
Selamat membaca ….
#####
BAB 3.
“Apa yang sudah kamu lakukan pada kakek?”
Biru baru akan menyalakan ujung rokok, saat pertanyaan itu terdengar begitu dekat. Pria berusia 32 tahun itu refleks memutar kepala ke belakang. Dan butuh detik terlewat, Biru mendengkus melihat kakak sepupunya berdiri di sampingnya.
“Sesekali pakailah isi kepalamu untuk berpikir. Kalau aku mempengaruhi kakek untuk memberikan semua sahamnya padaku, aku tidak akan memintanya membuat syarat gila dengan melibatkan Jingga,” ujar Biru menjawab pertanyaan yang terlempar dari mulut Rimba.
“Siapa yang tahu? Mungkin saja kamu bersekongkol dengan Jingga.”
“Apa kamu sudah gila berpikir aku bersekongkol dengan Jingga? Apa kamu pikir aku akan menukar Shela untuk perempuan tidak jelas itu?” Terlalu kesal mendengar tuduhan dari Rimba, Biru sampai menunjuk pelipisnya sendiri saat mengatakan kalimat panjang tersebut.
Siapa Jingga sampai dia harus meninggalkan Shela? Perempuan yang sudah menjadi kekasihnya selama 2 tahun terakhir. Gila saja kalau dia sampai melakukannya.
Rimba, pria yang berdiri dengan dua tangan tersembunyi di dalam saku celana tersebut mendengkus. “Aku akan percaya dengan kata-katamu itu kalau kamu tidak melakukan apa yang kakek perintahkan, untuk bisa menguasai 70 persen saham perusahaan Abimanyu.” Rimba menatap Biru dengan satu alis terangkat. “Aku akan melihatnya.”
Satu sudut bibir Rimba terangkat, meskipun kedua tangan yang tersembunyi di dalam saku celananya sudah mengepal kuat. Biru tidak tahu semarah apa dia saat ini. Pria yang satu tahun lebih muda darinya ini diberikan posisi direktur utama serta saham 70 persen, sementara dia sama sekali tidak mendapatkan saham sepeserpun. Sebenci itu kakeknya padanya.
“Jangan menyalahkanku karena kakek tidak memberimu saham. Aku juga tidak tahu alasannya. Tapi aku yakin Rimba, kakek tidak mungkin tidak punya alasan kuat sampai melakukan hal itu. Padahal kamu memiliki nama belakang Abimanyu. Pikirkan baik-baik, apa yang bisa membuat Herlambang Abimanyu tidak memberikan sedikitpun sahamnya pada cucunya sendiri. Kecuali kamu tidak memiliki darah yang sama dengannya, kurasa hanya kamu sendiri yang tahu alasannya.”
“Apa maksudmu berkata seperti itu?” Kulit wajah Rimba semakin memerah mendengar tuduhan Biru. “Apa kamu pikir aku bukan anak kandung Bagas Abimanyu? Sialan kamu, Biru. Kamu menuduh mamaku selingkuh?” Rimba yang memang sedang dikuasai oleh emosi itu langsung menarik kerah kemeja yang membungkus tubuh Biru.
“Kenapa harus marah? Aku hanya—”
“Jangan sekali-kali menghina mamaku, Sialan!” Rimba mendorong tubuh Biru hingga sepasang kaki Biru tertarik ke belakang dua langkah.
Biru tertawa. “Kamu masih tidak berubah, Rimba. Emosimu masih meledak-ledak. Kamu belum bisa mengendalikannya. Sepertinya kamu masih tidak paham kata-kata kakek.”
Rimba mencoba menekan emosi yang sudah meluap-luap di dalam dada, dan membuat kepalanya mendidih seketika. Pria itu mengatur masuknya oksigen dan keluarnya karbondioksida. Bahu pria itu masih bergerak kentara naik turun. Dia masih kesulitan mengendalikannya.
Rimba menatap marah sang adik sepupu sebelum kemudian memutar tubuh, lalu mengayun langkah kakinya meninggalkan Biru yang terkekeh.
Biru menggelengkan kepala sambil mengikuti pergerakan Rimba dengan sepasang matanya. Pria itu berdecak kala Rimba yang sudah naik ke atas motor balapnya itu menancap gas, sehingga kepulan asap putih pekat yang keluar dari knalpot memenuhi tempat tersebut. “Sialan.”
****
Jingga berjalan cepat dengan tas tersampir di bahu kiri, sementara tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinga kanan. Sudah cukup dia menangis. Sekarang dia harus lebih kuat untuk bisa menjaga kakeknya. Dia tidak peduli dengan surat wasiat itu. Kakeknya masih hidup, meskipun saat ini dalam keadaan koma. Masih ada harapan pria itu membuka mata lagi. Dan dia sangat mengharapkan hari itu cepat datang.
Biru menoleh saat mendengar suara langkah kaki seseorang yang terdengar sedang berjalan dengan tergesa-gesa. Di sela jari-jari tangan kiri pria tersebut terselip batang rokok yang tersisa setengah. Pria itu mendengkus melihat siapa yang baru saja keluar dari pintu rumah besar keluarga Abimanyu.
“Si kampungan yang berharap jadi orang kaya. Sialan. Kenapa dia harus masuk ke dalam rumah ini?” Biru mengikuti pergerakan Jingga yang kini berjalan cepat ke arah mobil sedan hitam yang terparkir di depan teras.
“Mau ke mana kamu? Mau pesta?” Biru bertanya dengan suara keras hingga berhasil membuat Jingga menoleh ke arahnya.
Jingga menurunkan ponsel. Wanita itu membalas tatapan tajam Biru, namun sepasang bibirnya tertutup. Jingga sama sekali tidak berniat meladeni tuduhan Biru. Biarkan saja pria itu berpikir seperti apa yang dia inginkan. Biarkan dia merasa bahagia berpikir jika prasangkanya itu benar.
Jingga memasukkan memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menarik keluar kunci mobil. Langkah kakinya kembali terayun tanpa menjawab pertanyaan Biru, hingga membuat Biru naik pitam seketika.
Biru menjatuhkan setengah batang rokok yang ujungnya masih terbakar, kemudian menginjaknya dengan kuat. Pria itu berderap cepat menghampiri wanita yang sudah akan menarik handel pintu mobil.
“Sialan kamu, Aku bertanya padamu. Apa sekarang kamu bisu, hah?” tanya Biru sambil mencengkram sebelah pergelangan tangan Jingga.
Jingga meringis kesakitan lantaran cengkraman tangan Biru yang begitu kuat. “Lepaskan. Silahkan berpikir sesuka hatimu. Toh kamu juga tidak akan percaya sekalipun aku menjawabnya.”
“Siapa kamu, mengira bisa membaca pikiranku, hah? Terserah aku akan percaya atau tidak. Itu urusanku. Urusanmu hanya menjawab pertanyaanku. Jangan besar kepala setelah mendengar isi wasiat kakek. Jangan berharap nasibmu akan berubah karena wasiat sialan itu. Aku tidak akan membiarkan satu persen pun saham Abimanyu jatuh ke tangan orang luar sepertimu.”
“Lepaskan. Aku juga tidak menginginkan harta itu. Ambil saja semuanya.”
“Sialan.” Biru menghentak keras tanga Jingga. “Kamu pikir aku akan menikahimu?”
“Apa aku pernah mengatakan ingin kamu nikahi … Kak?” Jingga menjeda panggilannya untuk Biru. Sudah cukup lama dia tidak lagi memanggil pria itu dengan panggilan kakak. Setelah hubungan mereka memburuk. Lebih tepatnya sejak tiga tahun lalu. Jingga membalas tatapan Biru.
“Aku tahu siapa aku. Dan aku tidak pernah bermimpi menikah dengan keturunan konglomerat sepertimu, atau pun kak Rimba. Tidak pernah.”
“Halah, bohong.”
Tatapan mata Jingga meredup. “Aku sudah bilang kamu tidak akan pernah percaya jawabanku,” ujarnya dengan nada putus asa. Menatap Biru dua detik lebih lama sebelum akhirnya mengalihkan tatapan kemudian menarik handel pintu. Jingga masuk ke dalam mobil. Membiarkan Biru mengumpat sesuka hati.
“Dasar sialan. Pembohong. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di dalam otak kecilmu itu, Sialan. Kamu hanya menginginkan harga keluarga Abimanyu, dan sekarang kamu akan merayakan kemenanganmu.”
Biru menarik langkah ke belakang saat suara mesin mobil terdengar. “Jangan harap kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan, Sialan. Dasar perempuan kampungan.” Biru terus mengumpat, meluapkan emosi yang sudah ia tekan susah payah gara-gara isi wasiat sang kakek.
#####
BAB 4.
Rumah sakit.
“Kek, bangun. Apa yang sebenarnya Kakek inginkan dariku? Kenapa kakek menjadikanku syarat bagi kak Biru untuk mendapatkan warisan dari kakek? Kenapa, Kek? Aku tidak mengerti. Kakek tahu ... baik kak Rimba, atau kak Biru—mereka berdua membenciku. Karena kakek menyayangiku. Seharusnya, dulu kakek tidak usah memungutku. Biarkan aku menggelandang di jalanan. Setidaknya, aku tidak akan dikelilingi oleh orang-orang yang membenciku seperti saat ini.
"Apalagi setelah mereka mendengar isi wasiat kakek, mereka semakin membenciku, Kek.” Jingga mengusap pelan punggung tangan Herlambang yang tidak tertancap jarum apapun. Wanita yang baru saja merayakan pertambahan usia menjadi 23 tahun tahun tersebut, menatap wajah pucat sang kakek yang masih menutup sepasang kelopak matanya.
“Bangun, Kek. Aku takut sendirian tanpa Kakek. Apa yang harus aku lakukan tanpa Kakek? Bangun, Kek. Bangun.” Bulir bening itu akhirnya kembali turun dari sudut-sudut mata Jingga. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, namun nyatanya air mata itu tidak terbendung. Bahkan tetes demi tetes kembali turun dengan cepat.
Jingga menangis dengan isak tertahan.
Dulu, 10 tahun lalu saat ia pertama kali dibawa masuk ke kediaman keluarga Abimanyu, mereka masih menerimanya dengan baik. Namun saat mengetahui keinginan Herlambang untuk mengangkat anak dirinya, mereka mulai menjauh. Hanya tersisa Rimba dan Biru yang masih menerima kehadirannya. Akan tetapi, semua berubah sejak lima tahun lalu. Saat tiba-tiba dua orang itu ikut-ikutan menjauhi dirinya. Dan sampai sekarang, Jingga tidak mengerti penyebabnya.
Suara ketukan pada pintu membuat Jingga buru-buru menghapus air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Wanita muda itu menegakkan punggung, kemudian memutar kepala ke arah pintu. Tak berselang lama, daun pintu terkuak, lalu seorang pria paruh baya dengan setelan jas warna coklat berjalan masuk.
Jingga mengikuti pergerakan pria itu hingga tiba di samping ranjang berseberangan dengan sisi ranjang yang ia tempati.
“Apa kata dokter, Om?” tanya Jingga pada pria yang merupakan asisten pribadi, sekaligus orang kepercayaan Herlambang Abimanyu.
“Masih belum ada perkembangan. Saat ini kondisi pak Herlambang masih kritis.” Darma menjawab.
“Kenapa kakek bisa tiba-tiba koma? Apa yang terjadi dengannya? Bukahkan Om selalu bersama kakek? Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?” pinta Jingga dengan sorot mata memohon.
Orang yang Jingga tatap dengan sorot mata penuh permohonan itu terdiam. Tatapan mereka terpaut, sebelum kemudian pria paruh baya itu memutusnya terlebih dahulu. Pria itu memutar kepala ke arah ranjang. Menatap sosok pria yang ia ikuti selama lebih dari 15 tahun. Pria itu menarik dalam oksigen masuk dari lubang hidung. Menahan sesaat, sebelum menghembus karbondioksida keluar dari tempat yang sama.
“Yang terpenting saat ini adalah memberinya doa. Sebanyak-banyaknya, agar Pak Herlambang kembali bangun.” Setelah mengatakan dua kalimat tersebut, pria itu menoleh ke arah Jingga. Pria itu tersenyum kecil. “Kamu sudah mendengar surat wasiat yang ditinggalkan oleh pak Herlambang?”
Jingga mengangguk. Ekspresi wajah wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan gurat bahagia. Tidak sedikitpun. Sebaliknya, wajah Jingga terlihat begitu sedih.
“Pak Herlambang melakukan semua itu karena dia menyayangimu, dan dia ingin membuatmu aman di dalam keluarga Abimanyu. Itu jawaban atas pertanyaan yang saat ini ada di dalam kepalamu.”
“Aku tidak mau itu. Aku hanya mau kakek bangun lagi, Om.” Jingga menggeleng lemah. "Isi wasiat itu menyulitkanku. Mereka sekarang semakin membenciku. Aku tidak menginginkan apapun dari kakek. Bisa mendapatkan kasih sayang darinya, itu sudah cukup untukku. Aku tidak menginginkan hartanya. Sama sekali aku tidak mau. Aku tidak bohong. Aku bisa mencari uang sendiri. Kakek sudah menyekolahkanku sampai aku lulus kuliah. Itu lebih dari kata cukup.”
“Pak Herlambang tahu itu.”
“Tapi kenapa kakek membuatku terjebak dalam situasi yang sangat tidak kuinginkan?” Jingga menatap bertanya pria yang masih berdiri di sisi lain ranjang. Dia sungguh tidak mengerti.
“Aku tidak tahu jawabannya, Jingga. Aku yakin, bukan tanpa alasan pak Herlambang membuat keputusan itu untukmu. Beliau pasti memiliki rencana yang terbaik untukmu.”
Jingga kembali mengalihkan perhatian pada sang kakek yang masih betah menutup mata. Jingga menatap dalam pria tersebut, sementara kepalanya bergerak menggeleng beberapa kali. “Sekarang, apa aku masih harus berada di perusahaan sebagai sekretaris direktur utama?”
“Tentu saja. Hanya kita berdua yang tahu apa saja yang sedang dikerjakan oleh pak Herlambang.”
“Kak Biru pasti akan tambah marah.”
“Biarkan saja. Tidak perlu kamu tanggapi. Meskipun marah, dia tidak akan bisa mengusirmu Jingga. Jangan khawatir.”
“Menikah dengannya? Itu mimpi paling buruk, Kek. Aku tidak bisa membayangkannya.” Jingga bicara pada Herlambang Abimanyu yang masih menutup mata.
****
Kediaman Keluarga Abimanyu.
“Jangan paksa aku menikah dengan Jingga, Ma … Pa. Aku tidak bisa. Aku akan memikirkan cara lain.” Biru bersuara.
“Tidak ada cara lain, Biru. Kecuali kamu mau 70 persen saham itu semuanya jatuh ke tangan Jingga.” Mutia bersuara. Dia sudah berdiskusi dengan suami dan pengacara kenalan mereka.
“Bagaimana bisa jadi begini?” Biru, dengan tangan kiri berada di pinggang, berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambut yang sudah mulai memanjang. “Bagaimana bisa? Aku akan menikahi Shela. Aku tidak mungkin menikah dengan wanita lain. Apalagi Jingga.”
“Kami sudah berdiskusi. Dengarkan kami, Biru.” Mutia beranjak dari sofa, kemudian berjalan menghampiri sang putra yang masih berdiri dengan wajah penuh emosi. Dia tidak bisa menyalahkan Biru. Dia pun juga emosi mengetahui isi wasiat tersebut. Mutia menarik tangan Biru hingga Biru ikut duduk di sofa panjang bersama dirinya dan juga suaminya.
Mutia meraih kedua telapak tangan sang putra. “Mama setuju dengan masukan papamu. Dengarkan baik-baik. Kamu hanya perlu memiliki status pernikahan dengan Jingga. Kita tidak akan membuat pesta. Tidak akan ada orang luar yang tahu. Hanya untuk kita saja. Dan kamu masih bisa bebas bersama Shela.”
“Aku sudah berjanji akan menikahi Shela tahun depan, Ma.”
“Ya sudah, nikah saja. Tidak ada larangan di wasiat kakekmu untuk kamu menikah lagi. Larangannya hanya untuk tidak menceraikan Jingga dalam waktu lima tahun. Apa sekarang kamu mengerti? Pernikahan dengan Jingga hanya di atas buku nikah. Selebihnya kamu bebas bersama Shela. Dan kamu akan mendapatkan sepenuhnya saham 70 persen tersebut setelah 5 tahun.”
“Shela tidak akan pernah mau dimadu, Ma.”
“Apa kamu masih juga tidak mengerti, Biru?” Raksa yang sebelumnya hanya diam, akhirnya bersuara. “Kamu tidak perlu menganggap Jingga istrimu. Shela tidak perlu cemburu. Kamu tidak mungkin menyentuh Jingga, bukan? Jadi kenapa Shela harus tidak terima?”
“Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin menyentuh Jingga.”
“Ya sudah, masalah selesai. Bicarakan baik-baik dengan Shela. Dan kalau dia masih tidak mau mengerti, Mama yang akan bicara dengannya. Dia itu sudah beruntung mendapatkan keturunan Abimanyu. Hidupnya akan bergelimang harta. Lagipula, dia tidak benar-benar dimadu. Dia akan tetap memilikimu seutuhnya. Bukankah begitu?”
Melihat Biru hanya diam, Mutia melanjutkan. “Pastikan kamu bicara dengan Shela hari ini juga. Kita selesaikan masalah Jingga secepatnya. Mama yang akan mengatur pernikahan rahasia kalian.”
#####
BAB 5.
Jingga duduk diam dengan ekspresi wajah datar. Telinganya mendengar ketika pria yang duduk di sebelahnya menyebut namanya dalam sebuah acara sakral ijab kabul.
Ya, akhirnya pernikahan itu benar-benar dilaksanakan. Jingga tidak tahu apa yang membuat Biru akhirnya menjilat ludahnya sendiri. Pria itu menikahinya. Dia juga tidak mengerti tentang apapun, hingga akhirnya pagi dini hari tadi pintu kamarnya diketuk, lalu seorang wanita mengatakan akan mendandani dirinya.
Bukan, wanita itu bukan seorang MUA terkenal yang biasa mendadani para artis, ataupun konglomerat. Dia hanya salah seorang asisten MUA yang biasa menangani para pengantin kelas menangah ke bawah.
Terkejut? Bukan hanya terkejut. Jingga sudah akan pingsan saat mengetahui jika hari ini dia akan menikah dengan Biru. Semua berjalan begitu cepat. Jingga juga belum memiliki kesempatan untuk bicara dengan Biru. Pria itu baru muncul saat semua sudah siap, dan pria tersebut langsung duduk untuk menjabat tangan wali hakim yang menikahkan mereka.
“Sah?”
“SAH!” Suara beberapa orang yang berada di dalam ruang tamu kediaman Herlambang Abimanyu tersebut terdengar bersamaan.
Jingga menggulir bola mata. Menatap satu per satu manusia yang ada di depannya. Tidak ada senyum tersungging di wajah mereka. Semuanya … Jingga tahu pernikahan ini bukan sesuatu yang mereka harapkan. Pernikahan yang dipaksakan hanya demi saham perusahaan. Ya … 70 persen saham milik pria yang saat ini masih betah tertidur dalam koma.
Jingga tidak lagi mendengarkan apapun yang dikatakan oleh penghulu. Bola mata wanita tersebut kini tertuju pada sosok perempuan cantik dengan kaki putih jenjang yang duduk di salah satu kursi. Sepasang mata wanita itu terlihat memerah. Jingga tahu siapa perempuan itu. Jingga melihatnya saat mereka masuk bersama. Biru dan wanita itu. Shela. Kekasih Biru.
Apa yang saat ini ada di dalam kepala perempuan bernama Shela, saat melihat kekasihnya baru saja menyebut nama perempuan lain dalam sebuah ijab kabul? Apakah hatinya baik-baik saja? Pertanyaan itu singgah di benak Jingga.
Tatapan mata Jingga meredup. Sebagai seorang wanita, dia bisa merasakan kesedihan wanita itu. Namun, dia salut akan ketegaran wanita itu, yang berani datang dan melihat ijab kabul sang kekasih. Sungguh luar biasa.
Senggolan di lengannya membuat fokus mata Jingga pada Shela terputus. Jingga refleks menoleh. Saat itulah tatapannya bertemu dengan sepasang mata dengan manik hitam pekat milik Biru. Hanya beberapa detik, sebelum Bumi memutus pautan mata mereka.
“Cepat tandatangan,” ujar Biru dengan suara mendesis seperti ular.
Jingga menggulir bola mata ke bawah. Sebuah buku nikah terbuka di depannya. Sepasang mata wanita itu mengedip beberapa kali. Tarikan napas dalam wanita itu lakukan. Menahan beberapa detik, lalu sepasang bibir yang terpoles warna merah tersebut terbelah, dan hembusan karbondioksida keluar.
Jingga meraih pena yang disodorkan padanya. Kali ini Jingga menatap sepasang mata Biru sedikit lebih lama. “Demi 70 persen saham, kamu rela menjilat ludahmu sendiri. Menyakiti perempuan yang kamu cintai,” ujar Jingga dengan suara lirih yang ia pastikan hanya didengar oleh Biru. Sesaat kemudian wanita itu tersenyum tipis, kala bola matanya beralih pada dua orang petugas KUA.
Biru menekan sekeras mungkin katupan rahangnya. Pria itu menatap penuh kemarahan pada sosok perempuan yang saat ini sedang membubuhkan tanda tangan ke atas buku nikah.
“Tanda tangan senilai 70 persen saham Abimanyu sudah kuberikan.”
Biru masih bisa mendengar suara serupa gumamaan itu. Susah payah Biru menahan emosi yang sudah meluap-luap dan siap untuk diledakkan. Sayangnya, dia harus terus berusaha menekan sampai acara selesai. Sampai orang-orang luar itu enyah dari hadapannya.
Jingga menyelesaikan semua tanda tangan pada berkas-berkas yang tersodor di hadapannya. Wanita itu kemudian mendorong semua berkas tersebut ke seberang meja. “Sudah semuanya,” ujar wanita itu memberitahu sang petugas yang mengurus pernikahan mereka.
“Silahkan, bisa diambil gambarnya untuk kenang-kenangan.” Salah satu petugas KUA itu menatap bingung keluarga pengantin yang hanya diam. Tidak ada satupun yang bergerak untuk mengabadikan momen pernikahan keduanya.
“Biar aku yang ambil foto kalian. Mungkin suatu saat nanti kalian akan merindukan momen ini.” Akhirnya satu dari beberapa orang yang menjadi saksi pernikahan tersebut berdiri.
Rimba. Pria itu mengeluarkan ponsel sambil berjalan mendekat kemudian menggunakan ponselnya untuk mengambil gambar sepasang manusia yang baru saja resmi menjadi suami istri. Suami istri palsu.
“Tolong diperlihatkan buku nikahnya.” Sang petugas KUA memberi arahan. Pria itu menghembus napas panjang. Ini adalah pernikahan teraneh yang pernah ia hadiri selama dia bekerja mengurus pernikahan.
“Senyum.”
“Lah, cincinnya tidak ada?”
Beberapa foto selesai diambil oleh Rimba, lalu semua selesai. Petugas pernikahan tersebut undur diri dengan menyimpan banyak pertanyaan.
Biru sudah sangat tidak sabar untuk segera pergi dari tempat tersebut. Sayangnya, seorang pria berkacamata yang membuatnya harus duduk bersebelahan dengan Jingga dan menyebut nama wanita itu dalam ijab kabul--masih bertahan di tempatnya. Pria itu berulang kali menarik dan menghembus napas panjang.
Biru baru bisa menghembus napas lega begitu melihat pengacara kakeknya beranjak dari tempat duduk. "Baiklah, karena acara ijab kabul sudah selesai, saya permisi dulu."
"Silahkan, silahkan." Mutia tersenyum lebar sambil beranjak. Wanita itu menyalami orang yang papanya percaya mengurus wasiatnya.
Raksa menemani pengacara Herlambang Abimanyu keluar rumah.
“Tidak akan ada yang berubah setelah pernikahan di atas kertas ini.” Biru mengangkat buku nikah di tangannya, lalu melemparnya ke hadapan Jingga. Pria itu menatap penuh amarah wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya.
“Sialan.” Pria itu beranjak dari tempat duduk, kemudian melangkah keluar dari balik meja. Biru berjalan meninggalkan Jingga.
“Aku akan tinggal di apartemen,” ujar Biru saat melewati keluarganya. Pria itu berhenti di samping Shela duduk. Biru mengulurkan tangan kiri. “Ayo.”
"Tunggu sampai pengacara kakekmu benar-benar pergi, Biru. Jangan membuatnya curiga." Mutia mengingatkan sang putra.
Sementara itu beberapa orang pekerja di rumah itu mengintip dari balik dinding. Beberapa pasang mata itu menatap kasihan seorang perempuan dengan jilbab dan kebaya putih sederhana, yang masih duduk di tempatnya semula. Menatap dua buku nikah di atas meja.
“Kasihan sekali mbak Jingga.”
“Shhht … jangan keras-keras. Jangan sampai mereka mendengar.”
“Sudah, ayo, bubar. Mereka akan melihat kita.”
Empat perempuan yang bekerja menjadi pembantu di rumah besar tersebut akhirnya memutar langkah, kemudian berjalan cepat kembali masuk ke dalam rumah.
Jingga berulang kali menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Wanita yang beberapa saat hanya menatap dua buku nikah dengan beda warna di atas meja itu, akhirnya menggerakkan tangannya. Jingga meraih kedua buku itu kemudian menumpuknya.
“Kamu sudah mendengar apa yang putraku tadi katakan, bukan? Tidak akan ada yang berubah, sekalian kamu memiliki buku itu." Mutia melangkah mendekati Jingga.
"Jangan pernah berpikir putraku adalah suamimu. Dan jangan pernah membuka mulutmu. Tidak boleh ada yang tahu tentang pernikahan kalian. Kalau sampai aku mendengar ada orang luar yang mengetahui status kalian, maka itu pasti kamu. Dan kamu akan membayarnya dengan mahal. Ingat itu baik-baik.” Mutia bicara panjang lebar. Wanita itu menatap tajam sosok perempuan muda yang masih belum beranjak dari tempatnya.
“Sudah sana, pergi. Sudah selesai. Kamu mau menunggu apa lagi?”
Jingga mengangguk dua kali. Wanita itu kemudian beranjak dari tempat duduk. Jingga berjalan menjauh dengan membawa dua buku nikah. Bahu wanita itu bergerak kentara ke atas, lalu jatuh ke bawah dengan hentakan.
“Kamu juga Rimba. Buang foto-foto tadi. Tidak boleh ada yang mengetahui tentang pernikahan mereka.” Mutia mengingatkan Rimba. Wanita itu sudah memutar tubuh dan menatap keponakannya.
“Jangan mengancam putraku. Ingat janjimu, Mutia. Dua puluh persen saham untuk Rimba.” Riana membela sang putra.
“Iya, aku tidak akan lupa. Pastikan saja mulut kalian berdua terkunci. Kalau sampai berita pernikahan mereka bocor karena kalian, tidak ada bagian untuk Rimba.” Mutia mengulang perjanjian mereka. Wanita itu kemudian menoleh ke arah sang suami yang baru saja masuk ke dalam rumah setelah mengantar sang pengacara. “Ayo, aku butuh udara segar. Kepalaku benar-benar bisa pecah karena wasiat papa.”
“Dia papamu.” Raksa terkekeh melihat wajah kesal istrinya.
“Iya, aku tahu dia papaku. Tapi, aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepala papa. Papa benar-benar keterlaluan kali ini.” Mutia mengayun langkah menuju pintu keluar. Dia akan berbelanja sepuas hati untuk membuat perasaannya sedikit lebih tenang. Demi menyembunyikan pernikahan Biru dan Jingga, dia harus merelakan 20 persen bagian saham itu untuk Rimba.
#####
BAB 6.
Tidak perlu ada yang diratapi. Semua sudah terjadi, dan hidup harus terus berjalan. Kenyataan yang sekarang Jingga hadapi adalah dia sudah menjadi istri Biru, sekalipun pernikahan mereka disembunyikan, dan pria yang berstatus sebagai suaminya itu tidak menganggap penting ikrar ijab kabul yang sudah diucapkan. Lalu, orang yang paling peduli padanya, saat ini sedang berada di antara hidup dan mati.
Duduk di depan kaca besar, Jingga mulai membersihkan wajah dari make up yang sebenarnya tidak terlalu tebal, lalu melepas belitan jilbab yang dibuat oleh periasnya. Tarikan napasnya begitu dalam. Menghembus pelan karbondioksida dari celah mulut yang sedikit terbuka, Jingga menatap pantulan wajahnya. Lagi, wanita itu menarik dalam-dalam napasnya.
Malam pertama? Tidak ada dalam bayangan Jingga. Itu adalah satu hal yang tidak mungkin terjadi. Jingga tersenyum kecut. Bagaimana mungkin ada malam pertama jika saat ini pria yang berstatus sebagai suaminya itu justru sedang bersama perempuan lain.
Apa kamu marah Jingga? Satu sisi otaknya bertanya. Jingga menjawab sendiri dengan gelengan kepala. Dia harus menempatkan diri di posisi kekasih Biru. Shela lah yang saat ini berhak untuk marah. Bukan dirinya.
****
Biru membelokkan mobil sport nya ke pelataran sebuah apartemen mewah. Selama dua puluh menit berada di jalanan, tidak ada yang membuka suara baik dirinya maupun Shela. Bumi sedang marah pada keadaan, dan Shela marah pada Bumi. Meskipun wanita itu tetap bersedia datang, serta melihat pernikahan yang biru katakan hanya pernikahan di atas kertas itu, namun bukan berarti dia tidak marah. Dia sangat marah.
Bagi Shela, melihat pria yang dia cintai menyebut nama wanita lain dalam sebuah ijab kabul, walaupun tanpa cinta, tetap saja membuat hatinya patah. Dia ingin mendengar pria itu menyebut namanya, bukan perempuan lain.
“Ayo, turun.”
Shela mengusap kedua pipinya yang basah. Membuka sepasang bibir yang selama dalam perjalanan tertutup rapat, wanita itu menarik pelan namun panjang napasnya, sebelum akhirnya melepas ujung seat belt, kemudian mendorong daun pintu.
Biru sudah lebih dulu keluar. Pria itu berjalan memutari setengah badan mobil ke arah sisi pintu tempat Shela duduk. Begitu kekasihnya itu keluar dari dalam mobil, Biru langsung meraih sebelah telapak tangan Shela, kemudian menggenggamnya erat. Tanpa mengatakan apapun, Biru melangkah hingga membuat Shela mau tidak mau juga ikut menggerakkan kedua kakinya.
Keduanya berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam gedung apartemen, lalu membelokkan langkah menuju kotak besi yang akan membawa mereka menuju lantai dimana unit milik Biru berada.
Pria yang masih memakai setelan jas, dan perempuan yang membungkus tubuhnya dengan dres putih sepanjang di bawah lutut tanpa lengan tersebut, menjadi pusat perhatian beberapa orang yang sedang berada di lobi apartment. Paras tampan dan cantik, serta penampilan mereka, membuat tatapan berpasang-pasang mata itu nyaris tidak mengedip.
Terutama para wanita yang mengenali siapa pemilik wajah tampan tersebut. Salah satu pewaris kerajaan bisnis Abimanyu, yang juga merupakan pemilik gedung pencakar langit tersebut.
Langkah kaki sepasang kekasih itu berhenti sejenak di depan sebuah pintu besi, sebelum kembali berayun begitu dinding besi di depan mereka terbelah. Begitu berada di dalam lift, Biru menghembus napas kasar. Pria itu menoleh ke samping.
“Tidak akan ada yang berubah.”
“Tentu saja ada. Bahkan sekarang aku merasa seperti sedang menjadi seorang pelakor.”
Biru menelan ludah. “Buang pikiran itu. Kamu lah wanitaku. Bukan yang lain.”
“Bagaimana kalau sampai—” Shela tidak bisa melanjutkan kalimatnya lantaran Biru dengan cepat membekap mulutnya. Bola mata wanita itu bergulir ke atas hingga bertemu dengan tatapan tajam Biru. Paham kode yang Biru berikan melalui tatapan matanya, Shela mengangguk dua kali.
Suara lift berhenti terdengar. Biru melepas bekapan tangannya, lalu kembali menggenggam sebelah tangan sang kekasih. Keduanya keluar dari lift. Berjalan menuju tempat yang akan menjadi tempat tinggal Biru mulai sekarang. Biru memutuskan untuk tidak tinggal di rumah yang kini sudah menjadi milik mamanya. Dia tidak ingin berada di bawah atap yang sama dengan Jingga.
Biru baru melepaskan genggaman tangan mereka, setelah keduanya masuk ke dalam unit apartemen milik Bumi. Bumi melepas kancing jas yang masih membalut tubuh bagian atasnya. Menarik keluar dua tangan bergantian dari lengan jas, kemudian melempar begitu saja jasnya ke atas sofa. Pria itu berjalan menuju rak tak jauh dari sofa, sementara Shela menempati sofa panjang. Wanita itu memperhatikan sang kekasih dengan sepasang matanya.
Bukan hal mudah untuk bisa mendapatkan perhatian, apalagi hati Biru. Butuh perjuangan hingga akhirnya mereka mulai berpacaran dua tahun silam. Dan tinggal menunggu waktu sampai Biru melamarnya. Biru bahkan sudah berjanji akan menikahinya tahun depan. Tapi, justru perempuan lain yang saat ini memiliki status sebagai istri Biru. Bagaimana caranya dia tidak marah?
Shela masih memperhatikan Biru sampai pria itu melangkah menghampirinya dengan membawa botol kaca dan juga gelas kristal.
Biru menggulir bola mata—membalas tatapan mata Shela. Pria itu menjatuhkan tubuh di samping Shela, kemudian mengisi gelas dengan cairan dari dalam botol kaca. Mengangkat gelas yang sudah diisi hingga setengah, lalu menyelipkan tepi gelas ke sela bibir. Biru meneguk isi dalam gelas hingga tandas, lalu mengisinya kembali.
Meletakkan botol kaca ke atas meja, Bumi menoleh kemudian memberikan gelas yang sudah terisi pada Shela. “Aku sudah berjanji akan menikahimu. Dan itu akan tetap terjadi.”
Shela menatap Biru dengan mata sembab. Tangannya bergerak menerima gelas dari tangan Biru. “Tetap saja, statusku hanya akan menjadi istri kedua. Aku tidak mau menjadi yang kedua.”
“Hanya sampai waktu aku bisa menceraikan Jingga. Setelah itu kamu akan menjadi satu-satunya istriku,” janji Biru dengan sorot mata serius.
Shela tidak langsung merespon. Wanita cantik itu menatap lekat sepasang mata Biru hingga beberapa detik berlalu. “Apa dia akan tetap menjadi sekretaris direktur utama?” tanya Shela mengingat Jingga adalah sekretaris kakek Biru sebelumnya.
Biru mengedip sebelum kemudian kening pria tersebut berlipat. “Dia yang selama ini menjadi sekretaris kakek. Aku tidak bisa memecatnya begitu saja. Banyak hal yang harus kupelajari dari dia.”
“Lalu kamu akan setiap hari bersamanya. Aku bisa cemburu. Bagaimana kalau kamu jatuh cinta pada perempuan itu?”
“Itu tidak mungkin. Apa yang kamu pikirkan? Buang jauh-jauh pikiran itu. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada perempuan rendahan itu. Dia bukan siapa-siapa. Dia gelandangan yang diambil oleh kakek.”
“Tapi … Jingga itu sebenarnya cantik kalau dia mau berdandan. Tadi saja dia kelihatan cantik, meskipun hanya di makeup seadanya.”
“Apa yang terjadi denganmu, Shel? Kenapa kamu jadi merasa insecure pada Jingga? Dia bukan tandinganmu. Kamu seorang model. Tidak hanya cantik, tubuh kamu—” Biru menghentikan kalimatnya. Pria itu menggerakkan pandangan mata menyusuri tubuh sang kekasih. “Tubuhmu seksi. Dia tidak bisa dibandingkan denganmu. Tidak seujung kuku pun dia bisa menyamaimu, Beb.”
Mendengar pujian Biru, kedua pipi Shela memerah. Apalagi melihat bagaimana Biru menatapnya. Senyum mulai terlihat menghias wajah wanita 26 tahun tersebut. “Baiklah. Aku pegang janjimu. Jangan membuatku kecewa. Kamu tahu aku sangat mencintaimu.” Shela kemudian membawa tepi gelas ke sela bibirnya, sementara tatapan mata wanita itu masih terpaut pada netra pria yang duduk di sampingnya.
“Tentu saja. Kita akan tetap menikah tahun depan, sesuai rencana.”
Shela meneguk pelan cairan di dalam gelas hingga tak lagi tersisa. Wanita itu mendesah nikmat seraya menurunkan gelas ke atas meja. Mengembalikan fokus mata pada Biru, Shela tersenyum manis. Wanita itu menggeser posisi duduk sebelum kemudian mengikis jarak yang tersisa di antara keduanya.
“Aku ingin tinggal di sini malam ini. Menghabiskan malam bersamamu. Boleh?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
