The Love We Left Behind Ch. 2 (Pernyataan Cinta)

7
0
Deskripsi

Tapi, Kak Adam harus pergi. Lalu, apa yang bisa Isa lakukan?

Ch. 2 (Pernyataan Cinta)

Isabel

 

Meja makan malam hari ini tampak begitu menggiurkan. Mama memasak ayam kecap kesukaan Papa, lengkap dengan sayur sop hangat dan sambal tomat racikan sendiri yang selalu membuat lidah kami terbakar tapi juga ketagihan. Lampu gantung di atas meja memancarkan cahaya kekuningan yang menenangkan, sementara di luar jendela, suara jangkrik dan gemercik air dari kolam di taman belakang menjadi latar alami yang lembut.

Aku duduk di sebelah Mama, melahap makan malamku dengan semangat, sementara sesekali pembicaraan menguar di antara kami.

“Kak Hema, kamu kenapa diam saja dari tadi?” tanya Mama sambil menyendokkan sop ke mangkuk Papa.

Kak Hema duduk di seberangku, masih mengenakan kemeja kerjanya yang dilipat sampai siku. Wajahnya tidak murung, tapi juga tidak cerah seperti biasanya. Seolah sedang memikirkan sesuatu, dan baru ketika Mama bertanya, dia akhirnya angkat suara.

“Aku enggak lolos MT di Veritas Capital Bank,” katanya datar, sambil memainkan sendoknya di piring.

Aku langsung menoleh, begitu juga Mama dan Papa.

“Yah, enggak apa-apa, Kak,” kata Mama lembut, suaranya penuh pengertian. “Namanya juga proses. Belajar lagi saja, ya? Siapa tahu tes selanjutnya bisa lulus.”

Papa mengangguk setuju. “Benar itu. Gagal itu bukan akhir, Kak. Kamu masih muda, masih banyak peluang.”

Kak Hema tersenyum kecil. Lalu, seolah mengucapkan sesuatu yang tidak terlalu penting, ia menambahkan dengan suara yang ringan namun berhasil menyita seluruh indraku, “Tapi, Adam lolos.”

Adam.

Seketika, telingaku seperti punya radar khusus. Nama itu menghujam seperti petir kecil yang menyambar dalam diam. Aku menegakkan punggung secara refleks, bahkan sebelum otakku selesai mencerna apa yang barusan Kak Hema ucapkan.

Adam lolos? Tes kerja?

Oh... tentu saja dia lolos. Ini Adam yang kita bicarakan. Kak Adam. Seseorang yang bahkan IPK-nya sempurna. Laki-laki yang bisa memperbaiki mesin mobil Papa, tapi juga mahir bermain basket. Tampan, pintar, sopan, berprestasi, dan... dia juga satu-satunya laki-laki yang berhasil membuat jantungku berdetak dua kali lipat hanya dengan satu senyuman.

Kupandangi potongan ayam di piringku, tapi pikiranku melayang jauh. Sebenarnya aku tahu dia ikut tes kerja, sempat mendengar pembicaraannya dengan Kak Hema beberapa waktu lalu. Jadi, aku tidak terlalu merasa terkejut mendengar kabar baik ini.

“Berarti dia harus pindah, ya?” suara Papa menyusul, memecahkan lamunanku.

Aku langsung menoleh. Pindah?

Kak Hema mengangguk santai. “Iya, kalau enggak salah dua minggu lagi dia sudah mulai kerja. Kantornya di Jakarta, jadi ya, harus pindah juga.”

Dan di detik itu, aku membeku.

Sendok di tanganku yang sedari tadi terisi nasi dan sayur sop, berhenti di tengah jalan menuju mulut. Aku menatap kosong ke depan, tapi pandanganku tidak tertuju pada siapa-siapa. Suara di sekitar mendadak menjadi gema jauh yang tak bisa kupahami. Dunia seperti melambat, lalu berhenti.

Jakarta?

Pindah?

Kak Adam... pindah?

Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—bukan sakit, bukan sesak, tapi seperti lubang kecil yang tiba-tiba terbuka. Lubang yang belum ada beberapa menit lalu, tapi kini hadir dan membesar. Apa aku barusan mendengar bahwa Kak Adam akan pergi dari Bandung? Meninggalkan kota ini? Meninggalkan... aku?

“Dia sudah ketemu tempat tinggal?” tanya Papa lagi.

“Katanya sih sudah mulai cari-cari kost,” jawab Kak Hema santai. “Tapi, belum dapat juga.”

Papa mengangguk. “Bilang saja ke Adam, kalau dia butuh bantuan, kita siap bantu. Kita bisa bantu survei atau apa, sekalian bantu pindahan juga kalau perlu.”

“Siap, Pa,” jawab Kak Hema.

Dan aku masih diam.

Semuanya masih terasa seperti gurauan yang menyamar sebagai kenyataan. Aku menatap meja, sendokku masih di tangan. Tapi, makanan di piringku kini sudah kehilangan rasa. Entah karena nafsu makanku menghilang tiba-tiba atau karena seluruh indraku hanya bisa fokus pada satu hal: Kak Adam akan pergi.

Aku tidak tahu dari mana dorongan itu datang, tapi tiba-tiba saja aku melontarkan pertanyaan yang begitu konyol.

“Memang Kak Adam enggak bisa kerja dari Bandung saja?”

Suara itu keluar lebih lirih dari yang kupikirkan, tapi cukup jelas hingga semuanya menoleh padaku. Kak Hema menatapku dengan dahi berkerut, lalu menjawab dengan nada kesal yang khas.

“Ya enggak bisa dong, Sa. Kantornya di Jakarta. Gimana sih kamu?”

Dan pada detik itu, rasanya seperti dunia runtuh menimpa kepalaku. Bukan karena jawaban Kak Hema. Tapi, karena kenyataan di baliknya. Kenyataan bahwa aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kenyataan bahwa laki-laki yang selama ini menjadi poros rahasia semestaku akan pindah, menjauh, dan... mungkin melupakanku.

Tiba-tiba, ayam kecap favoritku jadi terasa hambar. Suara jangkrik di luar jendela berubah jadi sunyi yang menyakitkan. Aku ingin bangkit dari kursi, kabur ke kamar, dan menangis diam-diam di bawah selimut, tapi tubuhku seperti terkunci. Di luar, aku hanya anak perempuan yang makan malam bersama keluarganya. Tapi di dalam, aku adalah perempuan dengan hati yang baru saja patah oleh kabar kepindahan seseorang yang bahkan bukan miliknya.

Aku menunduk, pura-pura sibuk mengaduk sop di mangkuk.

Karena jika tidak, aku takut Mama akan melihat mataku yang mulai berair.

Sepanjang malam itu, hatiku gusar.

Kak Adam akan pergi.

Kalimat itu berputar terus seperti rekaman rusak yang tak bisa kumatikan. Aku sudah mencoba mengalihkan perhatian dengan menggulir layar ponsel, menonton video lucu, bahkan membaca ulang novel favoritku—tapi, tidak ada yang berhasil. Setiap kalimat yang kubaca berubah menjadi nama itu.

Adam. Adam. Adam. Dan Adam.

Kalau dia lama di sana, bertahun-tahu, kapan aku bisa bertemu lagi dengannya?

Tangan kananku menggenggam bantal kecil di dadaku, mencoba menenangkan debar yang tak kunjung turun sejak makan malam tadi. Rasanya bodoh, mungkin memang aku terlalu drama, tapi bagaimana kalau ini bukan sekadar drama? Bagaimana kalau... ini memang cinta?

Aku bisa saja pergi ke Jakarta. Toh jaraknya tidak sejauh itu. Tapi, bagaimana caranya? Apa alasanku? Untuk apa aku tiba-tiba muncul di hadapannya, di kota besar itu, padahal kami bahkan tidak punya hubungan apa-apa. Dan dari sisi dia, mungkin aku tak lebih dari seorang adik dari sahabatnya. Hanya sebatas itu. Titik.

Tapi, kalau seperti ini terus, aku akan menyesal. Bagaimana kalau dia bertemu perempuan lain di sana? Perempuan yang lebih dewasa, lebih cantik, lebih cocok dengannya. Yang bisa berbicara soal dunia kerja, membahas target karier, dan sudah memiliki pandangan tentang masa depan—bukan seperti aku yang bahkan masih berkutat pada dunia khayalku yang mendambakannya sementara aku belum tahu jalanku di masa depan akan seperti apa.

Dan... bagaimana kalau perempuan itu menjadi pacarnya?

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aaaa aku pusing!

Rasa panik mulai menyusup perlahan, memenuhi rongga dadaku. Pelan tapi pasti membuatku tenggelam dalam lautan kegusaran akan kemungkinan terburuk. Aku tahu ini mungkin berlebihan. Tapi, aku juga tahu aku tidak bisa diam saja. Kalau aku terus diam, aku akan menyesal seumur hidupku.

Kak Adam harus tahu. Setidaknya, sebelum dia pergi. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum aku menghabiskan sisa umurku dengan penuh penyesalan dan pengandaian.

 

*****

 

Di hari Sabtu, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Padahal ini weekend. Biasanya aku masih terbungkus selimut sampai jam sembilan, tapi hari ini belum juga matahari naik sepenuhnya, aku sudah berdiri di dapur, dengan rambut diikat asal, baju tidur, dan celemek bergambar stroberi tergantung di pinggangku.

Pagi ini keadaan rumah masih sepi. Hanya suara mesin mixer yang berputar pelan dan aroma cokelat dari adonan yang sedang kukocok yang mengisi udara. Tangan dan mataku sibuk dengan proses memanggang, tapi pikiran dan hatiku... masih di tempat lain.

Aku sedang membuat brownie. Bukan sekadar brownie biasa, tapi brownie ini untuk seseorang yang spesial. Brownie untuk... Kak Adam.

Ya, katakanlah kue manis seperti sebuah sogokan. Tapi, permasalahannya aku tak punya ide lain sebagai alasan untuk menemui Kak Adam selain untuk memberikannya kue. Toh aku pernah berjanji akan memberikannya kue lain selain cookies, jadi kupikir ini bisa dijadikan alasan untuk menemuinya. Daripada tanpa alasan, tentu Kak Adam—dan keluargaku—akan merasa aneh jika aku muncul tiba-tiba di hadapannya.

Kupandangi dua loyang brownie yang sudah siap masuk oven. Semoga saja rasanya enak. Semoga tidak gosong. Dan semoga rencana ini tidak tiba-tiba batal mendadak karena kepanikanku.

Dan tiba-tiba...

“Masih pagi sudah buat kue saja, Sa.”

Suara Mama dari belakang membuatku terlonjak. Hampir saja aku menjatuhkan spatula di tangan.

Aku buru-buru menoleh, dan benar saja, Mama sudah berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan daster biru muda dan kacamata bacanya.

“Hehehe... iya, Ma... lagi iseng.” Jawabku sambil cengengesan, berusaha tidak terlihat terlalu mencurigakan. Padahal jantungku sudah berdetak dua kali lipat. Jangan sampai Mama mencium kebohongan ini. Belum saatnya.

Mama berjalan mendekat dan menatap oven. Matanya menyipit, lalu berpindah menatapku.

“Banyak banget, Sa. Sampai dua loyang. Siapa yang mau habisin?” tanyanya, setengah curiga.

Gugupku seketika meningkat. Tapi, aku sudah mempersiapkan jawaban cadangan sejak semalam.

“Eee... itu, Ma. Satu loyangnya mau aku kasih ke Hana. Kemarin dia bilang mau brownie, jadi... ya sekalian saja aku buat dua.”

Alasan yang masuk akal. Bahkan sangat bisa diterima. Mama tahu aku suka baking dan tahu Hana suka makanan manis. Jadi, ini harusnya aman.

Mama hanya mengangguk pelan. “Oh, ya sudah.”

Setelah itu, Mama berjalan keluar dapur, meninggalkanku sendiri di tengah aroma cokelat yang menguar hangat. Begitu langkahnya menghilang di balik pintu, aku menghela napas panjang.

Untung saja Mama tidak bertanya macam-macam.

Aku menatap brownie yang mulai mengembang di dalam oven.

Maaf ya, Han, aku pakai namamu sebagai alasan. Tapi, semoga kamu akan memaafkanku kalau tahu alasan sebenarnya. Karena ini bukan tentang kue. Ini tentang hati yang ingin didengar. Tentang keberanian untuk tidak diam. Tentang... seseorang yang akan pergi, sebelum aku sempat mengatakan bahwa selama ini, bagiku, dia sudah lebih dari sekadar sahabat kakakku.

Setelah kue-kueku matang dengan sempurna, aku bergegas ke kamar dan membersihkan diri, lalu memakai pakaian terbaikku. Oh tentu saja, aku akan bertemu Kak Adam, jadi aku harus terlihat cantik di hadapannya. Aku memilih blouse putih bersih dengan sedikit renda di bagian lengan—pakaian yang menurutku cukup sopan, tapi tetap manis. Lalu, jeans favoritku yang paling pas di pinggang. Rambutku yang biasanya dibiarkan tergerai kusut, kini kusingkirkan rapi ke samping, kujepit sedikit dengan penjepit kecil warna biru. Dan sedikit bedak, hanya untuk menyamarkan pipiku yang entah kenapa terus merah karena grogi.

Kakiku melangkah ke tempat tidur. Aku duduk di ujung ranjang, memeluk lutut dan menggulir layar ponsel, mencari-cari nomor dia. Nomor Kak Adam.

Aku memang menyimpan nomor telepon Kak adam. Dulu, saat Kak Hema tidak bisa menjemputku dari acara sekolah, dia meminta bantuan Kak Adam untuk menggantikannya menjemputku. Dari sanalah aku bertukar nomor telepon dengannya. Sebenarnya, itu alasanku saja agar memudahkan menghubunginya jika situasi memintanya untuk menjemputku lagi—meski pada akhirnya dia tak pernah menjemputku lagi. Dan ya... salahkan kepengecutanku. Aku sudah memiliki nomor teleponnya, tapi aku selalu takut menghubunginya lebih dulu. Aku takut suasana menjadi canggung dan membuatnya malah menjauhiku. Dan sekarang aku menyesal. Di saat dia akan pergi, aku baru berani menghubunginya. Aku sudah kehilangan banyak kesempatan untuk menjadi dekat dengannya. Oh... betapa menyedihkannya ruang obrolan kami. Kosong. Tidak ada interaksi. Tidak ada memori.

Dengan keyakinan yang bulat, akhirnya aku mulai mengetik.

Me: Hai, Kak Adam. Ini Isa

Tanpa sadar, aku menahan napas. Menatap layar. Satu menit. Dua menit. Tiga—

Sebuah notifikasi masuk.

Kak Adam: Hai, Isa. Ada apa chat pagi-pagi begini?

Tanganku buru-buru menari di layar.

Me: Aku boleh minta alamat kost Kak Adam? Soalnya aku mau kirim kue

Ada jeda sesaat sebelum sebuah balasan baru masuk.

Kak Adam: Kamu buat kue untuk aku?

Me: Hehehe iya, waktu itu kan aku sudah janji mau buatin Kak Adam kue yang lain

Kak Adam: Ya ampun Sa, aku jadi enggak enak, ngerepotin kamu

Me: Hehehe enggak apa-apa, Kak. Sekalian aku tadi buat kue untuk Mama Papa

Bohong. Brownie itu hanya untuknya.

Me: Jadi, aku boleh minta alamat kost Kak Adam?

Kak Adam: Boleh, nanti aku share loc ya

Me: Nomor kamar kost Kak Adam berapa?

Kak Adam: 203. Terima kasih, ya, Sa

Me: Sama-sama, Kak :D

Aku memeluk ponselku sambil menahan senyum—senyum yang terlalu besar untuk wajahku. Rasanya seperti baru saja memenangkan hadiah utama dari undian besar.

Tanpa pikir panjang, aku masukkan satu kotak brownie ke dalam paper bag, menatanya dengan tisu dan plastik bening agar tidak bergeser. Lalu aku meminta izin pada mama dan papa dengan dalih bertemu Hana. Untungnya mereka tidak bertanya terlalu banyak.

Tak butuh waktu lama, aku sudah berada di depan gedung kost Kak Adam. Kak Adam memang tinggal di kost karena dia hanya berkuliah di Bandung. Sementara keluarganya.... entahlah untuk yang satu itu aku tidak tahu. Ternyata ada hal dari diri Kak Adam yang luput dari pengetahuanku juga.

Saat aku menaiki tangga ke lantai dua, mataku menyusuri pintu demi pintu, mencari nomor 203 yang tertulis di depannya. Dan di sanalah aku sekarang, berdiri di depan pintu kayu dengan angka 203 menempel sedikit miring. Tanganku menggenggam paper bag erat-erat. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gelombang gemetar di dalam dadaku, lalu mengetuk pintu.

Tak lama kemudian, suara dari dalam terdengar, “Sebentar.”

Aku menelan ludah. Telingaku panas.

Lalu, pintu terbuka.

Dan... Tuhan.... Rasanya seluruh dunia mendadak hening.

Kak Adam berdiri di hadapanku, memakai kaus abu-abu dan celana olahraga. Rambutnya sedikit berantakan, seolah baru saja bangun tidur. Tapi bagiku... dia tetap terlihat begitu... Kak Adam. Tenang. Hangat. Dan membuatku ingin meleleh tanpa alasan.

“Loh, Sa? Kok kamu di sini?” tanyanya dengan alis terangkat

“Oh? Ehm.... ini,” kataku sambil menyodorkan paper bag, “aku kan mau kasih kue untuk kak Adam.”

Dia mengambil paper bag itu dengan ragu, masih terlihat bingung.

“Eh, aku kira kamu mau kirim online. Duh maaf ya jadi ngerepotin kamu, Sa.”

Aku buru-buru menggeleng, memaksakan senyum. “Enggak apa-apa, Kak. Sekalian... ada yang mau aku omongin sama Kak Adam,” entah bagaimana tetapi suaraku malah memelan dan bergetar di akhir kalimat.

Ada jeda di antara kami. Matanya mencari-cari, seolah menimbang sesuatu. Mungkin dia sedang memikirkan apakah pantas membiarkanku masuk ke dalam kamar kost-nya atau membiarkan pembicaraan ini terdengar oleh orang lain. Tapi akhirnya, dia mengangguk.

“Masuk saja dulu, Sa,” katanya, lalu mempersilakanku masuk.

Kamarnya kecil, hanya cukup untuk satu tempat tidur single, satu meja belajar, lemari kecil, dan tumpukan buku di pojok ruangan. Wangi sabun dan kopi instan bercampur jadi satu di udara. Kak Adam buru-buru merapikan buku yang berserakan di kasur dan menyodorkan satu-satunya kursi miliknya.

“Duduk dulu,” ucapnya dan aku menurut, duduk dengan jantung yang masih berdetak kacau.

Sementara dia duduk di tepi kasur, aku menyuruhnya membuka paper bag  di tangannya.

“Ini brownie, ya?”

Aku mengangguk, memaksa senyum lagi. Tanganku mengusap celana jeans-ku berkali-kali untuk menyembunyikan kegugupan.

“Dicobain dulu kuenya, Kak,” kataku, mencoba terdengar santai. Padahal jika dia menyadarinya, suaraku terdengar bergetar halus.

Kak Adam membuka wadahnya, mengambil potongan kecil dengan tangan, lalu mencicipinya. Selama ia mengunyah, rasanya perutku seperti melilit dari dalam.

“Hmm... enak, Sa. Kamu jago ya buat kue,” katanya sambil tersenyum lebar.

Dadaku seketika menghangat. Ucapan sederhana itu mampu memberikan kelegaan meskipun rasa sakit di perutku tak kunjung sirna.

Aku tersenyum malu-malu dan menunduk sedikit. “Hehehe iya, kebetulan aku suka baking.”

Dan saat ini, seluruh dunia terasa mengecil. Hanya ada kami berdua di dalam kamar kost kecil ini, dengan wangi brownie yang menguar dan rasa cemas yang kurasakan yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Aku tahu aku tidak bisa terus menunda. Aku tahu waktu terus berjalan, dan mungkin ini kesempatan terakhirku untuk mengatakan semuanya.

Tapi… bagaimana aku memulainya?

Aku menunduk, menatap jemariku yang tergenggam di pangkuan, merasa dingin padahal ruangan ini tidak sedingin itu. Kata-kata yang sudah kususun di kepala sejak pagi justru berlarian tak tentu arah begitu aku bertatapan dengannya.

Jantungku berdetak terlalu keras, terlalu cepat. Sungguh, aku bisa mendengarnya di telingaku sendiri. Aku mencoba membuka mulut, tapi hanya suara kecil yang keluar, dan sialnya itu bukan yang kumaksudkan.

“Kak Adam mau pindah, ya?”

Isabel bodoh!

Aku ingin meninju diriku sendiri. Itu bukan kalimat yang kupersiapkan. Bukan itu yang ingin kusampaikan.

Kak Adam menoleh, wajahnya tampak tenang seperti biasa. “Iya,” katanya dengan suara rendah. “Aku diterima MT di Jakarta. Jadi harus mulai pindahan minggu depan.”

Aku mengangguk pelan, meski hatiku menolak. Kata-katanya seperti palu besar yang menghantam dadaku. Aku sudah tahu itu sebelumnya, sudah mendengar dari Kak Hema, tapi mendengarnya langsung dari mulutnya sendiri membuat semuanya terasa lebih nyata… dan lebih menyakitkan.

Aku pasti terlihat aneh, karena kak Adam melirikku lama, sebelum akhirnya bertanya, “Ada apa, Sa?”

Aku mengangkat wajahku, mencoba tersenyum, tapi aku tahu ekspresiku terlihat tidak meyakinkan.

“Kenapa?” tanyanya lagi, kini dengan nada yang lebih lembut. “Ada masalah? Mau cerita sama kakak?”

Aku tidak tahan lagi. Perasaanku menumpuk begitu lama, dan semuanya seakan meledak di satu titik. Aku berdiri tiba-tiba, membuat kursinya sedikit terseret ke belakang hingga menimbulkan bunyi gesekan.

Kak Adam terkejut, alisnya terangkat sedikit. Aku bisa melihat tubuhnya sedikit menegang.

Aku menatapnya, lekat-lekat. Tanganku mengepal di sisi tubuhku. Napasku pendek-pendek. Ketakutan menguasai pikiranku—takut akan reaksinya, takut aku akan kehilangan dia, takut semuanya akan berubah setelah ini.

Tapi, aku tidak bisa mundur.

“Aku suka sama kak Adam.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja. Seperti bola salju yang akhirnya meluncur dari puncak tebing. Begitu keluar, aku langsung menyesal dan lega dalam satu waktu. Aku bahkan bisa merasakan wajahku mulai terbakar dan panasnya menjalar ke seluruh tubuhku.

Untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara. Sunyi. Hanya suara detik jam kecil di meja belajar dan detak jantungku yang menggema di telingaku.

Aku menghindari tatapannya.  Rasa malu menguasaiku. Sangat malu. Tapi, juga lega. Karena akhirnya aku mengatakannya. Aku sudah bilang yang sejujurnya kepadanya.

“Isa suka sama kak Adam...” ulangku lirih, nyaris seperti bisikan.

Tapi, kak Adam masih diam saja. Dan diamnya itu… entah kenapa terasa menyakitkan.

Aku memberanikan diri menatapnya lagi. Matanya masih menatapku, tapi aku tidak tahu apa yang tersembunyi di balik sorot itu. Apakah dia terkejut? Apakah bingung? Apakah… dia ingin menolak?

Dan entah dari mana keberanian itu datang, aku melangkah maju. Hanya satu langkah, tapi cukup untuk menghapus jarak yang tersisa di antara kami.

Dengan hati-hati, aku menunduk. Aku bisa merasakan napasku mengguncang tubuhku. Aku bertumpu pelan pada pundaknya yang hangat, merasakan ototnya yang menegang karena keterkejutan. Wajah kami sejajar sekarang. Dekat sekali. Aku pun menutup mata.

Dan mencium bibirnya.

Bukan ciuman yang panjang atau dalam. Hanya sentuhan ringan, lembut, penuh keragu-raguan. Ciuman pertama yang kuberikan padanya, sebagai bentuk semua rasa yang kupendam sejak lama. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak, hanya ada hangat bibirnya dan degup jantungku yang tak terkendali.

Aku menarik diriku perlahan. Menjauh satu langkah, menunduk, merasa pipiku seperti terbakar habis. Jantungku seperti ingin meledak di tempat. Nyaliku menciut. Aku tidak berani melihat wajahnya.

Aku takut.

Takut dia marah. Takut dia tidak suka. Takut… semuanya hancur.

“Maaf…” bisikku, nyaris tak terdengar. “Maaf, kak…”

Tapi, sebelum aku bisa mundur lebih jauh, Kak Adam berdiri dari tempat duduknya. Suara kasur berderit halus ketika dia bangkit. Aku sontak mendongak.

“Isa...” katanya pelan.

Aku menatapnya, masih dengan tubuh yang kaku. Aku hendak membuka mulut untuk meminta maaf lagi, tapi dia mendahuluiku berbicara.

“Jangan minta maaf, Sa.”

Suara itu... entah kenapa membuat mataku terasa panas.

Kak Adam menatapku lama, seolah sedang menimbang-nimbang banyak hal dalam pikirannya. Lalu dia bertanya, dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya.

“Kamu suka sama aku, Sa?”

Aku mengangguk, perlahan.

Dan kali ini… dia melangkah mendekat.

Aku bahkan belum sempat berpikir ketika dia membungkuk sedikit, menyentuh pipiku yang memanas dengan jemarinya yang dingin. Sentuhan itu ringan, tapi mampu membuat napasku tercekat.

Lalu dia membalas ciumanku. Pelan. Hati-hati. Tapi jelas… bukan karena kasihan. Ciuman itu tulus.

Aku, membalasnya, dengan tubuh yang masih gemetar, tapi kini lebih karena haru. Rasanya seperti dunia semakin mengecil hanya untuk kami berdua. Seperti tidak ada yang lebih penting selain detik ini.

Ciuman itu… bukan akhir.

Itu adalah awal dari segalanya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Love We Left Behind [21+] Ch. 3 (Larut dalam Gairah)
6
10
Isa pikir, ciuman pertamanya akan menjadi kenangan terakhir sebelum Kak Adam pergi. Tapi, dengan begitu nekat, mereka berdua malah terlarut dalam gairah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan