong-potong."

"Dengan senang hati. Pasti kamu akan terkejut dengan hasilnya."

"Aku tidak yakin itu. Omong-omong apa kamu ikut minum juga?"

"Ya, biar kita sama-sama mabuk."

'Dan kita berdua akan berakhir di ranjang,' batin pria itu melanjutkan.

"Jangan tersenyum seperti itu, itu sangat menakutkan," kata Rayna.

"Santai. Memang seperti ini caraku tersenyum, tolong jangan dipandang terus, nanti kamu bakalan terpesona padaku, gimana dong? Tapi nggak apa-apa sih, aku ikhlas kok kalau kamu terpesona sama aku."

Rayna memutar bola matanya malas. "Itu sih maunya kamu ya. Sorry aja kalau aku ini tipe wanita setia. Walaupun banyak sekali pria yang sering kulihat, tapi di hati aku cuma ada nama Zidan," ucap wanita itu dengan percaya diri.

"Tapi aku sangat yakin sih kalau kamu bakalan kepincut sama aku."

"Boleh juga sih, nanti kalau aku sudah jadi pacar kamu, aset kekayaan kamu biar aku yang pegang, biar aku nggak usah capek-capek kerja di restoran kamu," gurau Rayna. Sayangnya Alden menimpalinya dengan serius.

"Oke, aku setuju. Dengan syarat kamu jadi milikku satu-satunya, bukan hanya jiwa raga saja yang jadi milikku, tapi tubuhmu juga."

Rayna mengerutkan keningnya. "Bahkan kamu belum minum aja udah mabuk," cibir wanita itu.

Kasih menatap dua botol wine beserta gelas di meja itu sambil menghela napas panjang.

"Mari kita mulai saja," ucap wanita itu.

Alden mengangguk. Dia menumpahkan wine itu ke dalam gelas untuknya dan juga untuk Rayna, lalu memberikannya pada Rayna. Rayna menyambutnya dengan ragu.

"Mari kita mulai. Satu ... dua ... tiga."
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terjerat Gairah Sahabat Kekasihku Bab 11-15
1
0
Selamat Membaca ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan