Sword of Salvation, Ch.7

12
1
Deskripsi

Ch. 7 — A Battle and the Truth

“MAJULAH, Iblis Primordial Lukhiel. Tunjukkan padaku kekuatanmu sebagai satu dari delapan iblis terkuat!”

Lukhiel memenuhi tantangan sang raja. Ia melesat lurus, sedikit pun tak merepotkan diri menggunakan trik-trik konyol. Sementara itu, Arthur membengkokkan lututnya lalu turut melesat. Excalibur sang raja berpendar keemasan, kemudian mengayun dengan sepenuh tenaga.

Golden Radiance!”

Lukhiel, walaupun berada dalam mode terkuatnya, tak mencoba melakukan hal nekat seperti memblok energi yang tebasan Excalibur lepaskan.

Ia perlu menguasai teknik pengerasan kulit (Hardening Skin) yang lumrah dikuasai para petarung dari Benua Utara jika mau mencoba menahan tebasan tersebut. Itu pun tidak cukup teknik pengerasan kulit tingkat biasa; perlu teknik pengerasan kulit tingkat tertinggi. Atau, ia perlu Devil Curse yang sama dengan Celinee. Tanpa salah satunya, memblok kekuatan Excalibur tanpa senjata suci adalah suatu hal yang mustahil.

Lukhiel melengkungkan badan ke belakang, tipis menghindari energi tebasan Excalibur yang melesat cepat membelah udara.

Tebasan itu lebih kuat dari tebasan yang lalu. Barier yang sebelumnya terbelah sedikit langsung hancur total. Tetapi Lukhiel tak punya waktu untuk melihat apakah Athrecia langsung memperbaikinya atau tidak; Arthur sudah dalam keadaan hendak menusuknya.

Iblis yang telah tersesat ke jalan kebaikan ini bereaksi dengan cepat. Ia menepis bilah tajam Excalibur dengan salah satu pedang angin berpijarnya. Kemudian memutar badan (masih dalam keadaan tubuh miring ke belakang) sembari mengayunkan pedang angin yang satunya.

Aksi Lukhiel mengejutkan Arthur. Sang iblis berada dalam posisi yang sulit. Menghindar saja payah, apalagi menyerang balik. Tetapi Lukhiel berhasil melakukannya – pengalaman bertarungnya memang tak perlu lagi dipertanyakan. Arthur tak mampu mengindari tebasan itu.

Sayangnya bagi Lukhiel, tebasan pedang anginnya hanya mampu memotong zirah baja tipis yang sang raja pakai di balik pakaiannya. Pedang anginnya tak mampu mengenai kulit sang raja secara langsung. Bukan tak mampu dalam artian tubuhnya kebal, tetapi karena Arthur telah menjauh sebelum pedang anginnya dapat memberi luka.

“Refleks dan kontrol tubuhmu menakjubkan,” puji Arthur seraya mencopot pakaian lalu mencampakkannya ke atas tanah yang masih berpijar, membuat badan tegapnya langsung dijilati api biru. “Sudah kuputuskan, kau pantas menerima teknik pedangku.”

Lukhiel tak tertarik mendengar perkataan kosong tak berguna seperti itu. Ia langsung melesat maju sembari menciptakan lalu menembakkan puluhan peluru angin.

Arthur tidak bergerak dari posisi melayangnya, tetapi dia telah menciptakan puluhan peluru api biru untuk mengatasi peluru angin sang iblis.

Dentuman terjadi setiap kali peluru angin menghantam peluru api, dan Lukhiel melesat lurus di antara dentuman-dentuman itu. Kedua pedang angin berpijarnya sudah lebih dari siap menebas leher lawan.

First Technique,” Arthur memasang kuda-kuda rapat dengan badan sedikit membungkuk—percikan petir mulai muncul di antara jubah api biru dan kulitnya. “Lightning Drive.”

Lukhiel melebarkan matanya penuh keterkejutan. Sang raja telah lenyap dari hadapannya sebelum ia bisa mendaratkan serangan.

Bukan berteleportasi; Arthur melesat sama cepatnya dengan kecepatan sambaran petir. Itu pulalah alasan mengapa (walau terkejut) ia masih sempat menggerakkan salah satu pedang angin untuk menangkis tebasan berkecepatan super sang raja.

“Kecepatan reaktif dan refleksmu benar-benar merepotkan,” gumam Arthur yang melayang membelakangi Lukhiel dengan jarak belasan meter. “Aku sudah berpikir akan bisa menebasmu, tapi hanya pedang anginmu yang patah.”

Mendengar ucapan itu, Lukhiel refleks melihat pedang angin yang ia gunakan untuk memblok ayunan pedang Arthur barusan. Dan benar saja, pedang angin berkerapatan tingginya retak hebat di bagian tengah lalu patah. Lukhiel melihat bagian pedang yang jatuh mulai menguar dan kemudian menghilang.

Sang iblis mengerahkan prananya, membuat pedang angin patah itu kembali seperti sedia kala. Kemudian ia berbalik memandang Arthur yang juga sudah berbalik memandangnya.

“Elemen aslimu petir,” ucap Lukhiel. “Api kekuatan spiritmu. Kau sengaja membuat orang-orang berpikir kalau api adalah elemenmu.”

“Tepat sekali.” Arthur tak mengelak. “Tapi tak ada yang bisa kau lakukan dengan informasi yang kubeberkan. Aku punya sepuluh teknik pedang; mari kita lihat jika kau bisa hidup sampai jurus yang kesepuluh. Jika kau bisa hidup sampai saat itu, akan kuperlihatkan puncak kekuatan spiritku.”

Ucapan Arthur mengimplikasikan kalau dia bisa menggunakan tahap final kekuatan spirit. Itu berbahaya. Lukhiel belum pernah bertarung dengan orang yang bisa menggunakan tahap final kekuatan spirit. Terlebih lagi, kekuatan api yang spirit Arthur miliki membuat Devil Curse Lukhiel tak efektif. Dia bahkan tak terlihat kewalahan walau sudah beberapa kali berada di dekatnya.

Jika itu orang lain, tubuh mereka pasti sudah hangus hanya dengan berdekatan dengan Lukhiel. Namun, Arthur berbeda. Dia sekarang seperti kebal terhadap Devil Curse miliknya. Dan, itu masih tahap kedua—Tahap Penyatuan atau Union. Bagaimana jika dia sampai menggunakan Tahap Asal (Origin)? Lukhiel mengakui akan mustahil baginya untuk menang.

Menyadari hal ini membuat gambaran kekuatan Nessthanovla semakin jelas di kepala Lukhiel.

Iblis terkuat itu mampu mengalahkan Maharaja Gilgamesh dalam kekuatan penuhnya, sedang Gilgamesh adalah manusia terkuat yang ada dalam sejarah. Ia bahkan dijuluki setengah dewa karena menjadi manusia pertama yang bisa menggunakan Tahap Origin penguasaan spirit. Lebih dari itu, dia memiliki senjata suci Ishtar Gate, senjata yang lebih superior dari Excalibur. Dan, Nessthanovla benar-benar mengalahkan Gilgamesh.

Bagi Arthur IV Pendragon untuk mendeklarasikan ambisinya yang ingin mengalahkan Nessthanovla, sudah pasti dia benar-benar menguasai Tahap Asal. Dalam Tahap Dasar dia bisa menggunakan api dengan mudah. Dalam Tahap Penyatuan apinya menjadi lebih panas dan berubah warna; dia juga jadi punya resistensi terhadap panas. Bagaimana dengan Tahap Asal?

Tak mengherankan Nessthanovla mengatakan manusia punya potensi menjadi lebih kuat dari iblis, batin Lukhiel mengingat perkataan bijak sang iblis terkuat—tentu saja ia mengabaikan kelanjutan dari ucapan tersebut. Nessthanovla sedikit narsis: dia mengecualikan dirinya dalam kata “iblis” tersebut.

“Menggunakan tahap Origin akan memperpendek usiamu. Kau yakin akan menggunakannya kalau aku bisa mengatasi kesepuluh jurus pedang petirmu?” tanya Lukhiel setelah mengenyahkan tawa Nessthanovla dari kepalanya.

Arthur terdiam sejenak, tapi kemudian bibirnya melengkung dan memuji, “Walaupun kau iblis, kukira kau pantas dihormati. Kau cukup berpengatahuan dan tidak meremehkan. Dan, untuk menjawab pertanyaanmu, kekuatan besar selalu memerlukan pengorbanan yang besar pula. Tapi, kukira kau sudah memahami hal itu.”

“Begitu, ya. Baiklah. Kalau begitu, aku hanya harus membunuhmu sebelum kau menggunakan tahap terakhir penguasaan spiritmu.”

Arthur tertawa lebar setelah mendengar deklarasi Lukhiel, tetapi sang iblis tak memedulikan hal itu dan justru kembali menyerang. Ia memang tak punya jurus pedang seperti Arthur; Lukhiel mengembangkan permainan pedang yang fleksibel tanpa ada jurus khusus seperti Arthur. Namun, bukan berarti ia tak bisa berbuat apa-apa di hadapan jurus-jurus itu.

Second Technique: ‒”

Bersamaan dengan Arthur yang memasang kuda-kuda yang berbeda dengan sebelumnya,  dua tornado terbentuk di kanan dan kiri sang iblis. Tanah yang tadi merah berpijar seperti lava telah perlahan mendingin, jadinya kedua tornado angin Lukhiel tak menjelma menjadi tornado api. Dan, sejurus seketika, kedua tornado tersebut ia lesatkan pada Arthur.

“‒Lightning Cutter!”

Dalam sekelip mata, kedua tornado angin milik Lukhiel terpotong dua secara horizontal. Lengkungan petir masih samar terlihat setelah kedua tornado terpotong. Dan, jika bukan karena kecepatan reaktifnya yang menakjubkan, Lukhiel juga sudah terpotong dua. Kecepatan reaktifnya membuat sang iblis sempat mengarahkan kedua pedang angin memblok tebasan pedang Arthur.

Namun, keretakan mulai muncul pada bagian tengah kedua pedang anginnya. Hal itu membuat Lukhiel langsung mengambil tindakan. Sebelum kedua pedang anginnya patah, dinding angin bertekanan tinggi langsung menghantam tubuh Arthur. Dinding angin itu sama besarnya dengan dinding barier, jadi tak ada celah bagi sang raja untuk menghindar.

Sayangnya bagi Lukhiel, Arthur memang tak menghindar. Dia tak merepotkan diri melakukan hal yang tak bisa dilakukan. Sebaliknya, bersamaan dengan hantaman dinding angin itu, dia justru memasang kuda-kuda yang berbeda lagi – kali ini pedangnya mengacung ke depan. Lukhiel tak mendengar apa yang dia bisikkan. Namun, dalam sekelip mata perutnya telah tertembus petir.

Untungnya, yang menembus perutnya hanya petir, ia bisa meregenerasikan diri. Dan yang lebih menguntungkan, dinding anginnya menghantamkan Arthur pada dinding barier. Dinding barier itu hancur pada bagian yang dihantam tubuh Arthur, membuat sang raja terlempar keluar.

Lukhiel memutuskan mengambil keuntungan.

Namun, niat itu langsung ia urungkan saat tiba-tibar barier kembali utuh dan Arthur muncul tepat di depan dinding barier tersebut.

“Aku minta maaf, tak seharusnya Athrecia ikut campur. Tapi, dia harus meneleportasiku kembali ke sini demi menghindari kerusakan yang berlebih.”

Lukhiel tak memberi respons verbal; ia kembali melesat menyerang sang raja.


 

Sebagai spektator, Athrecia harus mengakui kalau ia sedikit kesulitan mempertahankan barier.

Baik Arthur maupun Lukhiel, keduanya bisa menembus keluar dari bariernya dalam keadaan mereka sekarang. Tubuh mereka cukup panas sampai bariernya tidak kuat. Hal ini kembali mempertegas kenyataan kalau yang sedang bertarung adalah dua individu yang berada di level teratas.

Terakhir kali Athrecia menyaksikan pertarungan dalam tingkat yang seperti itu adalah saat Rhemea melawan muridnya Merlin. Saat itu, ia dan Rhemea (berdasarkan catatan-catatan yang ditinggalkan Morgan Le Fay) berhasil mencapai Menara Babel. Walaupun Rhemea kalah telak setelah sang lawan serius, tetap saja pertarungan sebelum itu menakjubkan.

Dan walaupun mereka terpaksa melarikan diri, pengalaman itu tetap berharga. Pasalnya, karena ia dan Rhemea berhasil melarikan dirilah makanya Merlin menghilangkan Menara Babel dan berpindah posisi. Ia tidak tahu di mana sekarang penyihir sialan dan muridnya itu, tetapi Athrecia tetap berpuas hati karena telah membuat penyihir abadi itu jengkel.

Melihat pertarungan Arthur dan Lukhiel benar-benar mengingatkan dirinya pada pertarungan yang terjadi puluhan tahun lalu. Arthur berada pada posisi muridnya Merlin, dan Lukhiel berada pada posisi Rhemea. Bedanya, selain gaya bertarung mereka, Arthur perlu menggunakan tahap ketiga penguasaan spirit untuk mempecundangi Lukhiel, sedang muridnya Merlin hanya menggunakan tahap kedua.

Arthur tidak lebih kuat dari gadis itu, simpul sang penyihir.

Walaupun matanya melihat jalannya pertarungan dari luar barier, sejatinya Athrecia tidak memedulikan jalannya pertarungan. Ia hanya sedang menunggu kesempatan agar bisa mengambil “Sword of Salvation” tanpa dicurigai Arthur. Sang raja tidak tahu kalau pedang yang di pinggang Lukhiel adalah pedang yang dia cari-cari. Dan, ia akan memastikan itu tetap begitu.

Athrecia telah banyak berdusta dan menyembunyikan informasi dari Arthur. Sebetulnya bukan karena disengaja, tetapi ia sudah terlanjur mengambil jalan yang salah sebelum bertemu Arthur. Jika saja sang raja terlahir seratus tahun lebih awal, mungkin semuanya takkan seperti ini. Apalagi Arthur benar-benar serius saat mengatakan mau membunuh Nessthanovla, jadi lebih baik dia tidak tahu.

Tapi selama aku masih di sisinya, akan kulakukan apa pun untuk memastikan dia takkan menjadi bidak siapa pun, apalagi sampai terbunuh.


 

Arthur mengayunkan pedangnya dengan cepat, menepis rentetan tombak angin super panas yang ditembakkan Lukhiel padanya. Panas angin setiap tombak tak masalah baginya, tetapi ketajaman tombak-tombak tersebut dapat menusuk tubuhnya jika ia lengah.

Kontrol Lukhiel terhadap anginnya benar-benar hebat; ia tidak bisa mengontrol elemen petirnya semudah Lukhiel mengontrol elemen angin. Maka dari itu ia mengembangkan jurus pedang petirnya. Dan karena itu pula ia memperlihatkan seolah-olah api adalah elemen yang ia pelajari.

“Aku punya satu pertanyaan,” ucap Arthur setelah melepaskan Golden Radiance yang mampu dihindari sang iblis. “Kenapa kau tak menggunakan pedangmu?”

Agak aneh rasanya Lukhiel belum juga menggunakan pedang yang ada di panggangnya. Padahal, ia sudah melepaskan lima teknik pedang petirnya dan sudah berkali-kali mematahkan kedua pedang angin sang iblis. Namun, bukannya menarik keluar pedang yang diperban dari ujung gagang sampai ujung bilah itu, dia justru mengorbankan prana dan memulihkan kedua pedang anginnya.

“Pedang ini hadiah untuk muridku,” jawab Lukhiel sembari menciptakan sepuluh tornado angin dan melemparkannya pada sang raja.

Arthur meliuk-liuk menghindari hantaman tornado, dan pada saat yang bersamaan ia memasang posisi untuk melepaskan teknik pedang keenamnya. “Sixth Technique,” bisiknya sembari melompat tinggi ke udara, “Lightning Eruption!”

Excalibur yang dibanjiri petir mengayun tajam dari atas ke bawah, mengikuti jatuhnya tubuh sang raja. Namun, Lukhiel bukan iblis bodoh; dia sudah menghindar sebelum bilah Excalibur berada di atas kepalanya. Hal itu membuat bilah pedang menghantam tanah.

Sayangnya, teknik Arthur belum selesai sampai di situ. Seperti nama teknik keenamnya ini, petir bererupsi dari belahan tanah yang pedangnya sebabkan. Kesemua petir itu meletup ke atas, kanan, kiri, dan ke depan. Area seratus delapan puluh derajat di hadapannya luluh lantak dibombardir erupsi petir. Dan kali ini, Lukhiel tak mampu menghindar.

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, posisi Arthur langsung berpindah membentuk kuda-kuda yang berbeda lagi. “Seventh Technique: Lightning Fang!”

Sang raja lenyap dalam kerlipan petir, dan pada detik berikutnya ia sudah berada di tempat Lukhiel dibombardir petir dengan pedang dalam keadaan mengacung ke depan.

Iblis Primordial Lukhiel tidak lagi berada di posisinya dibombardir petir; dia langsung memaksakan diri menjauh saat Arthur melepaskan teknik pedang ketujuhnya. Namun, upaya sang iblis tak berjalan sempurna. Lengan bawah tangannya terputus oleh tusukan Excalibur yang berbalutkan petir. Tangan yang masih memegang pedang angin itu jatuh menghantam tanah yang sudah mendingin.

Api biru langsung membakar tangan itu hingga habis tak bersisa, lantas Arthur menghadapkan badannya ke kanan, memandang intens sang iblis yang satu tangannya telah buntung.

“Aku tak pernah mendengar kalau kau mengangkat murid,” ucap sang raja. “Manusia, iblis muda, atau setengah iblis?”

Lukhiel tak memberi respons verbal. Dia memandang sekilas pada tangan kanannya yang tak lagi bisa beregenerasi. Kemudian matanya kembali mendarat pada Arthur. Prana menguar dari tubuhnya dalam intensitas yang besar, dan seketika tombak angin berkerapatan tinggi dan berpijar muncul di kanan, kiri, dan hingga atasnya. Jumlahnya pun bukan hanya puluhan atau ratusan, melainkan ribuan. Tombak ini memenuhi area di sekitar sang iblis.

Melihat hal itu, Arthur langsung menyadari kalau mustahil baginya memblok kesemua tombak angin yang mulai berputar itu dengan teknik pedangnya atau api. Api dan petir akan ditembus; angin yang dirapatkan hingga sedemikian rupa menjadi sangat superior sebagaimana halnya air. Apalagi Lukhiel bukan saja merapatkan anginnya, melainkan juga memanaskannya.

Kecuali Arthur memutuskan menggunakan penguasaan spirit tahap ketiga, hanya ada satu cara untuk mengatasi apa yang sang lawan coba lakukan. Dan cara itu adalah apa yang akan ia gunakan.

Arthur mengangkat tinggi-tinggi Excalibur yang sudah berpendar keemasan, dan sejurus kemudian lonjakan energi keluar dari pedang laksana pilar yang ditinggikan. Barier yang dipasang Athrecia langsung hancur berkeping-keping, tak mampu menahan pilar energi keemasan yang dilepaskan Excalibur. Pilar energi itu terus meninggi hingga hampir seratus meter.

Aegis’—”

Excalibur—”

“—Spears!”

“—Devastation!”

Bersamaan dengan melesatnya kesemua tombak angin itu, Excalibur Arthur ayunkan secara vertikal dari atas ke bawah dengan kecepatan tinggi. Sejurus seketika, pilar energi itu menghantam kesemua tombak angin, menciptakan suara gaduh yang keras. Pilar energi saat masih berdiri tegak memang kecil, tetapi begitu diayunkan dia mengembang seperti kipas yang dibuka.

Untuk satu detik awal, Aegis’ Spears Lukhiel seakan dapat menahan hantaman Excalibur Devastation.

Namun, pada detik berikutnya langsung berubah drastis. Tombak-tombak angin yang berpijar dan berputar itu hancur tak karuan. Dan pada detik berikutnya, suara ledakan yang memekakkan langsung memenuhi udara saat energi itu menghantam area luas di hadapan Arthur. Lukhiel yang berada di sana tak punya ruang untuk menghindar.

Energi keemasan menghilang kurang dari setengah menit, tetapi asap dan debu yang tercipta bertahan hingga hampir tiga menit sebelum kemudian menghilang. Kubangan berbentuk segitiga sama kaki yang sangat masif langsung terpampang dengan jelas. Kubangan itu dalamnya bervariasi, dari beberapa centi hingga beberapa meter di bagian tengah. Dan, tanah itu menjadi hitam seperti arang.

Tergeletak belasan meter di hadapannya adalah Lukhiel dalam keadaan yang jauh dari baik. Separuh tubuh bagian kanannya hancur, sementara sisanya seperti terbakar. Namun, saat Arthur mendekatinya, dia terlihat masih hidup. Tangan kirinya, walaupun mengeluarkan asap seperti daging matang, telah bergerak menarik pedang yang (ajaibnya) masih berperban itu.

“Kau sungguh-sungguh mau memberikan pedang itu pada muridmu, huh?” tanya Arthur setelah berhenti dua meter dari tubuh tertelungkup Lukhiel.

Tidak ada jawaban yang datang. Pun Arthur tak mengekspektasikan adanya jawaban. Lukhiel baru saja terkena Excalibur Devastation. Tidak langsung mati saja dia sudah beruntung, tetapi mungkin itu karena tombak-tombak angin tadi telah mengurangi separuh kekuatan Excalibur Devastation. Namun, yang jelas, dia tetap beruntung.

“Tapi sayang sekali kau takkan punya kesempatan untuk itu,” lanjut Arthur sembari kembali mengangkat Excaliburnya yang sudah berpendar lagi. “Riwayatmu tamat di sini. Pedang itu sepertinya bukan pedang biasa. Pedang suci? Akan kuambil setelah kau mati dan kupajang di ruangan koleksiku.”

Tidak ada respons, dan barangkali dia juga tak mendengar ucapannya. Tetapi Arthur tak memedulikan.

“Mati dan binasalah untuk selama-lamanya, Excalibur Judgment!”

Pendar keemasan seketika berubah menjadi keperakan, dan pedang pun mengayun tajam tak terbendung.

Riwayat Iblis Primordial Lukhiel benar-benar akan tamat. Kemudian berita ini akan sampai ke telinga Iblis Primordial lainnya, dan mereka akan tahu kalau ia mengincar mereka. Ia akan menghabisi Iblis Primordial satu per satu, dan Nessthanovla adalah yang terakhir.

…Paling tidak, itulah yang ia pikirkan.

Namun—

—tebasan Excalibur Judgment tidak mengenai Lukhiel.

Bahkan, kekuatan Excalibur Arthur memudar dan sirna sebelum pedangnya terayun sempurna. Ia juga sudah keluar dari wujud perubahan spiritnya. Lebih dari itu, sang iblis telah menghilang dari tempatnya tertelengkup. Yang sekarang berdiri di sana adalah remaja berusia lima belas atau enam belasan dengan ekspresi yang tajam.

“…Apa kau baru saja menyelamatkan iblis i—”

Arthur tak menyelesaikan ucapannya.

Perhatian sang raja tiba-tiba teralihkan pada sang penyihir. Athrecia—yang sedari tadi menjadi spektator—telah berada di sebelah kanan remaja itu dengan tongkat sihir berbalutkan api yang terayun tajam, siap menghancurkan kepala sang remaja. Wajah sang penyihir benar-benar menampakkan hasrat membunuh.

Namun, mengejutkan Arthur dan bahkan Athrecia, tongkat sihir yang berbalutkan api itu tak mampu mencapai sang remaja. Tongkat itu terhenti tepat sejengkal dari mengenai kepalanya. Bahkan api yang menempel pada tongkat tersebut tertekan ke belakang, seolah ada barier tak kasatmata yang menghadang.

“Ini peringatan,” kata sang remaja seraya berjongkok mengambil pedang yang masih dibaluti perban. “Jika Lukhiel sampai tak bisa diselamatkan,” tambahnya sembari berdiri, “suatu saat aku akan kembali. Saat itu, kerajaan ini akan memerlukan pemimpin baru.”

Anak itu langsung berbalik dan melangkah pergi – dia seolah tak lagi memedulikan mereka.

Arthur mengerjap melihat kepergian sang remaja. Begitu pun dengan Athrecia.

Mereka masih terkejut dengan apa yang terjadi. Arthur bahkan merasa bingung. Bukan saja anak itu telah menghentikan salah satu kemampuan Excaliburnya, dia juga telah membuat Arthur keluar dari mode Flame King Erestheral. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Athrecia keluar dari keterkejutannya lebih cepat dari sang raja. Dia langsung menancapkan tongkat sihir di tanah dan menyatukan jemarinya membentuk segitiga. Lingkaran sihir dari berbagai warna dan dalam beraneka ragam serta ukuran segera bermanifestasi. Kesemua lingkaran sihir itu mengelilingi sang remaja dalam bentuk limas segitiga.

Maximum Gravitatis!”

Arthur mengenali spell sihir yang Athrecia serukan itu. Ia pernah melihat efeknya langsung. Itu spell yang membuat gravitasi di dalam kurungan lingkaran meningkat secara eksponensial. Jika spell itu diarahkan pada sebuah bukit, bukit itu akan hancur lebur. Keluar dari pengaruh gravitasi itu akan sangat sulit.

Anak berambut biru gelap itu spontan menghentikan langkah kaki. Dan, belum sampai sedetik setelah Athrecia menggunakan spellnya, semua lingkaran sihir itu sirna begitu saja. Itu sama seperti apa yang terjadi pada serangan Arthur sebelumnya. Remaja itu menulifikasikan serangan mereka semudah bernapas.

Mengabaikan umpatan yang keluar dari mulut Athrecia, Arthur kembali memasuki mode Flame King Erestheral dan melesat menyerang. Ia mengayunkan Excalibur dengan kuat, menebas dari kiri ke kanan secara horizontal. Arthur bermaksud memotong tubuh itu menjadi dua bagian.

Sang raja mengekspektasikan sang anak untuk kembali menulifikasikan mode Flame King Erestheral dan kemudian menggunakan barier tak kasatmata untuk menghentikannya. Namun, sang remaja justru membaluti diri dengan zirah angin dan kemudian menghindar ke kiri.

Great Wind Pressure.”

Arthur terhempas akibat tekanan angin yang sang remaja layangkan. Namun, ia dapat mendarat dengan baik setelah bersalto sekali untuk mengurangi momentum. Kemudian ia langsung menyemburkan api biru dari mulut. Api itu melesat cepat, menyebar dan menggelombang seperti tsunami.

Pada saat yang bersamaan, tangan kiri Arthur terangkat ke atas. Percikan petir langsung menyelimuti tangan tersebut. Ia tidak bisa menggunakan petir dalam level tinggi seperti Lukhiel menggunakan angin, tetapi untuk sekadar membuat sambaran petir ia bisa.

Namun, sebelum ia sempat melesatkan sambaran petir itu, perutnya ditembus sesuatu. Hal itu spontan membuat konsentrasi Arthur buyar. Petir di tangan kirinya lenyap. Pada saat yang bersamaan, gelombang apinya lenyap begitu saja. Dan barulah kemudian ia melihat kalau yang menembus perutnya adalah pedang angin yang memanjang dari dua jari kiri sang remaja—padahal jarak mereka lebih dari dua puluh meter!

Arthur langsung jatuh berlutut saat pedang angin itu memudar dan hilang. Ia kembali keluar dari mode Flame King Erestheral. Athrecia langsung sigap menghampirinya. Belasan lingkaran sihir dari berbagai warna dan ukuran telah mengitari tubuhnya. Rasa sakit di perutnya mulai menghilang dengan cepat. Arthur selalu bisa mengandalkan sang wanita untuk menyelamatkannya.

“Itu serangan tercepat yang pernah kulihat.”

Arthur tak bisa menahan diri untuk tak memuji sang remaja. Memang, pandangannya terhalangi api yang ia semburkan. Tetapi itu tetap impresif karena instingnya lambat bereaksi. Apalagi jarak mereka tak bisa dibilang dekat. Dari sejauh yang ia ingat, belum ada siapa pun yang memiliki serangan secepat itu.

“Anak itu berbahaya," pungkas Athrecia. "Kita harus membunuhnya sebelum dia menjadi jauh lebih kuat. Kemungkinan dia belum menguasai tahap kedua penguasaan spirit. Kita harus menghabisinya sebelum dia menjadi masalah yang tak bisa diatasi.”

“Selain kemampuan spiritnya, aku lebih memikirkan tentang alasan mengapa dia berpihak pada Lukhiel.”

Arthur sepenuhnya mengabaikan saran Athrecia. Ia tak menampik kalau ucapan selingkuhannya ini ada benarnya, tetapi Arthur berpikiran lain. Daripada membunuh sang remaja, lebih baik membuatnya menjadi anak buah. Kekuatan yang dimiliki anak itu terlalu menarik untuk disia-siakan. Dia pasti memiliki spirit raja yang lebih kuat dari spiritnya.

“Mungkin dia anak terlantar yang dipungut Lukhiel, atau sesuatu yang serupa. Aku tak berpikir ada jawaban lain, Yang Mulia. Kita harus membunuhnya sebelum terlambat.”

Arthur merasa aneh mendengar Athrecia yang begitu berhasrat membunuh anak itu. Tetapi ia tak mempertanyakannya. Barangkali dia kesal karena spell favoritnya dibuat tak berguna. Barangkali dia kesal karena ia terluka. Atau barangkali, Athrecia tidak senang dengan ancaman remaja itu.

“Kau sudah mengerti kemampuannya?” tanya Arthur seraya berdiri—lingkaran-lingkaran sihir Athrecia telah menghilang, dan sang penyihir turut berdiri. “Membunuhnya akan sangat sulit jika kemampuannya tak bisa kita atasi.”

“Mengesampingkan elemen anginnya, aku mencatat tiga kemampuan unik yang dimilikinya. Anak itu bisa menulifikasikan semua kekuatan. Dia punya barier tak kasatmata yang sepertinya tak bisa ditembus. Dan dia bisa bertukar tempat dengan orang lain.”

“Ah, jadi begitu caranya dia bisa tiba-tiba berada di hadapanku. Kalau begitu, bukankah Lukhiel ada tak jauh dari sini?”

“Harusnya begitu. Apa perlu kucari? Yang Mulia bisa menahan anak itu untuk sesaat, aku akan mencari lokasi Lukhiel. Kita bisa menyandera Lukhiel dan memaksa anak itu menyerah.”

Arthur tak terkejut mendengar saran itu. Selingkuhannya ini tak memedulikan apa pun selain terpenuhinya tujuan.

“Jangan,” respons Arthur sembari kembali melangkah. “Aku mau mencoba merekrutnya. Menggunakan cara itu hanya akan membuatnya semakin marah. Lagipula, aku tak yakin Lukhiel selamat. Jika dia belum mati, dia akan mati. Tak mungkin dia akan tetap hidup setelah terkena Excalibur Devasta—huh, Athrecia….”

“Aku juga melihatnya,” timpal sang penyihir dengan cepat, keningnya mengernyit—kedua kakinya refleks berhenti sama seperti sang raja.

“Apa dia baru saja memasuki…portal ruang?”

“…Itu sepertinya memang portal ruang.”

“Apa dia…mengabaikan kita dan pergi begitu saja?”

Arthur tidak tahu harus bagaimana saat melihat remaja yang ingin ia hadapi pergi begitu saja. Ia belum mengetes apakah barier tak kasatmata itu bisa Excaliburnya tembus. Arthur belum mengetahui kelemahan dari kemampuan anak itu. Ia bahkan belum menanyakan siapa namanya. Dan…anak itu telah pergi begitu saja.

“Jika dia pergi bukan karena ingin memastikan kondisi Lukhiel, dia pergi karena tak yakin bisa mengatasi kita berdua. Mungkin dia merasakan kekuatanku yang sebenarnya.”

Mendengar pendapat sang penyihir membuat pandangan Arthur menoleh padanya. Ia diingatkan kembali kalau Athrecia adalah penyihir yang telah membunuh Morgan Le Fay—penyihir yang diakui sebagai yang terkuat kedua setelah Merlin. Athrecia juga jauh lebih tua dari dirinya sendiri. Arthur jadi bertanya-tanya, seberapa kuat sebenarnya sang selingkuhan?

“Yang jelas, apa pun alasannya. Dia mungkin masih tak jauh dari sini.” Athrecia menjeda sejenak, mata memandang intens sang raja. “Bagaimana, Yang Mulia, apa kita perlu mencarinya?”

“Dengan kemampuannya itu, dia mungkin akan melarikan diri lagi. Kita mungkin hanya akan buang-buang waktu dan tenaga.” Arthur menjeda sejenak, kemudian melanjutkan sembari mengalihkan pandangan, “Kecuali kau mau menunjukkan kekuatanmu yang sebenarnya, atau anak itu memutuskan bertarung dengan kita, kukira mustahil kita bisa membunuh anak itu.”

“Aku hanya akan mengeluarkan kekuatanku jika itu di hadapan Merlin, Yang Mulia.”

Arthur mengedikkan bahu. “Aku tak memintamu,” ucapnya cepat. “Tapi, kau bisa membuat gambarnya, kan?”

Athrecia mengangguk.

“Kalau begitu, buat poster buronan tentangnya. Aku ingin dia hidup atau mati. Bagi siapa yang bisa membawa anak itu padaku, akan kuberi satu juta escal.”

“…Itu jumlah yang besar.”

“Jumlah yang sepadan untuk kekuatan anak itu.”

Athrecia mengangguk mengerti. “Apa alasan yang harus kubuat? Kita melabelinya sekutu iblis?”

“Ya, ya, itu. Dia menghalangiku dari membunuh Lukhiel, sudah sepantasnya dia dimusuhi manusia. Itu akan membuat hidupnya sulit. Jika dia bukan datang padaku karena Lukhiel mati, dia akan datang karena poster tersebut.”

“Dan kemudian kau akan menawarkan membersihkan namanya.”

“Itu tergantung.” Arthur mengedikkan bahu dan menyarungkan Excalibur. “Sekarang, ayo kembali. Aku perlu bicara panjang dengan keponakanku. Dia sudah gagal membawakan kepala Lukhiel padaku.”

                                         * * *

Mariel tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengernyit. Lukhiel tidak sadarkan diri, dan dia akan mati jika tak dilakukan sesuatu.

Mariel tidak bisa melakukan apa pun. Celinee juga sama. Dan, tubuh Lukhiel tak bisa lagi beregenerasi setelah terkena serangan Excalibur. Mariel terpaksa memasukkan Lukhiel ke dalam dimensinya di mana waktu tak berjalan.

Dimensi yang tak memiliki waktu ini berwujud ruang hampa yang tak terbatas. Sebuah pulau kecil melayang di pusatnya. Pulau itu semuanya diselimuti pasir putih, tak ditumbuhi satu pun rumput. Selain sebuah pohon besar berdaun lebat berwarna biru yang berpendar terang  (yang berdiri tepat di tengah-tengah pulau), tak ada pohon lain.

Mariel membaringkan Lukhiel di bawah pohon—yang daunnya menjadi sumber penerang—satu-satunya tersebut.

Mariel berdiri memandangi sang master selama beberapa saat, memikirkan cara yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan Lukhiel. Karena Lukhiel berada di sini, dia tidak akan mati – kondisinya akan selalu seperti itu. Mariel tak perlu khawatir dia akan mati. Namun, jika ia tak menemukan cara untuk menyembuhkan sang iblis, dia akan terus seperti itu hingga ruang hampa ini musnah dengan sendirinya saat ia mati.

Mariel tak bisa membiarkan hal itu terjadi; ia harus menemukan cara untuk menolong gurunya. Namun, bagaimana?

Mariel menghela napas panjang, tak tahu harus bagaimana. Namun, ia bertekad untuk terus mencari caranya bagaimanapun juga.

Kemudian, sang remaja memunculkan portal dimensi dan melangkah keluar. Akan berbahaya bagi Celinee jika Mariel tak segera keluar—dia bisa mati jika kedua manusia itu menemukannya.

“Bagaimana? Apa sungguh Tuan Lukhiel akan baik-baik saja?”

Pertanyaan itu langsung menyerang Mariel begitu ia keluar dari dimensinya. Dia benar-benar khawatir; rasa hormat yang Celinee miliki terhadap Lukhiel benar-benar nyata.

“Yang jelas, dia takkan mati selama berada di sana. Tapi, jika sampai aku mati dan kita belum bisa menemukan cara menyembuhkannya, Lukhiel akan mati.”

Efek pedang suci pada iblis benar-benar berbahaya. Tak meng—hm….

Mariel spontan menarik pedang yang ia selipkan di pinggang. Ia memandangnya lamat-lamat. Mengingat kalau pedang tersebut memiliki julukan “Sword of Salvation” membuat Mariel bertanya-tanya.

“Ada apa?”

“Tidak, aku hanya mau tahu, kenapa ini dijuluki ‘Sword of Salvation’?”

“Kau berpikir pedang itu bisa menyembuhkan Tuan Lukhiel?”

“Entahlah, tapi kita tak tahu sebelum mencobanya.” Mariel menjeda sejenak sembari kembali menyelipkan pedang di pinggang kiri. “Bagaimana denganmu?” tanyanya kemudian dengan mata yang kembali memandang Celinee. “Aku mau kembali ke tempatku dan master tinggal.”

“Aku tak pandai menyembunyikan amarah; kembali ke tempat Nenek Tua Rhemea tak memungkinkan. Apa tak apa jika aku ikut?”

“Aku tak masalah. Karena kita sama-sama sendiri sekarang, tetap bersama lebih baik. Lagipula, aku akan melakukan perjalanan untuk mencari Penyihir Merlin. Kau ninja, akan sangat membantu kalau kau ikut denganku. Kalau pedang ini tak dapat menyelamatkan master, mungkin Merlin tahu caranya.”

“Kalau begitu, aku ikut dengamu. Aku ingin menjadi lebih kuat; sparing denganmu setiap hari akan membantuku berkembang.”

Mariel mengangguk. Ia kembali membuka portal dimensi. Celinee langsung memasuki portal tanpa disuruh, dan Mariel lantas menyusul. Portal pun menghilang dengan cepat.

Tepat dua detik setelah portal menghilang, gadis cantik berambut pirang berpakaian hitam putih khas pelayan muncul begitu saja belasan meter dari tempat sebelumnya Mariel berdiri.Di kanan gadis tersebut muncul wanita berambut perak panjang bergelombang. Dia juga muncul dengan begitu saja.

“Apa benar dia memiliki spirit raja yang sama kuat denganku, Master?” tanya gadis berambut pirang.

“Bukan sama kuat, bahkan lebih kuat lagi. Sayangnya dia belum menguasai spiritnya.”

“Kalau begitu, tunggu apa lagi. Ayo kita rekrut dia, Master. Master bisa membantunya menguasai spiritnya. Anak itu akan berguna untuk membantu kita mengatasi orang-orang itu.”

“Tidak usah. Biarkan saja dia. Lebih baik kita kembali.”

“Eh, kenapa?”

“…Dia memegang ‘Sword of Salvation’. Aku tak suka pedang itu. Dan jangan tanya lagi kenapa. Kita kembali sekarang juga.”

Wanita berambut perak langsung menghilang begitu saja; gadis berambut pirang tak punya pilihan selain turut menghilang mengikuti sang master.

                                        * * *

Celinee mengeksplor gua—yang dipermak sedemikian rupa sehingga tak layak disebut gua—tempat Mariel dan Lukhiel tinggal hingga ke bagian terujung.

Bagian dalam gua tidak kecil, tapi tidak luas juga. Secara keseluruhan terbagi ke dalam lima bagian. Bagian depan, tengah, kanan, kiri, dan bagian belakang. Yang paling besar bagian tengah, yang paling kecil bagian kanan, kiri, dan belakang secara berurutan.

Mariel menggunakan gua bagian kiri sebagai tempatnya beristirahat. Bagian kanan gua menjadi milik Lukhiel. Bagian belakang kosong; tidak ada tempat mandi dan tempat berekskresi di dalamnya (sangat mudah mengetahui kalau Mariel melakukannya di sungai yang tak jauh dari gua). Dan bagian kosong tersebutlah yang menjadi teritorialnya.

Celinee langsung keluar dari bagian belakang gua setelah memikirkan dengan detail tentang apa yang ia perlukan untuk menjadikan ruang tersebut layak ia tinggali.

Mariel sudah kembali berada di ruang depan gua saat Celinee ke sana.

Remaja itu tengah duduk bersila dengan “Sword of Salvation” di tangan kiri. Dia sebelumnya sudah mengatakan akan mencoba membuka perban yang menyegel pedang. Karena itu Celinee tak mencoba memanggil. Ia duduk bersandar pada dinding gua dan memandang intens sang remaja, sedikit penasaran dengan apa yang akan terjadi jika perban pada pedang itu dibuka.

Celinee tak dibuat menunggu lama.
Sang setengah iblis ini merasakan prana dalam jumlah besar ditarik keluar dari tubuh Mariel saat dia mulai membuka perban. Apa yang terjadi setelahnya sangat mengejutkan Celinee. Kubah barier keperakan muncul mengurung Mariel, dan sang remaja sendiri telah jatuh pingsan.

Celinee langsung bangkit dan bergerak cepat menghampiri Mariel. Ia mencoba menerobos masuk ke dalam barier, tetapi tubuhnya otomatis terpental. Celinee tak lantas berhenti; ia mencoba beberapa kali. Namun, hasilnya nihil—padahal ia sudah memperkuat tubuhnya dengan Devil Curse.

Sang ninja hanya bisa mengandalkan suara untuk mengembalikan kesadaran sang remaja.

                                        * * *

Mariel sekonyong-konyong menemukan dirinya berada di hadapan susunan batu yang dibuat sedemikian rupa sehingga cukup layak disebut altar.

Namun, ia tidak panik. Mariel menyadari kalau ia sekarang berada di antara alam bawah sadarnya atau alam bawah sadar “Sword of Salvation”. Atau, jika bukan salah satu dari keduanya, sekarang ia berada dalam ilusi yang pedang suci itu sebabkan. Ia tidak perlu khawatir akan ada bahaya yang mengancam.

“Kuucapkan selamat datang padamu, wahai pemuda yang terpilih.”

Mariel spontan berbalik badan.

Dan, segera saja pandangannya disambut senyum bijaksana seorang pria tua berambut putih kusam panjang yang disanggul. Dia tersenyum sembari mengelus-elus janggut putih kusam panjangnya dengan tangan kanan, sedang tangan kiri menggenggam erat sebuah tongkat hitam bak obsidian yang di bagian puncaknya terdapat tiga miniatur ular berwarna merah darah.

Pria tua bermata abu-abu yang terlihat seperti berusia antara 70-an atau 80-an itu dalam keadaan duduk melayang di udara. Dia mengenakan jubah abu-abu yang dipenuhi beberapa ornamen di sana-sini. Sekilas dia terlihat kuat dan berbahaya, tetapi Mariel tidak merasakan kekuatan apa-apa darinya. Dia bisa jadi lemah…atau dia hanya ilusi.

“Siapa kau, Pak Tua?”

Mariel tak berbasa-basi. Ia bisa menerka-nerka, tetapi ia tahu akan sangat jauh tebakannya dari kebenaran.

“Namaku Ruthlemia, tapi aku ragu kau pernah mendengarnya. Aku penyihir kuno, salah satu yang terbaik. Akulah yang akan menentukan apakah kau layak memegang ‘Sword of Salvation’ atau tidak.”

Ruthlemia….

Mariel tidak pernah mendengar sedikit pun tentang nama itu. Jika dia benar-benar salah satu yang terbaik, namanya pasti akan terkenal seperti Merlin dan Athrecia Le Fay. Ah, dia menyebut “penyihir kuno”, mungkin dia berasal dari era sebelum Merlin ada. Jika benar, itu sangat masuk akal karena pedang suci yang sebelumnya ia pegang termasuk dalam kategori “kuno”.

“…Bagaimana kau menentukan aku layak atau tidak?”

Pria tua itu kembali tersenyum. “Bisa bertemu denganku sudah menunjukkan kalau kau layak,” jelasnya.

“Tapi…?”

“Tapi aku takkan memberi tahumu apa pun perihal kekuatan pedang itu sebelum aku mendengar jawabanmu.”

Mariel tak terkejut. “Jawaban apa?” tanyanya menuntut penjelasan. Ruthlemia belum menanyakan apa pun; tak masuk akal jika dia menuntut jawaban.

“Jawaban akan pertanyaan penting yang bakal kutanyakan.” Ruthlemia menjeda sembari memangku tongkat sihirnya. “Dan sebelum pertanyaan itu kutanyakan, terlebih dahulu aku mau kau mendengar ceritaku. Ini tentang Sword of Salvation dan sejarah dunia.”

Mariel selalu ingin tahu lebih banyak tentang sejarah dunia. Ia punya banyak pertanyaan untuk ditanyakan. Mendengar pria tua itu akan bercerita tentang sejarah membuatnya langsung mengambil posisi duduk di atas salah satu batu. Mata memandang sang penyihir dengan intens.

“Kau terlihat sangat bersemangat, Anak Muda.”

“Tentu saja.” Mariel tak mengelak. “Pengetahuan adalah kekuatan. Kau menyebut dirimu penyihir kuno, jadi kau pasti punya informasi yang jauh lebih banyak dari Lukhiel dan berbagai buku. Aku juga punya banyak pertanyaan yang mau kutanyakan.”

Ruthlemia mengangguk-ngangguk mengerti. “Pengetahuan memanglah kekuatan,” ucapnya setuju. “Ada kalanya pengetahuan akan lebih bisa membuat perbedaan ketimbang kekuatan.”

“Silakan mulai bercerita, Pak Tua.”

“Ada suatu masa di mana para dewa berjalan di antara para mortal,” mulai Ruthlemia dengan pandangan seolah menerawang. “Ada beberapa ras lain yang menyaingi manusia dalam mendominasi dunia. Dunia lebih luas dari yang hanya terdiri atas empat benua. Kau tahu, dulu dunia bawah dan dunia atas adalah….”

Mariel mendengar cerita sang penyihir dengan telaten.

Menurut Ruthlemia, dulunya dunia bawah dan dunia atas adalah satu. Keduanya berada di bawah naungan para dewa yang berada di langit. Bukan langit yang tak berbentuk seperti sekarang, tetapi langit yang padat dan bisa dijangkau—langit yang sebenarnya. Dulu bumi terdiri atas tiga lapis, neraka berada di bawah bumi yang ketiga. Sementara itu, langit juga punya tiga lapis – kahyangan berada di atas langit ketiga.

Namun, dunia yang satu dan padu itu berubah drastis saat Sword of Salvation—yang menjadi inti yang menjaga ketiga lapis bumi dan langit agar tetap padu—dicuri.

Hilangnya pedang itu membuat ketiga langit hancur lebur. Bintang-bintang dan berbagai benda langit lainnya terhempas keluar memenuhi ruang kosong, sedang para dewa dan penghuni langit lain pada jatuh berhamburan ke bumi. Kahyangan terhempaskan entah ke mana. Beberapa di antara sejarawan awal meneorikan kalau kahyangan telah menjadi salah satu ujung semesta.

Hal yang tak jauh berbeda terjadi pada bumi.

Bumi yang tiga lapis terpisah. Menurut Ruthlemia, bumi kedua dan ketiga serta neraka telah terhempas seperti kahyangan. Ketiganya berselaras dengan kahyangan menjadi ujung yang menjaga semesta agar tidak hancur. Sementara itu, bumi lapisan atas terbelah dua dan kemudian menyatu dan melengkung satu sama lain membentuk bola padat raksasa yang disebut planet.

Planet itu sendiri terbagi ke dalam empat bagian. Bagian permukaan, atau yang sekarang disebut dunia atas, adalah bagian pertama dan paling luas. Bagian ini mayoritasnya berupa tanah dan air. Di bawahnya terdapat magma, di bawah magma terdapat dunia bawah, dan di bawah dunia bawah terdapat ruang kosong yang di tengah-tengahnya terdapat bola plasma yang berpijar.

Jarak antara dunia atas dengan lapisan magma adalah seribu tahun perjalanan dengan kaki. Begitu pula jarak magma dengan dunia bawah. Hal yang sama juga berlaku terhadap dunia bawah dengan pusat planet. Sementara itu, menurut salah satu kenalan Ruthlemia, jarak antara planet dengan keempat penjuru semesta adalah empat ratus ribu tahun perjalanan.

Perubahan drastis yang terjadi pada dunia membuat banyak makluk yang mati. Mereka yang selamat dari bencana besar itu berusaha keras mencari Sword of Salvation. Tetapi tak ada satu pun yang berhasil menemukannya. Ketiadaan hasil itu membuat setiap ras mencurigai satu sama lain. Peperangan besar pun tak terelakkan.

“Peperangan besar itu hampir memusnahkan semua kehidupan,” lanjut Ruthlemia dengan rahang yang mengeras. “Yang tersisa hanya sekelompok manusia beruntung karena bersembunyi dari medan perang. Kami menyebut mereka Manusia Agung, tapi mungkin di masamu tak ada jejak sama sekali tentang sebutan itu.”

Ruthlemia menceritakan kalau sekelompok manusia itu jugalah yang akhirnya menemukan Sword of Salvation. Namun, saat ditemukan, pedang itu sudah hancur menjadi tiga belas bagian. Bilah pedang hancur menjadi dua belas, sedang gagang pedang menjadi bagian yang ketiga belas.

Berbagai upaya mereka lakukan untuk mengembalikan Sword of Salvation ke wujud asalnya. Jika dunia menjadi berantakan karena pedang dicuri, barangkali dunia akan normal jika pedang dikembalikan. Mereka semua ingin agar dunia direstorasikan, makanya mereka berusaha dengan begitu keras.

Namun, tak ada satu upaya pun yang berhasil. Diperca bahwa hanya Dewa Primordial yang bisa kembali menyatukan bagian-bagian pedang yang hancur. Akhirnya, mereka memutuskan berhenti mencoba dan memanfaatkan kesemua bagian pedang. Masing-masing bagian itu menjadi inti dari apa yang sekarang ia kenal sebagai tiga belas senjata suci.

Dari ketiga belas senjata suci itu, hanya satu senjata yang tak diberi nama.

Gagang senjata tersebut adalah gagang Sword of Salvation yang asli, dan karena itu pula pedang tersebut tak diberi nama. Mereka tetap menyebutnya dengan Sword of Salvation. Dan dari ketiga belas senjata itu pula, hanya Sword of Salvation yang tak diberikan pada siapa pun. Itu menjadi simbol bagi keberadaan dunia lama. Dan seiring berjalannya waktu, keberadaan pedang itu setengah dilupakan.

“Seribu tahun setelah penciptaan ketiga belas pedang suci,” lanjut Ruthlemia, “para dewa dan berbagai makhluk yang terbunuh dalam bencana besar dan peperangan yang mengikutinya mulai muncul kembali satu demi satu. Mereka muncul di dalam raga manusia yang baru lahir. Kalian menyebutnya spirit.”

Dengan kemunculan dewa pertama dalam bentuk spirit, cerita Ruthlemia, isu perbaikan pedang dan perestorasian dunia kembali muncul. Namun, mayoritas manusia sudah melupakan eksistensi Sword of Salvation. Sangat sedikit yang ingat dengan tujuan leluhur mereka. Dan dari jumlah yang sedikit, semunya menolak mewujudkan keinginan leluhur mereka.

“Kecuali satu orang.”

“Namun,” lanjut Ruthlemia sebelum Mariel sempat bertanya siapa orang itu, “orang itu langsung dicap sebagai pengkhianat dan dimusuhi. Dia diburu ke mana pun dia pergi. Berbagai upaya negosiasi tak diterima. Kecuali pedang itu diserahkan untuk kemudian disembunyikan, orang itu tak akan diampuni. Demi memastikan dunia tak kembali seperti dulu, demi memastikan manusia tetap menjadi penguasa dunia, mereka berusaha memusnahkan segala pengetahuan tentang pedang itu.

“Tapi orang itu bukan tanpa cara dan perlawanan. Dia adalah penyihir terkuat sepanjang masa. Ia mengangkat murid, dan Sword of Salvation dia berikan pada sang murid. Dia menugaskan muridnya untuk mencari manusia yang mewarisi spirit salah satu dari tiga Dewa Primordial. Bagaimanapun juga, dunia perlu direstorasikan demi menghindari kehancuran total saat pusat planet hancur. Dan, pedang itu sekarang berada di tanganmu, Anak Muda.”

Mariel tidak mengatakan apa pun setelah cerita itu berakhir. Ia mencerna kembali apa yang baru saja sang penyihir katakan. Ada banyak pertanyaan yang perlu ditanyakan; ada banyak kesimpulan yang bisa ditarik—termasuk siapa satu orang dalam pengecualian itu. Namun, Mariel tidak mengatakan apa pun mengenai hal itu. Ruthlemia memang sudah selelas bercerita, tapi dia masih belum selesai berbicara.

“Yang menjadi pertanyaanku, apa kau mau mengemban tugas berat itu—walaupun harus menghadapi seisi dunia? Jika spirit yang ada dalam dirimu bukan salah satu dari Dewa Primordial, maukah kau mencari manusia lain untuk kau wariskan pedang itu padanya?”

“Sebelum kujawab pertanyaan itu, Pak Tua, aku punya beberapa pertanyaan.”

“Tiga pertanyaan. Akan kujawab hanya tiga pertanyaan.”

Mariel mengernyit – tiga pertanyaan terlalu sedikit. Ia punya banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban.

“Ilusi ini takkan bertahan lebih lama lagi; kita tak punya waktu untuk menjawab banyak pertanyaan darimu.”

Jika begitu adanya, Mariel tak bisa protes. Tiga pertanyaan lebih baik daripada tidak sama sekali.

“Pertanyaan pertama,” mulai Mariel, “apa kau tahu bagaimana iblis bisa ke dunia atas? Pertanyaan kedua, apa aku bisa menyelamatkan iblis dengan Sword of Salvation? Pertanyaan terakhir, apa semua dewa benar-benar sudah mati dan lahir kembali dalam wujud spirit?”

                                         * * *

Celinee tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu sang remaja. Suaranya telah serak, dan tak ada tanda-tanda kalau Mariel akan bangun. Barier itu juga tak menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Celinee benar-benar tidak tahu lagi harus melakukan apa. Berharap yang terbaik adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini.

Dan barangkali, itu adalah apa yang seharusnya ia lakukan sejak awal: duduk dengan tenang dan berharap yang terbaik. Pasalnya, baru saja Celinee duduk dengan tenang dan berharap yang terbaik, tiba-tiba barier yang mengurung Mariel terlihat luntur lalu menghilang. Kemudian sang remaja terbangun belasan detik setelah itu.

“Mariel!” Celinee menghampiri dengan cepat. “Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”

Mariel tampak mengernyit untuk sesaat, tetapi kemudian ia menghela napas panjang dan menggeleng pelan. “Tak ada apa-apa,” katanya. “Aku baik-baik saja. Barusan aku terkena spell ilusi yang ditanamkan pada pedang ini; tak ada yang perlu kau khawatirkan.”

Celinee mengangguk mengerti. “Lantas, bagaimana pedang itu? Bisa kau rasakan kekuatannya?”

Mariel kembali mengernyit. “Pedang ini—berbeda dengan kedua belas senjata suci lainnya—tak memiliki kekuatan spesial apa pun,” terangnya. “Selain bilahnya yang lebih keras dari berlian, tak ada yang spesial pada pedang ini.”

“Eh, jadi ini bukan pedang suci? Ini hanya pedang yang ditanami spell oleh penyihir?”

Mariel menghela napas panjang. “Entahlah, tapi yang jelas ini bukan Sword of Salvation yang asli.” Mariel lantas berdiri lalu menggeleng pelan. “Sepertinya kita memang harus mencari Merlin, Celinee, sekarang hanya dia satu-satunya harapan kita.”

“Kalau begitu, kita harus menemukan Merlin dengan cepat.”

“Ya. Kita harus.”

Namun, sebelum itu, mereka perlu sedikit berlatih untuk membiasakan diri dengan kekuatan masing-masing. Jika mereka akan bekerja sama, memastikan bisa bertarung bersama adalah keharusan.

                            —End of Chapter 7—

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sword of Salvation, Interlude
12
6
Timeline: Setelah Chapter 7
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan