
Part 18 - 22
PART 18.
ELANG
Aku tidak tahu bagaimana takdir lagi-lagi membuatku bertemu dengan sosoknya. Sabtu, saat bermain tenis, teman-temanku tiba-tiba saja mengutarakan keinginan mereka untuk pergi memancing. Katanya, mereka butuh refresing untuk mengusir penat. Dan karena aku tahu tempat pemancingan yang tidak lain adalah milik salah satu sahabat Sean—aku menyarankan mereka untuk pergi ke sana. Awalnya, aku memang tidak berencana ikut, karena hari minggu adalah hariku di rumah bersama Lowry. Setelah kesibukan selama bekerja—minggu adalah waktu yang kugunakan untuk dekat dengan putriku. Siapa sangka, jika Lowry dan Maya pergi menginap di rumah orang tua Maya.
Dari pada tidak memiliki kesibukan di hari minggu, aku putuskan untuk ikut teman-temanku pergi ke pemancingan. Dan ternyata … justru aku menemukannya di tempat ini. Sean ada di pemancingan—bersama teman-temannya.
Jujur—rasanya aku ingin tersenyum lebar—jika tidak mengingat posisiku. Melihat wajahnya yang terkejut saat melihatku, membuatku kesulitan menahan tawa.
“Kayaknya seru kalau kita gabung saja di sini. Lebih banyak orang, lebih rame.”
Aku menoleh ke samping. Nyaris lupa jika ada Tantra, dan juga Restu—bersamaku.
“Boleh gabung, kan?? gue Tantra.” Tantra memperkenalkan diri. Kulirik teman-teman Sean yang seketika saling pandang, sebelum serentak menatap sosok gadis yang beberapa saat lalu sempat tersedak—karenaku. Apakah dia akan tersiksa, jika ada aku di dekatnya?? Tapi, aku sungguh ingin melihatnya. Menyapa, dan juga bercakap. Tidak bolehkah?
Beberapa saat terlewat, tanpa ada yang menjawab pertanyaan Tantra. Kulirik Tantra yang sudah mengernyitkan kening. Mungkin, dia mulai merasa ada yang janggal. Kedua teman bisnisku ini, memang tidak tahu menahu tentang masa laluku. Mereka hanya tahu, aku yang sudah menikah dengan Maya, dan memiliki seorang putri. Aku tidak pernah menceritakan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentang sosok yang masih memiliki hatiku seutuhnya.
Sepasang bola mata yang masih menjadi favoritku itu mengedip pelan. Dia menghela nafas panjang. Aku masih menunggu—berharap. Sampai akhirnya, aku benar-benar tidak sanggup menahan kedua sudut bibirku untuk melengkung ke atas, ketika sepasang bibir itu terbuka dan berucap, “Gue nggak masalah.”
Meski terdengar berat, tapi kali ini aku ingin egois. ‘Maaf Sean,’ batinku berbisik. Kutahan bola mataku agar tidak bergulir ke arahnya. Aku tahu, dia pasti sedang menahan kesal.
“Gue Restu.”
Kulirik Restu yang sudah mengumbar senyum lebar.
“Kayaknya perlu tambah satu meja lagi,” gumam Pipin, yang masih cukup jelas terdengar. Pria itu kemudian beranjak turun dari gazebo. Menepuk sepasang telapak tangannya, sembari memanggil nama seseorang. Tak lama … seorang pria muda berlari ke arah gazebo yang kami tempati. Pipin memintanya membawa satu meja kosong ke gazebo kami.
Aku, dan kedua sahabatku masih duduk di tepi gazebo, ketika dua orang karyawan Pipin datang dengan membawa satu meja kayu. Kami bertiga beranjak, memberi ruang untuk mereka menata meja. Setelah dua orang pegawai pemancingan pergi, barulah kami bertiga naik ke gazebo, lalu ikut duduk mengelilingi meja. Sean duduk satu lajur dengan kedua sahabat wanitanya. Pipin duduk di sisi pendek meja. Lalu dua orang sabahat sean lainnya duduk berhadapan dengan Sean.
Sengaja, aku memdahului dua orang temanku, duduk di sisi panjang meja. Tantra mengikutiku, lalu Restu yang mendapat jatah duduk di sisi pendek meja lainnya. Dengan begini, aku bisa puas memandang Sean, yang masih belum bersedia menatap ke arahku.
“Anjirr … lama banget masaknya. Kasihan Sean gue sudah kelaparan.”
Aku refleks menoleh. Mengernyit, menatap salah satu teman Sean yang baru saja mengakui Sean sebagai miliknya. Kulirik Sean yang sudah mendelik ke arah sahabatnya yang kemudian terkekeh.
“Yaelah sayang … nggak perlu malu ngakuin hubungan kita.”
Jantungku berdebar kencang. Apa benar?? Bagaimana bisa?? Jadi, Sean berpacaran dengan sahabatnya sendiri?? Sejak kapan? Aku sungguh tidak bisa mempercayainya. Hubungan pertemanan mereka memang sangat dekat. Tapi, setahuku—dulu, tidak ada percikan asmara di antara mereka. Apakah aku yang terlalu percaya diri, bahwa Sean hanya akan menatap ke arahku?? Maksudku … bukan ingin sombong, tapi … aku jauh lebih baik dari pria yang duduk di sebelahku ini. Hermit. Yang biasa mereka panggil demit. Aku masih mengingatnya.
“Eh lo … jangan seenaknya matiin pasaran Sean. Lo nggak tahu kalau dia lagi dekat sama Dokter bedah??”
Apalagi ini?? Aku memutar kepala ke depan. Mendapati sahabat Sean yang sudah bersungut-sungut ke arah Hermit. Kuarahkan tatapan mataku ke samping. Tepat ke arah sosok cantik yang kali ini hanya menggelengkan kepala. Aku sungguh penasaran. Inginku mendengar dari Sean … mana yang benar??
“Nama lo Sean??? Bagus …” Tantra tersenyum ke arah Sean. “Kita belum kenalan.”
“Lang … “
Aku menoleh saat Tantra memanggilku.
“Lo belum kenalin teman-teman lo ini.” Tantra mengedik ke arah Sean, dan teman-temannya.
“Ah … sorry. Ini Hermit. Sebelahnya—” Aku lupa siapa nama teman Sean yang pernah menghajarku dulu. Aku hanya ingat mereka memanggilnya, Ding.
“Gue Rahmat. Mantannya Sean.”
Gelegak tawa langsung terdengar, ketika Hermit menoyor kepala Rahmat. “Ngaku-ngaku saja!! Ingat istri di rumah.”
“Ye … siapa yang ngaku-ngaku. Gue memang mantannya Sean. Mantan teman SMA,” sahut Ding dengan cengirannya.
“Dasar gendeng!” sahut sahabat Sean yang aku inggat sekali namanya Ruri.
“Gue Pipin. Baru mau coba minta Sean jadi pacar gue.” Lalu Pipin menoleh ke arah Sean. “Kemarin lo sudah sempat merasakan nafkah dari gue, kan?? entar kalo kita sudah nikah, nafkahnya nggak cuma seratus ribu, entar nol nya gue tambahin.”
Sontak kami semua menatap ke arah Sean yang sedang mencebik ke arah Pipin.
“Astaga, Pin … bilang aja kalo lo nggak ikhlas kasih gue 100 ribu. Gue balikin entar kalau sudah urus ATM yang baru.”
“Emangnya apa yang terjadi?? Kok kalian nggak cerita??” Dian menatap bertanya ke arah sahabatnya.
Sean mendesah. “Gue kecopetan kemarin lusa. Dompet, sama ponsel gue hilang. Masih untung gue bisa dapatin nomor ponsel yang sama. Yah … mesti harus bayar lima ratus ribu,” cerita Sean.
“Jangan tanya, kenapa bisa?? Gue juga nggak tahu jawabannya. Kayaknya, waktu itu gue terlalu terpesona sama mas-mas ganteng yang kasih gue tempat duduk.”
Ough … rasanya aku tidak suka mendengar kalimat terakhir Sean. Apa dia benar-benar sudah melupakanku?? Bagaimana bisa? Sedang aku bahkan belum bisa mengalihkan hatiku sedikit pun. Tanpa sadar, tanganku sudah mengepal. Kutatap tajam wanita itu, yang terlihat tidak menghiraukan keberadaanku sama sekali. Dia masih terus bercerita, yang membuat gelak tawa teman-temannya terdengar. Bahkan Restu, dan Tantra pun ikut tertawa mendengar cerita Sean yang kecopetan.
Jadi … waktu aku sempat melihat Sean yang kebingungan—waktu itu ternyata dia sedang tertimpa musibah. Sayangnya, aku terlambat menghampirinya. Seandainya waktu itu aku bisa lebih dulu datang padanya—mungkin dia akan memandangku berbeda. Bukankah aku yang akan menjadi pahlawannya saat itu?? Bukannya Pipin!
“Tumben lo dari tadi diam, Lang. udah kangen bini sama anak lo??”
“Yaelah Lang … baru juga ditinggal semalam.”
Aku ingin membungkam mulut kedua sahabatku. Suasana yang tadinya masih riuh, berubah hening. Hanya suara kekehan Restu, dan Tantra yang masih terdengar—memecah hening.
AUTHOR POV
Sean tahu tidak ada yang salah dengan ucapan kedua teman Elang. Hanya saja, suasana yang mendadak terasa dingin—ketika sahabat-sahabatnya berhenti tertawa, dan refleks semua menatap ke arahnya dengan sorot mata khawatir—membuat Sean merasa sangat tidak nyaman.
“Memangnya kak Maya lagi pergi, ya??” Sean menatap pria yang duduk di seberang meja. Senyum wanita muda itu tersunging. Seolah ingin memperlihatkan bahwa tidak ada masalah baginya membahas tentang keluarga kecil Elang. Bahwa sudah tidak ada luka di hatinya.
Elang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, saat mendengar tanya yang terlontar dari bibir Sean. Bahkan, dia akhirnya bisa bertatap mata dengan sosok yang sedari tadi memilih untuk tidak mengarahkan sepasang mata padanya.
“Kalian juga kenal sama istri Elang??” tanya Restu sumringah, yang dijawab anggukan kepala oleh Sean. Sementara sahabat-sahabat Sean masih memilih diam.
“Tentu saja kami kenal. Dia kan juga kakak kelas kami di SMA.”
“Wah, jadi kalian teman satu SMA nih, ceritanya??” gantian Tantra yang ingin tahu. Sean tersenyum sembari menganggukkan kepala.
“Dulu Elang playboy nggak, waktu di sekolah? Karena sekarang doi setia banget sama istrinya. Mungkin saja jiwa playboy nya sudah terlampiaskan waktu di sekolah dulu.”
Sean tertawa sumbang. Sungguh … hanya dua orang baru yang tidak tahu menahu tentang bagaimana masa lalu Sean, dan Elang--yang masih bisa menikmati suasana dengan atmosphere yang terasa seperti sedang menunggu badai datang.
Sean melirik ke arah Elang yang mengatupkan sepasang rahangnya keras-keras. Menunggu apa yang akan Sean sampaikan untuk menjawab rasa ingin tahu Tantra.
“No … dia dari dulu setia.” Sean mengulas senyum. “Dari dulu … kak Maya cinta matinya.”
Setelah selesai bicara, Sean menarikan bola matanya ke arah lain. Membiarkan Elang manatapnya tajam.
“Wah … gila!! Gue kira dulu dia playboy.” Tanta menoleh. Menatap tak percaya pria yang duduk di sampingnya—yang masih menatap tajam ke arah … Kening Tantra mengernyit, ketika menyadari kemana arah tatapan sang teman. Ke arah wanita yang baru saja menjawab tanyanya. Sepasang mata pria itu mengedip, lalu kembali menoleh ke arah sahabatnya.
“Kamu tahu seperti apa saya—dulu.”
Sean yang baru saja meneguk minumannya, meletakkan kembali gelas ke atas meja. Wanita itu membalas tatapan tajam Elang, dengan kening mengernyit. Sebelum beberapa detik setelahnya, kepala Sean menggeleng pelan.
“Saya … tidak … pernah … benar-benar mengenal anda.” Kernyit pada dahi Sean bertambah. Sepasang mata wanita itu memicing. “Kalau saya tahu, saya tidak akan tertipu.”
Jawaban Sean, membuat suasana yang sudah dingin, semakin mendingin. Kini—bahkan Tantra, dan Restu tidak berani membuka mulut. Berpasang-pasang mata itu hanya menatap ke arah Sean dan Elang yang masih saling menghujam dengan tatapan tajam.
Dian meraih tangan Ruri—ketika dari sudut mata, melihat sahabatnya sudah akan beraksi. Ruri bisa tidak terkontrol kalau sudah marah, dan Dian tidak ingin membuat suasana yang sudah buruk, menjadi lebih buruk. Mungkin, ini waktu bagi Sean untuk melepaskan segala amarahnya. Dian yakin, Sean masih bisa mengontrol diri. Sahabatnya itu sudah terkekang sekian lama. Mungkin, setelah bisa meluapkan semuanya, Sean akan bisa mulai kembali langkah barunya.
Sean masih bertahan membalas tatap tajam pria yang terlihat begitu marah, setelah mendengar ucapannya. Apa Elang punya hak untuk marah padanya?? Sean mendengkus. Dia lah yang seharusnya malampiaskan kemarahan pada orang yang begitu ia percaya, yang dengan seenak hari menyakitinya. Elang bahkan tidak tahu, neraka apa yang sudah Sean jalani untuk bisa tetap bertahan. Bisa tetap membalas tatapan pria itu seperti sekarang ini. Bahkan, bisa tersenyum ke arahnya.
“Tolong sampaikan salam saya untuk kak Maya. Waktu reuni, kami sempat bertemu, tapi tidak mengobrol karena sepertinya dia sedang terburu-buru.” Sean kembali tersenyum, sembari menganggukkan kepala. “Salam juga untuk anak kalian.” Lalu Sean mengalihkan pandangannya ke arah teman-temannya yang sedang menatapnya.
“Kita perlu bicara,” Elang membuka mulut. Belum mengalihkan tatapan mata dari Sean. “Berdua.”
PART 19.
Sean tersenyum sinis, mendengar permintaan yang terlontar dari mulut Elang. Wanita muda itu mengumpat dalam hati. Punya hak apa dia meminta bicara berdua??
Kepala Sean menggeleng. Sepasang matanya masih terkunci oleh sepasang manik yang dulu pernah sangat ia sukai. Jika dulu, Sean sudah pasti akan luluh, dan menganggukkan kepala—berbeda dengan saat ini. Wanita itu terlihat tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk menghabiskan waktu, sekedar bicara berdua dengan Elang.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan berdua.” Kening Sean mengernyit. “Seingat saya, kita tidak punya masalah,” tambah wanita itu.
“Ada, Sean.”
Sepasang rahang Sean yang terkatup—saling menekan semakin kuat. Dia benci mendengar pria itu memanggil namanya. Sean sungguh benci, karena cara pria itu memanggilnya—sanggup membuat hatinya kembali bergetar. Dulu—Sean sangat menyukai setiap kali mendengar namanya disebut oleh Elang. Cara pria itu menyebut namanya, terasa berbeda. Sean merasakan ketentraman, dan juga cinta dalam suara pria itu. Tapi sekarang, saat cara pria itu memanggil namanya—masih sama, Sean muak.
“Terserah … kalau anda merasa memiliki masalah dengan saya. Tapi saya … sudah tidak punya apapun yang ingin saya bicarakan, atau pun dengar dari anda.”
Suasana benar-benar mencekam bagi beberapa kepala yang ada di gazebo tersebut. Kedua orang yang masih saling menatap tajam tersebut—seolah sedang berada dalam dimensi berbeda, dan hanya mereka berdua yang ada di dalamnya. Keduanya seperti lupa akan keberadaan teman-teman mereka.
Ruri menoleh ke arah Dian. Wanita itu seolah sedang meminta izin Dian, untuk menghentikan sang sahabat. Namun, Dian tidak merespon. Dian masih mengamati Sean dengan wajah datarnya. Merasa bersyukur, karena sepertinya sang sahabat masih bisa mengontrol emosi. Berbeda dengan Elang yang sudah terlihat emosi. Wajah pria itu memerah.
Sean berulang klai mengucap syukur dalam hati. Bisa menatap mata tajam Elang, dengan sama tajamnya. Ia tahu, pria dihadapannya sudah mulai tidak bisa meredam emosi. Entah apa yang membuat Elang terlihat begitu marah. Hanya karena Sean menolak berbicara berdua dengannya? untuk apa?? Untuk mendengar bagaimana kisahnya bersama sang istri?? Hah!! Sean ingin tertawa dengan keras. Dia sama sekali tidak tertarik pada kisah cinta mereka.
“Ah … kenapa makanannya lama sekali, Pin??” Sean menoleh ke samping. Melihat keterkejutan sang sahabat. “Gue beneran sudah lapar, nih. Apa karena diskon, jadi tidak diprioritaskan??”
Pipin mendelik. Suasana yang semula mencekam, perlahan berubah saat sahabat-sahabat Sean yang lain, tertawa melihat kedua sahabat mereka yang saling melotot. Berbeda dengan Elang, dan kedua temannya yang terlihat masih mengatupkan sepasang bibir mereka.
Elang masih menghujam tatapan tajam ke arah Sean. Sementara Tantra, dan Restu memperhatikan sang sahabat. Kedua orang itu kemudian saling pandang, lalu sama-sama menggelengkan kepala. Seolah keduanya bisa mendengar tanya dari kepala masing-masing, lalu menjawab dengan gelengkan kepala.
“Lo pikir gue temen macam apa?? Sekalipun gratis, gue nggak akan bedain pesanan kalian sama orang lain. Emang lagi rame saja. Antrian banyak. Koki gue nggak masuk satu, hari ini. Lo mau gantiin biar cepet??”
Hermit yang kebetulan duduk di dekat Pipin, langsung menoyor kepala sang sahabat. “Lo gila suruh pacar gue masak?? Tangan dia terlalu berharga buat kena panci, bro. Tuh tangan mahal. Kasihan anak-anak gue entar, kalau emaknya tangannya luka.”
“Ngimpi aja lo. Awas ngompol!” Gantian Hermit yang mendapat toyoran dari Rahmat karena kalimat panjangnya.
Demit a.k.a Hermit berdecak kesal. “Lo ngapain cemburu?? Lupa … kalau Sean udah tolak lo, sebelum dia malah jadian sama burung pemakan bangkai??”
Hermit melotot ke arah Rahmat. Sementara yang dipelototi membuka mulutnya—menganga.
Dian, dan Ruri saling pandang—sebelum kemudian dua orang wanita itu tertawa keras. Sementara Sean yang terperangah mendengar kalimat Rahmat—mengerjap beberapa kali, sebelum kemudian memperlihatkan ringisannya. Bola mata wanita itu refleks melirik ke arah seorang pria yang baru saja Hermit sebut dengan burung pemakan bangkai. Sumpah … Sean ingin tertawa keras—yang sudah diwakili oleh kedua sahabat wanitanya. Apalagi, ketika melihat wajah merah padam Elang, yang melirik tajam pria yang duduk terpisah satu orang darinya. Sean yakin … kepala Hermit pasti sudah akan berlubang, jika dalam sorot mata Elang ada sinar laser seperti yang dimiliki superman.
Jangan tanya apa yang Elang rasakan. Marah! Sangat marah! Dia masih ingat betul rasa pukulan tangan pria yang duduk di sebelahnya. Dan kali ini, ia ingin membalas memukul pria yang baru saja menyamakannya dengan hewan terbang pemakan bangkai.
“Cakep banget lo ngomong, Mit. Memang nggak ada yang lebih tepat buat nyebut si brengsek itu selain burung pemakan bangkai. Astaga!! Pantas saja bau. Karena makanannya ternyata bangkai, gengs …” Ruri dengan mulut cablaknya kembali tertawa keras.
“Gila! Bisa-bisa gue kenyang duluan karena banyak tertawa.”
“Lo juga bodoh banget sih, Sean. Mau-maunya sama burung pemakan bangkai. Masih mending dulu lo terima Rahmat.” Dian menimpali, sembari mengedik ke arah Rahmat yang sudah menaikkan kedua alis.
Sean menggelengkan kepala, menghadapi ocehan-ocehan aneh para sahabatnya—yang kali ini membuat perutnya mengeras, karena menahan tawa yang akan meledak. Biar bagaimanapun juga, dia tidak tega melihat wajah Elang yang sudah merah padam. Sean mengedarkan mata. Mendesah lega, saat melihat dua orang dengan seragam pegawai pemancingan milik pipin—berderap dengan nampan berisi penuh makanan, mendekati gazebo yang mereka tempati.
“Makan dulu, kayaknya mulut kalian mulai combreng karena lapar,” ujar Sean, setelah dua orang pegawai pemancingan tiba di gazebo, dan mulai memindahdah makanan dari nampan. Sean pikir, kalimatnya sudah cukup ampuh untuk membungkap mulut sahabat-sahabatnya, namun ternyata ia salah—ketika suara Ruri kembali masuk ke rungunya.
“Lo nggak perlu belain si pemakan bangkai. Sumpah Sean … gue tuh gatel pengen hajar muka sok gantengnya.” Sean melirik Ruri yang sudah memperlihatkan wajah bersungut-sungut.
“Padahal jauh lebih ganteng bos gue. Tapi doi nggak belagu.” Ruri berdecih.
“Ya udah sih … lo kenalin saja doi sama Sean, gimana?”
“Enak aja! Beda jalur. Sean mah jalurnya sama si dokter bedah,” sahut Ruri, sembari melotot ke arah Dian.
“Gue nggak ngerti yang kalian omongin,” keluh Demit. “Kenapa cewek suka banget main rahasia-rahasiaan, sih.” Pria itu menoleh ke arah Ding, dan Pipin bergantian—meminta dukungan. Dan seperti bisa membaca arti sorot mata Demit, keduanya mengangguk setuju.
Sean meraih piring, lalu mulai mengisinya dengan nasi. Tidak mempedulikan para sahabatnya yang masih memilih berdebat, dari pada mengisi perut.
“Astaga Sean! Stop!!” Sean nyaris saja menjatuhkan piringnya, saat mendengar pekikan suara Demit. Mengangkat kepala, Sean menatap salah satu sahabatnya itu dengan kening mengernyit.
“Sebentar. Abang cek dulu. Jangan-jangan ini bau … kan bangkai, nih.”
Ough … Sean tidak bisa tidak menganga mendengar kalimat Demit. Pria itu dengan santainya mengangkat satu piring berisi ikan bakar, lalu menciumnya. “Oh … aman. Baunya enak. Lanjutkan Sean. Gue cuma nggak mau lo salah pilih sekali lagi.”
Demit langsung mengembalikan piring berisi ikan itu ke atas meja, lalu meraih piring kosong. Mengisinya dengan nasi, kemudian lauk. “Kenapa?? ayo makan!” tukas Demit, saat mengangkat kepala, dan mendapati teman-temannya—selain Sean, belum mengambil piring.
Dan Demit sama sekali tidak merasa perlu menawari Elang, serta kedua temannya—yang masih betah menutup mulut.
Sean menghela nafasnya. Mencuci tangan menggunakan air yang sudah di sediakan dalam mangkuk, lalu mulai menyuap. Jujur saja, hatinya juga sakit, saat beberapa detik bertemu tatap dengan sepasang mata kesakitan Elang. Tapi, Sean terus mengeraskan hatinya. Apa yang sudah Elang lakukan—dulu, lebih dari hanya sekedar menyakiti. Bahkan menghancurkan hatinya.
Sean sadar, para sahabatnya hanya berusaha untuk melindungi dirinya. Mereka membenci Elang, sama besar seperti Sean membenci pria itu.
Tidak tahan dengan rasa panas yang menyerang wajahnya—Sean mengangkat kepala. Melirik teman-temannya yang sudah sibuk dengan isi piring masing-masing.
“Kalian tidak lapar??” tanya Sean, pada ketiga pria yang sebenarnya tidak ia harapkan duduk bersama dirinya, serta teman-temannya. Sean bisa merasakan tatapan mata dari para sahabatnya—namun ia abaikan. Bagaimana bisa ia menikmati makanan di bawah tatapan tajam seseorang, dan juga pandangan bingung dua orang lainnya. Lagipula, pesanan mereka masih tersisa—cukup, untuk tiga orang tersebut. Bahkan mungkin sisa.
“Pesanan kami belum datang.” Tantra yang menjawab, sembari terseyum kecil ke arah Sean.
“Tidak apa-apa. Kalian bisa makan dulu. Nanti pesanan kalian datang, gantian kami ikut makan,” sahutnya, sembari mengedik ke arah meja yang masih penuh dengan makanan.
“Nggak pa-pa??” tanya Restu memastikan. Pria itu merasa tidak enak hati, setelah menyadari ada yang aneh antara sahabatnya, dengan wanita cantik dengan rambut panjang tergelung ke atas, yang ternyata berprofesi sebagai dokter.
Memang Restu belum bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi antara Elang, dan Sean. Namun, dari ocehan-ocehan teman-teman Sean, dan juga tampang Elang yang terlihat menahan geraman serta kemarahan—Restu tahu pasti, pernah ada hubungan antara Sean dengan Elang. Yang pastinya berakhir buruk.
Melihat anggukan kepala Sean--Restu, dan Tantra tersenyum senang. Mereka berdua langsung meraih piring, dan mulai mengisinya. Sedangkan Elang masih belum merubah posisi, dengan tatapan lurus ke arah Sean. Sean yang merasa terus ditatap, akhirnya memutar kepala, lalu membalas tatapan tajam pria di depannya dengan jengah.
Sean menghembuskan pelan nafasnya. “Apa tangan anda bermasalah, jadi butuh bantuan untuk mengambil makanan??” tanya Sean dengan wajah datarnya. Sean bisa merasakan lirikan sabahat-sahabatnya, sekalipun mereka tidak menghentikan aktivitas makan mereka.
“Biar gue yang ambil—”
“Saya bisa ambil sendiri.”
Ruri langsung berdecih. Sebenarnya, dia juga hanya berbasa-basi lantaran tidak ingin suasana tidak nyaman terus berlanjut. Wanita itu menyumpahi Elang dalam hati. Seharusnya, acara kumpul dengan para sahabatnya tidak sekaku, dan setidak nyaman seperti yang sekarang terasa. Dan semua karena burung pemakan bangkai sialan itu. Ia mendengkus, sebelum kembali melepaskan daging ikan dari durinya. Lebih baik menikmati manis gurih kakap bakarnya.
Sean menghembuskan nafas lega. Bersyukur, pada akhirnya semua sibuk menikmati makan siang mereka. Bahkan, ketika pesanan Elang dan sahabatnya akhirnya datang—para sahabatnya tidak canggung untuk ikut menikmati. Restu, serta Tantra, juga sudah bisa larut dengan obrolan receh para sahabatnya. Sean tersenyum.
“Jangan! jangan lari, deh. Sean gue pasti nggak akan mau ikut.”
Sean hanya menggelengkan kepala, ketika mendengar apa yang dikatakan Demit. Ah … sudah biasa para sahabatnya menegaskan kepemilikan mereka atas dirinya. Sean sendiri heran, bagaimana mereka bisa menyayanginya sebesar itu.
“Ya ampun … cuma lari dari pandanaran ke simpang lima aja. Entar kita makan di simpang lima.”
“Sudah dibilang Sean nggak akan mau.”
“Apa perlu gue gendong??”
“Anjirrr … memang lo siapa?? Kalau dia butuh digendong … nih … ada punggung gue nganggur. Tapi dia nggak akan mau.”
“Ya udah, entar kita sewain Sean becak mini saja, sementara kita lari di sebelahnya. Kalau perlu kalian yang dorong.” Ruri akhirnya ikut menengahi perdebatan Demit dengan Restu, yang mengajak mereka lari pagi minggu depan.
“Nah … itu sudah ada solusi,” Tantra menyahut. “Entar gue bantu dorong, kalau kalian nggak kuat dorong Sean.”
“Yang kalian omongin ada di depan mata kalian,” ujar Sean, sembari melirik beberapa orang yang dari tadi membicarakan dirinya.
“Mata mereka kayaknya lagi burem, seperti kaca mobil yang keguyur hujan deras, trus wippernya nggak dinyalain. Makanya nggak bisa lihat elo.”
Sahutan Dian, membuat Sean tertawa. “Gue nggak bisa ikut acara kalian. Jadi, nggak usah jadiin gue perdebatan.”
“Astaga Sean … kita loh ini lagi berdebat siapa yang menang, boleh ajak lo nge-date.” Demit terkekeh, lalu menoleh ke arah Restu. “Bener nggak, bro??” tanya Demit, meminta dukungan dari Restu.
“Yoi … bro.”
“Kenapa nggak bilang-bilang kalau lagi taruhan ngedate sama Sean??? Gue ikutan deh.”
“Heh … lo bukannya sudah punya gebetan?? Tuh si Indri mau lo buang begitu saja???” tegur Restu pada Tantra yang tiba-tiba saja ikut menengahi.
“Yang kalian buat taruhan itu cewek gue. Lo nggak punya respect sama sesama playboy???” Pipin, sang pemilik pemancingan menyahut. “Gue sudah keluar modal banyak, nih. Kemarin 100 ribu. Ini nih … makanan sebanyak ini … kecuali pesanan kalian—” Pipin menjeda. Pria itu menunjuk Elang, dan kedua temannya. “Punya kalian harus bayar. Yang lain ini tadi, modal gue biar Sean klepek-klepek sama gue. Respect, dong … respect ….” Tanbah Pipin, yang mengucapkannya dengan jumawa.
“Heh … mana bisa begitu. Itu namanya tidak sportif!”
“Lo pada!!” Ruri mendelik ke arah dua sahabatnya yang masih berdebat. “Berhenti ngayal. Sudah berapa kali gue bilang … jodoh Sean itu pak dokter bedah. Lo nggak lihat nih … dia lagi kencanan sama doi??” Ruri menunjuk Sean yang sedang terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya. Hening, saat semua mulut tertutup, dan berpasang-pasang mata teralih ke satu titik yang sama.
PART 20.
ASEAN
Aku mengetuk daun pintu yang sudah setengah terbuka--dua kali, kemudian melongokkan kepala ke dalam.
“Masih lama, Dok??” tanyaku pada seorang wanita cantik, dengan snelli putih yang melapisi dressnya. Dokter Ana yang semua sedang menulis, mengangkat wajah, lalu menoleh ke arah pintu.
“Sedikit lagi. Masuk saja, Dok,” pinta dokter Ana, setelah mendapatiku di ambang pintu. Dokter Ana tersenyum.
Kuanggukkan kepala, sebelum membawa langkahku masuk ke dalam ruang kerja dokter seniorku ini. Kutarik pelan kursi di seberang meja, untuk kududuki. Dokter Anna sudah cukup lama bekerja di rumah sakit ini. Dia juga yang banyak membantuku selama aku menginjakkan kaki di tempat bekerjaku sekarang.
“Berapa orang yang ikut bersama kita kali ini??” tanyaku. Sembari masih melanjutkan aktivitasnya menulis, dokter Ana menjawab.
“Hanya kita berdua kali ini. Yang lain sudah punya jadwal ke sekolah lainnya.”
Kuanggukkan kepalaku, sembari menggumam, “Oh ….” Yang mungkin tidak terdengar oleh dokter Ana. Kuedarkan mataku, mengamati ruang kerja dokter Ana. Ruangan dokter Ana sedikit lebih besar dari ruang kerjaku. Rapi. Bahkan mejanya pun tergolong rapi. Rak di samping belakang meja kerja dokter Ana, penuh dengan folde file, yang aku tebak merupakan daftar riwayat para pasiennya.
“Sudah selesai.”
Ucapan dokter Ana, membuatku mengembalikan pandangan ke depan. Bertemu tatap dengan dokter Ana yang tersenyum, sementara tangannya merapikan tumpukan buku. Membawanya ke samping meja.
Aku segera ikut beranjak, begitu melihat dokter di depanku mulai bergerak membawa tubuhnya berdiri. “Yuk … jalan sekarang,” ajak dokter Ana, sembari melirik jam tangannya. Wanita itu sudah melepas snellinya, lalu menyampirkan pada lengan kiri bagian bawah yang terlipat.
Aku mengangguk. Mengikuti hela langkah kaki dokter seniorku, keluar ruang kerjanya. Aku juga tidak mengenakan snelli ku. Kami akan mengenakannya, nanti saat bertugas.
***
“Mau menyetir??” tanya dokter Ana tiba-tiba, setelah kami tiba di parkiran rumah sakit—khusus untuk para pegawai. Wanita cantik itu menoleh ke arahku. Aku hanya meringis, lalu menggelengkan kepala.
“Saya belum belajar nyetir, Dok,” jawabku, saat melihat kernyitan pada dahi dokter Ana. Lalu dia terkekeh sendiri. “Kalau suruh bonceng pakai motor saya siap. Dokter mau??” godaku.
Dokter Ana tergelak. “Sebenarnya, saya tidak keberatan. Tapi lain kali. Kayaknya mendung. Takut nanti kehujanan, sakit. Kasihan pasien-pasien kita.”
Aku tersenyum. Mengikuti dokter Ana melanjutkan langkah kami menuju tempat wanita itu memarkir mobilnya. Karena hanya berdua, dokter Ana memilih menggunakan mobil pribadinya, bukan mobil dari rumah sakit.
“Kamu harus mulai belajar nyetir mobil, Dok.” Dokter Ana berucap, setelah kami berdua duduk di dalam mobil jazz warna putih miliknya. “Bukan masalah bergaya, tapi kita butuh untuk melindungi diri—terutama saat cuaca seperti sekarang,” tambahnya memberitahu. Kuanggukkan kepala, sembari mengamari langit yang memang terlihat sedang redup. Cahaya sang surya yang biasanya begitu mendominasi—kali ini kalah dengan bergulung-gulung awan gelap.
***
Aku terlahir di keluarga sederhana. Tidak bisa kukatakan kurang, karena aku sendiri tidak pernah merasa kekurangan. Kami sekeluarga bisa makan tiga kali dalam sehari. Aku, dan adikku bisa bersekolah.
Tapi, tidak juga bisa dikatakan berlebih, karena standar hidup cukup kami, ya memang cukup seadanya. Makan apa yang ada di meja makan. Berpakaian dengan pakaian yang terjangkau isi dompet Ibu.
Orang tuaku selalu mengajarkan aku, dan adikku untuk bersyukur. Pada apapun yang kami dapatkan. Makanya, aku dan adikku tidak pernah bertanya, ‘Hari ini makan sama apa, Bu?’ kami hanya perlu melihat apa yang sudah tertata di atas meja makan. Itulah rezeki kami.
Mobil?? Jujur saja aku tidak pernah memimpikannya. Saat bisa mendapatkan sepeda motor saja, itu sudah luar biasa. Aku juga baru mendapatkan motor, setelah 2 tahun tinggal di Yogjakarta. Meski begitu, aku sudah lebih dulu bisa menguasai alat transportasi beroda dua itu. Belajar, menggunakan motor Papa--dulu sewaktu SMA. Dia yang mengajariku.
***
“Jangan takut. Kalau sudah bisa naik sepeda, pasti bisa naik motor.” Aku memberengut. Mana bisa disamakan. Naik sepeda, kita mengayuh. Sedang motor—ya, harusnya sih lebih enak karena kita tidak harus kelelahan mengayuh. Tapi, tetap saja tidak sama.
“Ayo. Lagian, aku di belakang kamu. Jangan takut. Pelan-pelan saja. Putar gasnya.” Elang kembali berucap. Kulirik dia dari spion kanan. Mesin memang sudah menyala, tapi aku masih takut untuk melajukannya. Kedua kakiku masih menapak padatnya tanah halaman depan rumahku.
Hari minggu, dan kencan kami hanya di rumah dengan agenda belajar naik motor. Itu juga Elang yang memaksa. Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak butuh bisa naik motor. Aku cewek. Suatu saat akan menikah, dan suamiku yang akan memboncengku ke mana-mana. Tapi Elang malah tertawa, dan mengatakan dia tidak akan mau memboncengku. Menyebalkan!!
“Bagaimana kalau nanti nabrak??” tanyaku karena masih takut.
“Astaga, Sean. Kamu tidak akan nabrak karena kamu bisa melihat, dan bisa mengendalikan stang. Belok kanan, belok kiri. Udah … sama seperti kamu naik sepeda. Percaya deh, sama aku.”
***
“Nggak sulit kok, Dok.”
Runguku menangkap suara dokter Ana. Selama beberapa detik--aku terhenyak, ketika sadar baru saja kembali ke dalam ingatanku beberapa tahun silam. Tahun yang masih memberiku bahagia.
“Dokter bilang begitu, karena Dokter sudah bisa,” sahutku, yang membuat dokter Ana tertawa.
“Bener juga, sih,” sahutnya, sembari menganggukkan kepala.
Ya … semua akan bilang mudah, karena sudah bisa. Berbeda ketika mereka belum bisa, atau ketika baru akan mulai belajar. Itulah yang disebut proses. Dari yang pertama mungkin merasa sulit, lalu karena terus belajar, dan berusaha … kesulitannya akan berangsur berkurang, lalu tak lagi merasa sulit. Tada … setelahnya, akan bilang, ‘Gampang, kok.’
“Tapi, kita nggak akan pernah bisa, kalau tidak berani mencoba.” Dokter Ana kembali berucap.
“Tentu,” sahutku membenarkan.
Sekitar tiga puluh menit, kami tiba di bangunan sekolah yang untuk kedua kalinya aku kunjungi. Halaman sekolah terlihat sepi, karena memang jam pelajaran masih berlangsung. Dokter Ana melajukan pelan mobilnya menuju parkiran. Ada beberapa mobil yang sudah terparkir di sana.
Turun dari mobil, kami berdua segera bergegas memasuki lorong sekolah menuju ruang kepala sekolah terlebih dahulu. Kata Dokter Ana, Bu Vania ingin bertemu dengan kami.
“Dokter sudah lama kenal dengan Bu Vania??” tanyaku, sembari tetap menghela langkah di samping doter Ana.
Dokter Ana menoleh, lalu menggeleng. Membuatku mengernyit bingung. “Ini pertama kali saya akan bertemu langsung dengan beliau. Biasanya, saya berbungan dengan Bu Sandi—wakil Bu Vania,” jelas dokter Ana, yang membuatku mengangguk paham.
Kami menghentikan langkah, di depan sebuah ruang tertutup, dengan plang bertulis ‘Ruang Kepala Sekolah.’ Dokter Ana kemudian mengetuk daun pintu, sebelum membuka--setelah mendengar sahutan dari dalam.
Seorang wanita muda dengan rambut sebahu, berdiri dari kursi di balik meja dengan papan nama Vania, M.pd. Wanita itu keluar dari celah antara meja dan kursi, dengan senyum mengembang. Berjalan tergesa, menghampiri kami yang juga menghela langkah ke dalam.
“Halo, Dok. Saya Vania.” Wanita bernama Vania itu mengulurkan tangan kanan yang langsung disambut oleh dokter Ana, sembari membalas senyumnya.
“Saya Ana, dan ini—” Dokter Ana menoleh ke arahku. “Dokter Sean.”
“Oh … jadi ini yang namanya Dokter Sean.” Aku tersenyum, kala sepasang mata Bu Vania terarah padaku. “Senang akhirnya bisa sertemu dengan Dokter.”
Segera kusambut uluran tangan Bu Vania. “Terima kasih, Bu. Saya juga senang sekali bisa bertemu dengan Ibu.”
“Ayo … silahkan duduk dulu. Masih ada waktu, kan??” tanya Bu Vania, yang sepertinya tidak memerlukan jawaban dari kami, karena wanita itu langsung mengguman sendiri jawab atas tanya yang ia lempar. “Masih ada 20 menit,” gumamnya, setelah melihat jam tangannya.
Bu Vania membawa kami ke sofa yang ada di sisi lain ruangannya.
“Mau minum, apa??” tanya Bu Vania, setelah kami bertiga duduk. Aku, dan dokter Ana duduk bersebelahan di sofa panjang, sedang Bu Vania duduk di sofa tunggal, di samping dokter Ana.
“Tidak perlu repot, Bu. Kami belum haus,” tolak dokter Ana dengan halus. “Maaf, apa yang ingin ibu bicarakan dengan kami??”
Bu Vania menganggukkan kepala. “Begini. Saya sudah bicara dengan pemilik yayasan. Kami membicarakan soal kegiatan sosial yang dokter lakukan di sekolah ini, yang syukurlah bisa memberikan dampak positif pada anak-anak didik kami. Seperti yang kita semua tahu, anak-anak di sekolah ini sangat istimewa. Dan seperti yang sudah kita bicarakan kemarin, kami ingin meminta salah satu dokter secara reguler datang, dan memberikan materi tentang kesehatan pada anak-anak.”
Dokter Ana mengangguk setuju. “Kami juga senang, bisa berbagi sedikit ilmu dengan anak-anak di sini. Saya rasa, teman-teman lainnya tidak akan keberatan untuk datang ke sini, dan bertemu dengan anak-anak. Bukankah begitu, Dokter Sean??”
Aku menoleh, lalu mengangguk. “Selama kami ada waktu, pasti kami akan datang.”
Bu Vania tersenyum, lalu wanita itu bergerak sedikit tidak nyaman. Aku mengernyit. Entah aku hanya salah lihat, atau memang benar begitu. Kulirik dokter Ana, yang juga terlihat mengernyitkan kening. Kurasa, aku tidak salah.
“Mmm … begini.” Bu Vania kembali membuka mulut. Wanita yang menjabat sebagai kepala sekolah luar biasa ini--menatapku. Membuatku bingung.
“Dokter Sean … ingat Loli??” tanya Dokter Vania pelan. Aku mengangguk. Tentu saja aku mengingat anak lucu itu. Bukan hanya Loli, dan Albert yang aku ingat. Tapi, juga anak-anak yang lain, karena mereka semua membuatku merasa sangat bahagia. Membuatku merasa berguna. Anak-anak itu luar biasa.
“Dia adalah anak yang sulit berinteraksi dengan orang baru,” beritahu bu Vania, yang membuatku sedikit terkejut. Karena seingatku—tidak seperti itu. Aku bisa berinteraksi dengan anak itu, semudah aku berinteraksi dengan anak-anak lainnya.
“Selama ini seperti itu. Makanya, bunda Reta bilang, beliau juga terkejut--sewaktu melihat Loli bisa langsung akrab dengan Dokter Sean.”
Aku rasa, keningku pasti sudah berkerut dalam saat ini. Informasi yang baru saja aku dengar, jujur … mengejutkanku. Anak manis itu … benarkah?? Seingatku, dia sama sekali tidak terlihat introvert.
“Jadi, um … kalau bisa … bolehkan Dokter Sean yang rutin mengunjungi kami??”
Dokter Ana langsung menoleh ke arahku. Aku masih mencoba mencerna apa yang baru saja aku dengar. Tidak. Aku tidak keberatan sama sekali. Toh … aku menyukai mereka, dan tentu saja senang bisa diberi kesempatan untuk sering bertemu dengan mereka.
“Sesuai hasil diskusi dengan pemilik yayasan, kami ingin pekerjaan ini ke depannya terikat kontrak. Maksudnya … kami juga ingin menjadikan ini sebagai pekerjaan untuk Dokter Sean.” Bu Vania berkata dengan hati-hati.
“Saya melakukannya bukan karena uang, Bu. Jadi, tidak perlu kontrak.” Akhirnya aku menyahut. Kukira, aku tidak salah mengartikan kalimat Bu Vania. Terbukti dengan sepasang mata bu Vania yang kemudian terbelalak.
“Bukan begitu, Dok. Tolong jangan tersinggung. Kami tahu, kalian datang ke sini karena rasa kemanusiaan. Dan kami sungguh sangat berterima kasih. Hanya saja, karena kami menginginkan waktu Dokter lebih banyak, kami hanya ingin sedikit menghargainya. Ya … dengan materi. Hanya sedikit, karena kami tahu pasti, apa yang kalian lakukan—tidak ternilai dengan uang.”
Aku mendesah, setelah mendengar kalimat panjang Bu Vania. Kuputar kepalaku ke samping. Dokter Ana tersenyum, sembari menganggukkan kepala.
“Apa yang Dokter lakukan, bisa menyelamatkan masa depan anak-anak itu.”
PART 21.
Bagiku, kembali bertemu dengan mereka adalah kesenangan tersendiri, selain kegiatanku di rumah sakit, atau berkumpul dengan para sahabatku—yang gesreknya tidak ada obat.
Melihat mereka tertawa lebar, membuatku ikut melengkungkan bibir. Bagaimana bisa, aku tidak senang berada di antara malaikat-malaikat tak bersayap ini. Senyum mereka tulus. Tidak ada yang mereka sembunyikan. Tidak seperti para orang dewasa yang bisa saja tersenyum di depan kita, tapi mencebik di belakang kita.
“Ka-ka-ka-kak-Dokter ….” Segera kuturunkan pandangan mataku, yang sedari tadi masih terarah ke depan. Di depan sana, Dokter Ana sedang menunjukkan bagaimana cara menyikat gigi yang benar—dengan bantuan manekin tentu saja.
Senyumku mengembang mendapati gadis kecil dengan kedua pipi bulat memerah. Rambutnya di ikat dua. Kedua tangannya terjalin di depan. Tersenyum, sembari tubuhnya terus bergerak-gerak. Benar-bener menggemaskan. Kuturunkan tubuh, agar bisa sejajar dengannya.
“Ada yang mau Loli tanyakan??” tanyaku dengan senyum. Aku tidak bisa menahan bibirku untuk tidak tersenyum--melihat si kecil cantik di hadapanku yang kini sudah menganguk-anggukkan kepala sembari tersenyum malu. Tanpa sadar, kedua tanganku terangkat—menoel kedua pipi bulatnya dengan gemas. “Anak siapa sih ini … cantik banget.”
“Ayo, bilang sama Kakak Dokter, apa yang mau Loli tanyakan?”
Bibir Loli mengerucut, membuatku semakin gemas.
“Ap-ap-apa Lol-Loli tid-tidak boleh mak-mak-makan cok-cok-lat??”
Ya … Loli memang gagap, hingga gadis kecil ini terlihat begitu kesulitan ketika mencoba berbicara. Menyampaikan apa yang ada di pikirannya. See … anak yang dianggap memiliki kekurangan karena autis serta gagap ini, mendengar apa yang kami sampaikan, dan berusaha mencernanya. Mereka tidak bodoh. Mereka pandai, terlepas dari kekurangan yang mereka miliki sejak lahir.
“Bukan tidak boleh.” Kedua tanganku sudah berpindah ke pundak Loli. Membalas tatap penuh binar rasa ingin tahu dari gadis berusia delapan tahun ini.
“Hanya tidak boleh terlalu banyak.” Aku kembali tersenyum, ketika melihat sepasang mata bulat Loli mengedip. “Setelah makan coklat, atau permen … Loli langsung gosok gigi. Loli sudah bisa gosok gigi sendiri???” tanyaku pelan.
Loli kembali mengerucutkan bibirnya, sebelum rambut yang terkucir itu melambai, ketika sang pemilik menggerakkan kepalanya ke kanan kiri.
“Ah … baiklah.” Aku menganggukkan kepala. “Kalau begitu, setelah ini Loli akan belajar gosok gigi sendiri.” Kutatap sepasang manik hitam bening yang masih menatapku.
“De-dengan kakak dok-do-dokter?” tanya Loli, dengan kening yang berkerut-kerut.
Sungguh, aku tidak mengira jika membuat gadis kecil ini melompat-lompat kegirangan--begitu mudah. Hanya satu detik, setelah aku menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya, Loli tertawa senang. Oh Tuhan … tolong lindungi anak-anak ini. Dalam hati aku berdoa.
Sepasang mataku terasa memanas, saat memikirkan kehidupan mereka ke depannya, jika orang-orang di luar sana, masih memandang mereka sebelah mata. Masih membedakan mereka. Bahkan tidak sedikit, yang memilih menjauhi mereka. Sungguh tidak adil.
Tidak bisa dipungkiri, ketika mereka berada di sekililing anak-anak yang terlahir tanpa kekurangan, mereka akan terlihat berbeda. Hanya dengan melihat wajah mereka—orang bisa tahu, jika mereka memang memiliki kekurangan. Tapi, tidak bisakah untuk tidak terlalu jauh membedakan mereka??
Apakah orang-orang tidak tahu, jika hanya dengan menatap lama ke arah mereka—hanya karena mereka berbeda, sudah bisa melukai perasaan mereka??
Kuikuti pergerakan Loli yang sudah memutar tubuh, dan berlari kembali ke tempat duduknya. Aku berdiri. Menoleh, ketika merasakan tepukan di pundak kananku. Bunda Reta tersenyum ke arahku.
“Terima kasih, Dokter sudah bersedia datang lagi,” ujarnya. Aku menganggukkan kepala.
“Di kelas ini, Loli yang paling sulit untuk berbaur. Dia dekat dengan Albert, karena Albert anaknya terlalu cuwek. Sekalipun Loli menghindar, anak itu akan tetap menempel.” Pandangan bunda Reta terarah ke meja tempat Loli, dan Albert berada. Tersenyum, ke arah kedua anak didiknya.
“Apakah Loli anak tunggal??” tanyaku penasaran. Kupikir, mungkin karena dia tidak memiliki saudara, jadi lebih terbiasa dengan kesendirian. Aku menggumam ‘Oh,’ ketika kulihat kepala bunda Reta mengangguk.
“Orang tuanya juga sibuk,” ujar bunda Reta yang terdengar sedih. Bunda Reta kemudian menoleh ke arahku. “Karena itu, saya senang sekali karena kehadiran Dokter bisa membuat anak itu tersenyum.
Aku tidak mengerti kenapa bunda Reta terlihat begitu menyayangi Loli. Ah … bukan! Bukan aku berpikir bunda Reta tidak menyayangi yang lainnya. Rasa sayang wanita yang ternyata hanya 2 tahun lebih tua dariku ini, jelas terlihat untuk ke sepuluh anak didiknya. Hanya saja, aku melihat sorot mata prihatin wanita itu ketika melihat Loli—terasa berbeda.
“Seharusnya, mereka bisa memberi perhatian lebih padanya.” Aku hanya menggumam. Tapi ternyata, gumamanku masih terdengar di telinga bunda Reta.
“Iya, benar kata Dokter. Tapi terkadang, para orang tua hanya berpikir, memberi materi adalah cara mereka mengungkapkan cinta mereka pada anak-anak.” Bunda Reta mendesah. “Padahal, anak-anak juga membutuhkan kehadiran mereka. Perhatian mereka. Bukankah begitu, Dok??”
Aku langsung mengangguk setuju. Tentu saja. Yang anak-anak butuhkan itu, bukan hanya sekedar uang.
“Siapa yang sekarang ingin coba sikat gigi seperti yang tadi Dokter ajarkan?”
Aku, dan bunda Reta langsung menoleh ke depan kelas. Dokter Ana mengangkat sebelah tangannya, meminta anak-anak untuk mengangkat tangan, jika ingin mencoba praktek menggosok gigi.
Aku tersenyum, saat melihat seorang anak dengan tubuh bongsor--mengangkat tangan. Aku ingat nama anak dengan kaca mata itu. Noah. Umurnya 9 tahun.
Kami memperhatikan Noah yang dengan semangat mempraktekkan apa yang sudah kami ajarkan sebelumnya. Kualihkan pandangan mataku ke arah anak-anak itu. Mereka, dengan celotehan bersahutan, mengomentari Noah yang masih ada di depan kelas. Tanpa sadar, aku tersenyum. Mereka terlihat begitu bebas, tanpa ada beban. Mata mereka jernih. Mereka adalah anak-anak yang tidak akan berbohong dengan ucapannya, karena hati mereka memang sebersih itu.
“Ka-ka-ka-kakak Do-do-k-dok-dokter ….”
Aku menurunkan pandangan, ketika merasakan tarikan pada ujung bawah snelli yang aku kenakan. Aku sudah menghapal suara siapa yang baru saja masuk ke runguku. Bibirku melengkung.
“Loli mau praktek sekarang??”
Sepasang mata anak itu berbinar, laku kepalanya mengangguk.
Aku memutar kepala ke arah bunda Reta, yang ternyata juga sudah menoleh ke arahku dengan senyuman lembutnya.
“Kami ke depan dulu, Bu,” pamitku, yang langsung mendapat anggukan kepala sebagai jawaban. Kualihkan pandangan ke arah malaikan kecil yang masih berdiri di sampingku, dengan kepala menengadah, dan sepasang mata berbinar menatapku.
Kuraih sebelah tangan kecilnya. “Ayo … kita ke depan.”
Dengan senang, Loli mengangguk-anggukkan kepalanya. Sungguh, aku bisa melihat binar bahagia anak kecil ini. Siapapun orang tua Loli, mereka sungguh beruntung memiliki anak ini.
Kami menunggu beberapa saat, sampai akhirnya Noah selesai, lalu berjalan kembali ke arah tempat duduknya. Setelah itu, aku mengajak Loli ke depan. Memberikan waktu pada Loli untuk mencoba apa yang sudah ia pelajari dari kami. Aku berdiri bersama dokter Ana di belakangnya. Mengawasi apa yang Loli lakukan.
***
Aku menatap wanita yang duduk di depanku. Setelah selesai dengan kegiatan kegiatan di kelas, bunda Reta menggiringku, dan dokter Ana kembali ke ruang kepala sekolah.
Baru saja bu Vania menyodorkan kontrak kerja ke hadapanku. Aku tidak menyangka akan secepat ini. Bahkan, belum 24 jam terlewat dari perbincangan kami sebelum mengisi pelajaran di kelas, sekarang kontrak kerja sudah ada di depanku.
“Silahkan dibaca dulu, Dok. Kalau ada poin yang memberatkan, atau tidak Dokter setujui, bisa kita bicarakan lagi.” Suara lembut bu Vania, membuatku menghela nafas panjang. Yang membuatku tidak habis pikir, untuk apa mereka harus repot-repot mengikatku dengan kontrak kerja, padahal aku, maupun dokter Ana sudah menyatakan kesediaan kami untuk datang—setiap kali dibutuhkan, dan tentu saja di saat jam praktek kami kosong.
Dan kenapa harus aku yang belum punya banyak pengalaman? Kenapa bukan dokter Ana, atau dokter senior lainnya? Tanya itu kutelan mentah-mentah, lantaran tidak enak hati pada dokter senior yang duduk di sebelahku.
Perlahan, kuambil file yang di dalamnya tertulis apa saja hak, dan kewajibanku, lalu kubuka. Mataku mengerjap, saat menemukan angka yang menyatakan berapa yayasan akan membayar jasaku setiap bulannya. Aku mendongak, dan bertemu tatap dengan bu Vania yang tersenyum ke arahku.
Kutebak, bu Vania pasti tahu kenapa aku terkejut. Ya … gaji yang mereka berikan tidak sedikit untuk pelayanku dua kali dalam satu minggu, dengan jumlah jam yang tidak lebih dari 3 jam setiap kali aku datang. Menurutku, ini berlebihan.
“Soal nom—”
“Itu sudah persetujuan pemilik yayasan. Saya harap Dokter tidak keberatan. Mohon maaf jika tidak sesuai dengan tenaga, dan ilmu yang nantinya akan Dokter bagi dengan anak-anak kami.”
Aku terperangah. Bukan! Aku tidak bermaksud complain karena merasa kurang. Justru sebaliknya, nominal yang akan aku terima jika aku bersedia menandatangai kontrak … terlalu besar.
Aku menoleh ke samping. Dokter Ana tersenyum. “Yang paling penting, adalah niat Dokter Sean untuk membantu anak-anak di sini. Berapapun nominalnya … itu rezeki Dokter.”
Entah mengapa, aku merasa dokter Ana tahu apa yang menjadi pikirannya, tanpa aku mengeluarkan sepatah kata pun. Apa memang bu Vania sudah terlebih dahulu membicarakannya dengan dokter Ana? Benakku bertanya.
Kuhembuskan nafasku. Benar, kata dokter Ana. Yang paling penting, adalah alasanku melakukannya. Bukan karena nominal, karena aku bahkan akan tetap melakukannya, sekalipun tanpa bayaran. Sepeser pun.
Kubalas senyum dokter Ana, sebelum mengangguk. Membenarkan apa yang dokter Ana sampaikan. Kubawa kembali fokusku ke kontrak kerja di tanganku. Kuselesaikan membaca, hingga aku tahu apa saja hak, serta kewajibanku. Tidak ada yang memberatkanku.
“Apa ada yang ingin Dokter Sean revisi, dari poin-poin yang ada??” Bu Vania kembali bertanya.
Kugelengkan kepala. “Tidak ada, Bu. Tidak ada yang memberatkan saya,” ujarku. Kulihat senyum lebar wanita di depanku.
“Syukurlah. Kalau begitu … silahkan di tanda tangani. Satu lampiran untuk Dokter.”
Kuanggukkan kepala, sebelum meraih pena, lalu menggoreskan tanda tangan di atas namaku. Kuhembuskan nafas lega. Aku berharap, ini akan menjadi langkah awalku untuk mengepakkan sayap, menggapai anak-anak yang membutuhkan bantuanku. Aku ingin bisa bermanfaat untuk anak-anak di luar sana.
PART 22.
Kuusap peluh di kening, lalu leher yang terasa basah. Ah … tidak hanya kening, dan leherku saja yang basah. Tapi juga seluruh tubuhku, setelah nyaris setengah jam membersihkan kamar. Menggeser semua perkakas, hanya demi menemukan satu hewan yang membuatku terkejut setengah mati. Bisa-bisanya hewan pemakan serangga itu, masuk ke dalam kamarku. Kenapa harus kamarku?? Kenapa bukan kamar Galah saja?? Kesalku.
Hari minggu yang seharusnya bisa kupakai untuk bersantai, harus tersita demi menemukan si curut yang entah sejak kapan menjadikan kamarku, layaknya rumah untuknya. Mengingat jika mungkin selama beberapa bulan sekembaliku dari Yogja, aku tidur di tempat yang sama dengan si curut—membuatku bergidik.
“Ini Mbak … minum dulu.” Galah datang, dengan membawa satu gelas besar berisi jus jeruk yang entah dia yang bikin, atau Ibu. Kuteguk besar-besar beberapa kali. Tenggorokanku terasa sangat kering.
“Apa kamu nggak pernah bersihin kamar Mbak selama ini??” tanyaku, setelah menurunkan gelas besar yang memegangnya pun, aku harus menggunakan dua tangan.
“Ih … memangnya aku pembantu Mbak?? Ya bersihin sendiri lah,” jawab Galah, dengan santainya. Adikku yang saat ini masih duduk di bangku kuliah semester 5 itu, mencebik ke arahku. Aku langsung melotot.
“Lah kan mbak di Yogja. La mbok ya kamu pengertian. Sesekali bersihin kamar mbak, biar nggak jadi rumah si curut.”
“Salah siapa lebih suka di Yogja. Padahal kuliah di sini juga bisa.” Kalau saja tidak sayang pada isi gelas yang masih kupegang, sudah kuguyur ke atas kepala adikku yang menyebalkan ini.
“Sini gantian … aku juga haus.” Galah langsung mengambil gelas dari tanganku, kemudian meneguknya hingga menyisakan setengah. Aku menggeleng, melihat nafsu minum adikku yang besar. Ah … bukan hanya nafsu minum saja yang besar, nafsu makan Galah juga besar. Tidak heran jika tubuh adikku bongsor. Sekali lagi, ibu terbukti salah memberi nama untuk anaknya. Galah tidak seperti tongkat galah yang biasanya panjang dan kecil. Aku tertawa dalam hati.
“Diapain si curut??” tanyaku, setelah mengamati adikku yang mendesah lega, sehabis meneguk jus jeruk. Galah meloleh ke arahku. Kami berdua sedang duduk melantai di teras, dengan kaki berselonjor. Semilir angin sedikit mengurangi gerah di tubuhku.
“Krekkk,” kata Galah, sembari membuat gerakan menggorok leher dengan tangannya. Aku meringis membayangkannya.
Ya … setelah si curut ketangkap, Galah pergi meninggalkan kamarku bersama Papa. Aku lebih memilih melipir ke teras rumah untuk mengeringkan keringat.
“Pakai bismillah??” tanyaku, yang membuat Galah menatapku dengan mata membesar.
“Ya Pakek lah. Pakai Allahu Akbar juga,” sahut adikku.
Aku terkekeh, melihat raut kesal Galah. Adikku ternyata sudah sebesar ini. Cukup lama kami tidak terlibat perdebatan, karena setiap kali pulang ke rumah—paling cuma sebentar. Kecuali sewaktu libur panjang. Tapi anehnya, kami tetap tidak berdebat. Entah aku, atau Galah yang mengalah. Pokoknya, salah satu di antara kami pasti ada yang memilih kalah, daripada perdebatan itu berubah menjadi pertengkaran.
Berbeda setelah aku benar-benar kembali lagi ke rumah ini. Kami kembali seperti saat sebelum aku berangkat ke Yogja untuk kuliah. Kami kembali sering berdebat. Tapi entah mengapa, aku justru suka. Tanpa sadar, aku merindukan hubungan yang seperti ini.
“Mbak ….”
Beberapa saat, aku kembali mengingat masa lalu. Suara Galah membuatku sedikit terkejut. Kutatap adikku dengan alis terangkat. Paham arti tatapanku, Galah kembali membuka mulut.
“Dua hari lalu, di kampus ada seminar.”
Keningku mengernyit. Oke … seminar. Bukan hal yang aneh mendapati acara seminar di kampus. Aku masih diam. Menunggu Galah melanjutkan ceritanya.
“Tahu nggak, siapa yang jadi pembicara??”
Mendengar pertanyaan Galah, aku yakin kerutan di keningku sudah bertambah. Kucoba berpikir, siapa orang yang kukenal, yang biasa mengisi seminar di kampus. Sahabatku yang terjun ke dunia pendidikan hanya Hermit, dan aku rasa bukan dia. Untuk menjadi seorang pembicara, tentu dia harus memiliki potensi lebih. Bukan aku tidak percaya pada kemampuan Hermit. Tapi … memang iya, sih. Kepercayaanku pada cowok yang satu itu, memang kurang. Aku meringis dalam hati. Meminta maaf, pada salah satu sahabatku itu.
Kuhembuskan nafas panjang, lalu menggeleng. “Nggak tahu.”
Aku bisa melihat Galah yang mengedip beberapa kali. Gelagatnya, entah mengapa terlihat aneh di mataku. “Siapa???” tanyaku semakin penasaran. “Mbak, kenal??”
Galah kembali mengedip, lalu detik selanjutnya adikku meringis. “Nggak jadi aja, deh,” katanya, yang justru membuatku bertambah penasaran. Aku paling tidak suka memiliki rasa penasaran seperti ini. Apalagi, kalau tingkat rasa penasarannya sudah level akut.
Seperti kali ini. Aku benar-benar penasaran akut, setelah mengetahui kemungkinan besar aku mengenalnya. Apa aku melupakan seseorang yang pernah mampir di hidupku??
Bukankah kadang seperti itu? Teman SMP kita, misalnya. Setelah tak lagi bersekolah di sekolahan yang sama, lalu kita memiliki circle berbeda—sering kali kita melupakan teman SMP kita. Apalagi, pada zamanku, orang baru memiliki telepon rumahan. Itu pun sesuatu yang prestis, karena tidak semua rumah memilikinya. Jangan tanya soal ponsel, karena saat itu ponsel masih menjadi salah satu benda yang tergolong mahal. Kartunya pun mahal, hingga tidak banyak orang yang memilikinya. Berbeda dengan zaman sekarang, yang nyaris setiap orang memiliki ponsel masing-masing, hingga komunikasi bisa terjaga. Lihat saja isi ponsel di aplikasi berkirim pesan sekarang. Dari mulai grup SD, sampai kuliah—ada. Belum lagi grup keluarga. Grup dengan sahabat terdekat—seperti yang aku punya.
Yah … teknologi membuat hidup kita semakin baik—asal kita pandai menyikapinya. Karena kalau tidak, justru sebaliknya. Teknologi ponsel yang dibuat dengan tujuan untuk bisa menghubungkan orang yang terpisah jarak, bisa jadi justru memisahkan mereka yang sebenarnya dekat.
Tidak percaya??? Aku pun kadang mengalaminya. Kami berempat—aku, Galah, Papa, dan Ibu. Kami sama-sama duduk di ruang keluarga, tapi tidak ada percakapan, karena kami berempat sibuk dengan dunia masing-masing. Dengan ponsel di tangan kami masing-masing.
“Siapa??” kuulangi pertanyaanku.
Galah menggelengkan kepala. “Nggak usah tahu aja deh, Mbak. Takutnya nanti Mbak nangis lagi. Ngurung diri di kamar. Nggak mau keluar-keluar,” ujar Galah, yang membuatku mengedip.
Sampai usiaku saat ini, hanya satu kali aku mengalami apa yang Galah katakan. Itu … sudah lama. Sembilan tahun lalu.
Kuputar kepalaku ke depan. Kutarik nafas panjang, lalu kuhembuskan perlahan. Sembilan tahun lalu—hari terburuk yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Mendapati seseorang yang sangat berarti dalam hidupku saat itu—memeluk gadis lain. Aku mendengkus tanpa sadar, saat mau tidak mau, ingatan itu kembali.
***
“Sean … lo harus bicara sama Elang.”
Aku menoleh, ketika mendengar suara Dian. Kami masih ada di dalam kelas—meskipun bel istirahat sudah berbunyi. Aku sedang malas keluar. Mood ku memburuk, setelah hari minggu kemarin, Elang bahkan tidak datang ke rumahku untuk ikut merayakan ulang tahunku. Bukan pesta. Hanya berkumpul dengan para sahabatku, lalu makan bersama. Dia sudah berjanji akan datang, namun nyatanya, dia tidak pernah muncul—bahkan hingga semua sahabatku undur diri.
Beberapa minggu ini memang hubungan kami terasa begitu renggang. Elang berubah. Dia tidak seperti Elang yang aku kenal selama ini. Elang yang bahkan rela pindah sekolah—hanya agar bisa berada di satu sekolah yang sama denganku. Dia menjauh, dan aku tidak tahu apa alasannya.
Elang juga menjadi sulit kutemui. Teman-temanku bilang, Elang sengaja menghindariku. Sudah beberapa kali para sahabatku memintaku untuk bicara dengan Elang, dan menanyakan apa yang cowok itu inginkan dari hubungan kami. Ruri—si mulut cablak, bahkan mengatakan jika Elang pasti sedang mencari alasan untuk putus dariku.
Aku jadi takut. Takut, jika apa yang Ruri katakan benar. Aku tidak berani menemui Elang. Tapi, perasaanku menjadi semakin gundah, dan tidak karuan.
“Sekalipun lo hanya akan mendengar hal buruk dari cowok sialan itu—” Dian sudah mulai terpancing emosi. “Itu masih lebih baik, dari pada lo nggak tahu apa-apa seperti ini.”
“Iya. Gue setuju.” Ruri menimpali. Sahabatku yang satu ini bahkan mendengkus keras. “Gue enek liat dia bareng nenek lampir yang satu itu.”
Kutarik nafas panjang. Nenek lampir adalah panggilan Ruri untuk Maya—sahabat Elang, yang entah mengapa juga mengikuti Elang pindah ke sekolah ini. Dari awal aku berpacaran dengan Elang, para sahabatku mengingatkan agar aku meminta Elang untuk menjaga jarak dengan Maya. Karena hubungan yang mereka namakan persahabatan itu terlalu dekat.
“Gue takut,” ungkapku pada akhirnya. Dian, dan Ruri menatapku. “Gue takut … apa yang kalian katakan benar. Gue belum siap. Gue … beneran masih belum siap.”
Aku merasakan panas yang mulai menjalari kedua mataku. Aku terlalu mencintai cowok itu. Rasanya benar-benar berat, jika aku harus berpisah dengannya. Beberapa hari ini, aku selalu bertanya pada diri sendiri. Apa kesalahanku? Kenapa Elang menjauhiku?
Aku bahkan sempat berpikir, apa dia sedang sakit, dan tidak ingin membuatku khawatir?? Tapi, dari cerita teman-temanku yang sempat melihat cowok itu—tidak! Elang tidak sakit. Dia sehat, hanya terlihat lebih berantakan dari biasanya.
“Apa lo lebih suka terus ketakutan seperti ini??” Ruri mendelik ke arahku. “Kami mau Sean kami kembali seperti biasanya. Mati satu Elang, lo bisa dapat seribu Elang yang lain.”
Aku mencebik ke arah Ruri. “Lo bisa ngomong begitu, karena lo nggak ngalamin.”
“Eh … dodol. Lo lupa kalau gue pernah ditolak sama guru magang itu???”
Ah … iya, aku lupa kalau Ruri juga pernah menggalami patah hati, karena salah seorang guru magang di sekolah kami. Tapi tidak lama. Tidak sampai hari berganti, Ruri sudah bisa tertawa.
“Eh … itu lo yang kebangetan, Rur. Masa lo nembak guru magang.” Dian menggeleng dramatis. “Jelas lo ditolak. Lo bukan level pak guru magang.”
Ruri langsung menoyor bahu Dian. Ruri memang sedang duduk di bangku depan meja yang aku, dan Dian tempati. Dia memutar kursi, hingga bisa duduk berhadapan dengan kami.
“Udah ayo … gue temenin lo nyari si Elang. Dia mau terbang sampai ke awan pun, ayo kita kejar. Nanti kita naik balon udara saja, secara kita tidak punya sayap.”
Aku tidak bisa menahan tawaku, mendengar ocehan Ruri.
“Sewa balon terbang mahal. Gue nggak punya duit,” sahutku.
“Nah gitu dong … ketawa.” Ruri sudah beranjak dari tempat duduknya. Diikuti Dian.
“Tenang saja, kita punya kawan tajir. Entar kira rayu dia buat sewain kita balon udara. Buat kejar si Elang yang ngumpet di balik awan kinton.”
Tawaku kembali meledak. Ah … aku harus selalu bersyukur, memiliki sahabat seperti mereka. Aku lalu beranjak dari kursi yang sudah berjam-jam aku duduki—hingga meninggalkan hawa hangat di atas permukaan bangku kayu tersebut.
“Kalian nggak usah ikut. Biar gue sendiri.”
“Entar lo balik badan, waktu ketemu dia,” kata Ruri tidak percaya.
Aku berdecak. “Gue pergi sendiri, atau enggak sama sekali,” ancamku.
“Astaga Sean. Lo yang punya masalah, kenapa lo yang ngamcam kita, sih.” Dian berdecak.
“Pokoknya kalian pilih,” kataku egois. Aku tidak ingin sahabatku melihat … entah pertengkaran, atau memang berakhirnya hubunganku dengan Elang—nanti.
Ruri mencebik kesal. “Ya udah … sono cepetan. Keburu bel masuk.” Ruri mendorongku.
Kuhela cepat langkah kakiku keluar kelas. Tujuanku adalah kelas tempat Elang bernaung. Kupercepat gerak kedua kakiku, hingga nafasku sedikit memburu, ketika aku tiba di depan pintu kelas Elang yang terbuka.
Kulongokkan kepala ke dalam kelas, lalu kuedarkan mataku mencari keberadaan cowok itu. Tepukan di bahu, membuatku terlonjak kaget. Refleks aku menoleh ke belakang.
“Nyariin Elang???”
Kuputar tubuh, hingga bisa berhadapan dengan salah satu teman sekelas Elang. Kuanggukkan kepala, sebagai jawab atas tanya nya.
“Baru saja keluar. Mungkin masih ada di parkiran, kalo lo cepat nyusul ke sana.”
Keningku mengernyit, ketika mendengar informasi dari teman satu kelas Elang. Parkiran??? Memangnya kelasnya sudah selesai??
Tanya dalam batinku, belum sempat kutumpahkan, saat teman Elang kembali berucap. “Cepetan. Kalau nggak, entar lo nggak bisa ketemu dia.”
Tersadar, aku segera menghela kedua kakiku—setengah berlari, lalu benar-benar berlari. Aku bahkan lupa berterima kasih pada teman Elang yang memberitahu keberadaan cowok itu.
Sumpah! Aku paling tidak suka olah raga. Nama pemberian Ibu benar-benar tidak sesuai dengan kepribadianku. Aku membungkuk, dengan kedua tangan menumpu lutut. Bukan cuma ngos-ngos an. Rasanya, nafasku nyaris putus, saat aku berlari hingga sampai parkiran di samping gedung sekolah.
Aku butuh beberapa detik untuk sedikit saja mengurangi nafas yang berpacu cepat. Kutegakkan tubuh, dengan dada yang masih naik turun lebih cepat dari biasanya. Kembali kulangkahkan kaki, sembari meliarkan pandangan mata.
Aku memicing, saat melihat sosok yang sangat aku kenali—meski jarak kami masih beberapa meter. Elang. Dia terlihat sedang berdebat dengan … “Kak Maya??” gumamku.
Penasaran, kulangkahkan kakiku menghampiri keduanya. Aku ingin tahu, apa yang terjadi pada dua sahabat itu. Kenapa kak Maya menangis???
Tubuhku nyaris limbung. Hela kakiku terhenti, sebelum bisa benar-benar tiba di tempat mereka. Aku nyaris tidak bisa mempercayai penglihatanku sendiri. Bagaimana bisa? apa yang sebenarnya terjadi?
Goyah, kaki kananku terhela ke samping, sebagai upaya menjaga keseimbangan tubuhku, agar tidak terjatuh. Bunyi ranting yang tidak sengaja terinjak kaki kananku, membuat pelukan mereka terlepas. Kedua kepala itu menoleh bersamaan. Ke arahku. Aku bisa melihat keterkejutan mereka berdua.
Mereka tidak tahu. Aku jauh lebih terkejut melihat kekasihku sendiri, memeluk gadis lain. Sekalipun itu sahabatnya sendiri. Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Marah?? Kecewa?? Yang jelas … rasa takut yang sebelumnya kukhawatirkan … hilang seketika.
“Se-se-an.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
