Dinikahi CEO Galak Part 1-5

1
0
Deskripsi

Embun tak pernah menyangka, mendapat pekerjaan baru malah berujung petaka.

Berawal karena telah memergoki bosnya, kini dia berakhir menjadi istri si Tuan Gio.

"Sebelumnya saya tidak pernah melakukannya dengan wanita, apakah kamu bisa mengajari saya?"

"Maaf, Pak. Meskipun saya wanita normal. Saya juga belum mempunyai pengalaman malam pertama."

Malam pertama mereka yang harusnya begitu romantis, malah berakhir konyol.

Follow IG : noona_ekha

Bab 1. Nggak Waras

"Pagi, Pak," sapa Embun ketika melihat bosnya sudah berada di kantor.

Yang disapa hanya melirik wanita itu sekilas, enggan membalas sapaan dari karyawan itu, dia berjalan acuh.

"Idih, sombong banget. Mentang-mentang ganteng," cibir Embun.

Embun kembali melanjutkan pekerjaannya. Bicara tentang pekerjaan, dia baru saja keterima di perusahaan ini, MH Group, itulah namanya. Perusahaan yang bergerak dalam bidang makanan ringan. Ya, meskipun sebagai office girl, tetap harus dia syukuri mengingat betapa besarnya perusahaan yang saat ini tempat dia mengais rezeki.

Sedang fokus mengepel lantai, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seseorang wanita yang Embun tak tahu dari mana datangnya.

Embun menatap wanita itu dari atas sampai bawah, matanya menatap dengan takjub.

'Ih, cantik banget. Bodynya juga seksi, pasti pacarnya pak Gio,' gumam Embun dalam hati.

Wanita itu berjalan menuju ruangan Gio, dengan santainya menginjak lantai yang baru saja Embun pel. Jelas lantai itu belum kering, dan lihatlah, lantai itu kembali kotor.

Embun menghela napas berat. Nasib menjadi orang kecil memang seperti itu, selalu saja dipandang rendah.

Embun pun kembali mengulang mengepel lantai tersebut, dengan mulut komat-kamit tak jelas, yang pasti dia sedang mendumel tentang wanita itu.

"Aku tarik aja kata-kataku yang tadi, dia sama sekali nggak ada anggun-anggunnya. Cantik sih cantik, tapi etikanya itu loh, minus. Sama aja kayak pak Gio, ah pantas saja mereka serasi. Sama-sama angkuh gitu kok," gerutu Embun.

"Embun!"

Embun memutar bola matanya jengah, yang baru saja memanggilnya adalah teman kerjanya. Bukan teman sih, Embun merasa kalau si Rika itu tidak suka padanya. Entahlah, Embun juga tidak tahu alasannya apa, tapi kalau Embun duga sih, karena lebih cantikan dirinya daripada Rika, makanya wanita itu merasa tersaingi. Ck! Terlalu percaya diri sekali, punya pacar aja nggak.

Embun pura-pura tidak mendengarnya, dia lebih fokus mengepel lantai itu.

"Heh! Dipanggil itu nyahut. Gue sumpahin budek baru tahu rasa," cibir Rika.

"Kamu panggil aku? Kok aku nggak dengar ya?" kata wanita itu pura-pura.

"Halah, alasan aja kamu itu. Dari tadi kenapa kamu ngepel di sini-sini aja? Harusnya di bagian ruangan bos kamu juga yang bersih-bersih."

Embun mengerutkan keningnya. "Loh, bukannya di bagian ruangan bos itu kamu ya? Sejak kapan jadi aku?" tanya Embun heran.

"Nggak usah bantah deh! Aku itu senior di sini, jadi jangan macam-macam. Baru aja kerja belum ada sebulan, udah bertingkah aja nih anak," ucap Rika sambil berkacak pinggang.

Embun terlalu malas meladeni Rika, wanita itu bisa saja memutar balikkan fakta. Embun yang tidak suka keributan dia hanya mengangguk mengiyakan. Dia berjalan menuju ke ruang bosnya dengan malas.

Sebenarnya Embun tahu kenapa Rika tidak mau lagi membersihkan ruangan bos itu, dari desas-desus yang pernah Embun dengar, Rika kerap kali menggoda pak Gio, mulai dari gombalan-gombalan receh, sampai ke tahap yang lebih intim.

Nahasnya, Gio bukannya tergoda malah menatap Rika penuh jijik. Bahkan mengancam akan memecat Rika jika wanita itu masih bertindak memalukan di depan pria itu.

"Hebat banget pak Gio, imannya kuat banget. Kalau laki-laki lain pasti udah langsung disantap tanpa pikir panjang. Ibaratnya kucing dikasih ikan asin, pasti langsung dilahap. Ah, seandainya saja aku punya pacar seperti itu." Ini nih, halunya udah mulai kambuh.

***

Embun tampak bimbang ketika ingin memasuki ruangan bos itu, dia baru ingat kalau di dalam sana tengah ada wanita cantik. Pikiran wanita itu sudah ke mana-mana, membayangkan apa yang sudah terjadi di dalam sana.

Mustahil rasanya jika ada seorang wanita dan pria tengah berduaan tidak melakukan apapun.

"Mereka kira-kira lagi ngapain ya? Apa lagi bibir ketemu bibir, atau lebih," gumam wanita itu. Membayangkan hal itu membuat Embun geli sendiri.

"Gio, please. Kali ini aja aku mohon, jangan tolak aku."

Samar-samar Embun mendengar suara wanita dari dalam sana, membuat jiwa kekepoannya meronta, dia mendekatkan telinganya di pintu itu.

"Menjijikkan. Sebaiknya kamu pergi dari sini sebelum satpam yang akan menyeretmu!"

Embun bergidik ngeri. Dia baru tahu ternyata Gio sekejam itu.

"Aku mohon, Gio."

Gubrak!

"Aduh, kampret," ringis Embun. Saat ini wanita itu jatuh tersungkur. Dia tak menyadari jika Gio dan juga wanita itu tengah menatapnya begitu tajam.

Embun berusaha untuk berdiri, ketika dia berdiri dengan tegap dia baru menyadari ada yang salah. Embun menatap sekeliling ruangan itu, matanya terbelalak ketika tatapan Embun dan Gio bertemu.

'Mampus aku! Kenapa aku bisa jatuh tepat di pintu itu? Itu pintu juga perasaan tadi ketutup rapat deh, kok aku bisa jatuh?' gumam wanita itu dalam hati sambil menggaruk kepalanya.

"Pak," sapa Embun sambil mengangguk tanda memberi hormat, tak lupa juga dia berikan cengiran khasnya itu.

"Ngapain kamu ada di sini?" tanya wanita itu sinis.

"Sa--saya mau membersihkan ruangan ini, Bu, Pak," katanya tak enak hati.

"Keluar! Ganggu aja." Suara wanita itu meninggi.

"Baik." Embun menurut saja, daripada terjadi yang tidak-tidak, lebih baik dia cepat-cepat pergi dari sini.

"Tunggu!"

'Astaga! Apa lagi ini, jangan-jangan Pak Gio marah sama aku. Mampus aku, baru juga kerja di sini, ngerasain gaji aja belum, masa mau dipecat.'

"Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Embun.

"Bersihkan ruangan ini." Suara pria itu kini kembali normal, membuat Embun langsung terpesona.

'Aduh, meleleh hati ini. Berikan aku jodoh seperti dia, Tuhan. Yang ganteng, kalau dia tidak berjodoh denganku, asistennya juga nggak apa-apa, Tuhan. Aku mau.'

"Kamu dengar apa yang saya katakan barusan?"

Embun terlonjak kaget, kehaluannya itu seketika musnah ketika mendengar suara berat Gio.

"Dengar, Pak. Dengar kok. Kalau begitu saya langsung mulai aja ya, Pak. Abaikan saja saya ada di sini, anggap saja saya tidak ada."

Embun menyapu ruangan itu dengan cepat, sesekali matanya melirik pada kedua sejoli itu yang tengah bersitegang.

Embun gelagapan karena lagi dan lagi tatapannya bertemu dengan Gio.

'Dia kenapa ngeliatin aku terus sih, padahal ada yang lebih cantik di depannya itu.'

"Kemarilah," titah Gio sambil melambaikan tangan ke arah Embun.

"Saya, Pak?"

"Ya, kamu. Memangnya siapa lagi."

Mau tak mau Embun mendekati pria itu.

"Ada yang bisa saya ban--"

Ucapan Embun terpotong karena Gio lebih dulu menarik tangannya dan kini Gio tengah memeluknya dari samping, jelas saja tubuh wanita itu menegang.

"Aku tahu kalau kamu itu cemburu, kenapa harus berpura-pura sih," ucap pria itu, suaranya membuat Embun seketika merinding.

"Ma--maksud Anda apa ya, Pak?"

"Aku tetap cinta sama kamu kok. Beberapa wanita yang berusaha menggodaku, tetap saja hatiku akan memilihmu. Jadi jangan cemburu ya? Kamu cantik deh kalau lagi cemburu."

'Wah, nggak waras nih orang. Habis minum obat apa sampai kesambet kayak gini.'

Bab 2. Keramas


"Ini beneran pacar kamu?" tanya wanita itu sambil menatap Embun dari atas sampai bawah.

"Ada yang salah?" tanya Gio datar.

Wanita itu tertawa mencemooh. "Pacar kamu cleaning servis? Seriusan? Nggak salah?"

Gio tak menanggapi ucapan wanita itu, tetapi tangannya mencengkram erat pinggang Embun, membuat wanita itu meringis kesakitan.

"Terus kenapa?" Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Gio kembali membuka suara.

"Hahahaha." Wanita itu tergelak kencang, "ternyata selera kamu rendahan sekali, coba buka mata kamu lebar-lebar, masih cantikan aku ke mana-mana, masih seksi aku dibandingkan dia, coba kamu lihat tubuhnya itu. Apa kamu sama sekali tidak bisa melihat hal itu, Gio?" tanya wanita itu remeh.

Gio mendesah berat. "Kalau aku sudah cinta sama dia mau bagaimana lagi. Iya, kan, Sayang?" tanya pria itu seraya menoleh ke arah Embun.

Embun hanya bisa meringis pelan ketika Gio mencubit pinggang wanita itu.

'Aduh, ini gimana jawabnya sih, terus kenapa dia cubit-cubit pinggang aku, mana keras lagi, apa dia lagi kasih kode?' batin Embun.

Karena tak mendapat jawaban dari Embun, Gio berdeham cukup keras, kali ini pandangannya kembali ke arah wanita itu.

"Sora, sepertinya wanitaku sudah salah paham. Sebaiknya kamu segera pergi dari sini, aku ingin berduaan dengan wanitaku," usir pria itu dengan suara tegas.

"Kamu bisa pikirkan hal ini baik-baik, Gio. Aku bisa gantikan posisi wanita miskin ini, aku juga rela kasih apapun yang aku punya--"

"Keluar!" bentak Gio, membuat Embun dan wanita itu terkejut bukan main.

'Ya Tuhan, kenapa dia teriak di dekat telingaku sih,' keluh Embun dalam hati.

Sedangkan wanita yang bernama Sora itu mengepalkan tangannya, tak lama kemudian dia langsung pergi dari ruangan itu.

"Kamu juga kenapa masih diam di sini?"

Embun lagi-lagi tersentak, sedang asyik melihat wanita itu keluar, tiba-tiba saja dikejutkan oleh suara Gio.

"Ya, Pak?"

"Kamu juga keluar!" usir pria itu.

'Ya ampun, ganteng-ganteng kok hobinya teriak-teriak sih,' batin Embun.

"Tapi, Pak. Saya belum mengerjakan tugas saya di sini, saya ingin--"

"Aku bilang keluar ya keluar! Apa kamu tuli, hah?"

"Nggak, Pak. Kalau begitu saya pamit undur diri."

Belum sempat Gio menjawab, Embun sudah berlari keluar lebih dulu.

"Gila, gila, gila. Belum ada satu jam di sana, tapi udah bikin jantung deg-degan, kalau tiap hari aku ada di ruangan itu, bisa-bisa mati mendadak karena selalu dengar dia teriak-teriak gitu," gumam wanita itu sambil geleng-geleng kepala.

"Hei, kau!"

'Duh, apa lagi ini.'

Embun langsung mengentikan langkahnya, dia kembali menoleh ke samping, lalu tersenyum manis tapi terkesan dipaksakan.

"Saya, Pak?"

Gio mendengkus sebal. "Memangnya siapa lagi kalau bukan kamu. Cepat sini!" titah pria itu yang tidak bisa dibantah.

'Gini-gini, kan, aku punya nama,' dengkus Embun dalam hati.

Andai saja dia bisa berbicara langsung seperti itu pada Gio, tapi sayangnya dia tidak mempunyai keberanian, menurutnya Gio itu berbeda dengan orang-orang yang selama ini dia temuinya. Galak!

Mau tak mau Embun mendekati pria itu.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Embun takut-takut.

"Nama."

"Nama?" ulang Embun dengan kening berkerut.

"Nama kamu!"

Embun manggut-manggut. "Perkenalkan nama saya Embun, Pak. Saya karyawan baru di sini, baru beberapa hari kerja. Jadi--"

"Aku cuma tanya nama kamu," ujar pria itu sinis. "Bawa peralatan bersih-bersih itu dari ruanganku, sekarang!"

***

"Kenapa tuh muka? Jutek banget, pasti gagal ya goda pak Gio," kata Rika pedas.

"Enak aja, emangnya aku itu kamu," ujar Embun telak.

Mendengar cara bicara Embun yang agak ngegas, semakin membuat Rika curiga kalau apa yang dia pikirkan ternyata benar.

"Hahahaha, habis diapain kamu sama Pak Gio? Pasti dicaci maki habis-habisan, kan? Makanya jangan coba-coba goda dia, nggak bakalan mempan, sekalipun kamu nggak pakai baju di depan dia, dia juga nggak bakal tertarik sama kamu."

Perut Embun yang tadinya terasa begitu lapar, tapi ketika mendengar ocehan Rika, semua rasa lapar itu seketika lenyap.

Embun menatap Rika dengan senyum remeh. "Atau jangan-jangan kamu yang seperti itu?" tebaknya, yang ternyata memang benar.

Ketika Rika ingin menjawab, tiba-tiba saja ada yang memanggil Embun begitu nyaring, baik Embun dan Rika langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Embun, dipanggil sama Pak Gio," kata wanita itu, Resa namanya, dia tampak begitu ngos-ngosan, sepertinya habis berlari.

"Kenapa?" tanya Embun dengan kening berkerut.

"Nggak tahu juga sih, tiba-tiba aja dia nyuruh aku buat panggil kamu, cepat sana datang ke ruangannya, takutnya nanti dia marah, kalau marah dia bahaya," ujar Resa, tampak ketakutan.

Embun berdecak kesal. "Oke deh, mudahan aja nggak ada apa-apa," gumamnya pelan.

"Hati-hati tuh, palingan juga dapat surat peringatan karena sudah berani merayu Pak Gio," sindir Rika.

Embun hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tuduhan tak masuk akal yang Rika berikan.

Tanpa berkata-kata lagi, Embun pergi meninggalkan makanannya itu, berjalan menuju ruangan Gio.

Tepat di depan pintu ruangan Gio, Embun gugup setengah mati, ragu ingin masuk atau tidak.

Setelah menimbang-nimbang jawaban antara iya atau tidak, akhirnya wanita itu memutuskan untuk mengetuk pintu tersebut.

Tok ... tok ... tok ...

"Masuk!"

Dengan tangan gemetar, Embun memegang kenop pintu tersebut, setelah pintu itu terbuka, dia melihat Gio sedang asyik menatap layar komputernya, dan juga Embun melihat ada seorang wanita yang tengah berdiri di samping pria itu.

Embun menelan salivanya dengan kasar ketika melihat penampilan wanita itu tampak acak-acakan.

'Haduh, siapa lagi wanita ini? Dan juga kenapa pakaiannya juga seperti itu, apa yang sudah terjadi?' batin Embun bertanya-tanya.

"Kemarilah!" titah pria itu seraya melambaikan tangannya, memberi kode agar Embun segera mendekat.

Embun pun menurut, dia akhirnya mendekati pria itu dengan pandangan menunduk. Dia sama sekali tidak berani menatap Gio.

"Duduk!"

"Duduk?" Embun terperanjat sambil menoleh ke sana-sini.

'Duduk di mana maksudnya, masa iya di meja?'

"Di sini, dipangkuanku."

Mata Embun membulat. "Tapi, Pak, sa--saya--"

"Kamu ini kenapa sih, kalau nggak ada orang aja suka banget duduk dipangkuanku, giliran ada orang kenapa kamu malah malu-malu?"

Embun tak menjawab, dia hanya bisa garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Yang lebih mengejutkan lagi, Embun ditarik paksa oleh pria itu agar duduk dipangkuan pria itu.

"Jadi, bilang pada mamaku untuk tidak menjodoh-jodohkan aku dengan wanita-wanita pilihannya, karena sebenarnya aku sudah punya dia, paham?"

Embun tak bisa berkutik sedikit pun, bahkan hanya untuk sekadar bernapas saja dia tampak kesulitan.

"Kamu pacaran dengan office girl?"

"Itu tidak penting, sebaiknya kamu pergi dari sini."

"Oke, baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi," kata wanita itu pasrah.

'Ah sifatnya beda sekali dengan wanita bar-bar yang tadi,' batin Embun.

Setelah wanita itu pergi, tiba-tiba saja Gio mendorong tubuh Embun, membuat wanita itu memekik nyaring.

"Bisa-bisanya kamu duduk di dekatku dengan kondisi tidak pernah keramas," sentak pria itu sambil berkacak pinggang.

"Maaf, Pak. Saya tidak tahu maksud Anda itu apa, dan masalah keramas, saya selalu keramas, Pak."

"Terus kenapa tadi kamu garuk-garuk kepala? Huh, menyebalkan sekali. Cepat keluar dari sini, jangan lupa keramas. Ingat, K-E-R-A-M-A-S!" tekan Gio dengan mata melotot.


Bab 3. Bos Kampret

Sejak kejadian itu, Embun kerap kali datang ke ruangan Gio. Entah apa maksud pria itu, tapi yang Embun tangkap, Gio selalu bersikap manis padanya ketika ada wanita yang datang ke ruangannya.

Sebenarnya Embun ingin sekali bertanya, tapi ketika dia ingin membuka mulut, suaranya tiba-tiba saja tercekat, hal itu karena wajah Gio yang menurutnya begitu sangar.

Seperti sekarang contohnya, saat ini wanita itu sudah berada di ruangan bosnya, dia tidak sendiri, di ruangan itu ada seorang wanita cantik yang Embun tidak tahu siapa namanya.

'Sebenarnya Pak Gio manggil aku ke sini terus, tujuannya buat apa sih, terus kenapa banyak banget wanita-wanita datang ke sini, apa mereka itu pacar-pacar Pak Gio? Kalau memang iya, wah parah banget tuh dia,' gerutu Embun dalam hati.

"Kamu siapanya Gio? Kenapa kamu ada di ruangan Gio?"

Embun menatap wanita itu sambil tersenyum kikuk. Sepertinya wanita itu kesulitan untuk menjawab.

"Oh, saya--"

"Oh, aku tahu kalau kamu itu office girl. Terus kenapa kamu nggak kerja? Malah duduk santai di situ, kamu nggak takut kalau bos kamu ngelihat?" tanya wanita itu galak.

"I-iya, ini saya juga mau kerja, Mbak," kata Embun, wajahnya mendadak pias ketika mendengar nama Gio disebut-sebut.

"Ehem-ehem!"

Embun dan wanita itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Embun langsung cepat-cepat menundukkan kepalanya ketika melihat Gio tengah berdiri di ambang pintu.

"Akhirnya kamu datang juga, Gio." Suara wanita itu yang tadinya galak berubah menjadi lembut.

Wanita itu langsung menghampiri Gio, ketika ingin memegang tangan Gio, Gio segera pergi dari wanita itu. Pria itu menatap Embun cukup lama.

Wanita itu tampak kesal karena Gio selalu melihat ke arah Embun, tiba-tiba saja dia tersenyum licik.

"Gio, kamu tahu nggak, office girl ini tadi bertindak kurang ajar. Bukannya kerja dia malah duduk santai di sofa itu," adu wanita itu dengan suara manjanya.

Kali ini Gio menatap wanita itu, membuat wanita itu salah tingkah.

"Siapa kau?"

"Oh ya, perkenalkan namaku Siska," kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Gio.

Bukannya membalas uluran tangan tersebut, Gio malah duduk di kursi kebesarannya.

"Biar aku tebak, pasti kamu disuruh mamaku untuk datang ke sini."

Wanita itu diam saja, membuat dugaan Gio semakin kuat.

"Asal kamu tahu, bukan hanya kamu saja yang sudah datang ke sini, dalam seminggu ini mungkin sudah ada puluhan wanita, dan lagi-lagi mamaku yang menyuruhnya. Apa kamu pikir kali ini aku akan luluh? Kamu lihat siapa wanita yang sedang berdiri di sampingku?"

Wanita yang bernama Siska itu menoleh ke arah Embun, tatapannya begitu sinis.

'Pasti dia juga lagi mau ngerayu Gio,' batin wanita itu, tampak kesal.

"Dia office girl, pasti dia udah goda kamu, kan?" tanya wanita itu sinis.

Gio menggeleng. "Kamu salah kalau menganggap dia seperti itu. Oke, baiklah, aku tidak suka berbasa-basi, perkenalkan nama dia Embun. Dia adalah kekasihku."

Mata Embun membelalak. Jelas saja dia terkejut dengan penuturan Gio.

'Apa? Kekasih katanya? Kenapa dia jadi halu gini sih. Hei, Mbak! Jangan percaya sama dia, kalau cuma berdua aja, dia itu nyeremin banget.'

"Oh ya satu lagi, dia sama sekali tidak seperti yang kamu kira. Dia berbeda dari wanita lain. Jika wanita lain berusaha keras menggodaku, dia tidak, itulah yang membuatku tertarik dengannya," jelas pria itu lagi.

"Oh, Ya Tuhan. Kamu jatuh cinta dengan orang rendahan seperti dia?" tanya Siska tak percaya.

Embun mengepalkan tangannya, seandainya saja Gio tidak ada, pastinya dia akan memberikan omelan pada wanita itu.

"Sayang, kamu tidak marah dengan ucapannya barusan? Dia baru aja menghina kamu loh," tanya Gio.

Percayalah, jika wanita lain diperlakukan seperti itu, pastinya akan meleleh, pasti mereka akan berpikir jika sikap Gio benar-benar sungguhan. Sayangnya pemikiran Embun tidak seperti itu, yang ada wanita itu malah bergidik ngeri.

Embun terkejut ketika ditarik paksa oleh Gio, kini wanita itu sudah berada dipangkuan Gio. Wanita itu meringis ketika Gio mencubit pinggangnya.

"Kamu tidak marah?" tanya pria itu dengan suara lembut.

'Haduh, bos kampret! ucapan sama tindakan kenapa jauh banget bedanya,' keluh wanita itu dalam hati.

"Jelas aja marah," cicit Embun.

"Tuh, kamu dengar sendiri, kan? Kekasihku tidak suka kamu berbicara seperti itu. Sebaiknya kamu pergi saja dari sini, aku tidak suka melihat wajah sedihnya," usir Gio.

"Tapi--"

"Kamu nggak tuli, kan?"

Siska mengepalkan tangannya, tanpa berkata-kata wanita itu langsung pergi dari ruangan Gio.

Embun yang melihat pintu sudah tertutup, dia langsung bergegas berdiri sebelum Gio mendorong tubuhnya seperti kemarin.

"Aku nggak suka dengan wanita yang sedang ditindas tapi diam aja," ujar pria itu dingin.

"Bapak bicara dengan saya?"

Gio mendelik tajam. "Menurut kamu? Udah sana keluar!" usir pria itu.

Embun memutar bola matanya malas, selalu saja seperti ini. Dia dibutuhkan ketika ada perlu, kemudian dibuang ketika sudah tidak penting.

"Maaf sebelumnya ya, Pak. Saya mau bertanya boleh?" tanya wanita itu takut-takut.

"Nggak boleh!"

'Waduh, langsung dikasih ulti dong,' keluh wanita itu dalam hati.

"Saya mau tanya kenapa Bapak selalu panggil saya ke sini ketika ada seorang wanita masuk ke ruangan Anda?"

'Halah, bodo amat. Mau nggak diizinkan bertanya tapi memang aku harus menanyakannya. Dia dapat untung, harusnya aku juga dapat dong.'

Gio tak menjawab pertanyaan Embun, pria itu malah sibuk berkutat dengan komputernya.

Sudah lama Embun menunggu jawaban dari Gio, tapi tetap saja Gio tidak mau membuka suara.

'Yaelah, malah dikacangin. Mana kaki pegal karena kelamaan berdiri.' Lagi-lagi Embun mengeluh.

"Pak?" panggil Embun.

"Kamu tidak dengar? Dari tadi aku sudah menyuruhmu untuk pergi, kenapa masih jadi patung di situ?" tanya pria itu sinis.

"Tapi, Pak. Tadi saya bertanya pada Anda loh, kenapa tidak dijawab?"

"Loh, bukannya udah kubilang kalau nggak boleh bertanya? Memang pertanyaan kamu itu penting?"

Embun mengangguk dengan cepat. "Iya, Pak. Ini sangat penting."

"Lebih penting mana, pertanyaanmu atau meeting dengan klien?"

Sial! Embun langsung terdiam. Menurutnya pertanyaan Gio begitu menohoknya.

"Sekarang kamu boleh keluar."

"Tapi--"

"Masih ingin bertanya masalah tidak penting?"

Embun menghela napas panjang, dia menggeleng dengan cepat.

"Nggak, Pak. Kalau begitu saya permisi."

Baru saja Embun membuka pintu, tiba-tiba saja dia dikejutkan seorang wanita paruh baya.

Wanita paruh baya itu menatap Embun dari atas sampai bawah, hal itu jelas saja membuat Embun merasa tak nyaman. Karena tak ingin berlama-lama lagi di tempat itu, akhirnya Embun memutuskan untuk langsung pergi saja tanpa menyapa wanita itu. Menurut Embun, dari tatapannya saja sudah memperlihatkan kalau wanita itu tidak suka padanya.


Bab 4. Butuh Uang Berapa


"Untuk apa Mama datang ke sini?" tanya Gio to the poin.

"Mama benar-benar kecewa sama kamu. Kenapa setiap wanita yang datang ke sini, selalu kamu tolak?"

Fokus Gio langsung buyar, kali ini dia menatap wanita paruh baya itu dengan kesal. Rena, itulah nama mamanya yang selalu saja membuat dirinya jengkel. Bagaimana tidak, wanita itu selalu mendesaknya untuk segera menikah.

"Aku sudah pernah bilang, kalau aku nggak bakalan menikah!" tandas pria itu.

Rena menggeleng tak setuju. "Sebenarnya kamu ini kenapa? Kenapa menikah saja tidak mau?" tanyanya dengan kesal. "Mama sudah membawakan wanita untuk kamu, mungkin kalau semuanya dihitung ada ratusan, tapi dari satu di antara mereka kenapa tidak ada yang kamu pilih?"

Gio menyugar rambutnya dengan kasar, ingin sekali dia mengumpat ataupun berkata kasar, tapi selalu dia urungkan karena menyadari yang ada di hadapannya itu bukan orang lain, melainkan mamanya sendiri.

"Karena aku nggak suka sama mereka, mereka semua bukan tipeku."

"Lalu kamu mau mencari yang seperti apa? Tinggal bilang saja, nanti Mama yang carikan."

Gio mendengkus sebal. "Mama ini kenapa sih, yang dipikiran Mama itu cuma nikah, nikah, nikah terus. Kenapa nggak Mama aja yang nikah. Aku mau fokus kerja, masalah nikah itu urusan belakangan," sahutnya ketus.

Rena menghela napas panjang, menatap anaknya dengan sedih. Banyak yang bilang kalau anaknya itu tidak suka dengan wanita, itu yang wanita itu takutkan. Dan sekarang ketakutannya pun akhirnya terjadi, sudah banyak dia mendatangkan wanita untuk Gio, pria itu tetap saja menolaknya.

"Mama hanya takut dengan rumor yang beredar kalau kamu itu tidak suka dengan--"

"Dan Mama percaya dengan gosip murahan itu?" sela Gio cepat.

Rena terdiam, membuat Gio tersenyum sinis. "Lihat, Mama saja meragukanku."

"Kalau kamu memang suka dengan wanita, buktikan hal itu pada Mama. Bisa?"

Gio terdiam cukup lama, sepertinya tengah memikirkan sesuatu, dia mengetuk-ngetuk jarinya di meja, hingga akhirnya pria itu tersenyum miring ketika nama Embun terlintas dipikirannya.

"Oke," jawab pria itu pada akhirnya.

Rena menatap anaknya penuh curiga. "Jangan membohongi Mama."

"Siapa? Mama nuduh aku?" tanya Gio heran.

"Oke, Mama kasih waktu tiga hari. Kalau kamu nggak bisa buktikan, berarti rumor yang beredar kalau kamu suka dengan sesama jenis berarti benar."

Diam-diam Gio mengepalkan tangannya, jelas saja dia tidak terima dikatakan seperti itu, tapi dia juga tidak bisa mengelak. Maka hal yang dia lakukan adalah diam seribu bahasa.

"Wanita tadi. Aku menyukainya."

Rena mengerutkan keningnya, berpikir cukup lama. Kemudian dia tersenyum tipis.

"Wanita yang bernama Siska? Ya, dia memang cantik, selain cantik, dia juga model, karirnya bagus dan--"

"Bukan yang itu," sela Gio cepat.

"Haduh, yang mana dong. Clara, Diana, Shella, Yolanda atau--"

"Yang terakhir kalinya dia datang ke sini, tadi kalian juga berpapasan di depan pintu," sahut Gio, pria itu sepertinya jengah karena mendengar mamanya begitu bersemangat menyebut nama wanita-wanita itu.

"Office girl?"

Gio mengangguk, membuat mulut Rena menganga lebar. "Office girl? Kamu serius?"

"Kenapa? Mama nggak percaya?"

"Office girl? Oh ya Tuhan, kamu jatuh cinta dengan dia?"

"Kenapa? Ada yang salah?"

"Jelas aja ada yang salah. Kalian beda kasta. Ingat, kamu itu keluarga terpandang, sedangkan dia?"

"Intinya sama-sama manusia, kan? Sama-sama makan nasi, sama-sama kalau malam tidur, dia bukan monster dan juga bukan hantu. Ingat, Ma, sama-sama manusia!" tekan Gio.

"Tapi--"

"Aku suka dengan dia!"

Rena manggut-manggut, dia harus pura-pura memahami apa yang dirasakan oleh anaknya.

"Jadi, siapa namanya? Kamu bilang tadi kalau kamu menyukainya? Pasti dia juga suka sama kamu, kan?" pancing wanita paruh baya itu.

Gio berdeham sejenak. "Untuk masalah itu, aku rasa Mama tidak perlu tahu. Jadi sekarang Mama sudah percaya, kan, kalau aku menyukai wanita? Bukan sesama jenis."

"Sebenarnya belum sepenuhnya percaya. Kalau kamu memang menyukai wanita itu, Mama tantang kamu untuk menikah dengannya."

Gio mengeraskan rahangnya, dan itu terlihat begitu jelas dari pandangan Rena. Wanita itu sangat yakin jika Gio tidak akan melakukannya. Namun, senyuman wanita itu sirna ketika mendengar jawaban dari Gio.

"Oke, tunggu tiga hari ke depan, atau paling lama satu minggu, aku akan segera menikahinya," ujar Gio mantap.

Rena langsung berdiri dari duduknya, dia benar-benar tidak terima jika Gio menyanggupi permintaannya. Masalahnya wanita itu sama sekali tidak setara dengan anaknya, bagaimana bisa mereka akan menikah? Apa reaksi orang-orang ketika mengetahui hal itu? Bukankah itu akan mencoreng nama keluarga mereka?

"Kamu serius dengan niatmu itu?" tanya Rena serius.

"Ya, aku akan buktikan ke kalian semua kalau aku ini menyukai wanita."

Rena menghela napas panjang. "Baiklah, aku tunggu kabar membahagiakan itu. Aku akan pulang."

Gio mengangguk. "Hati-hati di jalan, Ma. Maaf aku tidak bisa mengantar, karena aku benar-benar sibuk."

Rena memakluminya, wanita paruh baya itu melangkah ke luar, tepat di ambang pintu, dia menoleh ke belakang. "Siapa nama wanita itu?"

Gio menatap kembali mamanya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Untuk apa Mama menanyakan hal itu?"

"Aku hanya ingin tahu saja namanya, memangnya tidak boleh?"

Gio manggut-manggut, dalam hatinya menduga jika mamanya akan melakukan sesuatu pada wanita itu. Sebelum hal itu terjadi, Gio dengan cepat mengambil ponselnya, lalu mengetikkan sesuatu di sana.

"Namanya Embun."

Rena tersenyum tipis, wanita itu langsung melenggang pergi tanpa meninggalkan kata-kata lagi.

Melihat mamanya sudah tidak ada lagi di ruangannya, membuat Gio bernapas lega.

"Wanita, wanita, dan wanita. Kenapa mereka selalu merepotkan?" keluh pria itu.

***

"Di sini siapa yang namanya Embun."

Semua karyawan yang tengah bekerja langsung terhenti, mereka serempak menatap wanita paruh baya itu.

"Dia tidak ada di sini, Bu. Mungkin tengah bersih-bersih di bagian gudang," ucap salah satu dari mereka.

"Di antara kalian, bisa antarkan aku untuk bertemu dengannya?"

Karyawan tersebut saling pandang satu sama lain. Heran saja, setahu mereka Embun adalah karyawan baru yang menjabat sebagai office girl. Lantas untuk apa orang tua bosnya mencari wanita itu?

"Mari saya antar, Bu."

Salah satu dari mereka pun mengantar Rena untuk bertemu dengan Embun.

"Ruangannya ada di sini, Bu. Mungkin Embun sedang ada di dalam, kalau begitu saya permisi," ucap wanita itu.

Rena mengangguk, dia membiarkan karyawan itu pergi meninggalkannya. Rena membuka pintu gudang itu, dia melihat Embun tengah merapikan kardus-kardus dengan cekatan.

"Ehem!"

Embun menoleh ke arah sumber suara, sedikit terkejut karena ternyata ada wanita paruh baya yang sedang menatapnya. Dia buru-buru mendekati wanita itu.

"Halo, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Embun ramah.

Rena mendengkus keras. "Langsung saja, aku tidak suka basa-basi, jadi kamu butuh uang berapa?"

Dahi Embun berkerut heran. "Maksudnya gimana, Bu?"

"Kamu butuh uang berapa? Katakan saja, aku akan memberikan uang itu, dengan syarat jauhi anakku!"

"Hah?"


Bab 5. Melamar


"Tunggu dulu, Buk, ini maksudnya gimana ya? Setahu saya, saya tidak pernah dekat-dekat dengan lelaki manapun," kata Embun dengan raut wajah bingung.

"Jangan bohong, anakku sendiri yang bilang kalau dia menyukaimu."

Embun menggaruk kepalanya, menoleh ke sana-sini, mencari jawaban apa yang tepat untuk wanita itu.

"Masalahnya saya nggak tahu siapa yang bicara seperti itu. Beneran deh, suer, saya tidak pernah dekat-dekat dengan pria manapun," kata Embun sungguh-sungguh.

'Idih, udah kayak nggak laku aja aku ngomong kayak gitu,' cibir wanita itu dalam hati.

Rena menatap Embun dari atas sampai bawah, tak lama setelah itu dia geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa Gio menyukai gadis berpenampilan sederhana seperti itu, padahal di luar sana banyak yang lebih cantik dari Embun. Tapi herannya malah ditolak mentah-mentah oleh anaknya.

"Aku benar-benar nggak habis pikir kenapa anakku bisa menyukaimu, aku yakin pasti kamu berusaha untuk menggodanya, kan? Pasti kamu bermimpi untuk menikah dengan dia, padahal sebenarnya yang kamu incar itu uangnya, iya, kan?" tanya Rena sinis.

Embun menggeleng tegas. "Nggak, Bu. Sebenarnya yang tengah Ibu bicarakan itu siapa ya? Saya benar-benar tidak tahu siapa orangnya."

"Halah! Nggak usah sok polos deh kamu. Mulai sekarang aku minta sama kamu, tolong jauhi anakku, berapa pun yang kamu minta pasti bakal aku kasih, asal jauhi anakku!"

Embun baru saja ingin membuka mulut, tiba-tiba saja dia mendengar suara berat dari seorang laki-laki.

"Wah, wah, wah, aku benar-benar nggak nyangka kalau Mama bakalan ngelakuin seperti ini, diam-diam menyuruh orang yang aku suka agar menghindar dariku. Padahal Mama sendiri yang bilang kalau mau kasih aku kesempatan, tapi ini apa?"

Rena tersentak ketika melihat kedatangan Gio secara tak terduga.

"Gio, Mama cuma nggak mau kalau kamu diperas sama wanita ini!" tunjuk wanita itu pada Embun.

"Terus Mama pikir, wanita-wanita yang kemarin datang apa tidak seperti itu? Aku pastikan mereka mendekatiku hanya karena sesuatu, apalagi kalau bukan soal uang," kata pria itu. Gio berjalan ke arah Embun, lalu merangkul pundak wanita itu.

Lagi-lagi Embun terkejut karena mendapat perlakuan yang mengagetkan dari Gio.

'Haduh, kenapa selalu seperti ini, sih. Kenapa dia selalu memakai namaku ketika sedang ada masalah dengan para wanita,' keluh Embun dalam hati.

"Sayang, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Gio sambil menoleh ke arah Embun.

Karena tidak mendapat jawaban dari wanita itu, Gio pun berinisiatif mencubit pundak Embun, membuat wanita itu seketika bereaksi.

"Ng-nggak apa-apa kok," kata wanita itu pelan, wajahnya tampak meringis.

Rena mendengkus keras. "Mama sama sekali tidak menyentuhnya, kenapa kamu seperti menuduh Mama yang tidak-tidak?" tanya wanita paruh baya itu dengan ketus.

"Mama memang tidak menyentuhnya, tapi ucapan Mama mampu menyakiti hatinya, bukan begitu, Sayang?" tanya Gio sambil menekan pundak Embun.

Embun cepat-cepat menganggukkan kepalanya, sebelum Gio kembali mencubit pundaknya.

"Sudahlah, terserah kamu saja. Mama sudah mengingatkan kamu supaya bisa berpikir panjang. Masalahnya kamu menikah bukan untuk sehari dua hari, untuk selamanya. Jadi Mama pesan sama kamu jangan sampai salah pilih pasangan, kamu harus tahu asal-usulnya, bibit, bebet, bobotnya," peringat Rena sambil menatap Embun begitu tajam.

Setelah itu Rena melangkah pergi meninggalkan Embun dan Gio yang sedang menatapnya dengan pandangan yang berbeda-beda.

***

Embun menghela napas panjang ketika lagi dan lagi dia disuruh menghadap ke ruangan Gio. Hari ini sudah terhitung dia memasuki ruangan itu sebanyak lima kali.

"Huh, nasib orang kecil, mau nolak aja susah," gerutu wanita itu.

Embun mengetuk pintu itu, karena mendapat arahan untuk masuk, akhirnya wanita itu membuka pintunya.

"Ada apa, Pak?"

"Tutup pintunya!"

Embun mengangguk, dia menuruti perintah pria itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya wanita itu sekali lagi.

Gio tak menjawab, pria itu menatap Embun sambil menaruh sesuatu di mejanya.

"Ambil!" titah pria itu.

"Apa itu, Pak?"

"Bom. Cepat ambil."

Refleks Embun bergidik ngeri. "Bapak bercandanya nggak lucu banget."

Gio menatap wanita itu dengan kening berkerut, heran saja karena baru kali ini dia mendengar wanita itu berbicara menggunakan banyak kata. Biasanya Embun hanya menjawab 'iya, Pak? Baik, Pak? Ada apa, Pak?'

Gio mengedikkan bahunya acuh. "Ambil saja, aku pastikan setelah kamu melihatnya pasti akan jantungan. Kamu nggak punya penyakit stroke, kan?" tanya pria itu sinis.

"Kalau saya punya penyakit seperti itu, sudah pasti tidak akan diterima kerja di tempat ini, Pak," kata Embun pelan, akan tetapi masih bisa didengar oleh Gio.

"Ayo cepat ambil, aku tidak suka mengulur waktu!"

Dengan cepat Embun mengambil kotak kecil itu, Embun memandangi kotak itu cukup lama seraya berpikir keras.

'Ini isinya beneran bom nggak sih, tapi kok kayak kotak cincin ya?'

"Silakan dibuka," perintah Gio.

Embun tampak enggan membukanya, dia takut jika apa yang diucapkan pria itu memang benar, kalau isinya adalah bom.

"Aku menyuruhmu untuk membukanya, bukan malah merem melek kayak gitu," kata Gio, pria itu tampak kesal karena melihat Embun begitu bertele-tele.

"Baik, Pak."

Embun membuka kotak itu dengan penuh hati-hati, ketika kotak itu sudah terbuka, Embun terdiam cukup lama, sepertinya otaknya membutuhkan beberapa menit untuk berpikir apa maksud pria itu.

"Ini buat saya, Pak?" tanya Embun tak percaya.

"Menurut kamu?"

"Ini maksudnya apa ya, Pak?"

"Aku ingin menikah denganmu," ujar pria itu dengan wajah datarnya.

Mendapat pernyataan seperti itu, Embun hanya bisa melongo. Entah dia harus berekspresi seperti apa. Senang kah? Terharu kah? Atau malah sebaliknya?

Embun memencet hidungnya yang terasa gatal, masih mencerna ucapan Gio yang menurutnya tidak masuk akal.

"Bapak lagi melamar saya?"

Gio memutar bola matanya malas, dia berdiri dari duduknya, mencoba mendekati Embun, membuat wanita itu refleks memundurkan langkahnya.

"Kenapa reaksimu seperti itu? Kenapa nggak teriak-teriak, terus kenapa nggak langsung peluk aku? Kamu itu sepertinya memang beda dari yang lainnya, ya? Dasar lola," dengkus Gio.

"Saya beneran nggak tahu maksudnya ini apa, Pak. Kenapa Anda tiba-tiba kasih saya cincin?"

"Kamu itu tuli atau gimana sih, aku tadi bilang kalau aku mau menikah denganmu!"

"Tapi--"

"Coba sekarang kamu jongkok, pernah nonton sinetron, kan? Yang laki-lakinya ngelamar kekasihnya?"

Meskipun Embun masih tidak paham apa maksud Gio, dia tetap mengangguk.

"Sekarang kamu peragakan contohnya seperti apa."

Bodohnya, Embun tetap melakukan apa yang Gio pinta. Wanita itu berlutut di hadapan Gio.

"Kenapa diam saja, aku bilang, kan, suruh peragakan!"

"Termasuk sama cara bicaranya juga, Pak?" tanya Embun, yang langsung dihadiahi anggukan oleh pria itu.

"Jangan lupa sebut namaku," ucap pria itu lagi sambil mengeluarkan ponselnya, berniat untuk merekam aksi Embun.

Embun mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan.

"Bapak Gio--"

"Nggak usah ada embel-embel Bapak, sebut aja langsung namaku," sentak pria itu.

Embun mengangguk, dia kembali mengambil napas.

"Gio, maukah kamu menjadi pendamping hidupku?" tanya Embun sambil memegang tangan pria itu.

"Oke."

Setelah menjawab seperti itu, Gio langsung menyentak tangan Embun. Dia tersenyum licik ketika sudah mendapatkan apa yang dia mau.

"Sebentar lagi kita akan menikah."

Embun langsung berdiri "Loh, nggak bisa gitu dong, Pak. Saya, kan, belum menyetujuinya," kata wanita itu tak terima.

"Aku nggak butuh persetujuan dari kamu."

"Loh, tapi--"

"Apa? Bukannya tadi kamu melamarku? Aku juga udah menerimanya, kan? Jadi nggak ada lagi alasan buat nolak," potong pria itu.

"Loh, tapi, kan, Pak. Tadi itu ...." Seketika mata Embun membulat ketika dia menyadari sesuatu. "Sialan! Jadi Anda ingin menjebak saya?!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Dinikahi CEO Galak Bab 6-7
1
0
Selamat Membaca โค๏ธ
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan