Langit diatas air mata, ch 1-3

1
0
Deskripsi

Terdiri dari 3 bab awal:

  • Bab 1 Senja di kantin sekolah
  • Bab 2 Jangan Pergi
  • Bab 3 Batu Nisan

 

 

  • Bab 1 Senja di kantin sekolah

"Laras, elo mau apa?" tanya Radit lembut.

Mereka duduk berdua disalah satu bangku kantin sekolah yang mulai sepi. Mereka hanya teman. Teman tapi mesra.

Teman itu bernama Radit yang hampir selalu ada kapan pun Laras berada. Tidak salah kalau orang bilang mereka pacaran. Lagi pula Radit tidak menolak tidak pernah menolak jika ada murid lain yang mengejek mereka pacaran.

Padahal tidak. Atau mereka tidak mau mengakui?

Entahlah.

Mungkin hanya rumput hijau yang tertiup angin yang bisa menjawab. Atau sampai ada gorila beranak itik mereka akan mengakui di depan gerbang sekolah.

Tidak ada yang tahu.

Laras terlalu takut dan malu jika harus mengungkapkan  perasaan kepada Radit. Sementara Radit terlalu abai dengan perasaan sendiri dan beranggapan kalau Laras tidak mungkin akan kemana-mana.

"Apa ajah. Gue enggak terlalu lapar. Tapi elo pasti sangat lapar. Gue temani, deh." sahut Laras enteng.

Radit baru saja selesai latihan basket sementara Laras baru bangun tidur di pojokan kelas. Apalagi kalau bukan menunggu Radit selesai latihan.

Selain rumah mereka saling berdekatan, orang tua Radit dan Laras pun berteman baik. Jadi tidak ada alasan untuk mereka saling bermusuhan.

“Oke. Tunggu bentar ya. Habis ini temani gue ke toko boneka. Gue mau kasih elo boneka boba.” lanjut Radit tanpa berpaling dari makanannya.

“Dan sejak kapan gue suka boneka boba enggak jelas begitu?” raung Laras.

Dari semua benda yang atau mainan yang ada di dunia ini, Laras paling tidak menyukai boneka dan semua hal yang memiliki unsur lucu dan empuk-empuk.

“Karena hari ini adalah hari persahabatan kita yang ke 10.000 hari maka gue kasih hadiah.” kekeh Radit sampai matanya menyipit.

Bukannya Laras ikut tertawa dengan lelucon yang Radit katakan, justru Laras menendang salah satu kaki Radit hingga Radit mengerang kesakitan.

“Aduh. Sakit, loh. Gue tahu elo jago silat tapi jangan jadi gue yang kena sasaran tendangan. Gue bukan samsak.” Radit meringis kesakitan dan memegangi kakinya yang sakit.

“Siapa suruh kasih gue kado boneka?” teriak Laras.

“Iya deh. Ganti ajah dengan es krim?” bujuk Radit mengekor di belakang Laras yang sudah berjalan lebih dulu ke arah gerbang sekolah.

“Nah begitu dong.” sahut Laras langsung tersenyum.

Boneka adalah sesuatu yang mistis bagi Laras. Sementara es krim adalah satu hal yang sama seperti bernapas. Tiada hari tanpa makan es krim untuk altet silat seperti Laras.

Mereka berjalan bersebelahan di depan toko es krim menuju rumah. Radit selalu berdiri di samping kiri Laras dengan alasan yang tidak masuk akal. Sementara Laras sibuk memakan es krimnya.

“Elo masih seperti anak kecil, deh. Asal elo tahu tahun depan kita akan lulus SMA. Dan mungkin kita akan kuliah di kota yang berbeda. Apa elo tidak kangen gue nanti?” oceh Radit mulai menggombal seperti biasa.

“Enggak akan. Justu elo yang bakal kangen gue karena elo enggak punya teman yang bisa elo jadikan bahan candaan seperti gue. Hanya gue yang tahu elo luar dalam.” balas Laras sewot. Kesal karena kegiatan menghabiskan es krimnya di ganggu oleh Radit.

“Yakin elo enggak menyesal. Elo beneran enggak kange gue?” tanya Radit serius.

“Enggak.” tegas Laras tanpa menoleh.

Tepat saat itu, sebuah mobil pick-up warna hitam meluncur kencang ke arah mereka dengan ugal-ugalan. Menabrak tiang listrik dan pohon di dekat Radit berdiri.

Dalam hitungan detik sekelebatan mata semua hal terjadi begitu cepat. Laras tidak bisa menalar apa yang ia lihat karena tubuhnya terpental ke halaman rumah orang.

“RADIT!” pekik Laras ketika menyadari Radit tidak di dekatnya.

 

 

  • Bab 2 Jangan Pergi

    Meski Laras bisa merasakan rasa sakit di kepalanya dan rasa dingin serta bau darah membasahi seragam, Laras berusaha berdiri mencari Radit. Sahabatnya tidak boleh terluka dan jangan sampai terjadi apa-apa. 

    “Radit? Aduh.” erang Laras menyadari kakinya tidak bisa digerakkan. 

    Melihat ke arah kaki kirinya yang terluka lalu beralih ke arah asap bercampur api yang semakin besar dari arah bahu jalan. Tempat dimana mereka semula berdiri dan bercanda. 

    Laras semakin takut dan tetap berusaha berjalan meski dengan langkah terseok-seok. Air mata Laras semakin deras saat melihat kerumunan orang di dekat tempat yang tadi Radit berada. 

    Sementara pemadam kebakaran baru datang, memadamkan api yang tidak kunjung padam. Laras berusaha mencari sosok Radit, sahabatnya namun gagal. 

    “Radit?” isak Laras sebelum jatuh pingsan. 

    Di rumah sakit, satu hal yang baru Laras sadari adalah kakinya yang di gips dan selang infus di tangan kirinya. Namun Laras tetap tidak bisa tenang. Laras terus memikirkan Radit dan dimana bocah nakal itu berada. 

    “Ma, Radit dimana?” tanya Laras ketika melihat ibunya yang baru masuk. 

    “Ada. Teman kamu aman. Nanti kalau dokter sudah bolehkan kamu bergerak kita jenguk Radit sama-sama.” dengan suara tenang Mama menghibur Laras. 

    “Serius, Ma?” Laras tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya. 

    Setiap kali Mama berbicara dengan nada tenang yang terjadi adalah sebaliknya. Laras semakin takut dengan kemungkinan yang terjadi kepada Radit. Namun, jauh dalam hatinya Laras terus berdoa semoga Radit baik-baik saja. 

    “Iya. Kamu yang sabar, Laras.” ungkap Mama kemudian pergi. 

    Tidak mengapa jika Mama tidak mau menceritakan keadaan Radit yang sebenarnya, Laras akan mencari tahu sendiri. Dengan sangat hati-hati Laras turun dari ranjang rumah sakit. 

    Membawa tabung infus Laras berjalan terlatih dari lorong ke lorong mencari keberadaan Radit. Nihil. Laras hampir putus asa ketika tanpa sengaja mendengar ucapan beberapa perawat. 

    “Kasihan gadis itu. Orang tuanya sengaja tidak mengatakan temannya sudah meninggal di tempat kejadian. Bahkan saat dibawa ke UGD tubuhnya hampir remuk kecuali wajahnya. Anak muda yang malang. Seharusnya anak muda itu bisa menjadi pria ganteng idaman mertua” salah satu perawat berbicara dengan nada prihatin. 

    “Tapi itu lebih baik, kamu lihat kan kaki gadis itu juga patah dan masih membutuhkan waktu dan perawatan. Bagaimana mungkin orang tuanya memberi tahu yang sebenarnya. Kalau aku jadi orang tua juga akan melakukan hal tersebut.” 

    “Benar juga. Hampir setiap hari kita melihat korban kecelakaan dan orang mati. Tapi kali ini sangat menarik.” 

    Laras tidak tahu apa yang menarik dari menggunjing orang lain dibelakang mereka. Yang ingin Laras pastikan adalah kebenaran dari ucapan  para perawat itu. Meski Laras sudah berpikir dalam skenario terburuk tetap saja mendengarnya langsung lebih menyakitkan. 

    Dengan terseok-seok Laras kembali ke kamarnya. Laras menyeka air matanya yang tidak mau berhenti. Sementara bibirnya komat-kamit mengucap nama Radit. 

    “Gue, gue harus Gimana tanpa elo, Radit.” Isak Laras menutup wajahnya dengan selimut. 

    Entah kenapa dada Laras semakin terasa sesak memikirkan Radit yang kemungkinan besar telah tiada. Laras tidak berhenti berpikir buruk sebab firasat yang sejak tadi Laras rasakan mungkin benar-benar terjadi. 

    “Laras, kamu kenapa menutup wajahmu seperti itu? Nanti pengap loh.” Gimana Mama yang baru saja kembali dengan sekeranjang buah apel. 

    “Ma, tolong ceritakan soal Radit. Kalau Mama benar sayang Laras, tolong katakan sekarang.” 

    Mama tertegun melihat anak gadis nya berlinang air mata. 

    “Tenang dulu, Laras. Kalau kamu sudah cukup mampu berjalan akan Mama antar ke pusara Radit.” Kata Mama tanpa berkedip. Mama takut anak gadisnya pingsan ditempat.

 

 

  • Bab 3 Batu Nisan

Tidak butuh waktu lama, Laras ditemani Mama dan Papa datang ke pemakaman Radit. Waktu begitu cepat, sudah satu pekan setelah Radit dikubur. Laras yang menangis karena baru memiliki kesempatan berkunjung.

Selain menangis Laras hanya berdiri diam. Batu nisan bertuliskan nama Radit terukir jelas. Bahkan, dari jauh pun akan terlihat dan terbaca nama itu. Laras semakin terisak tanpa suara.

Laras masih tidak percaya dengan penglihatan yang. Sekali lagi, Laras mengecek matanya untuk memastikan kalau semua yang Laras lihat bukan mimpi.

Jika Laras bukan sedang berada di tempat umum, mungkin saat ini Laras sudah menangis meraung-raung. Kehilangan sahabat dalam sebuah kecelakaan pasti akan menimbulkan luka tersendiri.

“Radit, gue minta maaf. Gue enggak bisa jaga elo seperti janji gue waktu itu. Radit, tolong maafkan gue, ya.” Bisik Laras.

Jika saja kaki Laras bisa digerakkan untuk berjongkok maka akan Laras lakukan. Namun ternyata tidak bisa.

Permukaan tanah yang basah akibat hujan semalam semakin membuat Laras tidak bisa bergerak bebas. Laras akhirnya pasrah dengan tetap berdiri di samping batu nian Radit.

“Ayo pulang, Laras. Sudah lama kita disini. Kaki kamu juga belum sembuh benar. Jangan paksa Karimun untuk terus berdiri.” Kata Papa lembut.

Tangan besar Papa merangkul pundak Laras dan menuntun Laras meninggalkan pemakaman. Tidak bisa Laras cegah ajakan Papi karena tubuhnya pun masih belum pulih.

“Papa, Mama, dengan kaki seperti ini Laras tidak bisa lagi jadi atlet Silat, kan?” kata Laras di dalam mobil.

Papa dan Mama terdiam. Kedua orang tua itu saling melemparkan pandangan. Bagaimana mungkin Laras sampai berpikir sejauh itu?

“Biarkan kaki kirimi istirahat. Kita lihat nanti setelah kaki kamu sembuh benar. Sekarang yang perlu Laras lakukan adalah cepat sembuh dan jangan bersedih lagi.” Kata Mama lembut.

Meski yang Mama katakan benar. Dan Mama tahu kalau Laras tidak bisa dihibur dengan kalimat apa pun. Jadi tidak mungkin semua kalimat yang Mama atau Papa ucapkan akan langsung didengar Laras.

Laras masih terdiam di tempatnya. Sampai gerimis perlahan datang dan Papa harus menggendong Laras masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan pulang Laras terdiam.

“..”

“Kamu mau ikut kita belanja?” tanya Reta, sahabat karib Laras.

“Enggak. Terima kasih.” sahut Laras lesu.

“Laras. Sudah tiga bulan lebih kamu berduka. Tangis elo enggak akan membangkitkan Radit dari kuburan. Kamu harus bangkit dan belajar menerima kenyataan. Kamu harus membuka lembaran baru.” guman Reta menggelengkan kepalanya tidak mengerti.

Bagaimana gadis ceria seperti Laras bisa berubah pendiam hanya dalam satu malam. Kecelakaan yang membuat Radit meninggal telah mengubah kepribadian Laras 180 derajat. Reta yang selalu berusaha cerita pun pada akhirnya menyerah.

“Aku enggak meminta elo untuk mengerti. Tapi kita pernah jadi sahabat dan aku akan terus menganggap kamu sahabat terbaik. Hanya saja kali ini saja, aku mohon kamu jangan ikut campur. Bukan hanya kehilangan Radit, aku juga harus kehilangan kesempatan menjadi altit silat. Kamu pikir dua hal itu sanggup aku lewati dengan tersenyum?” Laras hampir menangis saat mengatakan hal itu.

Reta mendesah. Reta memeluk sahabatnya. Untuk kali ini Reta bisa memahami kalau teman baik laki-laki Laras dan cita-cita Laras harus hilang disaat yang bersamaan. Remaja mana yang akan tetap tersenyum jika seperti Laras.

“Maafkan, aku ya. Laras, kamu boleh bersedih. Tapi jangan terlalu lama. Mari kita cari cara supaya kamu tidak lagi sedih, seperti kamu harus memiliki cita-cita baru. Aku akan membantu sebisa mungkin.” ucap Reta lembut. Reta juga tidak mau kehilangan Laras.

 

-TBC- 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Langit diatas air mata, ch 4-5
1
0
Terdiri dari 2 bab:Bab 4 Melangkah majuBab 5 Mimpi buruk
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan