The Pursuit Of Perfection (Bab 1 s/d Bab 5)

2
0
Deskripsi

Bagian ini adalah bagian awal cerita Mayang yang belum dipublish di Karyakarsa. Bagian ini berisi bab 1 sampai bab 5 dan masih gratis. Selamat membaca.

###

BLURB

Selalu bergonta-ganti pacar sesering membayar tagihan rekening listrik bulanan, itulah yang selalu Mayang lakukan hingga orang-orang di sekitarnya menyebutnya si cewek gampangan. Namun, ia tak mempermasalahkannya demi mendapatkan calon masa depan sempurna dengan bibit, bebet, dan bobot yang tak diragukan.

Berhasilkah Mayang mendapatkan calon...

Bab. 1

"Kita putus!"

"Loh kok putus sih, Yang. Jangan gegabah dong kalau ambil keputusan."

"Gegabah pala lu peyang! Mata udah mau lepas tiap lihat mahasiswi baru itu. Sekali salah berarti putus."

"Kamu cuma salah paham, aku nggak ngapa-ngapain sama anak baru itu. Kenal aja enggak." Dannis mencoba meyakinkan gadis di depannya.

"Makanya kali ini aku kasih kamu kesempatan buat deketin dia. Dari pada cuma sembunyi-sembunyi takut ketahuan sama aku. Enak kan?" Mayang muak. Benar-benar muak berurusan dengan makhluk bermata sipit yang terus memohon kepadanya. Berkali-kali ia menangkap basah mata Dannis yang terlihat bernafsu saat melihat seorang mahasiswi baru, adik tingkatnya. Rasa jijik seketika merasuki". Ia tidak mungkin mau menjalin hubungan dengan seorang penjahat kelamin seperti Dannis.

Ternyata gosip yang beredar memang benar, Dannis adalah cowok penggila cewek semok berbody aduhai, matanya tak akan bisa lepas memandangnya. Untung saja Mayang adalah cewek yang tak jauh beda dengan Xena, si super hero wanita. Sekali Dannis coba grepe-grepe, bisa patah jari-jarinya.

Mungkin salah satu alasan Dannis nembak Mayang adalah karena tubuh Mayang yang tak jauh beda dengan salah satu Mbak-mbak penyanyi dangdut yang hobi wara-wiri di layar kaca, menonjol di mana-mana. Duh, siapa juga yang pengin punya badan kayak gitu. Bahkan Mayang sendiri risih memilikinya.

Tak masalah meskipun belum genap sebulan ia menjadi pacar Dannis kemudian sekarang mereka putus. Keselamatannya lebih penting dari pada sekedar kenaikan status dari jomlo menjadi taken.

"Ayolah, Sayang. Jangan ngambek terus. Kamu terlalu cemburu." Dannis mengeluarkan rayuannya.

"Eitss... Nggak usah panggil sayang-sayang lagi ya. Jijik banget tahu. Pokoknya mulai detik ini kita putus. Jangan dekat-dekat aku lagi atau cari aku lagi."

Dan akhirnya hanya seperti itu. Meskipun Dannis berusaha meyakinkan dan meminta maaf kepada Mayang, tetapi Mayang tetap pada keputusannya. Dannis harus menjadi kisah cinta yang bahkan tak sampai seumur jagung.

***
"Gimana, May? Lancar?" Siska sahabat Mayang sudah muncul sesaat setelah Mayang meletakkan pantatnya di kursi kelas mereka. Mayang mendengkus, "Lancar apaan? Senang banget lihat orang putus," sindir Mayang. Siska hanya terbahak.

"Untung kamu belum digrepe-grepein sama dia. Mantap banget kamu langsung mutusin dia. Tuh orang emang gila banget. Belum sebulan jadian sama kamu udah ngajak kenalan sama si anak baru yang bodynya sebelas dua belas sama mbak Depe."

"Putus satu tumbuh seribu lah, May. Yang ngantri masih banyak di belakang," Siska melanjutkan.

"Ni anak ringan banget mulutnya. Pasti makannya tiap hari cuma krupuk "

"Betul kan May? Hilang Dannis ganti si Rico tuh. Anak teknik, duh tongkrongannya keren. Motornya baru, May. Udah tampang mirip Marquez, ih tunggangannya sebelas dua belas lagi sama si doi. Kalau ntar dia nembak iya-in aja. Masuk angin dikit kalau jalan kayaknya nggak masalah deh. Cukup modalin minyak kayu putih sama jaket, beres. Aku dengar dia cowok yang dermawan lo. Enak kan bisa ngajak makan gratis terus dan jangan lupain aku kalau sudah deal." Siska sudah mulai menyalakan api di kepala Mayang.

Prinsip Siska sih pacaran gonta-ganti enggak masalah yang penting keuntungan yang didapat juga lumayan. Satu hal yang penting, jangan sampai terjerumus. Just dating, no kissing, no sleeping. Prinsip yang kemudian ditularkan kepada Mayang.

"Eh, aku masih masa berkabung nih. Baru dua jam putus. Masak sudah disodorin aja sama si Rico. Lagian sok tahu banget sih kamu, Sis. Nggak mungkinlah si Rico suka sama aku. Mantannya aja si model cantik itu." Mayang menyebut salah satu mantan kekasih Rico yang kebetulan adalah seorang model yang beberapa kali terlihat di layar kaca.

"Gimana enggak sok tahu, dianya sendiri titip salam buat kamu kemarin. Makanya kamu harus gercep kalau dia pedekate sama kamu." Mayang hanya menggelengkan kepalanya.

Kalau teman-temannya tahu dia baru putus kemudian langsung ganti pacar baru, apa nggak bikin rame? Tambah jelek aja imagenya. Mau bagaimana lagi. Dia gonta-ganti pacar kan demi menemukan berlian yang tersembunyi dalam lumpur. Mencari si Mister Perfect yang entah kapan hilalnya akan terlihat.

Setidaknya dia sudah berusaha. Hidup merantau butuh biaya yang besar. Apalagi hanya mengandalkan jatah kiriman dari kakaknya yang tidak terlalu besar. Ia berharap bisa kuliah dengan lancar, mendapat pekerjaan atau setidaknya langsung ada pria sempurna yang mengajaknya menikah jadi ia tak perlu repot-repot memikirkan masa depan dan kelangsungan hidupnya.

Beberapa kali Mayang pernah menjadi Sales Promotion Girl atau biasa disebut SPG, tapi sepertinya ia tidak cukup punya nyali. Terlalu mengerikan, ia bahkan pernah nyaris kena grepe calon customernya. Akhirnya, dari pada dia kebobolan mending berhenti saja.

Untuk saat ini dia hanya bekerja paruh waktu di sebuah butik milik Bu Endah, salah satu dosen di kampusnya. Lumayan, dia bisa mendapatkan jam kerja yang fleksibel, meskipun gajinya tak seberapa.

"Ssttt.... Tuh Pak Pramono sudah datang, ntar aja dilanjut dari pada kita ngemper di depan pintu karena dikeluarin dari kelas." Mayang mencoba menghentikan pembicaraan mereka. Kini saatnya ia harus fokus belajar. Jangan sampai indeks prestasinya turun. Sudah miskin, bodoh pula. Ya ampun... Amit-amit, Mayang tak ingin mengalaminya.

###

Bab. 2

Dua hari setelah resmi menyandang status jomlo, Mayang sudah mulai berkenalan dengan Rico si anak Fakultas Teknik semester akhir. Jika bisa diperjelas entah semester akhir yang ke berapa. Sebab sejak dua tahun yang lalu Rico sudah dengan bangga menyebut dirinya sebagai mahasiswa semester akhir yang entah kapan berakhir.

Mayang memang belum pernah berkenalan langsung dengan pemuda bertubuh atletis itu. Ia hanya sekadar tahu namanya saja. Lagi pula siapa sih yang tak kenal Rico. Predikatnya sebelas dua belas dengan Mayang. Selalu berganti-ganti pacar. Hanya kelebihannya, Rico lebih setia. Dia tidak akan berselingkuh ataupun melirik cewek lain selama berstatus taken. Tetapi kesetiaan Rico biasanya tak berumur panjang. Ketika dia menemukan cewek bening yang imut menggoda. Ia akan segera memindahkan dermaga hatinya.

Rico yang terkenal dengan jiwa sosial yang selalu memanjakan lidah juga kesenangan teman-temannya dengan hobi mentraktir tak luput dari perhatian banyak orang di kampus. Dengan temannya saja dia dermawan, apa kabar dengan kekasihnya kelak? Pasti persentasenya jelas berkali lipat.
Pagi ini adalah pertemuan resmi pertama Rico dengan Mayang. Pemuda itu sudah menunggu di kantin kampus sepuluh menit yang lalu. Mayang yang baru memasuki area kantin yang terbuka segera mengedarkan pandangan. Mencari-cari sosok yang katanya ingin berkenalan dengannya.

Setelah melihat lambaian tangan Rico yang duduk sambil menyesap capuccinonya, Mayang segera menghampiri pemuda bertubuh atletis itu.

"Hai, sorry lama banget ya nunggu?" sapa Mayang manis.

"Nggak kok. Nyantai aja, baru juga sepuluh menit." Rico mengangsurkan daftar menu. "Sarapan dulu ya, lapar banget nih." Mayang terkikik sambil melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul sepuluh, pantas saja Rico mengeluh kelaparan.

"Kamu mau pesan apa?"

Mayang mengerjab, bingung harus memilih apa. Tadi dia memang belum sempat sarapan karena harus kuliah pagi. Begitu kuliah berakhir ia langsung melesat ke tempat ini karena sudah janji dengan Rico sejak tadi malam.

"Makan apa ya? Bingung nih mau apa?"

"Nggak usah takut gemuk, makan apa aja yang penting kamu suka. Aku nggak terlalu nuntut cewek aku harus bertubuh oke kok."

“What? barusan tuh orang bilang apa ya? Kok gayanya pede banget?”  Mayang  membatin geli.

"Aku bukan cewek yang suka diet kok. Makanan aku aja banyak banget."

"Ya baguslah biar gak gampang sakit, kita bisa jalan terus."

"Eh? Tinggi banget tuh tingkat ke-pe-de-an nih orang. Kayaknya asyik banget kalau dikerjain." Mayang mengulum senyum.

"Emm... Aku makan apa ya? Kalau pagi enaknya yang berkuah deh. Bubur ayam kayaknya enak." Mayang menyebutkan pesananannya.

"Ya sudah samain aja ya. Minumnya apa? Lemon tea, gimana?" Mayang menjawab dengan anggukan. Setelahnya Rico melesat untuk memesan sarapan mereka berdua.

"Ntar malam keluar yuk?" Rico memulai percakapan setelah menandaskan sarapannya.

"Mau kemana emang? Musim hujan lo sekarang."

"Yah, cuma sekadar hang out aja sih. Kamu nggak ada acara kan?"

"Nggak ada sih. Ya terserah kamu aja deh."

"Oke, jam tujuh ya. Kamu harus siap." Mayang hanya menganggukkan kepala. Merekapun berpisah setelah bercakap-cakap tak kurang dari tiga puluh menit.

Pukul tujuh malam Rico sudah tiba di depan pagar indekost Mayang. Sebuah helm pink mencolok dengan stiker bertuliskan 'Rico's Girl' Rico angsurkan ke tangan Mayang. Mayang meringis geli. Harus banget ya dia memakai helm norak ini?

"Co, nggak ada helm lain ya yang bisa aku pakai?" Mayang urung memakai helm yang sebelumnya hendak ia pasang di kepalanya.

"Emang kenapa? Itu helm baru lo. Baru kamu yang pakai," ucap Rico percaya diri.

"Ini apa-apaan kenapa ada stiker kayak gini?" Mayang menunjuk stiker sumber ketidak nyamannya.

"Oh itu." Senyum Rico mengembang. "Biar kamu nggak hilang kalau kita lagi di kerumunan."

"Uanjrit! emang aku balita berpopok yang bisa begitu mudah hilang," gerutu Mayang tak terima.

"Nggak enak banget ya, kata-kata kamu." Mayang meringis namun Rico segera meraih helm di tangan Mayang. Memakaikannya lalu mengaitkan penguncinya.

"Kita berangkat aja, Yuk. Kamu masih terlihat cantik banget kok meskipun pakai helm. Jadi jangan merasa berat ya. Rambut kamu juga nggak bakalan kusut meskipun pakai helm."

Rico berbalik lalu menaiki motornya. Sejenak Mayang mengeluh kala memandang motor Rico di hadapannya. Ia bukannya keberatan jika harus naik sepeda motor. Ia sering naik ojek online kemanapun ia pergi. Tapi motor di depannya ini adalah motor yang sama dengan motor yang digunakan Valentino Rossi atau juga Marc Marquez beradu kecepatan di sirkuit yang sering kali Mayang lihat di televisi indekostnya. Pasti duduk di belakang Rico tidak akan senyaman saat duduk di belakang mas-mas ojek berjaket hijau yang sering kali menggunakan motor matik untuk mengantarnya.

"Ayo, Yang." Suara Rico mengusik lamunan Mayang. Eh!? Apa tadi? Yang? Mayang atau Sayang? Entah kenapa penggalan nama yang Rico ucapkan itu membuat Mayang bergidik ngeri.

Malam itu Rico mengajak Mayang makan malam di sebuah kafe yang ternyata adalah milik sepupunya. Pemuda itu terlihat menyapa hampir semua orang di kafe itu. Mayang sampai berdecak, seberapa sering pemuda itu berkunjung ke tempat ini? Pasti tak terhitung lagi.

Rico memilih tempat di luar bangunan utama kafe. Hal yang justru membuat Mayang bersorak senang. Ia bisa melihat taburan bintang di atas sana akibat dari penerangan yang temaram.

"Tempat ini keren banget." Mayang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lampu-lampu pijar temaram yang tergantung di atas kepalanya membuat suasana terasa .... Entahlah. Mungkin hangat dan romantis adalah kata yang tepat.

"Aku yang bantuin merombak tempat ini," ucap Rico bangga.

"Tapi sayang, kalau kebetulan hujan kita harus pindah ke dalam." Mayang mengamati deretan bangku dan meja dari potongan kayu gelondongan yang dibelah menjadi dua tanpa adanya gazebo atau atap di atasnya.

"Kalau kita pasang gazebo di semua tempat pasti pemandangan pepohonan dan langit malam tidak akan bisa benar-benar dinikmati. Makanya gazebo hanya ada di beberapa tempat saja," tunjuk Rico pada beberapa gazebo di sekeliling kafe.

"Eh makan dulu, yuk!" Rico menginterupsi saat salah satu pemuda membawa makanan pesanan mereka. Mayang akhirnya kembali ke bangku yang Rico pilih. Setelah mengucapkan terima kasih pada pemuda yang mengantarkan makanan mereka, Mayang dan Rico pun menikmati makan malam mereka.

Namun belum habis makanan di piring Mayang, tiba-tiba saja Rico berucap, "Eh itu papa sama mama sudah datang."

Mayang menghentikan kunyahan di mulut, mendongak menatap Rico di hadapannya lalu mengikuti arah pandang pemuda itu di belakang tubuh Mayang. Seketika Mayang membelalak. Seorang pengacara senior yang beberapa kali pernah muncul di layar kaca sebagai nara sumber beberapa program televisi yang pernah Mayang tonton terlihat menyapa beberapa orang di dalam indoor kafe.

"Ngapain papa sama mama kamu ke sini, Co?"

###

Bab. 3

"Co, ngapain papa sama mama kamu ke sini?" tanya Mayang sedikit panik. Terus terang ia tak ingin jika kedekatan yang ia jalin dengan siapapun saat ini sampai berbuntut panjang. Mayang bukannya anti keseriusan namun ia sepenuhnya sadar kemana hubungannya dan Rico akan bermuara. Bukan pemuda seperti Rico yang Mayang inginkan untuk menjadi sandaran hidupnya kelak. Rico hanyalah salah satu dari sekian banyak pemuda yang hanya akan menjadi deretan mantan kekasih---jika mereka berkomitmen---atau mungkin juga hanya sekadar teman hang out yang menyenangkan.

"Kebetulan hari ini Anniversarynya papa sama mama. Sudah dua puluh empat tahun lo mereka bersama. Luar biasa banget kan. Papa meskipun kayak gitu bucin banget sama mama...." Kalimat panjang Rico seketika membuat Mayang bernapas lega. Syukurlah, orang tua Rico datang ke tempat ini bukan untuk dipertemukan dengannya. Ugh betapa absurd bin ge-er dirinya. Mayang mengumpat dalam hati.

"Terus kenapa kok ke sini? Mau ngadain anniversary di sini?"

Rico mengangguk. "Yups, benar banget makanya aku ngajak kamu ke sini sekalian biar bisa aku kenalin ke mereka."

Mayang meringis. "Ngapain aku harus dikenalin?"

"Yah, biar papa sama mama tahu, gadis seluar biasa kamu yang sekarang lagi dekat sama aku."

Mayang seketika ingin muntah. Dasar play boy cap kadal. Dikira Mayang bakal jatuh bangun saat mendengar kalimat manis Rico.

"Nilai Bahasa Indonesia kamu dulu kayaknya selalu di atas rata-rata deh, Co."

Rico mengerutkan kening tak paham. 

"Dari kita ketemuan, kamu pintar banget bermain kata," lanjut Mayang.

"Aku bahkan enggak tahu cara berucap manis."

Mayang seketika meringis. Rico benar-benar ingin membuatnya mengepalkan tangan lalu melabuhkannya tepat di hidung mancung pemuda itu.

"Yuk, ah habisin makanannya nanti kita sapa papa sama mama." Rico melanjutkan menikmati makanannya yang diikuti Mayang. Lima menit kemudian mereka telah menyelasaikan makan malam mereka. Rico tak sabar membawa Mayang dengan langkah tergesa menemui orang tuanya yang terlihat berbincang dengan beberapa orang di meja panjang berisi tak lebih dari sepuluh orang.

Keriuhan seketika terdengar saat Rico memperkenalkan Mayang sebagai teman dekat bukan pacar atau kekasih. Hal yang patut Mayang syukuri karena ia tak ingin orang tua Rico salah paham pada hubungannya dengan sang anak.

Satu jam kemudian acara penuh keriuhan itu berakhir. Mayang berpamitan kepada orang tua Rico juga beberapa kerabat yang kebetulan datang. Pelukan hangat ia dapatkan dari ibu Rico. Wanita itu benar-benar luar biasa. Diusianya yang tak lagi muda pesonanya tak berkurang sedikitpun. Wajah cantik wanita itu mengingatkannya pada aktris cantik Wulan Guritno.

Begitupun dengan ayah Rico. Jika rata-rata pria di usianya sudah mulai membuncit atau juga tanda-tanda kebotakan sudah mulai muncul, pria itu justru sebaliknya. Sepertinya penuaan tidak berlaku untuk tubuh dan juga wajahnya. Pria itu bahkan terlihat seperti layaknya kakak beradik dengan Rico.

Mungkin hal itu yang menyebabkan Rico juga terlihat begitu luar biasa tampan. Orang tuanya saja berwajah di atas rata-rata. Anaknya pun akhirnya mewarisi kelebihan itu. Mayang berharap, semoga saja nanti di masa depan ia berjodoh dengan pria yang tak hanya baik hatinya tapi juga menawan rupanya. Setidaknya ia bisa memperbaiki keturunan.

"Eh!" Mayang seketika sadar, ia menebas pikirannya yang mulai keluar dari jalur yang seharusnya. Huh! Salahkan saja kedua orang tua Rico yang terlihat begitu mesra di hadapan semua orang hingga membuat Mayang setika ikutan baper juga sedikit ngiler dengan kemesraan mereka.

Akhirnya di sepanjang perjalanan pulang Rico dan Mayang lebih banyak diisi oleh kebisuan. Rico yang beberapa kali melontarkan pertanyaan, hanya dijawab ala kadarnya saja oleh Mayang. Gadis itu masih enggan banyak berbicara. Otaknya masih terisi dengan pemandangan indah orang tua Rico beberapa waktu sebelumnya.

Benar-benar serasi, pasangan impian, jadi pengin kayak mereka.... Kata-kata itu itu muncul begitu saja di benak Mayang. Ia masih tak henti-hentinya bermimpi. Jangan salahkan Mayang jika ia seketika jatuh cinta pada pasangan suami istri itu.

Sejak kecil ia tumbuh tanpa mengenal sosok orang tua lengkap. Ia sudah kehilangan kasih sayang ibunya saat usianya belum genap lima tahun. Ia dibesarkan oleh ayahnya seorang diri bersama satu orang kakak laki-laki yang kini sudah bekerja. Saat ia baru menginjak bangku sekolah menengah pertama, ayahnya menyusul sang ibu. Ayah Mayang meninggal mendadak saat beliau hendak mengantarkan Mayang ke sekolah. Pria itu tiba-tiba saja roboh setelah mengunci pintu pagar rumahnya. Benar-benar ujian berat untuk Mayang dan Ardhan, kakaknya.

"Yang, udah sampai nih." Suara Rico seketika menyadarkan Mayang dari lamunannya. Dengan tergeragap gadis itu segera turun dari boncengan Rico.

"Kamu diam aja dari tadi, kenapa?" tanya Rico pelan. Mayang hanya mengulas senyum lalu menggeleng.

"Pasti senang banget ya, Co, punya papa sama mama yang masih lengkap."

Sejenak Rico mengerutkan keningnya heran namun detik berikutnya bibirnya menampilkan senyum lembut. Pemuda itu ingat pembicaraannya dengan Mayang sebelum kedatangan orang tuanya. Mayang adalah seorang gadis yatim piatu.

"Kamu bisa menganggap mama sama papaku sebagai orang tua kamu, Yang. Aku kan enggak punya saudara cewek."

Mayang meringis. Setidaknya ia menghargai usaha Rico untuk menghiburnya.

"Makasih, Co. Tapi enggak mungkinlah."

"Kenapa enggak? Kita akan sering-sering main ke rumah buat ketemu mama sama papa," tawar Rico antusias.

"Kayaknya enggak deh, Co." Mayang sadar dengan resiko yang akan terjadi jika ia menerima tawaran itu. Saat ini ia tak mempunyai hubungan apapun dengan Rico dan tentu saja Rico bukanlah pria impian yang ia harapkan akan menjadi masa depannya. Terlalu beresiko jika ia sampai menjadikan pemuda play boy yang predikatnya tidak terlalu bagus di mata para mahasiswi di kampusnya itu. Yah meskipun masih tak sedikit gadis-gadis di kampus Mayang yang masih begitu keras kepala mengharapkan kedekatan dengan pemuda itu.

"Okey deh. Masih banyak waktu. Aku bisa nunggu sampai kamu mau kok." Akhirnya Rico memgambil jalan tengah.

"Emm.... Sudah malam. Kamu balik aja ya, Co. Makasih banyak makan malamnya. Makasih juga sudah dikenalin dengan papa sama mama kamu." Mayang akhirnya memutuskan menyudahi pertemuan mereka. Hari sudah semakin larut.

"Aku yang seharusnya berterima kasih. Jangan nolak kalau aku ajak lagi ya." Rico lagi-lagi memberikan senyum lebarnya. Membuat wajah pemuda itu berkali lipat lebih menawan.

Mayang hanya mengulas senyum kecil lalu mendorong helm pink berwarna norak itu ke tangan Rico.

"Eh? Ngapain dikasih ke aku?"

"Kan helm kamu."

"Sejak jam tujuh tadi sudah jadi milik kamu. Bawa aja. Nanti kalau kita keluar bisa kamu pakai," jawab Rico santai.

"Tapi ini mahal lo, Co." Mayang berkeras mengembalikan. Ia tak terbiasa menerima sesuatu yang mahal dari seorang pria. Apalagi ia tidak mempunyai hubungan apapun. Ia tak ingin disebut memanfaatkan kesempatan apalagi sampai disebut matre. Yah, setidaknya ia masih menyukai jika hanya sekadar makan malam atau siang gratis.

"Bawa, Yang. Lagian siapa yang mau pakai helm warna pink? Masak aku? Itu juga sudah ada nama kamu." Rico kembali mengingatkan pada stiker yang tertempel di helm itu.

"Enggak ada namaku, Co. Tapi namamu. Nih," tunjuk Mayang pada stiker bertuliskan Rico's girl.

"Kan sama aja. Itu kan kamu." Rico lagi-lagi mengumbar senyuman. Ia lalu kembali menaiki motornya. "Sana masuk dulu. Sudah malam. Langsung tidur ya. Jangan begadang. Dan ingat! Jangan lupa mimpiin aku." Dengan kalimat itu Rico menghidupkan sepeda motornya lalu memacu kendaraan itu meninggalkan Mayang tanpa repot-repot memperhatikan ringisan di wajah Mayang.

Baru aja mau dipuji baik hati eh ternyata jiwa play boynya kembali muncul.

###

Bab. 4

Hari berikutnya berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Pagi hari Mayang berangkat ke kampus. Siang atau sore ia akan ke butik Bu Endah. Mayang bersyukur masih bisa diberi kesempatan bekerja di tempat itu. Jam kerjanya fleksibel ia bisa datang ke butik setelah tidak ada jadwal kuliah. Sedari pagi ia hanya cukup mencatat pesanan dari pelanggan lalu mengirimkan rekap pembelian kepada rekannya yang stand by di butik. Setelah jadwal kuliahnya berakhir ia akan ke butik membantu rekannya untuk mengemas barang pesanan pelanggan.

Butik Bu Endah memang tidak hanya melayani penjualan di butik saja namun juga daring. Hal yang begitu Mayang syukuri. Ia masih begitu leluasa menjalani kuliah, berkumpul dengan teman-temannya dan juga mendapatkan uang tambahan.

Rico masih beberapa kali mengajaknya menghabiskan waktu di malam hari jika kebetulan siang hari ia tidak bertemu di kampus. Hubungan mereka tidak bergerak kemana-mana meskipun intensitas pertemuan mereka semakin sering hingga pagi tadi, saat pemuda itu tiba-tiba saja memintanya untuk bertemu---karena jadwal kuliah hari ini hanya sampai jam sembilan---lalu kalimat maut itu terucap. Rico mengajak Mayang untuk menjalani hubungan yang lebih serius, pacaran. Mayang tak mengiyakan apalagi menolak. Ia hanya meminta waktu untuk berpikir. Waktu yang akan Mayang gunakan untuk menghitung keuntungan dan kelebihan jika dirinya menjalin hubungan dengan pemuda play boy itu.

"Mayang, nanti malam datang ke rumah ibu ya. Kebetulan ada tasyakuran. Kamu jangan makan dulu. Makan di rumah ibu saja." Bu Endah tiba-tiba saja sudah berdiri di ujung tangga menuju lantai dua di bagian belakang butik yang difungsikan sebagai ruang untuk pengemasan barang pesanan pelanggan. Mendengar suara Bu Endah, Mayang seketika mendongak.

"Alhamdulillah. Tasyakuran dalam rangka apa ya, Bu?" Mayang tak segan bertanya.

"Syukuran hari lahirnya, Vela. Butik tutup sore saja. Ibu sudah bilang ke anak-anak di depan. Semua ke rumah ibu." Bu Endah menyebut pekerja lain yang bertugas di butik.

Raut bahagia seketika tercetak di wajah Mayang dan dua orang temannya, Fida dan Nana yang sedang mengemas baju-baju pesanan pelanggan.

"Wah, kenapa mendadak, Bu. Saya bahkan tidak tahu kalau Vela ulang tahun." Mayang kembali berucap.

"Bukan ulang tahun, Yang. Cuma tasyakuran saja. Kamu jangan mikir aneh-aneh. Tidak usah bawa kado. Ingat kan sama kebiasaan ibu?" Bu Endah memperingatkan. Wanita itu memang tak menyukai perayaan ulang tahun. Namun bagi Mayang rasanya tidak pantas jika ia tidak membawa sesuatu untuk bungsu bu Endah yang berulang tahun malam nanti.

"Siap, Bu." Mayang mengangkat tangan kanan membuat gerakan memberi hormat. Namun dalam hati ia terkikik. Ia mungkin akan membawakan Vela buket ulang tahun dari coklat atau makanan ringan lain. Pasti gadis kecil itu suka, lagi pula ia tidak akan melanggar permintaan bu Endah. Ia tidak membawa kado tapi buket makanan.

Pukul lima sore. Pak Dali---petugas keamanan butik---menutup semua akses masuk bangunan berlantai tiga itu setelah Mayang dan pekerja butik lainnya sudah berada di area parkir butik. Setelah mereka semua pergi, pria itu lalu menutup dan mengunci pagar. Pria itu juga diundang untuk menghadiri tasyakuran putri bungsu Bu Endah.

Pukul tujuh, Mayang tiba di teras rumah Bu Endah. Vela seketika menerjangnya saat tahu jika gadis itu membawa hadiah untuknya. Bu Endah yang berjalan di belakang putrinya tampak menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu ini bandel banget, Yang. Sudah dibilang jangan bawa kado masih saja keras kepala."

Mayang hanya tersenyum lebar, "Itu bukan kado, Bu tapi buket cokelat."

Decakan kemudian terdengar dari mulut wanita berusia pertengahan tiga puluhan itu.

"Makasih banyak ya, Yang. Ingat lain kali jangan diulang. Ibu kasih C nanti," ancam bu Endah dengan wajah sok serius yang seketika mendapat sambutan tawa dari Mayang.

"Ibu semester ini kan tidak mengajar Mayang. Gimana mau kasih C."

"Kamu kalau sudah ngomong pinter banget. Ya sudah sana ke dalam. Makan kue-kuenya. Kalau makan malam masih nanti ya, setelah acara selesai."

"Siap, Bu." Mayang memasuki ruang tamu Bu Endah lalu berjalan menuju ruang keluarga. Ruangan yang terlihat semakin luas karena semua kursi telah disingkirkan berganti dengan karpet tebal berwarna kecoklatan.

Beberapa orang terlihat di sana, tampak duduk menikmati makanan yang sudah ditata di tengah-tengah ruangan. Mayang menghampiri, menyapa dan bersalaman dengan semua orang yang sebagian besar sudah Mayang kenal. Orang tua Bu Endah dan Pak Arman, suami Bu Endah, juga beberapa saudara mereka. Rata-rata mereka semua sudah mengenal Mayang karena seringnya Mayang bergabung dengan acara-acara yang ada di rumahnya.

"Mayang, lama tidak bertemu. Kamu sehat, Nak?" sapa Bu Maryam hangat kala Mayang mencium punggung tangan wanita baya itu. Ibu kandung Bu Endah itu seketika memeluk Mayang saat Mayang melepas tautan tangan mereka.

"Alhamdulillah baik, Bu. Ibu apa kabar?" balas Mayang tak kalah ramah.

"Seperti kamu lihat. Ibu masih kuat. Makanya ibu ingin ngajak kamu jalan lagi kalau kebetulan tidak sibuk," ucap wanita itu sedikit malu-malu.

"Saya tidak pernah sibuk, Bu." Mayang meringis menunjukkan gigi-gigi putihnya. Saking tidak sibuknya ia sampai bisa menghabiskan waktu bersama Rico.

"Tidak sibuk gimana, pagi kuliah. Siang ke butik. Pulangnya sore atau malam."

"Itu kan rutinitas, Bu." Mayang terkekeh. "Selain itu tidak ada kegiatan lain kok. Ibu mau jalan ke mana? Mau saya temani jogging?" Mayang memang beberapa kali pernah menemani wanita itu berjalan santai di pagi hari. Bersepeda juga pernah.

"Kamu ini nertawain ibu ya. Masak ibu disuruh jogging, rontok semua. Jalan aja pagi-pagi kayak dulu. Nanti pulangnya sarapan sambil beli camilan."  Mayang seketika menyeringai.

"Wah Ibu sepertinya lagi pengin ke ke Car Free Day nih. Pengin jajan apa pengin olah raga?" Mayang melebarkan senyuman. Mayang sudah hafal kebiasaan wanita ini. Meskipun mengatakan jalan santai, bersepeda, atau juga jogging, tetap saja waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk berburu camilan dan makanan-makanan menggugah selera yang mereka temui di perjalanan.

Mayang bahkan pernah menemani wanita itu yang katanya bersepeda namun ternyata hanya bertujuan untuk mengunjungi angkringan pinggir jalan yang kabarnya sedang ramai-ramainya dikunjungi orang akibat cita rasa masakannya yang luar biasa.

"Kamu memang paling tahu. Bisa kan hari Minggu kamu temani ibu ke sana?"

Tanpa berpikir Mayang langsung mengiyakan. "Memang mau ke sana sama siapa saja, Bu? Bapak tidak ikut?" Beberapa kali suami Bu Maryam memang pernah ikut bergabung dengan mereka.

"Berdua saja sama kamu. Nanti kalau Bapak sama yang lain ikut urusan belakangan." Bu Maryam menyebut suami dan anak-anaknya.

"Saya siap pokoknya, Bu."

"Bagus. Nanti ibu ingatkan lagi kalau sudah hari Sabtu. Oh ya, sana ke belakang. Pada bakar-bakar tuh. Anak muda seperti kamu kan biasanya suka yang gitu-gitu."

"Nanti saja, Bu. Nunggu acaranya dimulai dulu baru sekalian makan-makan."

Lima menit kemudian acara dimulai dengan pembacaan doa. Tidak ada tiup lilin apalagi hingar bingar pesta. Tak lebih dari tiga puluh menit kemudian acara berakhir, berganti dengan makan malam bersama. Semua orang menikmati makan malam di halaman samping rumah Bu Endah sambil berbincang akrab. Tidak banyak yang hadir dalam acara itu. Hanya keluarga besar Bu Endah dan pekerja di butik saja. Bu Endah dan Pak Arman adalah orang yang tak menyukai pesta dan segala keramaiannya. Mereka lebih suka makan malam sederhana bersama keluarga dan orang-orang terdekat.

Mayang yang sejak acara dimulai sudah duduk bersebelahan dengan Bu Maryam akhirnya ikut bergabung di meja yang sama dengan wanita itu untuk menikmati makan malam mereka. Meskipun sedikit canggung namun keramahan Bu Maryam membuatnya merasa nyaman.

"Bu, sudah diingetin jangan makan cumi banyak-banyak. Itu kok piring isinya cumi semua." Bu Maryam yang hendak memasukkan cumi bakar ke mulutnya seketika menghentikan gerakan. Ditolehkan kepalanya ke samping, "Tidak setiap hari ibu makan cumi-cumi, Ndah."

"Tapi Ibu ambilnya banyak banget." Bu Endah seketika duduk di sebelah ibunya. Tangannya sigap meraih cumi yang masih hangat di piring ibunya lalu menikmatinya. Setelah makanan itu masuk ke perutnya, wanita itu membuang tusuk cumi-cumi lalu kembali menikmati makanan itu lagi.

"Kamu ini, Ndah. Ibu lagi makan kok diganggu." Bu Maryam berdecak sebal.

"Ibu makan yang lain aja ya. Enggak boleh cumi. Sate ayam enggak masalah." Setelah mengelap bibirnya dengan tisu, wanita itu mengecup pipi ibunya kemudian bangkit meninggalkan mereka semua. Membuat Mayang begitu mendamba dengan keakraban yang baru saja terjadi di depan matanya. Betapa bahagianya Bu Endah bisa menikmati kebersamaan dengan ibunya hingga saat ini. Di usia sedewasa ini wanita itu masih tetap bisa menikmati kasih sayang sang ibu. Sedangkan dirinya? Ia bahkan tak begitu ingat bagaimana dekapan hangat ibunya karena ia masih begitu belia saat ibunya meninggalkannya.

"Ibu mau ambil makanan lagi ya, Yang." Suara bu Maryam terdengar tak lama kemudian. Mayang hanya mengangguk singkat. Meskipun ia seharusnya menawarkan bantuan kepada wanita itu untuk mengambil makanan.

"Hah...." Mayang mendesah dalam hati. Selalu seperti ini jika ia melihat kedekatan antara anak dengan orang tuanya. Beberapa hari yang lalu Rico, sekarang Bu Endah. Dan entah kenapa rasa sesak semakin menggerayut di dadanya. Membuat cairan di matanya tiba-tiba saja terasa terkumpul. Mayang cepat-cepat mengusap mata. Sepertinya cairan di matanya sudah benar-benar mendesak ingin mengalir. Namun bodohnya Mayang. Ia lupa jika tangannya baru saja memegang tusuk sate yang digunakan untuk membakar sosis dan juga cumi-cumi yang sedang ia nikmati. Rasa pedih seketika menyerang matanya. Pasti ada sebagian dari bumbu makanan itu yang terkena tusuk sate dan tangan Mayang menyentuhnya.

Tergesa, Mayang meneguk minuman di depannya lalu mencari-cari tisu yang sebelumnya Mayang lihat berada di hadapannya. Namun kini entah kemana perginya benda itu. Bukankah beberapa menit lalu Bu Endah meraih benda itu untuk mengelap bibirnya? Apa ia harus mencuci wajahnya saja? Di tengah kebingungannya, sebuah tangan terulur di depannya. Beberapa lembar tisu terlihat di sana. Tanpa berpikir panjang Mayang meraihnya lalu menggunakannya untuk mengusap mata.

"Terima kasih," ucap Mayang sambil terus mengusap matanya. Namun sepertinya rasa pedih itu enggan menghilang.

"Sepertinya kamu harus mencuci wajah dan mata kamu dengan air."

Kalimat itu menghentikan gerakan Mayang yang sibuk mengusap matanya. Dengan mata menyipit menahan perih Mayang mendongak.

Demi apa coba. Kenapa Mayang sedari tadi tidak sadar jika ada orang lain yang juga duduk sambil menikmati makanannya dalam diam. Pasti pria itu mengetahui ulah bodohnya sejak tadi. Benar-benar memalukan.

###

Bab. 5

"Maaf, Pak. Maaf," ucap Mayang gugup sambil membungkuk berulang kali. Bukannya apa, pria yang mengulurkan tisu kepadanya itu adalah kakak Bu Endah. Pria yang sudah beberapa bulan ini menjabat sebagai rektor di kampus Mayang. Rasa canggung tentu saja Mayang rasakan mengingat posisi pria itu di kampus. Seandainya saja pria itu bukan siapa-siapa mungkin rasa canggung itu tak akan ada. Seperti halnya saat ia berbincang akrab dengan saudara-saudara Bu Endah yang lain.

"Kenapa harus meminta maaf? Sebaiknya kamu mencuci wajah kamu di belakang. Sudah tahu kan letak kamar mandinya? Atau bisa ke Musala saja. Di sana ada kran air." Pria itu menambahi.

Di rumah Bu Endah memang terdapat sebuah musala kecil yang biasa digunakan seluruh penghuni rumah dan pekerja di rumah itu untuk salat berjamaah. Setelah mengucapkan terima kasih, Mayang segera mendatangi tempat wudu untuk menemukan kran air dan membasuh wajahnya.

Lima menit kemudian ia telah membasuh wajahnya dengan sempurna. Matanya sudah tidak pedih lagi namun yang jadi masalah adalah kini wajahnya polos tanpa riasan meskipun cuma sapuan bedak tipis. Mayang adalah gadis yang selalu menjaga penampilan. Meskipun tidak menyukai jika wajahnya bermekap tebal namun tak sekalipun ia meninggalkan indekostnya dalam keadaan wajah polos tanpa mekap.

Kini, apa yang harus ia lakukan? Ia justru berada di keramaian tanpa sapuan lipstick di bibir atau bedak di wajah. Benar-benar kiamat. Pasti kulit kusamnya akan terlihat mengerikan. Bibirnya yang pucat akan terlihat seperti zombie. Ya Tuhan. Ia benar-benar tak terselamatkan. Apalagi tadi ia tak membawa senjata andalannya, pouch berisi peralatan tempur seperti lipstick dan teman-temannya karena tak mungkin memerlukan benda-benda itu di rumah Bu Endah. Namun siapa yang tahu jika ia mengalami tragedi terharu melihat adegan Bu Endah dan Bu Maryam hingga berakhir mengucek mata dan merasakan pedih luar biasa. Benar-benar sial.

Apa ia harus berdiam diri di sini saja hingga sebagian tamu pulang? Tapi pasti sungguh melelahkan apalagi hampir semua tamu adalah keluarga Bu Endah dan Pak Arman. Pasti mereka akan betah berlama-lama dan tak segera pulang.

Lagi pula, ia juga belum menyelesaian makan malamnya. Cumi dengan bumbu pedas manis tadi begitu menggoda lidah. Apa lagi tadi ia sempat melihat tempat es buah dan es krim yang begitu menggoda.

Kini mana yang harus ia pilih? Lidah kurang ajarnya yang tak bisa berhenti mengunyah ataukah wajah mengenaskannya yang pasti sudah seperti suster ngesot yang pucat pasi?

Lima menit berpikir akhirnya Mayang memutuskan. Peduli setan, ia masih lapar. Jika tak mengisinya saat ini ia masih harus mengeluarkan uang untuk membeli makan malam. Lagi pula, aroma gurih sea food yang dibakar tercium dari tempatnya berdiri saat ini begitu menggoda. Benar-benar sulit dilewatkan.

Akhirnya Mayang melangkah mantap. Ralat, melangkah mantap---sambil menunduk karena takut ada yang memperhatikan wajahnya---menuju meja yang semula ia tinggalkan. Apalagi mungkin alisnya yang gundul akan seketika tertangkap mata siapapun yang melihat. Astaga! Mayang benar-benar mengutuk perut dan lidah murahan yang ia miliki yang begitu mudah tergoda hanya karena beberapa tusuk cumi bakar.

Sesampainya ia di bangku yang semula ia duduki, Mayang mendesah lega. Ya ampun sepertinya Tuhan begitu menyayanginya. Saat ia kembali, bangku yang ia tinggalkan yang tadinya menyisakan kakak bu Endah itu ternyata telah kosong. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, senyum Mayang semakin lebar. Sepertinya sudah banyak orang yang selesai menikmati makanan mereka. Terbukti dari berkurangnya jumlah orang yang berada di halaman luas itu. Dan yang lebih menyenangkan, dari kejauhan tampak pria yang membakar sea food berdiri sendirian. Tidak ada orang yang mengerubuti pria itu.

Segera saja Mayang membawa piringnya yang masih berisi dua tusuk cumi bakar. Ia akan menambah makanan itu. Mungkin udang dan beberapa tusuk cumi atau sate ayam pasti lebih nikmat. Mayang melangkah ringan, melupakan urusan wajahnya yang katanya mengenaskan.

Hal menyenangkan lagi-lagi terjadi. Pria yang membakar sea food itu menawari Mayang dengan berbagai macam sea food yang ia bakar. Meskipun tergoda namun Mayang masih memikirkan sopan santun. Ia tak mungkin menghabiskan semua makanan itu. Ia mengambil secukupnya lalu kembali ke meja tempat ia makan sebelumnya. Setelahnya ia melangkah menuju meja panjang tempat sop buah disajikan. Mengisi mangkuk yang tersedia dengan minuman menyegarkan itu lalu beralih mengambil es krim. Kini Mayang siap menikmati semuanya.

Lima menit Mayang menikmati makanannya seorang diri dengan begitu tenang hingga akhirnya sebuah sapaan terdengar yang membuatnya tersedak karena terkejut. Gadis itu menepuk-nepuk dada demi melegakan rasa sesaknya. Sebuah tangan mengulurkan air mineral dalam botol sedang yang segera Mayang raih lalu teguk karena tutup benda itu sudah dibuka.

Beberapa saat kemudian setelah merasakan kelegaan, Mayang menoleh, "Terima ka---" Mayang melotot tak percaya.

Kenapa lagi-lagi pria ini menangkap basah dirinya dalam keadaan begitu memalukan? Benar-benar sial.

"Te... Terima kasih, Pak," ucap Mayang terbata menahan malu. Namun pria itu justru sebaliknya, tersenyum geli seolah Mayang begitu lucu saja.

"Sama-sama." Pria itu duduk di bangku di samping Mayang. Bangku yang diduduki pria itu beberapa saat lalu ketika Mayang pergi mencuci wajahnya.

"Ayo lanjutin makannya. Saya juga masih mau makan ini." Pria itu kembali berucap sambil menunjuk piringnya. Kepiting saus padang yang seketika membuat Mayang menelan ludah. Astaga kenapa ia tidak tahu jika ada makanan itu di sini.

"Saya nambah lo. Sepertinya kamu juga, ya," lanjut pria itu sambil melihat piring Mayang yang seketika membuat wajah Mayang memerah. Astaga! Adakah seseorang yang bisa menyelamatkannya dari sini? Ada orang lain selain dirinya yang tahu betapa mengerikan selera makannya. Mayang seketika berdeham tak nyaman. Ia hanya mengulas senyum canggung.

Saat melihat pria itu mulai menikmati makanan di piringnya Mayang seketika bernapas lega. Ia pun melakukan hal yang sama. Mulai melanjutkan menikmati cumi bakar yang sudah tak sepanas tadi.

Tidak ada obrolan selama mereka menikmati makanan. Hal yang lagi-lagi membuat Mayang bernapas lega. Puas menikmati makanannya, Mayang melanjutkan menikmati sop buah. Rasa pedas yang semula memenuhi mulutnya berangsur menghilang hingga akhirnya menu terakhir---es krim---mendarat di mulutnya.

Dalam diam Mayang sempat berpikir. Bukankah saat ini ia sedang menikmati makan malam dengan orang nomer satu di kampus? Hal yang luar biasa bukan? Coba saja ia punya cukup keberanian dan sedikit tak tahu malu. Ia bisa saja memotret dirinya yang sedang makan malam dengan kakak bu Endah itu lalu memamerkannya pada teman-temannya. Pasti mereka semua kejang-kejang saking terkejutnya karena ia bisa berfoto dengan rektor mereka.

Ah, satu lagi. Kenapa Mayang baru ingat. Bukankah beberapa hari lalu ia juga pernah berfoto bersama dengan ayah Rico si pengacara terkenal itu di acara perayaan pernikahan mereka? Namun jika memamerkan foto-foto itu di depan teman-temannya tentu Mayang tidak akan sudi. Apa kabar si Rico yang selalu ke ge-eran dan sok cakep itu? Pasti pemuda itu mengira Mayang telah jungkir balik menyukainya. Oh, No.

Tapi jika dipikir lagi, kenapa akhir-akhir ini ia bersinggungan dengan orang-orang penting? Apakah itu adalah pertanda jika ia bisa jadi orang-orang seperti mereka? Mayang seketika terkikik dalam hati.

Cukup Mayang! Berhentilah berkhayal dan segera angkat kaki dari tempat ini. Ingat! Wajahmu sepucat zombie saat ini. Mayang mencoba memperingatkan dirinya sendiri.

###

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Pursuit Of Perfection (Bab 6 s/d Bab 10)
2
0
Bagian ini berisi Bab 6 sampai dengan bab 10 dan masih gratis. Selamat membaca.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan