Bersamamu, Tanpa Rasa ; 2

404
5
Deskripsi

Bersamamu, Tanpa Rasa ; dua

Terbiasa dengan keadaan rumah yang sunyi, seharusnya Tama langsung beralih ke kamarnya saja. Tetapi langkah-langkahnya justru berkhianat. Tatapannya terpaku pada kamar yang berada di seberang kamarnya. Terhalang ornament-ornament kayu dengan vas bunga yang bersusun rapi, Tama sangat jarang menyeberang ke arah itu. 

Karena, ya, area itu milik Anjani.

Iya, mereka tidak pernah berada dalam satu kamar yang sama sejak menikah. Dan hingga detik ini, tak pernah sekali pun mereka saling mengunjungi kamar masing-masing.

“Lama-lama, gue kayak bapak kos yang nungguin anak kosnya balik,” gerutu Tama seraya mengecek ponsel. Membuka room chat dengan istrinya, Tama meringis melihat intensitas mereka dalam berkomunikasi benar-benar bisa dihitung dengan jari. “Seminggu yang lalu. Beneran nggak ada yang normal di rumah ini,” cebiknya kesal sendiri.

Serius, untuk masalah komunikasi, mereka memang luar biasa tak peduli.

Padahal, tiap hari tak henti-hentinya Tama menatap aplikasi pesan tersebut dan tanda-tanda istrinya mengiriminya kabar sangat mustahil sekali. Dan kenapa, bukan Tama saja yang terlebih dahulu mengirimi Anjani pesan?

Ck, ia tak mau melakukannya.

Anjani itu, tipe yang jarang berbicara. Namun sekalinya mulut terbuka, Anjani bisa mengeluarkan bisa yang mematikan. Tetapi herannya, hal itu hanya berlaku untuk Tama saja. Sebab bila dengan orang lain, Anjani akan berubah menjadi sosok elegant tanpa cela.

“Dasar manipulative,” bila teringat sifat istrinya itu, Tama selalu saja merasa sebal. Pasalnya, hanya dirinya yang terlihat kurang ajar di mata orang-orang. Padahal, istrinya sendiri yang tak pernah memperlakukannya selayaknya suami. “Dia beneran nggak tahu, kalau surga istri ada di suaminya. Ck, nggak bakal gue kasih kunci surga tuh orang,” gerutunya jengkel.

Setengah berdecak, Tama kembali menuruni anak tangga. Ia memanggil salah seorang asisten rumah tangga. Sudah jam sebelas malam, ia tahu ia pasti terdengar tak waras bila mencari Anjani di jam seperti ini. Tetapi mau bagaimana lagi? Rasa penasaran bisa membuatnya uring-uringan bila tidak menemukan jawaban. 

Ia perlu tahu, kali ini Anjani pergi ke mana. Dulu, ia memang sempat gila dengan menyewa mata-mata demi mengikuti ke mana pun Anjani pergi. Tetapi hal itu tidak lagi, karena ternyata Anjani lebih sinting darinya. Anjani punya beberapa bodyguard terlatih kala itu. Menghajar orang-orangnya, lalu dengan sangat memalukan mereka kemudian mengaku bahwa mereka adalah orang-orang suruhannya.

Ck, Anjani tentu saja besar kepala. 

Dan Tama begitu enggan, menyaksikan wanita itu menjadi kian pongah padanya.

“Iya, Pak? Bapak manggil saya?” sambil tergopoh-gopoh, wanita setengah baya dengan daster bunga-bunga dan kerudung di kepala itu berjalan cepat menuju majikannya. “Mau dibuatin sesuatu, Pak?” 

Tama menggeleng, tampilannya memang sudah kusut. Tapi hal itu bukan semata-mata karena pekerjaan kantornya. Ia sempat menyambangi bar milik sepupunya tadi, namun tenang saja, ia tidak mabuk. Hanya dua sloki dry martini, agar ia dapat tidur nyenyak malam ini. “Anjani udah pulang belum, Mbok?” ia membuka kancing-kancing kemejanya. Menampakkan kaus dalaman berwarna putih kesukaannya.

“Belum, Pak. Ibu bilang, kemarin perginya seminggu. Mungkin, besok baru pulang, Pak.”

“Dia ada bilang, mau ke mana nggak, Mbok?” tak biasanya Tama kepo begini. “Atau dia ada pesan sesuatu ke kalian nggak?” ada tiga asisten rumah tangga di sini. Jadi, bisa saja, Anjani menitipkan pesan yang lupa disampaikan oleh para pekerjanya.  

“Nggak ada, Pak. Tapi katanya, kalau ada yang aneh-aneh di rumah, saya diminta hubungin Mbak Lolita saja.”

Yang aneh-aneh di rumah?

Ck, memangnya apa yang aneh?

Oh, tentu saja, sikap kepo Tama ini.

Ya ampun, Tama kesal lagi ‘kan!

“Ya, udah, Mbok. Nggak usah dihubungin, biarin aja dia.”

“Iya, Pak. Ada lagi, Pak?”

“Nggak ada. Ya, udah, Mbok istirahat aja. Maaf, ya, tadi saya ganggu istirahatnya.”

Setelah mempersilakan asisten tersebut kembali beristirahat, Tama memilih merilekskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Tingkah Anjani makin aneh. Bila biasanya, wanita itu akan berada di rumah selama dua minggu dalam sebulan. Maka sekarang ini, Anjani makin sering keluyuran

Iya, keluyuran.

Sebutan Tama untuk setiap kegiatan Anjani di luaran sana.

Memilih tak memusingkan keberadaan istrinya, Tama lebih suka mengganggu adik-adiknya saja.

Baiklah, pilihan pertamanya jatuh pada adik laki-lakinya. Lingga namanya, dan sekarang tinggal di Surabaya. Menjalankan salah satu cabang perusahaan kakeknya yang ada di sana. Dulunya, mereka bekerja di kantor yang sama. Namun, tragedi berdarah membuat Lingga pindah. 

Dan kini, Tama yang merasa kesepian di kantor. Tak ada yang bisa ia ganggu. Jadi, biarkan malam ini, ia mendapatkan makian Lingga. Tama menghubungi lewat panggilan video. Ia harus melihat raut menyebalkan adiknya, agar ia bisa terbahak-bahak. 

“Lo kurang kerjaan, Bang? Atau kurang belaian?”

Nah ‘kan, apa yang Tama bilang?

Ia paling suka mengganggu adik laki-lakinya ini.

Wajah kusut Lingga segera saja membuatnya tertawa. Terlihat sekali, bahwa Lingga sudah tidur sementara dirinya masih terkapar mengenaskan di ruang tamu rumahnya sendiri. Ck, sangat kontradiktif sekali, ya, nasib mereka ini?

“Halah, iya deh yang tiap malam kena belaian. Sombong, ya, lo sekarang,” katanya pura- pura mencibir. “Itu lo abis ngapain? Ngebelai-belai atau kelon-kelon enak?” Tama terbahak saat mendengar Lingga mendengkus padanya. “Udah, jangan malu. Curhat aja sini sama Abang, Dek.”

“Astaga, mulut lo,” Lingga terlihat tak bisa berkata-kata. “Ck, tidur lo sono, Bang!”

“Gue nggak bisa tidur, Ling. Nggak ada yang nemenin gue dengan penuh kasih sayang di kamar,” ucapnya sambil memasang raut menjijikkan di wajah. “Kasur gue dingin, Ling. Gue nggak punya kehangatan di sana.”

“Bacot amat tuh mulut, ya?!”

Tawa Tama semakin terdengar keras. Ia tak peduli pada ekspresi kesal adiknya. Terus menggoda Lingga, berharap Anjani yang berada di kepalanya segera angkat kaki. “Adik ipar kesayangan gue mana nih? Lo umpetin dalam selimut, ya? Eh, hati-hati, Ling. Sekarang katanya, selimut tetangga jauh lebih hangat erat.”

“Sumpah, Bang. Lo mabuk ‘kan?”

“Kagak,” timpal Tama cepat. “Jangan alihkan pembicaraan, elah. Gue mau ngobrol dong sama adik ipar kesayangan gue.”

“Ck, dia udah tidur. Udah, ah, jangan gangguin dia. Lo kalau mau nelpon dia, pas matahari masih kelihatan sesombong Opa lo, Bang.”

“Halah, Opa lo kali. Kan elo, yang paling disayang namun akhirnya terbuang,” Tama kembali tergelak mendengar ucapannya sendiri. “Ya, udah, kalau lo nggak ngebolehin gue ngomong sama saudara ipar gue satu-satunya. Tolong dong, bangunin ponakan gue yang cantik jelita. Bilang aja, Papinya rindu menggebu.”

Terlihat Lingga akhirnya bangkit dari ranjangnya. 

Tama yang melihat adiknya mulai berjalan menuju connecting door, langsung berubah excited. Sebab ia tahu betul, di sana adalah kamar keponakannya.

Ngomong-ngomong, adiknya itu memang sudah punya anak. Walau yang menikah adalah Tama terlebih dahulu, namun untuk urusan memberi cucu pada orangtuanya, semua merupakan tugas adik-adiknya.

Ck, Anjani mana sudi disentuh olehnya.

Halah, Anjani kampret memang!

Kenapa sih, Tama harus kepikiran lagi? 

“Lo jangan berisik, ya, Bang? Lo cukup lihat dia tidur aja. Awas kalau mulut lo sampai kebuka.”

Tama mengangguk melalui layar ponselnya. Walau penerangannya redup, ia bisa mengingat bagaimana kamar sang keponakan didominasi oleh warna pink yang lembut. Ia pernah dua kali mengunjungi adiknya di sana. Rindu keponakan, selalu menjadi alasannya untuk datang ke Surabaya. Padahal, yang jelas-jelas ia rindukan adalah adiknya itu.

Ah, jangan sampai Lingga tahu fakta ini. 

Bisa habis harga dirinya yang selama ini sudah bersusah payah membangun imej tak peduli pada siapa pun juga.

Lalu, layar ponselnya berubah.

Tak lagi menampilkan keremangan, wajah bayi menggemaskan yang tengah terlelap damai dalam box bayi, menyandra netra Tama. Membuat senyumnya terlampir begitu tulus. 

Astaga, jika sudah begini, ia benar-benar merindukan keponakannya.

“Jingga kesayangan papi,” gumamnya pelan.

“Lentera. Lo suka rese menggal-menggal nama orang.”

Tergelak pelan, Tama ingat betapa marahnya Lingga ketika ia memenggal nama sang keponakan kala itu. “Nama bapaknya Lingga, gue panggil, Ling. Nah, anaknya Jingga, ya gue panggil, Jing, dong.”

“Sialan lo, Bang! Awas lo, nelpon-nelpon gue lagi. Nggak bakal gue angkat.”

“Ck, ambekan lo kayak mama,” celetuknya geli. “Iya, iya, Rara kesayangan Papi. Puas lo!” 

Hm, ya udah deh. Gue mau lanjut tidur. Lo juga tidur kali, Bang. Besok masih ngantor di kantor kakek lo, ‘kan?”

“Enak, yeee, nyindir terooossss!” tapi Lingga benar juga. Ia butuh istirahat. Namun sebelum itu, ia harus mandi. “Ling?”

“Apa?”

“Anjani makin gila.”

“Tumben mikirin? Biasanya denial terus?” Lingga menyindir lagi.

Hal yang kontan membuat Tama berdecak. “Halah, nggak penting juga ngurusin dia. Udahlah, gue mau mandi,” sambungan ia putus segera.

Tama benar-benar beranjak dari lantai satu. Kembali memanjat tangga. Dan lagi-lagi, otaknya benar-benar melakukan hal terduga. Sebab setelah lantai dua berhasil dipijak oleh kakinya. Langkah-langkahnya yang teramat lelah itu, justru mengarah ke arah kamar istrinya. Namun di tengah-tengah perjalanan, ia memaksakan diri agar segera tersadar.

“Nggak penting,” gumamnya menatap sinis pada smart lock yang dipasang Anjani di pintu kamarnya. “Gue nggak pernah kepo sama urusan dia. Dan gue nggak pernah tertarik sama apa pun yang dia kerjakan saat ini.”

Mantra itu berhasil membawa Tama ke dalam kamarnya. Tentu saja, dengan debaman keras, karena merasa dirinya mulai gila.

 

*** 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bersamamu, Tanpa Rasa ; 3
572
36
Bersamamu, Tanpa Rasa ; tiga
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan