Berharap Indah

523
111
Terkunci
Deskripsi

Namima Sahira adalah salah satu rangkaian takdir buruk dihidup Kalingga. Terlahir di tengah-tengah keluarga kaya yang konservatif, Lingga tahu segala hal mengenai dirinya telah diatur. Sudah terbiasa, karena menolak pun tak ada gunanya. Lingga jalani segala yang ada di depan mata dengan hati kebas.

 

Hingga suatu hari, titah itu pun datang. Namun alih-alih menikahi gadis dengan kasta  serupa, Lingga harus dibuat tertawa kala yang datang padanya adalah gadis dengan latar belakang berbeda....

97,119 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
650
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Kategori
Novel
Selanjutnya Terikat
253
36
Bara memiliki sisi kelam dibalik nama besar keluarganya. Tak hanya menggeluti bisnis yang dilabeli haram, Bara membuat masalah baru dengan jatuh hati pada wanita yang tidak semestinya ia dekati. Suasana tentram mendadak kacau karena ulahnya. Geliat konfrontasi tak bisa lagi dihindari. Bermula dari debar jantung yang menggila, Bara terperosok salah. Berlanjut dengan kenekatan yang membikin gelisah, Bara tahu seharusnya ia berhenti saja. Tetapi ketika detak mereka menyatu, Bara seperti melihat dunia baru. Lalu bagai berada di ujung tebing dengan ribuan masalah yang menyiksa, Bara bingung menentukan arah. Sebab sisi terdalam di palung jiwa, menginginkannya menjadi egois saja.Sebelum kemudian, ia terdampar di Asmaraloka. ***  Daftar Isi  PrologBab 1       : Bertemu Bab 2       : Ternyata KamuBab 3       : Dunia Yang Bara gemariBab 4       : Awal Ketidaksetiaan (1)Bab 5       : Awal Ketidaksetiaan (2)Bab 6       : Perasaan Tak TenangBab 7       : Ucapan KeliruBab 8       : NadiBab 9       : JedaBab 10     : SakitBab 11     : Nyaris SajaBab 12     : KeputusanBab 13     : Detak KetakutanBab 14     : Yang MenungguBab 15     : Kisah Dua SudutBab 16     : Nadi Tidak LupaBab 17     : Rasa BersalahBab 18     : Bukan Lagi mimpiBab 19     : Resah Itu NyataBab 20     : Waktu Tak Bisa MenungguBab 21     : Dua Sisi KeluargaBab 22     : Waktunya Menoreh LukaBab 23     : Lakon Dari SemestaBab 24     : TerusirBab 25     : Bertemu RajataBab 26     : Tamparan MasalahBab 27     : Cinta PertamaBab 28     : Rindu IbunyaBab 29     : Setelah SemuanyaBab 30     : Mimpi TerkutukBab 31     : Lanjutan Perjalanan BaraBab 32     : Tidak Ada Yang MudahBab 33     : Nyata Yang MemeluknyaBab 34     : KeluargaBab 35     : Dusta Sebuah KetidakpedulianBab 36     : Yang Layak DiakhiriEpilog                                            EKSTRA PART Lembar Biru            Kembali Hadir MenghantuiPengacauMereka Bukan KitaMemancing KeributanMakin MemusingkanMengalihkan KetakutanMasih Ada HarapanTidak Sengaja BerjumpaDunia Bara BerakhirInilah Akhir PerjalananApa Arti Semuanya?Haruskah?Bukit Tanpa NamaWaktu Yang PanjangArshalineku, Bukan MilikmuDunia Baru                     P r o l o g   Bara tahu ini salah.Ia paham betul, bahwa apa yang ia lakukan akan memicu pertengkaran. Namun anehnya, hatinya bersikeras melanjutkan. “Bang?”Ia mengeratkan rahang saat cengkraman di lengannya mengetat. “Nggak apa-apa ‘kan?” ia akan gila bila harus berhenti. Tetapi untuk melanjutkan pun, ia yakin neraka sudah siap menyambut kedatangannya saat mati. “Astaga,” ia tahan gejolak hasrat yang menari-nari. Pandangannya sayu, seolah merayu. Dengan hati-hati, ia belai kulit lembut dengan sentuhan ujung jemari.“Uhm …”Ringisan tersebut tercipta kala Bara memutuskan terus memacu. Ia bimbing tangan yang mencengkram lengan untuk berpegangan pada pinggangnya. Sementara ia menurunkan tubuh, kesepuluh jemarinya merangkum wajah merona wanita di bawah tubuhnya. Ia sisipkan senyum kecil, sebelum melumat bibir merah tersebut lamat-lamat.Amukkan gairah segera memintanya berlomba dengan peluh. Namun Bara tak menuruti. Ia ingin membingkai momen ini di memori. Walau hanya sekali, ia harap terpatri mati. Makanya, Bara menahan diri dengan memberikan sentuhan yang akan selalu dikenang. Memperlakukan dengan hati-hati, Bara tak ingin wanita berharga ini lecet atau tergores karena tindakannya.Karena jauh di lubuk hatinya, ia percaya bahwa jelita yang tengah terengah akibat ciuman mereka adalah permata yang ia inginkan untuk menaiki tahta di dalam istananya.“Abang …!” jerit kecil meluncur tanpa mampu dicegah.Lagi-lagi Bara memakukan netranya hanya pada cakrawala bening milik sang jelita terindah. Sambil sesekali ia naikan tempo, ia nikmati penyatuan yang terjalin di antara mereka. “Sakit?” tanyanya khawatir.Wanita itu menggeleng, ia ingin mengatakan sesuatu namun lenguh yang mengambil alih tubuh. Tangannya yang berada di pinggang laki-laki itu meremas tanpa sadar. Sementara kakinya pelan-pelan kian terbuka lebar. Ia gigit bibir ketika gelombang asing mencoba menerjang. Tak tahu harus berbuat apa, ia terengah-engah kala gerak dari tubuh yang menjulang di atasnya makin tak terkendali. “Bang?” cicitnya meraih satu tangan lelaki itu. Mencengkramnya kuat, sementara ia sibuk mendesah. “Ah.”Senyum Bara hadir kembali di tengah perhatiannya yang berpusat pada tubuh mereka yang saling bertaut. Ia sapa bagian paling menjulang di tubuh wanita di bawahnya dengan senang. Sesekali, ia meremasnya kencang setelah puas memilin dengan gemas. Membuat cicit syahdu yang hanya dirinya yang boleh tahu. Ia serakah.Bara tahu. Sebagaimana wanita itu memberinya kehormatan sebagai pria. Ia pun ingin memberi pujian yang serupa. Jadi, ia tundukkan kepala. Mengecup bukit indah yang berpeluh karenanya. Mengagumi bagaimana Tuhan mencipta manusia serupawan wanita yang terengah karena dirinya juga. Mengecupi inci per inci, sebelum melumat dalam.Astaga, Bara benar-benar gila.“Ah, Bang!” Jerit wanita itu kembali melagu kala Bara memasukkan ujung payudaranya ke dalam mulut. Membelainya dengan kekuatan lidah, wanita mana yang tak terengah kala kehangatan nyaris menyandra tiap pori-pori tubuhnya.“Please, Bang.”Bara kian gencar membuat gerakkan. Tak hanya dipusat senggama, kuluman pada putting berpayudara indah itu pun semakin cepat ia cecap. Menyusu selayaknya bayi, ia tak puas bila hanya sekali. Makanya, ia pun mengulangnya. Lagi, lagi, dan lagi.Hingga ketika gelombang itu menerjang brutal, mereka bersama-sama menenggelamkan diri dalam dosa pengkhianatan. Karena tak lama berselang, ponsel si wanita menjeritkan panggilan. Belum turun mereka dari nirwana dosa, keduanya saling memeluk. Menyamakan erangan napas. Meraup sebanyak-banyaknya udara, sebelum kembali bercumbu mesra.Ketika bibir bertemu bibir, lalu lidah membelit desir, keduanya lagi-lagi terganggu pada raungan yang berasal dari ponsel pintar milik si wanita. “Siapa?” tanya Bara serak. Ia simpan wajahnya di antara ceruk leher yang menggoda. “Berisik,” gumamnya tanpa menjeda kecupan di sepanjang bahu wanita itu yang terbuka. Membuat tanda, lalu mengembuskan hawa gairah. “Nggak diangkat?”“Bang Raja. Nggak mungkin aku angkat ‘kan, Bang?”Dan seketika saja, punggung Bara yang telanjang menegang.Kesadaran menyentaknya begitu saja.Walau rasa bersalahnya kian bertambah, ia tak rela melepaskan tubuh dalam pelukannya ini. “Ritme jantung kita sama. Kamu ngerasa nggak?”Wanita itu meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Terdiam sesaat, sebelum kemudian mengangkat sebelah tangan. Ia belai pipi lelaki itu dengan kelembutan penuh kasih sayang. Lalu sebelah tangannya yang lain mencari dada lelaki tersebut, menumpuhkan telapak tangannya di sana untuk merasakan detak di dada. Diam-diam ia mengangguk. Senyumnya merekah. Dan yang ia lakukan adalah memberi kecupan. “Sama,” bisiknya mengakui.Sekali lagi, Bara melumat bibir merah milik kekasih adiknya. Sekali lagi.Ah, tidak.Untuk yang kesekian kali. Raja, maafin gue.       Satu Bertemu    Mimpi-mimpi itu terus mengejarnya.Membuat lelap yang seharusnya menjadi penawar lelah malah menjadikan Bara merasa kian letih kala telah terjaga. Entah apa artinya, namun Bara mulai berfirasat bahwa hal itu bukan sekadar mimpi biasa. Bukan pula mimpi basah seperti kala ia masih berseragam sekolah. Intinya, ia tidak suka. “Aku mimpi lagi, Ma,” ia mengadu seperti balita sesaat setelah mendapati ibunya berada di dapur. Menarik salah satu kursi, ia empas tubuhnya seperti bocah yang tengah merajuk. “Mimpinya itu-itu mulu. Artinya apa sih, Ma?”Kalau sekadar mimpi nikmat penggugah akal sehat, mungkin Bara akan senantiasa menikmatinya. Tetapi yang mengganggu tidurnya adalah mimpi-mimpi berepisode. Mimpi itu tampaknya memiliki alur yang panjang.Rike menatap putra keduanya dengan sirat geli yang kentara, namun urung mengatakan apa-apa sebab ia tahu Bara hanya akan tak terima. Beranjak membuka lemari es, ia keluarkan jus jeruk yang memang ia siapkan untuk anaknya tersebut. “Minum ini dulu biar seger,” ia angsurkan segelas. “Mama kangen ih, sarapan rusuh bareng kamu.”Bara hanya berdecak, ia tandaskan minumannya karena memang tenggorokkannya terasa dahaga. Mimpi dikejar-kejar ribuan prajurit bersenjata kerap membuat napasnya tersenggal-senggal saat terbangun. “Ma,” ia panggil ibunya meminta perhatian. “Gimana sama mimpi-mimpi aku itu? Ini udah nggak wajar, Ma. Mimpinya itu, pemerannya sama. Mimpinya kayak sinetron kesukaan Bik Inah.”Usianya telah dewasa. Ia bukan remaja manja, namun kekhawatiran mengenai bunga tidur menyeramkan yang ia alami belakangan ini, mau tak mau menampilkan imejnya sebagai anak mama.“Mama jangan bilang karena aku lupa baca doa, ya?” “Emang kamu baca?”“Ya, enggaklah. Kan udah lupa.”Rike hanya mencibir. Ia belakangi lagi anaknya dan fokus pada masakan di atas kompor. “Mimpinya masih bersambung terus?”“Iya, Ma. Dan kali ini lebih serem. Aku sama cewek itu udah sampai di bibir jurang. Terus banyak prajurit ngepung dari segala arah.”“Coba kamu inget-inget, ada utang nggak sama orang?”Bara menghela, ia lipat kedua tangan di atas meja. Lalu menelungkupkan kepalanya di sana. Meja makan sudah sepi sejak berjam-jam yang lalu. Padahal hari ini adalah hari libur. Entah ke mana papa dan adiknya berada. “Ma, yang serius dong? Masaknya biar si Bibik aja. Mama duduk sini sama aku. Biar aku ceritakan dari awal sampai mimpi terakhir tadi.”“Nanti dong, Bar. Mama lagi sibuk ini.”Bara cemberut, masih dengan kepala yang berada di meja, ia mengetuk-ngetuk jemarinya dengan tak sabar. “Mama masak apa sih? Kok ribet banget perasaan?”“Oh ini, requestnya adek kamu.”“Raja minta bikinin apa?”“Masakan kesukaan pacarnya.”Ketika ibunya mengatakan hal tersebut sambil tertawa kecil, mau tak mau Bara pun melakukan hal serupa. Ia angkat kepalanya dari meja. Kembali memutar tubuh menatap ibunya yang begitu piawai mengenakan spatula, Bara bersumpah ia sangat menyukai apa pun yang dimasak oleh wanita setengah baya itu. “Memangnya dia udah berhasil move on dari cinta sejatinya?” ia meledek adiknya. “Udah selesai drama mencintai istri orang?”Rike tertawa lebar. Sudut-sudut bibirnya terangkat geli. Membicarakan si bungsunya yang kini telah beranjak dewasa benar-benar membuat bahagia. “Kamu belum tahu aja pacarnya siapa?”“Siapa emang?”Dan ketika pertanyaan tersebut dibiarkan menggantung, Rajata—adik bungsu Bara—berteriak-teriak memanggil ibu mereka.“Oh, di sini Mama ternyata.”Bara hanya tersenyum geli. Namun tepat ketika sang adik memasuki dapur dengan menggandeng seorang wanita di sisinya, senyum Bara pudar.Seakan ada dimensi yang menyedot netranya. Ia terpaku dan nyaris tak bisa berpaling lagi. Sapuan ingatan mengenai mimpi-mimpi yang ia alami seketika saja membanjiri benaknya. Potongan-potongan adegan menyeramkan, bertumpang tindih dengan suka cita yang berada pada dimensi yang tak Bara ketahui.Tiba-tiba saja, ia melihat tawanya sendiri mengudara pada ruang dan waktu yang begitu asing baginya. Senyum malu-malu yang tak pernah ia jumpa, mendadak terbayang dan nyaris membuatnya terbang. Namun ada rambatan pilu yang bergerak menuju dada. Menuangkan ribuan sesak yang tak bisa ia tepis dengan mudah. Lalu, saat wanita itu mengarahkan cakrawala padanya, Bara tahu seluruh saraf-saraf tubuhnya lumpuh. Sungguh, sepertinya mereka pernah bertemu.Sebab tahu-tahu, ada rindu menggebu yang menjeritkan utuh. *** Menempati kastil di sayap kanan istana, Amerta sedang bersiap untuk jamuan makan siang di aula utama. Duduk menghadap cermin besar, ia tatap pantulan wajahnya sementara kedua dayangnya menata kepangan di rambutnya yang panjang. Tak lupa memberi jepit perak sebagai aksen pemanis yang wajib ia kenakan. Lalu setelahnya, Amerta tersenyum puas.Pintu kamarnya diketuk, Amerta tak pernah repot-repot membuka pintunya sendiri. Karena selalu ada penjaga yang bertugas di depan kamarnya. Seorang dayang lainnya masuk sambil membungkuk hormat. Amerta berdiri, namun hanya untuk memastikan penampilannya. “Tuan Putri.”“Katakan,” Amerta meneliti penampilannya sekali lagi. Ia memiringkan tubuh demi melihat keseluruhan gaun berbahan lace yang membungkus tubuhnya. Sulaman emas di tepi gaun, membuat senyumnya terkembang sekali lagi. Saat menyibak ujung gaunnya, ia perlu memastikan bahwa ujung dari gaun tersebut menyapu lantai. “Lapor, Tuan Putri. Pengawal baru yang akan menggantikan pengawal anda yang sebelumnya sudah tiba.”Ah, pengawal itu ternyata.Amerta masih enggan meninggalkan bayangannya di cermin. Terlalu percaya diri akan keelokan parasnya, Amerta begitu suka disanjung. Memang, ia bukanlah pewaris Asmaraloka. Karena jatah itu adalah milik kakak laki-lakinya. Namun, dibanding sang kakak, dirinyalah yang lebih dielu-elukan rakyat.  “Pengawal baru anda, berada di luar, Tuan Putri.”Hm, sepertinya waktu untuk jamuan sudah semakin dekat. “Biarkan dia masuk,” dengan anggun Amerta berbalik menghadap para dayangnya. Sambil mengibaskan ujung gaunnya, ia menyeberang ruang. Melintasi marmer mengkilap yang keseluruhannya berwarna keemasan. Menuju tempat di mana ia biasa menyambut tamu, Amerta menaikan sedikit dagu sesuai kebiasaan. “Bawa dia kemari.”Dayang tadi mengangguk patuh. Berjalan mundur tiga langkah sesuai dengan protokol istana, barulah sang dayang berani berbalik dari hadapan tuan putri dari jarak seperti itu. Membuka pintu perlahan, kemudian mempersilakan seorang pengawal masuk ke dalam ruang pribadi sang putri.Amerta adalah simbol keanggunan dengan balutan kesombongan yang seringnya hanya diketahui oleh para pelayan istana. Penduduk Asmaraloka tidak diperkenankan mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Ia dipaksa membuat imej sempurna bagi seorang putri raja. Maka, jangan salah bila sikap semena-menanya cuma diketahui oleh segelintir orang saja.Pengawalnya yang lalu mengalami cedera parah yang membuat laki-laki berusia awal 40 itu tak lagi bisa menjalankan tugasnya. Belum mendapat kandidat pengawal yang cocok, sang raja akhirnya meminjamkan seorang pengawalnya yang paling setia untuk mendampingi Amerta sementara waktu.“Salam hormat, Tuan Putri. Kaligra datang menghadap!” Suara berat dari pengawal baru cukup mengusik ketenangan sang putri. Dirinya yang semula bersikap tak peduli, kini menatap terang-terangan pada laki-laki itu. “Tuan Putri, saya akan mengawal anda sampai tiba ke jamuan makan siang di istana.”Amerta mengerjap, seperti ada yang keliru. Namun ia tak tahu apa itu. Pria gagah itu menekuk kaki, kepalanya menunduk hormat. Sementara sebelah tangannya berada di atas lutut. Ujung jubahnya menjuntai di lantai, berikut dengan ujung sarung pedang yang berada di sisi kanan tubuhnya. Rambutnya yang panjang menutup setengah wajahnya. Beruntung sebagian rambutnya yang dikepang berhasil memperlihakan separuh kulit wajahnya yang lain.Amerta menerima sang pengawal dengan tak sabar. Menyuruhnya bangkit cepat-cepat. “Bangunlah,” titahnya segera. Tepat ketika tatapan mereka bertemu, Amerta tak mengerti apa yang terjadi. Karena tiba-tiba, segala kilas balik yang belum pernah ia temui justru menerpa benaknya dengan tajam. “Apa sebelumnya kita pernah bertemu?”Tak ada jawaban, justru keheningan itu menarik keduanya memasuki dimensi panjang sebuah petualangan. Yang menyajikan banyaknya lika-liku perasaan. Hingga kemudian, ada rindu yang  mendobrak segala hal  yang seharusnya tabu.Tapi pertanyaannya, di mana mereka bertemu? ***  Kaukah itu sayangku? Layaknya Adam dan HawaAkhirnya Tuhan membiarkan kita jumpaWalau dengan situasi berbedaJiwa kita tetap sama Lelah sudah aku berkelanaMenyusuri dunia demi menemukanmu wahai jelitaTernyata kau ada di sanaMenatapku dengan senyum yang berbeda Sedetik kita saling terpakuSeakan temu adalah mimpi yang tabuTetapi rupanya semesta pun setujuBahwa kali ini, saat yang kita tunggu …      Dua Ternyata Kamu Bara tidak menyukai hari minggu mulai beberapa waktu belakangan. Andai boleh melewati hari, maka weekend selalu ingin ia hindari. Namun ada perasaan tanpa nama yang mulai menyusup tiap kali mereka tidak jumpa. Sebuah detak yang berbeda, saat sedetik saja wajahnya mulai terbayang dalam benak. Seperti saat ini, ia telah menuruni anak tangga dengan telapak tangan berkeringat. Degupnya mulai berisik, tetapi ia tutupi sambil terus berpura-pura tenang. Ketika akhirnya sampai di ujung anak tangga terakhir, Bara berhenti sejenak. Ia netralkan napas dan segera mengusir kegugupan yang entah sejak kapan mulai ramah menyambanginya. Ini tampak bukan dirinya sama sekali. “Pagi,” sapanya yang membuat sebagian penghuni meja makan melotot padanya. Menyadari kekeliruhan, ia terkekeh sebentar sebelum merevisi sapaan yang tadi sudah terlanjur terlontar. “Siang,” gelaknya setelah melihat betapa terangnya kesombongan matahari di luar sana. “Kapan sih kamu bangun pagi, Bar? Mama beneran kangen masakin kamu sarapan.”Menarik kursi di sebelah keponakan tersayangnya. Bara mengecupi puncak kepala gadis kecil favoritenya itu hingga beberapa kali. “Nadi kehidupannya Om Bara makan pakai apa?”“Pakai hati, Om,” celetuk adiknya sambil memutar bola mata. “Minumnya teh botol susro. Wah, mantep, Om. Nadi mabok. Aduuuhh, Nadi maboookk …”“Raja!” Rike memperingatkan anaknya sambil melotot garang. “Itu omongannya dijaga dong. Nadi ini lagi beo. Apa pun nanti ditiru.”Bara hanya tertawa. Ia membalik piring yang sebelumnya ditata telungkup di atas meja. Menerima sodoran nasi dari sang ibu, ia juga mengucap terima kasih pada kakak iparnya yang telah mendekatkan udang bakar kesukaannya. “Sehat, Ra?” pertanyaan itu ia lemparkan pada sosok perempuan yang selalu berada disebelah adiknya bila berkunjung ke sini. “Dari jam berapa datang, Ra?”Mahira nama sosok itu. Tengah menatap kikuk sambil tersenyum tipis. Rambutnya yang panjang diikat satu agar tak menyusahkan geraknya. “Dari pagi, Bang. Tante Rike kemarin nelpon ngajak masak bareng.”Bara hanya manggut-manggut saja. Ia sendok nasi ke mulut, mengunyah udang berlumur saus kecap yang telah menjadi makanan kegemarannya sejak dulu. Namun kunyahannya terhenti sejenak, hingga diam-diam senyum tipisnya hadir tanpa mampu dicegah. “Mas Affan belum balik dari Lampung, Mbak?” kini perhatiannya berpusat pada sang kakak ipar. “Sore nanti gue mau ngajak Nadi ngedate es krim, boleh?”Hidup sebagai si tengah, nyatanya Bara tidak pernah merasa sebagai anak yang tak pernah diperhatikan keluarga. Ia memiliki saudara-saudara luar biasa. Kakak laki-lakinya adalah yang paling ia hormati setelah papa. Sudah menikah, Mas Affan—merupakan panutannya sejak lama. Lalu, ada adik laki-lakinya yang tengilnya luar biasa. Bergelar sarjana, Rajata—belum ingin bekerja. Adiknya itu berkata, kalau ia bekerja sekarang, siapa yang memiliki tugas untuk menghabiskan harta mereka?Jawaban dari seorang pemalas memang seperti itu. Tetapi, Bara sangat menyayangi mereka semua. “Mas Affan minta jemput di Bandara. Kamu bisa jemput, Bar?”Bara segera menyanggupi, kemudian meja makan pun ramai dengan ocehannya dan Raja yang bersama-sama menggoda keponakan mereka satu-satunya. Si cantik Nadi, yang usianya hampir lima tahun tengah sibuk menceritakan pengalamannya di sekolah. Berkisah mengenai teman-temannya, Bara bersumpah keputusannya kembali ke Indonesia adalah pilihan tepat. Well, Bara pernah menetap di Inggris hingga bertahun-tahun lamanya. Berkedok kuliah, nyatanya ia membuka tempat hiburan malam setelah melihat peluang bisnis yang menggiurkan dari tempat berlabel maksiat itu.Walau tahun-tahun awal saat ia memutuskan memboyong bisnisnya pulang ke tanah ibu pertiwi, mendapat tentangan yang tak main-main dari keluarga besarnya yang notabene adalah pengusaha dengan nama yang telah mentereng. Bahkan beberapa kali, kakeknya yang maha berkuasa itu mencoba menghancurkan bisnisnya. Dilabeli sebagai bisnis haram yang akan mempermalukan nama besar Hartala, Bara tetap keras kepala. Hingga kemudian, namanya benar-benar dicoret dari daftar ahli waris yang berhak menerima persenan saham dari Hartala Group ketika kakeknya meninggal dunia nanti.Bara tak ambil pusing. Toh, sampai sekarang kakeknya tak kunjung dipanggil Tuhan. Tetapi yang ia sesalkan dari keputusannya memertahankan bisnis itu adalah memburuknya hubungan antara papa dengan kakeknya. Namun papanya berkata tidak apa-apa, pelan-pelan semua akan baik-baik saja.“Udah selesai makannya, Bang?”Mengerjap dua kali, pandangan Bara jatuh pada piringnya yang ternyata telah kosong. “Aku ngelamun, ya?” ia meringis. Meneguk air putih sambil meraih selembar tisu untuk membersihkan bibir. Meja makan telah kosong. Hanya tersisa Mahira dengan asisten rumah tangga yang sedang sibuk membereskan meja. “Yang lain ke mana?”“Tante Rike sama Om Danang di halaman belakang, Bang. Mbak Anin lagi motong puding. Sementara Bang Raja sama Nadi tadi naik ke atas. Nggak tahu mau ngapain.”Bara hanya mengangguk. Gadis itu hendak berlalu sambil membawa piring kosong milik Bara. Tetapi tangan Bara yang cekatan, segera meraih sikunya. Membuat si gadis menghentikan langkah. “Bang?” Mahira mencicit pelan.Bara berdiri, ia sejajarkan tubuh tepat di samping gadis itu. “Cuma mau bilang, masakan kamu enak.”Pipi Mahira memerah. Ia tundukkan pandangan karena malu.“Aku hafal rasa masakan Mama dan Mbak Anin. Tapi saus di udang tadi bener-bener baru. Dan aku tahu, itu buatan kamu,” Bara menepuk puncak kepala Mahira sebelum berlalu dari hadapan gadis itu. “Ah, satu lagi.”Mahira mendongak akhirnya. “Gelangnya cantik.”Mahira refleks menjatuhkan pandangan pada seutas gelang cantik yang melingkari pergelangan tangannya. Andai sedang tidak membawa piring, Mahira pasti akan menyentuh rantai-rantai tersebut. “Jaga baik-baik, ya?” Bara mendekat lagi. Ia sentuh gelang tersebut sembari melempar senyum tipis. “Jangan kamu yang nyuci piring. Ngomong-ngomong, tadi malam kamu juga cantik.”Menggigit bibir, Mahira kembali menundukkan kepala. Sekelebat ingatan mengenai mimpi yang malam tadi merajai lelapnya terbayang dalam benak. Tentang rambut panjangnya yang berkibar tertiup angin. Juga, dekapan hangat yang dilayangkan pemuda itu padanya. Dengan kata-kata yang membuat jantungnya tak tenang hingga detik ini.“Selagi matahari masih betah membagi sulur-sulur cantiknya. Maka kita akan mencari cara agar tetap bersama. Entah itu untuk hidup bersama atau mati bersama.”“Dan selagi detak di dada ini masih menyerukan namamu. Aku berjanji tak akan letih bersembunyi.”“Amerta ….”Elusan di punggung tangan membuat Mahira mendongak. Senyum tipis namun teramat manis, segera menyandra cakrawalanya. “Potongan mimpi malam tadi, berakhir dengan indah. Bisa kita mengikutinya?”Mahira memalingkan wajah. Semburat panas sudah menjajah kedua belah pipinya dengan cara yang tak biasa.“Aku bercanda,” Bara terkekeh pelan. “Jangan terlalu lelah,” dan pria itu lantas berlalu setelah meninggalkan sapuan hangan di atas kepala.Jantungku …Menyisakan Mahira yang berjalan kaku menuju tempat pencucian piring. Setelah meletakkannya, Mahira tak kuasa memejamkan mata. Sebelah tangannya menyentuh bibir tanpa sadar. Karena pada potongan adegan terakhir yang ia tonton dalam lelap, ada Amerta dan Kaligra yang tengah bercumbu mesra. Kedua sosok yang menyerupai mereka. Namun hidup di dunia yang bernama Asmaraloka. Ini gila’kan?Mahira bersumpah, merasakan kegilaan itu saat pertama kali bertemu dengan Bara di rumah ini. Ia hampir menyerah dengan mimpi-mimpinya, hingga pertemuannya dengan Bara membuat Mahira yakin, ada benang takdir yang tersembunyi dari mimpi-mimpi mereka yang ternyata sama. *** “Mas! Cengo aja sih lo. Kenalin nih cewek gue,” Rajata berseru riang. “Gue punya cewek ‘kan akhirnya? Emang elo, banyak pilih-pilihnya,” cebik si bungsu dari tiga bersaudara itu  pongah.Biasanya, Bara akan membalas adiknya itu dengan segera. Menggumamkan beberapa ejekkan tak mau kalah. Namun kali ini, ia sedang sibuk menekuri peran sebagai patung. Jadi alih-alih membalas, ia justru membisu.Ada yang aneh dari ritme jantungnya.Ada yang salah dari cara netranya memandang.Juga, seperti ada yang keliru ketika persendiannya justru terasa kaku.Kenapa?Bisik ragu mulai membuat otaknya ikut menyimpulkan sesuatu. Informasi dari mata, segera dicerna. Tak pelak hal itu cepat-cepat membuat benaknya memutar sebuah proyeksi.Tidak mungkin! “Mas?!”Teguran Rajata menghentikan kecamuk dalam benak Bara. Demi meladeni adiknya, mau tak mau ia pun menarik napas panjang. Berusaha menyingkirkan semua keanehan yang didera. Ia pun berdeham. “Apa sih, Ja?” ia alihkan tatapan ke mana saja asal tidak menatap adiknya. Terlebih perempuan yang berada di sebelahnya. “Lo kalau masuk rumah tuh ngucap salam. Bukan malah teriak-teriak,” omelnya demi menutupi resah. “Gue udah salam ya, Mas. Lo aja nggak denger.”Netra Bara berkhianat. Indera penglihatannya itu justru kembali memandang obyek yang membuat jantungnya terasa seperti ditikam. Sebenarnya ada apa?“Mas?! Oy …!  Bara-bere, woy! Ini gue lagi ngomong sama Bara ‘kan? Halo-halo, lo Bara ‘kan, Mas? Lo nggak fokus banget sih?!”“Apa sih lo, Ja?” cebiknya di ujung lidah. “Lo yang apa sih, Mas? Ngelamun mulu. Tersepona ya, lo sama cewek gue?”“Terpesona, Rajata. Bukan tersepona,” koreksi Rike dengan geli. “Jauh-jauh kuliah sampai luar negeri, masa bahasa indonya masih belepotan gitu. Malu ah, Mama.”Rajata hanya mengedik, lalu dengan gaya sok keren, ia rangkul gadis yang berada di sampingnya. “Cewek gue, Mas. Kenalan dong,” ujarnya cengengesan.Mau tak mau Bara pun bangkit dari kursinya. Berjalan mendekati pusat kegilaan yang kini benar-benar membikin sakit kepala. Ada ingatan yang masih ingin ia galih. Ada akal sehat yang ingin ia jemput agar memberinya sederet teori dari kejadian tidak masuk akal ini. “Bara,” ia memperkenalkan diri. Tangannya terulur meminta berjabat tangan. Seolah, ada hal yang ingin ia cari kebenaran.“Mahira.”Suara lembut itu mengalun, menusuk tepat pada palung jiwa.Dan tepat ketika akhirnya mereka bersalaman, letusan tak terlihat menarik keduanya dalam dimensi berbeda. Berputar pada pusaran angin yang membelai sejuk, sebelum kemudian menusuk. Terdampar pada ujung cakrawala. Keduanya terengah luar biasa.Terempas berdua, nyatanya mereka bukan lagi Bara dan Mahira. Melainkan Kaligra dan Amerta. Yang hidup dalam dunia bernama Asmaraloka.Ini gila.Astaga. ***  Tunggu duluTetaplah di situAda aku yang bersiap membawa tanduAkan bersimpuh pada langit yang memberi restu  Sayang …Tolong, jangan pernah menghilangSebab kau tak kan tahu, bagaimana jiwaku ikut terbangTerempas mengikuti angin, sebelum kemudian terbuang …     Tiga  Dunia Yang Bara Gemari  “Sebelah sana,” Kaligra berbisik pelan. Mengangkat ujung jubahnya, ia melangkah penuh kehati-hatian dengan sebelah tangan yang masih menggenggam tangan kekasihnya. “Sebelah selatan hutan ini, ada goa yang bisa kita  jadikan tempat bersembunyi untuk sementara waktu,” lanjutnya dengan napas terhela kasar. Matahari sudah terlampau terik rupanya. “Kamu masih bisa bertahan?”Amerta mengangguk. Padahal, dirinya tak lagi sanggup untuk sekedar mengangkat ujung gaunnya yang telah menyapu tanah. Keringatnya terus mengalir deras, tak pernah mengira bahwa Asmaraloka bisa sepanas ini menyengat kulitnya.Ke mana semua udara sejuk yang biasa mengelilingi bukit hijau ini?Mengapa di saat ia membutuhkan, justru mataharilah yang memberinya sengatan terik?“Sebentar lagi,” Kaligra masih berbisik. Pedangnya terus menebas ranting-ranting yang menghalangi langkahnya menuju tempat persembunyian. “Bertahan sebentar lagi, Amerta.”Tetapi rasanya sulit. Amerta menghentikan lajunya karena sudah tak kuat. “Bisakah kita berhenti sejenak?” pintanya terengah. “Aku lebih menyukai mati ditusuk pedang oleh para peajurit daripada mati kehausan,” keluhnya sambil menyingkap tudung jubah yang membuatnya gerah. Menampilkan rambut serta wajahnya yang sedari tadi terbungkus tudung gelap. “Apa dewa matahari sedang bersekutu dengan Ayahku? Tidakkah kamu merasa sinarnya benar-benar tidak bersahabat?”Senyum Kaligra terbit segaris. Merasa lucu juga kasihan pada wanita itu. Tanpa banyak berkata, ia biarkan Amerta beristirahat. Menurunkan tas yang ia tumpuhkan pada pundak, Kaligra membuka bekal mereka yang memang telah ia persiapkan. “Menurutmu, berapa lama waktu yang dibutuhkan mereka untuk mengetahui jika kita berdua tidak ada di Asmaraloka?”“Aku tidak ingin memperkirakannya,” sahut Amerta lemas. Ia sandarkan tubuh di batang pohon besar. Kakinya berselonjor demi menghilangkan sedikit pegal. Mereka sudah berjalan sejak pagi masih ranum. Dan kini, langkah-langkah mereka sudah memasuki ujung batas wilayah Asmaraloka. “Bisakah kamu duduk saja? Aku takut kamu berlari meninggalkanku jika berdiri terus seperti itu.”Ikut membuka tudung jubah, Kaligra tertawa lagi. Rambutnya yang terikat juga sudah basah akibat keringat dan pengap. Namun, demi melakukan penyamaran saat melintasi rumah-rumah penduduk, mereka  terpaksa tetap menggunakan penutup kepala. “Gaunmu kotor.”Amerta mengikuti arah pandang laki-laki itu. Sulaman emas pada ujung gaun panjangnya telah tertutup oleh noda tanah. Membuat sutra berwarna biru itu sama sekali tak terlihat indah. “Tidak masalah. Asal aku bersamamu,” katanya sungguh-sungguh. “Lagipula, aku membawa pakaian ganti yang lebih sederhana dari gaun ini. Aku berjanji, akan benar-benar terlihat seperti rakyat biasa.”Kaligra mengulurkan tangan. Mengelus puncak kepala Amerta dengan senyum tipis di wajah. Menelusuri garis kepangan di rambut wanita itu, tangannya lalu terulur ke bawah. Ibu jarinya menyentuh pelipis Amerta, menyapu keringat yang bertitik di sana. “Maaf.”Menangkap tangan kekasihnya, kening Amerta mengerut. “Untuk apa maaf itu?”“Untuk cintaku, yang ternyata merepotkanmu.”Sebab Amerta adalah tuan putri dari kerajaan Asmaraloka. Dan Kaligra hanyalah pengawal raja yang mendapat keistimewaan bertemu dengan sang putri lebih sering dari rakyat biasa. “Aku senang direpotkan oleh cintamu,” sahut wanita cantik itu dengan binar penuh kesungguhan.  *** Bara paling suka suasana ketika waktu sudah melompati tengah malam. Aura yang berkumpul di kelab miliknya, menjadi lebih berwarna dan tentunya makin bergairah saja. Jam-jam rawan di mana akal sehat ditendang pergi agar tak mengganggu kesenangan. Ditambah guyuran alkohol di tenggorokan, tengah malam adalah waktu terbaik saat memutuskan kehilangan akal.Didukung oleh musik yang makin mengentak adrenalin, teriakan-teriakan kesenangan yang bercampur tawa kegilaan adalah hal terepik yang tak bisa disaksikan kala matahari masih sombong bertengger di puncak langit. Makanya, malam kerap lebih dicintai alih-alih dibenci.Dan inilah dunia yang Bara gemari.Penuh kebisingan dan gelap.Sesak oleh keramaian juga bau alkohol menyengat.Terlalu menyukai hitam dibanding putih, Bara mendesain ninetyfour club dengan warna yang identik dengan suram. Tetapi jangan khawatir, walau bagaimana pun ia memiliki darah Hartala yang kental. Jadi, kesenangannya akan barang-barang mewah tentu ia tuangkan untuk mempercantik bisnisnya.Lampu kristal dengan taburan berlian asli menggantung manis tepat di atas dance floor dengan ragam cahaya. Ubin gelap dengan sulur emas ia datangkan langsung dari Uni Emirat Arab. Untuk barnya sendiri, ia gunakan marmer hitam mengkilap berlapis swarovski yang menawan. Kalau dibilang, Bara memang habis-habisan mendandani bisnisnya.Dan kini, saatnya untuk bersenang-senang.Ia telah keluar dari ruangannya di lantai tiga. Menggunakan elevator khusus, ia berjoget ketika memutuskan terjun ke pusat dunianya. Langkahnya mengalun riang. Ingin membaur dan menggila, sebelum satu jam dari sekarang ia harus menyeleksi para penari baru yang siap meliuk-liukkan tubuh pada tiang-tiang dingin yang telah ia sediakan.Tampil rapi bak eksekutif muda alih-alih terlihat seperti mafia, Bara mengenakan kemeja hitam—well warna favoritenya juga favorite banyak orang. Jam tangan sewarna malam pun melingkar posesif di pergelangannya. Ia sudah siap menari, melemaskan otot-otot sendinya yang kaku karena menahan sesuatu sepanjang siang. Namun langkahnya urung melaju, saat netranya yang begitu jeli mengenali sosok yang berdiri canggung di depan bar. Seorang wanita. Dengan rambut panjang yang kusut juga sweater rajut, bukanlah kostum yang dibawa banyak orang menyambangi kelab. Apalagi selop berwarna pink, sudahlah orang gila mana yang ingin pergi tidur di sini. Sambil menghela napas kasar, ia tak jadi melaju menuju pusat kesenangan. Yakin bahwa wanita itu ke sini dengan sebuah berita, Bara tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. “Ra?” Ia sentuh pundak itu yang ternyata gemetar. Membuat keningnya segera mengerut. “Kenapa?!” ia perlu berteriak demi mengalahkan musik yang menggema.“A—abang?” wanita itu memperlihatkan wajahnya yang sembab. Sebelum kemudian menubruk tubuh Bara dan terseduh kuat-kuat. “Abang … aku … aku … huhuhu …”Kepala Bara langsung pening. Sambil menimbang-nimbang haruskah ia memberi perintah khusus untuk menghentikan musik sebentar saja dengan konsekuensi terkena makian para pelanggan? “Abang …”Baiklah, sepertinya mereka tidak bisa bicara di sini. “Tenang dulu,” Bara berbisik. Ia belai punggung wanita itu, sambil mencari anak buahnya. Ia perlu salah satu dari mereka melihatnya kembali ke ruangan. Agar tidak ada agenda mencari-cari karena penggunaan ponsel sangat tak efisien di jam rawan seperti ini.Well, maksud Bara tentunya dengan dentam musik yang makin menggila dan pertunjukkan striptease yang akan dimulai sebentar lagi.“Bang?”“Iya, kita ngobrol di ruangan Abang.”Mahira tak bisa lagi menunggu. Ia lepas pelukan posesifnya pada pria itu. Menatapnya dengan mata basah, Mahira lantas memukuli dada Bara demi melampiaskan ketakutannya. “Abang ditusuk!” jeritnya sambil terisak. “Abang ditusuk! Kita nggak lompat dari atas tebing, Bang! Kita berhasil dikepung! Dan Abang … Abang ditusuk!”Baik, kini Bara paham kenapa wanita muda ini terlihat berantakan.Ck, ternyata karena mimpi sialan! *** “Udah enakan?”Mahira mengangguk pelan. Tangannya masih menggenggam mug berisi kopi yang sudah setengah isinya berhasil ia teguk. Perlahan-lahan, ia mulai berhasil memanggil seluruh ketenangannya. Walau masih dengan bibir bawah tergigit, diam-diam ia coba enyahkan semua potongan mengerikan itu dari kepala.“Udah bisa kasih cerita lengkap ke Abang?”Kini, ia menggeleng. Terlampau mengerikan rasanya. Hingga lidahnya menolak bagiannya untuk berkisah. “Emang Abang nggak mimpi?”“Kan Abang belum tidur,” sahut Bara santai. Terkekeh lepas kala mendengar Mahira mendengkus padanya. “Nggak sopan,” ia cubit pipi lembut itu dengan pelan. Sebelum kemudian membelainya menggunakan ibu jari. “Jangan kayak gini lagi, ya? Bahaya kalau kamu nyetir dengan keadaan kacau.”“Abang nggak bisa dihubungi,” protes Mahira mencoba membela diri. “Andai Abang angkat telepon aku, nggak mungkin aku nekat sampai di sini.”Bara hanya bergumam. Jemarinya begitu terampil menyelipkan surai-surai hitam Mahira ke balik telinga. Menyisir rambut yang kusut dengan ruas jari, Bara lantas membingkai wajah sembab milik wanita itu dengan sisipan senyum tulus di wajahnya. “Pipi kamu dingin,” bisiknya menatap. “Hidung kamu merah. Mata kamu sembab,” lanjutnya menuturkan. Mereka telah berada di ruangan Bara, jadi bebas bagi keduanya untuk bercerita sekaligus berinteraksi tanpa takut ada yang memergoki. “Kali ini, potongan adegannya lebih mengerikan dari posisi kita di tepi jurang?”Meletakkan mugnya ke atas meja, Mahira mengangguk. Ia majukan tubuh dan kembali memilih pelukan Bara sebagai pelipur gundahnya. “Dadaku masih sakit karena mimpi itu, Bang,” ia pejamkan mata demi mendengarkan detak jantung Bara di bawah telinga. “Aku nggak pengin tahu akhir kisah Amerta sama Kaligra lagi. Aku nggak mau tahu, Bang,” suaranya kembali bergetar menahan tangis. “Aku nggak peduli mereka siapa. Aku juga nggak mau penasaran kenapa mereka mirip sama kita.”Bara merengkuh tubuh wanita itu sambil menarik napas panjang. Ia bawa tubuh mereka pada sandaran sofa di belakang. Tak tahu harus menanggapinya bagaimana, Bara hanya mampu terdiam. Menenangkan Mahira dengan elusannya di punggung wanita itu. Bukan hanya kebetulan mereka memimpikan hal yang sama. Namun kedua tokoh utama dalam mimpi mereka pun berwajah sama dengan milik mereka. Bahkan namanya pun serupa juga. Mahira Amerta, tampak tak memiliki perbedaan sama sekali dengan sosok tuan putri dari kerajaan Asmaraloka. Putri anggun bernama Amerta itu hendak dinikahkan dengan anak seorang bangsawan. Bahkan pertunangan sang putri sudah digelar. Ksatria Naruna adalah jodoh yang dipersiapkan raja. Namun siapa sangka, putri Amerta justru jatuh cinta pada pengawal raja yang paling setia.Dan Barata Kaligra Akram, merupakan sosok serupa dengan pengawal kerajaan itu. Bernama Kaligra dengan postur yang sangat menggambarkan sang ahli dalam mengayunkan pedang. Sayang saja, kisah di antara putri dan rakyat biasa tidak direstui raja.“Kamu pernah berpikir mereka siapa sebenarnya? Atau kenapa mimpi itu datang ke kita?”“Aku nggak tahu, Bang. Dan nggak mau tahu.”Tertawa geli, Bara mengecup puncak kepala Mahira dengan sayang. Sentuhan-sentuhan kecil yang kerap membuat hatinya menghangat. “Ayo aku antar pulang.”Namun pintu Bara diketuk dua kali. Tanpa melepaskan dekapannya pada Mahira, Bara menyuruh siapapun yang berada di balik sana untuk masuk.“Bos, kandidat penari-penarinya sudah siap!” lapor Tomi, salah seorang anak buahnya. Bara mengangguk mengerti. “Lima menit lagi, suruh mereka masuk.”Setelah Tomi pergi, Mahira bangkit dari atas dada Bara yang nyaman. “Penari apa, Bang?”“Striptease,” Bara menjawab singkat. “Penari-penari yang lama udah bikin pelanggan bosan. Mereka minta yang baru. Yang lebih muda kalau bisa.”Mahira merasa tak suka. Tetapi ia diam saja. Lagipula, Bara tak menyuruhnya pergi. Itu artinya, dia boleh di sini dan melihat-lihat. “Abang yang seleksi langsung?” anggukan kepala Bara membuat Mahira kian meremas tangannya kuat. “Mereka bakal nari di depan Abang?”“Iyalah. Kan Abang yang nilai.”“Abang bakal lihat mereka telanjang?”“Nggak telanjanglah. Paling pakai bikini, atau bra gitu.”Seenteng itulah Bara memberi gambaran. Sambil menarik kursi agar berada tepat di tengah ruang, ia sama sekali tak menyadari bahwa raut wajah Mahira telah berubah. Tak lagi berekspresi ketakutan. Ia justru tersenyum masam.“Kalau kostumnya cuma bikini atau bra, berarti aku boleh ikut daftar ‘kan, Bang?” Mahira berjalan mendekati laki-laki itu dengan tangan yang telah berhasil menyingkirkan sweater rajutnya. “Aku peserta pertama, ya, Bang?”Bara berdecak. Matanya terus memaku pergerakkan Mahira yang kini tengah sibuk membuka kancing-kancing piyamanya. Bangkit dari kursi, Bara berjalan ke arah meja kerjanya. Meraih ponsel, ia perlu menghubungi Tomi untuk memberi instruksi lagi. “Tom, minta Radit atau Fandy yang seleksi deh.”“Lho, kok gitu, Bang?”Mata Bara berkilat segera begitu piyama abu-abu tersebut telah menghantam lantai. Napasnya mulai menderu, saat menunggu celana panjang yang mungkin saja juga akan terempas dari tubuh semampai di hadapannya itu.“Bang? Gimana nih?”Ah, ia masih tersambung dengan Tomi ternyata. “Ada satu kandidat eksklusif yang perlu gue nilai perseorangan, Tom. Gue harus lihat skill sama performanya dulu. Minimal satu jam gue baru selesai. Tapi kalau oke, gue bisa tahan sampai pagi.”Dan setelah mengatakan itu, Bara melempar ponselnya ke atas meja. “Show time,” katanya menantang.    Empat Awal ketidaksetiaan (1)  “Gimana? Udah ada petunjuk?”Bara duduk di sebelah Mahira yang sudah terlebih dahulu berada di perpustaan kota tempat yang memang mereka sepakati tuk bertemu.“Nama negrinya Asmaraloka ‘kan, Bang?”Bara hanya menanggapinya dengan angguk kepala. Menerima buku yang disodorkan wanita itu, keningnya mulai berkerut saat membaca satu paragrap yang tak dapat ia mengerti dengan mudah. “Maksudnya apa?”Ngomong-ngomong, ini adalah pertemuan ketiga mereka setelah dari kafe tempo hari. Dengan intensitas berkirim pesan yang cukup sering demi membahas mimpi-mimpi yang mereka alami. Keduanya lantas sepakat untuk mencari tahu. Atau paling tidak titik terang mengapa mereka berdua mendapatkan mimpi yang serupa.“Dunia yang penuh dengan cinta,” jelas Mahira tidak yakin. “Dunia asmara, intinya tempat yang tepat untuk para pecinta hadir di sana.” ketika melihat Bara mengernyit mendengar penuturannya, Mahira hanya tertawa kecil. “Dari yang bisa aku asumsikan sedikit, mungkin aja jiwa kita terjebak dalam dunia baru ini, Bang,” ia melingkari kata Asmaraloka yang berada dalam sebuah buku dengan tutup pena. “Atau, Abang pernah denger tentang dunia parallel?”Tak yakin pernah mendengar, Bara memutuskan menggeleng. “Nggak ngerti gue.”“Ada beberapa teori yang mengemukakan, kalau sebenarnya dunia parallel itu ada, Bang,” Mahira menyodorkan buku yang telah ia baca kemarin kehadapan laki-laki itu. “Dan bisa aja, dalam dunia parallel itu, kita berdua juga ada di sana. Menjalani kehidupan yang berbeda sama kehidupan yang kita jalani di sini. Mereka bisa aja memang kita yang berasal dari dimensi berbeda.”“Gue makin nggak ngerti,” Bara bergidik memikirkan teori-teori yang menurutnya tak masuk akal itu. “Ini kita nggak lagi syuting film ‘kan?”Menatap Bara lekat, Mahira tak dapat menutupi pendar matanya yang berubah geli. “Atau Abang lebih percaya kalau kita bisa aja reinkarnasi dari mereka? Amerta dan juga Kaligra, bisa jadi adalah kita  di masa lalu.”“Sumpah, kalau gue bilang lo nggak masuk akal, lo marah nggak sih?”Mahira tahu, jadi ia hanya menanggapi dengan tawa kecil yang membuat sudut-sudut bibirnya berkedut lucu. Ia tarik ikatan rambutnya yang mulai longgar, lalu mengikatnya ulang. “Mimpi kita memang nggak masuk akal, Bang,” suaranya masih renyah dan ramah. Sebuah kegiatan kecil dari Mahira yang anehnya berdampak besar bagi kesehatan jantung Bara. Ia sampai harus memalingkan wajah agar tak tersesat pada pesona yang tampak familiar di mata, serta hatinya. Padahal, jelas-jelas mereka baru beberapa kali saja bertemu.Apalagi senyum itu, Bara terus memaki di dalam hatinya. “Intinya, lo belum tahu pasti kenapa kita bisa mimpiin hal yang sama?”di tengah-tengah usahanya agar tak jatuh pada pesona dari kekasih adiknya, Bara masih berusaha menimpali. “Sebenernya kita kenapa sih?”“Aku nggak tahu, Bang,” Mahira mendesah. Diliriknya jam di tangan yang mengindikasikan mereka harus segera keluar dari sini karena sebentar lagi perpustakaan akan tutup. “Ada beberapa teori, tapi itu nggak banyak.”“Lo mau langsung balik?” melihat Mahira yang mulai membereskan buku-buku di atas meja, kening Bara mengkerut. “Lo bawa mobil atau dijemput Rajata?”“Aku nggak bawa mobil. Dan nggak minta jemput Bang Raja. Nanti pesen taksi aja, Bang.”“Bareng gue aja, sekalian kita bahas teori-teori nggak masuk akal itu sama-sama.”Sekali lagi, mereka pun menghabiskan waktu bersama. Tidak segera pulang ke rumah, malah duduk kembali saling berhadapan. Mungkin, membahas mimpi-mimpi hanyalah sebuah dalih. Sebab kini, yang terjadi adalah masing-masing dari mereka sedang sibuk menentramkan hati. *** Sebenarnya, Bara tidak pernah paham bagaimana konsep keluarga dalam benak kakeknya. Namun yang ia tahu, kedua orangtuanya selalu berlaku baik pada mereka tanpa membeda-bedakan. Yang benar tidak terang-terangan dibela agar tak besar kepala. Sementara yang bersalah, tidak juga segera dihujat supaya makin tersesat. Semua dilakukan orangtua dengan pendekatan-pendekatan yang pada akhirnya membuat mereka menyadari kesalahan.Tetapi sepertinya, konsep seperti itu tidak digunakan oleh sang kakek. Kakeknya, jelas membeda-bedakan anak-anaknya. Dan sialnya, masih Bara dan keluarganya yang mendapat diskriminasi tersebut. Bayangkan saja, mereka sudah berada di hotel tempat dilangsungkannya acara ulangtahun dari orang nomor satu di Hartala Group itu. Namun, mereka tidak diperkenankan masuk.Alasannya tidak jelas. Tetapi Bara tahu, ini adalah gara-gara bisnisnya. Sejak dulu, memang kakeknya tidak pernah menerima usaha yang ia boyong ke sini. Dan yang paling Bara sesalkan, kenapa kakeknya juga harus menghukum kedua orangtuanya? Tak tahukah si tua itu jika papa dan mamanya teramat berseri-seri tadi?Ck, Hartala sialan! Maki Bara meradang.Ia bisa saja mengamuk, namun kedua orangtuanya yang paling berharga itu mengatakan tidak apa-apa. Mereka bisa pulang. Walau papanya terus menyisipkan senyum menenangkan, Bara tahu hati pria setengah baya itu muram.Sementara keluarganya kembali ke rumah, Bara mengendarai mobil menuju kelab malamnya. Mungkin, ia perlu mabuk sekarang. Agar saat membakar gedung 30 lantai milik kakeknya, ia bisa beralasan hilang akal. Berengsek! Kelakukan kakeknya benar-benar membuatnya marah.Baiklah, ia butuh minuman yang paling keras sekarang!Setelah meneguk tiga sloki minuman yang ia minta pada bartendernya, Bara merasa kepanasan. Ia membuka dua kancing kemejanya, menatap sadis dance floor yang penuh dengan manusia-manusia. Sambil tersenyum sinis, Bara pun melangkah ke arah sana. Ia mungkin sudah mulai mabuk, namun matanya yang jeli dapat mengenali setan-setan jahanam yang sengaja menggoda wanita yang jelas-jelas tak ingin disentuh oleh para pria-pria hidung belang itu. Pria-pria bangsat yang membuat reputasi pria secara global terkenal dengan kebrengsekannya. Ck, padahal otak-otak udang itulah yang membuat huru-hura.“Lepasin, Nyet!” maki Bara sambil mencengkram sebuah tangan seorang pria yang berniat melecehkan wanita yang terang-terangan sudah terlihat ketakutan. “Jangan bikin gaduh di tempat gue!” Bara terus mengatakannya dengan nada kasar. “Minggat lo!”“Berengsek! Nyari gara-gara lo sama gue?!” rupanya pria kurang ajar tadi pun tak gentar. Setelah tangannya diempas kuat, ia pun segera meraih harga dirinya kembali. Meraup kerah kemeja milik sang lawan, pria itu melotot dengan wajah garang. “Lo mau nyari mati?!”Bara berdecak, seringainya terbit licik. Sambil memberi kode pada bodyguard yang tadi melihatnya masuk ke tengah-tengah dance floor, isyarat yang diberikan Bara pada dua orang penjaga itu pun segera dimengerti. Dan akhirnya seperti yang diharapkan, bodyguard Bara segera mengamankan calon perusuh tadi. “Bang?”“Lo nggak apa-apa?”Mahira menggeleng, walau raut wajahnya masih menyiratkan ketakutan.Well, benar. Mahira benar-benar ada di sini. Dan itulah yang membuat Bara repot-repot seperti ini. Ia menangkap siluet wanita itu saat baru saja memasuki tempat usahanya ini. Terus memakunya, bahkan saat dirinya sibuk memaki sang kakek sambil minum sedari tadi. Lalu, ketika menyadari Mahira memberi gesture tak nyaman sewaktu ditarik teman-teman wanita tersebut ke lantai dansa. Titik itulah yang kemudian membuat Bara tak bisa memalingkan wajahnya barang sedetik pun.Seolah, ada magnet yang begitu kuat di antara mereka. Hingga Bara terus menerus menjadikan wanita itu fokus utama.“Ngapain ke sini?” mereka telah menepi. Bara meneliti penampilan wanita itu dari atas ke bawah, lalu menyesalinya. “Lo nggak apa-apa?”Mahira menggeleng, lalu menarik napas dengan lega. “Tadi aku takut. Tapi ketemu Abang gini, aku ngerasa baik-baik aja.”Bara tak tahu kenapa perasaannya tiba-tiba berdebar begini. Mencoba terus menatap mata Mahira di tengah penerangan yang membuatnya sakit kepala, Bara justru merasakan detak di dadanya tertimbun menyakitkan. “Temenku ulangtahun, Bang. Ngerayain di sini. Perjanjiannya, nggak sampai joget-joget. Eh, malah mereka nari-narik aku.”Menghela, Bara mencoba mengedarkan pandangannya ke mana saja asal tidak pada wanita itu. Dengan drees tanpa lengan dan hanya sepanjang lututnya, Bara benar-benar menyesal telah memandang bahu putih Mahira lama-lama. “Pulang aja kalau nggak nyaman. Tapi gue nggak bisa nganter, udah minum tadi.”“Nggak apa-apa, Bang. Aku pulang sama temenku aja. Aku coba cari temen-temenku dulu.”Wanita itu baru saja meninggalkannya beberapa langkah, namun lengan Bara berhasil mencekalnya. “Bahaya,” Bara mengatakan dengan sorot yang tak terbaca. Sementara itu, rahangnya mengeras kaku. Alkohol sialan adalah pemicu, dan betapa jahanamnya sekarang otak Bara bekerja. “Acara puncak sebentar lagi di mulai. Mereka pasti lagi desak-desakan.”“Acara puncak? Apa, Bang?”Bara tak perlu menjelaskannya, karena selang beberapa detik setelahnya para penari yang ditunggu-tunggu telah muncul dengan liukan masing-masing yang mengundang gairah. “Ayo, gue pesenin taksi,” ia menarik Mahira bersamanya. Namun, karena desak-desakan pengunjung mulai tak terkendali, beberapa kali mereka terdorong. Hingga kemudian terperangkap di dekat panggung paling ujung tempat para striptease mulai menunjukkan kebolehan aksi.“Bang?” Mahira hanya bergumam. Tubuh mereka bersentuhan. Bara tengah mencoba melindunginya, sementara Mahira pun berpegangan pada ujung kemeja laki-laki itu.Bara mengumpat dalam hati. Posisi saling berpeluk seperti itu benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Bukan apa-apa, aroma tubuh Mahira merasuk tepat ke indera penciumannya. Tubuh mereka saling menempel, membuat Bara memejamkan mata karena imajinasi sialan mulai terbentuk di kepala.“Uhm, Bang?”“Please, Mahira. Lo bisa diem sebentar?” gumam Bara berusaha menetralkan diri. Dan setelah dirasa tenang, ia pun membuka kelopaknya. Kemudian makin menyesal, ketika kelereng cantik sewarna kayu cendana menyandra irisnya yang pekat dengan begitu menggoda. “Oh, shit!”“Abang kenapa?”Tak bisa berpura-pura lagi, Bara meraih satu tangan Mahira dan meletakkannya tepat di atas dada. “Lo bisa ngerasain ‘kan?” kening wanita itu berkerut. Namun Bara mengabaikannya. “Jantung gue hampir meledak tiap kali ketemu sama lo. Dan sekarang, nggak cuma jantung gue. Tapi kepala gue juga. Dan lo mau tahu kenapa?”Mahira tak bisa menjawab apa pun. Ia teramat terkejut dengan detak jantung yang menggila di bawah telapak tangannya.“Karena lo, Ra. Karena lo nggak cuma ada di dalam mimpi gue aja sekarang. Tapi ditiap-tiap detik saat gue sadar. Hanya ada elo yang menguasai pikiran gue. Gue nggak normalkan?”“Kalau aku bilang aku ngerasain hal yang sama, apa itu artinya aku juga nggak normal, Bang?”“Hah?”Memberanikan diri membawa satu tangannya agar bertengger di bahu Bara, sementara sebelah tangannya yang lain tetap menempel di dada laki-laki itu, Mahira menekankan kedua telapak tangannya pada tubuh Bara. “Aku juga nggak normal, Bang. Karena di saat aku nggak tidur pun, cuma ada Abang yang di hati dan pikiranku. Jangan salahkan detak jantung Abang. Karena detak jantungku pun selalu nggak terkendali tiap berada di dekat Abang.”Di tengah bisingnya musik dan riuhnya pengunjung yang saling berteriak. Bara dan Mahira justru tersesat pada dunianya sendiri. Seakan gerbang Asmaraloka telah terbuka untuk raga mereka. Keduanya membiarkan benang merah mengikat erat. Memberikan simpul mati, agar apa pun perasaan yang tengah mereka talu di dada, tak akan ke mana-mana.Kali ini, tak hanya Amerta dan Kaligra saja yang sepertinya terperosok pada romansa. Karena Bara dan Mahira telah mencetuskan hal yang serupa. Dan kini, segalanya pasti akan berbeda.Karena sekali lagi, Mahira adalah kekasih adiknya.Oh Tuhan, bolehkah malam ini Bara banyak memaki?Shit!!Sebab setelahnya, hasrat untuk memiliki makin tak terkendali. Apalagi, ketika ia berhasil menunrunkan wajah. Meraup bibir Mahira untuk dikulum dan dimanja. Berbagi napas juga benang saliva, mereka mulai egois dengan mencoba menyelami rasa di masing-masing jiwa.Ah ….   Lima Awal Ketidaksetiaan (2)  Sekam itu telah tertelan api, mengakibatkannya terbakar oleh jilatan panas yang menyala-nyala merah. Tak dapat dihentikan, segalanya akan menjadi abu dalam hitungan waktu. Tetapi masalahnya, tak ada yang benar-benar ingin dipadamkan. Mereka justru kian terbakar dengan didihan gairah yang menyusup di antara aliran darah.Awalnya, saling menjerat lewat sentuhan awam yang malu-malu. Mengantarkan pekat kelam atas sebuah gairah asing yang bertamu dan mendobrak pintu. Sebelum kemudian kian melumat, lewat rintik rindu yang entah sejak kapan menempel di kalbu. Yang jelas, Bara telah membawa Mahira menjauhi pusat kebisingin. Menuntun wanita itu menuju ruangannya yang senyap. Mereka terus membakar semangat lewat cumbu yang diam-diam merindu. Tak lagi malu-malu, seolah ritme yang berlomba di dada telah membuat mereka terbiasa melakukannya setelah sekian lama.“Bang?” Mahira mengerang pelan ketika tubuhnya terdorong ke dinding. Ciuman yang sedari berada di lift tadi bersarang di bibirnya, kini telah berlabuh pada leher saat sebuah pintu menelan tubuh mereka di dalam. Membuatnya mendesah tak keruan. “Eung,” ia gigit bibir agar suaranya tak keluar. “Jangan ditahan, Ra,” dengkus Bara sambil menyembunyikan wajah di ceruk leher wanita itu. “Ruanganku aman,” ia berhasil membawa Mahira ke ruangannya dengan pakaian utuh. Niat menelanjangi tak ia realisasikan demi menghormati Mahira. “Kamu bisa berhenti sekarang, Ra.”Namun Bara bersumpah tak ingin menyudahi. Kalau boleh bertingkah, ia menginginkan lebih dari ini. “Aku ...,” Mahira kembali dibuat tak berdaya kala sapuan lidah Bara menyentuh belakang telinga. Membuatnya resmi merasakan gemetar tak tertahan saat adrenalin dalam darah terpompa kuat. Alih-alih menjauh, ia justru merangkul leher Bara. Menekan laki-laki itu agar memberinya lebih dari sekadar jilatan menggoda. Astaga, Mahira pasti sudah gila.Tetapi ia tetap tak ingin menjauh. Ia justru memberi akses lebih dengan memiringkan kepala. Membiarkan lehernya kian terekspose, ia mempersilakan Bara berbuat apa pun di sana. Mulanya, kecupan seringan bulu angsa. Lalu memberat seiring napas mereka yang kian menggebu. Mengembuskan tak hanya hawa panas yang membuat cemas, Bara berhasil melayangkan setitik akal sehat yang tadi masih dipegang teguh oleh Mahira. Merayunya, sebelum kemudian mereka kembali menyatukan bibir lewat gerak yang makin tergesa.“Mahira,” Bara berbisik disela ciuman agresifnya. Tanpa melepas lumatan, ia ajak wanita itu melintasi ruang kerjanya. Menuju pintu rahasia dibalik dinding dingin, Bara menjatuhkan wanita itu pada sebuah ranjang berukuran sedang, yang memang ia tempatkan agar saat lelah mengancam ia dapat beristirahat di sini dengan tenang.“Bang,” Mahira mencicit pelan ketika sadar ia telah terbaring pada ranjang. Matanya memejam, kala pria itu justru menindihnya tanpa bertanya. Berada di antara sela pahanya, Mahira tidak tahu harus berbuat apa ketika tubuhnya kian bergetar. Rasa baru yang melanda, benar-benar membuatnya mabuk kepayang. Walau ada secerca takut yang mengiringi aktivitas mereka. “Euhm,” ia mengerang tertahan.“Keluarin, Ra.”Bisik yang diberikan Bara nyatanya berhasil merayu Mahira tuk benar-benar mengerang keras-keras. Apalagi ketika jemari pria itu menyingkap gaun malam yang ia kenakan. Menyentuh pahanya penuh kelembutan, sebelum kemudian makin mengeliminasi jarak. Mendesak tubuh Mahira, lalu mencumbu dengan tak sabaran.Selanjutnya, hanya jemari dan desah mereka yang memainkan peran. Saling melucuti pakaian, hingga tak lagi ada halangan.Bara tahu ini salah.Ia paham betul, bahwa apa yang ia lakukan akan memicu pertengkaran. Namun anehnya, hatinya bersikeras melanjutkan. “Bang?”Ia mengeratkan rahang saat cengkraman di lengannya terasa mengetat. “Nggak apa-apa ‘kan?” ia akan gila bila harus berhenti. Tetapi untuk melanjutkan pun, ia yakin neraka sudah siap menyambut kedatangannya saat mati. “Astaga,” ia tahan gejolak hasrat yang menari-nari. Pandangannya sayu, seolah merayu. Dengan hati-hati, ia belai kulit lembut dengan sentuhan ujung jemari.“Uhm …”Ringisan tersebut tercipta kala Bara memutuskan terus memacu. Ia bimbing tangan yang mencengkram lengan untuk berpegangan pada pinggang. Sementara ia menurunkan tubuh, kesepuluh jemarinya merangkum wajah merona wanita di bawah tubuhnya. Ia sisipkan senyum kecil, sebelum melumat bibir merah tersebut lamat-lamat.Amukkan gairah segera memintanya berlomba dengan peluh. Namun Bara tak menuruti. Ia ingin membingkai momen ini di memori. Walau hanya sekali, ia harap terpatri mati. Makanya, Bara menahan diri dengan memberikan sentuhan yang akan selalu dikenang. Memperlakukan dengan hati-hati, Bara tak ingin wanita berharga ini lecet atau tergores karena tindakannya.Karena jauh di lubuk hatinya, ia percaya bahwa jelita yang tengah terengah akibat ciuman mereka adalah permata yang ia inginkan untuk menaiki tahta di dalam istananya.“Abang …!” jerit kecil meluncur tanpa mampu dicegah.Lagi-lagi Bara memakukan netranya hanya pada cakrawala bening milik sang jelita terindah. Sambil sesekali ia naikan tempo, ia nikmati penyatuan yang terjalin di antara mereka. “Sakit?” tanyanya khawatir.Wanita itu menggeleng, ia ingin mengatakan sesuatu namun lenguh yang mengambil alih tubuh. Tangannya yang berada di pinggang laki-laki itu meremas tanpa sadar. Sementara kakinya pelan-pelan kian terbuka lebar. Ia gigit bibir ketika gelombang asing mencoba menerjang. Tak tahu harus berbuat apa, ia terengah-engah kala gerak dari tubuh yang menjulang di atasnya makin tak terkendali. “Bang?” cicitnya meraih satu tangan lelaki itu. Mencengkramnya kuat, sementara ia sibuk mendesah. “Ah.”Senyum Bara hadir kembali di tengah perhatiannya yang berpusat pada tubuh mereka yang saling bertaut. Ia sapa bagian paling menjulang pada tubuh wanita di bawahnya dengan senang. Sesekali, ia meremasnya kencang setelah puas memilin dengan gemas. Membuat cicit syahdu yang hanya dirinya yang boleh tahu. Ia serakah.Bara tahu. Sebagaimana wanita itu memberinya kehormatan sebagai pria. Ia pun ingin memberi pujian yang serupa. Jadi, ia tundukkan kepala. Mengecup bukit indah yang berpeluh karenanya. Mengagumi bagaimana Tuhan mencipta manusia serupawan wanita yang terengah karena dirinya juga. Mengecupi inci per inci, sebelum melumat dalam.Astaga, Bara benar-benar gila.“Ah, Bang!” Jerit wanita itu kembali melagu kala Bara memasukkan ujung payudaranya ke dalam mulut. Membelainya dengan kekuatan lidah, wanita mana yang tak terengah kala kehangatan nyaris menyandra tiap pori-pori tubuhnya.“Please, Bang.”Bara kian gencar membuat gerakkan. Tak hanya dipusat senggama, kuluman pada putting berpayudara indah itu pun semakin cepat ia cecap. Menyusu selayaknya bayi, ia tak puas bila hanya sekali. Makanya, ia pun mengulangnya. Lagi, lagi, dan lagi.Hingga ketika gelombang itu menerjang brutal, mereka bersama-sama menenggelamkan diri dalam dosa pengkhianatan. Karena tak lama berselang, ponsel si wanita menjeritkan panggilan. Belum turun mereka dari nirwana dosa, keduanya saling memeluk. Menyamakan erangan napas. Meraup sebanyak-banyaknya udara, sebelum kembali bercumbu mesra.Ketika bibir bertemu bibir, lalu lidah membelit desir, keduanya lagi-lagi terganggu pada raungan yang berasal dari ponsel pintar milik si wanita. “Siapa?” tanya Bara serak. Ia simpan wajahnya di antara ceruk leher yang menggoda. “Berisik,” gumamnya tanpa menjeda kecupan di sepanjang bahu wanita itu yang terbuka. Membuat tanda, lalu mengembuskan hawa gairah. “Nggak diangkat?”“Bang Raja. Nggak mungkin aku angkat ‘kan, Bang?”Dan seketika saja, punggung Bara yang telanjang menegang.Kesadaran menyentaknya begitu saja.Walau rasa bersalahnya kian bertambah, ia tak rela melepaskan tubuh dalam pelukannya. “Ritme jantung kita sama. Kamu ngerasa nggak?”Wanita itu meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Terdiam sesaat, sebelum kemudian mengangkat sebelah tangan. Ia belai pipi lelaki itu dengan kelembutan penuh kasih sayang. Lalu sebelah tangannya yang lain mencari dada lelaki tersebut, menumpuhkan telapak tangannya di sana untuk merasakan detak di dada. Diam-diam ia mengangguk. Senyumnya merekah. Dan yang ia lakukan adalah memberi kecupan. “Sama,” bisiknya mengakui.Sekali lagi, Bara melumat bibir merah milik kekasih adiknya. Sekali lagi.Ah, tidak.Untuk yang kesekian kali. Ja, maafin gue.Permohonan maaf yang dilontarkan Bara dalam hati, segera mendapat jawaban. Sebab, tak berselang lama, malah ponselnya yang menjerit-jerit.Bara akhirnya memisahkan tubuh dari Mahira dengan hati yang berat. Memberi wanita itu sebuah kecupan, lantas setelahnya ia turun dari ranjang. Mencari di mana celana panjangnya berada. Kemudian meraih ponsel. Selama sesaat, Bara terpaku. Netranya membaca nama yang tertera di layar pipih itu dengan saksama.“Kenapa, Bang?”Menoleh ke arah Mahira, Bara memperlihatkan layar ponselnya. “Kita nggak langsung ketahuan ‘kan?” tanyanya gamang. *** Pengkhianatan itu telah dimulai.Lewat sandiwara di wajah, serta tutur kata yang penuh dusta. Ada satu pihak di antara mereka bertiga yang tak tahu apa-apa.Bara memanggil sosok itu sebagai adik kesayangannya. Sementara Mahira menyebutnya sebagai kekasih yang ia punya.Namun keduanya telah melakukan ketidakjujuran di belakang Rajata. Sebuah pengkhianatan yang mereka tutupi lewat senyum dan saling menghindari tatapan mata. Kenangan mengenai tubuh yang berpeluh beberapa saat lalu, tentu saja akan terekam abadi. Tetapi keduanya sepakat untuk menjadikan hal tersebut bagian dari rahasia yang harus ditutupi.“Makasih ya, Mas gue yang paling baik. Lo udah repot-repot turun dari sarang lo demi nyariin cewek gue,” Rajata tersenyum tengil. Kemudian dengan luwes, ia rangkul bahu Mahira. Menaik turunkan alisnya, ia sungguh bangga telah memiliki kekasih sekarang ini. “Oke deh, kita langsung balik?”Tersenyum kikuk, Mahira mengangguk. Kepalanya masih merunduk. Seakan bila ia mengangkatnya, dosa yang baru saja ia cipta akan terpampang di depan mata. Jadi, alasan Raja menghubungi mereka beberapa saat lalu adalah dikarenakan teman-teman Mahira menghubungi Raja. Kemudian mengatakan bahwa Mahira menghilang tiba-tiba. Raja yang tahu bahwa Mahira dan teman-temannya berkumpul di kelab malam milik kakaknya, tentu saja segera menghubungi sang kakak.Meminta bantuan, agar kakaknya dapat membantunya mencari Mahira yang tiba-tiba saja menghilang.Raja hanya tak tahu, kekasihnya itu bukannya menghilang. Melainkan tengah berada dalam dekap kakaknya yang paling ia sayang.“Dan buat lo Mas gue, selamat kerja! Cari duit yang banyak, Mas! Terus lo beli deh sahamnya Opa!” ujar Rajata menggebu. “Sekalian gedung kantornya Opa, Mas!” keinginan mereka sejak dulu memang mengalahkan bisnis kakeknya.Bara hanya menanggapinya dengan tawa. Setelah pura-pura membawa Mahira ke parkiran, tempat di mana Rajata menunggu mereka. Bara tak mampu lagi menyembunyikan rasa bersalahnya pada sang adik. “Oke, hati-hati kalian,” ia ucap sekenanya saja.Padahal, ia terbiasa mencela adiknya. Menggoda Rajata habis-habisan adalah bagian dari kegemarannya. Apalagi dengan fakta baru yang tersaji, sang adik sampai harus repot-repot menjemput pacarnya. Rajata yang ia kenal tak pernah mau melakukan pekerjaan yang menurutnya membuat lelah.“Gue pulang, Mas!” pamit Rajata sambil melambaikan tangan. Bara hanya terdiam. Menunggu sampai mobil adiknya tak lagi tampak di mata, barulah ia bergerak dari sana. Ia mengusap wajah dengan lelah. Rambutnya yang masih terasa basah, ia sugar sambil menghela napas sepanjang yang ia bisa.Malam ini, Bara resmi menjadi bajingan tanpa hati.Malam ini, ia tiduri kekasih adiknya sendiri.Dan mulai malam ini, Bara yakin semesta bersiap menabung tiap dosa yang telah ia cipta. Sebelum nanti membukanya di depan khalayak. Lagi-lagi, ia resmi menjadi si pembuat onar yang akan selalu dikenang.“Berengsek!” makinya memilih menepi.Tak lagi peduli dengan kelab malamnya, Bara memilih menuju mobilnya sendiri.  Ia akan berkendara ke mana saja.Ia harus menenangkan debar jantungnya yang masih menggila.Sebab ada satu selongsong kosong dalam jiwa, yang menginginkan Mahira tetap bersamanya.Astaga, Bara akan gila.        Enam Perasaan Tak Tenang   “Gue kayaknya mau jadi pewaris firma arsiteknya Papa aja deh.”Bara langsung merotasikan bola mata mendengar ucapan adiknya. Menggigit apel, ia celupkan kaki pada tepi kolam renang. Menikmati waktu sore untuk bersantai. Kalau dipikir-pikir, bila sedang bergabung dengan Rajata begini, mereka bak duo pengangguran. Pasalnya, hanya mereka yang berada di rumah bersama para asisten rumah tangga. Papa mereka jelas masih berada di kantor. Sementara sang mama, kalau tidak arisan bersama ibu-ibu yang lain, pasti sedang di rumah kakak pertamanya untuk bermain dengan Nadi. “Gue mau ngebawa firmanya Papa sampai go international. Mana tahu Paris Hilton mau bikin rumah anjing lagi. Atau Stormi minta bikin rumah-rumahan baru sama enyak babenya. Bisalah gue lobi-lobi tuh nanti.”Membiarkan adiknya berkhayal adalah pilihan paling tepat daripada mendebatnya hingga mereka berakhir ribut. Biasanya sih, Bara paling senang bila disuruh merusuh. Namun detik ini, maaf-maaf saja, ia sedang ingin suasana yang sepi. “Eh, Mas, Donal Bebek tuh beneran melihara bebek nggak sih?”Sudah.Sudah cukup kesabarannya mendengar omong kosong yang makin melantur ini.Melempar apelnya yang masih tergigit setengah, Bara melotot memandang adiknya itu. “Bodoh amat, Ja! Bodoh amat!” serunya kesal. Karena dibiar-biarkan kok khayalan sang adik makin menjadi-jadi saja. “Berenang lu sono!” ia bangkit dari tepi kolam. “Nyelem lo, Ja! Ademin tuh otak lo yang parah!” sunggutnya sambil menendang kaki Rajata.“Apa sih nendang-nendang? Awas aja kalau sampai ada yang biru-biru di badan gue. Gue minta visum ke dokter,” ancam Rajata sambil meneliti kakinya.Bara tak peduli. Ia beralih duduk di atas bean bag. Kakinya sengaja terjulur untuk menggoda sang adik. Menoel-noel bahu Raja, hingga kepalanya juga. Sebagai anak paling kecil, Rajata selalu menjadi objek langganan untuk diisengi. “Lagian gaya lo mau ngewarisin firma arsiteknya papa. Kayak ngerti aja lo.”“Ya, kan, gue cuma jadi tim legalnya aja, Mas. Gue bagian tanda tangan gitu. Masalah keberlangsungan firma, kita bisa cari tenaga professional.” “Halah, lo mau ngedepak lakinya mantan pujaan lo itu ‘kan?” Rajata tiba-tiba mendengkus tak suka. Wajahnya yang tadi terlihat tengil langsung saja sewot. “Si doi kan udah durhaka sama Papa. Udah ngediriin firma sendiri dia. Heran gue, kenapa coba Papa masih aja demen telepon-teleponan sama dia,” gerutu Rajata jengkel. “Kalau gue jadi Papa, gue musuhinlah dia. Enak aja, ngebawa klien-klien papa ke firmanya dia.”Jadi di masa lalu, Rajata pernah terlibat perasaan pada istri orang. Ceritanya cukup rumit dan panjang. Namun kebetulan lainnya, suami dari wanita yang disukai Rajata setengah mati itu bekerja sebagai arsitek di firma milik orangtuanya.Well, masa ketika ia masih berseragam putih abu-abu. Orang bilang, cintanya adalah cinta monyet. Tapi sampai sekarang Rajata belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana cara monyet bercinta.“By the way, lo nggak serius ‘kan sama si Mahira?” tanya Bara dengan hati-hati. Tiba-tiba saja ia ingin tahu bagaimana perasaan Rajata yang sesungguhnya. “Gue ngerasa lo masih belom bisa ngelepasin bayangan si Mbak Ami itu ‘kan?”“Astaga!! Gue lupa! Untung lo nyebut-nyebut Mahira, Mas!” Rajata beringsut bangkit.“Lha emang kenapa?”“Gue ada janji ngejemput dia. Astaga! Kacau gue dah!” seru Rajata heboh.“Mahira lembur, Ja. Lagian dia masih meeting sama calon nasabah potensial.”“Eh?” Rajata yang tadi sudah hendak beranjak pergi, langsung menatap kakaknya dengan pendar bingung. Ia ingin mengatakan sesuatu namun tidak tahu apa itu. Jadi, ia pun menggaruk kepala. Merogoh ponsel di saku, ia coba menghubungi kekasihnya. “Ra?”“Bang Raja, aku meeting dulu, ya? nanti aku hubungin Abang lagi. Aku tutup ya, Bang?”“Lho kok?” Rajata belum sempat mengatakan apa-apa, namun sambungannya telah diputus sepihak oleh Mahira. Ia semakin pusing. Apalagi ketika kakaknya tahu-tahu saja sudah meninggalkannya sendirian. “Mas Bara cenayang kali, ya?” tanyanya keheranan. Karena apa yang dikatakan sang kakak benar-benar tepat.Ah, sudahlah, Raja masuk saja. *** Rajata kembali membawa kekasihnya bermain ke rumah. Terhitung sudah tiga pekan Raja rutin mengajak sang pacar bertemu keluarga. Dan itu selalu ia lakukan pada hari minggu. Saat di mana seluruh anggota keluarga berada di rumah. Alasannya, ia tidak tertarik berkencan di luar. Terlalu banyak setan mengganggu. Jadi, daripada merusak anak orang, lebih baik ia perkenalkan saja pada keluarganya.Bila orangtua mereka menyambut baik, hal itu berbeda dengan yang Bara rasakan. Tiba-tiba, ia ingin lenyap saja. Sebab segala keanehan yang menurutnya tak masuk akal, akan kian menguat bila ia sudah berjumpa dengan kekasih adiknya itu.Seperti saat ini, ketika mereka berkumpul di gazebo belakang. Dengan Nadi yang tentu saja sebagai pusat atensi. Biasanya, Bara tidak akan melepaskan pandangan dari keponakannya yang cantik itu. Tetapi, harus ia akui bahwa perhatianya telah terbagi. Ada Mahira yang diam-diam ingin ia pandangi. Melihat wanita itu lekat-lekat berharap ada jawaban dari ribuan tanda tanya yang menggerus benaknya.Mimpi-mimpi yang ia alami tidak memiliki pola. Terkadang, ia masih berada di bibir jurang. Namun tak jarang pula, ia berada di tengah-tengah perjamuan. Berdiri siaga di samping seorang raja. Dan hal itu benar-benar membuatnya lelah.“Nad, berenang yok, sama Om Raja?”Suara Rajata membuyarkan kemelut resah yang membalut pikiran Bara. Ia langsung mengangsurkan tatapan pada adiknya yang kini tengah merayu Nadi untuk berenang bersama.“Mau ya, Nad?”“Om Bala?” Ketika namanya disebut sang keponakan, biasanya Bara akan melakukan apa pun demi menyenangkan Nadi. “Om Bara lagi badmood, Nad. Nadi berenangnya sama Om Raja aja, ya? Besok Om Bara yang ke rumah Nadi. Kita berenang di sana aja.”Nadi memberengut. Gadis kecil itu membuang muka, langsung memeluk Rajata. Nadi selalu melakukan hal tersebut bila sedang marah. “Nadi belenang sama Om Laja aja selama-lama-lamanya,” ucapnya sebagai bentuk protes.Bara hanya meringis, tetapi ia benar-benar sedang tidak ingin berenang. Karena kini, ia ingin pergi saja. Sebelum nekat menyeret Mahira dan menanyakan hal gila yang tentunya tak masuk akal. Jadi, setelah memastikan Rajata sudah berada di dalam kolam renang bersama Nadi, Bara pun bangkit. “Ma, aku pergi dulu, ya?”“Mau ke mana?” Rike sedang mengupas buah untuk cucunya. Dan akan menungguinya di tepi kolam renang setelah ini. “Nadi nanti pasti nyari-nyari kamu lho, Bar.”“Main bentar, Ma. Ada yang mau aku temui,” padahal tidak ada. Ia hanya ingin segera menyingkir dari situasi yang tak tidak ia ketahui ini. “Pa, Mas, Mbak Anin, aku pergi dulu, ya?” Ia melewati Mahira begitu saja. Karena tidak tahu juga harus berpamitan bagaimana.  Mempercepat langkah, ia berlari memasuki rumah. Menuju kamar, ia perlu mengambil dompet serta kunci mobil. Sebab ponsel sudah berada di sakunya. Baru saja ia turun ke lantai satu setelah mengutupi semua barang-barangnya, Bara harus dikejutkan dengan kehadiran mamanya di sana.“Nah, daripada naik taksi mending dianter sama Abang sekalian ya, Ra?” Bara tidak paham, namun alarm tanda waspada sudah berbunyi nyaring di kepalanya. “Bara, tolong sekalian anterin Mahira pulang, ya?”Oh, tidak!“Raja nggak bisa nganter karena lagi renang sama Nadi. Mama nggak mau ah, kalau Mahira pulangnya naik taksi. Kamu anterin ya, sayang?”Bara kontan meringis.Ia berniat pergi untuk menghindari wanita ini. Kenapa pula sekarang harus bersinggungan lagi?“Tante, aku beneran nggak masalah naik taksi. Bang Bara pasti sibuk, Tan. Aku pesen taksi aja, ya, Tan?”“Ah, nggak boleh gitu dong. Bang Bara pasti mau kok nganter kamu pulang. Ya ‘kan, Bara?”Bila sudah begini, Bara bisa apalagi?Sambil mengembuskan napas panjang, ia tatap ibunya sebentar sebelum kemudian memberanikan diri memandang Mahira terang-terangan. “Kenapa kok tiba-tiba mau pulang?”“Ada janji mau nganterin mama arisan, Bang. Tadi mama udah kirim pesan. Aku lupa bilang sama Bang Raja.”Dengan pasrah, akhirnya Bara mengangguk. “Ya, udah, ayolah. Kasih tahu nanti alamatnya di mana,” gumamnya sambil berjalan terlebih dahulu. Mereka sudah tiba di halaman. Bara pun sudah bersiap memencet remote untuk membuka mobil, ketika pertanyaan yang terlontar dari bibir Mahira sontak saja membuatnya mematung.“Abang kenal Kaligra?”Tak mampu menutupi keterkejutan, Bara berbalik tanpa aba-aba. Matanya melebar, memandang Mahira lekat-lekat.“Abang kenal Amerta?”Pada akhirnya, Bara teramat bersyukur karena ternyata ia tidak akan menggila sendirian.“Makasih ya, Ra,” senyumnya terkembang lucu. Sebelum kemudian ia terbahak lewat tangis kebingungan. “Terima kasih, karena akhirnya gue nggak gila sendiri.”Sebenarnya, ada apa ini? *** Bara sengaja melambatkan ritme cumbuan. Berlama-lama melumat, ia hanya terlampau senang menghabiskan waktu bersama Mahira. Ibu jarinya menekan telinga wanita itu. Sebelum kemudian bergerak memutar, menggoda titik-titik gairah yang ia ketahui memang berada di sana. Sapuan pertama membuat wanita itu mendesis, sapuan kedua rintihnya mulai mengalun menyandra telinga. Dan ketika sapuan-sapuan itu tak lagi terhitung dengan jari, Bara berhasil menularkan hasrat serupa dengan miliknya.Berada di dalam mobil, memang membuat ruang gerak teramat terbatasi. Tetapi itulah yang membuat sentuhan terasa kian intim. Berebut napas yang sama, juga berhimpitan berdua. Apalagi dengan fakta bahwa Mahira masih mengenakan setelan kerja. Rok sepan sebatas lutut, teramat menggiurkan bila hanya dianggurkan. Jadi, Bara perkenankan sebelah tangannya menyapa di sana. Membelai lihai pada awalnya, hingga kemudian masuk perlahan-lahan. Menjumpai bagian paling selatan, meremas pahanya yang hangat, Bara melepas cumbuan di bibir hanya untuk berpindah menyusuri leher yang tak kalah memabukkan.“Bang,” Mahira berbisik pasrah. Kepalanya menengadah, sementara kedua tangannya tak lepas meremas surai-surai halus pria itu. Menggigit bibir adalah jalan terakhirnya demi mengurangi desah yang ingin mencuri dengar. “Bang …”Mengelus pusat keintiman dengan jemari yang terarah, Bara tersenyum seketika saat desah itu melintasinya. Memutus jalinan saliva di leher yang menggoda, Bara ingin menonton tiap ekspresi Mahira yang tersiksa. Wanita itu terengah ketika jemari Bara terus bergerak, mendamba. Jari-jarinya ingin masuk ke sana. Terkurung dalam kehangatan yang basah. Sebelum nanti membuka jalan untuk bersenggama dengan ribuan gairah.Astaga, kenikmatan itu sudah dapat ia bayangkan dengan mudah.“Udah, Bang,” bisik Mahira menggigit bibir bawah. Tak kuat dengan serbuan rangsangan yang sedari tadi terus menyerang. “Abang!” ia menjerit kaget, saat tanpa aba-aba Bara justru menyelipkan jemarinya. Membuat Mahira yang berada di atas pangkuan pria itu mau tak mau mengangkat sedikit pantat. Dengan bibir yang masih tergigit, ia jatuhkan pandangan sayunya. “Bang, udah,” lagi ia mendesah pasrah. Jemari itu telah bergerak di sana. Begitu lembut, namun sialannya ia telah terengah parah. “Sekarang aja, ya?” Bara menambah satu jari, memutari clit Mahira yang membengkak menginginkan dirinya. “Sekarang, Ra?”“Iya, Bang,” sahut Mahira tanpa daya.Menurunkan celana, Bara mengeluarkan jemarinya dari pusat gairah yang telah basah. Menggeser celana dalam wanita itu sedikit ke samping, ia susupkan miliknya hingga mereka terengah bersama. Meredam jerit dengan cumbu yang mengikat, keduanya sepakat melakukannya dalam sunyi menderap.Bergerak pelan-pelan, menyelaraskan ritme entakan. Hingga ketika gelombang itu hampir memecah keduanya menjadi kepingan, Bara terus melaju dengan tempo yang kian terpacu. “Bang?”“Sedikit lagi, Ra.  Abang sedikit lagi.”Cengkraman kuat pada bahu pria itu, menjadi pertanda bahwa Mahira tak bisa menunggu. Ia biarkan dirinya diterjang kenikmatan terlebih dahulu. Sambil membantu Bara melaju, Mahira juga memacu pinggulnya. Namun, ketika gerakkan Bara makin tak terkendali, Mahira membiarkan laki-laki itu memimpin jalan. Menikmati terjangan berikutnya, dan mereka menjadi kemilau saat Bara berhasil menyampaikan hasratnya dengan luar biasa.Sekali lagi, mereka menyukai rasa yang tersesat ini.“Bang?”“Kabur ke luar negri mau?”Seperti yang sudah-sudah, Mahira memilih bungkam.     TujuhUcapan Yang Keliru   Gaun cokelat itu tidak lagi indah. Sudah penuh lumpur juga percik hujan yang membuat pakaian tersebut basah dengan noda kotor yang terlihat pekat. Dingin jelas merambat melalui udara yang terembus. Tetapi bagi Amerta dan Kaligra, suhu tubuh mereka justru meningkat. Mereka sedang tak bisa melangkah pelan. Berlari kencang adalah satu-satunya harapan agar setidaknya dapat mencari persembunyian. Pun, begitu dengan Amerta. Ia tidak ingin merengek dan mengatakan capek padahal tubuhnya sudah menjeritkan kata lelah sedari tadi. Gerimis yang masih mendera bercampur keringat yang mengalir melalui pori-pori. Kaki-kakinya terus mengikuti langkah lebar Kaligra. Tak peduli bahwa ia terseok-seok.Gerimis yang kian rapat masih mengguyur hutan hijau Asmaraloka. Licin dari tumbuhan lumut beberapa kali membuat mereka terpeleset. Akar-akar pohon serta ranting yang menjuntai, tak lagi menjadi masalah. Mereka terus menerobos hutan. Tak ada waktu tuk mengeluh, para prajurit istana telah berada di belakang mereka.“Sebelah sana,” gumam Kaligra sambil memastikan Amerta masih mampu bertahan. “Sebentar lagi,” katanya terengah.“Darahnya semakin banyak, kita harus berhenti untuk membebat lukamu,” bibir merah muda Amerta memucat. Udara dingin yang menampar tubuhnya membuat wajahnya terasa kebas. “Kaligra, berhenti sebentar.”“Sudah tidak ada waktu,” Kaligra terus memacu langkah.“Tapi kamu bisa mati kehabisan darah!” dengan sisa tenaga, Amerta menjeritkan risaunya. “Sebentar saja. Kita perlu membalut lukamu.”Tetap diam, Kaligra menyapu tetesan gerimis di wajah. Ia lirik sebentar pada bagian lengan yang tadi terkena anak panah. Pada akhirnya persembunyian mereka ketahuan. Setelah menghilang selama 25 hari dari istana, prajurit-prajurit hebat Asmaraloka berhasil mengetahui keberadaan mereka. Padahal selama ini, baik Kaligra maupun Amerta sangat berhati-hati. Mereka tak pernah keluar pada siang hari. Aktivitas Kaligra dalam berburu bahkan dilaksanakan tiap tengah malam. Mereka takut bahwa matahari bisa saja membocorkan keberadaan mereka. Tanpa tahu, justru bulan yang berkhianat.“Kaligra, kita harus berhenti!”“Mereka bisa menangkap kita.”Amerta tak bisa lagi menahan diri. Selain letih karena terus berlari, kekhawatirannya pada keadaan Kaligra bukan sekadar isapan jempol semata. Jadi, bertindak sebagaimana biasa ia berlaku sebagai seorang tuan putri. Ia pun menghentikan langkah. Sorot matanya berubah tegas dengan pendar yang tak terbaca. Rahangnya terkatup rapat walau helaan napasnya tersenggal parah. “Kaligra Raytaslim, aku perintahkan padamu untuk berhenti!” ucapnya tegas. “Melanggar perintah seorang putri sama saja dengan berkhianat pada istana!”Kaligra sudah dua meter jauhnya dari titik di mana Amerta berdiri. Sebelah alisnya yang lebat naik. Memandang heran sekaligus lucu pada tuan putri yang tengah mengancamnya itu. “Apa hukuman tidak mengindahkan perintah seorang putri akan jauh lebih berat dibanding dengan membawanya kabur dari istana?”Sebuah sarkas tak akan membuat mereka maju ke mana-mana. Sedang diburu waktu, Amerta berjalan cepat menghampiri Kaligra sambil merobek lengan gaunnya. “Berhenti keras kepala,” desisnya tidak suka. Ia bebat luka itu, mencoba menghentikan darah yang terus mengalir dari sana. “Kamu bisa mati kehabisan darah.”“Pada akhirnya, hanya salah satu di antara kita saja yang boleh mati. Dan aku mengambil pilihan itu.” *** Bara menyingkap selimutnya dengan napas terhela. Duduk di tepi ranjang, ia biarkan telapak kakinya bersentuhan dengan ubin dingin kamarnya. Hari masih gelap. Dan Bara ingat betul, ia baru merebahkan tubuhnya di ranjang sekitar satu jam yang lalu. Namun kini, ia harus dipaksa terjaga karena mimpi sialan itu terus mengejarnya. Sesungguhnya ia lelah. Padahal, bukan dirinya yang berlari di sana.Berdiri, ia melangkah menuju jendela. Menyibak tirai, ia saksikan rintik hujan berebut menjatuhi tanah. Tak peduli pagi masih terlalu ranum tuk diajak bersenandung. Nyatanya, bulir-bulir air dari awan itu, siap mencipta ritme yang selalu identik dengan suram juga kenangan.Tak ada jawaban yang bisa ia temukan dengan terus memandangi hujan, ia memutuskan turun ke bawah. Mungkin segelas teh hangat dapat memberinya sedikit ketenangan. Ia juga perlu melanjutkan lelap. Namun langkahnya menuju dapur terjeda, ketika ekor matanya justru menemukan papanya tengah duduk menghadap kolam renang. Kegiatan yang memang selalu dilakukan pria paruh baya itu sejak dulu.Bara ingat, papanya pernah berkata, menatap permukaan air yang datar mampu membuat rileksasi tersendiri sembari menghimpun ketenangan untuk memulai hari sibuk. “Papa?”Danang menolehkan kepala. Alisnya terangkat bukan hanya karena terkejut, namun juga heran. “Ini benaran Barata kakaknya Raja?”Bara mencebik, ia jatuhkan tubuh tepat di sebelah sang ayah. “Oh, pasti bukan, ya? Karena kakaknya Raja biasanya bangun siang. Nah, ini pasti Bara adeknya Mas Affan ‘kan?”Memutar bola mata, Bara hanya bisa mendengkus mendengar ledekan papanya. “Aku baru mulai tidur tadi, terus kebangun.”“Kenapa? Kebelet pipis?”Sekali lagi, yang Bara lakukan adalah merotasikan bola matanya. “Please deh, Pa, jangan kayak Mama,” gerutunya. Maksud Bara adalah terus memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Kedua orangtuanya seperti tidak pernah mau menerima kenyataan kalau anaknya sudah dewasa semua. “Aku mimpi lagi, Pa,” ia hanya ingin bercerita walau tanggapan yang ia terima nanti hanyalah sebuah olokkan belaka. “Sebenernya, aku ini kenapa sih, Pa?”“Mau coba bantuan psikiater?”Bara menoleh pada papanya. Sedikit tak menyangka bahwa ia mendapat tanggapan serius kali ini. “Papa hitung, sudah hampir tiga bulan ya, kamu mimpi aneh terus.”Bara diam, menyimak.“Karena ilmu Papa nggak sampe ke sana, gimana kalau kita coba cari bantuan sama yang ahli? Papa pernah denger metode hipnoterapi bisa bikin kita kembali ke masa-masa yang sempat terlupa. Sistem kerjanya mungkin memaksimalkan ingatan kita yang terlewat. Tapi nggak apa-apa ‘kan, kita bisa coba.”“Papa beneran serius nanggepin mimpi aku?”Danang hanya tersenyum. “Mama kamu sebenernya yang selalu kepikiran.”“Tapi Mama selalu nanggepin mimpiku lelucon, Pa.”“Gitulah sebenarnya orangtua, Bar. Selalu lain di bibir lain di hati. Padahal, dia udah setengah mati cemas sama anaknya. Mama kamu sampai mikirnya kamu kena hal-hal mistis gitu.”Bara mendengkus tanpa sadar, namun sudut bibirnya terangkat geli. Ia tidak pernah salah dalam menilai bahwa keluarganya adalah keluarga terbaik di dunia. “Apa Papa percaya ada kehidupan lain selain kehidupan yang kita jalani sekarang?”“Kamu percaya?”Saat pertanyaan itu berbalik padanya, Bara hanya mengedik bahu saja. “Aku cuma tahu dunia yang namanya Jurasic World,” kekehnya geli. “Tapi dalam mimpiku ini, ada dunia yang namanya Asmaraloka, Pa. Dan aku tinggal di sana.”Danang diam, ia tak lagi menatap anaknya. Kembali memandangi kolam renang yang telah dipenuhi rintik hujan, ia hirup dalam-dalam udara sejuk yang belum tercemar. “Kamu tahu, Papa adalah orang yang paling realistis ‘kan, Bar?”Bara tahu.“Dan untuk mimpi-mimpi kamu, Papa cuma bisa kasih pandangan.”Sangat berharap pada apa pun pandangan ayahnya, Bara menegakkan punggung. Menanti dengan sungguh-sungguh.“Garis takdir Tuhan itu penuh misteri namun sudah pasti berbarengan dengan ketetapan. Kamu bilang, dalam mimpi itu kamu bersama seorang perempuan ‘kan? Nah, ambil benang merahnya. Mungkin, takdir sedang berbaik hati memberitahu kamu gambaran siapa yang kelak akan berjodoh dengan kamu.”“Menurut Papa gitu?”Danang mengangguk tanpa beban. Ia tepuk dua kali paha sang anak dengan ekspresi tenang di wajah. “Jangan terlalu terbebani sama mimpi-mimpi itu. Anggap aja bunga tidur yang sengaja datang buat ngajak kamu berpetualang. Ikuti aja sampai mana dia ngebawa kamu. Kalau kamu udah ngerasa nggak kuat, ingat, kamu punya Papa dan Mama. Kita bisa sama-sama cari solusi.”Bara terdiam. Otaknya terus berisik mengemukakan pendapat. Dan ada satu pendapat yang bergaung nyaring sedari tadi. Yaitu, mengenai identitas perempuan yang ada dalam mimpinya. Bara bingung, haruskah ia menceritakan hal itu sekarang?“Pa?”“Ya?”Menelan ludah, Bara tak yakin. “Jangan cerita kalau belum siap,” sahut Danang seolah dapat membaca isi pikiran sang anak. “Banyak pendapat yang mengungkapkan, semakin dewasa kita, lebih baik telan semua masalah yang mendera. Pendapat itu sebenarnya nggak salah. Tapi juga nggak benar. Kamu tahu kenapa? Karena berbagi cerita pada orang-orang yang buat kamu nyaman, jauh lebih baik daripada menderita sendirian.”Ah, betapa Bara sangat mencintai keluarganya.Lihatlah, betapa terbukanya pikiran sang ayah.Walau ia pernah membuat mereka malu—dan mungkin masih terus membuat ayah dan ibunya menderita bak orang yang tak punya muka—mereka selalu mendengar tiap keluh kesah anaknya. Tanpa pernah menghakimi. Orangtuanya justru membuka jalan melalui diskusi-diskusi panjang, hingga masing-masing dari mereka mengetahui di mana letak kesalahannya.“Pa, Bara udah pernah bilang belum, kalau Papa itu sama sekali nggak ada mirip-miripnya sama Opa? Jangan-jangan Papa beneran anak angkat, ya?” kelakarnya geli. Menilik sifat kakeknya yang seperti Fir’aun, Bara jadi ragu kalau papanya adalah anak kandung Hartala yang terhormat itu. *** “Wuuuiiihh …, anak Mama kok wangi banget ini?” Rike menyambut anak bungsunya di meja makan sambil bertepuk tangan dua kali. “Mana ganteng banget lagi. Mau ke mana sih Om Laja?” kekehnya mengikuti gaya bicara Nadi.“Kapan coba Raja bau, Ma?” komentar Rajata sombong sekali. “Kok lo ada di sini juga, Mas? Ponakan gue satu-satunya mana?” karena tak hanya ada sang ibu dan kakak keduanya saja. Tahu-tahu saja kakak sulungnya pun bergabung di meja makan. “Kenapa sih, Nadi tuh lebih sayang sama Mas Bara daripada gue?”“Karena gue punya duit. Lo mah fakir,” celetuk Bara asal.“Apa sih, Mas? Lo nyindir status pengangguran gue ‘kan?” Raja merasa tak terima. “Lagian, siapa suruh juga kalian berdua masih ngesubsidi rekening gue,” kini ia kembali cengengesan. “Mas, Nadi kapan punya adek? Nanti kalau Mbak Anin hamil lagi, gue rela jadi budaknya yang bertakwa deh.”Affan hanya mengedik. Ia kunyah makanan di mulut tanpa repot-repot menjawab pertanyaan adiknya itu. “Ja, besok lo luang ‘kan? Anterin Mbak Anin nyari kado bisa?”“Siapa yang ultah, Mas?” Bara bertanya. Ia juga tengah menyuplai karbo ke mulutnya. Sebelum nanti, bersiap menjalankan roda bisnisnya. “Kok nggak minta anterin gue aja sih?”“Senorita ulang tahun,” Affan menyebutkan nama anak kakak iparnya. “Udah, biar Raja aja. Biar ada kerjanya dia.”“Okelah. Itung-itung gue belajar nganter istri sama anak ngemol,” kikik Rajata dengan ekspresi tengil di wajah. “Nanti Mbak Anin gue gandeng, ya, Mas? Terus Nadi gue gendong. Aduh, andai dulu gue jadi nikah muda,” gumamnya mendadak melankolis.Bara hanya tertawa kecil melihat tingkah adiknya itu. “Ngomong-ngomong, lo mau ke mana? Tumben rapinya kelewatan gini.”“Kencan dong,” sahut Rajata sombong. “Emang elu, Mas, jomlo,” tampangnya masih jemawa. Ah, adiknya akan berkencan, ya?Bara hanya mampu mengangguk mengerti. Hingga satu pesan mampir ke ponselnya.  Amerta :Bang Raja ngajak nonton, Bang.Abang nggak apa-apa’kan? Tentu saja.Memangnya Bara akan kenapa?Toh, sejak awal ia tahu bahwa wanita itu memang kekasih adiknya.  Amerta :Dia juga ngajak double date sama Abangku, Bang.Tadi, siang dia juga dateng buat jenguk papa.Aku harus gimana, Bang?  Hah, entahlah.Bara merasa makin jauh saja.“Mau nonton film apa, Ja? Tumben banget lo hobi nonton,” celetuknya nyaris tanpa berpikir.Kecemburuan ini? Astaga …. Namun yang paling menyebalkan adalah adiknya telah berhasil menarik seluruh perhatian keluarga Mahira. Sementara dirinya? Hanya bayang-bayang yang selalu berada di belakang.“Lha, lo kok tahu kalau gue mau nonton, Mas? Perasaan gue nggak ada ngomong deh.”Uhuk!Bara tersesak.Buru-buru ia sambar air putih dan meneguk isinya hingga setengah.“Lo kenapa, Bar?” Affan bertanya heran.“Tersedaklah, Mas. Memangnya kenapa lagi?”“Bukan. Ekspresi lo gue perhatikan benar-benar mengkhawatirkan.”Bara hanya berdecak, namun dalam hati ia merutuki seberapa hebat kakaknya itu dalam membaca situasi. “Mas,” kini Raja yang memanggil.“Apaan?”“Lo belum jawab pertanyaan gue yang tadi.”“Pertanyaan yang mana sih, Ja?”“Lo kok bisa tahu kalau gue mau nonton sama Mahira?”Mampus!Bara mulai membenci lidahnya yang berkata apa pun sesuka hatinya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan