
Amazing Boyfriend Prolog - Part 10
P R O L O G
Sebelum ia bisa mengendalikan diri, Dylan sudah mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu. Menyesapnya perlahan, sebelum akhirnya menutup mata. Tangannya menjangkau leher, memupus jarak dengan berani. Dylan memangutnya. Awalnya lembut, sebelum akhirnya ia membebaskan semua pengendalian diri yang mengekang. Dan mengambil semua yang bisa ia dapatkan.
Ya Tuhan …
Magissa mengerang karena sensasi yang ditimbulkan oleh pria yang berada di depannya ini. Ciuman pria itu hangat dan memabukkan, berbanding terbalik dengan wajah dingin yang tersemat begitu nyata padanya. Ketika Magissa mengulurkan tangan untuk mendekap punggung telanjang Dylan, ia lantas luruh. Erangannya tak lagi bisa ditahan, dan ia memajukan tubuh guna meniadakan jarak. Membalas ciuman itu dengan menggebu, Magissa tahu apa yang ia inginkan. Jadi, ia kalungkan kedua lengannya, naik ke atas pangkuan Dylan, ia bergerak sesuai kebutuhan.
Dylan mengerang ketika merasakan lidah Magissa membelai lidahnya. Elusan provokatif wanita itu di bahu sampai lengan cukup membuatnya kewalahan. Apalagi, saat Magissa membuka kedua pahanya yang terbalut jins lalu menggesek pada kulit Dylan yang tak terlindung apa pun, Dylan langsung lupa daratan. Ia ingin berhenti, sebelum lupa diri. Tapi sialannya, tubuhnya bergerak sendiri.
Tangannya yang semula hanya mendekap wanita itu, kini telah bergerilya. Magissa tak berhenti menggodanya. Belaian tangan yang semula berada di lengan, kini ia rasakan telah merambat ke punggung. Lalu turun lagi semakin ke bawah, menangkup bokongnya, Dylan sampai harus melepaskan ciuman ketika dengan berani wanita itu malah meremasnya kuat.
Oh, Shit!!
Dengan tangan bergetar tak sabar, Dylan menarik ujung kaus yang wanita itu gunakan ke atas. Ciuman mereka yang sempat terlepas, kini ia sambung dengan menurunkan hidung di antara ceruk leher Magissa yang menggoda. Berlanjut menyusuri sepanjang bahu, ia kecup lama bagian itu hingga meninggalkan tanda kemerahan yang membuatnya puas.
Dylan tahu, ini bukan dirinya.
Tetapi untuk menghentikannya, ia tak memiliki kuasa. Pertahanan diri yang biasanya selalu ia agungkan, tak lagi berkutik, ketika gelora telah menari-nari.
Dylan akan menyesal bila ia terus melanjutkan kegiatan ini. Tetapi desah yang meluncur menyenangkan dari bibir Magissa, membuatnya menyerah. Baiklah, kini ia telah menyingkirkan kewarasan.
Kembali meneruskan penelusuran, tangannya yang kekar membelai ke belakang, mencari pengait bra. Agar tak lagi ada penghalang yang bisa menahan matanya melihat keelokan yang tersimpan. Dylan berdecak saat ternyata tak gampang membuka pengait tersebut.
Jadi, Magissa yang melakukannya. Wanita itu membuka pengaitnya, dan meluruhkan penyanggah dadanya ke bawah. Mempertontonkan apa yang tersimpan di sana dengan bangga, Magissa tak kuasa memperdengarkan rintih kala jemari panjang pria itu mulai meraba.
Ugh! Yeah! Ia menyukainya.
Menyambar bibir Magissa tak sabar, Dylan mendorong tubuh wanita itu hingga telentang di atas ranjang. Merangkak buas di atasnya, kini yang ada di kepalanya adalah bagaimana menaklukan wanita itu segera. Menyelinap dalam-dalam ke tubuh Magissa, sampai bibir ranum yang sedari awal sudah menyita perhatiannya itu menjerit keras-keras. Lalu mereka akan kelelahan, terengah puas sebelum kembali mengulang aktivitas serupa dengan gelora yang kian bertambah.
Sial!
Rasanya itu sangat menggiurkan.
Namun, di detik-detik krusial, secercah kewarasan memperlihatkan diri. Membuatnya mematung dengan tangan menggantung di udara.
Astaga … apa yang ia lakukan?!
Menegakkan tubuh, kini ia mulai merasakan betapa panasnya suhu ruangan. Hingga keringatnya berebut jatuh, namun yang bisa ia lakukan adalah menutup mata. Kini, putus asa kembali menjadi nama tengahnya.
Dengan kabut gairah yang masih menaungi, Magissa menyentuh bahu Dylan pelan-pelan. Deru napasnya masih memburu dan ia bersumpah belum ingin meredakannya. Ia sapukan tangannya naik turun di atas dada pria itu. Menyukai tekstur licin akibat banyaknya keringat yang mengalir, Magissa menggigit bibir bawahnya sengaja ketika Dylan kembali menatapnya. “Nggak apa-apa, Lan,” katanya terengah.
Lalu dengan berani, tangannya membawa tangan besar itu untuk melingkupi payudaranya yang telah menegang kaku. Sesaat, Magissa menutup mata demi meresapi kehangatan yang tercipta di dada. Matanya membuka lagi, membimbing tangan Dylan tuk meremasnya.
“Lo kenapa?” bisik Magissa resah. Karena walau tangan Dylan masih menjalankan aktivitas seperti yang memang ia inginkan, namun Magissa tahu kalau tatapan pria itu berbeda. “Ada yang salah?”
Diam membisu.
Kehangatan payudara Magissa benar-benar melingkupi dirinya. Hingga desir yang sejak tadi coba ia tolak, mulai menggeliat.
Tetapi, ragu masih menjadi temannya. Jadi, yang bisa ia lakukan saat ini adalah menatap Magissa lamat-lamat. “Apa kamu selalu membiarkan semua orang yang baru saja kamu temui untuk menyentuhmu seperti ini?”
“Oh, fuck!”
Dan tak menunggu waktu lama, Magissa mendaratkan satu tamparan keras di pipi pria itu.
Plaakkk …!!
“Magissa, kamu marah?”
Menatap Dylan sadis, Magissa mendekap payudaranya yang tak jadi ia pamerkan. “Enggak! Gue lagi akting jadi Suzana. Dan sekarang, gue lagi natap Bang Bokir yang nggak bisa nyediain gue seribu tusuk sate!”
Dylan tak mengerti. Jadi, ia ikuti Magissa yang telah berdiri. “Saya bukan Bang Bokir,” ucapnya dengan dahi berkerut bingung.
1.Dylan – Magissa
“Sa, kayaknya ayam di bubur gue kurang nih? Bubur gue juga keliatannya dikit banget lho, Sa? Gimana sih lo kalau jualan? Masa bubur ayamnya segini doang?” Aris langsung sewot. Ia memang masih menyuapkan bubur tersebut ke mulutnya, namun dengan hati dongkol. “Nah, punya Bang Jefri, bawang gorengnya malah banyak. Gue malah nggak. Ah, lo pilih kasih, nih?”
“Sasa ‘kan kesayangan Bang Jef, gitu lho. Ya ‘kan, Sa?” Jefri, si pemilik toko kain yang berada di kawasan Pulogadung ikut-ikutan. Ia menyengir bangga, karena tadi memang meminta taburan bawang goreng yang banyak di buburnya. Sebenarnya sih, tidak minta secara cuma-cuma, Magissa yang cantik namun pelit itu meminta tambahan seribu rupiah dari harga bubur ayam yang biasa ia jual. Katanya, bawang sedang mahal. Tapi bagi Jefri tak masalah, asalkan bisa tetap melihat Magissa.
“Kesayangan apaan coba, elah?” Aris berdecak sembari menggelengkan kepala. “Tambahin dong porsi bubur gue, Sa. Mana kenyang nih gue sampai nunggu makan siang nanti.”
Magissa berdecak keras dari balik etalase yang menjajahkan menu sarapan pagi yang ia gelar di depan ruko tempat tinggalnya. Matanya melirik sadis pada Sarjono alias Aris Samudera. Bibir seksinya seketika mencebik. Ia tatap Aris penuh perhitungan, tak peduli pada pelanggan yang masih menunggu bubur ayamnya dihidangkan.
“Lo diajarin jadi orang kaya memang nggak bisa ya, Ris?” ketusnya jengkel.
“Lha, apa hubungannya, Neng?”
“Ck, lo pernah nggak sih liat orang kaya makan sebakul? Nggak ‘kan?” cercanya terus. “Makanya, sesekali nonton Master Chef, bukan bokep.” Ia tak pernah peduli pada tutur kata. Hidupnya sudah keras, janganlah pusingkan dia dengan banyak aturan. “Nah, gue lagi pengin ngajarin lo supaya nggak kaget kalau jadi orang kaya yang makanan seupilnya Ipin, tapi harganya semahal rumah anjing Paris Hilton. Lo ngerti ‘kan?”
Aris merotasikan bola mata seraya mengatakan tidak pada perumpamaan bodoh Magissa. Sambil mendumel, ia mencoba ikhlas saja dengan porsinya yang dicurangi wanita itu. “Untung lo cakep, Sa. Kalau nggak, lo pikir aja deh, apa mau nih para bapak-bapak perindu belaian rela ngejogrok di sini tiap hari?”
“Ah, bawel lu, kayak aki-aki kebelet ngawinin perawan,” dengkusnya kasar. Lalu kembali berusaha melayani pembelinya yang memang kebanyakan bapak-bapak. “Ini juga si Martatilaar kenapa lama banget sih? Padahal cuma disuruh beli seteropom doang,” gerutunya sebal.
Aris tergelak. Ia yang duduk di bangku paling dekat dengan Magissa, nyaris tersedak karena tawanya sendiri. “Styrofoam, Sa! Ya, Allah … untung lo cakep, Sa. Kalau nggak mati aja gue,” tawanya membahana. “Udah galak, bego, untung aja lo bahenol.”
Magissa tidak tersinggung. Sebaliknya, ia sengaja menggoyang-goyangkan pantat. Membuat beberapa pria yang masih duduk menikmati sarapan mereka tergelak sambil bersiul-siul kesenangan.
“Neng Sasa, udah jangan peduliin ocehannya si Aris. Bagi Kang Asep, Neng Sasa diem aja di sono, udah kayak berbi,” ujar sopir metromini dengan mata berkedip-kedip genit.
“Lha, emangnya gue ngapain, Kang Asep? Mau ngepet?”
Tak ada kelemah lembutan ketika ia bicara. Namun entah kenapa, semua malah bahagia. Berbicaranya ceplas-ceplos, bahkan cenderung kasar. Para wanita jelas memusuhinya, namun para pria selalu membela. Namanya Magissa Ayu Cendana, usianya nyaris tiga puluh tahun. Tapi, ia terlihat sangat asyik dengan kehidupan keras yang ia jalani.
Belum memiliki pendamping yang bisa membuatnya percaya, bahwa sehidup semati dengan pasangan itu indah, Magissa kerap memanfaatkan kemolekan tubuhnya untuk lirik sana-sini demi mendapatkan kekasih yang potensial. Dulu, ia memilikinya. Namun tidak lagi, setelah satu fakta mengenai dirinya terungkap. Dan calon yang ia banggakan waktu itu pun kabur entah ke mana.
Tak lagi memiliki ibu, Magissa harus puas dengan kenyataan memiliki ayah seorang penjudi yang gemar menikah.
Ngomong-ngomong ia hanya hidup dengan Marta, waria berotot yang terobsesi bisa memiliki tubuh seperti Millendaru, agar niatnya untuk menjerat para lelaki Jekardaahh dapat semulus jalan tol yang diresmikan oleh pemerintah. Sayang saja, Marta tak memiliki biaya. Jadi, alih-alih bisa cantik paripurna, pria yang lahir 28 tahun lalu itu, harus puas menjadi pembantu Magissa yang terkenal kejam.
Oh, iya, sebenarnya Magissa punya adik laki-laki. Sudah menikah, tapi masih saja menyusahkannya.
Kapan-kapan sajalah, ia akan menceritakan mengenai Bambang Syahputra yang kini lebih dikenal sebagai Bams, hoeekkk. Serius, Magissa masih suka mulas mendengar adiknya dipanggil begitu.
“Nek …!! Nek …! Ya, ampun … gue punya info hot. Sebanding deh sama penampilan Kendall Jenner dengan gaun nyelenehnya itu di Oscar.”
Akhirnya, Marta datang juga. Dengan kedua tangan menenteng Styrofoam, pria yang merasa bahwa dirinya wanita itu, tak tampak kesusahan ketika berjalan cepat mengenakan wedges tujuh senti. Rambut aslinya dibiarkan memanjang dan kini tengah tergerai. Ketika ia berlari seperti tadi, rambut tipis itu pun berterbangan. Bila pada mode alay, Marta suka sekali menirukan aksi Anggun yang sedang mengiklankan sampo. Beruntung saja, hari ini tidak sedang kumat.
Mengenakan celana legging tiga per empat, Marta menutup tubuh atasnya dengan kaus ketat berwarna merah dengan punggung bolong berhias pita lebar.
“Ah, lama banget sih lu!” sembur Magissa galak. Ia kini sedang memotong timun, untuk seorang ibu-ibu yang memesan nasi uduk. “Potongin tuh tomatnya, sekalian!” perintahnya seraya melotot. Sangat tak senang dengan lipstick merah yang dikenakan Marta di bibirnya.
Well, tak hanya menjual bubur ayam, Magissa pun menjual nasi uduk juga. Dirinya sendiri yang memasak, menggunakan resep yang ia tahu dari ibunya. Lalu memodif resep itu beberapa kali, agar pas di lidah orang banyak.
“Lo tuh, kalau gue suruh beli kenapa sih doyan banget mampir-mampir, Mar? Lo tahu nggak, gue nyaris kesiram air panas waktu buru-buru ngebuatin kopi tadi? Suka banget dah lu bikin gue jengkel,” omel Magissa sambil menutup tempat kerupuk.
“Nek, lu dengerin gue dulu, napa sih?” Marta memberengut sebal. “Ngoceh mulu deh.”
“Lu potong-potong tuh tomat, atau gue lempar aja semua kemuka lo biar abis?” tantang Magissa tenang, namun sarat akan kekejaman dari kalimatnya itu. “Kerja cepet, Mar. Lu bilang, mau beli pembesar payudara ‘kan? Nggak gue gaji juga nanti lu lama-lama.”
Sambil berdecak kesal, ia hampiri Magissa semekot alias semeter kotor itu dengan tatapan sebal. “Gue tadi cuma mau bilang, kalau mercy yang kemaren kita lihat di rumahnya Haji Gofur, tadi ada lagi di sana. Terus gue denger, si Anan sama Yumna berantem. Cuma nggak tahu gara-gara apa sih.”
Menarik laci berisi uang hasil berjualan, Magissa mengambil selembar sepuluh ribu dari sana dan menyerahkannya pada Cing Iwan. “Intinya, tuh mobil mentereng punya sapa? Punya Haji Gofur atau bukan?”
“Ya, mana gue tahu. Kan gue cuma lewat tadi.”
Berdecak, Magissa mengelap tangannya yang kotor langsung pada apron kuning pudar yang melekat di tubuhnya. Ia balikkan badan, membuat rambutnya yang lepek karena keringat mengikuti gerakannya. Berdiri dekat dengan Marta, membuat tubuhnya tampak sangat kerdil. Tapi, dirinya tak pernah mati gaya.
Tasya Kamila pun tidak setinggi Nadine Candrawinata, namun suaminya lebih menjulang dari pada Dimas Anggara.
“Cong, besok kalau bawa gosip jangan setengah-setengah, ya? Daripada gue gedek sama lo karena informasi yang nggak lengkap. Mending lo tahan gosip itu, sampai semua udah jelas. Ngerti?”
Dan dengan bibir mencebik, Marta mendumel, menyumpahi Magissa yang berani-beraninya memanggilnya dengan sebutan bencong seperti barusan.
***
“Saya minta maaf, Miss, karena hampir setiap pagi selalu membuat keributan di sini,” Dylan tersenyum tak enak pada wanita yang berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak di sekolah Tata itu. “Tata selalu ingin berangkat sekolah dengan Miss Yumna. Saya tidak bisa menolaknya kalau kebetulan saya yang mengantarnya ke sekolah.”
Tata sudah bagai anaknya sendiri, walau fakta bahwa gadis kecil itu hanyalah keponakannya. Anak dari adik kembarnya yang telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Sejak balita, Tata selalu menempel padanya. Padahal, tak banyak yang bisa ia lakukan dengan anak itu. Ia tidak mahir bercerita, mengajak bermain pun tidak juga. Kemahirannya, hanya menggendong dan menepuk-nepuk punggung keponakannya tersebut ketika mengantuk.
Selebihnya, Dylan lebih banyak diam dan memerhatikan.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma lupa mengabari Anan kalau pagi ini saya pergi dengan Tata.”
Dylan mencoba menyamarkan ringisan, ketika melihat Tata malah tersenyum lebar sambil mendekap pinggang gurunya. Ia elus pelipis sekilas, sebelum mencoba kembali menawarkan senyum. “Mari kalau begitu, Miss. Saya akan antar sampai di sekolah.” Ia mengulurkan tangan, agar Tata kembali ke sisinya. “Tata?”
Gadis cilik berambut ikal itu menoleh, tangannya melepaskan Miss Yumna dan segera berganti menggandeng paman yang selama ini kerap ia panggil papa. “Besok, Papa lagi yang anter Kakak ke sekolah, ya? Kalau sama Papi, dia nggak mau jemput Miss Yumna dulu. Kata Papi, ribet.”
Dylan mengelus rambut Tata lembut. Ia enggan menjanjikan sesuatu yang belum bisa ia pastikan sanggup tidaknya ia tepati. “Nanti dijemput Mami pulang sekolahnya, ya, Kak? Jangan berantem sama adik-adik.”
Tata sudah memiliki dua orang adik kembar sewaktu ia masih balita. Itulah yang membuatnya lebih dekat dengan Dylan daripada Fabian. Karena ketika Fabian sibuk mengurusi anaknya yang baru lahir dan kerap menitipkan Tata di rumah kedua orangtua mereka, Dylan yang menggantikan peranan Fabian saat meninabobokan Tata.
“Kakak nggak akan ganggu adik-adik, Pa,” katanya manis.
Dan Dylan kembali luluh pada senyuman anak kecil itu. Tak keberatan bila tiap hari harus menjemput gurunya baru kembali lagi mengantar Tata ke sekolah, Dylan tidak akan mengeluh kalau keponakannya itu selalu memberi senyuman manis seperti tadi. “Ayo, nanti terlambat.”
Karena bagi Dylan, keluarga adalah segalanya.
Tak mengapa kalau ia masih saja sendiri di usia sematang ini. Tak apa-apa bila belum beristri, padahal ia sudah sangat mampu untuk itu. Sebab baginya, dunia ini sudah cukup dengan melihat tawa bahagia mengalun dari seluruh sanak saudara yang ia miliki.
Dylan hanya tak tahu saja, bila sebentar lagi, takdir kan membuat sebuah pertunjukkan. Dan dunianya yang semula tenang-tenang saja, akan diguncang pelan-pelan. Sebelum akhirnya, laki-laki berusia 35 tahun itu sadar, bahwa sudah saatnya menjadi pemeran utama dalam sebuah cerita.
Ah, Dylan, ya?
***
2. Bertemu
Mereka berkata, dirinya terlampau dingin untuk dijadikan teman bercanda. Banyak yang bilang, ia terlalu sunyi saat diajak ke sebuah pesta. Dan yang lain berucap, dirinya adalah simbol segala kesenyapan. Padahal, ia hanya senang mendengar orang lain bercerita makanya ia memilih diam. Sejujurnya, ia suka merekam tiap ekspresi yang ditampilkan teman bicara, itulah sebabnya ia fokus dalam memerhatikan.
Tapi mereka tak mau percaya.
Lalu, dirinya tetaplah bayangan di sepertiga malam yang sunyi.
Lalu mereka menjauhinya.
Padahal, Dylan hanya tak tahu bagaimana caranya berbaur dengan orang-orang. Ia tidak paham, seperti apa memulai pergaulan. Bertahun-tahun menjadikan Evelyn pusat perhatian, dunia Dylan hanya berkutat pada wanita itu saja. Ia terlampau berlebihan mencurahkan cintanya pada wanita yang sesungguhnya adalah sepupunya sendiri itu. Jatuh cinta sedalam-dalamnya, Evelyn membuat Dylan lupa, bahwa bersosialisai pun sama pentingnya.
Segalanya telah terlambat.
Ia tak bisa mengejar ketertinggalannya dalam bergaul dengan orang-orang. Sunyi, seakan telah mendarah daging dengannya. Dan kekakuan menjadi nama lain dari dirinya. Tapi, ia merasa tidak masalah. Tak ia pedulikan penilaian orang-orang, yang terpenting baginya adalah keluarga tahu betapa ia mencintai mereka.
Sudah se-simple itu saja.
Contohnya, seperti saat ini. Ketika kopi di gelasnya pun belum habis, namun ponselnya telah berbunyi. Senyum yang jarang terlihat di depan khalayak, selalu menjadi milik gadis kecilnya di ujung sambungan. “Hallo?”
“Papa …! Anter sekolah, okay?”
“Tentu.”
Ya, beginilah dunia Dylan setelah berhasil melepaskan jerat-jerat cinta yang tak pada tempatnya. Ia masih merasa sangat bahagia. Dengan Tata yang mulai merajai paginya.
Bangkit dari atas sofa di apartemen sepi yang ia tinggali sendiri, Dylan menyambar jas yang telah ia siapkan. Memakai jam tangan setelah jas melekat sempurna di tubuh, ia siap memulai aktivitas di pagi yang diguyur hujan ini.
Walau banyak yang berkata bahwa sepinya perlu ditemani, Dylan merasa tak benar-benar memerlukan semua itu. Setidaknya, saat ini.
Evelyn Aluna :
Uncle Dy …
Letta mau ketemu.
Siang ini kami ke resto, ya?
Tercenung lama, Dylan membaca ulang pesan yang baru saja ia terima. Nama Evelyn tertera di sana, dan desir di dadanya tak lagi sama. Memang masih ada, tetapi ia tahu rasanya berbeda. Sekian tahun ia berusaha menghilangkan cintanya untuk wanita itu dan selalu gagal. Rupanya, bukan menghilangkan cinta, yang benar adalah menepikannya. Agar tak menjadi penghalang bagi cinta baru yang mungkin saja akan hadir suatu saat nanti.
Ya, Evelyn telah menikah.
Usaha yang wanita itu lakukan demi memupus harap bersamanya adalah dengan menikah. Luar biasanya, pernikahan setengah hati yang dulu Evelyn jalani, kini telah berubah menjadi penuh. Karena suami Evelyn, berhasil membuat wanita itu terlena. Lalu menutup kisah antara mereka berdua, dan melanjutkannya sebagai seorang istri yang bahagia.
Dylan tidak marah karena Evelyn lupa. Ia justru turut menyumbangkan tawa.
Dylan Alkantara :
Oke. Aku tunggu.
***
“Hujannya deres, ya, Nek?”
Marta memajukan bibirnya sambil bersidekap. Berdiri dengan posisi menyamping, Marta menumpuhkan sebagian bobot tubuhnya pada dinding bercat hijau yang kini telah terasa dingin. Ia pun telah melapisi kemejanya dengan sweater namun rambutnya yang ulala, ia biarkan tergerai manja.
“Tumben nih para pemilik testis nggak berani nerobos hujan demi ngeliat gue,” decak Magissa sinis. Ia duduk sambil menopang sebelah pipinya di meja. Ia tatap lalu lintas di depan sana, tapi tak lama. Karena setelahnya ia malah menguap. “Gue tinggal tidur juga nih warung,” tambahnya sembari merebahkan kepala ke meja.
“Pelet lo udah nggak kenceng kali, Nek? Balik deh ke dukunnya, minta tambahin tanam emas gitu,” celetuk Marta tertawa. “Atau kita pelihara tuyul aja, yuk? Gue deh yang nyusuin tuh tuyul nanti,” ucapnya lagi sambil memutar-mutari payudara imitasinya dengan bangga.
Magissa malas menanggapi. Kantuk yang tak biasanya menyerang sepagi ini, membuatnya ingin sekali memejamkan mata. Demi menebus waktu tidur malamnya yang kurang karena harus bangun jam tiga pagi tiap harinya. “Kapan ya, gue bisa kayak orang-orang yang tiap hujan datang, malah tarik selimut terus molor sampai jam sebelas siang gitu?”
“Nanti, kalau lo jadi bini keduanya Ardi Bakrie,” celetuk Marta tertawa.
“Itu si Nia Ramadhani, pernah nggak ya ngerasain bangun jam tiga pagi terus langsung berkutat di air, nyuci beras, ngebelender cabe, goreng ayam, gitu?”
Terbahak-bahak, Marta memilih berjalan menuju etalase makanan mereka. “Yuk, lah, mumpung fans setia lo masih kelonan sama bininya masing-masing, kita sarapan dulu, yuk? Gue udah lama banget nggak makan bubur ayam dengan khidmat.”
Magissa biarkan, waria itu mengolah sendiri bubur ayam. Bibirnya kembali mencebik, ketika tak sengaja melihat angka di jam dinding. Wajahnya menjadi kian masam saja. Bukan apa-apa, pagi ini baru ada lima orang yang membeli bubur ayamnya. Padahal biasanya, di jam tujuh pagi seperti ini ia sudah bisa menjual lebih dari dua puluh porsi.
Ah, kenapa sih hujan harus pagi-pagi?
“Bebs …”
Tiba-tiba saja, Marta sudah berada di sebelah Magissa. Dengan tangan yang tak berhenti menoel-noel, lengan wanita itu. “Apa?” sunggut Magissa. “Nggak usah ganjen, Cong! Kalau mau kembali ke jalan yang benar, nggak usah nerima hidayahnya melalui gue. Ogah gue, jadi pencerahan buat lo!”
“Mulut lo jangan ngegas mulu,” Marta mendesis seraya melirik sadis. “Ada dewa hujan noh, di depan. Dari tadi, ngomong permisi-permisi doang. Ah, gue nggak kuat kalau ngadepin yang begituan sendiri, Bebs. Facial hairnya, nggak nahan.”
Mau tak mau, Magissa mengikuti arah pandang Marta. Ia mencoba menajamkan indera, namun akhirnya memilih berdiri juga.
“Nah ‘kan? Dalam sekali pandang aja, gue udah bisa merasakan geli-geli endess di tengkuk gue, Bebs.”
“Permisi …”
Dan dewa hujan yang dimaksud oleh Marta adalah pria berpayung biru gelap dengan stelan jas abu-abu tanpa dasi. Berdiri menjulang dengan bahu lebar ditemani sorot mata tajam, namun anehnya tidak nampak kejam. Benar, apa kata Marta tadi. Bulu-bulu yang tumbuh di sekitar rahang pria asing itu membawa dampak lain dalam sistem terbangnya kupu-kupu di perut Magissa. Sungguh membuat berdesir, lalu bayangan yang iya-iya sibuk bermain di benaknya.
Ah, sialan!
Bukankah yang magis di sini adalah namanya? Tapi kenapa, justru aura yang berada di sekeliling pria itulah yang tampak begitu mencekam?
Well, selain bertubuh tinggi, pria asing itu berpenampilan sangat rapi. Rambutnya berpotongan pendek dengan sisiran teratur yang membuatnya tampak apa ya? Ehm … berkelas.
Namun, facial hair yang tumbuh di area sekitar rahangnya, membuat tampilan pria tersebut kelihatan liar. Struktur tulang rahangnya tegas dan Magissa tak bisa menghentikan khayalannya mengenai betapa beruntungnya wanita-wanita yang pernah menggigit rahang menggelitik itu. Hidungnya mancung menantang. Entah sudah berapa ceruk leher perempuan yang merindukan sapuan ujung hidung tersebut di kulitnya. Napas hangat yang menerpa kulit, tentulah merupakan paduan yang ciamik bila berkolaborasi dengan gesekkan bulu-bulu kasar di sekitar rahang.
Ya Tuhan … bolehkah ia mengerang sekarang?
Bahunya lebar, enak untuk dibuat bersandar. Dan karena pria itu mengenakan jas, Magissa tak bisa menilai seberapa menggemaskannya bokong sekal yang berada di balik pakaian semi formal itu.
Ugh … Oh … apa baru saja ada yang mengatakan soal bokong?
“Nek, dese nyamperin!”
Tepukkan heboh si bencong di belakang punggungnya, membuat Magissa buru-buru tersentak. Ia mengerjap dua kali, hanya untuk meyakini bahwa pria-pria lezat mentereng seperti itu, memang lebih asyik bila hidup mengendap di kepalanya saja.
“Nek, dese bule bukan sih?”
Aduh, ini waria satu bisa diam tidak sih? Kan dirinya juga ingin fokus menikmati.
“Iya, mau beli apa?” Magissa berdeham sekilas. “Bubur ayam ada, nasi uduk juga ada.” Berlalu bak model kelebihan pantat, Magissa mengatur langkahnya sepelan mungkin. “Mau makan di sini atau dibungkus aja?” ia sudah menyibakkan tirai yang menutupi etalasenya. Menjangkau apron yang belum sekali pun ia ganti sejak setahun yang lalu, Magissa mengikat tali apronnya segera. “Mau beli apa?” lantas, ia pun menoleh.
Dylan tak mengerti.
Payung yang berada di tangan, telah ia turunkan. Ia tatap dua orang wanita yang terlihat berbeda itu, bergantian.
Baiklah, ketika ia katakan berbeda, maka hal itu memang benar. Well, bagaimana ya dia harus mengatakannya? Intinya, yang satu terlihat seperti perempuan pada umumnya dengan tubuh pendek, sementara yang satu lagi cukup menarik perhatiannya. Tapi menarik perhatian di sini menggunakan tanda kutip. Tepatnya wanita yang memiliki bahu lebar, rahang persegi dan tinggi yang sepertinya tidak berbeda jauh darinya.
Astaga … bukan saatnya tuk memikirkan hal-hal seperti itu.
Menggelengkan kepala tak kentara, Dylan berjalan lagi menuju wanita berapron pudar itu segera. “Saya mau menukarkan uang,” katanya sopan. “Juru parkir di depan minimarket itu, tidak memiliki kembali. Lalu, dia menunjukkan tempat ini. Kata beliau, pemilik warung memiliki banyak uang kecil.”
Ugh! Suara pria itu dalam dan berat. Walau tutur katanya bagai membaca teks proklamasi dengan bahasa baku yang kaku, tetapi begitu sampai ketelinganya terdengar seperti Bradley Cooper sedang menyanyikan opening lagu Shallow.
Ah, apa sekarang Magissa boleh melayang?
Tapi tunggu dulu! sebelum ia terkapar saking terlenanya. Pria tadi mengatakan apa?
Menukar uang?
What?!
“Apa? Mau tukar uang?”
Dylan mengangguk, lalu mengangsurkan uang seratus ribu yang sedari tadi digenggamnya. “Juru parkir di sana tidak memiliki kembali. Dia juga menolak ketika saya memberikan semua uang ini kepadanya. Dia menginginkan tarif yang biasa saja. Katanya dua ribu rupiah.”
Maka, tercenganglah Magissa berikut Marta yang ternyata telah mengikutinya.
Sungguh, pria itu menyodorkan uang seratus ribu dengan tatapan tak bersalah. Dan yang bisa Magissa serta Marta lakukan adalah saling melempar tatapan tak percaya.
“Jadi, bisa saya menukar uang di sini?”
Tak mampu berkata-kata saking speechlessnya, Magissa langsung menarik laci tempat menyimpan uang. Mengambil uang selembar dengan nominal yang pria tadi sebutkan. Magissa meletakkan uang itu di atas uang seratus ribu milik pria tersebut. “Nih, anggap aja gue amal,” katanya tanpa selera.
Ya Tuhan … imajinasi liarnya tadi langsung ambyar karena perkara uang dua ribu perak.
“Saya menolak diberi secara cuma-cuma,” Dylan menatap wanita itu tajam. “Saya benar-benar ingin menukar uang.”
Berdecak, pujian Magissa pada pria tadi langsung menguap. “Dan gue bukan Bank. Gue nggak sedia receh!”
Tercenung lama menatap uang dua ribu, Dylan lalu mengalihkan tatapan pada mobilnya yang berada di seberang. Tata berada di dalamnya, sedang meminum yogurt. Itulah yang membawanya mampir ke mini market. Ia membayar menggunakan kartu kredit, tak pernah ingat kalau kadang-kadang banyak juru parkir liar yang berkeliaran. Menghela, Dylan menarik uang tersebut bersama dengan uangnya tadi. “Terima kasih. Saya pasti akan menggantinya.”
“Nggak usah!” sergah Magissa segera. “Gue jarang amal. Siapa tahu kan, kalau amal sama orang kaya, bisa ngeganti judul sinetron Tukang Bubur Naik Haji, jadi Tukang Bubur naik Kasta?”
Sementara Marta dan Magissa cekikikan, Dylan justru mengerutkan kening semakin dalam.
“Maksudnya?”
“Itu lho Mas ganteng, sinetron Tukang Bubur yang legend itu. Masa nggak tahu sih?” kikik Marta sambil mengedipkan sebelah mata.
Mendapat perlakuan seperti itu, Dylan langsung meringis. Ia mengambil satu langkah mundur seraya berdeham. “Maaf, saya benar-benar tidak tahu mengenai apa yang kalian bicarakan. Tapi, saya sedang buru-buru. Dan saya akan menganggap uang ini sebagai utang. Saya pasti akan segera membayarnya.
“Ck, dibilang nggak usah juga, ngeyel dah!” keluh Magissa sewot. “Tapi kalau lo mau beneran balikin. Kembaliin pake duit dua ratus ribu, atau dua milyar sekalian.”
Ugh, lain kali ia bila Magissa berjumpa dengan takdir di tengah jalan, ia akan minta kompensasi atas derita yang ia lalui pagi ini.
Eh tapi tunggu? Pria tadi itu siapa namanya, ya?
Kok sudah pergi saja? Kan Magissa belum sempat berkenalan!
“Sa, doi naik mercy!”
“Terus?”
“Selingkuhannya si Yumna kan naik mercy, Sa!”
***
3. Rasa Yang Tak Lagi Sama
Dulu, saat wanita itu berada dalam satu ruangannya yang sama dengannya, Dylan pasti akan memilih posisi terjauh untuk berdiri. Bukan karena tak suka, melainkan bahagia yang meletup-letup di dadalah yang membuatnya harus menyingkir dari sana. Ia akan berada di pojok ruang, memandang hanya pada satu titik saja. Hingga tak jarang, bibirnya kan melengkungkan senyuman.
Dan bila dalam curi-curi pandang itu, mereka tak sengaja bersitatap. Wanita berambut cokelat itu, pasti tersenyum sangat lebar padanya. Pendaran matanya berubah bahagia, lalu mereka akan mencoba keluar tanpa ketahuan. Mencari tempat teraman, sebelum melabuhkan satu pelukan untuk menyatakan cinta serta penyesalan.
Sesal, karena tak bisa bersama walau mereka saling cinta.
Sesal, karena ingin berpisah namun tak kuasa.
Bertahun-tahun memelihara secercah asa, berharap keajaiban akan membuat keduanya tak pernah lahir dalam keluarga yang sama. Tetapi akhirnya, mereka bisa apa? Saat nama belakang yang disandang masing-masingnya tetap serupa.
Ah, mereka hanya sepupu.
Berbuat gila pun mereka bisa.
Namun, keduanya masih waras untuk tak menoreh luka keluarga hanya karena rasa yang tak bisa mereka pelihara.
Dan kini, Evelyn-nya telah bahagia.
Tawa tak surut dari saudaranya yang cantik jelita. Dengan dua orang balita perempuan yang serupa eloknya, Dylan sadar diri untuk tak merusak apa-apa.
Sekarang, tatapannya pun tak lagi pada wanita itu. Telah teralih pada balita menggemaskan berusia tiga tahun yang sedang bermain seluncuran di dalam kantornya. Well, benar-benar seluncuran. Dan itu sebenarnya adalah mainan Tata, berikut dengan satu set mandi bola yang terletak tepat di sudut ruangan.
“Letta, kita harus makan dulu. Abang Harry sedang makan sekarang. Letta juga harus makan,” Dylan membujuk putri sulung dari cinta pertamanya itu untuk mengisi suplai karbohidrat. “Ini sudah jam makan siang, Letta. Perut Letta bisa sakit.”
Balita itu menatap Dylan lama, sementara rambut hitam sebahunya bergoyang mengikuti gelengan kepalanya. “Nti, ya, Uncle. Mau main duyu.”
“Dulu, Sayang,” Dylan mengoreksi. Ia terbiasa memperbaiki kosakata yang salah dari bibir keponakan-keponakannya. “Letta sudah capek. Uncle, Mama, juga Aunty, ingin makan siang.”
“Ngerayu anak-anak itu, mbokyo pakai nada beda dong, Lan? Masa lo samain ngomong sama anak-anak kayak ngomong sama kolega bisnis,” decak Kenya—sepupu Evelyn, yang hari ini ikut mengunjunginya di restoran. Dan Kenya ini juga sudah memiliki anak. Harry namanya dan usianya hampir empat tahun bulan depan. “Eh, tapi gue lupa, kalau lo begitu mencintai ejaan yang disempurnakan dalam kamus bahasa Indonesia,” celetuknya menyindir.
Dylan mengabaikan. Meladeni Kenya, tak akan ada habisnya. “Ayo, Letta.”
Saat Letta tak juga mau berhenti bermain, Evelyn pun turun tangan. “Kakak nggak mau makan?” tanyanya pada sang putri. Lalu beranjak dari sofa setelah memberikan Olla—putri keduanya pada pengasuh yang ia ajak juga. “Kakak tadi bilang apa sama Mama? Kangen Uncle Dy, Kan?” kepala bocah itu mengangguk. “Nah, kalau begitu, kenapa nggak nurut sama Uncle?”
Letta tak langsung menjawab pertanyaan ibunya. Anak kecil yang memakai dress berwarna merah muda itu, tampak berpikir. Lalu, tanpa mengatakan kalimat apa pun, ia keluar dari bak permainan. Berjalan lucu ke arah Dylan dengan tangan terentang. “Maaf, Uncle,” katanya penuh kesopansantunan. Evelyn mendidiknya dengan sangat baik. “Mamam?”
Dylan tersenyum, untuk kata yang satu itu dia tak akan mengoreksi. Sambil mengangkat Letta dalam gendongan, kecup pipi gembil itu sekilas. “Sehat terus, Sayang,” bisiknya tulus.
Begini saja, dan Dylan bahagia.
***
Marta mendesah, kepalanya menggeleng-geleng bak orang tua. Kedua tangannya bersidekap di atas dada. Matanya terus saja menatap ke depan. Tepatnya ke arah Indoapril yang berada di sebrang jalan sana. Minimarket yang telah ia labeli misterius. “Gue yakin banget, tuh mobil yang sering ngejogrok di depan rumahnya Haji Gofur, Nek,” gumamnya untuk yang kesekian kali.
Magissa mendengkus. Ia lempar serbet basah hingga mengenai punggung waria itu. Marta tentu saja langsung menjerit heboh. Magissa jatuhkan pantatnya di kursi plastik, tugas membersihkan meja telah selesai. Tinggal bagian si waria itu saja nanti yang membuang sampah-sampah. Bahkan, kalau Marta ingin membuang dirinya sendiri, Magissa tak akan melarang. Malah ia akan mengapresiasi, sebab sebagai sampah masyarakat ternyata Marta punya kesadaran sendiri.
Hahaha .. apa sekarang ia terdengar jahat?
Oh, mungkin itu karena pengaruh keuntungan yang naik dua puluh persen hari ini.
Well, jadi ceritanya, setelah hujan reda, pelanggan-pelanggan setianya pun muncul juga. Dan karena mereka telah membuat Magissa menunggu terlalu lama, Magissa mengatakan harga bubur ayamnya khusus hari ini naik. Itu semua disebabkan oleh waktunya yang terbuang sia-sia karena menunggu mereka datang.
Apa ada yang protes?
Tentu saja ada. Tetapi tak bertahan lama, apalagi setelah ia memberikan lenggokkan pantat semoknya pada mereka.
“Lo juga tadi sih, Nek, malah judesin dese. Harusnya, lo minta nomor hapenya,” Marta masih membahas peristiwa pagi. “Setelah ngeliat lekong-lekong kayak tadi, bikin jiwa gue mantap memiliki rahim. Bukan apa-apa, gue pengin ngerasain segimana hangatnya waktu susu kental asin doi menyembur di mulut rahim. Lalu bersatu manja dengan sel biawak di dalam perut eike hingga akhirnya membentuk kesejatian baru yang bobok-bobok cakep disindang,” Marta mengelus-elus perutnya dengan menutup mata.
“Ya Tuhan, kenapa sih gue harus memperkerjakan bencong halu macem gini?” keluh Magissa meratap. “Tapi ya, di mana-mana bencong memang halu.”
Marta tidak tersinggung. Dengan jalan ala penguin, ia mendatangi Magissa. “Naikin gaji gue dong, Nek? Biar impian gue cepat terkabul. Terus, kalau gue udah masuk jajaran sosialita ibu kota nanti, gue nggak bakal ngelupain jasa lo kok.”
“Jangan ngedip-ngedip najis gitu bisa nggak sih?!”
Marta langsung cemberut. “Tapi, Nek, gue yakin banget tuh mobil yang sering nyamperin rumahnya Haji Gofur kalau pagi. Kira-kira siapanya Haji Gofur ya? Gue nggak yakin kalau cowok tadi selingkuhannya Yumna.”
“Supir taksi online kali, Mar.”
“Ah, keterlaluan nggak nyambung kalau lo, mah.”
“Ya, habis siapa dong? Lo juga ‘kan tahu, kelakuan orang kaya tuh suka nyeleneh. Kali aja, laki tadi lagi gabut, terus butuh kegiatan buat menemani sepi,” celetuk Magissa asal. Lalu terbayang lagi wajah pria tadi dan membuat senyumnya merekah. “Ganteng, ya, Mar?” kekehnya mencolek-colek Marta. “Bulu-bulu kenikmatannya, ada di mana-mana. Keliatan banget tuh orang sombong, ya? Pamer gitu dia.”
“Ho’oh, Beb. Mentang-mentang mentereng, dese jadi pamerudin gitu. Sambil bawa payung aja keceh, gimana ya kalau dia ngebawa gue dalam dekapan?” Marta mulai mengkhayal lagi. “Ah, gue harus selidiki, apa yang ngebuat dia nyamperin rumah Haji Gofur tiap pagi!” serunya penuh tekad. “Menurut lo, namanya dia siapa, ya, Beb?”
“Yang jelas, bukan Bambang!”
***
Seperti biasa di tiap malamnya, Magissa dan Marta tak pernah makan malam di rumah. Mereka selalu gentayangan mencari penganan pengganjal perut karena terlalu malas untuk kembali berkutat di dapur dan masak lagi.
Mereka sedang menertawakan ekspresi polisi yang melakukan razia di pertigaan tadi, setelah dengan biadabnya Marta malah membelokkan motor ke arah pusat razia. Tentu saja, Marta memiliki kelengkapan surat-surat, makanya dengan jumawa dirinya mencari-cari masalah pada Satlantas berompi hijau.
“Gue yakin banget, setelah malam ini, polisi tadi nggak bakal mau ikut kalau disuruh razia di sana lagi,” kekeh Magissa tertawa. Ia tepuk-tepuk helm berlogo perusahaan yang sama dengan motor matic yang tengah mereka tumpangi ini. “Elo sih, pake nawarin borgol saya saja, Pak. Hahaha … kampret lu!”
“Ya, gimandose dong, polisinya unch gitu. Gemesin, pengin jadi penjahat kalau liat kumis tipisnya,” kelakar Marta tergelak puas.
Magissa menoyor Marta, namun tak mengatakan apa-apa. Karena kini, retinanya tengah sibuk memperjelas penglihatan. Mereka hampir sampai di depan rukonya. Namun, ada sebuah mobil yang parkir dengan sopan di sana. Sebenarnya, hal itu tak jadi masalah. Karena masalah sesungguhnya terletak pada sosok yang duduk tegang di atas bangku panjang reyot yang memang tak pernah mereka masukkan ke dalam. “Mar, lo ngeliat ada yang aneh nggak sih di depan ruko kita?”
Marta memang tak menyahut, namun mendadak saja ia menarik rem depan. Nyaris saja mereka jatuh, kalau Marta tidak segera menurunkan kakinya guna menyanggah. “Nek, dese nyata?”
Magissa juga tidak tahu.
Ketika jarak antara dirinya dan pria itu makin dekat, pria tersebut pun menyadari kehadirannya. Lalu berdiri menjulang sembari mengangguk samar. Sialannya, setelah pria itu berdiri, Magissa merasa ia baru saja menjadi Hobbit dalam Trilogy Film The Lord Of The Ring. Sebab bagaimana tidak? Dengan tinggi yang hanya mencapai 149 cm, Magissa harus dibuat terengah oleh pria yang ia yakin tingginya lebih dari 180 cm.
Astaga … kenapa pas tadi pagi nggak keliatan jomplang gini, ya? batinnya mengeluh protes.
“Selamat malam,” kata Dylan menyapa.
Magissa segera berdeham agar bibir bawahnya yang tadi terbuka akibat terperangah. “Mau ngapain?” tanyanya sok tak peduli. Biasa perempuan, jual mahal dulu deh.
“Saya mau membayar utang saya pagi tadi,” kata pria itu tenang.
“Utang?”
Kepala Dylan mengangguk. “Ya, dua ribu rupiah,” lanjutnya tetap tenang.
Marta telah berada di sebelah Magissa. Motornya terparkir di belakang mereka. “Dia mau ngapain, Beb?” bisiknya cepat-cepat.
Magissa tak menggubrisnya. Ia masih menatap pria tegap yang ada di depannya ini dengan tatapan tak percaya sekaligus takjub. “Jadi, lo beneran nganggap yang dua ribu perak tadi pagi itu utang?”
“Ya,” jawab Dylan sekenanya. Lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dari dalam saku celana. “Saya tidak bisa mengembalikannya menjadi dua milyar. Karena itu, saya kembalikan dua ratus ribu.”
Dan di tengah takjub yang tak bisa Magissa urai. Celetukan bangsat dari Marta, mewakili semua ketidakpercayaan yang ada di dadanya.
“Gue nggak percaya, kalau masih ada manusia yang nganggap ocehan Magissa itu serius.”
Benar! Magissa pun tidak!
Tapi ini?
Meringis horor, Magissa bertukar pandang dengan Marta. Lalu secara bersamaan, menaruh perhatian pada kaki pria itu yang ternyata menjejak tanah.
Serius, rupanya pria itu adalah manusia sesungguhnya.
***
4. Dylan 1984
Dalam dunia Magissa, ia hanya mengenal dua tipe lelaki. Yang pertama itu, tampan. Sementara yang kedua lumayan tampan. Sama seperti cara ia menilai wanita, cantik dan lumayan cantik. Yang intinya tetap saja ada kata cantik di dalamnya. Serius, ia paling tidak suka melabeli orang dengan kata jelek. Menurutnya, hal itu sangat menyinggung.
Jadi, bila Magissa yang cantik jelita ini boleh memberi nasihat, katakanlah pada temanmu yang frustrasi dengan wajahnya karena tak serupa dengan Anne Hathaway, jangan berkecil hati. Karena sesungguhnya seluruh wanita itu cantik. Kalau tidak percaya, dengarkan saja lagu beautiful yang dipopulerkan Cherrybell dulu.
Ah, baiklah, ia akan mengembalikan fokusnya saja pada pria yang dijuluki Marta sebagai setengah dewa. Entah itu Dewa 19, atau Dewata Yang Agung, yang jelas kalau waria telah mengeluarkan sebuah jargon, maka tak lama lagi hal itu akan viral.
“Saya ingin mengembalikan utang saya pagi tadi. Dan saya juga ingin minta maaf, kalau kedatangan saya sebelumnya tidak sopan.”
“Ini maksudnya, apa?” sekali lagi Magissa bertanya guna meyakinkan dirinya bahwa pria di depannya ini terlalu polos, hingga ia sungguh-sungguh tak sabar untuk melihat seperti apa rupa pria tersebut saat benar-benar polos dalam tanda kutip. “Lo mau ngeganti duit dua ribu yang gue kasih tadi pagi?”
Saat pria itu mengangguk, Magissa akhirnya mengerang.
“Lo serius?”
Dylan tetap tenang seperti sebagaimana ia biasa bersikap. “Kamu bilang, saya harus mengembalikannya dengan uang senilai dua ratus ribu atau dua milyar. Dan saya memilih dua ratus ribu,” jelasnya terstruktur.
“Dan lo nganggap serius omongan gue tadi?” saat pria itu kembali mengangguk, rasanya Magissa ingin melemparkan tubuhnya saja. Lalu berguling-guling nista di tanah, sampai mereka lelah.
Hening cukup lama, hingga akhirnya Marta kembali menunjukkan eksistensinya sebagai the next Lucinta nggak Luna. Biadabnya, yang dilakukan Marta adalah tertawa keras dengan suara laki-lakinya. “Duh, sori-sori,” ia mencoba menghentikan tawanya ketika mata pria itu menatapnya dengan kening berkerut serius. “Abisnya lo lucu banget deh, Bang,” katanya seraya menyatukan kedua telapak tangan di atas dada. “Ya Tuhan, si Nek Lampir ini cuma bercanda kali, Bang.”
Menepuk pundak Marta keras, Magissa mendelik buas menyuruh waria berisik ini diam.
Tapi, Marta tak mempan hanya dengan delikan. Lidahnya akan alergi, bila ia tak bicara banyak. “By the way, nama lo siapa, Bang?” kali ini, suara kemayu yang dibuat-buat terdengar dari bibir Marta yang penuh. “Kenalan dong, Bang,” imbuhnya lagi ketika melihat pria tersebut nampak tegang. “Gue Martala Syalala dan Alala. Dia, Magissa. Sebenarnya mau dikasih nama Magis sama bokapnya, soalnya pas lahir dia emang nyeremin,” kikik Marta sok anggun.
Menyaksikan semua itu, Dylan menelan ludah. Ternyata, penilaiannya mengenai wanita itu benar adanya. Well, haruskah kini Dylan turut merevisi panggilan wanita untuk seseorang yang berdiri tak jauh di depannya ini?
“Bang, tak kenal maka tak sayang lho,” Marta lantas mengulurkan tangan ke depan. “Tangan gue steril kok, Bang. Lagian ini tangan kanan, tangan berbuat kebajikan.”
Dylan berdeham, rautnya yang sedari tadi tenang, mulai resah ketika wanita yang tak biasa itu mengulurkan tangan. Tak mungkin ia menepisnya, itu akan terlihat sangat tidak sopan. Jadi, dengan helaan napas panjang yang berhasil ia samarkan, Dylan pun mengulurkan tangan demi sebuah formalitas. “Dylan,” katanya pendek.
Wajah Marta langsung berseri-seri. “Wah, dia Dylan, Beb,” adunya pada Magissa. “Btw, Dylan 1990 atau 1991?”
Satu alis Dylan terangkat naik. Ia tak mengerti maksud wanita bertelapak tangan kekar itu. “Saya lahir 1984, tidak di tahun 90an.”
Klarifikasi yang benar dari Dylan, namun mendapatkan tanggapan heboh dari lawan bicaranya.
“Ah, kan harusnya gue tadi ngenalin diri sebagai Milea, biar bisa bersandar nyaman di punggung Dylan,” lagi Marta berseru.
Dylan berdeham mencoba tuk melepaskan genggaman tangannya dari tangan Marta. “Maaf, tapi saya ke sini hanya ingin mengganti uang yang tadi pagi saya pinjam.” Akhirnya, dengan tarikan yang cukup keras, Dylan berhasil membebaskan tangannya. “Saya mau mengembalikan uang kepada kamu.”
Magissa tak segera menjawab. Ia tatap pria itu lengkap dengan tangan bersidekap. Sebenarnya, Magissa tak sengaja membuat pose seperti melipat tangan hingga membuat dadanya menjulang bulat di depan. Tapi mau bagaimana lagi, kan ia sedang mencoba menilai seseorang. Sudahlah tidak masalah, ya?
Namun, bagi Magissa masalah tersebut hadir setelah ia membuat pose menantang itu. Karena tak seperti pria pada umumnya, yang pasti akan mencuri-curi pandang ke dadanya, pria yang mengaku bernama Dylan ini justru tetap tenang. Bola matanya pun demikian. Tetap saja memandangnya lurus, tanpa ada sedikit pun lirik-lirikkan mematikan mengarah ke dadanya.
Ah, kalau sudah begini, Magissa jadi kesal sendiri.
Ck, baiklah ia tak akan membuat segalanya mudah.
Ia berdeham singkat seraya melepaskan tautan tangan di atas dadanya. “Gue nggak bisa nerima duit itu,” katanya dengan mimik malas. “Gue bukan rentenir. Jadi, gue nggak bisa nerima uang riba,” tambahnya sambil merogoh saku celana guna mengeluarkan kunci dari sana. “Kalau lo mau bayar utang, cukup bayar sesuai nominal yang udah lo pinjem. Lebih dari itu, gue nggak bisa terima.”
“Tapi, saya tidak punya uang dua ribu rupiah itu sekarang,” Dylan melihat wanita itu akan berlalu, jadi ia buru-buru mencegahnya.
Magissa hanya mengedikkan bahu, merasa bahwa dalam permainan tarik ulur ini ia sudah menang. “Kalau gitu, datang lagi nanti sewaktu lo udah punya duit segitu,” katanya santai. Lalu mengedip jenaka pada Marla di sebelahnya. “Ayo, Mar, masuk. Udah malam nih. Kita butuh bobok-bobok kyeopta sekarang.”
***
Sebagai seorang anak yang lahir dari keluarga pengusaha, Dylan tak serta merta langsung mencari jalan pintas dengan ikut bergabung pada perusahaan milik keluarga. Walau sebenarnya hal itu lumrah, mengingat sang kakek telah meninggal dunia dan ayah serta pamannya pun telah menua juga. Namun, Dylan tak ingin ikut-ikutan mengelolah perusahaan. Ia serahkan tanggung jawab besar itu pada saudara-saudaranya yang lain.
Lalu dengan segenap kemampuan yang ia miliki, ia coba membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Bidang kuliner menjadi pilihannya. Namun, tidak sebagai koki, melainkan pemilik restoran.
Bisnisnya sendiri tidak berjalan mulus. Setelah kehilangan dua cabang restorannya yang berada di luar kota karena alasan internal. Dylan memutuskan hanya akan fokus pada restoran yang mampu ia jangkau tiap hari saja.
Dan kini, ia sedang berada di balik meja kerja. Matanya serius membaca tiap laporan yang setengah jam lalu ia terima. Ia tak mau kecolongan lagi, makanya ia lebih berhati-hati sekarang. Bukan hanya perkara untung rugi, reputasi pun harus ia jaga. Nama Smith yang berada di belakang namanya, cukup membuatnya selalu berpikir dua kali sebelum bertindak. Tetapi tiba-tiba saja, ia teringat sesuatu. Kepalanya langsung terangkat dan tangannya segera menyentuh intercom, memanggil sekretarisnya.
“Bapak panggil saya?” sesosok perempuan berhijab muncul setelah pintu diketuk. Krystal langsung menghampiri bosnya. “Ada apa, Pak?”
Dylan mendongak sebentar, lalu kembali menekuri pekerjaannya dan membiarkan Krystal menghampiri. “Tanyakan pada kasir, apa mereka memiliki uang kecil senilai dua ribu rupiah. Kalau ada, tolong minta selembar dan berikan pada saya. Kamu bisa?” Dylan paling tidak suka memiliki tunggakan. Dan semalaman, ia sudah mencari uang kecil di apartemennya namun tak ada yang bisa ia temukan.
Walau dengan kening berkerut, Krystal pun hanya bisa mengangguk. Seperti biasa, ia akan mengerjakan semua perintah atasannya dengan mengerem segudang pertanyaan. Ia baru saja hendak undur diri, saat pintu berbahan mahoni itu terketuk lagi, lalu Karin—manager restoran muncul dari baliknya.
“Pak,” sapa wanita itu sopan. Ia berjalan melewati Krystal dengan senyum kecil. “Ini adalah daftar menu baru dan juga daftar harga bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat satu porsi masakan yang direkomendasikan oleh chef kita, Pak.”
Dylan menerimanya. Ia buka map tersebut dan hanya melihatnya sekilas. “Saya akan memeriksanya nanti setelah jam makan siang. Seperti biasa, buatkan tester untuk lima porsi, kemudian undang para kritikus makanan untuk mencicipinya. Catat semua yang dirasa kurang, tapi kalau mereka mulai keterlaluan dalam mengkritik, sudahi pertemuan itu. Beri kesimpulannya kepada saja dua hari sebelum makanan itu tercantum di daftar menu kita.”
“Baik, Pak, saya mengerti.” Karin mengangguk tegas.
“Oh, ya, Karin,” Dylan melepas kacamata baca yang selalu ia gunakan bila sedang bekerja. Sembari memijat pelipis, Dylan menyandarkan punggung.
“Ya, Pak. Ada apa?”
“Saya meminta Krystal untuk mencari uang kecil senilai dua ribu rupiah pada kasir kita. Tapi saya rasa, mereka juga tidak memilikinya. Jadi, bisa saya minta tolong kamu untuk menukarkan uang saya?” Dylan melihat arloji di tangan demi memastikan waktu. “Saya tidak sempat ke bank lagi. Ada janji makan siang hari ini.”
Karin tersenyum kecil. Bertahun-tahun bekerja di bawah ke pemimpinan seorang Dylan Alkantara Smith, ia tak lagi terkejut ketika mendengar bosnya itu berbicara begitu formal. “Bapak butuhnya berapa lembar?” tanya Karin ingin tahu. “Kalau tidak terlalu banyak, saya punya di mobil, Pak. Biasanya buat kembalian kalau parkir gitu.”
“Oh, ya?” Dylan benar-benar takjub. Ia tidak memiliki uang kecil karena sepulang kerja tak pernah ke mana-mana. Hanya restoran, apartemennya atau rumah keluarganya saja. Selebihnya, ia nyaris tak ke mana-mana. “Kamu benar-benar memilikinya?” Karin mengangguk yakin. Dan hal itu membuat Dylan terlihat lega. “Saya hanya butuh satu lembar, Karin. Bolehkah saya meminta uang itu kepada kamu?”
“Tentu aja, Pak. Kalau cuma dua ribu, saya bakal kasih, Pak. Toh, Bapak selalu ngasih saya berjuta-juta tiap bulan,” kelakar wanita itu santai. “Saya ambil sekarang, ya, Pak?”
Dylan mengangguk. Sambil menarik laci meja kerja, Dylan mengambil selembar amplop kosong dari sana. Ia berencana akan memasukkan uang tersebut ke dalam amplop, lalu sore nanti segera membayarkan utang.
“Kalau boleh tahu, Bapak butuh untuk apa, ya?”
Wajah Dylan, jauh lebih tenang dari sebelumnya. Saat ia memakai kembali kacamatanya, Dylan hanya melempar senyum kecil pada bawahannya itu. “Saya punya utang pada seseorang, Karin. Dan orang itu sangat baik dengan meminjamkan saya uang, padahal kemarin adalah pertama kalinya kami bertemu.”
“Dan utang bapak itu berapa, ya?”
Dylan tak lagi menatap Karin, ia membuka map yang tadi sempat di tutupnya dan kembali membaca. “Dua ribu rupiah.”
Andai orang yang mendengar nominal utang itu bukan stafnya, Karin yakin tak hanya mendapat putaran bola mata. Bosnya yang kaku itu, pasti juga akan mendapatkan makian, saking kesalnya mendengar jumlah nominal utang tersebut.
Ah, elah … perkara dua ribu perak!
***
5. Sebelum Semuanya Gelap
Dylan mendesah begitu keluar dari mobil. Lehernya terasa berat, setelah seharian hanya berkutat di kantor demi menyelesaikan pemeriksaan berkas-berkas yang berkaitan dengan omzet restoran. Dan ketika sudah menjejakkan kaki di basement, mendadak ia merasa bahwa hunian tempat tinggalnya sangat jauh. Ia harus berjalan lagi menuju lift, lalu menunggu sampai benda persegi itu mengantarnya di lantai dua belas.
Melipat jas yang sedari tadi ia kenakan, Dylan meletakkannya di atas lengan. Kakinya yang panjang mulai melangkah, sementara satu tangannya lagi tersimpan di saku. Merasa ada yang janggal di dalam saku celananya, Dylan pun menarik benda yang tersimpan di sana. Kemudian berhenti sejenak demi menekuri amplop putih di tangan.
Astaga …
Ia lupa.
Menatap arloji, Dylan pun kembali mendesah. Hampir jam delapan malam. Dan dirinya tak ingat untuk mengembalikan utang. Padahal, ia sudah menyiapkannya tadi.
Well, bagi Dylan, sangat tidak sopan memberikan uang pada orang kalau tidak menggunakan amplop. Tak terkecuali uang senilai dua ribu rupiah. Niatnya, akan mengembalikan sore tadi. Namun kesibukkan membuatnya lupa.
Ia berniat segera melajukan mobilnya lagi. Namun, bunyi klakson dari mobil yang parkir di dekat mobilnya, menghentikan langkahnya. Ia mengenal pemilik mobil itu.
“Mas?” pintu mobil terbuka. “Baru pulang?”
Dylan menunggu sampai adik bungsunya mendekat. Tidak seperti Dylan yang memilih membiarkan rambut-rambut kasar di sekitar rahangnya tumbuh, pria yang sedarah dengannya itu malah tak menyukainya. Jadi, Rivan sangat telaten mencukur habis bakal jenggotnya tiap hari. “Kenapa, Riv?”
“Mama bilang, besok malam pulang. Mau makan malam bareng.”
Makan malam yang disusun ibunya, tentulah bukan makan malam biasa. Dylan sudah sangat paham. “Dengan siapa kali ini, Riv?”
Tawa Rivan meledak seketika. Tak peduli bahwa kap depan mobilnya sedang dalam kondisi basah karena terkena guyuran hujan, Rivan melompat ke atas. “Namanya Kalena. Selebihnya, lihat dan tanya sendiri besok.”
Dylan jarang mendengkus, tetapi bila menyangkut hal-hal konyol yang beberapa tahun ini gencar dilakukan oleh ibunya, Dylan kerap melakukannya.
Well, ya, ibunya sedang gemar menjodohkan Dylan dengan anak perempuan dari teman-teman arisan, atau kolega-kolega bisnis papanya. Terhitung sudah tiga tahun ini, Rissa—wanita yang ia cinta sepenuh hati—kerap mengadakan perjodohan berkedok makam malam keluarga.
“Mungkin, Mama pengin menimang cucu laki-laki, Mas. Mengingat Mas Fabian bilang nggak mau menambah anak lagi, aku yakin obsesi Mama pindah ke Mas.”
Ya, cerita lama. Ketika adik kembarnya telah memiliki tiga orang anak dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Lalu kedua orangtuanya, mulai sibuk menyeletuk siapa di antara dirinya dan Rivan yang ingin menyumbang cucu lelaki untuk mereka.
Ck, menyumbang? Seakan seorang anak itu adalah barang.
“Bisa bantu memikirkan alasan yang masuk akal untuk menghindar?”
Rivan langsung menggeleng. “Mas wajib ketemu Kalena ini dulu. Malam ini, aku nginap ya, Mas? Pakaian kerjaku, belum Mas buang ‘kan?” kekehnya sembari berjalan duluan.
“Rivan?” panggil Dylan sebelum adiknya itu sampai di depan lift. “Mas mau pergi dulu. Ada urusan sebentar.”
“Oke, hati-hati saja di jalan. Hujannya lumayan deras.”
Dylan hanya mengangguk. Ia harus segera menyelesaikan urusannya pada Magissa. Sebelum nanti, mencoba menyelesaikan masalah perjodohan yang kembali diatur ibunya.
Ah, iya, nama wanita itu Magissa ‘kan?
***
Hujan yang mengguyur sejak sore tadi, membuat Magissa enggan keluar untuk membeli makan malam. Marta pun juga latah tak mau keluar dengan alasan dingin, jadi mereka memilih memesan makanan saja. Dan ini sudah jam sembilan, biasanya Magissa masih bisa bertahan menonton drama korea sampai jam sepuluh nanti. Namun, karena hawa dingin yang menyusup dari luar, ia memutuskan tidur cepat saja.
Ia tidak pernah memakai bra selepas mandi sore. Namun, untuk berjaga-jaga ia selalu menyimpan satu di bawah bantalnya. Ia khawatir bila tiba-tiba terjadi kebakaran, ia bisa langsung meraih penutup dadanya itu segera. Karena ia tak bisa membayangkan, bagaimana dadanya yang besarnya cukup di atas rata-rata ini, ia bawa berlarian tanpa penyanggah.
Oh, please, jangan membayangkannya.
Telah menarik selimut, Magissa sengaja mematikan AC. Sebagai gantinya ia biarkan jendelanya terbuka. Toh, tak akan ada orang iseng yang rela memanjat lantai dua hanya demi mengintipnya, bukan?
Samar-samar ia mendengar pintu bawah rukonya digedor orang. Duduk kembali, ia langsung meraih ponsel untuk menghubungi Marta yang berada di lantai tiga.
“Apa sih, Nek?” sahut Marta tanpa berbasa-basi.
“Mar, kayaknya ada yang gedor-gedor deh di bawah.” Ia sibakkan selimut, lalu mencoba melihat melalui jendela. “Gue denger ada yang gedor-gedor.”
“Ck, terus lo nyuruh gue buat ke bawah gitu? Tsk, tak usah ya, Nek. Gue mager.” Embusan napas kasarnya terdengar sadis. “Lagian, lo yang paling deket. Biar lo nggak lupa, gue nempati lantai tiga dan lo ngejogrok di tengah-tengah. Kan dari kemaren udah gue bilang, kita tukeran lantai aja. Jadi, kalau ada maling, lo nggak duluan di perkosa. Udahlah lo sana buka pintunya.”
“Alah, masa gue sih? Kan gue cewek, kalau gue di apa-apain gimana?”
“Lha, bukannya lo seneng ya, kalau ada yang ngapa-ngapain lo?”
Setan!
Dasar, banci karbitan!
Bangsat!
Ah, sudahlah, tak ada gunanya memang memelihara Marta jika sudah begini. Memutuskan sambungan sepihak, Magissa terpaksa keluar kandang juga. Karena saat ia mengintip dari jendelanya, pandangannya terhalang oleh kanopi di bawah sana. Setengah berdecak, Magissa menutup jendelanya dengan kasar. Tapi tunggu, sepertinya ia melihat sesuatu tadi. Kembali melipir, ia sibak tirai lalu menajamkan penglihatan.
“Eh, tuh kayaknya body mobil, deh,” gumamnya sedikit tak yakin. “Bukan mobil cowok kemaren, kan? Tapi mau apa?” mengikat lagi rambutnya dengan karet yang ia temukan di dekat jendela, Magissa berpikir sejenak mencoba meyakinkan penglihatan samarnya tadi. “Oh, iya, gue lupa. Orang kaya tuh ‘kan, pikirannya nggak bisa ditebak. Ck, pasti dia mau ngembaliin duit dua ribu perak itu.”
Ia sok menggelengkan kepala, seakan tengah mengasihani seseorang. Tapi tak lama kemudian, ia malah bertepuk tangan sendiri.
“Fix! Gue yakin itu dia!” cengirannya mengembang lebar. “Dan mumpung Marta nggak mau turun, gue bisa bebas mengeksplor Dylan 1984 sendirian.” Serunya cekikikan.
***
“Permisi!” seruan Dylan terdengar di antara desau angin dan derasnya hujan yang menjatuhi kanopi. “Permisi!” ia ingin memanggil nama Magissa atau Marta, tapi ia takut malah dikatakan tak sopan.
Ia genggam ponsel di tangan, namun menyadari bahwa ia tidak memiliki nomor kontak dari penghuni bangunan ini. Baru jam sembilan malam, Dylan ingat betul, ia juga bertemu dengan mereka kemarin malam di jam seperti ini.
Apa mungkin masih keluar, ya?
Tapi dengan hujan selebat ini, Dylan tidak yakin. Satu-satunya yang dapat ia perkirakan, ialah bahwa penghuninya sudah tidur.
Menghela napas, Dylan rasa besok saja ia kembali ke sini. Tempias dari derasnya hujan ikut memercik ke tubuhnya. Dan karena Dylan tak membawa serta jas yang tadi ia sampirkan di kursi mobil, kemejanya kini terasa lembab.
“Permisi!”
Tok … tok … tok …!
“Permisi!”
Baiklah, Dylan menyerah.
Sama sekali tak ada sahutan dari dalam, keputusannya tuk meninggalkan tempat ini pun semakin bulat. Ia masukkan lagi amplop yang semula telah berada dalam genggaman ke saku celana. Ponsel pun turut ia simpan ke sana, namun belum sempat masuk ke saku, ketika ia merasakan sebuah pukulan kuat tepat di kepala.
Dan ponsel itu pun terempas jatuh.
Dylan akan menoleh ke belakang, melihat siapa yang melakukan hal itu, tetapi sekali lagi, pukulan keras menimpa kepalanya. Lalu terasa begitu mematikan saat lehernya pun tak luput mendapatkan serangan yang sama.
Ya Tuhan …
Sebelum semuanya berubah gelap, Dylan mendengar suara pintu besi berderit terbuka. Disusul teriakan yang rasanya seperti jauh. Dylan masih bisa merasakan tubuhnya terempas kuat, dan setelahnya ia benar-benar ditelan gelap.
***
6. Berawal Dari Memimpikan Evelyn
“Aku ingin tinggal di sini, seandainya kehidupan kedua nanti benar-benar ada.”
Dylan tersenyum, mengangguk. Ia sesap kopi pahit tanpa melepas pandangan dari wanita cantik di hadapannya. Terlampau rugi rasanya, bila ia alihkan sedikit saja pandangan ketika mereka sedang bersama seperti ini. “Dan aku akan kembali menemukanmu, setelah kupastikan bahwa tak ada lagi kekeliruan dalam ikatan kita.”
Rambut cokelat Evelyn bergoyang saat wanita itu tersipu. Menunduk seraya meletakkan kembali kopinya ke atas meja. Sesaat, pandangannya berpusat pada deretan Marzipan yang berjajar rapi di etalase Niederegger Café. Ngomong-ngomong, mereka sedang berada di Lubek. Kawasan yang berada di bagian paling utara Jerman, kampung halaman kakek mereka.
Dari Hamburg, mereka menggunakan kereta. Tujuan mereka semula adalah Holstentor. Namun, kota Lubek yang berada tepat di balik gerbang Holsten tentunya teramat sayang bila tak dikunjungi sekalian.
Sambil memandang bangunan berbata merah yang tersebar, Evelyn diam sembari mengeratkan rahang. Senyum manis tadi telah berganti. Dan kali ini, ekspresinya berubah keras. “Berjanjilah, kalau nanti kita kembali dilahirkan sebagai seorang sepupu dari orangtua kita yang sekarang, hiduplah berjauh-jauhan.” Masih enggan menatap, Evelyn berusaha membuat hatinya tegar. “Jangan pernah bertemu, sebelum kita menikah dengan pasangan masing-masing. Karena aku tidak sekuat itu.”
Dylan menyentuh tangan Evelyn di atas meja. Menggenggamnya kuat dengan napas terhela panjang. “Aku mencintaimu,” bisik Dylan sepenuh hati.
Evelyn mengangguk, akhirnya ia labuhkan lagi samudera bening di matanya untuk bertemu pandang dengan telaga cokelat favoritenya. Seribu kali pun ia mengatakan hal yang sama dengan laki-laki itu, dunia tetap akan berlaku kejam terhadap nasib percintaan mereka. Matanya memanas ketika dengan sadar ia membalas genggaman tangan Dylan. “Begitu pun perasaanku, Lan,” ucapnya sendu. “Tapi kita harus pulang. Jerman adalah tempat singgah yang menyenangkan. Indonesia tetap rumah kita.”
“Andai aku sanggup membawamu lari bersamaku.”
Evelyn tak sanggup lagi. Ia berdiri dan menyebrang meja untuk memeluk pria itu. Ia tumpahkan tangisannya di sana, mendekap Dylan erat, mengklaim bahwa pria ini miliknya. Setidaknya di sini, karena ketika mereka kembali ke rumah nanti, mereka harus memerankan sosok antar sepupu yang mengesankan. “Kalau saja aku punya keberanian untuk pergi bersamamu,” bisiknya merana. “Andai saja, aku tidak terlalu mencintai Mama. Aku pasti tak keberatan pergi dan memberinya luka.”
“Aku tahu,” bisik Dylan di rambut Evelyn. “Aku pun sama. Kebahagiaan keluarga jauh lebih penting dari kita,” imbuhnya masih serupa bisikan. “Kita akan bertahan, Evelyn. Kita akan bertahan.”
Evelyn ingin mengangguk, agar mereka kuat. Namun kepalanya justru tak bisa ia ajak berkhianat. Ia menggeleng keras, sementara dekapannya kian erat. “Aku mencintaimu,” bisiknya tercekat. “Aku mencintaimu, Dylan.”
Dylan kecup rambut Evelyn, sambil memejamkan mata. “Aku tahu, Eve. Aku tahu.”
***
“Evelyn!”
“Hey, lo nggak apa-apa?”
Dylan mengerjap dengan mata basah. Secara refleks, ia hapus lintasan air mata yang membasahi pipinya. Pening segera menjadi hal pertama yang ia rasakan. Napasnya pun belum teratur, masih memburu dengan debar jantung yang menggila.
“Lo mimpi?”
Sesaat, Dylan menoleh ke samping kiri. Wanita asing yang tak sama dengan mimpinya tadi terlihat menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Ia nyaris kebingungan. Namun, ketika akan bangkit dari ranjang, punggung dan kepalanya terasa nyeri. Jadi, ia pejamkan mata demi menahan ringisan. “Saya di mana?” tanyanya serak.
“Di tempat gue. Lo abis digebuk orang tadi,” suara Magissa memberitahu. Lalu dirinya menghampiri pria tersebut di tepi ranjang. “Lo baik-baik aja?” punggung tangannya menyentuh kening Dylan demi memeriksa suhu tubuh.
Sentuhan itu refleks saja membuat Dylan membuka mata. Ia turunkan tangan wanita itu dan mencengkramnya kuat tanpa sabar. Namun, kelembutan serta kehangatan dari tangan mungil itu, membuatnya terpaku. Jadi, alih-alih meneruskan cengkraman Dylan malah menggenggamnya. Mengingat-ingat di mana ia pernah merasakan kehangatan ini.
Seberkas kerinduan yang tadi ia mimpikan.
“Hey, lo nyakitin gue!” protes Magissa segera.
Dylan kembali mengerjap, seolah baru saja terlempar pada dimensi berbeda. Tangan wanita itu hangat, sekaligus lembut. Membuat Dylan menyesali tindakan implusifnya tadi. Ia lepaskan wanita itu, lalu memaksakan tubuhnya bangkit. Cukup sulit, saat kepalanya terasa benar-benar berat.
“Kepala lo masih sakit?” Magissa membantu Dylan duduk. “Gue udah coba ngompres kepala sama leher lo tadi, gue yakin sih ada memar di sana. Harusnya, gue bawa lo ke dokter, tapi gue sama Marta nggak bisa nyetir mobil lo. Dan di luar hujan masih aja pesta pora. Terpaksa deh, kita bopong lo ke kamar gue.”
“Terima kasih,” ucap Dylan tulus. Namun menegang, ketika merasakan kehangatan dari tangan asing itu menyentuh bisepnya yang terbuka.
Tunggu!
Apa katanya tadi?
Terbuka?
Astaga …!
Sial! Ia benar-benar terbuka dalam artian sesungguhnya.
“Di mana pakaian saya?” spontan ia tutupi tubuhnya yang polos dengan selembar selimut yang tadi melorot dari tubuh. “Kenapa saya tidak memakai baju?” ia pun mulai merasakan bahwa kakinya tak terbalut apa pun. “Ada apa dengan baju saya?”
Magissa meringis. Ia menjauhkan tangannya dari otot-otot kekar itu dengan setengah hati. Telah terengah semenjak melihat pria itu tidur, Magissa harus berperang melawan kekurangajarannya sendiri, ketika tadi melucuti pakaian Dylan yang kotor setelah jatuh ke tanah.
Oh Tuhan … seharusnya tak usah ada makhluk semenggairahkan Dylan di bumi ini. Agar wanita lemah iman sepertinya, tidak perlu menjendutkan kepala ke dinding hanya demi menahan diri supaya tak menerkam pria itu.
Sialan!
Ia masih ingat detail tubuh itu.
Ugh! Ini semua salah Marta!
Karena banci kaleng itu, tiba-tiba saja menjerit saat ia meminta agar Marta membukakan pakaian Dylan yang basah, sementara dirinya berniat melihat rekaman cctv untuk mencari siapa sebenarnya yang tega melakukan hal keji seperti itu di depan rukonya.
Ngomong-ngomong, walau hanya penjual bubur ayam, rukonya ini dilengkapi oleh cctv juga lho. Jangan salah, karena selain sebagai perangkat keamanan, cctv itu juga berguna ketika ia sedang kurang kerjaan dan memilih hiburan menontoni tiap orang yang lewat melalui kamera pengawas itu.
Ya, intinya, kadang-kadang dirinya memang sekurang kerjaan itu.
Ah, sudahlah, mari kembali lagi pada pria berbisep menggiurkan yang tengah mendekap selimutnya dengan gugup itu. “Baju lo basah dan kotor. Kan lo pingsan, terus jatoh gitu. Nah, lo jatohnya di deket becekan, makanya timbang lo masuk angin, ya gue bukain ajalah.”
“Kamu yang membuka baju saya?”
Magissa mengangguk sok lugu. “Marta langsung jejeritan, waktu liat perut lo yang kayak roti sobek itu. Makanya dia nggak tahan. Ya, udah, dengan terpaksa gue yang ngelepasin pakaian lo itu,” ucapnya kalem. “Tenang aja, lo nggak sepenuhnya telanjang kok. Boxer brief lo nggak gue buka.”
Padahal, di sanalah letak puncak rasa penasaran tertinggi Magissa. Tapi ia bisa apa, jika mengintip saja pun ia tak berani.
“Dan di mana pakaian saya sekarang?” tanya Dylan lebih tenang. Karena ia sudah mengingat peristiwa sebelum dirinya sampai berada di dalam ruangan serba pink dengan dekorasi ala-ala perempuan pada umumnya. Sementara sebagian dari dinding kamar persegi ini tertempel banyak sekali poster-poster yang tidak ia kenal. Lalu pandangannya tak sengaja beralih pada single bed yang tadi menjadi alasnya berbaring.
“Pakaian lo masih di ember cucian kotor. Gue nggak nyalain mesin cuci pagi-pagi, karena daya listriknya nggak cukup buat gue pakai blender bumbu-bumbu masakan gue.”
Dylan menarik napas dengan tatapan muram. “Terima kasih karena telah menolong saya,” ucapnya tulus, namun tanpa senyum sama sekali. Mimpi mengenai kebersamaannya dengan Evelyn, selalu membuat kegundahan sendiri di hatinya. Tak peduli, berjuta kali ia mengatakan bahwa ia sudah menerima pernikahan wanita itu. Tetap saja, ada tebasan merana yang membuatnya tersiksa. “Sekarang jam, berapa?”
“Jam setengah tiga pagi,” jawab Magissa segera. Entah kenapa, ekspresi yang ditampilkan Dylan mengusik ketenangannya. Wajah itu tampak sendu, tidak terlihat tenang seperti sebelumnya. “Lo tadi ngigo, manggil-manggil nama orang. Pacar lo?” tebaknya langsung.
Wajah Dylan menjadi kaku. Ia tidak terbiasa membicarakan masalahnya pada orang lain. “Bukan siapa-siapa,” bisiknya segera. “Sekali lagi, terima kasih Magissa.”
Ya ampun, mendengar namanya terlafal lancar dari bibir Dylan, membuat Magissa sontak saja menahan napas. “Ternyata, lo bisa senyum juga, ya?” tanyanya setengah takjub.
“Saya bisa tersenyum,” tangap Dylan segera.
Tak segera membalasnya dengan sanggahan lain, Magissa tertegun sejenak menatap ketampanan Dylan. Ekspresi tenang yang beberapa kali tersemat kala mereka bertemu, tak terlihat kali ini. Pria itu tampak gusar. Ada mendung yang menaungi matanya yang cokelat, dan entah kesialan dari mana, Magissa seakan bisa merasakan kepedihan yang dirasakan oleh sosok itu.
Evelyn adalah nama yang berulang kali pria itu sebutkan dalam lelapnya. Rintih kesakitan itu, masih bisa Magissa ingat. Dan sebelum Magissa berpikir lebih baik lagi, tangannya sudah terlebih dahulu terulur melingkari bahu lebar Dylan yang bidang. Merengkuh pria itu, kemudian menunduk guna mempertemukan bibir mereka.
Dylan jelas tak siap dengan apa yang dilakukan Magissa. Belum pernah dalam hidupnya, ada wanita yang berinisiatif menciumnya. Sungguh, belum pernah ada. Bahkan Evelyn sekalipun. Dan mengingat Evelyn kembali membuatnya putus asa. Sedikit menurunkan kewaspadaan, Dylan terlena ketika Magissa dengan berani menjelajah mulutnya. Menuntut ciuman walau yang sedari tadi ia lakukan adalah mematung. Namun usapan beritme provokatif di pundaknya berhasil menyulut lahar panas di tubuh Dylan.
Dan semua itu sudah cukup untuk membuat Dylan menangkup wajah Magissa, membalas ciuman wanita itu, lalu membawanya ke atas pangkuan.
Magissa jelas mengerang, kenikmatan yang diberikan Dylan lewat pangutan menggebu, membuatnya belingsatan. Apalagi, ketika pria itu menarik lidah lalu mengulumnya kuat, Magissa langsung merinding karena sensasinya. Ternyata, Dylan tak sedingin tampilannya, pria itu justru berbahaya dan mematikan.
Apalagi kaus tipis yang ia kenakan tanpa bra di dalamnya ini, sukses membuat putingnya menegang kaku, menuntut untuk diperhatikan. Magissa membenamkan jemari-jemarinya di dalam helaian rambut pria itu. Menariknya kian dekat, hingga tak sengaja pantatnya menyenggol kejantankan Dylan menegang di bawah sana.
Kepala Dylan terasa berputar-putar begitu ciuman mereka terlepas dan Magissa malah menelusuri garis rahangnya. Lalu tak sampai di sana, Magissa menurunkan ciuman ke bawah dagu, dengan sengaja mengembuskan napas hangat wanita tersebut ke lehernya setelah sebelumnya Magissa membuat lintasan basah menggunakan lidah.
Astaga …
Dylan tak lagi mampu mengendalikan diri.
Payudara bulat dan kenyal yang menggesek dada cukup membuatnya lupa. Ia membuainya pelan-pelan, merasakan putting yang menegang di bawah sentuhan, membuat Dylan kian tersulut birahi.
Dan tepat ketika tangan Magissa menyentuh kejantanan Dylan yang sudah kaku, jeritan Marta sukses membuat mereka terpental kembali ke dalam dunia nyata.
“Gilak! Mata gue ternodai, Woy!”
Mau memaki pun percuma, walau waria itu telah terbirit-birit berlari meninggalkan pintu kamar yang terbuka, suasana canggung langsung menyelimuti keduanya.
Ah, banci berengsek!
Tentu saja, Magissa yang mengumpat.
***
7. Uji Diri
Setelah Magissa pergi dari kamar beralaskan ingin segera mandi. Dylan tak bisa berhenti mempertanyakan di mana ia menyimpan otak. Pengendalian diri yang biasa menjadi teman, seakan tak ia temukan tadi. Kembali berbaring di ranjang, Dylan menutup mata demi mencari celah untuk membenarkan kelakuannya. Tapi satu-satunya penjelasan, malah membuatnya kian merasa bersalah.
Ah, seharusnya ia bisa berpikir jernih. Bukan malah terbawa perasaan yang berkabut dan melampiaskan keresahan itu pada Magissa. Harusnya, ia bisa meminjam ponsel wanita itu guna menghubungi adiknya. Meminta Rivan segera datang dan membawakan pakaian. Karena ponselnya tak lagi bisa menyala, padam dengan layar yang rusak parah.
Dylan mencoba kembali tertidur. Namun terasa payah, karena tiba-tiba saja hidungnya terasa sangat sensitif. Rasanya, aroma Magissa yang manis ada di mana-mana. Seprai yang sebelumnya ia anggap biasa, kini terasa wangi oleh parfum yang tadi ia hirup menempel di baju Magissa.
Ya, Tuhan … tolong jangan biarkan dirinya begini?
Berguling, Dylan menggertakan gigi, ketika benaknya kembali memproyeksikan ekspresi Magissa saat mereka berciuman tadi. Tatapan matanya sayu, juga bibirnya yang ranum dan penuh, langsung membuat Dylan membuka mata.
Jujur saja, Dylan bukanlah orang yang suka menilai paras seorang wanita. Bahkan ia menganggap hal itu pantang untuk dilakukan. Tetapi beberapa saat lalu ia sudah melakukannya.
Wajah Magissa begitu menarik, tidak secantik Evelyn, namun Magissa terlampau manis untuk diabaikan. Struktur tulang wajah wanita itu kecil, mengikuti garis rahangnya yang juga mungil. Keningnya tidak terlalu lebar, begitu pas dengan mata wanita itu yang bulat dengan payungan kelopak mata lebar di tumbuhi bulu-bulu mata panjang yang cukup lentik. Hidung Magissa bisa dikatakan mancung, namun sekali lagi tidak seperti hidung Evelyn yang tinggi dan ramping. Magissa, selayaknya wanita pribumi pada umumnya.
Baiklah, sepertinya Dylan benar-benar gila sekarang ini.
Karena penilaiannya kembali beralih pada tubuh Magissa yang sintal. Wanita itu tidak tinggi dan ramping. Justru sebaliknya, pendek dan lumayan berisi. Setidaknya di beberapa bagian tubuh, Magissa jelas lebih menonjol dari wanita kebanyakan yang sering ia temui dilingkup pergaulannya. Dada dan bokong Magissa jelas menarik perhatian, dan Dylan sendiri sudah membuktikannya tadi. Ketika dengan tak sadar, ia meremasnya.
Menarik napas dalam-dalam, Dylan harus menahan erangannya begitu kegiatannya yang sederhana ini membuat rongga napasnya diserbu oleh aroma Magissa yang yang rasanya benar-benar magis.
Tuhan … Dylan tidak sanggup lagi!
Menarik bantal untuk menutupi kepala, Dylan justru dibuat terperangah oleh sesuatu yang tersimpan di sana. Mengumpat dalam hati, Dylan memilih berdiri dengan desau napas yang tak lagi teratur.
Sialan! Bra hitam itu tampak sangat kontras di seprai pink yang menyakiti mata.
***
Marta menoel-noel lengan Magissa sengaja. Bahkan sesekali, ia cubiti Magissa dengan ekspresi gemas. Bibirnya mencebik, namun tak lama kemudian langsung terkulum malu-malu.
“Ck, lo semenjak diperkenankan manjat Dylan bukan milik Milea, jadi somsek, yes?” celetuknya sambil menyuir-nyuir potongan ayam goreng. Kedua tangannya mengenakan sarungan tangan plastik. Sama juga seperti Magissa yang tengah mengiris daun seledri, mereka berdiri berdampingan di depan etalase yang setengah jam lalu telah mereka keluarkan. “Bagi-bagi dong, gimana rasanya, Beb? Jangan pelit info. Kan gue butuh detail.”
“Detailnya lo ganggu, Bangsat! Coba tadi lo nggak pake adegan jerit-jerit segala, udah enak gue,” dengkus Magissa kesal.
“Kan gue kaget.”
“Sesekali kaget lo tuh elegan napa? Langsung melipir cantik gitu, biar gue enak.”
Memang benar-benar durjanah waria satu ini. Membuatnya kesal saja. Ck, padahal sedikit lagi dan dirinya akan sampai ke puncak nirwana. Tapi apalah daya? Si waria datang dan mengacaukan segalanya.
“Andai lo nggak dateng tiba-tiba gitu, Mar,” Magissa mendesah kesal. Lalu mencincang-cincang kasar daun seledri di atas talenan. “Ah, gue ingin memaki rasanya!”
“Ya, maaf dong, kan gue lagi nemu info penting,” Marta memanyunkan bibirnya sok imut. “Tapi-tapi, rasa ciuman dia gimana sih, Beb? Lo keliatan merem melek gitu tadi,” katanya cekikikan.
Magissa langsung tersipu, senyumnya terkulum malu-malu. Meletakkan pisau di atas talenan, ia segera meraba bibir bawahnya dengan gerakan salah tingkah. “Ah, lo jangan ngingetin gue deh,” ia langsung berubah lenjeh. Ia pukul-pukul bahu Marta, manja. Sambil memegang kedua pipinya yang terasa panas, Magissa menyandarkan setengah bobot tubuhnya pada bahu kekar Marta yang hari ini mengenakan kemeja bermotif floral ketat. “Kok rasanya bibir dia masih ketinggalan di bibir gue ya, Mar?”
“Iiihh … lo jangan bikin gue pengen juga dong,” Marta menjerit kemayu. “Eh, tapi kenapa ya, si Anan mukul Dylan sadis gitu?”
Rona di pipi Magissa langsung hilang begitu mendengar nama brandal sialan yang sudah memukul pejuang muramnya. “Ck, nggak tahu gue. Tapi awas aja deh bakal gue obrak-abrik tuh orang sampai dapat.”
Jadi, hal penting yang mendasari Marta bertindak heboh dini hari tadi adalah karena Marta akhirnya mengenali siapa yang memukul Dylan hingga pingsan. Setelah menguap berkali-kali, sambil memutar rekaman cctv sampai bosan, Marta—yang dulunya bernama lengkap Husein Nagara—akhirnya yakin bahwa si pelaku adalah Anan.
Anaknya Pak Rojak, salah satu pemilik toko material yang ada di Pulogadung. Si Anan ini adalah penganguran kelas wahid yang tidak mau disebut pengangguran. Karena itulah, warga di sekitar sini memanggilnya pengacara, alias pengangguran banyak acara.
“Gue jadi kepo deh, kenapa Anan bisa sejahat itu sama Dylan. Kira-kira mereka ada masalah apa, ya?”
Magissa berdecak, ia buka kembali celemeknya sembari melihat jam. Masih jam enam kurang seperempat, dan persiapan dagangannya telah sempurna. Kalau begini, mereka hanya tinggal menunggu pelanggan datang saja. “Yang jelas bukan Dylan yang buat masalah. Pasti ini Anan. Awas aja tuh laki, ya? siap-siap deh gue kejer abis dagangan gue abis.”
“Btw, lo nggak nengokin Dylan dulu? sebelum kita sibuk jualan nih,” lengkap dengan kedipan-kedipan genit, Marta menggodanya. “Tawarin bubur, atau teh manis gitu,” imbuhnya lagi masih dengan raut nakal.
Melihat kelakuan nista Marta, Magissa hanya bisa tersipu-sipu kembali. Bila biasanya ia akan mencibir tingkah kemayu Marta, kali ini ia merespon dengan baik segala kode-kode jahanam yang dilayangkan waria tersebut. “Kenapa nggak lo aja sih yang nengokin dia?” ujar Magissa sok kalem.
“Gue nggak kukuh, nggak nana liat body templokablenya. Sumpah, Nek, iman gue masih setipis kulit bawang. Gue beneran bisa menggelepar kalau dikasih kesempatan mandangin dia telanjang selama lima menit aja.”
Aduh, kenapa Marta harus menyinggung-nyinggung soal telanjang sih?
Kan, Magissa merasa tersindir.
“Jadi, gue nih yang harus nengokin dia?” tanyanya dengan nada manja yang kalau para pelanggan setianya yang melihat adegan lugu-lugu nista ini, mereka pasti akan muntah. “Lo yakin?”
“Iyes, Cinta. Udah sono, samperin dia. Tapi jangan pake acara ngelanjutin yang tadi, ya? bentar lagi nih warung bakal rame karena nggak hujan. Dan gue nggak mau suara teriakan lo memancing keingintahuan mereka, terus ninggalin gue dalam duka nestapa seorang diri di sini.”
Kembali bersunggut-sunggut sok malu, Magissa mencubit perut Marta gemas. “Ya, udah deh, karena lo maksa. Gue bakal tengokin dia.”
***
Membuka pintu dengan perlahan, Magissa tertegun sewaktu melihat Dylan tidur. Pria itu tertidur miring dan memunggunginya. Membuat punggungnya yang lebar terpampang nyata di hadapan Magissa. Hal yang sontak membuat Magissa menggigiti bibir karena gemas.
Selimutnya yang begitu feminim, tampak kontras dengan tubuh Dylan yang kekar. Dan entah kenapa, Magissa justru cemburu pada selimutnya itu. Menggantung sombong di atas pinggul Dylan, lalu membungkus kaki panjang laki-laki itu.
Oh, selimut sialan!
Tapi tidak apa-apa, Magissa tak akan menyuci selimut itu dalam satu minggu ke depan. Magissa menyelinap tanpa suara dari balik pintu. Memastikan pintunya tertutup rapat kali ini, Magissa melangkah pelan-pelan demi menikmati sajian dari pemandangan lezat di depan mata.
Demi Tuhan, Magissa tak keberatan bila tiap hari harus memandangi punggung ini. Tak masalah, kalau tiap saat harus terbayang-bayang oleh bisep menggiurkan yang membuat tangannya gatal ingin sentuhan. Sama seperti saat ini, tanpa sadar ia telah mengulurkan tangannya. Membelai perlahan sambil menahan napas.
Mata Dylan membuka secara otomatis, ia segera berguling dan mendesis. Keterkejutan dari sentuhan itu membuatnya langsung bergerak refleks. Ia menangkap tangan yang menyentuh tubuhnya, lalu membanting si pemilik tangan ke atas ranjang. Matanya menajam saat ternyata, orang tersebut adalah Magissa.
“Lepasin gue! Gue bukan penjahat. Apa-apaan sih lo?!” protesnya begitu merasakan bahwa Dylan mencengkram tangannya begitu kuat.
Dylan mengerjap, seakan dirinya baru saja kembali dari petualangan tiga dimensi yang menegangkan. “Maafkan saya,” katanya penuh sesal. “Saya hanya terkejut,” ia lepaskan cengkraman tangannya, lalu mengusap-usap lengan Magissa yang memerah karena perbuatannya tadi.
Magissa hanya mendengkus, namun tak melayangkan protes. Sebab, ia menyadari betul bagaimana posisi mereka saat ini. Tapi, kesenangan Magissa itu tak bertahan lama, karena Dylan segera membantunya kembali duduk.
Ugh, mengesalkan!
“Kenapa? Lo mimpi lagi, ya? Terus mimpinya, lo lagi diserang dalam tidur gitu?” sunggut Magissa dengan bibir mengerucut.
Dylan tak segera menjawab, kelembutan dari kulit Magissa yang kali ini tersentuh tangannya membuat Dylan tak mampu berkata-kata. Sejujurnya, ia baru saja terlelap setelah memikirkan hal yang tidak-tidak bersama wanita itu.
Sebelum ia bisa mengendalikan diri, Dylan sudah mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu. Menyesapnya perlahan, sebelum akhirnya menutup mata. Tangannya menjangkau leher, memupus jarak dengan berani. Dylan memangutnya. Awalnya lembut, sebelum akhirnya ia membebaskan semua pengendalian diri yang mengekang. Dan mengambil semua yang bisa ia dapatkan.
Ya Tuhan …
Magissa mengerang karena sensasi yang ditimbulkan oleh pria yang berada di depannya ini. Ciuman pria itu hangat dan memabukkan, berbanding terbalik dengan wajah dingin yang tersemat begitu nyata padanya. Ketika Magissa mengulurkan tangan untuk mendekap punggung telanjang Dylan, ia lantas luruh. Erangannya tak lagi bisa ditahan, dan ia memajukan tubuh guna meniadakan jarak. Membalas ciuman itu dengan menggebu, Magissa tahu apa yang ia inginkan. Jadi, ia kalungkan kedua lengannya, naik ke atas pangkuan Dylan, ia bergerak sesuai kebutuhan.
Dylan mengerang ketika merasakan lidah Magissa membelai lidahnya. Elusan provokatif wanita itu di bahu sampai lengan cukup membuatnya kewalahan. Apalagi, saat Magissa membuka kedua pahanya yang terbalut jins lalu menggesek pada kulit Dylan yang tak terlindung apa pun, Dylan langsung lupa daratan. Ia ingin berhenti, sebelum lupa diri. Tapi sialannya, tubuhnya bergerak sendiri.
Tangannya yang semula hanya mendekap wanita itu, kini telah bergerilya. Magissa tak berhenti menggodanya. Belaian tangan yang semula berada di lengan, kini ia rasakan telah merambat ke punggung. Lalu turun lagi semakin ke bawah, menangkup bokongnya, Dylan sampai harus melepaskan ciuman ketika dengan berani wanita itu malah meremasnya kuat.
Oh, Shit!!
Dengan tangan bergetar tak sabar, Dylan menarik ujung kaus yang wanita itu gunakan ke atas. Ciuman mereka yang sempat terlepas, kini ia sambung dengan menurunkan hidung di antara ceruk leher Magissa yang menggoda. Berlanjut menyusuri sepanjang bahu, ia kecup lama bagian itu hingga meninggalkan tanda kemerahan yang membuatnya puas.
Dylan tahu, ini bukan dirinya.
Tetapi untuk menghentikannya, ia tak memiliki kuasa. Pertahanan diri yang biasanya selalu ia agungkan, tak lagi berkutik, ketika gelora telah menari-nari.
Dylan akan menyesal bila ia terus melanjutkan kegiatan ini. Tetapi desah yang meluncur menyenangkan dari bibir Magissa, membuatnya menyerah. Baiklah, kini ia telah menyingkirkan kewarasan.
Kembali meneruskan penelusuran, tangannya yang kekar membelai ke belakang, mencari pengait bra. Agar tak lagi ada penghalang yang bisa menahan matanya melihat keelokan yang tersimpan. Dylan berdecak saat ternyata tak gampang membuka pengait tersebut.
Jadi, Magissa yang melakukannya. Wanita itu membuka pengaitnya, dan meluruhkan penyanggah dadanya ke bawah. Mempertontonkan apa yang tersimpan di sana dengan bangga, Magissa tak kuasa memperdengarkan rintih kala jemari panjang pria itu mulai meraba.
Ugh! Yeah! Ia menyukainya.
Menyambar bibir Magissa tak sabar, Dylan mendorong tubuh wanita itu hingga telentang di atas ranjang. Merangkak buas di atasnya, kini yang ada di kepalanya adalah bagaimana menaklukan wanita itu segera. Menyelinap dalam-dalam ke tubuh Magissa, sampai bibir ranum yang sedari awal sudah menyita perhatiannya itu menjerit keras-keras. Lalu mereka akan kelelahan, terengah puas sebelum kembali mengulang aktivitas serupa dengan gelora yang kian bertambah.
Sial!
Rasanya itu sangat menggiurkan.
Namun, di detik-detik krusial, secercah kewarasan memperlihatkan diri. Membuatnya mematung dengan tangan menggantung di udara.
Astaga … apa yang ia lakukan?!
Menegakkan tubuh, kini ia mulai merasakan betapa panasnya suhu ruangan. Hingga keringatnya berebut jatuh, namun yang bisa ia lakukan adalah menutup mata. Kini, putus asa kembali menjadi nama tengahnya.
Dengan kabut gairah yang masih menaungi, Magissa menyentuh bahu Dylan pelan-pelan. Deru napasnya masih memburu dan ia bersumpah belum ingin meredakannya. Ia sapukan tangannya naik turun di atas dada pria itu. Menyukai tekstur licin akibat banyaknya keringat yang mengalir, Magissa menggigit bibir bawahnya sengaja ketika Dylan kembali menatapnya. “Nggak apa-apa, Lan,” katanya terengah.
Lalu dengan berani, tangannya membawa tangan besar itu untuk melingkupi payudaranya yang telah menegang kaku. Sesaat, Magissa menutup mata demi meresapi kehangatan yang tercipta di dada. Matanya membuka lagi, membimbing tangan Dylan tuk meremasnya.
“Lo kenapa?” bisik Magissa resah. Karena walau tangan Dylan masih menjalankan aktivitas seperti yang memang ia inginkan, namun Magissa tahu kalau tatapan pria itu berbeda. “Ada yang salah?”
Diam membisu.
Kehangatan payudara Magissa benar-benar melingkupi dirinya. Hingga desir yang sejak tadi coba ia tolak, mulai menggeliat.
Tetapi, ragu masih menjadi temannya. Jadi, yang bisa ia lakukan saat ini adalah menatap Magissa lamat-lamat. “Apa kamu selalu membiarkan semua orang yang baru saja kamu temui untuk menyentuhmu seperti ini?”
“Oh, fuck!”
Dan tak menunggu waktu lama, Magissa mendaratkan satu tamparan keras di pipi pria itu.
Plaakkk …!!
“Magissa, kamu marah?”
Menatap Dylan sadis, Magissa mendekap payudaranya yang tak jadi ia pamerkan. “Enggak! Gue lagi akting jadi Suzana. Dan sekarang, gue lagi natap Bang Bokir yang nggak bisa nyediain gue seribu tusuk sate!”
Dylan tak mengerti. Jadi, ia ikuti Magissa yang telah berdiri. “Saya bukan Bang Bokir,” ucapnya dengan dahi berkerut bingung.
***
8. Saudara-Saudaranya
“Hei, Dylan? Lo bisa sarapan bubur ayam nggak?”
Marta tersenyum manis, sementara ia menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik dinding. Hanya kepala sampai lehernya saja yang melongok ke dalam kamar. Dengan mata berbinar-binar, Marta melahap apa yang bisa ia pandangi tanpa segan.
“Marta?” Dylan telah duduk di tepi ranjang dengan selimut terlilit di pinggang. “Magissa di mana?” ia masih sangat merasa bersalah. “Saya ingin meminta maaf. Saya melukainya.”
Marta mengibaskan tangannya ke udara. “Magissa lagi ngambek di bawah. Lo apain dia?”
Dylan meringis, ia bangkit dan mencoba berjalan menuju pintu. Namun gerakannya itu malah membuat Marta kembali memekik heboh.
“Oh, pliss ya, Dylan bukan milik Milea, jangan deketin gue saat lo nggak pakai baju gitu! Aduuh, Dylan … kalau nggak karena Magissa yang manyun aja dari tadi, gue nggak bakal nekat buat nyamper lo ke sini!”
Kening Dylan berkerut, namun ia telah berhenti melangkah. “Memangnya kenapa?”
“Dada lo bikin gue silau,” kata Marta sambil menutup kedua matanya menggunakan telapak tangan. “Gue lemah, Dylan. Jadi, sebelum gue kesurupan dan grepe-grepe. Mending lo agak jauhan deh dari gue,” jelasnya dengan napas terengah-engah. “Ya, Tuhan … kenapa gue ngerasa gerah, ya?”
Ajaibnya, Dylan benar-benar menurut. Ia juga ingin mencari aman. Jadi, ia kembali melangkah mundur. “Saya ingin minta berbicara dengan Magissa, Marta. Tapi saya tidak bisa ke bawah dengan keadaan seperti ini. Saya boleh minta bantuan kamu?”
Mengintip dari celah-celah jemari, Marta mengintai jarak teraman antara dirinya dan Dylan. Setelah dirasa jarak mereka cukup jauh, barulah ia turunkan kembali tangannya. “Mau minta tolong apa?” tanyanya sok lembut. “Jangan bilang, lo mau nyuruh gue buat naikin lilitan selimut, ya?” pancingnya seraya menggigit bibir sengaja.
“Boleh saya pinjam ponsel kamu?” ia benar-benar butuh alat komunikasi sekarang. “Saya harus menghubungi adik saya dan memintanya membawakan saya pakaian. Ponsel saya tidak bisa digunakan.”
“Oke, gue ngerti kok, manis,” kata Marta seraya mengedipkan mata. “Nih, hapenya,” Marta mengangsurkan benda persegi tersebut dengan ekspresi sok menggemaskan. “Eh, tunggu, biar gue aja yang masuk ke dalam. Lo yang ngedatangi gue, bikin jantung gue jumpalitan.”
Lalu dengan terbirit-birit, Marta berlari memasuki kamar Magissa. Melemparkan ponselnya ke atas ranjang, Marta menolak menatap Dylan agar dirinya tetap waras.
Menghela napas, Dylan mencoba memaklumi kelakuan Marta itu. “Saya pinjam ya, Marta?”
Marta langsung mengangguk. “Ngomong-ngomong, lo dosen yang Bang Dylan?”
“Dosen?”
“Iya, soalnya lo bertutur kata sesuai kamus bahasa Indonesia yang udah disempurnakan gitu. Makanya, gue yakin banget, lo pasti dosen sastra ‘kan?”
Dylan harusnya tak usah menjelaskan mengenai dirinya. Atau bisa saja ia memilih bungkam dan mengabaikan Marta. Namun, ia tidak tega melakukan hal itu. Marta sudah sangat baik dengan menolongnya. “Saya bukan dosen, Marta,” katanya lembut. Ia tak ingin menghakimi jalan hidup yang telah diambil oleh Marta, selaku pria dulunya. “Saya hanya menggunakan bahasa yang saya pelajari di sekolah.”
“Ugh, lo unch banget sih? Gemes gue beneran pengin jadi pere biar bisa ketjup-ketjup manza lo tanpa berpikir lo bakal geli sama gue.”
Dylan tersenyum. Ia tidak merasa bahwa Marta sedang melecehkannya. “Kalau begitu, saya pinjam ponsel kamu, ya?”
“Silakan, ganteng.”
***
Seperti biasa, warung bubur ayam Magissa akan ramai pembeli bila hujan tak mengguyur bumi. Maklumlah, mungkin para pelanggan Magissa itu semua terbuat dari tepung roti, yang akan meleleh bila ditetesi air.
Ah, sudahlah. Jangan membahas peristiwa hujan lagi.
Kegiatan Marta yang sedang mengelap meja setelah Pak Nazemudin dan Bang Toni meninggalkan meja kontan terhenti. Tepatnya, ketika ekor matanya yang jeli ini menangkap mobil mewah berwarna mentereng berhenti di belakang Mercedes Benz milik Dylan. Untungnya saja, pemilik ruko sebelah tidak ada. Jadi, mobil yang terparkir di sana tidak terkena gerutuan.
“Nek, itu namanya Lamborghini atau Ferrari sih?” tahu-tahu saja, Marta sudah berada di belakang Magissa. “Mengkilap bener, Nek. Gue takut mata gue katarak kalau natap lama-lama,” keluhnya sembari meringis nista.
Mengikuti arah pandang Marta yang heboh, Magissa mengernyitkan kening seraya menanti si pemilik mobil keluar. “Mungkin, para artis yang nyoba nyaleg, Mar. Biasa, biar dibilang merakyat,” celetuknya santai.
Marta langsung mendengkus. Rambut panjangnya telah ia kuncir tinggi-tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang masih memiliki jakun. “Aduh, lekong, Nek. Ada dua, Nek. Lho, lho, eh? Kok si Dylan bisa adinda di sana? Dese kan di atas, Nek?”
Niat Magissa adalah mendengkus kuat seraya menoyor kepala Marta karena meracaukan hal-hal tak penting sedari tadi. Namun, apa yang ia niatkan urung. Begitu kedua matanya melihat dua orang pria asing dengan tubuh tinggi tegap dan rahang kokoh sedang menuju ke arah warungnya.
“Dylan?” bisiknya meyakinkan apa yang sedang ia lihat sekarang ini. Karena di antara kedua pria tinggi itu ada pria berwajah serupa dengan yang beberapa jam lalu menggerayangi dadanya.
Oh, shit!
“Permisi,” pria tanpa rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu menyapa ramah. Ia haturkan senyuman seraya mengangguk sopan. “Ini warungnya Magissa?”
Marta nyaris pingsan begitu senyum dari si tampan yang tampak hangat itu menyandra penglihatannya. Ia desahkan napasnya dua kali, namun hal itu tak juga berhasil mengembalikan kenormalan dari jantung yang berdetak-detak kurang ajar.
Menyadari bahwa Marta tak akan bisa membantu, malah berpotensi mengganggu, Magissa maju. “Iya, kenapa?” tanyanya tak ramah seperti biasa. Suasana hatinya sedang buruk, beruntung saja ia masih waras saat melayani para pelanggannya. “Mau sarapan di sini atau mau nanya-nanya doang?” tembaknya langsung, malas berbasa-basi.
“Lo apaan sih, Beb?” Marta sudah sadar dari keterlenaannya tadi. Buru-buru, ia tarik lengan Magissa agar menjauh dari si tampan tanpa brewok gahar yang manisnya membuat Marta terkena diabet. “Jangan ketusin orang. Udah gue aja,” serobotnya memberitahu.
Pria yang mirip dengan Dylan melangkah mendekat dengan gerak tak sabar. “Apa Dylan ada di sini? Dia menghubungi kami tadi. Dan di sana ada mobilnya,” tutur pria itu tanpa membuang-buang waktu.
“Jadi, lo bukan Dylan?” tanya Marta nyaris memekik. “Oh, Tuhan … gue pikir tadi, Dylan keluar dari kamar lewat pintu belakang gitu.”
“Bukan, kami adik-adiknya Dylan. Perkenalkan, nama saya Rivan. Dan ini adalah kakak saya Fabian. Dia dan Dylan adalah saudara kembar,” jelas Rivan berusaha ramah.
Mengabaikan Marta yang memekik kesenangan karena berpikir dengan satu Dylan saja sudah membuatnya membayangkan beragam kenikmatan. Lalu sekarang, Dylan ada dua. Mati saja dirinya kalau tak benar-benar gemetaran. Namun Magissa tak berpikir demikian. Alih-alih menyambut mereka dengan senyuman, matanya justru mendung ketika menatap tangga yang sedang dilalui oleh dua orang lelaki yang mengatakan bahwa mereka adalah saudaranya Dylan.
“Tolonglah, lo nggak boleh baper, Magissa. Tuh laki bagai langit dan lo hanya kerak buminya, Sa,” gumam Magissa sendiri seraya melapangkan hati. Tapi rasanya tak bisa, karena selanjutnya yang dilakukan Magissa adalah mencacah timun di atas talenan. “Ah! Kesel gue!!”
***
Dylan ingat betul, ia hanya menghubungi Rivan tadi. Lalu dengan perlahan, memberitahu adik bungsunya itu mengenai musibah yang baru saja ia alami. Ia bahkan telah mewanti-wanti Rivan agar tak mengabari kedua orangtua mereka dulu. Karena, Dylan bermaksud menyelesaikan sendiri permasalahan yang menimpanya ini.
“Kan, Mas bilangnya jangan ngomong sama Papa, Mas nggak ada nyebutin nggak boleh ngabarin Mas Fabian ‘kan?”
Begitulah dalih Rivan ketika ia mempertanyakan mengapa Fabian ikut serta. Bukan apa-apa, ayah kandung Tata itu sangat temperamental. Belum apa-apa saja, pria itu sudah akan menghubungi polisi guna melaporkan kejadian yang menimpanya. Beruntung saja, ia bisa menahan tindakan gegabah Fabian.
“Pemilik tempat ini bilang, mereka menggunakan cctv, Yan. Dan kalau itu masih kurang, kita bisa melihat cctv di mobilku. Jangan terburu-buru. Kita selidiki pelan-pelan.”
“Kamu selalu seperti itu, Mas. Menganggap enteng semua kejahatan,” balas Fabian ketus sembari menuruni tangga. “Sudah jelas-jelas ini tindakan kriminal. Kamu bisa geger otak, atau mengalami penyakit lainnya. Dan bukannya langsung menuju rumah sakit, kamu malah bertahan di sini sampai pagi,” lanjut Fabian yang memang tak pernah mengerti dengan cara berpikir Dylan. “Langsung ke rumah sakit. Minta visum, setelah itu kita langsung ke kantor polisi.”
Dylan menghela, ia biarkan adik kembarnya itu memimpin jalan. Sementara di belakangnya ada Rivan yang tampak tak peduli dengan percecokan mereka.
Ya, seperti biasa.
“Aku yang nyetir, langsung ke rumah sakit kita,” ujar Fabian di ujung tangga. “Mana kunci mobilnya?”
Menarik napas, Dylan merogoh saku celana lalu menyerahkan apa yang Fabian minta. Berdebat dengan Fabian akan memakan waktu lama. “Sebentar, aku harus bicara dengan pemilik tempat ini. Aku perlu berterima kasih pada mereka.”
“Beli beberapa bungkus bubur ayamnya, Mas. Itu jauh lebih baik sambil mengucapkan terima kasih,” usul Rivan cerdas.
Dylan mengangguk, ia dahului Fabian. Selain ingin berterima kasih, ia juga harus berbicara dengan Magissa. Ia perlu meminta maaf pada wanita itu. “Magissa,” panggilnya segera setelah mendapati Magissa seorang diri di balik meja. Sedang duduk, sambil menghitung pendapatan, mungkin.
Magissa otomatis memutar lehernya ketika namanya di panggil. “Kenapa?” ujarnya berusaha tampak normal.
“Saya ingin bicara. Kita harus—“
“Gue sibuk!” kali ini ia tak bisa menahan keketusannya. Ia tutup laci penyimpanan uang dengan kasar. Lalu beranjak dan kembali menuju etalase. “Kalau lo mau pergi, ya udah pergi aja. Marta lagi nggak ada.”
“Magissa,” Dylan tahu kesalahannya. Maka dari itu, ia berusaha keras agar wanita itu mau berbicara dengannya. “Saya ingin minta maaf.”
“Gue nggak bisa maafin orang kalau nggak lebaran. Jadi, lo simpen aja permohonan maaf lo itu.”
Dylan mendesah. Ia tak mahir merayu seorang perempuan. Sadar bahwa Magissa marah kepadanya, Dylan sendiri bingung harus melakukan apa.
Sementara Dylan masih tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, Magissa mendengkus. Ia tatap laki-laki itu dalam diam. Sumpah mati, kesempurnaan fisik yang dimiliki Dylan masih membuat darahnya berdesir. Namun sikapnya pagi tadi, masih membuatnya kesal. “Ngomong-ngomong, orang yang mukul lo itu namanya Anan. Lo kenal sama dia?”
Dylan refleks menggeleng. Ia bisa merasakan kedua saudaranya telah berada di balik punggungnya. “Saya tidak mengenalnya.”
Magissa sudah menduga. Dylan berada di lingkungan ini hanya karena utang dua ribu rupiah padanya. Mana mungkin, pria semenawan Dylan, bisa mengenal begajulan tak jelas seperti Anan. “Marta bilang, beberapa kali lo sering dateng pagi-pagi ke rumahnya Haji Gofur?” saat kening Dylan tampak berkerut, Magissa sudah yakin pria itu pun tak mengenal nama yang ia sebutkan tadi.
Astaga, untung saja waktu itu Magissa sudah lulus pelajaran ilmu sabar.
“Lo pernah ngejemput si Yumna itu ‘kan?”
“Miss Yumna?” Fabian menyela. Dan Magissa mengangguk. “Ada hubungan apa Miss Yumna dengan apa yang menimpa Dylan?”
“Nah, si Anan ini pacarnya Yumna. Dan Dylan, beberapa kali ngejemput Yumna ini di saat Anan udah ngejogrok di sana buat nganterin ceweknya.” Jelas Magissa tanpa senyum sama sekali. “Ngomong-ngomong, kenapa kalian kenal Yumna?”
“Dia adalah guru anak saya,” Fabian yang menjawab.
Kini, Dylan sudah paham di mana letak permasalahannya. Anan itu pasti salah paham terhadapnya. Namun untuk sekarang, ia sedang menganggap itu tak penting. Urusannya dengan Magissa sedang menjadi fokus utama. “Kita perlu bicara, Magissa. Ada hal penting yang harus saya sampaikan pada kamu.”
Menyorot Dylan lama, Magissa berdecak seraya memutar tubuh membelakangi laki-laki itu beserta saudaranya. “Tenang aja, nanti kalau hamil baru gue kabarin.”
Sontak saja celetukan itu membuat Fabian serta Rivan tersedak.
***
9. Tapi, Haruskah?
Informasi yang diberikan Magissa, langsung ditanggapi baik oleh Fabian. Saudara kembar Dylan itu, langsung melaporkannya ke kantor polisi, setelah meminta salinan rekaman cctv dari Magissa.
Dylan menolak melakukan visum, ia masih berkeinginan menyelesaikan permasalahan ini secara baik-baik. Untuk itulah, ia meminta Fabian menghubungi guru sekolah Tata itu saja. Lalu menceritakan kronologinya. Bukan apa-apa, Dylan masih merasa bahwa kekasih Miss Yumna salah paham terhadapnya. Well, terkadang laki-laki memang begitu. Saat egonya terusik, gelap mata akan mengalahkan akal sehat.
Memilih menyerahkan masalahnya pada Fabian dan Rivan, Dylan mencoba untuk mengistirahatkan tubuhnya saja. Apalagi ketika permasalahan ini sudah terdengar oleh seluruh keluarga besarnya, tentu saja tak akan ada yang sederhana bila ayah serta pamannya ikut terlibat. Karena, setali tiga uang dengan Fabian, mereka pun ingin menempuh jalur hukum. Padahal, Miss Yumna itu sudah datang ke rumah mereka dengan membawa serta orangtua Anan.
Si penyerang itu masih mereka cari. Sebab, sedang bersembunyi.
Memilih naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Dylan merebahkan tubuh di atas ranjang yang tetap saja bersih walau ia sudah tak lagi tinggal di rumah orangtuanya.
Yeah, Fabian membawanya ke rumah orangtua mereka dan bukan ke apartemen.
Di dalam kamar, Dylan tak sepenuhnya beristirahat. Pikirannya justru tengah menerawang. Bayangan Magissa menyandra seluruh ingatan. Kehangatan wanita itu seakan masih mampu ia rasakan. Mengangkat tangan ke udara, Dylan meringis menatap telapak tangan kanannya itu. Tak hanya sekadar membelai, tangan inilah yang meremas payudara Magissa hingga membuat darahnya berdesir penuh semangat.
Astaga, Dylan tak pernah seperti ini sebelumnya.
Dylan ingin menepis semua bayangan itu dari benaknya. Ia mau melupakan saja kejadian tersebut dan menganggapnya tak pernah ada. Namun, ia tak bisa.
Menutup mata pun percuma, karena saat gelap mulai mengambil alih penglihatan, sayu tatapan Magissa yang mendamba membuatnya gemetaran. Wajah merona wanita itu membuatnya menipiskan bibir kala mengingatnya dengan jelas. Dan Dylan tak akan mungkin bisa melupakan bagaimana menggodanya Magissa saat berada di bawahnya. Payudara yang bulat dengan ujung putting menegang, membuat Dylan kembali membuka mata dan terengah.
Ah, sialan!
Duduk, Dylan mengacak rambut sembari menariknya sejumput guna melampiaskan frustrasi.
Brengsek!
Tidak pernah sebelumnya ia merasakan putus asa seperti ini.
Tidak pernah sebelumnya ia merasa sekurang ajar ini.
Yah, memikirkan hal yang tidak-tidak sementara seluruh keluarganya yang berada di bawah tengah mengkhawatirkan kondisinya. Dan dengan biadabnya, ia malah mengingat-ingat hasrat kurang ajar yang tak mampu ia kontrol.
“Papa!”
Pintu kamar terjeblak terbuka, Tata muncul seraya berteriak memanggilnya. Rambut ikal Tata dibiarkan tergerai. Sementara bocah itu berlarian menuju ranjang, Dylan menarik napas panjang sambil berusaha menampilkan senyuman.
Setidaknya, kehadiran Tata dan beberapa keponakannya yang lain—yang ternyata muncul setelah Tata naik ke ranjang—dapat mengalihkan perhatiannya dari keinginan untuk mendatangi Magissa dan mengulang lagi cumbuan yang tak pernah ia sangka dapat membuatnya segila ini.
“Mami bilang Papa sakit,” Tata duduk di atas pangkuan Dylan. “Terus, Papi marah-marah sama Miss Yumna. Kata Papi, Miss Yumna jahat. Gara-gara dia Papa pingsan. Tata nggak mau sayang Miss Yumna lagi.”
Dylan meringis, ia sudah bisa membayangkan bagaimana Fabian mengatakan hal itu pada anaknya. Sangat tipikal Fabian sekali yang tak mau repot-repot menyembunyikan ketidaksukaannya pada orang lain. Bahkan di depan anak-anaknya sekali pun. “Papa nggak apa-apa, Kak. Turun dulu, Kak. Adek Aya kesusahan mau naik.”
Tata hanya menggeleng kuat-kuat. Sementara Aya, sudah menangis memanggil namanya untuk minta tolong di naikan.
“Uncle Dy …!”
Seorang balita lagi muncul.
Ya, baiklah, kalau sudah begini. Dylan akan kembali berperan sebagai seorang ayah dengan banyak anak yang tak mau saling mengalah.
***
“Lo beneran nggak mau ikut nyari makan nih?” tanya Marta sangsi. “Lo mau makan apa, gue ikut aja deh. Serius, malam ini gue nggak akan protes lo ngajak makan di mana pun. Ayok ajalah pokoknya gue.”
“Ah, bawel banget dah lu. Mau nyari makan nyari sendiri aja sono! Kan udah gue bilang, gue lagi nggak laper!” omel Magissa sembari memberi delikan murka. “Isi bensin nih motor gue nanti,” ia melipat tangannya di atas dada. “Jangan kelayapan kayak jablai lo ya? pulang lama dikit aja, nggak gue kasih pintu!”
Marta langsung cemberut. Mengancingkan jaket merahnya dengan jemari yang gemulai, ia mengibaskan rambut panjangnya yang sengaja tak diikat karena masih setengah basah. “Gue ngeri lho kalau lo udah nggak nafsu makan gini. Seharian lo juga uring-uringan mulu. Si Anan lewat aja tadi lo nggak ngejer dia. Padahal, sebelumnya lo kan udah semangat empat lima buat nguber tuh pengacara.”
Magissa berdecak, ia yang semula berada tepat di depan pintu ruko yang dibuka sebagian, memilih keluar. Lalu duduk di bangku kayu yang waktu itu sempat diduduki Dylan.
Aduh, kenapa harus Dylan lagi sih?
“Gue lagi galau,” celetuknya sembari mendesah. “Dan dalam dunia pergalauan ini, gue nggak butuh makan,” lanjutnya bermonolog sendiri.
Marta jelas enggan menanggapi. Tapi mau bagaimana lagi, sesama manusia sejati, ia tak mungkin bisa mengabaikan ocehan tanpa faedah ala Magissa ini. “Jadi yang lo butuhin tuh apa?” tanyanya malas seraya merotasikan bola mata.
Memanyunkan bibir, Magissa tahu apa yang ia butuhkan saat ini. Tapi, tak mungkin ia mengatakannya. Ah, andai dirinya adalah Maudy Ayunda, tentulah ia tak akan semalu ini untuk mengungkapkan kemauannya. Sayang sekali dirinya hanyalah Magissa, Mpok Demplon kesayangan para bapak-bapak pelanggan. Berdecak karena pemahaman yang sangat memilukan versi dirinya, Magissa menatap ujung-ujung jemari kakinya yang terlihat sedikit buntal. “Eh, Mar, kok kayaknya jari kaki gue jempol semua, ya? Lo coba deh liat!” serunya menatap tajam kedua kakinya.
“Ah, elaah, bodo amat!” seru Marta ketus. “Udah ah, gue mau cari makan dulu. Pengin makan bebek goreng nih gue. Kalau lo berubah pikiran dan pengin makan sesuatu, lo telepon gue aja. Karena gue nggak seromantis itu, buat ngebawain lo makanan.”
Dan tanpa mendengar ocehan Magissa lagi, Marta langsung memacu sepeda motor, meninggalkan Magissa yang masih cemberut sambil menyumpahi banci berengsek itu dengan mata mendelik murka. Persis Luna Maya ketika sedang memerankan karakter Suzana.
Bangkit, Magissa bersiap masuk kembali ke dalam. Udara malam, tidak baik untuk kesehatan bentuk payudaranya yang sempurna. Bukan apa-apa, dingin yang terembus dari malam tak pernah gagal membuat putingnya berdenyut mengeras. Tidak sehat bukan?
Namun, langkah Magissa urung. Saat lampu mobil menyorotnya, lalu bunyi klakson terdengar menyapa inderanya. Andai Magissa adalah sosok protagonis berwatak lembut dan penuh kesantunan, pasti ia akan segera memeragakan adegan slowmotion dengan penuh perasaan. Tapi, lagi-lagi dirinya hanyalah Magissa Ayu Cendana, alih-alih bergerak lembat, ia justru menggigit bibir dengan tangan menyentuh jantungnya yang bedebar.
Ah, sial!
Ia tahu mobil siapa itu!
***
Setelah berhasil meyakinkan ibunya, kalau dirinya kini sudah baik-baik saja. Dylan sengaja mengantar Evelyn beserta anak-anaknya pulang. Padahal, Evelyn sudah mengatakan padanya kalau suami wanita itu akan menjemput. Namun, Dylan memang sedang membutuhkan Evelyn agar ia bisa keluar rumah dan merunut segala kegilaan yang tak juga reda setelah bermain dengan para keponakannya beberapa jam.
Evelyn duduk di sampingnya, sementara kedua anak wanita itu berada di belakang dengan baby sitter.
“Jadi, apa yang bisa aku dengar, Dylan?” Evelyn sudah menunggu saat-saat seperti ini sejak tadi. Ia tahu, pasti ada alasan sampai Dylan bisa berada di sebuah kawasan yang lumayan jauh dari huniannya. Dan itu di jam pulang kerja. Di mana, Dylan biasanya sangat menyukai mengistirahatkan tubuh di apartemen sepinya seorang diri. “Kalau kejadiannya pagi, aku bisa asumsikan kamu menjemput guru itu. Tapi situasinya, malam hari. Kamu ada urusan di sana?”
Dylan tak pernah berdecak di depan Evelyn. Tidak pernah juga marah, apalagi meninggikan suara. Baginya, Evelyn memang seistimewa itu. Jadi, jangan harap ia bisa mengabaikan pertanyaan Evelyn seperti ketika ia mengabaikan pertanyaan bernada serupa yang dilayangkan Fabian siang tadi. “Sudah aku bilang, aku membayar hutang di sana. Tata pernah meminta yogurt di mini market. Aku membayarnya dengan kartu kredit. Tapi ternyata, memarkirkan mobil di sana, harus membayar uang parkir. Aku tidak punya uang kecil, makanya aku berlari ke warung untuk menukarkan uang.”
“Apa itu bisa dipercaya?”
Melirik Evelyn, Dylan menghela napas seraya mengangguk. “Kapan aku pernah berbohong padamu?”
Evelyn tersenyum tipis, ia palingkan wajah melihat putri-putrinya yang sudah terlelap di belakang. “Kamu pernah berbohong dulu. Sewaktu menjalin hubungan dengan Tissa. Kamu bilang, dia yang akan menjadi takdirmu. Nyatanya, kamu malah memutuskannya di saat aku telah menemukan Abra,” Evelyn menyebutkan nama suaminya.
Dylan meringis.
Ah, dalam upaya menggeser perasaannya untuk Evelyn, Dylan pernah berpacaran dengan seorang wanita beberapa tahun lalu. Dan semua hanya berakhir dengan kegagalan.
“Eve, apa yang akhirnya membuatmu yakin kalau Abra adalah seseorang yang memang ditakdirkan untuk menggenapi kekosonganmu?”
Menatap Dylan, Evelyn mencoba membaca raut wajah sepupunya itu. Namun seperti biasa, Dylan sangat baik menyamarkan maksudnya. Hingga Evelyn menyerah dan berusaha menjawab pertanyaan itu dengan baik. “Semuanya terasa di luar nalar waktu itu, Lan,” desahnya memulas senyum. “Kamu tahu ‘kan, hubunganku dan Abra dimulai dari sesuatu yang tidak benar.”
Dylan mengangguk kaku. Ia masih ingat, ketika Evelyn mengungkapkan bahwa ia sudah tidur dengan Abra sebelum mereka menikah. Sesuatu yang saat itu langsung membuat kepala Dylan pening, tak rela.
“Namun di antara banyaknya ketidakmungkinan aku bersanding dengan Abra, satu hal yang aku garis bawahi,” ia kembali menyuguhkan senyum tipisnya untuk Dylan. “Kadang kala, orang-orang seperti kita, perlu bergerak di luar zona nyaman kita, Lan. Kita membutuhkan tantangan untuk perasaan kita yang telah terlanjur beku. Kita harus melompat jauh, menabrak segala hal yang kita anggap konyol agar kita bisa mengerti bahwa hidup yang kita agungkan selama ini, tak ada apa-apanya dibanding dengan debar jantung yang kita rasakan ketika telah berhasil mendobrak batasan yang kita bangun sendiri.”
Dylan menoleh, ia tertarik dengan ucapan Evelyn barusan. “Dan kamu merasa, bersama Abra sudah melewati semua batasan itu?”
Tertawa tanpa sungkan, Evelyn mengangguk antusias. “Waktu bersama kamu dulu, kenyaman adalah nama hubungan kita. Tapi saat dengan Abra, aku nggak bisa mengatur ritme dari debar jantungku sendiri,” senyum Evelyn terpulas manis. Entah kenapa, ada kebanggan tersendiri ketika membicarakan suaminya seperti ini. “Tapi, semua itu tidak bisa datang saat pertama kali kami bertemu. Namun, karena Abra yang pertama bagiku,” Eve memberi tanda kutip dengan pendaran geli. “Agak susah melupakannya.”
Dylan memang tak menanggapi.
Sampai akhirnya mereka di rumah Evelyn, Dylan pun tak mengatakan apa-apa. Membalas sapaan Abra, hanya sekadarnya. Namun, ketika Evelyn mengucapkan terima kasih sembari mengecup pipinya, barulah Dylan bereaksi.
Tapi, bukan sebuah reaksi berlebihan. Dylan hanya terkesiap, karena rasanya sentuhan Evelyn sangat berbeda dengan apa yang ia rasakan ketika Magissa menciumnya.
Magissa …
Dylan memejamkan mata.
Lalu yang terbayang di kepalanya, adalah dirinya mengendarai mobil menuju sumber kegilaannya itu.
Tapi, haruskah?
***
10. Ini Jelas Salah
Magissa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, mencoba meyakini bahwa pria itu nyata dan ia sedang tak berada dalam fase hangover akibat terlalu banyak menghayalkan Dylan.
Aduh, tolong jangan biarkan nama itu melintas di kepalanya!
Bukan apa-apa, efek yang ditimbulkan nama tersebut, membuatnya langsung pening. Dan hal terakhir yang ia butuhkan adalah bersandar nyaman di bahu pria itu sambil membelai punggung telanjang Dylan yang aduhai. Lalu Dylan akan membalas belaiannya. Kemudian mereka akan bersama-sama terlibat dalam pergumulan sengit yang menyenangkan.
Ah …
Baiklah, cukup sudah semua itu.
Menarik napas, Magissa mencoba meraih remah-remahan harga dirinya. Memupuknya tinggi, kemudian melengoskan tatapan dari pria itu segera. Berjalan dengan dagu terangkat, Magissa mencoba tak peduli, namun bulu-bulu lengannya malah meremang begitu ekor matanya melirik-lirik Dylan yang sedang melangkah menuju dirinya.
Astaga … sekarang Magissa bingung harus merespon bagaimana?
Karena nyaris semua komponen dalam tubuhnya bersorak girang.
Ah, kalau sudah begini baiklah Magissa akan mencoba menurunkan tensinya. “Mau apa?” tanyanya sok ketus. “Utang lo yang dua ribu udah gue terima. Oh, iya, lo mau ngambil baju ‘kan? Ada di atas, belum disetrika.”
Magissa mengoceh sambil menarik pintu besi rukonya, menutup setengah yang masih terbuka tadi hingga menyisahkan satu ruang kosong saja untuk jalan keluar masuknya.
Dylan sudah berada tepat di teras. Sedang memerhatikan Magissa yang tampak begitu cekatan menarik pintu besi tersebut. Terlihat sekali bahwa wanita itu memang sudah sering melakukannya. Namun, celana pendek yang Magissa kenakan cukup mampu membuat Dylan meringis. Paha putih wanita itu terpampang dan ia enggan mengalihkan tatapan. Dylan tahu bahwa ini tidak benar, tetapi susah sekali rasanya untuk berpaling.
Dan ketika Magissa berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada, matanya kembali menemukan hal yang harusnya segera membuat ia menutup mata. Bukan malah memandangnya terang-terangan begitu.
Ck, sialan!
Kaus ketat yang wanita itu kenakan, tak bisa menutupi ujung payudaranya yang menyembul, mencetak bongkahan bulat yang sudah pernah ia remas.
Damn!
Magissa tidak memakai bra!
Oh shit!
“Gimana? Lo beneran mau ngambil baju nih?”
Wanita itu tidak memiliki suara yang menenangkan layaknya Evelyn ketika berbicara. Pendaran matanya juga tidak setegas Evelyn ketika sedang mendikte lawan bicaranya. Wanita itu adalah seluruh kebalikan dari sifat yang Evelyn punya. Tidak ada keanggunan dalam gerak-geriknya, tidak juga ada kesantunan saat ia mulai melontarkan kata-kata.
Magissa tampak liar dan berbahaya. Dan dengan tatanan rambut yang acak-acakan begitu, Magissa terlihat begitu … ah, haruskah ia menyebutkannya sensual?
Tubuh wanita itu padat berisi. Menonjol tepat di beberapa bagian yang memang seharusnya. Magissa tidak tinggi, cenderung pendek. Namun, Magissa tidak terlihat rapuh. Sebaliknya, wanita itu tangguh.
Dan dalam dunia Dylan yang penuh kedamaian, menaklukan Magissa tentulah merupakan jawaban mengenai keanehan yang terjadi pada tubuhnya.
“Lo takut, ya, kalau bajunya gue jual? Tahu deh gue kalau itu baju mahal. Tapi gue nggak segitunya juga—“
Dylan menyela ocehan wanita itu dengan cara mendorong Magissa ke dalam. Celotehan Magissa berganti dengan pekikan tertahan. Karena tak lama berselang, Dylan mengangkat wanita itu ke atas meja. Menundukkan kepalanya sendiri, Dylan menyentuh dagu Magissa sebelum melayangkan ciuman ke bibir ranum yang sedari tadi terus saja berbicara. Melesakkan lidahnya ke dalam mulut, Dylan tak memerlukan waktu lama sampai ciumannya berubah menjadi lumatan.
Bila Evelyn bilang bahwa sesekali mereka harus keluar dari segala ketidakmungkinan dalam dunia mereka yang serba teratur dan membosankan, maka Dylan akan mencobanya. Dengan Magissa—sosok asing yang berhasil membuatnya seperti orang asing sendiri di dalam dunia yang selama ini ia huni.
Ini jelas salah.
Dan akan menjadi kesalahan fatal bila ia melanjutkan, namun Dylan enggan menjadi penurut. Sentuhan yang Magissa berikan tak mampu ia abaikan. Biarlah, ia berubah bak balita yang penasaran. Dylan harus mencari tahunya sendiri.
Magissa tak siap menghadapi ciuman Dylan yang tiba-tiba. Apalagi, ketika intensitas dari ciuman itu berubah cepat seiring liarnya tangan Dylan menyusuri tubuhnya. Tak ada yang sopan dalam ciuman ini, panas dan begitu menggebu. Magissa sudah terengah-engah, karena Dylan tak membiarkannya menarik napas lama. Namun dirinya sama sekali tak menolak. Ia mengaitkan kaki di pinggang Dylan, membawa pria itu kian dekat dengan pusat kebutuhannya. Membalas ciuman Dylan sama gilanya, Magissa pun tak sabar menyelusupkan tangan di dalam kemeja hitam yang pria itu kenakan.
“Pintunya,” bisik Dylan parau, menyadari bahwa siapa saja bisa memergoki mereka hanya dengan melongokkan kepala dari luar ke dalam.
Magissa mengerti maksud pria itu, tetapi enggan sekali rasanya bergerak dan melepaskan Dylan walau hanya sedetik saja. “Biarin aja,” desah Magissa ketika bibir Dylan menyapa lehernya.
“Magissa?” Dylan menjauhkan bibirnya dari leher Magissa. Namun Magissa malah menggigit dagu, lalu menyusuri rahangnya menggunakan bibirnya yang panas dan menggoda. “Kita harus menutup pintu, Magissa.”
Para iblis di neraka tahu yang harus Magissa lakukan saat ini adalah melucuti pakaian Dylan segera. Menjelajah tiap jengkal tubuh maskulin Dylan yang menggairahkan dengan bibir dan lidahnya. Menjilat serta menggoda sampai Dylan mengejang dan memohon penyatuan.
Ah, Tuhan … Magissa tak sabar rasanya.
Bergerak lincah, tangannya begitu cekatan melepas satu per satu kancing kemeja yang Dylan kenakan. Menyibakkan kain mahal tersebut demi membelai dada Dylan, Magissa menurunkan bibirnya mengecupi kulit kecokelatan Dylan yang menggugah gairahnya. Sementara tangannya tentu tak tinggal diam. Setelah melewati perut Dylan yang kotak-kotak, tangannya segera merangsek makin ke bawah, menyentuh resleting celana Dylan dengan jantung berdentam tak sabar.
“Magissa,” bisik Dylan parau. “Pintunya Magissa,” ia mengingatkan sekali lagi. Sebelum akal sehatnya hilang dan membiarkan mereka berdua menjadi tontonan gratis bagi siapa saja yang melintas.
Terpaksa Magissa menjeda sejenak aktifitas yang menjanjikan kenikmatan itu dengan berat hati. Ia melompat turun segera. Lalu dengan buru-buru membanting pintu dan menguncinya sekadar saja. Yang penting pintu itu tertutup ‘kan?
Sebelum Dylan sadar dan kembali menanyakan hal-hal yang akan membuat moodnya terjun bebas lagi, Magissa langsung menyambar lengan lelaki itu. Menggandengnya erat sembari mengarahkan Dylan agar mengikutinya ke kamar. Marta bisa pulang kapan saja, dan kalau mereka tetap di bawah sementara Marta menggedor-gedor pintu dengan cara yang tak manusiawi, Magissa yakin Dylan akan kembali waras.
Dan ia sedang tak membutuhkan itu sekarang.
Terserahlah, kegilaan apa yang membuat pria itu sampai mendatanginya lagi. Yang jelas, Magissa enggan memikirkan apa-apa, selain menyentuh Dylan sampai puas.
Dylan langsung mengerang, ketika Magissa menarik tengkuk dan menyerangnya dengan ciuman menggebu begitu mereka tiba di kamar wanita itu. Ia pun tak keberatan terus menunduk demi meningkahi lumatan Magissa yang begitu menuntut. Magissa melepas ciuman mereka hanya untuk membuka kaus yang wanita itu kenakan. Lalu mendekatkan tubuh kepadanya yang juga telah bertelanjang dada. Menempelkan payudara bulatnya yang hangat ke dada Dylan, detik itu juga Dylan bersumpah telah kehilangan seluruh akal sehat.
Lengannya segera melingkupi punggung telanjang Magissa, mengusap lembut kulit wanita itu yang terasa lembab di bawah sentuhannya, Dylan mengeram pelan saat dengan sengaja Magissa menggesekkan payudaranya. “Magissa,” gumam Dylan sembari meraba bagian tubuh wanita tersebut yang paling membuncah. Puttingnya telah menegang, ketika Dylan mengelusnya.
Magissa mendesah, seraya melengkungkan punggung saat tangan besar Dylan mulai melingkupi dadanya. Kemudian makin tak keruan ketika pria itu meremas dadanya kuat. Ciumannya jelas terlepas, sebagai gantinya ia tak bisa menahan desir nikmat yang diberikan oleh pria itu. Tak ingin membiarkan Dylan bekerja sendirian, Magissa pun membalas. Tangannya kembali meluncur ke bawah, membuka celana panjang Dylan demi membebaskan kejantanan pria itu yang sampai detik ini masih membuatnya penasaran. Meremasnya dari luar celana dalam, Magissa tak kuasa menggigit bibirnya begitu merasakan seberapa keras Dylan untuknya.
Mengeram pelan di tenggorokan, Dylan tak bisa menunggu lama untuk melucuti sisa pakaian yang Magissa kenakan. Hasrat yang mengamuk dalam tubuhnya membutuhkan pereda. Dan ia tahu betul, berada di dalam Magissa adalah yang ia butuhkan.
“Dylan, please …”
Dan bagi Dylan desahan itu sudah cukup untuk mengangkat tubuh Magissa lalu mendesakannya ke dinding, sebelum ia mengarahkan miliknya dan menyelinap tegas memenuhi Magissa yang telah siap menyambutnya.
“Ah, Dylan …”
Ya, ini namanya nafsu. Dan keduanya tak akan menampik dengan buru-buru menyebutnya dengan kata yang tabu.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
