Terjerat Gairah Sahabat Kekasihku Bab 21-25

4
0
Deskripsi

Selamat Membaca ❤️

Bab 21. Imannya Begitu Lemah


Alden sama sekali tidak membiarkan Rayna pulang. Padahal ini sudah sangat larut malam.

Entah mengapa Rayna mempunyai pikiran jika sedari tadi Alden terus saja mencari-cari kesalahannya walau sekecil apapun.

"Apakah aku sudah boleh pulang?" tanya Rayna pelan, kentara sekali jika wanita itu sangat letih.

"Memangnya aku sudah menyuruhmu untuk berhenti?" tanya Alden ketus.

Rayna menghela napas berat. "Tapi ini sudah larut malam, kenapa tidak dilanjutkan besok saja. Lagian untuk membersihkan ruanganmu itu sama sekali bukan tugasku." Kali ini Rayna memberanikan diri untuk berbicara seperti itu pada Alden, sungguh saat ini badannya terasa begitu remuk karena Alden sedari tadi selalu saja menyuruhnya.

"Kau lupa kalau hari ini kamu dihukum?"

"Ya, aku tahu kalau hari ini aku begitu lalai, tapi hukumanmu itu sangat keterlaluan, Alden," kata Rayna bengis.

"Oke, dalam kamusmu mungkin itu keterlaluan, tapi dalam kamusku yang namanya hukuman tetaplah hukuman yang harus dikerjakan, itulah konsekuensinya karena sudah melanggar aturan kerja di sini, dan perlu digarisbawahi kalau aku di sini bosnya jadi ya ... suka-suka aku dong mau melakukan apapun juga aku berhak."

"Iya, terserah kamu saja," jawab Rayna pada akhirnya, dia kembali mengelap meja kebesaran Alden.

Rayna heran karena sedari tadi Alden selalu mengawasinya, apa pria itu pikir kalau Rayna akan kabur dan meninggalkan pekerjaannya itu?

"Kamu tidak pulang?" Ini sudah jam sepuluh malam, wajar saja Rayna bertanya seperti itu, kan?

"Meskipun aku bersikap seperti ini pada karyawan tapi aku juga mempunyai sisi yang lembut, aku berbaik hati karena telah menemanimu bekerja. Harusnya kamu berterima kasih padaku."

Rayna tersenyum miris, haruskah dia tersanjung mendengar ucapan Alden? Tentu saja tidak.

"Kamu tidak capek terus-menerus duduk di situ? Dan apa kamu juga tidak lapar? Tidak gerah?" tanya Rayna beruntun.

Alden tersenyum sinis, dia sama sekali tidak fokus dengan pertanyaan yang Rayna berikan, matanya sedari tadi malah fokus pada tubuh Rayna yang selalu bergerak ke sana-sini ketika membersihkan meja yang ada di dekatnya.

Sudah dua kali dia merasakan tubuh itu dan sialnya malam ini hanya membayangkan bagaimana percintaan mereka waktu itu saja mampu membangkitkan gairah pria itu.

'Sial!' Alden mengumpat dalam hati sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

Bisa-bisanya dia bisa berpikir ke arah sana. Niat Alden sebenarnya bukan ke arah sana, dia sengaja mencari-cari kesalahan Rayna agar wanita itu tidak pulang cepat, dia tidak ingin Rayna bertemu dengan Zidan yang katanya akan melamar wanita itu malam ini.

Kebetulan Rayna memang kembali membuat kesalahan, Alden mendapati Rayna tertidur di gudang, padahal masih jam kerja, sempat-sempatnya wanita itu untuk tidur.

Sebenarnya Alden sangat kasihan pada wanita itu, karena sepertinya ada yang tengah wanita itu pikirkan membuat wanita itu hilang fokus pada pekerjaannya.

"Sepertinya kamu ngantuk, aku berbicara saja tidak kamu jawab. Sebaiknya kamu pulang saja," usul Rayna.

Alden menggeram tertahan, fokus tatapannya kini beralih pada pada bagian tubuh belakang Rayna bagian bawah.

'Ini kenapa posisi dia belakangi aku sih, atau jangan-jangan dia malah sengaja mau goda aku?' Pria itu sepertinya begitu kesal, karena baru seperti itu saja sudah tergoda. Kenapa dengan wanita itu imannya sangat begitu lemah?

"Gimana kalau aku makan kamu aja?" tanya Alden lirih.

Rayna terkesiap, dia langsung menghadap ke arah Alden.

"Apa maksudmu?"

Alden tertawa kecil, pria itu juga membuka kancing kemejanya, membuat mata Rayna melotot.

"Alden, sepertinya kamu begitu kelelahan makanya jawabannya selalu ngawur. Kalau mau pulang ya pulang saja, aku nggak apa-apa sendirian di sini." Rayna berusaha berbicara santai padahal dalam hatinya sudah ketar-ketir.

"Kok suasananya mendadak jadi gerah ya, nggak apa-apa, kan, kalau aku buka baju di sini? Lagian kamu nggak bakal lihat juga."

Tangan Rayna gemetar, dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk fokus pada pekerjaannya, tapi malah gagal fokus dengan tingkah Alden.

'Dia itu kenapa sih, malah buka baju di sini, apa nggak malu kalau ada orang lain yang lihat?'

"Rayna, bisa tolong pijatin pundakku? Sepertinya ini karena efek pegal-pegal," titah Alden.

Rayna meringis pelan, mana mungkin dia mau melakukannya.

"Maaf, aku lagi--"

"Kalau kamu mau pijitin pundak aku, hukuman kamu bakal aku kurangin. Sebentar lagi kamu boleh pulang. Emangnya kamu nggak mau pulang? Atau malah senang berduaan terus sama aku?" goda pria itu.

'Gimana ya, ambil atau nggak nih? Haduh kok mukanya kayak nggak meyakinkan gitu, aku takut kalau dia malah lagi ngerencanain sesuatu.'

"Nggak mau ya? Ya udah kalau nggak mau."

"Sebenarnya aku nggak bisa mijat," ujar Rayna.

"Cuma pegang-pegang aja kok, siapa tahu nanti mendingan."

Tanpa sadar Rayna mendekat, saat ini dia sudah berada di belakang Alden.

"Maaf, ya, aku mulai sekarang."

Mendengar ucapan Rayna, Alden tertawa pelan. "Kenapa mau sentuh tubuh aku harus izin dulu, bukannya kamu pernah menyentuhnya?"

Rayna memilih mengacuhkan pria itu, tangannya sedikit gemetar ketika memijat pundak pria itu.

Alden mendesah berat, niat hati ingin mengerjai wanita itu karena sudah berani menggodanya malah kini dia merasa terjebak dengan permainannya sendiri.

Alden menghadap ke arah Rayna. "Kenapa pijatanmu lemah sekali? Sini biar aku yang ajarin. Caranya tuh kayak gini," ujar Alden sambil memeragakan tangannya di pundak Rayna. "Gimana, enak, kan?"

Rayna tak menjawab, wanita itu malah memejamkan matanya, sepertinya tengah menikmati hasil pijatan Alden.

Wanita itu tidak sadar kalau saat ini sudah duduk di kursi kebesaran Alden, dia sama sekali tidak menyadari jika Alden yang mendorong tubuhnya hingga terduduk di situ.

"Kenapa kamu memejamkan mata? Apa pijatanku begitu enak?" tanya pria itu, saat ini posisi mereka begitu dekat.

Rayna terkejut karena hidung mereka saling bersentuhan, refleks wanita itu mendorong Alden, sayangnya tidak berhasil.

"Alden, tolong jangan seperti ini."

"Kenapa? Kamu takut kalau aku khilaf? Atau takut kalau kamu nggak kuat iman?"

Rayna terus menggeleng, tak berani menatap pria itu, kesalahan fatalnya adalah karena Rayna memejamkan mata, membuat Alden semakin berani.

"Jangan memejamkan mata, Rayna," geram Alden.

Sayangnya Rayna tidak menurut, membuat Alden tersenyum licik. Tanpa aba-aba pria itu mendaratkan bibirnya di bibir wanita itu. Tindakan Alden jelas saja membuat wanita itu terkejut, Rayna berusaha mendorong tubuh Alden, tapi yang ada malah Alden menarik tengkuk wanita itu, membuat ciuman itu lebih dalam.

"Percuma saja kamu melawan, lebih baik nikmati saja," kata Alden di sela-sela ciumannya.

Karena menurut Rayna usahanya sia-sia, dia pun akhirnya hanya bisa pasrah dan ikut menikmati permainan pria itu.

Alden tersenyum ketika Rayna ikut membalas ciumannya. Di dalam ruangan itu suasananya begitu sunyi, tapi tidak menurut mereka berdua. Suara decapan itu lebih mendominasi, membuat gairah mereka semakin menggebu-gebu. Sayangnya permainan mereka harus segera selesai karena ponsel Rayna mendadak berbunyi dan akhirnya membuat wanita itu tersadar jika apa yang baru saja dia lakukan itu salah besar.


Bab 22. Karena Aku Tidak Suka


"Halo, Zidan," sapa Rayna lirih, tubuhnya masih gemetar karena efek tadi, hampir saja mereka kebablasan.

"Kamu masih belum pulang? Kenapa dari tadi aku ketuk rumahmu nggak nyahut?" tanya pria itu dari ujung sana.

Rayna menggigit bibir bawahnya sambil melirik ke arah Alden.

'Duh, ini gimana ya cara ngomongnya, apa jujur aja kali ya.'

"A--aku masih di tempat kerja," ujar wanita itu dengan suara terbata.

"Masih di tempat kerja?" ulang pria itu, "Rayna, ini udah jam berapa? Kenapa kamu masih di sana?" Kentara sekali jika pria itu emosi.

"Ini memang salahku, karena kecerobohanku, akhirnya aku mendapat hukuman, tidak apa-apa, hanya malam ini saja," ucap Rayna mencoba meyakinkan.

"Nggak bisa gitu dong, Rayna. Alden benar-benar sudah keterlaluan. Dihukum sih dihukum, tapi kira-kira juga, ini udah malam. Kamu di situ sama siapa?"

Rayna tersentak, tidak mungkin dia jujur kalau di sini bersama Alden, yang ada nanti pria itu malah berpikir yang tidak-tidak.

"Aku sendiri."

Alden mengerutkan keningnya ketika mendengar Rayna berbicara seperti itu.

"Ya Tuhan, itu sangat bahaya, Rayna. Aku akan ke sana sekarang."

Rayna membulatkan matanya. "Eh, nggak usah. Bentar lagi aku akan pulang, tidak usah ke sini, ini sudah selesai kok," elak wanita itu.

"Beneran nggak apa-apa?" tanya Zidan memastikan.

"Iya, udah dulu ya. Ini aku mau pulang."

Tanpa mendengar ucapan Zidan, Rayna langsung mematikan sambungan teleponnya. Wanita itu menghela napas lega.

"Kenapa kamu mengatakan kalau sendiri, kenapa tidak mengatakan kalau kamu sedang bersamaku? Padahal baru saja kita melakukan bertukar saliva. Aku rasa kamu tidak melupakan hal itu."

Rayna terkejut bukan main karena tiba-tiba saja Alden berada di belakangnya.

"Alden, sepertinya aku harus pulang, aku takut kalau Zidan akan menungguku di rumah." Wanita itu mengabaikan ucapan Alden, dia sangat cemas jika Zidan akan datang ke tempat ini. Itu tidak akan Rayna biarkan.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Alden dengan kening berkerut.

"Aku janji, besok akan menyelesaikannya, janji," ujar wanita itu meyakinkan.

"Maaf, tapi sayangnya aku tidak mau. Aku tidak akan mengizinkanmu pulang kalau semua kerjaan belum selesai," kata pria itu tegas.

"Tapi, Alden--"

"Nggak ada tapi-tapian. Kerjakanlah secepatnya kalau ingin cepat pulang."

Tak lama setelahnya, kini giliran ponsel Alden berdering, pria itu tersenyum sinis ketika melihat siapa yang menghubunginya. Ya, dia adalah Zidan.

"Ada apa?" tanya Alden to the poin.

"Kenapa kamu membiarkan Rayna bekerja sampai selarut ini? Apa kamu gila?"

"Kenapa? Ada masalah? Hei, aku bebas melakukannya, karena di sini akulah bosnya," ujar Alden santai.

"Tapi kamu melakukannya semena-mena! Dia itu wanita, Alden. Kenapa kamu tega sekali menyuruhnya bekerja sampai larut malam?!" pekik Zidan dari ujung sana.

Alden menghela napas berat. "Justru dialah yang sudah semena-mena di sini, mentang-mentang tahu kalau aku ini teman kamu, dia bekerja seenaknya."

Rayna mendelik tajam, ingin mengeluarkan suara kalau dia tidak seperti itu, tapi dia urungkan karena takut akan ketahuan oleh Zidan.

'Aku baru kali membuat kesalahan, kenapa dia bilang kalau aku ini semena-mena?' keluh wanita itu dalam hati.

"Kalau begitu kamu pecat saja dia, daripada memberikan hukuman yang tidak jelas, sebaiknya kamu pecat dia," kata Zidan kesal.

"Pecat?" ulang Alden, "usulmu boleh juga, tapi bagaimana kalau dia bertanya apa alasannya dipecat? Apakah aku harus memberitahunya kalau kekasihnya sendiri yang menyuruhku?"

"Sialan kamu, Alden!" umpat Zidan dengan keras.

Bukannya tersinggung, Alden malah tertawa.

"Cepat suruh dia pulang!" titah Zidan.

"Kenapa jadi kamu yang atur-atur hidupku?" tanya Alden mulai kesal.

"Apa kamu nggak punya rasa belas kasihan sama perempuan?"

"Sorry, aku sedang tidak membicarakan tentang hal itu, ini masalah kerjaan, jadi aku harus bertindak tegas, supaya para karyawan tidak lagi kurang ajar."

"Aku yakin pasti Rayna tak sengaja melakukannya," bela Zidan.

"Apapun itu, aku hanya ingin mendisiplinkannya, sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi? Sebaiknya aku matikan."

"Aku belum selesai berbicara, aku--"

Tut. Alden mengedikkan bahunya acuh, kepalanya sedikit berdenyut karena mendengar omelan Zidan.

"Aku sangat yakin kalau Zidan sebentar lagi akan menyusulku ke sini, bisakah kamu memberikanku izin untuk pulang?" tanya Rayna sekali lagi.

"Aku rasa kamu tidak tuli dengan ucapanku yang tadi."

"Bagaimana kalau Zidan datang ke sini?" tanya Rayna cemas.

"Kamu takut?" tanya Alden balik.

"Aku cemas, takutnya dia berpikir yang tidak-tidak."

Alden tertawa sinis. "Bukannya kamu pernah bilang kalau ingin mengakhiri hubungan dengannya? Lalu sekarang kenapa kamu merasa takut?"

"A--aku ...."

"Kenapa? Apa kamu tidak jadi mengakhiri hubungan dengannya? Bukankah momen seperti ini sangat pas? Zidan melihat kita berdua ada di sini, aku rasa dia pasti akan berpikir telah terjadi sesuatu di sini, karena aku tidak memakai baju, bukankah begitu?"

"Tolong jangan lakukan seperti itu, aku hanya ... hanya menunggu momen yang pas, untuk saat ini dia sangat menikmati kebersamaan kami, aku tidak tega melakukannya," ungkap Rayna jujur.

"Kamu merasa kasihan dengannya atau kamu merasa nyaman dengannya?" tanya Alden sinis.

"Kalaupun keduanya itu benar, itu bukan urusanmu, Alden. Biarlah ini hanya menjadi urusan kami berdua."

Alden manggut-manggut, tetapi tangannya terkepal erat. "Ya, kamu ada benarnya juga. Aku memang tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah kalian."

Alden kembali menuju kursinya, dia memejamkan mata, sepertinya pria itu mengantuk.

Diam-diam Rayna mengamati Alden.

'Kenapa rasanya sulit sekali untuk membujuk pria itu, kenapa aku merasa kalau dia sengaja melakukan ini agar aku tidak pulang. Sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan?'

"Kalau kamu terus memperhatikanku yang ada pekerjaan kamu nggak selesai-selesai, Rayna. Memangnya kamu nggak mau cepat pulang? Atau mau menginap di sini bersamaku?"

Rayna tersentak, dari mana pria itu tahu kalau dirinya sedang memperhatikan pria itu? Padahal jelas-jelas mata Alden sudah terpejam.

"Semuanya sudah bersih, apa lagi yang harus aku kerjakan?" tanya wanita itu, mengalihkan pembicaraan.

Mata Alden kembali terbuka, dia melihat ke sekeliling untuk memastikan.

"Itu yang di bagian lemari tolong kamu bersihkan, di sana banyak debu."

Rayna menghela napas. "Aku sudah membersihkannya sebanyak lima kali, apa kamu sengaja menahanku di sini?" Akhirnya wanita itu memberanikan diri berkata seperti itu. "Sebenarnya apa tujuanmu melarangku untuk pulang? Dari tadi aku sudah cukup sabar meladeni kamu, aku menghargai kamu sebagai bosku, tapi semakin ke sini kamu semakin tidak beres."

Alden diam saja, dia terus menerus menatap wanita itu dalam diam.

"Kenapa tidak dijawab?" tanya Rayna lagi, "apa kamu dendam sama aku karena malam itu aku mengusirmu?"

Alden menggeleng. "Kamu yakin mau tahu jawabannya?"

"Iya."

"Karena aku nggak suka kalau kamu dekat-dekat sama Zidan."


Bab 23. Sebuah Kode


Rencana Zidan berantakan karena Rayna tidak datang ke tempat itu.

Tidak! Zidan sama sekali tidak menyalahkan Rayna, karena wanita itu memang tidak salah. Semua ini salah Alden, dialah penyebab tidak hadirnya Rayna.

Entah apa maksud pria itu memberikan hukuman pada Rayna, bukankah itu sudah keterlaluan?

Zidan menatap cincin yang ada digenggamannya dengan hampa, hari ini sudah sangat jauh dia rencanakan, sudah dia pikirkan secara matang-matang. Bahkan tempat sudah Zidan dekorasi secantik dan semenarik mungkin, tapi Zidan harus menelan kekecewaan, usahanya sia-sia.

Zidan mengambil ponsel di saku celana, menghubungi nomor wanita itu.

"Sudah pulang?" tanya Zidan to the poin.

"Sudah, kenapa?"

"Tidak, hanya ingin memastikan saja. Ya sudah, istirahatlah," perintah pria itu.
"Ini juga lagi tiduran, omong-omong tadi kamu katanya mau ngomong sesuatu, aku jadi penasaran apa yang mau kamu omongin."

Zidan tersenyum miris. "Nanti saja, tunggu ada waktu."

"Kenapa nggak sekarang aja?" tanya Rayna. Sepertinya wanita itu begitu penasaran.

"Ini adalah hal yang cukup serius, kita bicarakan hal ini harus saling bertatapan, saling menyelami perasaan, karena itu adalah momen yang begitu sakral," jelas Zidan sendu.

"Duh, kok aku jadi penasaran sih."

Zidan tersenyum miris, dia kembali melihat dekorasi-dekorasi yang dia buat secantik mungkin, lalu pandangannya beralih pada sebuah tulisan 'Marry me'.

"Harusnya kita saat ini bertemu, dan merayakan hari spesial kita, Rayna," lirih Zidan.

"Maaf, Zidan. Maaf, maaf karena sudah menghancurkan rencana kamu, ini semua kesalahanku."

Zidan menggeleng. "Kamu nggak salah, yang salah itu Alden, entah kenapa hari ini aku ingin meninju pria itu karena telah memperlakukanmu seenak jidat, lihat saja, aku akan memberikan dia pelajaran," geram pria itu.

Rayna tertawa pelan, dia membayangkan bagaimana wajah kesal pria itu. "Jangan seperti itu, dia memang teman kamu, tapi di sisi lain dia juga bosku. Wajar kok dia seperti itu, akunya juga yang salah karena sudah teledor. Omong-omong gimana kalau kita ketemu sekarang?" tawar Rayna, dia benar-benar tak enak hati karena telah mengingkari janji untuk bertemu pria itu.

"Nggak usah," kata Zidan tegas. "Kamu pasti sangat kelelahan, lagian ini sudah jam dua pagi, sebaiknya kamu istirahat saja."

"Gimana kalau aku gantikan dengan ini saja, mengobrol denganmu sampai pagi, sebagai ucapan maaf karena aku tidak datang menemuimu?" usul Rayna.

"Dan aku pastikan kalau aku jadi lelaki berengsek di dunia karena lebih mementingkan egoku. Rayna, aku senang kalau kamu ingin menemaniku, tapi aku nggak mau lihat kamu sakit, begadang itu nggak baik, kesehatan akan menurun. Percayalah, akan ada saatnya kita merencanakan momen spesial itu," jelas Zidan.

Rayna sangat bersyukur memiliki pria seromantis, sebaik, dan sepengertian seperti Zidan. Zidan pria yang begitu sempurna, sangat menyayangi dan menjaga pasangannya dengan tulus. Sayangnya tidak sebanding dengan apa yang Rayna lakukan, dirinya malah diam-diam tidur dengan sahabat pria itu.
Wanita itu teringat dengan ucapan Alden tadi, ketika pria itu mengatakan kalau dia tidak suka jika Rayna bertemu dengan Zidan.

"Karena aku nggak suka kalau kamu dekat-dekat dengan Zidan."

Rayna mengerutkan keningnya. "Kenapa? Kamu nggak ada hak buat ngelarang hal itu," tandas wanita itu, mulai kesal.

Alden manggut-manggut. "Tetap saja aku tidak suka melihatnya. Mungkin karena aku mulai menyukaimu," lirih pria itu.

Rayna tertawa miris, jadi ini sebabnya Alden selalu menyuruhnya membersihkan ruangan pria itu tanpa henti.

"Kamu keterlaluan, Alden!" geram wanita itu. "Kamu benar-benar jahat, aku kira kamu tidak selicik itu, tapi nyatanya ...." Rayna menggeleng sambil tersenyum kecut. "Terlalu cepat kamu bilang menyukaiku, karena pada kenyataannya kamu hanya tertarik dengan yang namanya bercinta. Hanya karena ego, kamu rela membiarkan orang lain menungguku terlalu lama?"

"Karena memang itu tujuanku, Rayna," sahut Alden santai.

"Kamu ...." Rayna tak bisa berkata-kata, dia melempar lap itu ke sembarang arah, persetan dengan pekerjaan atau hukuman itu, dia harus pergi dari sini sekarang, menemui Zidan yang mungkin tengah marah padanya.

Ketika Rayna sudah siap untuk pergi, tiba-tiba saja Alden mengucapkan kata-kata yang membuat hatinya terasa tercubit.

"Apa kamu ingin datang ke tempat Zidan? Apa kamu tidak pernah berpikir kesalahan apa yang telah kamu perbuat padanya? Dan apa kamu pantas untuk pria sebaik Zidan?"

"Rayna, apa kamu sudah tidur?"

Rayna tersentak kaget, dia menghela napas gusar.

"Hem, belum. Tapi sepertinya aku mengantuk, hoam." Wanita itu beralasan.

"Istirahatlah, Rayna. Aku mencintaimu."

"Aku ... juga mencintaimu," kata wanita itu dengan suara tercekat.

Setelah itu Rayna mematikan sambungan teleponnya, air matanya tiba-tiba saja meluruh.

Apa yang Alden katakan benar. Dia tidak pantas untuk pria sebaik Zidan. Sebelum semuanya terlambat, dia harus segera membuat keputusan sebelum semuanya terlambat.

***

"Jadi untuk apa kamu menyuruhku datang ke sini?" tanya Alden to the poin.

Sikap pria itu tidak seperti biasa, yang terkesan ramah dan juga suka mengejek Zidan sebagai pria pekerja keras. Namun Zidan tidak mau ambil pusing, mungkin Alden sedang mengalami masalah.

"Kenapa? Biasanya juga nggak masalah kalau aku nyuruh kamu ke sini. Jutek banget, kurang belaian ya?" ledek Zidan.

Alden tersenyum sinis. "Iya, dia lebih memilih kekasihnya daripada denganku, padahal kami sudah pernah menghabiskan malam bersama, tapi dia benar-benar bebal."

Zidan yang sedang minum langsung tersedak karena ucapan Alden.

"Maksud kamu?"

"Nggak usah dibahas."

"Nggak, nggak. Kali ini kamu udah kelewatan, Alden. Dia udah punya orang lain masih aja kamu ajak tidur, di mana akal sehat kamu?" tanya pria itu kesal.

Alden mengedikkan bahunya acuh. "Namanya juga udah nafsu, ya ... mau gimana lagi."

Zidan terus menggeleng. "Kamu benar-benar berengsek, Alden."

"Aku sudah berkali-kali memperingatkan kamu kalau aku ini berengsek."

Zidan terdiam cukup lama, dia sama sekali tidak paham dengan apa yang Alden maksud.

"Nggak usah mikir keras gitu, jadi untuk apa kamu menyuruhku datang ke sini? Apa ada hal penting?"

"Sebenarnya nggak penting-penting banget sih, aku cuma mau bicarakan soal Rayna."

Alden berdeham sejenak, entah kenapa mendengar nama wanita itu mampu membuat emosinya selalu naik.

"Kenapa membicarakan tentang dia padaku? Bukankah dia kekasihmu?" tanya pria itu kesal.

"Bukan, jadi dengar dulu. Aku tuh sebenernya kasihan sama dia karena sikap kejam kamu. Mungkin kamu itu kurang belaian atau gimana, sampai-sampai kamu lampiaskan kekesalan kamu itu ke dia."

"Kamu meragukan keprofesionalanku?"

"Bukan, bukan begitu. Maksud aku tuh gini--"

"Coba bahas intinya saja. Jangan bertele-tele," sela Alden cepat.

"Gini aja deh. Bisa nggak kalau kamu pecat Rayna?" tanya Zidan, membuat Alden mencengkram erat gelas yang ada di tangannya.

"Lagi? Bukankah waktu itu kamu juga menyuruhku? Kurasa kamu sudah tahu alasannya, kenapa nggak kamu suruh Rayna aja yang berhenti bekerja? Karena pembicaraan kita udah kelar, jadi sebaiknya aku pergi, ada yang harus aku kerjakan."

Alden bangkit dari duduknya, pergi meninggalkan Zidan begitu saja, dia menulikan telinga ketika Zidan terus memanggil namanya.

"Sorry, Zidan. Sedari awal aku udah memperingatimu, dan kini semuanya sudah terlambat untuk berhenti," lirih pria itu.


Bab 24. Terlalu Berpikir Positif itu Nggak Baik, Loh!


"Kenapa tuh si Alden, kok tingkahnya aneh banget?" tanya Rafa yang tiba-tiba duduk di sebelah Zidan.

Zidan yang tadinya terus memandangi kepergian Alden, tersentak kaget karena mendengar suara Rafa, kini Zidan menoleh ke arah Rafa sambil mengedikkan bahunya acuh.

"Nggak tahu, mungkin lagi ada banyak masalah," gumam pria itu.

"Ini cuma perasaan aku aja kali ya, akhir-akhir ini Alden tuh jarang banget datang ke sini, ke kafe kamu. Biasanya dia tuh hari-hari datang ke sini, tapi kok sekarang udah nggak lagi ya, terus aku juga ngerasa kalau sikap dia itu juga berubah. Kamu ngerasa juga nggak sih?" celetuk Rafa.

"Dia itu juga punya kesibukan kali, Fa. Mungkin waktu dia sering datang ke sini, dia lagi ada waktu senggang, atau dia nggak punya aktivitas lain. Jangan berpikir yang nggak baik, itu nggak boleh."

Rafa berdecak sebal. "Ini nih, kamu itu selalu aja berpikiran positif, memang nggak salah sih nerapin hal itu, tapi ada salahnya juga. Maksudnya kita itu jangan terlalu berpikir positif lah, kamu, kan, tahu sendiri Alden itu gimana," nasehat Rafa.

Zidan tertawa pelan. "Alden itu cuma berengsek dalam hal wanita, selebihnya dia tidak senegatif itu," bela pria itu.

"Aduh, susah banget ya bilangin kamu itu, bukannya akhir-akhir ini kamu selalu menyuruh Alden buat antar-jemput Rayna? Kamu nggak takut sesuatu hal akan terjadi?"

Zidan menepuk pundak Rafa beberapa kali. "Gini loh, Rafa. Aku tahu kalau Alden itu berengsek, tapi aku percaya sama dia, dia nggak mungkin bersikap seperti itu pada sahabatnya sendiri. Nggak mungkin Alden mau sama kekasih sahabatnya sendiri. Aku yakin Alden itu selalu jaga sikap. Harusnya aku bersyukur karena adanya dia, Rayna jadi tidak kesepian lagi, setidaknya ada yang nemenin dia ketika aku lagi sibuk. Paham, kan, apa maksud aku?" tanya Zidan serius.

Rafa menggaruk-garuk alisnya, heran saja dengan cara berpikir Zidan.

"Zidan, aku kasih tahu ke kamu ya, percaya sama orang itu boleh, tapi ada yang harus kamu tahu, masalah kekasih dan uang itu kita harus waspada, nggak boleh asal percaya. Kadang ada loh yang langsung silau ketika dihadapkan dengan kedua hal itu, kekasih dan uang," jelas Rafa.

Zidan menghela napas berat. "Intinya sih aku percaya sama Alden."

Rafa geleng-geleng kepala, kenapa susah sekali membuat pikiran temannya itu terbuka, dia takut saja sesuatu hal buruk akan terjadi menimpa Zidan.

"Aku kasih pencerahan sedikit ke kamu, ya. Terserah kamu mau percaya apa nggak, karena menurut aku kamu itu masih minim soal percintaan. Jadi ... tunggu dulu, aku harus bernapas dulu." Rafa menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan, "aku lanjutin ceritanya. Jadi, mereka itu kan sering ketemu, malah kabarnya katanya Rayna kerja di tempat Alden, ya?"

Zidan mengangguk membenarkan.

"Nah kan, itu udah jelas banget mereka sering ketemu. Berawal dari antar-jemput, sering ketemu, kamu nggak takut kalau mereka saling nyaman?"

Kali ini Zidan terdiam cukup lama. Mungkinkah apa yang Rafa katakan benar adanya?

"Lagian ya, aku tahu kamu itu sibuk banget, tapi ya jangan suruh orang lain buat jaga kekasih kamu, kalau apa yang aku bicarakan tadi benar, gimana? Tapi balik lagi sih ke kamu, kamu, kan, percaya banget sama Alden. Udah ya, aku mau lanjut kerja dulu, banyak pelanggan yang udah datang," ucap Rafa sambil menepuk pundak Zidan dengan pelan.

Rafa berharap jika pikiran Zidan mau terbuka. Dia bukan mau membela Zidan atau menyalahkan Alden karena sifat berengseknya, tapi Rafa hanya ingin sesuatu hal tidak akan terjadi, mengingat betapa cintanya Zidan pada kekasihnya itu.

***

Semenjak Rafa berbicara seperti itu, Zidan sering banyak melamun.

Mungkinkah Alden akan tega melakukan hal itu padanya?

Mungkinkah Rayna merasa nyaman ketika berdekatan dengan Alden? Mungkinkah ....
Zidan menggeleng tegas, cepat-cepat mengenyahkan pikiran buruknya. Dia ingin percaya pada Alden, tapi ucapan Rafa selalu terngiang-ngiang di kepalanya.

"Waspada itu perlu, Zidan."

Kata-kata itu yang selalu dia ingat dari Rafa. Yang membuat Zidan heran, kenapa tiba-tiba Rafa berkata seperti itu, apa Rafa mengetahui sesuatu? Atau hanya ingin mengingatkan dirinya saja?

Karena pusing memikirkan yang tidak pasti, dia pun memutuskan menghubungi kekasihnya.

"Halo, Sayang," sapa Zidan sambil tersenyum tipis ketika panggilannya langsung diangkat oleh wanita itu.

"Halo."

Zidan senyum-senyum sendiri ketika mendengar gumaman dari wanita itu.

"Baru bangun ya?"

"Iya, badan rasanya capek banget, makanya sengaja bangun siang-siang," keluh wanita itu.

"Berarti belum sarapan dong?"

"Belum. Namanya juga baru bangun, itu aja kalau nggak dengar bunyi ponsel, mungkin aku masih belum bangun juga."

"Dasar, cantik-cantik kok kebo," ledek Zidan.

"Ih, biar aja. Gini-gini kamu juga suka," cebik wanita itu dari ujung sana.

"Iya ya, untungnya aku sayang sama wanita kebo kayak kamu."

"Apaan sih, aku bukan kebo ya."

"Kayaknya bagus juga kalau nama itu dijadikan nama panggilan kesayangan."

"Jadi kamu mau panggil aku kebo? Enak aja, mending panggil nama aku aja daripada nama itu, apaan panggilan kesayangan," dengkus Rayna.

Zidan tertawa terbahak-bahak. Semakin Rayna jengkel, malah semakin membuatnya senang.

"Biar beda dari yang lain. Panggilan sayang, ayang, yang, ayah-bunda, dinda-kanda, honey, baby, bee, itu semua udah biasa. Supaya lebih berkesan, ya itu aja namanya, kebo, sesuai dengan kebiasaan kamu yang suka bangun siang-siang."

"Nggak mau ah, panggil nama aku aja."

"Oke, oke. Terserah kamu aja. Jadi, omong-omong mau sarapan apa nih? tanya Zidan mengalihkan pembicaraan.

"Nggak tahu nanti, apa yang ada di dapur, itu yang aku masak."

"Mau nasi Padang atau sate, atau soto, atau mau request?" tawar Zidan.

Rayna terdiam cukup lama, membuat kening pria itu berkerut.

"Kenapa nggak dijawab?"

"Harus dijawab ya?"

"Ya harus dong, emangnya kamu nggak laper?"

"Aku nggak mau ngerepotin kamu."

"Aku lagi nggak sibuk, sekalian mau ketemu sama kamu, kangen berat nih. Ada hal yang ingin aku katakan juga."

Zidan mendengar Rayna menghela napas berat.

"Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku tunggu ya, nggak pake lama."

"Siap Bosku, jadi mau pesan apa?"

"Apa aja deh, kalau lapar pasti semuanya diembat."

Zidan yang mendengarnya tertawa pelan. Setelah itu dia mematikan sambungan teleponnya.

'Sepertinya nggak ada yang perlu dikhawatirkan, mungkin ucapan Rafa nggak benar, tapi memang sebaiknya aku harus lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Haduh, maafin aku, Den, karena sempat berpikir negatif tentang kamu, semua ini karena Rafa, tapi beruntung sih punya dia, mungkin dia hanya ingin mengingatkan aku saja agar jangan terlalu mempercayai orang lain,' batin pria itu.


Bab 25. Berakhir Seperti ini


Rayna tersenyum sumringah ketika mendengar bunyi bel dari rumahnya.

"Itu pasti Zidan, kok cepat banget ya nyampainya," gumam wanita itu.

Meskipun begitu, dia tetap membukakan pintu rumahnya begitu semangat.

"Pasti kamu ngebut-ngebut di jalan ya, kok cepat banget sampai--" Ucapan Rayna terputus, matanya membulat ketika melihat seseorang yang saat ini ada di hadapannya.
Dia bukan Zidan, tapi Alden.

"Kamu? Ngapain datang ke sini?" tanya Rayna heran.

Alden mendesah berat. "Aku hanya memastikan kalau kamu baik-baik saja."

"Aku baik-baik saja."

"Terus kenapa tadi tidak berangkat kerja?" tanya pria itu.

"Karena aku capek, sudah, kan? Kalau begitu kamu udah boleh pergi."

Lagi-lagi Alden mendesah. "Apa seperti itu cara memperlakukan tamu?"

"Alden, please. Aku nggak suka basa-basi. Sebentar lagi Zidan akan datang, aku tidak mau kalau dia nantinya salah paham. Sebaiknya kamu pergi," usir wanita itu.

Alden mengabaikan ucapan Rayna, dia terbatuk-batuk kecil sambil memegangi tenggorokannya.

"Sepertinya aku ingin minum, bolehkah aku meminta air minum?" tanya pria itu.

Rayna mendengkus sebal. "Tunggu sebentar."

"Nggak disuruh masuk?"

"Ya udah, cepat masuk," kata wanita itu jengah.

Pasalnya Rayna merasa jika Alden hanya beralasan saja, entah apa lagi yang akan pria itu lakukan.

"Duduk di sana, jangan ke mana-mana, aku akan mengambilkan air minum untukmu," ucap Rayna sambil menunjuk ke arah sofa.

"Siap."

Rayna pun pergi menuju ke dapur, tak lama kemudian dia kembali menemui Alden sambil membawa air putih.

"Aku hanya punya air putih, kalau mau diminum ya syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa."

"Diminum kok, tenang aja," sahut Alden, pria itu menenggak air putih itu hingga tandas.

"Udah nggak pengin minum lagi, kan? Jadi sekarang udah bisa pulang dong?" sindir wanita itu.

"Segitunya banget ngusir aku," kata Alden miris.

"Bukan apa-apa ya, aku cuma takut kalau nanti Zidan lihat kita berdua ada di sini, nanti dia malah mikir yang nggak-nggak," jelas Rayna.

"Takut? Takut mana ngelihat kita berdua di sini, atau takut kalau dia tahu dengan kelakuan kita berdua?"

"Masih aja ingat soal itu, aku, kan, udah bilang, masalah itu anggap aja nggak pernah terjadi. Sepertinya kamu susah banget ya lupain kejadian itu!" desis Rayna.

Bagaimana tidak, Alden selalu saja membahas tentang urusan ranjang, tentu saja membuatnya jengah.

"Oh ya jelas sulit untuk dilupakan, itu adalah kali pertama aku tidur dengan seorang perawan. Mana mungkin aku gampang melupakannya."

Wajah Rayna tampak memerah, antara malu dan juga marah karena mendengar ucapan pria itu.

"Sekarang kamu boleh pergi," usir Rayna, wanita itu langsung berdiri dari duduknya, lalu berjalan menuju ke arah pintu. "Silakan keluar," katanya lagi.

Bukannya menurut, Alden malah duduk sambil menyilangkan sebelah kakinya, tangannya bersedekap di depan dada.

"Kalau aku nggak mau, bagaimana?" tanya pria itu seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Sebenarnya mau kamu itu apa sih?" tanya Rayna kesal, "aku dari tadi udah bicara baik-baik sama kamu, tapi kamunya malah ngelunjak."

"Kamu tanya mau aku itu apa? Sebenarnya sederhana aja sih, mau aku itu kamu," sahut pria itu santai.

"Nggak jelas banget. Aku tau kalau kamu itu masih belum bisa move on dari tubuhku, kan? Halah! Otak kamu itu memang isinya selalu mesum. Sebaiknya kamu pergi sekarang!" usir Rayna sekali lagi.

Alden tertawa kecil, salah besar jika Rayna berpikir seperti itu.

"Aku menyukaimu."

"Aku tahu kalau ini adalah sebuah trik untuk memancing wanita ke ranjangmu, iya, kan?" tanya Rayna sinis.

Alden mengangkat bahu. "Terserah kamu mau mengartikan ucapanku seperti apa. Pada intinya aku memang menyukaimu."

"Aku tidak percaya, dan juga tidak mau tahu."

"Oke, aku akan membuktikannya, dan aku rasa kamu juga nggak akan sanggup menolaknya, karena aku sangat yakin kalau kamu juga tertarik denganku. Mungkin masih terasa abu-abu, tapi kalau sering dipoles, bukankah semakin lama semakin terlihat?" tanya pria itu diiringi senyum menyeringai.

Rayna tak paham dengan apa yang Alden ucapkan, menurutnya begitu ambigu. Namun, rasa penasaran itu segera dia tepis, kini berganti perasaan was-was karena Alden berjalan mendekatinya.

"Kamu mau apa?" tanya wanita itu cemas.

"Aku akan membuktikan kalau kamu juga menyukaiku atau tidak."

***

"Udah kamu beli semua?" tanya Zidan sambil membuka kantong plastik itu satu persatu, untuk memastikan kalau pesanannya semua terbeli.

"Ada yang belum," sahut Rafa, pria itu langsung menenggak air mineral itu hingga tandas, lalu bersendewa membuat Zidan melihatnya dengan tatapan jijik.

"Haus banget, di luar cuacanya panas banget, mana beli itu pakai antri," keluh Rafa ketika melihat tatapan Zidan.

"Terus yang nggak kebeli apa?" tanya Zidan lagi.

"Soto kayaknya belum deh, tadi kamu pesan itu, kan, ya? Tadi aku ke warung makan pak Mamat, tapi warungnya tutup, kayaknya hari ini nggak jualan. Coba ganti menu aja, bakso atau mie ayam," usul Rafa.

Zidan menggeleng tak setuju. "Waktu itu dia udah makan kedua menu itu, kalau aku beli lagi takutnya nanti dia bosen."

Rafa memutar bola matanya malas. "Yaelah, syukur-syukur udah dibeliin juga, ngapain sih harus milih-milih segala. Emang ya, wanita itu kenapa sih banyak maunya, udah beli nggak pake uang dia, ngerepotin pula. Huh! Untung aja aku nggak punya pacar," omel pria itu.

"Dia nggak minta, ini semua memang inisiatif aku, kamu ini kenapa sih sensitif banget. Kamu ngomong kayak gitu karena belum punya pacar, besok-besok kalau udah punya baru tahu rasa."

Rafa mengedikkan bahunya. "Nggak ah, punya pacar itu ribet, di matanya itu uang, uang, dan, uang. Emangnya cari uang itu gampang apa, susah kali."

Zidan hanya bisa geleng-geleng kepala ketika mendengar keluhan Rafa, sama persis dengan apa yang Alden katakan waktu itu.

"Ya sudah, mau pacaran atau nggak, itu urusan kamu, sekarang aku mau ke tempat yayangku dulu, jangan lupa handle kafe ini ya, aku keluar nggak lama kok."

"Iya, iya, kamu tenang aja."

Zidan pun langsung meninggalkan kafe tersebut, pria itu menyetir mobilnya sambil tersenyum-senyum sendiri, dia membayangkan wajah ceria Rayna ketika menerim makanan sebanyak ini. Ah, bukan hanya itu saja, Zidan sangat menyukai cara makan Rayna, wajah wanita itu begitu lucu ketika mulutnya penuh karena terisi makanan.

Selang beberapa menit, akhirnya Zidan sudah sampai di pelataran rumah Rayna, pria itu mengerutkan keningnya ketika melihat ada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah kekasihnya.

"Bukannya itu mobil Alden? Ngapain dia ada di sini?" gumam pria itu.

Zidan cepat-cepat keluar dari mobilnya, dia sangat penasaran dengan kedatangan Alden.

Tepat berada di depan pintu, samar-samar dia mendengar suara Rayna dan juga Alden.

"Aku tanya sekali lagi, kamu mau apa?"

"Ingin tidur denganmu sekali lagi, aku ingin tahu, ketika aku di atas tubuhmu, kamu bisa melawanku atau tidak. Bukankah kemarin-kemarin kamu sangat menikmatinya?"

Deg!

Tubuh Zidan hampir limbung ketika mendengar Alden berbicara seperti itu, napasnya terasa memburu, dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

"Berengsek! Sebenarnya apa yang terjadi?"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terjerat Gairah Sahabat Kekasihku Bab 26-30
6
1
Selamat Membaca ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan