
Bagian ini berisi Bab 6 sampai dengan bab 10 dan masih gratis. Selamat membaca.
Bab. 6
"Mari, Pak. Saya duluan." Mayang menundukkan kepala sekilas lalu mengangkat piring kotor dan sisa-sisa makanannya dari meja. Sangat tak sopan jika sudah menikmati makanan itu namun ia membiarkannya begitu saja---di samping kakak Bu Endah yang masih menikmati makanannya---meskipun ada beberapa petugas katering yang terlihat berkeliling membersihkan meja. Mayang tak mungkin meninggalkan piring kotor di depan pria itu. Setidaknya ia akan menyingkirkannya terlebih dahulu sebelum pergi.
"Silakan," ucap pria itu sambil mengulum senyum teduhnya. Membuat Mayang yang salah tingkat seketika membalas senyuman itu. 'Orang cakep kenapa suka senyum-senyum, bikin iman goyah aja, Pak,' ucap Mayang dalam hati sambil berpamitan pergi.
Tiga hari kemudian di hari Sabtu malam saat hendak merebahkan diri di ranjangnya, ponsel Mayang berdering. Ia pun segera meraih ponsel sambil menyamankan posisi tubuhnya di atas ranjang.
"Assalamualaikum, Yang, besok jangan lupa ya. Siap-siap, kita jalan jam enam pagi. Sopir akan jemput kamu setengah enam." Suara lembut memasuki pendengaran Mayang begitu ia menerima panggilan telepon itu. Bu Maryam yang menghubunginya setelah kemarin mengingatkan. Sepertinya wanita itu khawatir jika Mayang sampai melupakan acara mereka Minggu pagi nanti.
"Waalaikum salam. Iya, Bu. Saya akan pasang alarm agar tidak terlambat bangun," balas Mayang bersemangat.
"Ya sudah kalau begitu. Ibu bisa tenang. Setelah ini kamu istirahat aja ya. Biar besok bangunnya tidak telat. Oh ya, Bapak juga sepertinya mau ikutan. Teman-teman bapak kebetulan tidak bisa bersepeda. Makanya bapak bisa ikut kita."
Mayang menganggukkan kepala paham meskipun wanita di ujung sana tak mungkin melihatnya. Suami Bu Maryam memang sering kali bersepeda di hari Minggu bersama teman-temannya. Teman-teman sebaya yang masih begitu bugar di usia yang tak lagi muda.
"Wah, pasti menyenangkan jika bapak ikut juga, Bu. Seperti dulu." Ya, suami Bu Maryam memang pernah beberapa kali menemani Bu Maryam dan Mayang jalan pagi di hari Minggu.
"Ibu sudah ngajak Endah. Tapi dia tidak mau. Ya sudah. Kita bertiga saja. Nanti ibu akan coba mengajak Darmawan, siapa tahu dia mau. Lebih ramai lebih menyenangkan."
Mayang melotot kaget. Demi apa coba?! Bapak rektor, Darmawan Wirayuda akan diajak bu Maryam untuk jalan santai besok pagi?! Mayang pasti salah dengar.
"Memangnya Pak Darmawan tidak sibuk ya, Bu, kalau pagi-pagi diajak jalan-jalan?" tanya Mayang penasaran. Ya ampun! besok pagi ia akan jalan santai dengan pria nomer satu di kampus. Sepertinya Mayang harus menebalkan muka untuk mengambil foto-foto mereka besok. Ia akan memamerkannya pada teman-temannya. Pasti mereka semua akan melotot tak percaya. Belum apa-apa Mayang sudah berkhayal. Ia pun terkikik menutup mulutnya. Berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh bu Maryam di seberang sana.
"Kamu lupa kalau besok itu hari Minggu? Dia kan libur."
Mayang mengangguk lagi. Meskipun ia tahu Bu Maryam tak akan melihatnya. Akhirnya ia pun berucap, "Saya pikir meskipun hari Minggu beliau masih akan sibuk." Mayang terkekeh.
"Harus mau meluangkan waktu, Yang. Masak mau kerja terus menerus. Tubuh dan otak kan juga perlu diberi suntikan nutrisi. Kalau kerja tanpa henti, ujung-ujungnya tumbang. Justru tidak bisa bekerja lagi kan?"
"Iya, Ibu benar."
"Sama kayak kamu juga, Yang. Selain kuliah dan bekerja, kamu juga butuh bersenang-senang. Mumpung masih muda. Setidaknya ibu ngajak kamu jalan agar kamu bisa sedikit saja menyegarkan pikiran."
Mayang mengulas senyum lebarnya. Inilah hal menyenangkan yang ia dapatkan saat bergabung dengan keluarga Bu Endah. Mayang merasa memiliki keluarga kembali. Ia tak merasakan sendirian lagi di kota ini.
Perbincangan itu berlangsung tak lebih dari lima menit kemudian. Setelah pembicaraan berakhir, Mayang mencoba memejamkan matanya untuk bisa tidur. Ia tidak ingin bangun terlambat besok pagi.
***
Keesokan harinya, pukul setengah enam pagi, sesuai janji Bu Maryam semalam, mobil yang menjemput Mayang sudah terparkir di depan indekost. Mayang yang sebelumnya sudah siap segera memasuki mobil yang kemudian melesat membawa Mayang ke rumah Bu Maryam.
Tiga puluh menit kemudian Mayang tiba di rumah Bu Maryam. Wanita itu ternyata sudah duduk di anak tangga menuju teras rumahnya. Sepertinya sudah tak sabar untuk berangkat. Saat mobil berhenti di carport rumah. Mayang segera berlari menghampiri wanita itu lalu mencium punggung tangannya.
"Ibu kok duduk di luar?" sapa Mayang setelah melepas tautan tangannya.
Wanita itu berdecak, "Kamu ini sok tidak tahu. Biar kita cepat berangkat dong. Ayo kita berangkat sekarang!"
Mayang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Bukankah semalam wanita ini mengatakan jika mereka akan berangkat bertiga termasuk suami Bu Maryam, Pak Baharudin? Jika memungkinkan putra sulung mereka Pak Darmawan juga akan ikut serta. Namun kini, kenapa hanya ada mereka berdua?
"Bapak tidak jadi ikut ya, Bu?" Dari pada mati penasaran, lebih baik Mayang bertanya.
"Ikut dong. Itu tadi mereka di sana," tunjuk wanita itu pada pintu pagar rumahnya. "Tadi Bapak dan Darmawan lari-lari buat pemanasan, katanya. Memangnya kamu tidak ketemu di depan tadi?"
Mayang menggeleng. "Saya tidak melihat Bapak dan Pak Darmawan kok, Bu."
"Oh, mungkin mereka ambil arah berlawanan dengan kedatangan kamu. Udah yuk kita berangkat sekarang. Mereka pasti sudah menunggu." Bu Maryam menyeret tangan Mayang untuk mengikutinya.
Matanya sekilas melihat penampilan Mayang pagi ini. Celana panjang dilengkapi kaus berlengan panjang membuat Mayang terlihat manis. Apalagi sebuah tas punggung mungil yang Mayang pakai makin menunjukkan berapa umur Mayang saat ini.
"Kamu kok sampai bawa tas sih, Yang? Nanti punggung kamu pegal, lo." Bu Maryam melontarkan. Keberatannya.
"Oh." Mayang menggerakkan tasnya menggunakan bahu lalu tangannya sigap membuka tasnya. "Ini ada air mineral untuk kita bertiga, Bu. Maaf cuma tiga, karena saya tidak tahu Pak Darmawan akan bergabung dengan kita atau tidak. Jadi bawanya cuma ini," tunjuk Mayang pada tiga botol kecil air mineral. "takutnya kita nanti kehausan dan tak menemukan penjual minuman, makanya mending saya bawa air. Terus ada ponsel dan dompet saya juga biar kita bisa foto-foto," ucap Mayang antusias.
Bu Maryam terbahak. "Kamu siap banget ya, Yang. Benar-benar gadis yang tangguh. Ibu tak salah mengajak kamu. Kalau ibu tiba-tiba saja macet dijalan kamu sudah benar-benar siap."
Mayang tersenyum lebar lalu mengenakan kembali tas ke punggungnya.
"Ibu jangan ngomong yang jelek-jelek, dong. Harus semangat, harus sehat." Tangan Mayang mengepal ke atas memberi semangat.
Begitu mereka keluar pagar rumah. Dari kejauhan tampak dua orang pria berjalan ke arah mereka. Mayang langsung bisa mengenali. Pria berambut putih adalah Pak Baharudin sedangkan di sebelahnya adalah sang anak. Siapa lagi kalau bukan Darmawan Wirayuda. Rektor baru yang membuat mahasiswi seisi kampus heboh saat melihatnya.
Mayang mendesah dalam hati. Ah... Betapa beruntungnya dia. Bisa begitu dekat dengan pria ini. Tunggu saja sampai Mayang bisa mengambil gambar pria ini atau jika berani dan sedikit tak tahu malu, ia nanti bisa meminta foto bersama.
Baru membayangkan saja sudah membuat Mayang melebarkan garis bibirnya. Ia tak sabar ingin memamerkan foto-foto khayalannya itu kepada teman-temannya. Ugh... Pasti mereka kejang-kejang saking kagetnya.
###
Bab. 7
"Selamat pagi, Pak," sapa Mayang ramah pada suami Bu Maryam dan juga anak mereka, Darmawan. Tangan Mayang terulur lalu meraih punggung tangan Pak Baharudin dan menciumnya. Namun saat beralih ke putra sulung pria itu, Mayang kebingungan.
Apakah ia harus mencium punggung tangan pria itu atau tidak. Pria ini adalah rektor di kampusnya, seharusnya Mayang mencium tangan pria itu sama seperti saat ia mencium tangan Bu Endah. Namun entah kenapa hal itu terasa sedikit aneh bagi Mayang. Namun jika dipikir lagi, pria itu lebih tua dari Mayang, sudah seharusnya Mayang menghormati pria itu. Maka tanpa membuang waktu Mayang meraih tangan pria itu lalu menciumnya.
"Ini Mayang, mahasiswanya Endah. Kamu sudah tahu kan?" Pak Baharudin bertanya pada putranya.
"Iya. Sering lihat di rumah Endah," jawab Darmawan dengan senyuman yang entah kenapa membuat Mayang merasa salah tingkah. Ia masih ingat bagaimana konyolnya dia saat berada di acara Bu Endah beberapa hari yang lalu. Jangan lupakan bahwa pria ini juga tahu berapa banyak porsi seafood bakar yang Mayang habiskan. Ugh... Benar-benar memalukan.
"Oh, ya sudah kalau begitu. Kita mulai jalan sekarang," ajak Pak Baharudin yang tentu saja membuat Mayang lega.
Mereka berempat mengobrol santai sambil berjalan, sebenarnya bagi Mayang hal itu jauh dari kriteria berolah raga. Ia lebih suka jogging dalam situasi seperti ini. Apalagi hari masih benar-benar pagi. Udara begitu dingin dan pasti sangat menyenangkan jika ia berkeringat sedikit saja.
Tiga puluh menit perjalanan, Bu Maryam dan suaminya berhenti untuk beristirahat. Mayang mengeluarkan air mineral untuk mereka berdua yang langsung diterima dengan suka cita oleh pasangan lanjut itu.
"Kalian jalan duluan saja. Kami masih mau istirahat dulu. Nanti kita ketemuan di angkringan yang baru buka yang ibu ceritakan kemarin. Kalian bisa muter-muter untuk lari." Bu Maryam berucap setelah meneguk air dari Mayang. Wanita itu sudah terlihat berkeringat. Maklum saja di usianya yang sudah tidak lagi muda, bisa berjalan tegak hingga melakukan kegiatan pagi ini sudah benar-benar prestasi di saat orang lain seusianya kebanyakan hanya duduk diam di rumah atau berbaring di ranjang karena sakit.
"Kita istirahat saja dulu, Bu. Masak mau pisah-pisah kan tadi berangkatnya sama-sama." Mayang menolak meskipun dalam hati ia menyukai ide itu.
"Kalian tidak akan mendapatkan olah raga kalau mengikuti kami. Biar bapak sama ibu menyusul. Kalian lanjut saja. Satu jam lagi kita bertemu di angkringan." Pak Baharudin menambahi.
"Kalian" Mayang membatin. Siapa yang dimaksud Pak Baharudin dengan kata kalian. Yang tersisa di antara mereka kan hanya Mayang dan Darmawan. Jangan bilang ia dan pria itu yang dimaksud? Ya benar, mereka berdualah yang dimaksud pria itu. Senyum Mayang seketika patah.
"Tapi, Pak---"
"Sudah berangkat saja. Sini, tas kamu kasih ke ibu, Yang. Kalau lari sambil memakai tas pasti sulit meskipun tas kamu kecil." Pak Baharudin memotong kalimat Mayang. Tangannya terulur meminta tas Mayang. Mayang kebingungan. Ditolehkannya kepala ke arah pria yang berdiri di sebelahnya lalu berganti ke Bu Maryam. Wanita itu hanya tersenyum lalu meminta tas Mayang.
"Ayo, Yang!" Suara Darmawan memecah kebingungan Mayang. Pria itu sudah berlari kecil menjauhi Mayang.
"Sini tasnya!" Bu Maryam kembali berucap. Akhirnya Mayang melepas tas punggung mungilnya lalu berpamitan menyusul pria nomer satu di kampusnya itu.
Dalam hati Mayang mengeluh, apa ia harus berdua saja dengan pria ini? Apa selama satu jam ke depan ia tak akan canggung? Ah... Lupakan saja hal itu. Bukankah mereka tidak sedang dalam mode mengobrol atau saling mengakrabkan diri. Mereka berolah raga. Jogging lebih tepatnya. Tak perlu ada obrolan dan sejenisnya.
Mayang pun berlari menyusul pria yang sudah meninggalkannya. Dalam hati ia akhirnya tersenyum. Kapan lagi bisa mendapatkan kesempatan ini? Tidak akan bukan?
"Kita ke mana ini, Pak?" tanya Mayang saat sudah bisa menjajari Darmawan.
Pria itu menunjuk arah kanan pada jalanan di depan mereka. Hari ini meskipun masih cukup pagi, jalanan sudah lumayan ramai oleh orang-orang yang ingin menghabiskan pagi mereka untuk berolah raga. Untung saja arah ke kanan yang ditunjuk Darmawan lebih sepi karena mereka berbelok keluar dari jalan utama. Pepohonan juga lebih rimbun yang membuat matahari yang sudah bersinar belum mampu menembus rimbunnya dedaunan yang menaungi jalan yang Mayang lalui.
"Kamu sering jalan sama Ibu?" Pertanyaan itu adalah kalimat pertama yang Darmawan lontarkan setelah mereka hanya berdua saja.
"Kalau jalan pagi seperti sekarang sih jarang, Pak. Tapi kalau menemani Ibu sih sering."
"Menemani seperti apa?"
"Kadang menemani ibu berbelanja atau jika ibu ada acara saya diajak. Tidak hanya ibu sih sebenarnya, tapi juga Bu Endah. Saya juga pernah jagain keponakan Bapak, anak-anak Bu Endah."
"Oh, ya!?" Darmawan berseru tak percaya. "Memangnya Endah ke mana kok sampai kamu diminta menjaga anak-anak. Asisten rumah tangganya memangnya tidak ada?"
"Ada sih, Pak. Tapi kan anak-anak minta berenang atau jalan-jalan ke taman bermain. Ya saya yang menemani sama si mbak. Lumayan saya bisa ikutan main." Mayang terkekeh. Apapun yang berkaitan dengan keluarga Bu Endah memang selalu menyenangkan.
"Wah, kamu ternyata serba bisa ya."
"Cuma menemani saja, Pak. Semua orang juga bisa."
Darmawan hanya bergumam pelan yang tak mampu Mayang dengar. Akhirnya Mayang kembali melontarkan kalimat. "Saya pikir Pak Darmawan tidak akan bergabung pagi ini."
"Kenapa kamu harus berpikir seperti itu?" Darmawan menolehkan kepala sejenak pada gadis di sampingnya. Mengamati rambut panjang Mayang yang bergerak seiring dengan kaki gadis itu yang terus berlari.
"Bapak kan orang nomer satu di kampus. Pasti sibuk sekali, bukan? Jadi saya begitu terkejut saat Pak Darmawan ternyata ikut menemani Bapak dan Ibu."
"Oh..." Darmawan seketika paham maksud ucapan Mayang. "Saya kan juga manusia normal. Butuh olahraga, butuh menyegarkan pikiran, juga butuh berkumpul dengan keluarga."
Mayang menganggukkan kepalanya. Setelah itu percakapan terhenti. Mereka lebih fokus pada jalanan di depan mereka. Satu dua kalimat akan mereka lontarkan saat melihat sesuatu yang menarik mata masing-masing hingga satu jam berikutnya Mayang dan Darmawan tiba di angkringan yang telah menjadi tempat kedua orang tua Darmawan menunggu.
"Kalian muter sampai mana? Kok Mayang sampai lemas begitu?" Suara Bu Maryam terdengar begitu Mayang dan Darmawan duduk di bangku panjang di bawah pohon trembesi yang cukup rindang. Gadis itu segera menerima gelas berisi eh tes yang Bu Maryam ulurkan. Menenggak isinya hingga habis.
"Astaga, Mayang! Kamu kok sampai kalap begitu? Seberapa jauh kalian jogging tadi?" Bu Maryam kembali melontarkan pertanyaan.
"Mayang gengsi sewaktu saya ajak berhenti untuk beristirahat dan membeli minuman." Darmawan tersenyum pongah saat mengingat bagaimana keras kepalanya Mayang. Entah karena sungkan atau memang karena cukup kuat, gadis itu menolak saat ia menawarkan untuk beristirahat di perjalanan tadi. Mayang juga menolak saat pria itu berniat membelikan minuman.
Setidaknya pria itu salut atas kegigihan Mayang yang masih mampu mengimbanginya berlari tadi. Meskipun tak lagi muda, namun Darmawan bukanlah pria yang lembek. Ia suka berolah raga, setiap hari ia akan melakukannya. Entah itu hanya jogging atau bersepeda jika ia tak mempunyai cukup waktu. Setidaknya ia wajib menggerakkan tubuh setiap harinya.
"Saya pikir Pak Darmawan jarang berolah raga mengingat kesibukan beliau, tapi saya salah," ucap Mayang menahan malu setelah ia menghabiskan segelas es teh.
"Memangnya Darmawan seperti apa menurut kamu sebelumnya?" Bu Maryam masih belum puas.
"Saya kira Pak Darmawan tipe pekerja kantoran yang sangat jarang berolah raga. Apalagi... Maaf." Mayang memandang Darmawan lalu mengulas senyum sungkan, "Pak Darmawan kan berkulit bersih. Tidak terlihat tanda-tanda suka olahraga." Mayang merasa kikuk, takut jika kalimat yang telah ia ucapkan menyinggung pria yang masih menatapnya dengan senyum geli.
"Kamu tidak lihat lengannya ya, Yang. Tuh lihat saja. Kekar kayak gitu dapat dari mana kalau tidak berolah raga," ucap Bu Maryam sambil menunjuk lengan putra sulungnya. Membuat Mayang makin kikuk.
Mereka akhirnya memesan sarapan sambil berbincang akrab hingga satu jam kemudian. Setelah menikmati sarapan, mereka semua kembali pulang dengan langkah lebih santai. Sebenarnya jarak yang mereka tempuh tidak begitu jauh dari rumah. Namun karena tadi Mayang dan Darmawan mengambil jalur berbeda maka satu jam perjalanan mereka habiskan untuk sampai di angkringan yang mereka jadikan tempat berkumpul.
Setidaknya, dari semua itu, Mayang mendapatkan keinginanya. Ia akhirnya bisa mengambil foto bersamaang nomer satu di kampus. Esok ia akan memamerkan foto-foto itu kepada teman-temannya. Ah, betapa menyenangkan saat membayangkan kekagetan di mata mereka.
###
Bab. 8
"Yang, nanti kita makan siang bareng ya? Aku jemput kamu jam dua belas." Suara Rico terdengar saat Mayang baru saja tiba di indekostnya.
"Aku capek, Co. Habis jogging. Pengin rebahan aja di kost-an." Mayang mengubah mode panggilan pada ponselnya lalu meletakkan benda itu dilantai saat ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak sepatu mungil di depan kamarnya.
"Tuh kan. Kamu joggingnya kok enggak bilang-bilang. Kamu jogging sama siapa? Emang bisa bangun pagi buta kok jam segini sudah selesai." Tawa Rico terdengar mengejek yang dibalas Mayang dengan sindiran khasnya.
"Aku kan bukan anak sultan kayak kamu, Co. Kalau aku enggak bangun lebih pagi, kerja dan belajar lebih keras, bisa-bisa aku tidur di emperan toko."
Kali ini tawa Rico semakin keras. "Enggak bakal aku biarin dong, Sayang. Calon istriku enggak akan hidup susah. Cukup cantikin diri deh dan jaga anak-anak kita kelak. Biar aku bekerja keras banting tulang untuk mencukupi kebutuhan kalian."
Mayang mengernyit jijik. "Ih, lulus aja kagak. Gimana bisa enakin anak istri. Ogah banget deh jadi istri kamu."
Rico masih tetap terbahak. Diantara derai tawanya, pemuda itu berucap, "Udah deh, Yang. Aku bakalan tunjukin ke kamu bagaimana seriusnya ucapan-ucapanku. Yang pasti jam dua belas kamu sudah siap ya. Dandan yang cantik nanti kita makan siangnya sama mama dan papa." Nada ceria begitu terasa di pendengaran Mayang. Mau tak mau Mayang akhirnya mengiyakan meskipun saat ini ia begitu lelah. Lelah karena mengekori si bapak rektor yang ternyata menempuh rute yang cukup panjang saat mereka jogging beberapa jam yang lalu. Salahnya juga yang tak melontarkan keberatan saat pria itu menawarkan untuk menempuh jalur yang cukup panjang itu. Satu jam penuh ia habiskan untuk berlari. Ya, benar-benar berlari tanpa berjalan sekalipun.
Mungkin setelah ini ia tidak lagi meremehkan kekuatan orang lain. Terutama makhluk berjenis kelamin laki-laki. Mayang mengira Darmawan Wirayuda hanyalah seorang pria kantoran berusia pertengahan empat puluhan yang jarang berolah raga dan tak mungkin mampu menempuh jarak yang jauh saat jogging. Ternyata ia salah. Mayang bukan apa-apa dibanding pria itu. Akhirnya mau tak mau karena terlanjur malu, Mayang menurut saja saat pria itu mengambil jarak tempuh yang cukup jauh pagi tadi.
"Terserah kamu deh, Co," jawab Mayang pasrah. Lagi pula kebersamaan bersama orang tua Rico begitu menyenangkan. Bahkan jika boleh jujur, Mayang justru menyukai kedua orang tua Rico dari pada pemuda itu sendiri. Benar-benar aneh.
Salahkan saja Mayang yang begitu menyukai kehangatan interaksi orang tua Rico. Rasa iri tentu saja ada. Sedari kecil ia tak mendapatkan kehangatan seperti yang Rico rasakan. Ia pun ingin merasakan hal serupa.
Maka, tepat pukul dua belas saat Rico sudah berdiri di depan teras indekostnya, Mayang segera turun dari lantai dua kamarnya untuk segera menemui pemuda itu. Tak sampai lima menit kemudian Mayang sudah duduk manis di boncengan motor matik yang Rico kendarai lengkap dengan helm pink norak bertuliskan Rico's girl.
"Motor kamu mana, Co. Kok pakai ini?" tanya Mayang saat motor yang Rico kendarai melesat membelah kemacetan.
"Tadi habis dicuci, aku takut kotor. Apalagi langitnya kayak enggak bersahabat. Kalau sampai kehujanan dan kena becek kan kasihan," ucap Rico memelas yang dibalas Mayang dengan pukulan di bahu Rico.
"Motor aja kamu sayang-sayang."
"Kamu kan enggak mau aku sayang. Padahal kode-kodenya sudah jelas." Rico mulai berceloteh.
"Aku kan enggak pernah ikut pramuka jadi enggak tahu dan enggak paham kode-kodean," jawab Mayang cuek.
"Ya Tuhan! Ampunilah dosa hamba. Kenapa kali ini sulit banget ngeladenin cewek di boncengan hamba." Rico mulai melantur, hal yang justru kini membuat Mayang melebarkan senyuman. Meskipun tengil tapi pemuda ini memang benar-benar cukup menghibur.
"Jadi, motor siapa yang kita naiki sekarang?" Mayang mengulang pertanyaannya.
"Punyanya Pak Didin. Yang biasa nyetirin papa tuh. Aku pinjam. Kenapa emang? Kamu enggak nyaman ya?"
"Bukannya enggak nyaman. Tapi enak pakai ini. Nyaman duduknya. Enggak perlu nungging-nungging. Motor kamu dapat cakepnya doang. Nyamannya enggak. Kayak kamu."
"What the fuck! Masak aku cuma dapat cakep doang, Yang? Nanti aku mau bilang papa, mau minta beli matik aja biar kamu seneng dibawa-bawanya," teriak Rico cukup kencang membuat Mayang lagi-lagi memukul bahu pemuda itu.
"Kamu jangan teriak-teriak terus. Malu-maluin dijalanan kayak Tarzan." Setelahnya obrolan mereka pun mengalir santai hingga tiga puluh menit kemudian motor yang dikendarai Rico memasuki halaman rumah bergaya mediterania yang cukup megah. Mayang sempat terkagum-kagum mengamati bangunan di depannya. Apalagi saat Rico menariknya dengan tak sabaran memasuki rumah.
Menyeberangi ruang tamu, ruang keluarga lalu langsung menuju ruang makan. Aroma sedap makanan seketika merasuki hidung Mayang.
"Ma... Mama... Ini nih menantunya datang!" teriak Rico sambil terus menarik tangan Mayang. Mayang yang merasa risih berusaha menarik tangannya namun cengkeraman Rico pada jemarinya begitu kuat. Mayang tak bisa melepaskannya.
Seorang wanita keluar dari ruangan yang Mayang perkirakan adalah dapur, lengkap dengan apron kuning pucat yang dikenakannya. "Wah, akhirnya kalian datang juga. Apa kabar, Mayang?" Suara hangat Indriana, ibu Rico menyambut Mayang. Wanita itu mendekat lalu mengulurkan tangan yang segera disambut Mayang dengan mencium punggung tangannya. Wanita itu lalu menempelkan pipinya ke pipi Mayang setelah sebelumnya menarik tangan Mayang yang semula digenggam erat oleh Rico.
"Kabar baik, Tante. Semoga Tante juga."
"Pasti dong," balas wanita itu sambil pengacungkan jempolnya.
"Oh ya, panggil papa dulu sana. Kita langsung makan setelah ini. Semuanya sudah siap kok." Indriana meminta anaknya untuk memanggil sang suami.
"Tante masak sendiri ya?" tanya Mayang begitu melihat Indriana melepas apronnya menuju dapur. Mayang yang kebingungan harus bagaimana akhirnya mengekor di belakang wanita itu. Mengikutinya ke dapur.
"Mama mana pernah masak. Yang ada sih meledakkan dapur," jawab Rico dari kejauhan sebelum kemudian menghilang di salah satu ruangan yang tak Mayang tahu. Pasti di sanalah ayah pria itu berada.
Indriana terkikik lalu meletakkan apronnya di meja dapur yang telah tertata berbagai macam hidangan yang terlihat menggiurkan.
"Rico kalau ngomong tuh suka benar. Pekerjaan yang paling tidak tante tahu dan suka ya masak, tapi setidaknya tante memastikan hidangan apa saja yang boleh masuk ke perut anak dan suami tante." Wanita itu mengulas senyuman bangga.
"Tuh, semuanya pasti lezat. Tante sendiri yang ngawasi si mbak masak," tunjuk Indriana pada deretan hidangan di meja. "Selera tante cukup bagus lo." Lagi-lagi wanita itu berucap bangga yang dibalas senyuman Mayang. Dalam hati Mayang membatin, Hebat nih si mama, cuma ngawasi asisten rumah tangganya masak aja sudah bangga.
"Mbak, tata di meja makan ya. Jangan lupa tambahin satu piring lagi." Indriana memerintah seorang asisten rumah tangga. Sedangkan seorang wanita lain yang terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam lemari es.
Mayang mengamati dapur rumah itu. Sebuah dapur terbuka yang memungkinkan siapapun yang memasak bisa menikmati pemandangan taman belakang rumah yang menyegarkan mata. Deretan bunga beraneka warna yang kebetulan sedang mekar membuat Mayang tak berkedip mengaguminya. Apalagi sebuah ayunan berbahan kayu menghiasi salah satu sudut tamat. Lengkap dengan bantalan empuk yang pasti akan begitu nyaman saat membaca atau bahkan tidur siang di sana. Meskipun hari terik sekalipun pasti tak akan terasa panas karena teduh ternaungi pepohonan rindang di atasnya.
"Dapur Tante benar-benar luar biasa. Pasti sangat menyenangkan saat memasak, kita bisa melihat taman yang begitu indah di luar sana. Udara segarnya juga bisa terasa sampai di sini," ucap Mayang dengan sorot mata kagum.
"Papanya Rico yang meminta desain seperti ini." Wanita itu mengangkat tangannya, merentangkan seolah menunjukkan seluruh bagian-bagian dapur. "Kalau tante kan tidak suka masak, jadi ya tidak ngefek apa-apa sih." Wanita itu terkikik. "Eh, Kamu suka masak?" tambah wanita itu.
Mayang mengangguk. "Suka banget, Tante. Tapi sayangnya masakan saya rasanya mengerikan," keluh Mayang lemah.
"Kalau begitu besok-besok kamu coba masak di sini saja, Yang. Temani Mama masak." Suara Rico terdengar. Pemuda itu tiba-tiba saja sudah ada di belakang Mayang. "Ya, enggak, Pa?" Rico menoleh ke belakang. Memandang sang ayah yang mengekorinya.
Pria di belakang Rico mengulum senyuman. "Pantas dicoba tuh. Kapan? Minggu depan? Jangan lupa hubungi pemadam kebakaran untuk berjaga di depan," balas Mahesa Satrawijaya, ayah Rico.
"Kalian tuh paling pintar kalau ngerjain orang. Kalau Mayang mau masak ya masak saja. Kalau mama sih, jadi jurinya saja." Tawa Indriana terdengar di dapur luas rumah itu. "Ayo ah. Kita makan. Pasti kalian semua sudah lapar."
###
Bab. 9
Makan siang itu berjalan dengan menyenangkan meskipun mama Rico terlihat sibuk dengan ponselnya. Setelah menyelesaikan makan siang semua orang pindah ke halaman belakang rumah menikmati semilir angin yang sudah tidak sepanas tengah hari tadi. Mayang tentu saja bersuka cita. Sekilas tadi ia begitu mengagumi halaman belakang rumah Rico, kini saat ia bisa menikmati tempat itu tentu adalah suatu hal yang luar biasa.
"Tante tinggal dulu ya, Yang. Maaf tante harus siap-siap kebetulan ada acara." Indriana berucap beberapa menit setelah mereka berempat duduk di halaman belakang. Mayang hanya mengiyakan dengan senyuman. Berbeda dengan Rico. Pemuda itu terlihat tidak suka.
"Mama kenapa sesekali duduk diam aja di rumah. Sibuk banget sih tiap hari. Udah ngalahin ibu mentri aja. Perasaan, papa yang ngantor aja enggak sesibuk mama. "
"Ih, anak kecil enggak usah sok ngatur urusan orang tua deh." Indriana berucap cuek lalu mengalihkan pandangan pada sang suami. "Sayang, mobilnya aku pakai ya. Kamu kan enggak kemana-mana."
"Pamer," ejek Rico yang tak dipedulikan sang ibu. Bukan tanpa alasan Rico melontarkan kata itu, sang ayah beberapa waktu yang lalu baru saja mengganti mobilnya. Namun justru sang ibu yang lebih sering menggunakan kendaraan itu.
Anggukan diberikan oleh ayah Rico sebelum kemudian wanita itu bergegas memasuki rumah.
"Mama mau jalan ke mana sih, Pa? Ngapain juga pakai mobil, Papa?" Rico masih enggan melepas topik obrolan tentang ibunya.
"Ada reunian sambil arisan kalau tidak salah," jawab Mahesa tenang. Pria itu menyelonjorkan kaki di atas kursi malas di pinggir kolam renang. Menikmati angin yang semakin menyegarkan.
"Papa enggak ikut?"
"Urusan perempuan, Co."
"Reunian lo, Pa. Ntar kalau mama kena CLBK, gimana? Pasti mama dandannya cantik tuh."
Tawa keras seketika terlontar dari mulut sang ayah. Mayang yang sedari tadi mendengarkan kalimat demi kalimat yang Rico lontarkan mau tak mau ikut menahan tawa. Bukannya apa, Rico terdengar terlalu cemburu dan tak menyukai kegiatan ibunya.
"Kasihan mama kamu kalau di rumah terus, Co. Pasti bosan. Makanya biar sesekali keluar, berkumpul dengan teman-temannya."
"Ih, kalau mama sih bukan sesekali, Pa. Setiap hari keluar, kemarin aja sampai enggak sempat nyiapin makan siang kan gara-gara enggak pulang-pulang. Rico akhirnya cuma makan mi instan." Rico bersungut sebal.
"Salah kamu juga. Makanan sudah siap kok tidak dimakan. Alasannya nunggu mama datang. Si bibi sudah masak banyak kok malah tidak disentuh. Justru buat mie instan sebagai bentuk unjuk rasa ke mama." Akhirnya tawa Mayang ikut meledak. Membuat Rico kembali bersungut sebal kepadanya.
"Tuh kamu sekarang berkomplot dengan Papa, Yang."
"Kamu manja banget ya, Co?" Mayang berucap di antara gelak tawanya. Obrolan itu berlanjut dengan Rico yang lebih banyak mendominasi. Mayang ikut menimpali sedangkan ayah Rico lebih banyak jadi pendengar. Pria itu terlihat berulang kali menekuri ponselnya hingga tak sampai tiga puluh menit kemudian suara Indriana terdengar.
"Pa! Pak Didin barusan berangkat ke swalayan untuk belanja sama si bibi. Aku minta dianterin aja ya. Nanti pulangnya aku bisa minta anter teman-teman." Indriana sudah berdiri tak jauh dari mereka dengan penampilan yang jauh berbeda. Mayang yang melihatnya seolah terpana. Cantik, begitu sempurna. Itulah yang ada di otak Mayang.
Tubuh tinggi nan indah Indriana terlihat layaknya model yang baru keluar dari majalah fashion. Gaun cantik selutut itu melekat begitu pas di tubuh putihnya. Tas dan stiletto dengan warna senada menyempurnakan penampilan wanita itu. Apalagi rambut kecoklatan yang tergerai indah itu adalah hal yang tak kalah luar biasa. Entah kenapa sosok mama Rico mengingatkan Mayang pada Queen Rania. Ratu cantik dari Yordania. Ya, seperti itulah penggambaran Mayang pada ibu Rico.
"Mama mau reunian atau gimana sih? Kok cantik amat. Awas aja lo kalau sampai aneh-aneh." Tiba-tiba Rico yang menyahut membuat sang ibu tertawa sambil mengibaskan tangan.
"Ayo, Pa?" Indriana mengajak sang suami. Namun Rico menghentikan.
"Biar aku yang anterin mama aja, Pa. Sekalian biar tahu mama reuniannya ke mana." Rico bangkit dari kursi. Mayang yang kebingungan dengan tindakan Rico pun ikut bangkit. Namun pemuda itu justru menghentikan tindakan Mayang.
"Kamu tunggu di sini aja, Yang. Cuma sebentar kok aku nganterin mama. Temanin papa aja dulu."
"Biar papa yang antar mamamu, Co," sahut ayah Rico.
"Aku aja. Cuma sebentar." Rico melesat meninggalkan Mayang dan ayahnya. Menyusul ibunya yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Mayang yang hanya ditinggalkan berdua saja akhirnya merasa canggung. Apalagi ayah Rico terlihat mengembalikan posisinya seperti semula. Duduk bersandar menyelonjorkan kaki dengan begitu santai.
"Kuenya di makan, Mayang," Mahesa Sastrawijaya berucap setelah kecanggungan yang terjadi di lima menit awal kebersamaan mereka.
"Makasih, Om. Iya saya makan." Tanpa berpikir Mayang langsung mengambil cup cake di meja yang membatasi dirinya dan pria di sebelahnya. Setidaknya dengan menikmati kue, kecanggungan yang ia alami akan terkikis.
"Sudah lama kenal Rico?" Pertanyaan itu terdengar saat Mayang selesai menelan cup cake di mulutnya.
"Baru-baru ini, Om."
"Teman satu jurusan?"
"Bukan, Om. Saya anak hukum."
Pria di samping Mayang terlihat menganggukkan kepala.
"Mayang sekarang semester berapa?" tanya pria itu lagi.
"Masuk semester tujuh, Om. Sebentar lagi skripsi."
"Skripsi ya." Pria itu mendesah pelan. "Entah sampai kapan Rico mampu menyelesaikan skripsinya. Saat ini saja masih banyak mata kuliah yang belum ia selesaikan. Jangankan menyelesaikan mata kuliah yang belum ia tempuh. Yang sudah ditempuh saja masih banyak yang harus diulang."
Mayang membisu tak berani berkomentar. Berarti memang benar kabar yang beredar. Rico si mahasiswa semester akhir yang entah kapan berakhir. Pemuda itu masih banyak mempunyai tanggungan yang harus diselesaikan.
"Tolong dimotivasi Rico-nya, Mayang. Agar dia lebih serius lagi menyelesaikan kuliahnya. Saya khawatir lama kelamaan dia kena Drop out. Pasti lebih menyakitkan bagi dia."
"Saya tidak berani memberikan harapan, Om. Tapi akan saya usahakan."
Pria itu lagi-lagi menganggukkan kepala lalu mengucapkan terima kasih. Setelah perbincangan itu, tak ada lagi perbincangan berikutnya. Mahesa Sastrawijaya terlihat menekuri ponselnya lalu meletakkan benda itu di meja di sebelahnya. Setelahnya pria itu hanya duduk di posisinya semula. Bersandar sambil berselonjor. Tidak ada obrolan atau perbincangan akrab lainnya. Hal yang membuat Mayang semakin canggung dan tak nyaman. Ia berulang kali menoleh ke belakang berharap Rico kembali secepatnya.
###
Bab. 10
"Terima kasih banyak atas undangan makan siangnya, Om. Maaf sudah merepotkan," pamit Mayang pada ayah Rico sekembalinya Rico dari mengantarkan ibunya. Sebenarnya Rico memaksa agar Mayang tinggal lebih lama. Namun ia menolak. Sedari makan siang ia sudah di rumah ini, tak mungkin ia terus menerus berada di sini. Tidak sopan. Itulah yang Mayang pikirkan. Lagi pula ia tidak mempunyai hubungan apapun dengan Rico. Mereka hanya sekadar teman. Ia tak mau menimbulkan prasangka yang berbeda di mata orang tua Rico.
Kali ini Rico mengantarkan Mayang pulang menggunakan mobil sang ayah. Mendung menggantung di atas sana. Ia khawatir akan turun hujan.
"Kamu ngobrol apa aja sama papa?" tanya Rico saat mobil yang ia kemudikan keluar dari pagar rumahnya.
"Nggak banyak sih cuma ngobrolin kamu."
"Eh?"
"Kamu harus lebih fokus sama kuliah, Co. Jangan main terus."
"Mumpung masih muda makanya suka main. Nanti kalau sudah kayak papa kan cuma mikirin kerja sama keluarga aja," jawab Rico santai.
"Kalau kamu enggak serius dari sekarang ya enggak mungkin bisa sukses kayak papa kamu."
"Eh kata siapa? Papa dulu waktu muda hobi senang-senang. Nih, aku buktinya. Lahir duluan saat papa sama mama masih kuliah," balas Rico ringan tanpa beban, hal sebaliknya terjadi pada Mayang. Gadis itu seketika bungkam. Tak tahu harus mengatakan apa pada pemuda di sebelahnya itu. Ia tak tahu menahu apa yang terjadi pada keluarga Rico. Pun tak berani mencari tahu.
"Papa tuh selalu berpesan, jangan mengulangi kesalahan yang sama kayak beliau. Aku sudah ngelakuin itu kan? Toh sampai sekarang aku enggak pernah aneh-aneh. Meskipun suka gonta-ganti pacar tapi aku enggak pernah ngelakuin yang satu itu ke cewek yang dekat denganku. Aku rasa itu sudah sesuai harapan papa."
Mayang hanya mendengar, tak sedikit pun membalas kalimat Rico. Ia tak tahu apa-apa tentang keluarga Rico ia tak berani ikut campur lebih dalam lagi. Saat menemukan kalimat yang tepat ia akhirnya kembali berucap, "Sepertinya kamu juga harus menambahkan kuliah lebih terarah di tujuan kamu, Co. Pasti papa kamu akan lebih bangga lagi." Saat tak mendengar respons apapun, Mayang menambahi. "Papa kamu sayang banget ya sama kamu, Co. Kamu beruntung banget." Mayang berucap sambil menatap kosong jalanan di depannya.
"Pasti!" jawab Rico mantap.
"Kamu beruntung banget, Co. Masih mempunyai papa sama mama yang lengkap. Buat mereka bangga. Dari pada kayak aku. Sesukses apapun aku nanti, ayah dan ibuku tidak akan bisa melihat keberhasilanku." Mayang berucap dengan mata berkaca-kaca. Selalu seperti ini. Ia sering kali iri saat melihat bagaimana sebuah keluarga yang masih utuh begitu berbahagia.
"Tuh, kan. Kamu mulai lagi. Aku kan pernah bilang. Kamu bisa menganggap papa dan mama sebagai orang tua kamu juga." Rico berulang kali menolehkan kepala pada Mayang di sebelahnya. Tangan kirinya berusaha menggapai jemari Mayang meremasnya lembut untuk memberikan dukungan.
"Beda, Co. Semuanya tidak akan sama."
Embusan napas lelah terdengar dari mulut Rico.
"Jujur aja. Aku sering banget lo kesal campur iri sama kamu. Kamu benar-benar beruntung memiliki segalanya. Orang tua yang masih lengkap yang begitu menyayangimu. Kamu juga memiliki segalanya yang enggak aku punya."
"Lalu aku harus apa, Yang? Keadaanku kan memang seperti itu." tanya Rico dengan nada memelas. Ia merasa bingung dengan setiap kalimat yang Mayang lontarkan.
"Tidak ada. Aku cuma merasa betapa tidak bersyukurnya diri kamu dengan apa yang kamu miliki. Kamu menyia-nyiakan kesempatan dan semua hal yang kamu miliki. Kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi di depan nanti. Buat orang tuamu bangga selagi masih bisa. Mulailah lebih serius menjalani hidup kamu sebelum semuanya terlambat."
Rico terdiam. Remasan tangannya di jemari Mayang terasa semakin kencang. Entah itu adalah pertanda Rico akan mengambil langkah yang Mayang sarankan ataukah sebaliknya.
***
"Kamu baik-baik aja, 'kan, Yang? Enggak apa-apa kalau aku tinggal?" Rico bertanya saat mereka tiba di indekost Mayang. Pemuda itu enggan meninggalkan Mayang saat dilihatnya wajah gadis itu masih mendung. Obrolan di mobil tadi tampaknya membuat suasana hati Mayang memburuk hingga mereka tiba di indekost Mayang.
"Kamu balik aja, aku baik-baik aja kok. Makasih banyak ya sudah ngajak aku makan siang. Semuanya begitu menyenangkan." Mayang mendorong tubuh Rico pelan. Berharap pemuda itu segera meninggalkan indekostnya.
"Besok kita makan bareng lagi ya?"
"Besok jadwalku padat. Setelah kuliah aku akan ke butik Bu Endah sampai sore."
"Aku anterin ya berangkatnya?" Rico masih tak menyerah.
"Ih, kamu kenapa sih? Biasa aja kali. Kok jadi aneh. Aku bisa kok ke butik Bu Endah sendirian. Kan biasanya juga seperti itu."
"Karena aku pengin dekat sama kamu, Yang."
"Ini kan sudah dekat." Mayang menunjuk Rico yang berdiri selangkah di depannya.
"Bukan cuma jarak fisiknya, Yang, tapi juga hubungannya," bantah Rico keras kepala.
"Kan kita sudah dekat. Aku tidak akan mengikuti ajakan kamu kalau kita tidak dekat."
"Lebih dari itu, Yang. Aku mau kita me---"
"Sudah sore. Tuh langitnya gelap banget. Kayaknya bakal hujan deras," tunjuk Mayang pada langit di atasnya.
"Aku kan bawa mobil, Yang."
"Dan jangan lupa kalau kita meninggalkan helm pink norak itu di rumah kamu."
Rico menepuk dahinya. Menyadari jika ia melupakan sesuatu. Hal yang membuat Mayang lega karena fokus pembicaraan mereka teralihkan.
Setelahnya Mayang begitu mudah menyuruh pemuda itu pulang. Terlalu lama terlibat pembicaraan dengan Rico memang acap kali melelahkan meskipun hal itu lebih sering menyenangkan terutama saat pemuda itu mengajaknya bergabung untuk makan siang bersama orang tuanya seperti tadi.
Mayang merasakan seolah-olah punya keluarga. Punya orang-orang yang menyayanginya. Dan keluarga Rico adalah salah satu jenis keluarga yang ingin ia miliki. Seorang suami penyayang keluarga seperti ayah Rico yang begitu memuja istrinya. Yang meletakkan kepentingan anak-anak dan istrinya di atas segalanya. Seorang istri cantik yang menyenangkan suaminya, yang mendampingi anak-anaknya, yang bisa dijadikan anak-anaknya sebagai tempat bermanja seperti halnya Rico yang mau makan jika ibunya yang menyiapkan. Betapa bahagianya seandainya ia menjadi bagian dari mereka atau bahkan memiliki itu semua.
###
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
