
Nikmatin aja ceritanya, yaaa
biarin aku yang pusing mikirin alur hahaha
happy reading …
Hujan mungkin dapat menghapus tandus, namun tidak dengan tanah yang kerap merasa haus. Angin selalu bisa bergerak halus, walau tak jarang badai pun berembus. Seperti menikah yang katanya adalah bukti cinta, tetapi hakikatnya banyak rumah tangga yang berjalan tanpa makna. Manusia bilang, peliharalah banyak rasa. Supaya tak ada yang menganggungkan romansa dan membuatnya nyaris gila.
Selayaknya redup senja yang tak pernah gagal menyajikan nostalgia. Sirat jingga di antara awan-awan seolah tengah mempertontonkan kemilaunya yang megah. Membuat sulur keemasan yang menjajah sapuan langit, tampak indah. Sebagai pemisah antara siang dan malam, senja tak seharusnya berdandan seelok itu.
Buat jutaan pasang mata berdecak kagum karenanya. Lalu, belum lama mereka menikmati waktu berharga, senja teramat kejam dengan membiarkan kemilaunya ditelan malam.
Ah, karena ternyata, gelap pun menyimpan banyak cerita.
Sudahlah, lalui saja semesta ini sebagaimana mestinya.
Dengan berkantong-kantong paper bag di tangan, Nadine memasuki lobi Hartala Group ketika Michael Kors dipergelangan tangannya menunjukkan waktu setengah empat sore. Lobi megah itu tak seramai pagi hari saat security yang berjaga di depan membukakannya pintu. Empat tahun menjadi cucu menantu pemilik gedung ini, ia disapa begitu ramah. Dihormati sebagaimana mestinya. Diberi senyum yang tak mungkin ia balas dengan dengkus bosan.
“Selamat sore, Ibu, mau bertemu Pak Naufal?”
Ia mengangguk. Rambut cokelatnya yang bergelombang ia biarkan tergerai di punggung. Mengenakan dress navy selutut dengan Obi belt melingkari pinggangnya yang ramping, Nadine melenggang dengan baik. Demi menaikan pamor suaminya sebagai pengusaha sukses, Nadine membiarkan Dior, menggantung di bahunya. Menunjukkan strata yang begitu jelas, tanpa perlu berteriak-teriak pamer. “Suami saya lagi meeting, saya lagi bawa banyak camilan buat dia,” langkah sepasang Saint Laurent berhak sepuluh senti berhenti di depan resepsionis yang sudah begitu di kenalnya.
“Kalau begitu, mari saya bantu ke atas, Bu.”
Salah satu dari tiga orang front liner menawarkan bantuan. Namun dengan sigap Nadine menolak. “Saya bisa bawa ini sendiri kok,” ia merujuk pada paper bag bertuliskan restoran cepat saji yang kini memenuhi kedua tangannya. “Tapi, kamu boleh kok, bantu saja pencetin tombol liftnya,” senyumnya menyebar anggun. Wangi parfumenya masih setia mengikuti. Dan Nadine tak perlu khawatir merasa bau matahari.
“Baik, Bu. Mari, silakan, Bu.”
Memasuki lift khusus direksi. Nadine teramat suka menatap tampilannya di mana saja. Kilau perona Dior di bibir tak pernah gagal mempercantik dirinya. Walau sudah beberapa jam ia berada di luar rumah demi misi menghabiskan sisa uang belanja dari suaminya bulan ini, tampaknya ia tidak perlu mengkhawatirkan visualnya. Tetap tenang selayaknya bidadari, Nadine ingat suaminya pernah mencibir dirinya sebagai si tukang akting.
Well, Nadine tak merasa keberatan. Ia datang ke sini pun, dengan akting sebagai istri baik yang mengunjungi suaminya bekerja. Padahal, ia punya niat terselubung yang harus ia beritahukan pada pria itu, sebelum lusa nanti sang suami mengiriminya uang belanja bulanan.
Ugh, Nadine ingin sedikit tambahan.
Ada yang harus ia beli.
Walau tengah mendapat hukuman dari kakek suaminya agar tak berpelesir ke luar negeri, Nadine selalu tahu bagaimana menyalurkan uang yang sudah terlanjur mengendap di rekeningnya.
Setelah lift berhenti di lantai yang ia tuju, ia meminjamkan kartu kreditnya pada petugas yang mengantarnya ke sini. Memperbolehkan ia dan teman-temannya membeli camilan atau kopi dengan kartu sakti itu, ia tak mempermasalahkan tagihan yang kelak akan ia dapatkan.
Tenang saja, bukan ia yang mengurusnya.
Suaminya memperkerjakan seorang manager keuangan khusus hanya untuk membantunya mengatur seluruh uang yang diperolehnya setiap bulan. Entah itu dari suaminya, atau hasil dari rumah sakit milik keluarga. Juga dari beberapa bisnis sampingan yang ia kerjakan dengan teman-temannya.
Naufal begitu khawatir, ia kalap menukar uang-uang itu dengan banyak barang yang menurut pria tersebut sangat tidak penting. Barang-barang yang sudah tak lagi muat dalam walk in closet mereka, kerap membuat pria itu berdecak. Sampai-sampai, Nadine harus merenovasi satu ruangan demi memberi ruang tinggal bagi tas, sepatu, kacamata, hingga perhiasan-perhiasannya.
Sebenarnya, ia bukanlah orang yang gila berbelanja.
Hanya saja, ia terlampau tidak tega membiarkan barang-barang mewah yang dijual di toko, tidak menemukan pemilik sebaik dirinya.
Percayalah, ia menjaga seluruh barang-barang yang ia beli dengan segenap jiwa.
“Hai, Din?” ia menyapa Dini—sekretaris sang suami. Bekerja sudah sangat lama dengan Naufal bahkan ketika suaminya itu masih menjabat sebagai wakil direktur keuangan. Walau belum menikah, namun Dini tidak terlihat seperti sekretaris yang berniat menggoda atasannya. Pakaian wanita itu selalu sopan. Entah itu satu set blazer dengan celana. Blouse lengan panjang dengan rok sepan. Dalam pandangan Nadine yang beberapa kali berkunjung ke sini, Dini tak pernah sengaja berdandan untuk memprovokasi. “Naufal nggak ada, ya?”
“Bapak lagi meeting, Bu,” jawab Dini sopan. Wanita berblazer merah itu, segera bangkit. Dengan sigap, ia membuka pintu ruangan sang atas. Mempersilakan istri bosnya itu masuk dan ia pun ikut ke dalam. “Ibu mau nunggu Bapak?”
“Iya, Din. Saya bawa camilan sore, nih,” karton-karton makanan itu ia letakkan di atas meja yang dikelilingi oleh satu set sofa berwarna abu-abu gelap. Mengempaskan tubuh di atas sofa, Nadine menumpangkan sebelah paha ke atas pahanya yang lain. “Sisain satu bungkus aja buat Naufal, Din. Selebihnya, kamu bawa aja. Bagi-bagiin ke teman-teman kamu yang lain kalau kamu ngerasa kebanyakan.”
“Sebanyak ini, Bu?”
Nadine mengangguk tanpa ragu. “Tapi bentar dulu, ya? Saya mau foto dan kirim ke Naufal,” ia hanya butuh satu potret saja dan segera mengirimkan foto tersebut ke sang suami dengan keterangan bahwa ia datang membawa makanan. “Sip,” walau belum terbaca, Nadine tak peduli. Nanti juga Naufal akan membuka pesannya. “Sisanya kamu bawa aja.”
Ia membawa lima kantung makanan yang di masing-masing kantung tersebut terdapat dua buah cheese burger beserta kentang goreng. Ia tidak mengonsumsi soda. Jadi, tak ada cola yang ia pesan. Sebagai gantinya, ia sudah menitip kopi untuk suaminya lewat resepsionis yang mengantarnya ke lantai ini tadi.
“Semua ini, Bu?” tanya Dini sekali lagi.
“Iyap, Din. Kamu makan aja bareng teman-teman kamu, ya? Saya mau di sini aja sambil nungguin Naufal. Kamu kalau mau izin buat ngemil-ngemil, silakan aja. Nanti saya yang bilang ke Naufal.”
Dini meringis tipis. “Makasih banyak, ya, Bu. Tapi, saya masih ada sedikit kerjaan. Nanti, kalau saya mau izin ke pantry, saya kasih tahu Ibu, dulu, ya?”
Dan yang dilakukan Nadine adalah mengangguk. Kini, ia sudah sibuk dengan ponselnya. Ada charity di rumah sakit milik keluarganya beberapa hari lagi. Ia dan suaminya pasti akan datang ke sana. Yang sedang membuatnya resah adalah gaun yang ia pesan sejak seminggu yang lalu, belum juga sampai ke Indonesia. Ck, padahal ia memesannya dari Singapura.
Andai saja, tak ada hukuman dari kakek Hartala, Nadine sudah menjemput gaun itu sejak jauh-jauh hari.
Astaga, menyebalkan sekali sih?
Yang bermasalah itu adik iparnya, tetapi semua harus merasakan imbas dari kemarahan seorang Hartala Wiyama.
***
“Kali ini pembebasan lahannya beneran kacau, ya?”
Meeting telah selesai beberapa saat lalu. Para peserta rapat pun sudah keluar dari ruangan berpendingin gila ini. Atmosfer ketegangan membuat suasana terasa begitu panas, makanya suhu AC diatur sedemikian rendah demi meminimalisir tensi ketegangan.
Yang masih betah berada di dalam adalah para cucu pemilik gedung ini. Dengan tampang yang sudah tak lagi bersabahat, mereka melanjutkan debat walau tak sealot ketika nyaris seluruh divisi keuangan masih berada di ruangan ini.
“Padahal, dua minggu lalu seharusnya kita mulai pembayaran tahap kedua,” Naufal tak sekadar melonggarkan dasinya, ia justru membuka pengikat kerah lehernya kasar. “Kalau jadi kacau gini, gimana pembebasan lahan bisa diselesaikan segera. Yang ada, Opa bakal gantung gue, sampai nih masalah nggak selesai-selesai,” decaknya sambil memijat pangkal hidung.
“Manajemen lo kacau, Fal,” timpal Tama—salah seorang sepupu Naufal yang kini menjabat sementara sebagai CEO menggantikan kakek mereka yang mendadak malas datang ke kantor.
“Kok salahin di gue?” Naufal tak terima. “Itu sebenernya tanggung jawab Affan dong,” ia lempar kesalahan pada sepupunya yang lain. Dan kebetulan, orang tersebut berada bersama mereka di ruangan ini. “Sebagai direktur perencanaan, lo seharusnya ngehire orang-orang yang bisa kerja plus Amanah buat terjun langsung di lapangan, Fan. Dana buat pembebasan lahan udah gue setujui berdasarkan orang-orang lo yang ada di sana. Tapi data yang orang lo kasih, kenapa bisa selisih gini sih?”
Affan yang mendapat tudingan itu terlihat tak kalah suntuk. “Besok, gue langsung ke Palembang,” ujarnya menyugar rambut kasar. “Gue minta data valid dari tim lo buat ngejar AMDAL yang belum selesai diurus. Divisi legal udah gue cecar, mereka ngasih data akurat kalau mereka bener-bener udah mastiin legalitas tuh lahan.”
“Jangan bawa polisi. Bawa orang-orangnya Bang Tama ajalah, buat nyariin si berengsek itu,” Naufal sudah sangat geram. Ia bisa ikutan mati bila dana 80 miliar yang sudah ia setujui untuk membayar ganti rugi dalam sengketa lahan antar masyarakat di sekitar pabrik semen baru yang hendak dididirkan Hartala Group tidak sampai ke tangan-tangan pemilih lahan. “Target Opa, akhir tahun udah kelar masalah lahan juga segala tetek-bengek perizinannya. Setelah itu, baru deh vendor dari Waskita bisa mulai turun ke lapangan. Opa kejar target banget. Dua tahun, harus jadi tuh pabrik semen. Sinting memang tuh orangtua,” decaknya gusar.
“Karena Opa juga udah ngasih dana jor-joran, Fal,” Tama memutar-mutar kursinya. “Udahlah, capek gue mikirin ini aja. Proyek yang digarap Opa bukan cuma semen doang. Gue juga wajib mantau perkembangan cluster yang di Medan. Duh, Opa kok panjang umur, ya, mikirin bisnis yang nggak ada matinya gini? Gue aja yang baru mau dua bulan gantiin dia, rasanya udah mulai tua sebelum waktunya,” decak Tama mengacak-acak rambut. “Ya, udah, yok! Ngopi dulu kita!” ajaknya sambil mengangkat tubuh dari kursi yang sudah sejam lalu ia duduki. “Mau ngopi di mana nih?”
“Gue skip,” sahut Naufal setelah meraih ponsel yang sedari tadi hanya ia buat dengan mode getar saja. “Nadine ada di ruangan gue,” imbuhnya menginformasikan. “Atau kalian ke ruangan gua aja gimana? Nadine bawa banyak makanan.”
“Males gue ketemu Nadine,” Tama mendengkus. “Terakhir ngobrol sama dia, gue berakhir ngabisin duit berapa ratus, ya, waktu itu, buat ngebeli Cartier?” Tama sedang mengingat-ingat nominal uang yang harus ia keluarkan demi sebuah gelang yang menurut istri Naufal pasti cocok untuk istrinya.
Naufal tertawa. “Lo beli apa? Minggu lalu dia juga baru beliin gue jam tangan merek itu. Jam couple sama dia. Tapi gue nggak tahu, mau dipakai kapan sama dia,” mengingat deretan jam tangan lainnya yang belum pernah dikenakan.
“Nadine juga pernah nawarin berlian ke Anin. Tapi, ya, istri gue mana ada kepikiran beli perhiasan kalau bukan gue yang nyodorin,” ringis Affan setengah tertawa. “Padahal, gue udah bilang ke Anin, ambil aja. Waktu itu, jamannya si Nadine yang join bisnis berlian sama temennya kalau nggak salah,” ia mulai mengingat-ingat.
“Ya, abis itu dia bangkrut. Temennya ditangkap polisi gara-gara nyabu. Udah terlanjur banyak customer dan sebagian udah di DP ke temennya itu, endingnya tetep gue yang bayar,” cerita Naufal mengingat bagaimana luar biasanya sang istri menguras uangnya kala itu. “Okelah, gue cabut,” ia hanya mengemas ponsel dan menyimpan dasi di saku celana.
Berjalan terlebih dahulu, Naufal segera memasuki lift. Menyusuri koridor menuju ruangannya, keningnya sedikit berkerut saat tak mendapati sekretarisnya. Ia akan menghubungi sekretarisnya itu nanti karena saat ini, ada istrinya yang perlu ia beri perhatian lebih. Mengenai alasannya bertandang ke sini.
Namun setelah ia membuka pintu ruangan, istrinya tak juga ada di sana. Merogoh saku, ia mengeluarkan ponselnya kembali. Menghubungi nomor istrinya, kaki-kakinya melangkah mendekati tas milik sang istri serta paperbag yang bertengger di atas meja. “Di mana, Nad?” Nadine jelas tak ada di kamar mandi.
“Kamu udah kelar meeting, Beb?”
“Udah,” balas Naufal pendek. “Aku udah di ruanganku.”
“Aku lagi di pantry nih. Jemput dong.”
“Ck, yang bener aja deh, Nad,” tangannya memilih meraih satu cup kopi yang jelas-jelas untuknya. “Buruan, Nad. Aku masih harus kerja lagi.”
“Jemput dong, Beb.”
“Nad—”
“Aku ada di pantry lantai 17. Lagi gabung sama anak-anak divisi finance sama accounting. Kamu yakin, aku boleh lama-lama di sini? Nanti ketahuan lho, apa yang coba …”
“Shit, Nad! Tunggu aku di sana!”
Dan wajah lelah yang sedari tadi ditunjukkan oleh Naufal, berganti gusar yang tampak kentara. Nadine telah menemukannya. Naufal segera mengusap wajahnya kasar.
Ck, sial!
***
Sabaar beb, Babang udah otw jemput. kamu anteng aja yess di sana wkwkwk
hubungan Naufal sama Istrinya tuh, bukan tipe dingin-dingin beruang kutub. tapi lebih ke jinak-jinak merpati. yang sukanya buang muka waktu kita deketin hahaha
pokoknya gitu yaaa…
btw, aku sebenernya mau nyoba nulis dua dongeng sekaligus. aku pikir sih mampu, ya. tapi ternyata, badan jompoku yang tiap hari bau freshcare ini beneran rentah hahaha nanti yaa kalau beneran udah fit, coba deh aku spoilerin siapa tahu kalau banyak yang minat bisa jadi semangat dan sehat, yaaa
oke deh semuanya see uuu yaaa
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
