ASEAN SOFI: CINTA TAK BERBATAS

17
23
Deskripsi

ASEAN SOFI : PART 4 - 11

PART 4.

Erlang Dirgantara—Elang

Aku tahu dia akan datang. Aku melihat namanya, dalam daftar alumni yang akan datang. Hampir 10 tahun sudah berlalu, tapi aku tetap masih mengingatnya. 

Sebagai salah satu panitia reuni akbar kali ini, aku mempunyai akses untuk melihat data--siapa saja yang sudah mengkonfirmasi kedatangan mereka, untuk acara hari ini. Nervous? harus kuakui…  iya. Aku sedikit merasa nervous, meskipun belum tentu juga kami akan bertemu--mengingat jumlah alumni dari 6 tahun kelulusan, cukup banyak. 

Bersama panita yang lain, aku datang 15 menit sebelum acara yang direncanakan mulai pukul 7 malam. Tidak sendirian tentu saja, karena aku sudah memiliki istri. Wanita yang sudah menjadi sahabatku sejak kami SMP. Saat kami tiba di ruang tempat reuni akan digelar, sudah ada beberapa teman yang tiba lebih dulu. Aku segera bergabung dengan mereka, sedangkan Maya—istriku, mencari tempat duduk untuk menunggu acara dimulai. Dia memang tidak ikut menjadi panitia reuni. Aku, dan beberapa panitia lain mulai berbincang. Beberapa teman melaporkan kesiapan bagian mereka masing-masing. Aku hanya mendengarkan. Tak menunggu lama, para alumni mulai berdatangan. Mataku awas melihat ke arah pintu masuk. Bermenit-menit, aku hanya berdiri mengawasi pintu masuk. Dalam hati berharap melihat seseorang yang sudah sangat lama tidak pernah lagi kulihat, bahkan kabarnya pun--tidak pernah kudengar. 

Meskipun aku masih bertemu dengan beberapa sahabat gadis itu, namun tak pernah sekalipun mereka menyebut namanya. Yang begitu kurindukan, namun tak kuasa untuk kusebutkan. Terlalu banyak hati yang harus kujaga. Kuhela nafas kecewa setelah sekian lama mencari, dan tak menemukan sosoknya. Bahkan, hingga acara dimulai—dia masih tidak terlihat. Dalam hati aku membatin, apakah terjadi sesuatu dengannya, hingga dia urung datang? karena dari daftar para alumni yang sudah mengkonfirmasi untuk datang, aku jelas melihat namanya. Kecewa, aku melangkah mencari istriku. Maya masih di tempatnya semula. Wanita yang sudah melahirkan seorang putri itu, masih duduk di kursi yang sama, yang ia tempati pertama kali kami datang.

“Ayo … gabung sama teman-teman.” Maya mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduknya. Kami berjalan menuju satu tempat, yang memang diperuntukkan untuk Alumni kami. Jadi, dalam ruang luas ini di bagi 6 bagian. Masing-masing bagian diperuntukkan untuk tiap tahun kelulusan. Dari alumni tahun 2010 hingga alumni tahun 2015. Beberapa teman langsung menyambut kedatanganku bersama Maya. Kami akhirnya larut dalam perbincangan dengan teman-teman. Hingga suara pembawa acara terdengar lebih keras.

“Ya … Mbak yang baru datang. Yang pakai dress warna peach. Bisa ke atas panggung?!!”

“Mbak … Mbak dress peach!!” Kami serentak menengok ke arah pintu masuk. Aku terhenyak. Dia ada di sana. Berdiri kebingungan. Malam ini, dia memakai dress selutut berwarna peach. Dress sederhana tanpa hiasan apapun, hanya lipitan pada bahu serta area pinggul, namun tetap membuatnya terlihat anggun. Rambutnya tergelung ke atas. Sepertinya, sekarang dia memanjangkan rambut, tidak seperti ketika kami sekolah. Dulu, rambutnya hanya sebatas bahu. Dia masih memiliki poni yang sama. Terbelah di tengah. Bibirnya terpoleh lipstik berwarna nude. Tampilannya begitu natural, tidak menampakkan usianya yang sudah 26 tahun. Dia masih cocok memakai seragam putih abu-abu. Sepertinya, dia masih tidak menyadari--saat semua orang sedang menatapnya. Dia terlalu sibuk dengan pencariannya sendiri. Mungkin dia mencari sahabat-sahabatnya. Yang pasti, dia tidak mungkin mencariku. Mungkin, aku adalah satu-satunya orang dalam ruangan ini--yang tidak ingin dia temui. Aku menoleh ke samping, saat merasakan tanganku tergenggam erat. Aku hampir saja melupakan keberadaan wanita yang berstatus istriku. Maya tersenyum kecut.

“Dia datang,” ucap pelan Maya. Aku hanya diam. tidak tahu harus merespon seperti apa. Dalam hati aku membenarkan. Ya … dia datang. Sekalipun aku tidak mungkin menghampirinya. Hanya dengan melihatnya, rasa bersalah kembali muncul. Gadis ceria itu, pernah menangis karenaku. “Dia tidak berubah … masih terlihat seperti dulu,” gumam Maya. Aku mendengarnya, dan kembali membenarkan dalam hati. Tampilannya memang tidak berubah, tapi aku yakin hatinya sudah sangat berubah.

Dia terlihat semakin kebingunan, saat salah satu sahabatnya mendorongnya ke atas panggung. Aku masih ingat sahabat-sahabatnya. Salah satu dari mereka bahkan pernah menghajarku habis-habisan, setelah aku membuatnya menangis. Saat itu aku tidak melawan. Aku tahu aku salah, dan aku pantas mendapatkan hajarannya. Dia hanya sekedar melampiaskan sakit hati sahabatnya. Tanpa sadar, aku tersenyum kecil--saat mengingat kejadian itu. Beberapa hari aku terpaksa tidak masuk sekolah, karena luka di sekujur tubuhku—terutama wajah. Namun, ketika aku masuk, semua sudah berubah. Aku tak lagi pernah bisa melihatnya. Dia seperti hilang ditelan bumi. Tak pernah lagi berjalan sembari bersendau gurau bersama para sahabatnya. Tidak ada lagi dia, di antara teman-temannya. Aku sempat bertanya-tanya, apa yang terjadi dengannya? apakah ia memutuskan pindah sekolah?

Tahun terakhirku di sekolah itu--terasa seperti berada dalam neraka. Pandangan jijik, dan menghina teman-temanku, ketika melihatku dan Maya, juga cemoohan-cemoohan yang tidak mereka tutup-tutupi, membuatku gerah. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Masih beruntung pihak sekolah tidak mengeluarkan kami berdua saat itu juga. Mungkin, kalau orang tuaku tidak memohon, saat itu aku dan Maya sudah putus sekolah. Entah akan seperti apa masa depan kami--jika itu terjadi.

“Nama?” tanya pembawa acara. Tatapan mataku tidak lagi bisa beralih dari atas panggung. Tempat seorang wanita yang begitu aku rindukan berada dalam kebingungan. Wajahnya tampak lucu, sekaligus menggemaskan. Oh … dan lihatlah. Aku menggelengkan kepala, ketika melihat sebuah bolpoin yang ia gunakan untuk menjepit gulungan rambutnya. Aku penasaran, sudah sepanjang apa rambutnya sekarang. Rambut yang terasa begitu halus, dan lembut--saat aku membelainya. Apakah dia terlihat lebih cantik, dengan rambut panjang yang kini berwarna coklat itu? Pasti. Rambut pendek, atau pun panjang, dia pasti akan selalu terlihat cantik.

“Asean Sofi.” Suaranya terdengar merdu, ketika menyebut namanya. Ya… Asean Sofi, nama gadis itu. gadis yang pernah membuatku merasakan indahnya masa-masa sekolah, indahnya jatuh cinta, my first real love. Asean Sofi, gadis yang pernah kubuat menangis, hingga mungkin hatinya hancur saat itu. Saat aku memutuskan untuk memilih Maya. Berada di samping Maya, saat dia terjatuh. Saat itu juga aku kehilangan Sean untuk selama-lamanya. Meninggalkan dia yang saat itu menangis pedih, membawa rasa bersalah hingga kelak aku mati. ‘Sean’ aku hanya bisa menggumamkan namanya dalam hati. Biar bagaimanapun juga, aku harus menjaga hati Maya. Semua sudah terjadi, dan aku sudah membuat keputusan 10 tahun yang lalu.

Bagaimana caraku agar bisa melupakan kenangan masa sekolah itu? aku sungguh tidak tahu. Apalagi ketika aku mendengar denting piano. Dari awal dentingan, aku tahu lagu apa yang akan Sean nyanyikan. Dia seharusnya sudah melupakan lagu itu. lagu favorit kami berdua. Sean sering menyanyikannya, ketika kami bersama--dengan iringan petikan gitarku. Aku masih menyimpannya. Gitar itu. Dulu, Sean suka sekali setiap mendengar petikan gitarku. Dia bilang, aku punya bakat. Dia bahkan pernah mengatakan, mungkin suatu saat kami bisa berduet, dan membuat album. Sayang … hal itu tidak akan pernah terjadi. Semuanya hancur karena kesalahanku. Aku sadar, aku kejam. Menyakiti gadis yang aku cintai demi sahabatku. Namun, aku tidak bisa membiarkan masa depan Maya berakhir, jika aku memutuskan untuk tetap bersama Sean.

Que Sera Sera

Mengalun indah dari bibir wanita yang masih begitu mempesona di mataku. Melihatnya menyanyi membangkitkan memori kami kembali. Senyumnya, canda tawanya. Gadis yang malas berolah raga, namun tetap bisa menjaga tubuhnya. Seanku … dulu. sebelum aku menghancurkan hubungan kami.

Suaranya jauh lebih matang. Terdengar sexy di telingaku. Aku bisa melihat dengan jelas—Elang dan Sean dengan seragam putih abu-abu, berada di belakang sekolah. Duduk bersandar tembok keliling yang memisahkan sekolah kami. Aku memetik gitar di sisi tembok sekolahku, dan Sean bernyanyi di sisi tembok sekolahnya. Kegiatan yang sering kami lakukan di saat jam istirahat tiba. Terkadang, kami akan makan bersama. Aku akan memanjat tembok, untuk menerima uluran tepak darinya. Sean—bisa memasak. Ingatan itu kembali meremas hatiku. Seumur hidup, aku akan terus merasa bersalah padanya.

Bibirku hanya mampu terkatup rapat. Tidak seperti dulu, saat aku akan selalu ikut bernyanyi. Jantungku berdetak cepat, saat sepasang mata itu menyapu, dan berhenti tepat ke arahku. Suaranya bergetar, ketika tatapan kami terkunci. Keterkejutan yang terlihat di wajah cantik itu, apakah dia tidak tahu aku akan datang? ah … sepertinya begitu. Mungkin, dia tidak akan datang seandainya tahu, bahwa aku juga akan muncul di tempat ini. Aku hanya bisa menatapnya pilu. Memohon maaf atas apa yang pernah kulakukan padanya. Kuikuti pergeseran bola mata itu. Rasanya, kini tubuhku mendingin--saat aku menyadari kemana sepasang mata itu kini menatap. Maya. Tak butuh waktu lama, hingga dia akhirnya memilih berpaling. Seolah tak sudi lagi melihat ke arah kami. Nafasku tertahan, merasakan sakit di hatiku. 

Sepanjang sisa penampilan Sean, aku hanya berusaha terus menatapnya. Memuaskan dahaga kerinduanku padanya. Aku tidak tahu, kapan aku akan bisa melihatnya lagi setelah ini. Atau mungkin ia akan kembali menghilang, seperti yang ia lakukan nyaris 10 tahun lalu. Membuatku tersiksa, karena tak lagi bisa melihatnya. Tidak di dunia nyata, maupun di dunia maya. Dia benar-benar menghilang.

Pernah, aku menstalker media sosial para sahabatnya. Berharap bisa sedikit saja mendapatka clue tentang keberadaannya. Atau, kalau aku beruntung, aku akan bisa melihat wajahnya. Namun nihil. Tak satupun petunjuk, apalagi photonya yang bisa kudapati dari media sosial sahabat-sahatnya.

Jantungku berdetak semakin tak beraturan, saat pemandu acara menanyakan status Sean. Sepertinya, ada yang terpesona olehnya. Tentu saja. Lelaki mana yang tidak akan terpesoana oleh gadis secantik, dan semenarik Sean. Dari pertama melihat saja, orang akan tahu semenarik apa kepribadian gadis itu. Kupasang telinga lebar-lebar, untuk mendengar jawabannya, saat suara-suara riuh terdengar menyoraki gadis itu. Banyak desah kecewa terdengar, ketika Sean membuka mulut—menjawab pertanyaan yang terlontar untuknya. Tanpa sadar, aku menghela nafas lega, saat Sean lebih memilih tidak menjawab pertanyaan tersebut. Menjadikan itu privasi untuknya. Apakah dia sudah memiliki kekasih? atau kah mungkin sudah bertunangan? tidak mungkin kan, gadis seperti Sean masih sendirian? Hatiku nyeri memikirkan kemungkin itu. Hatiku semakin teremas saat melihat para sahabat pria gadis itu dengan mudahnya memeluk tubuh gadis yang kucintai. Rasanya, amarah sudah berada di ujung kepalaku. Melihat bagaiman Sean tertawa bersama mereka. Bolehkah aku menghajar mereka semua?

PART 5.

Aku tidak bisa mengartikan tatapan Pipin, setelah dia melerai pelukan kami. Ada rasa prihatin, kesal, marah, berbagai ekspresi yang terpancar. Kuhela nafas panjang.

“He was my past,” ucapku. Kulirik teman-temanku yang sedang menatap ke arahku. Apa mereka mendengar bisikan Pipin di telingaku? melihat cara mereka menatapku--sepertinya tebakanku benar. Mereka mendengar. Kuputar bola mata jengah, mendapati tatapan prihatin mereka. 

“Ayolah gengs … gue datang ke sini bukan untuk mengingat lagi orang yang sudah tidak layak gue ingat.” Rasanya kesal ditatap seperti itu. Aku tahu mereka ikut merasakan apa yang aku rasakan saat itu. tapi tetap saja, aku tidak suka ketika seseorang menatapku--kasihan.

“Benar … kita ke sini buat reuni geng kita. Lo sih, Pin … suka banget ngerusak suasana,” omel Dian, sembari memelototi Pipin. Sementara Ruri sudah menoyor baru pria itu—yang kemudian menunjukkan cengirannya.

“Ya … gue masih kesel aja sama dia. Rasanya, pengin nonjok wajah sok tampannya itu. Apalagi ngeliat istrinya … ugghhh … langsung mules gue.” Aku tertawa melihat ekspresi wajah Pipin saat bercerita.

“Ngomong gitu di depan Sean. Siapa kemarin yang teken kontrak sama dia?” sindir Cungkring, yang langsung kena kaplok kepalanya.

“Apaan teken kontrak. Nggak ada, Cung. Dia cuma reservasi tempat buat teman-temannya di pemancingan gue. Ya masa gue harus nolak rezeki. Gue kan harus mikirin kesejahteraan karyawan gue,” sanggah Pipin, dengan wajah kesal. Aku hanya bisa tersenyum--menatap dua sahabatku yang sedang berdebat.

“Tetap aja itu namanya lo nggak setia kawan. Harusnya lo tolak mentah-mentah tuh duit orang songong.”

“Sudah … sudah … Pipin benar. Nggak boleh kita nolak rezeki. Banyak orang yang mohon-mohon tiap malam, supaya Tuhan kasih mereka rezeki. Lagian, gue nggak apa-apa kok, Cung. Lihat aja … gue tetep hidup, dan tetep cantik, kan?” kuangkat kedua alis, dengan mengukir senyum lebar. Sekalipun dalam hati menjerit-jerit. Aku masih saja merasa sakit hati. Tapi aku tidak boleh egois, dengan membenarkan pendapat Cungkring. Semua sudah berlalu. Life must go on. 

Akhirnya, teman-teman mulai tertawa, lalu kami dengan sendirinya membuat posisi memutar, kemudian saling berangkulan. Seperti yang sering kami lakukan dulu. Kami tertawa lebar, kembali merasakan kehangatan persahabatan kami. Aku berdoa dalam hati, semoga persahabatan kami tak lekang oleh waktu. Sekalipun kelak kami semua sudah mempunyai keluarga masing-masing. Mereka tidak hanya sahabat bagiku. Lebih dari itu—mereka saudara-saudaraku. Sekalipun tidak ada ikatan darah di antara kami.

“Gue kangen kita yang begini,” ucap Ruri, disela tawa kami. Kami mengangguk setuju—dengan senyum yang masih tersungging.

“Tapi, bisa nggak kita tetep begini--kalau nanti kita semua sudah punya keluarga sendiri-sendiri?” tanya Dian. Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sama seperti yang kupikirkan.

“Emang kenapa nggak bisa? malah lebih asik, kan? kita bisa ajak pasangan kita, sekalian anak-anak. Kita jadi keluarga besar,” sahut si Robot. Senyumku semakin lebar. Kuanggukkan kepala dengan penuh semangat.

“Bener sih … kayaknya asik. Asal jangan ada yang ngilang-ngilang lagi.” Kuputar bola mataku saat lirikan mereka mengarah padaku. Senyum lebarku sudah langsung pudar.

“Berapa kali gue mesti bilang, kalau dulu tuh, gue nggak ngilang. Gue cuma lagi belajar ngebolang,” candaku, yang membuat teman-temanku akhirnya tertawa. Aku senang melihat binar di mata mereka. Senyum mereka lah yang dulu bisa menguatkanku. Dan sekarang pun, aku masih merasakannya. Dukungan yang mereka sampaikan--tanpa harus banyak bicara.

“Sekarang udah puas kan, ngebolangnya?” tanya Pipin. Kuangkat kedua bahuku.

“Seperti yang lo lihat. Gue udah di sini sekarang.”

“Ah … gue sayang kalian semua!!” pekik Ruri. Kami kembali tertawa bersama. Momen yang paling kurindukan, tentang masa lalu. Mereka, bukan hanya sekedar sahabat untukku. They’re my family. Selamanya, aku akan menyayangi mereka, seperti aku menyayangi saudara-saudaraku sendiri. Hatiku sungguh merasa lega.

“Gue udah lapar nih, gengs. Boleh nggak sih, makan dulu?” Aku melirik meja-meja yang sudah terisi penuh dengan makanan. Aku tidak sedang berbohong. Aku melewatkan makan siangku. Dan sekarang, perutku benar-benar sudah memprotes pemiliknya untuk segera memberinya makan.

“Emang siapa yang berani melarang Pak tentara?” Robot tersenyum miring dengan satu alis tebalnya terangkat tinggi. Aku tersenyum lebar. Kami melepaskan rangkulan tangan kami. Aku segera menghampiri Robot, lalu meraih lengan kokohnya.

“Ada yang cemburu nggak, kalau gue gandeng lo gini, Rob??” tanyaku sembari nyengir, mendongak agar bisa melihat wajah jahil sahabatku.

“Kalau pacar lo cemburu lihat kedekatan kita, itu berarti dia nggak cocok buat lo.” Bukan aku yang ngomong, tapi Dian yang sudah berdiri di sampingku. Sahabatku itu tersenyum. Lalu menggandeng sebelah tanganku, mengajak kami berjalan menuju tempat di mana makanan-makanan nikmat itu terhidang.

“Ayo gengs … kita serbu makanannya. Biar aja yang lain masih main tebak-tebakan. Yang penting kita temani Bu Dokter yang sedang kelaparan ini. Biar punya tenaga buat bedah tubuh pasiennya.” Dian membuatku terkikik. Memang benar, pembawa acara dan beberapa wajah yang aku kenali yang sedang berada di atas panggung--sedang mengadakan tanya jawab dengan hadiah sebagai iming-iming. Aku menggeleng takjub, saat samar-samar mendengar pertanyaan yang terlontar dari atas panggung.

“Siapa yang masih ingat rumus mencari kecepatan??!!”

***

Kami tidak mempedulikan lirikan-lirikan beberapa petugas hotel--ketika kami, dengan tanpa rasa sungkan, mengambil piring, dan mulai mengisinya dengan makanan yang kami inginkan. Setelah itu, kami mencari tempat duduk--untuk menikmati makanan kami, sembari mengamati acara yang sedang berlangsung.

“Lo lihat tuh si Nadine,” bisik Ruri.  “Arah jam 10, Sean.” Aku segera menggulir bola mata samar ke arah jam 10, seperti petunjuk yang Ruri berikan. Aku hanya bisa berdecak.

“Ini yang gue nggak suka dari acara reuni. Saat mereka yang merasa sudah lebih berhasil dari yang lain, sok memamerkan kemewahan,” balasku, tak suka melihat bagaimana penampilan salah satu teman seangkatan kami. Tas hermes, pakaian dengan merk LV yang tercetak pada printingannya, lalu perhiasan yang nampak seperti berlian asli. Entahlah … aku belum pernah punya berlian, jadi tidak tahu jika itu palsu sekali pun.

“Kan dari dulu dia emang suka pamer. Kayaknya, kata ‘pamer’ itu berasal dari DNA nya, jadi ya, gitu deh,” komentar Dian. Kami, para cewek memang duduk bersama, sementara para cowok duduk tak jauh dari kami. Sebenarnya, bukan hanya Nadine yang tampil dengan kemewahannya. Banyak peserta reuni melakukan hal sama. Untunglah, kami bukan termasuk orang-orang yang suka menjadi perhatian--karena penampilan semata. Sahabat-sahabatku tampil sederhana. Tidak berlebihan. Termasuk Pipin, yang paling kaya di antara kami semua. Sahabatku itu, tampil tidak berlebihan. Meskipun aku tahu, pakaian yang melekat pada tubuhnya, serta sepatu yang membungkus kedua kakinya itu--sudah pasti bernilai jutaan rupiah. 

“Woahhh … “ gumam Ruri yang membuatku, dan Dian menoleh ke arahnya. Ruri membuka lebar mulutnya.

“Ternyata dia ketua panitianya. Ckckck… “ Keningku mengernyit bingung. Kuikuti arah pandangan mata Ruri. Panggung, adalah fokus kedua mata sahabatku saat ini. Aku mengerjap. Dia ada di sana dengan microfon di tangan.

“Terima kasih untuk teman-teman yang sudah meluangkan waktu--untuk bisa kembali berkumpul, sekaligus mengenang masa sekolah kita. Ada suka, juga ada duka. Tapi, yang pasti, kenangan masa SMA adalah kenangan terindah, yang tidak akan bisa saya pribadi lupakan. Mungkin, teman-teman ada yang merasakan hal yang sama seperti saya.” 

Aku hanya bisa terpaku mendengar ucapannya. Memaki dalam hati … karena memang benar, kenangan masa itu masih melekat kuat dalam memoriku. Sekalipun aku ingin sekali bisa melupakannya. Dia tertawa renyah. Tentu saja. Mungkin baginya, masa SMA memberinya kenangan paling indah, tentang persahabatan, dan hubungan kasihnya dengan wanita yang sudah menjadi istrinya. Berbanding terbalik denganku, karena masa itu adalah masa aku merasakan benar-benar terpuruk. Rasa sakit, kembali dengan cepat menggerogoti hatiku. 

Entah dia menyadari tatapan tajamku, ketika tiba-tiba kepala itu menoleh tepat ke arahku. Seperti ketika kami pertama bertemu tatap, aku masih bisa melihat keterkejutannya. Sepasang mata itu mengerjap, tanpa mengalihkan arah sorot mata yang tiba-tiba meredup. Kutatap dia penuh kebencian. Kurasa emosiku benar-benar meluap sekarang. Melihatnya tertawa, menertawai masa lalu kami. Mungkin, dalam hatinya, apa yang terjadi pada kami--hanya guyonan yang sering ia perbincangkan dengan istri tercintanya. Mungkin baginya, rasa sakit yang ia torehkan di hatiku, hanya gurauan semata. Entah sejak kapan, gigi-gigiku sudah mulai bergemeletuk--menahan amarah yang mengaliri sekujur tubuhku. Ingin sekali kulempar piring di tanganku ke wajahnya. Wajah yang sialnya semakin tampan, dengan bertambahnya kedewasaan pria itu. Ia terdiam beberapa saat--hingga senggolan pada lengannya, membuat pria itu tersadar, lalu mengalihkan tatapan matanya.

“Brengsek… “ gumamku lirih. Kurasakan usapan di punggung tangan, juga punggungku. Kedua sahabatku, pasti menyadari apa yang baru saja terjadi--tanpa aku perlu bercerita. 

“Gue benaran pengin bunuh orang sekarang. Boleh nggak, sih?” aku menggeram tanpa sadar. Dia bisa tertawa di atas penderitaan yang ia torehkan di hatiku. Kurasa, tidak ada pria yang lebih brengsek dari dia. Pria yang sayangnya juga pernah membuatku merasakan bahagia karena dicintai. Ternyata, itu semua hanya omong kosong. Harus kuacungkan dua jempol ke arahnya. Luar biasa akting pria itu, hingga mampu membuatku percaya--jika dia tulus mencintaiku. Lalu, hari itu datang … dan … boom!! Semuanya hancur seketika. Tidak ada lagi cinta. Semuanya hanya permainannya saja. Semuanya semu. Kebohongan yang dengan begitu mulus dia lakoni, tanpa aku sadari. Aku beranjak dengan kesal. Tidak tahan berada lama-lama di tempat yang sama dengan pembohong sepertinya.

“Sean … mau kemana?” Ruri, dan Dian serentak ikut berdiri, lalu mengikutiku. Rasa laparku sudah hilang, padahal makanan dalam piringku masih setengah. Sayang sekali, aku harus membuang makanan begitu saja. Aku berjalan cepat. Tak kuhiraukan panggilan teman-temanku yang terdengar panik.

“Aww!!“ 

Kuhentikan langkahku, saat tak sengaja aku menabrak bahu seseorang.

“Sorry… “ Kuputar tubuhku, untuk meminta maaf. Rasanya, malam ini kesialan selalu berada di sekelilingku. Tubuhku rasanya lemas seketika.

“Se-Sean??”

PART 6.

Aku menahan bola mataku, agar tidak membesar--ketika melihat siapa yang tak sengaja ku tabrak. Nafasku terasa tertahan di tenggorokan. Dengan susah payah, kucoba untuk bisa kembali bernafas dengan normal. Hampir saja aku kehilangan kendali emosi, hanya karena kata-kata pria itu. Aku hampir melupakan usaha kerasku selama 9 tahun terakhir. Dalam hati, aku menasehati diriku sendiri … jangan lemah, Asean. Jangan kalah. Perlahan, kuhembuskan nafas. Kupasang ekspresi sumringah, seolah baru saja bertemu dengan sahabat lama--setelah sekian lama. Kutepis semua rasa benci, dan marah, yang menggerogoti hatiku. Mengingat kembali bagaimana penyakit hati bisa menjadi penyebab berbagai macam penyakit yang menyerang tubuh kita.

“Eh … Mbak Maya. Sorry nggak sengaja. Mbak nggak apa-apa, kan?” Aku bisa melihat wajah terkejut wanita itu. Kuberi dia senyum lebar. Kedua bola mata itu, mengerjap lambat. Mungkin, ia sedang mencoba memahami apa yang terjadi. Jangan harap kamu akan mendapati Asean yang masih bersedih, dan sakit hati--setelah apa yang kalian lakukan padaku … gumanku dalam hati. Sekali pun aku harus menangis dalam senyumku, aku tidak akan pernah membiarkan mereka merasa menang. Yang perlu mereka lihat, hanyalah Asean yang kuat. Asean yang tetap baik-baik saja, sekalipun sudah pernah mereka hancurkan--hingga berkeping-keping. Kulirik Ruri, juga Dian yang entah sudah berapa lama berdiri di sampingku.

“Kalian masih ingat sama Mbak Maya, kan? itu lho … istrinya Mas Elang.” Lidahku rasanya begitu kelu, ketika kupakai untuk menyebut namanya. Selama ini, aku selalu berusaha menghindari menyebut nama itu. Nama yang akan selalu mengingatkanku, akan bagaimana rasanya jatuh cinta, dan patah hati. Rasanya tak bisa kuceritakan. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan bagaimana rasanya berada di posisiku waktu itu. Saat cinta sedang membumbung tinggi, lalu dalam sekejap mata, dihempas begitu kuat. Dijatuhkan oleh pria yang sama.

“Umm … ya … hai, Mbak.” Kurasa, Ruri tak tahu harus merespon bagaimana. Aku terkekeh, merasakan perih yang menusuk-nusuk di dalam dadaku.

“Apa kabar, Mbak?” Dian, yang sebelumnya hanya diam dengan wajah cengo--akhirnya bisa mengeluarkan pertanyaan. Yah … meski pertanyaan standar, karena aku rasa--dia juga pasti bingung harus berkata apa. Wanita bernama Maya itu bergerak tidak nyaman. Dalam hati, aku bersorak. Satu sama … batinku.

“Oh iya … udah punya dedek berapa sekarang?” tanyaku, dengan senyum yang kubuat semanis mungkin, meskipun lagi-lagi aku merasakan hujaman rasa sakit menghantam dadaku. Kurasa, aku masih belum ingin berhenti menyakiti diriku sendiri. Berharap hingga akhirnya aku akan merasa kebas. Tak lagi bisa merasakan rasa sakit itu. Bukankah itu baik untukku? aku melihat wajah wanita itu memerah. Tak terasa, keningku sudah mengernyit dalam. Entah wanita itu marah, atau malu. Tapi, kenapa dia harus marah, ataupun malu--untuk menjawab pertanyaanku? Bukankah, orang yang sudah menikah paling suka membicarakan tentang anak-anak mereka? aku mendengus samar. Tidak ingin wanita itu menyadarinya. 

“Eh … Sean … lo mau kemana?” kedua bahuku langsung melorot, begitu mendengar suara di belakangku. Para pria ikut menyusulku. Kuputar bola mata, sebelum berbalik.

“Gue mau ke toilet. Kalian semua mau ikut??” kutunjuk semua sahabat-sahabat cowok ku, yang langsung mengeluarkan cengiran mereka.

“Kirain lo mau kabur karena lihat si El—” ucapan Cungkring terhenti, ketika mulutnya dibekap Demit. Sepertinya, cowok itu belum menyadari siapa yang sedang berada bersamaku, Ruri, dan Dian. Tak terasa, tubuhku menegang kaku. Jantungku berdetak kencang. Syukurlah … Cungkring tak lagi melanjutkan kalimatnya. Kedua mata cowok itu melebar, ketika sudah menyadari seseorang yang sedang bersama kami. Ia kemudian tersenyum kikuk.

“Eh … ada Mbak Maya cantik. Apa kabar, Mbak?” dengan salah tingkah, Cungkring menyapa. Maya tersenyum kaku. Wajahnya merah padam. Aku sendiri bingung, dengan reaksi istri pria itu. Merasa aneh.

“Sa-saya … baik. Maaf, saya harus ke sana.” Buru-buru wanita itu pamit, lalu berjalan tergesa meninggalkan kami. Aku masih menatapnya bingung. Ada apa dengan wanita itu?

“Aneh… “ gumam Ruri di sampingku. Aku hanya meliriknya, masih lebih tertarik mengamati ke mana wanita itu pergi. Menyusul suaminya, kah?

“Iya, ik… aneh… “ Dian menyahuti.

“Gue juga nggak paham.” Akhirnya aku juga mengomentari. Wanita itu tidak menyusul suaminya yang masih betah di atas panggung. Kuhela nafas panjang. Rencanaku untuk kabur gagal. Sekarang, aku justru harus benar-benar ke toilet, untuk memuluskan alibiku. Supaya sahabat-sahabatku tidak tahu--jika tadi, aku hanya berbohong. Hanya menggunakan toilet sebagai alasan. 

Aku sudah berbalik, dan akan melangkah kemana saja untuk mencari keberadaan toilet. Mungkin aku bisa membasuh muka, atau mengguyur kepala sekalian. Mendinginkan kepala yang terasa begitu panas. Namun, langkahku lagi-lagi harus tertahan, ketika mendengar namaku dipanggil.

“Mbak Asean…!! Mana ya tadi Mbak Asean Que sera sera …!!” aku menoleh bingung--mendengar namaku dipanggil dengan pengeras suara. Aku bertatapan dengan Dian, juga Ruri--yang terlihat sama bingungnya dengan ku. Kualihkan pandangan ke arah suara berasal. Panggung!! Gila … tubuhku rasanya langsung lemas, ketika lagi dan lagi, pembawa acara itu memanggil namaku.

“Mbak Asean yang saat nyanyi damage nya naik 1000 kali, ayo… sini ke atas panggung!” Aku mengerjap, sementara sorak sorai para peserta reuni kembali terdengar. Apalagi sih … batinku. Apa aku membuat kesalahan lagi, sehingga harus dihukum? Aku mengerang dalam hati. Come on … ini acara reuni, bukan sekolah yang sedikit-sedikit kena hukuman. Apa karena aku sudah mengambil makanan terlebih dahulu, sebelum dipersilahkan? arrggghh … kesel. Kuhentak kakiku kesal, sebelum melangkah menuju panggung sekali lagi.

“Eh … sini, tas aku bawain.” Dian menyusul langkahku. Kuserahkan tas cangklong, dan goody bag yang aku tenteng sedari tadi.

“Gila … ngapain lagi gue disuruh ke panggung,” gumamku tidak habis pikir.

“Suruh joget kali.” Sahut Dian, yang langsung kupelototi. Dian tertawa. Memutar tubuhku, lalu menepuk pelan punggungku. “Udah sana … siapa tahu dapat doorprize,” lanjutnya. Kugelengkan kepala, sembari tertawa kecil. Ah… ada yang lupa. Bolpoin yang masih bertengger di kepalaku. Kucabut, lalu kulemparkan ke Dian yang dengan sigap menangkapnya. Dengan jari, kurapikan sedikit rambut, yang sudah menyentuh pinggang saat kugerai. Aku masih mendengar tawa Dian, dan teman-teman di belakangku. Bodo amat … aku akan buktikan pada pria yang sedang menghunuskan tatapannya itu--bahwa aku baik-baik saja. Siapa dia? gak kenal!! … aku terus berbisik dalam hati. Menyemanggati diriku sendiri, agar tidak terlihat menyedihkan di depan dua orang yang sudah menghancurkanku. Mereka salah, jika berpikir sudah membuatku benar-benar hancur. Sebaliknya, mereka membuatku menjadi Asean yang jauh lebih kuat. Mereka akan menyesali perbuatan mereka. Untung saja malam ini aku memakai heels yang lumayan tinggi. 12 centi, heels yang hanya menjadi pajangan di rak sepatuku selama ini. Aku lebih suka memakai flat shoes, atau sneakers saat ke rumah sakit. Sesekali pakai wedges. Sebenarnya, aku punya beberapa ukuran heels di rumah, yang paling tinggi 12 centi yang sekarang aku kenakan. Kata Ibu, cewek akan terlihat lebih feminim ketika memakai heels. 

Senyum lebar pembawa acara menyambut kehadiranku … kembali ke atas panggung. Beberapa orang yang aku tahu pasti para panitia acara ini--tersenyum. Tentu saja, kecuali satu orang itu.

“Wah … ternyata damagenya bukan lagi naik 1000 kali, gaes. Tapi 10000 kali … benar nggak? Ayo cowok-cowok yang masih single, bisa antri buat kenalan. Tapi nanti ya … setelah acara selesai.” Aku hanya bisa menggelengkan kepala, melihat antusiasme pada cowok yang langsung membuat ricuh suasana.

“Begini Mbak Asean. Tadi kan Mbak Asean—”
“Sean. Panggil Sean aja.” Potongku. 

“Ah … oke. Tadi kan Mbak Sean sudah berbaik hati menghibur kami semua, jadi dari pihak panitia ingin memberikan sesuatu untuk Mbak Sean. Buat kenang-kenangan gitu. Betul kan, ya?” pria itu menoleh ke arah beberapa orang yang sedang berdiri berjajar tak jauh dari tempat kami. Seorang cewek mengangguk. Dari gerak bibirnya, aku bisa membaca “Ya … benar.”

Aku bernafas lega. Kirain aku akan diminta untuk menghibur lagi. Aku tersenyum senang menanggapi.

“Aduh … jangan senyum gitu, Mbak. Lemah nih iman saya.” Kugelengkan kepala, mendengar gombalan Mas pembawa acara. Sepertinya, bayaran orang ini mahal--karena pandai sekali mengidupkan suasana. Dengar saja riuhnya teman-teman alumni--menanggapi gombalannya. Pria itu terkekeh, lalu kembali menoleh ke samping.

“Silahkan … siapa yang akan mewakili panita, untuk memberikan kenang-kenangan pada Mbak Sean.” Kulihat kelompok panitia yang terlihat sedang berembuk. Entah apa yang mereka diskusikan. Padahal, hanya persoalan memberikan bingkisan. Masalah gitu aja harus diskusi lebih dulu. Gimana kalau mereka menghadapi pasirn kecelakaan yang berdarah-darah. Menunggu mereka berdiskusi, sudah keburu lewat pasien itu … gumamku dalam hati. Kulihat pria itu menoleh ke arahku. Rasanya jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Segera kunormalkan ekspresi wajah, yang sesaat terkejut. Kuangkat kedua alisku. Kutantang dia.

Melihatnya, dan bertemu tatap dari dekat, bukan hal mudah untuknya. Sekalipun aku sudah berusaha keras membuang wajah itu dari ingatan—nyatanya, begitu melihatnya—semua usahaku terasa sia-sia. Aku harus memunculkan memori terakhir kamu bertemu. Di parkiran sekolah. Saat dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, tanpa alasan yang jelas. Alasan yang baru kuketahui selang beberapa hari setelah kami berakhir, ketika aku mendengar berita yang menggemparkan sekolah kami. Ternyata benar, Elang, dan Maya—mereka tidak hanya bersahabat. Hubungan mereka lebih dari itu. Mungkin, waktu itu, Elang memang hanya ingin mempermainkanku. 

Hanya dengan terus mengingat kejadian pahit itu, aku bisa menguatkan hatiku—untuk tidak kembali terjatuh.

“Jangan kalah … jangan kalah … “ kusugesti diriku sendiri. Aku tidak boleh terlihat lemah di depannya. Tidak … tidak sekarang. Nafasku semakin tercekat, saat aku melihat pria itu menerima bingkisan dari salah satu temannya, lalu mulai berjalan ke arahku.

“Jangan kalah … jangan kalah … “ terus kubisikkan kata-kata itu dalam hati. Kuremas telapak tanganku. Kutahan getar yang tetap saja keluar. Kutarik nafas panjang, kulebarkan senyum di wajahku, saat ia sudah tinggal beberapa langkah dariku. Kedua mata itu menyorotku. Bau parfum wangi maskulin yang menenangkan--segera saja tertangkap indera penciumanku. Tak sadar, kuhirup dalam-dalam. Sekalipun dalam hati merutuki kebodohanku, tetap saja hidungku gatal untuk tidak menghirup sebanyak yang aku bisa, untuk kusimpan dalam memoriku. Kotak terbungkus sampul gold itu terulur ke depanku. Bibirnya mulai bergerak.

“Terima kasih … sudah datang.”

PART 7.

ELANG

Akhirnya, aku benar-benar bisa bertemu dengannya—setelah sekian lama. Berdiri di hadapannya. Menatap wajah cantiknya, yang semakin terlihat dewasa. Dia benar-benar terlihat sangat cantik dengan rambut panjang yang tergerai. Satu perbedaan dari Sean dengan seragam putih abu.

Dia tersenyum lebar. Terlihat begitu bahagia. Benarkah dia sebahagia ini?? Karena bertemu denganku??? Ah… sepertinya, aku hanya besar kepala. Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa dia bahagia bertemu dengan seseorang yang sudah menorehkan luka begitu dalam. Kumaki diriku sendiri dalam hati.

Dia menerima uluran bingkisan dari tangannya. Kepalanya menunduk—menatap sejenak bungkusan yang sudah berada dalam tangannya tersebut, sebelum kembali mendongak untuk menatapku. Kuulurkan tangan kananku. Dia terlihat ragu, sebelum akhirnya meraih tanganku. Dingin. Tangan kami sama-sama terasa dingin, saat aku merasakan telapak tangannya. Inginku menyalurkan kehangatan untuk telapak tangannya yang dingin, namun—aliran darah dalam tubuhku seolah berhenti.

“Terima kasih,” ujarnya, sembari kembali menatapku dengan senyum lebar. Suaranya terdengar begitu merdu di telingaku. Runguku bahkan sudah tidak bisa mendengar apa-apa, selain hanya suaranya, yang ingin terus kudengar. Aku ingin dia kembali berbicara, agar aku bisa merekam, dan menyimpan suaranya dalam ingatanku.

Aku mendesah kecewa, saat kurasakan—telapak tangan dalam genggamanku--bergerak. Melepaskan diri dari telapak tanganku yang masih haus akan kulit lembutnya. 

“Apa kabar??” tanyaku lirih. Kulihat sepasang bola matanya berlari ke arah lain. Inginku…. Dia hanya menatapku. Seperti dulu. Satu sisi batinku—menertawakan keinginanku. Memangnya siapa aku? Benar-benar lucu. Aku adalah pria yang sudah beristri, dengan satu putri. Aku merasa malu sendiri, ketika mengingat statusku. Tidak selayaknya aku bersikap seperti ini.

“Masih hidup. Masih berdiri… sekalipun pernah kamu patahkan.” Suaranya terdengar begitu sinis, sekalipun wajahnya menampakkan senyum. Aku kehilangan kata-kata, saat mendengar jawaban yang seketika langsung menghujam tepat ke jantungku. Rasanya begitu sulit untuk bisa bernafas dengan normal kembali. 

“Sudah kan, Mas?? Saya boleh turun?”

Refleks, kuikuti pergerakan kepala Sean. Wanita yang masih berdiri di depanku ini, sedang berbicara dengan pemandu acara. Ya… Sean lebih memilih berbicara dengan orang itu—di banding aku, yang jelas ada di depan matanya.

“Oh… trus gimana ini yang pada mau daftar, Mbak Sean?? Boleh??” pemandu acara itu berjalan mendekat.

“Maaf Mas, saya sedang tidak buka lowongan.” Sean menjawab dengan wajah datar. Sepasang mata gadis itu bergerak turun naik—memperlihatkan bulu-bulu mata lentiknya. Tanpa sadar, aku bahkan tidak ingin berkedip. Inginku menikmati pemandangan yang dengan leluasa kudapat saat ini—seterusnya.

“Wah… sudah keisi ternyata tempatnya, gaes…” Pembawa acara itu tertawa girang. Lalu terdengar desah kecewa dari beberapa orang yang aku yakin—adalah para pria yang ingin memiliki kesempatan berkenalah dengan Sean.

“Oh iya, salam buat istri, dan anak kamu.”

Kuputar kembali kepalaku ke depan. Dua detik kami saling bertatapan, sebelum Sean memilih memutar tubuh. Lalu menghela langkahnya turun dari panggung. Tanpa merasa perlu menunggu respon dariku.

Lagi-lagi tanpa perintah dari otak, mataku mengikuti pergerakan wanita itu—hingga berada di bawah panggung, lalu suara pembawa acara--membuatku kembali mengalihkan pandangan. Sudah waktunya—kami, para panitia turun dari panggung, untuk menikmati makanan yang sudah disajikan oleh pihak hotel.

Tiba di bawah panggung, beberapa teman mengajakku untuk bersama mengambil makanan. Kuedarkan mata, mencari keberadaan istriku.

“Silahkan duluan. Aku cari istriku dulu.” Kupersilahkan teman-temanku untuk pergi terlebih dahulu, sementara aku melanjutkan langkah—mencari keberadaan Maya. Mungkin dia masih menungguku di kursi yang sama, ketika aku meninggalkannya.

Kuhembuskan nafas lega, saat sepasang mataku—menangkap keberadaan Maya. Seperti tebakannya, wanita yang sudah melahirkan seorang anak itu—masih ada di tempat yang sama. Segera kuhela langkah menghampiri.

“Sudah makan??”

Maya tersentak, sebelum kemudian memutar kepala, lalu tersenyum. “Nunggu kamu.”

Kuanggukkan kepala. “Ayo,” ajakku, yang kemudian membuat wanita iti beranjak dari kursi. Kami berdua berjalan bersisihan menuju meja-meja yang sudah dipenuhi dengan kerumunan.

Tanpa kusadar, bola mataku bahkan bergulir dengan sendirinya. Mencari. Namun, tak jua menemukan.

“Tadi aku ketemu dia.”

Aku mengernyit. Kuputar kepala ke samping. Menatap Maya dengan sorot bertanya. Wanita itu mendesah, sebelum kembali membuka mulut, untuk menjawab tanya tak terucapku.

“Mantan kamu!” ketusnya. Terlihat begitu kesal, saat mengatakannya. Mataku memicing. Tidak suka dengan caranya berbicara. Mantanku punya nama.

“Namanya Sean,” sahutku, sama ketusnya. Dia melirikku tidak suka. Kuhembuskan nafas panjang. Aku tidak ingin memulai pertengkaran. Lagi.

“Kapan kamu bisa membuang nama itu???”

Refleks, kuhentikan langkah kakiku. Kuputar tubuh, untuk bisa menghadap ke arah Maya. “Apa yang kulakukan selama ini masih kurang??” kutatap sepasang mata wanita yang sudah 9 tahun menjadi istriku. Aku sudah berusaha menjadi seorang ayah yang baik. Mungkin… aku memang bukan suami yang baik—saat pada kenyataannya, masih banyak tuntutan Maya yang belum bisa kukabulkan.

“Kamu tahu apa yang kuinginkan.”

Dia tidak menjawab tanyaku. Kuambil oksigen sebanyak mungkin. Dia selalu saja dengan mudah memancing emosiku. Aku tidak ingin bertengkar di tempat umum. Kuputar kembali tubuhku, lalu kulanjutkan hela kedua kakiku. Aku tahu dia mengikutiku di belakang.

Apa yang dia inginkan setelah semua yang kukorbankan?? Apa dia masih belum puas membuatku membuang jauh-jauh bahagia yang pernah kurajut bersama gadis yang kucintai?? Kenapa dia masih saja merasa kurang? Membuang nama Sean?? Aku pun mau—seandainya bisa. Sayangnya, nama itu sudah mengakar dengan kuat di dalam otak, dan hatiku. Bahkan di bawah alam sadarku—aku yakin akan selalu mengingat nama itu.

“Biar aku ambilkan.”

Kuturunkan kembali tanganku yang sudah terangkat untuk mengambil piring. Dengan cepat, Maya mengambilkan beberapa menu—yang dia tahu aku pasti suka.

Maya istri yang baik. Dia juga pandai memasak. Memanjakan perutku, dan perut putri kami, dengan olahan tangannya yang lihai. Segera kuterima uluran piring yang sudah terisi. Kutunggu dia mengambil porsi untuknya, sebelum kemudian kami berjalan mencari tempat untuk duduk. Tidak ada perbincangan sepanjang kami mencari kursi yang kosong.

Suara derai tawa yang terdengar cukup keras—dari beberapa orang, membuat kamu berdua menoleh. Kakiku berhenti dengan sendirinya. Dia ada di sana. Sedang tertawa dengan sahabat-sahabatnya. Kutolehkan kepala, saat mendengar suara decakan.

“Mata kamu tidak bisa beralih, kalau sudah lihat dia.”

Lagi… Maya memancing emosiku. Aku hanya refleks melihat—saat runguku terganggu dengan suara tawa yang cukup keras. Kalimatnya seakan menunjukkan jika aku sering melakukan tindakan yang dituduhkannya tersebut. Melihatnya?? Hari ini bahkan pertama kali setelah sekian lama—aku bisa melihatnya.

“Aku pria normal,” sahutku dengan kesal. Biarkan saja dia mau berpikir seperti apa. Sekalipun kujelaskan, otaknya yang sudah terlanjur berburuk sangka, tidak akan pernah mau menerima. Dia hanya akan terus bertahan dengan pendapatnya sendiri. Jadi… percuma. 

Kulanjutkan langkah, menuju beberapa kursi yang terlihat kosong. Duduk, aku segera menikmati isi dalam piringku. Membiarkan sunyi yang menemani kami berdua. Ah… tentu saja bukan suasana sunyi yang sebenarnya, karena ada suara denting sendok beradu dengan piring, dan juga ada suara teman-teman yang sedang bercakap—yang mengisi ruang di antara kami. Hanya… tidak ada percakapan antara aku dengan Maya. Bahkan… hingga isi dalam piringku kosong. Aku membungkuk—meletakkan piring kosong di bawah kursi—agar tidak terinjak. 

Kulirik istriku, yang terlihat enggan mengunyah. Tatapan matanya terlihat tidak bersemangat. “Kamu tidak ingin berkumpul dengan teman-teman kita??” tanya ku memecah kesunyian. Maya hanya melirikku, lalu menggeleng. Aku tidak bisa melakukan apa-apa, jika memang dia tidak menginginkannya.

“Buat apa??” tiba-tiba Maya bersuara, dengan nada tanya. Membuatku menoleh, dengan dahi berkerut. Menatap tidak paham wanita yang sudah hidup bertahun-tahun denganku—nyaris satu dekade. Maya perlahan melepaskan sendok yang sebelumnya masih ia pegang. Kepala wanita itu menoleh, hingga kami bisa benar-benar bertatapan.

“Sudah sekian lama, dan mereka masih menatapku jijik,” sahutnya—dengan air muka yang sudah berubah keruh. Aku mengerjap. Kupikir, teman-teman sudah melupakan kejadian itu. Selama aku berinteraksi dengan beberapa teman pria kami—aku merasa semua sudah normal. perbincangan kami nyaman. Tidak ada pembahasan mengenai masa lalu memalukan itu. Apakah teman-teman wanita kami masih belum bisa melupakan kejadian di masa lalu tersebut?

Aku mendesah. “Tidak perlu didengarkan. Kalau dulu kamu bisa, harusnya sekarang sudah lebih bisa.”

“Aku benci mereka menanyakan anak itu.”

Tanpa sadar, gerahamku mulai saling menekan kuat. Tidak ada yang salah dengan putri kami. Yang salah adalah orang tuanya. Aku mencintainya—seperti apapun dia. Bagiku, dia adalah alasan aku tetap bertahan dengan kehidupanku saat ini. Bagiku… dia tetap adalah matahari yang menyinari setiap hariku. Lowry Adifa Dirgantara. Putri kesayanganku, yang kini sudah berusia delapan tahun.

PART 8.

Berkutat dengan pekerjaan, dan tugas residence yang sedang kujalani, membuatku cukup tak punya waktu untuk sekedar berselancar di dunia maya. Apalagi untuk hangout bersama sahabat-sahabatku. Terutama, dua sahabat cewekku, yang cerewetnya minta ampun. Heboh tak terkira kalau sudah ngumpul, dan ngobrol. Bahan obrolan tak jauh dari yang namanya makhluk berjakun. Maklumlah, di usia yang sudah 26 tahun, kami bertiga masih jomblo. Jomblo menaun, kalau kata Ruri.

Kuhempaskan tubuh lelahku, ke kursi di ruang istirahat Dokter. Kuhela nafas panjang. Hari ini benar-benar melelahkan. Pasien yang masuk UGD tak henti mengalir. Satu selesai, dua lagi sudah mengantri. Begitu terus, hingga rasanya tubuhku kini tak lagi bertenaga. Sudah terkuras habis, melayani para pasien. Lalu, tumpukan tugas di atas meja--membuatku mengerang frustasi. Laporan harus segera kuselesaikan, dan kukumpulkan besok. Kuangkat kedua tangan untuk memijit kepalaku. Rasanya sudah mau pecah saja, membayangkan entah harus bergadang sampai jam berapa malam ini--untuk bisa menyelesaikan tugas dari Dokter senior pembimbingku. 

Denting ponsel membuatku menegakkan tubuh. Dengan malas, kuraih ponsel yang berkedip di atas meja. Membuka password, lalu melihat notifikasi yang baru masuk. Suara berisik tang, ting, tang, ting, membuatku kesal. Belum juga aku melihat notikasi pertama, notifikasi yang lain sudah masuk seperti hujan yang mengucur deras. Segera kugulir notifikasi yang menyatakan adanya pesan tautan dari media sosial Ruri. Rasanya mataku hampir saja copot, melihat apa yang terpampang pada layar ponselku. Caption yang ditulis Ruri hanya ‘memori‘ tapi, photo yang diunggah membuatku terkejut. Photoku saat menjabat tangan pria itu di atas panggung. Setelah aku menerima bingkisan dari panitia reuni. Mataku semakin melotot, ketika denting ponsel terus berbunyi. Segera kumatikan notifikasi supaya tidak menggangguku. Kugelengkan kepala, saat mulai membaca komen yang langsung menyerbu media sosial milikku. Media sosial yang baru kuaktifkan kembali, beberapa waktu lalu.

“Ketemu mantan di acara reuni. Gimana rasanya?”

“Wow … masih ada getaran nggak tuh tangannya?”

“Aww … mantan pasangan tempo doeloe.”

“Wah … bisa ya, baik-baik saja jabatan sama mantan.”

“Lindungilah Sean ku dari godaan Elang terkutuk.” Aku tidak bisa menahan tawa, ketika membaca komentar yang dikirim Cungkring. Disertai emoticon tangan menengadah, layaknya orang sedang berdoa. Tanganku terus mengulir ke bawah. Membaca komentar teman-teman masa SMA. Aku mendengus. 

Hubunganku dengannya memang sudah jadi rahasia umum waktu itu. Bagaimana tidak, saat aku yang biasa-biasa saja, berpacaran dengan dia yang dielu-elukan banyak cewek. Selain karena berasal dari keluarga terpandang, dia juga terkenal karena kepiawaiannya bermain gitar. Dalam olah raga, dia juga dipercaya menjadi kapten tim basket sekolah kami. Prestasi akedemik juga tidak terlalu mengecewakan. Paling tidak, dia selalu masuk 10 besar—yang aku tahu setelah kami berada dalam satu sekolah yang sama.

Kalau ditanya apa prestasiku … aku sendiri bingung harus jawab apa. Tidak seperti harapan Ibu ketika memberiku nama Asean. Aku tidak suka oleh raga. Hobiku tidur, makan, nonton drama Korea ataupun Jepang. Kalau aku ngendon di perpustakan, bahkan hingga 1 jam--ketika kelas tidak ada guru, itu karena aku membaca novel. Bukan membaca buku-buku sekolah. Prestasi akademik mungkin bisa sedikit kubanggakan, karena paling tidak--aku bisa bertahan di 5 besar, hingga aku lulus. Prestasi tertinggiku saat ujian nasional. Nilaiku tidak ada yang dibawah 9, hingga para guru tercengang. Kalau kupikir-pikir, seharusnya aku bersyukur, ketika dia memutuskan untuk meninggalkanku demi cewek lain. Karena saat aku merasa benar-benar terpuruk, saat itulah aku mengubur diri dengan tumpukan buku-buku sekolah, mengerjakan berbagai latihan soal ujian nasional. Karena hanya dengan cara itu, aku bisa sedikit melupakan sakit hatiku. Melupakan dia. Kuletakkan kembali ponsel ke atas meja. Kutatap tumpukan data yang harus segera kuolah menjadi sebuah laporan. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, ketika kulirik jam dinding yang menggantung. Kuhembuskan nafas kasar. Saatnya kembali bekerja Sean … batinku.

***

Kubuka mata dengan susah payah, ketika kurasakan goyangan di bahuku. Kukerjapkan mata untuk mendapatkan kembali fokus pandanganku.

“Oh … hai Dok.” Kusapa sosok yang berdiri membungkuk di depanku. Aduh … rasanya tubuhku pegal semua. Aku meringis saat mencoba menegakkan tubuh. Leherku terasa sakit. Sepertinya, karena posisi tidur yang pastinya salah. Aku sendiri tidak sadar, jam berapa aku jatuh tertidur. Seingatku, aku masih mengerjakan laporan yang harus segera kukumpulkan. Kedua mataku langsung terbuka lebar, saat mengingat laporanku. Kularikan bola mata ke arah jam yang menggantung di salah satu sisi dinding. Kali ini, aku tidak tahu sudah sebesar apa kedua mata ku terbuka.

Kutatap mejaku. Sumpah … aku panik! Tumpukan kertas-kertas yang sudah berserakan. Laptop yang sudah kehabisan dayanya.

“Oh … my God. Laporan gue!” Rasanya, aku ingin menangis saja. Segera kubuka laci meja, mencari charger laptop. Aku beranjak. Benar-benar panik. Tidak seharusnya aku tertidur. Laporan yang harus kukumpulkan, lebih penting dari jatah tidurku. Segera kutancapkan charger, lalu kuhidupkan laptop. Aku menggeleng putus asa. Tubuhku terasa lemas seketika. Kutatap layar laptop yang masih enggan menyala.

“Ini … minum dulu, biar bisa konsentrasi.” Aku menoleh. Baru saja aku melupakan kehadiran Dokter Riva karena panik. Aku menatapnya putus asa.

“Laporan saya, Dok. Bisa gagal rencana saya lulus tahun ini.” Kugelengkan kepala frustasi. Aku benar-benar berakhir. Selamat tinggal gelar Dokter anak, yang seharusnya bisa kudapatkan tahun ini. Padahal, aku sudah berusaha keras selama ini. Bekerja, dan belajar mati-matian. Dan karena keteledoranku satu malam, semuanya hancur.

“Jangan putus aja. Masih ada waktu, kan?” Dokter Riva mengangkat lengan kiri, menyibak ujung snelli yang ia pakai. Sekarang minum, lalu mulai kerjakan laporanmu.

“Tapi … saya ada jaga pagi ini, Dok … “ Aku sudah tidak tahu seperti apa tampangku sekarang. Rasanya benar-benar ingin menangis. Ingin berteriak kencang, menuruki keteledoranku. Ya … hari sudah berganti tanpa kusadari. Waktu yang seharusnya kugunakan untuk menyelesaikan laporan, justru kugunakan untuk menyambangi alam mimpi. Argghhh … aku benar-benar ingin mengumpat saat ini. Mengumpat diriku sendiri yang begitu ceroboh. Seharusnya, aku minum kopi, atau apa pun itu, untuk bisa menjaga kedua kelopak mataku—terbuka.

“Its oke. Saya bisa gantiin kamu pagi ini.” Kedua mataku mengerjap. Dokter Riva baru selesai jaga malam--setahuku. Bagaimana mungkin dia menggantikan jagaku pagi ini?

“Tapi Dok … “ Dia mengibaskan tangannya.

“Ganti dengan makan siang bareng. Besok.” Kata Dokter Riva, sebelum berbalik, lalu pergi meninggalkanku yang masih terbengong tidak percaya. Kupukul keningku sendiri saat kembali sadar apa yang harus kulakukan. Tidak masalah mentraktir dokter Riva makan siang. Bantuan yang dia berikan, jauh lebih berharga dibanding satu piring makan siang. Kuucap syukur dalam hati berkali-kali, karena Tuhan mengirim Dokter baik hati itu, untuk membantuku. Kutarik nafas panjang, untuk kembali fokus pada layar laptop, dan lembaran-lembaran data di tanganku.

***

Aku berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Semalaman aku tidak pulang, dan tidak sempat memberi kabar kepada orang tua. Aku ketiduran, dan ternyata tidak hanya baterai laptop yang habis, ponsel juga mengalami nasib yang sama. Dan sialnya lagi, aku bahkan tidak sempat mengecek ponsel setelah membuka mata. Terlalu panik dengan laporan yang masih berantakan, padahal harus segera kukumpulkan. Aku baru sadar akan keberadaan ponselnya yang senyap, setelah menyelesaikan laporanku. Dan waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Mataku langsung terbelalak, ketika melihat layar ponsel yang tak lagi ber daya. Aku langsung bergidik, membayangkan wajah kalut orang tuaku ketika ponsel sudah bisa kembali menyala, dan mendapati 50x misscall dari mereka. Lalu adikku yang mengirim chat hingga 100--yang kebanyakan adalah bombardir dengan satu kata PING.

Suara tangis Ibu, yang pertama kali kudengar--begitu aku menghubungi rumah. Tepatnya, ke nomor ponsel Bapak. Tadinya, aku memang sengaja untuk tidak menghubungi Ibu terlebih dahulu, karena tahu--wanita cantik yang sudah melahirkanku itu, pasti akan menangis. Karena itu pilihanku jatuh pada Papa yang lebih cool, tenang. Tapi ternyata justru suara Ibu yang langsung menyambutku, begitu panggilanku terangkat. Lengkap dengan isak tangisnya. Aku hanya bisa meringis, merasa begitu bersalah. Beberapa menit aku menunggu, dan hanya suara isak Ibu, serta beberapa kali namaku yang Ibu sebut di antara isak tangisnya.

“Maafin Sean, Bu. Ponsel kehabisan daya—” Kucoba menjelaskan, tapi belum selesai Ibu sudah langsung memutus.

“Pulang sekarang … Ibu mau lihat Sean.” 

Akhirnya, secepat kilat aku membereskan meja yang berantakan, lalu mengumpulkan laporan yang sudah membuatku gusar setengah mati, sebelum mengendarai motorku seperti seorang pembalap. Salip kanan, salip kiri. Tak lagi kuhiraukan umpatan-umpatan pengendara lain, ketika mungkin mereka kaget sewaktu kusalip. Aku hanya menggumam maaf yang pastinya tidak bisa mereka dengar. Dipikiranku hanya ingin segera sampai di rumah, lalu memeluk wanita yang pasti sedang mengkhawatirkanku setengah mati.

“Oh shitttt!! Aku mengumpat, saat harus menekan rem cukup dalam--ketika sebuah mobil yang sudah akan aku dahului, justru menambah kecepatannya. Sementara dari arah berlawanan, sebuah bus melaju kencang. Aku bisa merasakan motorku yang bergoyang. Aku sudah pasrah, kalau saja aku tidak bisa menjaga keseimbangan motor, dan akhirnya harus terjatuh. 

Kuhembuskan nafas lega, ketika kakiku bisa menjejak aspal dengan motor yang masih berdiri tegak. Aku menoleh, saat beberapa pengendara melewatiku dan berteriak, “Makanya jangan ngebut-ngebut, Mbak!!!” Mungkin, mereka adalah orang-orang yang tadi sempat kudahului, dan mengumpatku karena kaget. Untung saja aku memakai masker, dan juga help fullface, jadi paling tidak--mereka tidak melihat wajahku. Jangan sampai wajahku terpampang di beranda instagram dengan caption ‘ Viral … Mbak Mbak pengendara motor ngebut kena karma ‘ kugelengkan kepala. Kubaca doa sebelum kembali melanjutkan perjalananku. Jarak dari rumah sakit yang berada di kota, dan rumah orang tuaku yang berada di pinggiran kota--cukup memakan waktu. Paling cepat 1 jam baru bisa sampai. Tadinya, aku berharap bisa sampai rumah kurang dari jam, tapi ternyata aku justru tidak hanya membahayakan nyawaku sendiri, tapi juga orang lain. Jadi, kali ini aku tidak lagi mengendarai motor dengan ugal-ugalan. Cukup tadi aku deg-deg an. Nyaris saja!

***

“Asean!!anak Ibu!” Teriak Ibu, sembari berjalan cepat—menyambutku dari dalam rumah. Aku baru saja beberapa langkah melewati ambang pintu yang sudah terbuka.

“Maaf ya, Bu … Maafin Sean.”

PART 9.

Kalau ada yang bertanya, kenapa aku tidak memilih ngekos di dekat rumah sakit--mengingat jarak rumah, dan rumah sakit yang cukup jauh, maka jawabannya adalah karena aku masih kangen sama keluargaku. Cukup lama aku pergi untuk kuliah. Eh bukan … lebih tepatnya, pergi menjauh dari orang-orang yang sudah menyakitiku. Kalau tetap kuliah di kotaku, pilihannya adalah UNDIP, dan besar kemungkinan aku akan melihat peredaran kedua orang itu. Aku tidak mau. Masih sakit hati? ya … pasti. Aku manusia biasa, yang jujur saja tidak punya hati seluas samudra. Yang ketika disakiti tidak marah, dan tidak punya dendam. Tapi, aku berusaha untuk tidak menambah luka di hatiku sendiri. Satu-satunya jalan adalah menjauh. Dan Kota Yogyakarta menjadi pilihanku. Menjalani 4.5 tahun masa kuliah kedokteran di UGM, 1 tahun menjalani internship, lalu 4 tahun pendidikan profesi untuk mewujudkan keinginanku menjadi Dokter spesialis anak. Baru 4 bulan lalu aku kembali ke kotaku, dan bekerja di sebuah rumah sakit milik pemerintah--sembari menyelesaikan tugas akhir jenjang profesi.  Aku selalu merasa bangga ketika memakai baju kebesaranku. Jas berwarna putih yang menjadi identitasku. Apalagi saat kita selesai merawat pasien yang kembali bisa pulang ke rumah, setelah kesehatannya membaik. Rasanya begitu senang. Kesenangan yang tidak bisa kita dapatkan begitu saja. Namun dengan kerja keras. Mempelajari banyak buku kesahatan, jurnal-jurnal kesehatan, bimbingan dari para senior, juga praktek yang awalnya, jujur saja bikin deg-deg an. Takut melakukan kesalahan. Namun, seiring berjalannya waktu, dan banyaknya pengalaman--akhirnya aku bisa lebih rileks, ketika menangani pasien.

Hal lain yang tak kalah kusuka, adalah kunjungan ke sekolah-sekolah seperti yang sedang kulakukan sekarang dengan beberapa tim Dokter. Rumah sakit memang bekerja sama dengan beberapa sekolah dari PAUD hingga SMA, untuk mengadakan kunjungan, dan memberikan pengetahuan mengenai pentingnya menjaga kesehatan. Kadang juga diadakan pemeriksaan gigi yang tentu saja gratis. Bagian ini, aku tidak bisa ikut, karena jenjang profesiku bukan Dokter gigi, melainkan Dokter Anak. Sekarang, gelarku adalah Dr. Asean Sofi Sp.A

Saat ini, aku bersama beberapa orang Dokter sedang berada di sekolah dasar luar biasa. Tempat para anak yang memiliki keistimewaan--bersekolah. Aku tidak suka saat orang-orang menyebut anak-anak ini keterbelakangan mental. Bagiku, mereka anak-anak istimewa yang Tuhan titipkan pada orang tua yang pastinya juga istimewa. Aku tersenyum, melihat bagaimana mereka tertawa senang menyambut kedatangan kami.

“Nah … anak-anak, ini Pak Dokter, dan Bu Dokter datang untuk mengajari kita semua bagaimana cara yang benar mencuci tangan, supaya tidak ada lagi kuman, dan bakteri yang menempel di tangan kita. Nanti, juga akan dijelaskan bagaimana cara mandi yang benar. Hayo … di kelas ini siapa yang mandi masih dimandiin angkat tangan ...!” suara keras wali kelas, terdengar di antara riuhnya suara anak-anak yang bersahutan. Harus kuacungkan dua ibu jariku, pada seorang wanita muda berhijab yang tampak begitu sabar mengurus … mungkin sekitar 15 orang anak-anak istimewa ini. Aku. dan Dokter Ana satu tim di kelas ini. Ada dua Dokter yang dibagi ditiap kelas.

“Loli … Bunda!!” lalu, riuh suara anak-anak menyebut nama seorang anak perempuan menggema. Sang guru yang dipanggil Bunda itu, tertawa--hingga kedua matanya menyipit. Aku tersenyum menatap antusiasme anak-anak. Sementara seorang anak yang kemungkinan bernama Loli itu--hanya menatap bingung dengan wajah lucunya.

“Benar… Loli masih dimandiin, kalau mandi?” tanya sang guru. Anak yang disebut namanya itu menyengir. Seperti memberi jawaban iya. Membenarkan omongan teman-teman satu kelasnya.

“Oke … tenang anak-anak … tenang dulu!” Sang guru mengangkat tangan meminta perhatian para muridnya. Meski belum semua anak tenang, tapi suara riuh sudah berkurang.

“Nanti, setelah diberitahu bagaimana cara mandi yang baik, Loli bisa belajar mandi sendiri, ya, nak?” lembut, sang guru berucap. Sang anak yang dipanggil Loli itu, lagi-lagi hanya memperlihatkan cengirannya.

“Sekarang, Bunda kenalkan. Ini namanya Doker Ana.”

“Halo anak-anak … “ Dokter Ana tersenyum lebar, sembari melambaikan tangannya. 

“Yang rambutnya panjang ini, namanya Dokter Asean.” Aku tersenyum lebar.

“Selamat pagi semuanya … “ Kusapa mereka yang kini kembali riuh. Jadi guru memang harus sabar, itu benar adanya. Bayangkan saja, menghadapi berbagai macam tingkah anak. Apalagi menghadapi mereka yang semuanya istimewa. Namun, jangan membayangkan para anak-anak istimewa ini berpenampilan lusuh, tak terawat. Tidak sama sekali. Mereka berpenampilan bersih, serta rapi. Mereka yang bersekolah di sini, berasal dari keluarga mampu, bahkan banyak yang merupakan anak dari para pengusaha di kota ini. Itu yang Dokter Ana jelaskan padaku, sebelum kami tiba di sekolah ini.

“Mari silahkan, Dok … waktu dan tempat saya persilahkan,” ucap sang guru, sebelum berjalan ke tepi, lalu duduk di sana. Mengamati para anak didiknya, dengan senyum yang tak surut. Aku benar-benar kagum pada perempuan yang kutaksir belum berusia 30 tahun. Atau, malah mungkin kami seumuran. 

Akhirnya, aku, dan Dokter Ana mulai berinteraksi dengan anak-anak. Ini pertama kali aku ikut kegiatan seperti ini. Dokter Ana yang sudah lebih sering melakukannya--terlihat luwes, sedang aku masih belajar. Aku bersyukur, karena teman satu profesiku begitu membantuku--hingga aku tidak terlihat kaku. 

Aku menoleh ke bawah, ketika merasakan seseorang menarik jas dokter yang kupakai. Aku segera berjongkok, begitu mendapati seorang anak yang tersenyum lebar--sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya.

“Hei … Loli, kan?” anak itu tersenyum semakin lebar, sebelum kepalanya mengangguk.

“Ada yang bisa Kakak bantu?” aku bingung harus menyebutkan diriku apa. Tante? kok kesannya tua banget ya. Anak itu menatapku sebentar, bibirnya bergerak-gerak.

“Lo-lo-li ma … ma-ma-u ma-n-di sen-di-ri,” ucap anak itu terbata, sambil tersenyum malu. Aku tertawa. Karena gemas, kucubit pelan pipinya yang bulat.

“Mau Kakak ajari cara mandi yang baik?” tanyaku, yang langsung ia angguki. Akhirnya, kubawa dia ke sisi lain kelas yang sudah ada peralatan mandi di sana. Tentu saja hanya untuk demo. Tidak benar-benar mandi. Kuajari dia step by step. Kuingatkan lagi diriku, bahwa dia anak istimewa, jadi aku harus menjelaskannya dengan cara istimewa juga. Aku senang, ketika anak itu bisa menyerap penjelasanku. Kami tertawa bersama. Ah … beruntung sekali orang tuanya, memiliki anak seistimewa ini. 

Seorang anak mendatangi kami. Ia ikut melihat demo mandi yang sedang kami lakukan, dengan wajah penasaran.

“Ayo sini … “ Kuminta anak laki-laki itu lebih mendekat.

“Namanya siapa?” tanyaku sembari tersenyum. Kuamati wajahnya yang bulat, dengan kulit putih, serta mata yang tidak selebar milik Loli.

“Albert,” jawabnya dengan senyum malu-malu. Kedua tangannya terjalin di depan tubuhnya. Aku tersenyum. Ah … dia lucu sekali.

“Albert ingin ikut belajar mandi juga?” tanyaku lagi. Anak itu langsung tersenyum lebar, dengan berjingkrak jingkrak. Terlihat begitu gembira. Rasanya, hatiku menghangat. Bahagia itu sederhana. Lihat saja, bagaimana Albert terlihat sebahagia ini hanya karena hal yang sangat sederhana.

Akhirnya, aku ulangi lagi demo mandi kami dari awal. Aku sungguh bahagia melihat kedua anak yang bersamaku ini tertawa gembira.

***

“Gimana … senang kan, melihat mereka tertawa bahagia?” tanya Dokter Ana. Aku menoleh, lalu mengangguk.

“Banget, Dok. Thanks udah ngajakin saya.” Dokter Ana menepuk bahuku dua kali.

“Besok ikut lagi, nggak?” tanyanya, sembari tertawa kecil, melihat dua anak yang masih tertawa sembari memegang gayung.

“Ikut lah, Dok … “ kataku menjawab pertanyaan Dokter Ana. Dokter itu mengangguk, lalu melihat jam yang melingkar di lengan kirinya.

“Sudah cukup sepertinya. Kita tutup acara ini, yuk.” 

Selesai berpamitan dengan anak-anak, sang guru meminta kami berphoto bersama terlebih dulu sebagai kenang-kenagan. Guru itu mengatakan senang, atas kedatangan kami, dan mengharapkan kunjungan serupa di lain waktu. Tentu saja kami mengiyakan. Kami juga senang, bisa berbagi pengetahuan dengan anak-anak ini.

Anak-anak berdiri berjajar, sementara aku, Dokter Ana, dan sang guru bersimpuh di belakang mereka. Loli, dan Albert tiba-tiba bergerak, dan bergeser ke belakang. Meminta berdiri di samping kanan, dan kiriku. Sepertinya, aku punya dua teman baru sekarang. Kudekap pinggang kecil mereka. Kami semua tersenyum lebar ke arah kamera. Aku akan selalu mengingat pengalaman ini. Pengalaman yang ingin kuulang lagi, dan lagi. Berbagi pengetahuan dengan anak-anak lugu ini.

PART 10.

“Puas?” Aku segera menoleh ke samping. Dokter Ana yang bertanya setelah kami keluar dari sekolah para anak istimewa itu. tentu saja aku merasa puas. Senyumku mengembang begitu saja saat mengingat wajah-wajah polos penuh semangat mereka.

“Puas banget, Dok. Lihat mereka senang, sudah jadi kepuasan batin buat saya.” Dokter Ana mengangguk dengan senyum cantiknya. Kami berjalan menuju parkiran. Beberapa Dokter sudah berkumpul di sana. Beberapa melambaikan tangan ke arah kami. Aku, dan Dokter Ana segera bergegas menghampiri mereka. Kami harus kembali ke rumah sakit lagi. Masih ada tanggung jawab yang harus kami selesaikan, sebelum bisa kembali ke rumah untuk beristirahat.

***

“Asen Sofi!!” Aku memutar bola mata malas, saat mendengar nama lengkapku disebut dengan lantang, hingga membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahku. Sementara itu, biang kerok yang membuatku menjadi pusat perhatian para pengunjung kafe, justru tertawa cengengesan. Dengan kesal, aku tetap melangkah masuk, menghampiri para sahabatku yang sudah terlebih dahulu sampai. Meja yang mereka tempati, bahkan sudah penuh dengan gelas berisi minuman, juga beberapa makanan. Sepertinya, mereka sudah cukup lama menungguku.

Ruri meringis, saat mendapatiku menghampiri meja dengan wajah cemberut. Sementara itu, Dian menepuk kursi di sebelahnya.

“Mulut lo tuh, Rur, kayak nggak pernah disekolahin,” sungutku sembari menjatuhkan tubuh di kursi sebelah Dian. Ruri memeperlihatkan deretan gigi yang untungnya saja putih. Coba kalau deretan giginya itu berwarna … ough … yang ada akan membuat orang yang melihat mual seketika.

“Kayak lo baru kenal dia aja, Sean.” Dian menyahuti kata-kataku. Aku hanya membalasnya dengan dengusan. Malas mengakui kalau apa yang Dian katakan benar.

Dian mengeser satu gelas jus jeruk ke hadapanku. Mereka terlalu hapal dengan apa yang aku sukai. Setiap kali kami kumpul seperti ini, yang kupesan pasti jus jeruk, dan air mineral.

Satu jam sebelum jatah jagaku selesai, Ruri menghubungiku, mengajakku ketemuan bertiga bersama Dian. Maka disinilah aku sekarang, bukannya langsung pulang ke rumah—seperti rencana awal.

“Ada apaan ngajakin ketemuan mendadak gini?” tanyaku pada Ruri. Sahabatku itu menghela nafas panjang, membuatku dan Dian saling tatap. “Ada masalah?” tanyaku lagi, melihat wajah Ruri yang sudah berubah mendung. Ruri itu tipe yang cablak, ngomong apa aja yang ada di kepala tanpa berpikir lebih dulu. Bagi kami sahabatnya yang sudah paham sifatnya, tidak pernah mempermasalahkan apa yang keluar dari mulut gadis itu. Lebih tepatnya, apa pun yang keluar dari mulut Ruri, tidak pernah kami masukkan ke dalam hati--jika itu menyakitkan. Tapi, bagi orang lain yang belum mengenal karakter gadis itu, tentu saja akan sakit hati. Dia juga bukan tipe yang suka menyimpan masalah sendiri. Dia bilang, dia bsa jadi gila kalau menyimpan masalah sendiri. Dia butuh mengeluarkannya untuk menjaga kewarasannya. Dan melihat wajah sahabatku itu sekarang, sudah pasti dia sedang punya masalah.

“Ngomong aja kenapa sih, Rur. Nggak usah pakai lama-lama,” tambah Dian, yang membuat Ruri memelototinya.

“Ini juga gue baru mau ngomong, Dodol …” kesal Ruri. Lalu sahabatku itu mengamatiku, dan Ruri bergantian.

“Gue malu ngomongnya.”

“Tumben lo punya malu.” Sahutan Dian, Ruri hadiahi dengan lemparan gulungan tisu. Aku hanya tertawa--mengamati interaksi kedua sahabatku itu. “Gue ngomong apa adanya. Emang sejak kapan elo punya rasa malu? dulu aja suka sama Pak Harun, langsung lo omongin ke orangnya.” Tambah Dian mengompori kekesalan Ruri. Pak Harun itu guru oleh raga magang jaman SMA dulu. Emang ganteng sih, orangnya. Dan benar apa yang Dian katakan, waktu itu Ruri dengan keberaniannya menyatakan perasaannya pada pria itu. Yah … meskipun hasilnya ditolak, karena ternyata Pak Harun sudah memiliki tunangan. Apa dia malu setelah penolakan itu? sama sekali tidak. Ruri tetap bisa bersikap biasa, seperti sebelum dia menyatakan perasaannya.

“Yang ini beda, Di … ah pokoknya yang ini amat sangat tidak terjangkau,” jawab Ruri.

“Lo jatuh cinta lagi?” tanyaku tidak sabar. Dari kalimat yang Ruri ucapkan, aku bisa menarik kesimpulan tersebut. Dan tebakanku benar, ketika aku lihat kepala sahabatku itu mengangguk, sekalipun bibirnya cemberut.

“Ya udah, bilang aja kalau lo suka sama dia. Apa sudahnya, sih?” kataku yang tidak habis pikir kenapa Ruri terlihat bingung. Tidak biasanya.

“Nggak bisa Sean … gue nggak berani.” Mulutku terbuka, namun langsung tertutup kembali, ketika Ruri melanjutkan omongannya. “Dia, Bos gue … gimana dong. Kalua gue nekat ngomong gue suka dia, trus dianya ilfeel, bisa-bisa gue dilempar jadi OG, atau lebih parahnya langsung dipecat. TANPA PESANGON!!” Kuhela nafas dalam-dalam. Cinta selalu saja rumit.

“Tapi akan ada kemungkinan sebaliknya juga, kan? Bagaimana kalau ternyata dia juga punya rasa sama elo? Nggak mau ambil resiko itu?” tanya Dian, yang dijawab gelengan kepala oleh Ruri.

“Lo kan bisa lihat dari gelagat doi, Rur. Kalau cowok ada rasa sama kita, pasti kelihatan. Dia pasti kasih perhatian lebih ke kita. Coba aja perhatikan.” Memang seperti itu yang aku tahu. Sekalipun hanya perhatian-perhatian kecil, tapi pasti kelihatan. Aku pernah mengalaminya, jadi aku bisa tahu hal itu. Dia akan sering curi-curi pandang ke kita, ngajakin ngobrol, nanyain hal absurb seperti udah makan? Lagi ngapain? Gitu-gitu deh. Kulihat wajah Ruri yang cemberut.

“Kagak ada yang begituan. Adanya juga gue yang sering curi pandang ke doi, pas kita lagi meeting. Orangnya cuek banget, sih,” kata Ruri dengan wajah kesal.

“Ya udah lah … kita cari yang pasti-pasti aja. Cowok nggak cuma satu. Yang harus kita lakukan adalah memperluas jaringan—“

“Kayak sinyal aja yang butuh jaringan bagus,” sahatku memotong kalimat Dian.

“Elo juga, Sean.” Dian sudah melotot ke arahku. “Sudah berapa tahun lo belum juga move on. Lupain mantan brengsek elo itu. Mantan itu tempatnya bukan di hati, tapi di tempat sampah.” Dian bicara dengan wajah yang tidak santai sama sekali. Terlihat jelas kemarahan di raut wajah ayu sahabatku itu. Aku hanya mengangkat kedua bahu.

“Ini serius Sean. Dia aja sudah menikmati hidup bersama istri, dan anak mereka. Gue nggak terima kalau elo masih juga belum bisa buang tuh cowok tukang kibul.” Ruri yang awalnya sedih, kini justru mengangguk kuat. Terlihat sama bersemangatnya seperti Dian saat menceramahiku.

“Gue setuju. Elo harus segera cari pacar. Elo harus lebih hepi dari cowok muna itu.” Lah … si Ruri sudah lupa dengan patah hatinya.

“Kenapa kalian malah bahas gue, sih …” kesal saja saat mereka berdua putar haluan untuk membahas percintaanku yang kandas bertahun lalu. Kalau saja mereka tahu bagaimana aku sudah berjuang keras untuk membenci, dan juga mengenyahkan sosok itu. Aku juga benci pada hatiku sendiri. Kenapa begitu sulit membuangnya yang sudah begitu dalam menyakitiku. Bahkan, saat reuni beberapa waktu lalu, caranya melihatku masih begitu besar mempengaruhi hatiku. Debaran itu masih ada, sekeras apa pun aku sudah mencoba meredamnya. Apa aku harus selamanya pergi menjauh? Sementara keluargaku merengek memintaku tetap tinggal bersama mereka. Meskipun aku tahu, berada satu kota dengan pria itu tentu bukan awal yang baik untuk bisa mengobati hatiku.

“Pasti lagi ngelamunin dia.” Aku tergagap, menoleh ke arah Dian yang sudah berdecak kesal. Dan tebakannya memang benar.

“Ckck … lo beneran sudah tak tertolong, Sean.” Aku mendesah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut cablak Ruri. Kepala sahabatku itu menggeleng, dengan tatapan mata putus asa.

“Apa perlu kita santet saja itu cowok biar cere sama istrinya?”

“Hushhh…” cepat-cepat aku tolak ide gila itu. Ruri dengan mulutnya yang tidak pernah mau menunggu otaknya untuk berpikir lebih dulu itu, membuatku melotot.

“Kayaknya justru Sean yang perlu kita rukyah, Rur.” Dian mencebik, sembari melirikku. Sementara kepala gadis itu terarah lurus ke depan, tempat Ruri duduk di seberangnya.

“Gue males kalo kalian sudah ngebahas masa lalu gue. Gue udah baik-baik saja. Kalian lihat kan, gimana gue ketemu dia di acara reuni kemarin. Bahkan gue salaman sama dia. Kalau gue belum bisa move on, apa kalian pikir gue bisa melakukan itu?” tanyaku panjang lebar. Sekalipun berat, tapi toh aku bisa berdiri dengan senyum lebar, ketika harus berada di satu tempat, bahkan membalas uluran tangannya.

“Yang mau lo bohongin itu siapa, Sean?” kedua mataku mengerjap, melihat wajah malas Ruri saat mengantakan hal itu. Aku sudah berusaha sebaik mungkin. Menutup rapat perasaanku sebisa mungkin. Namun ternyata, itu masih belum bisa mengelabuhi Ruri, juga Dian yang kini sudah mengangkat kedua alis. Jelas-jelas menantang aku untuk menyangkal. Aku benci ekspresi mereka berdua sekarang ini, soalah aku ini seperti buku yang sudah terbuka. Mudah sekali untuk dibaca.

“Tapi, gue rasa elo nggak sendirian, Sean.” Aku menoleh ke samping, lalu mengernyit bingung mendapati Dian yang sedang menatapku lekat. “Entah gue yang salah lihat atau gimana, cara dia menatap Sean juga berbeda, maksudku … seperti cowok yang natap cewek yang sudah lama dia taksir.”

“Omong kosong.” Dengan cepat Ruri menyahut perkataan Dian. Sahabatku itu mengibaskan tangan kanannya “Kalau dia cinta sama Sean, nggak mungkin ngehamilin cewek lain.”

PART 11. Flashback Awal Pertemuan

AUTHOR POV

2012

Asean Sofi, gadis dengan seragam putih-biru tua, dengan rambut yang diikat menjadi lima bagian menggunakan pita warna warni, namanya jelas tertulis pada gantungan kertas karton yang menggantung di lehernya. Kedua tangan gadis itu mendekap dus seukuran dus mie instan yang sudah dilapisi koran di bagian luarnya. Sepasang kakinya terhela cepat. Wajahnya tanpak panik. Sesekali gadis itu memutar sedikit lengan kiri, hanya untuk melihat waktu. Hari pertama masa orientasi sekolah, dan dia sudah dipastikan akan terlambat saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh tepat, sementara letak sekolahnya masih tiga ratus meter lagi. Lokasi sekolah yang tidak berada di tepi jalan raya, menambah kesialannya hari itu. Bukan Sean telat bangun, hingga ia terlambat tiba di sekolah. Masalahnya, bus yang ia tumpangi mogok di tengah jalan. Jam sibuk, saat semua orang keluar rumah untuk menjalani aktivitas mereka—entah bekerja, sekolah, pun kuliah, membuat Sean harus bersabar menunggu di tepi jalan—bersama beberapa orang yang juga memutuskan keluar dari bus yang mogok untuk mencari bus pengganti, hingga akhirnya ia bisa mendapat bus yang bisa menampungnya.

Semakin panik, Sean berlari. Lupakan ikatan rambutnya yang mungkin akan berantakan saat nanti ia sampai di sekolah. Yang penting, Sean berharap masih bisa diperbolehkan masuk, dan mengikuti acara MOS. Dengan keringat yang membuat lengket tubuh, juga nafas yang ngos-ngos an, Sean akhirnya tiba di depan sekolah barunya. SMU 1. Sayangnya, gerbang sudah tertutup rapat. Sean mendesah kalah. Berpikir apakah ia harus pulang, atau menunggu di depan gerbang sampai ada yang datang membukanya. Sinar matahari mulai terasa hangat di kulitnya. Ah… lebih dari sekedar hangat. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 7.10. Tidak bisa Sean bayangkan, jika harus menunggu berjam-jam dengan terik matahari yang akan semakin menyengat.

Gadis itu bergerak tidak tenang. Melongokkan kepala untuk mencari siapa pun yang terlihat di dalam area sekolah. Nihil. Sean bisa mendengar suara teriakan dari dalam area sekolah. Tentu saja acara MOS sudah dimulai. Mendesah, Sean mencoba mencari jalan masuk lainnya. Memutari pagar sekolah, hingga sampai di pagar belakang. Langkah kaki gadis itu sempat terhenti, saat mendapati satu sosok dengan seragam putih abu sedang bersiap memanjat pagar sekolah. Pagar yang Sean perkirakan setinggi kurang dari 2 meter. dengan tinggi badan yang terlihat cukup menjulang, Sean tahu cowok itu tidak akan mendapati kesulitan untuk memanjatnya. Sean meringis. Tingginya tidak lebih dari 155 cm, dan juga rok sepanjang betis yang dikenakannya—akan mempersulit Sean memanjat. 

Cowok yang sudah siap mengangkat tubuh—dengan kedua tangan yang sudah meraih pegangan pada puncak tembok itu—menoleh, ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Kening yang tertutup rambut yang sudah sepanjang alis itu mengernyit. Bola matanya memindai penampilan seorang gadis yang sedang meringis ke arahnya. Elang Dirgantara, siswa kelas 11, SMU 3. Sekolah yang kebetulan berdampingan dengan SMU 1, hingga kedua sekolah tersebut berbagi tembok keliling.

Sean merapatkan tubuh ke dinding. Sejenak ia binggung, saat kedua tangannya masih memegang kardus berisi beberapa buku, dan peralatan tulis. Siswa yang mengikuti MOS, memang tidak diperbolehkan membawa tas. Dus yang mereka bawa, difungsikan sebagai pengganti tas. Mendesah putus asa, Sean menoleh ke samping. Bertemu tatap dengan sepasang mata yang sedang menatapnya. Kedua tangan cowok itu sudah turun dari tepi atas tembok. Dan tubuhnya kini bersandar pada tembok.

“Kenapa … telat??” Sean mengerjap, saat mendapati pertanyaan dari seorang cowok yang bisa Sean pastikan bukan siswa baru. Melihat dari seragam SMU yang dikenakannya. Sementara siswa baru pasti masih memakai seragam SMP, seperti dirinya. Sean menganggukkan kepala. Kedua tangan gadis itu masih mendekap erat kardus. “Lo… mau lompat??” tanya cowok itu lagi.

Sean kembali menganggukkan kepala, menjawab tanya dari sosok yang masih dengan santai menyandarkan punggung ke tembok.

Elang kembali memperhatikan penampilan gadis tak jauh dari tempatnya berdiri. Kepalanya menggeleng perlahan. Gadis itu akan kesulitan memanjat dengan rok panjangnya. “Yakin … lo bakal bisa manjat, dengan rok panjang seperti itu??” tanya Elang dengan sepasang alis terangkat tinggi—yang tentunya tidak terlihat, karena tertutup poninya yang sudah cukup panjang.
“Enggak…” Akhirnya Sean mengeluarkan suara. Jujur, dia tidak yakin akan bisa memanjat. Jika yakin, sudah dari pertama tiba tadi--dia akan langsung memanjat. “Hari ini gue MOS.”

“Salah siapa telat. Sudah tahu MOS, harusnya lo datang lebih pagi, bukan malah telat,” ketus Elang, yang membuat Sean mendengus kesal. Belum tahu saja cowok itu apa yang sudah dialaminya untuk bisa sampai di sekolah. Membuang pandangan karena kesal, Sean tak lagi memperhatikan cowok itu. Gadis itu menunduk. Mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk panjatan. Mungkin dia bisa melemparkan kardusnya ke balik tembok terlebih dulu, baru setelah itu ia akan berusaha memanjat.

Elang masih memperhatikan apa yang gadis itu lakukan. Masih belum berniat untuk mengubah posisinya, dengan kedua tangan yang sudah masuk ke dalam saku celana. Sean menggeser sebuah batu yang cukup besar dengan susah payah. Menghembuskan keras nafasnya, Sean kemudian mulai memanjat batu tersebut. Kedua tangannya mencoba mengulurkan kardus ke atas tembok. Gadis itu tersenyum senang, begitu berhasil meletakkan kardus yang ia bawa ke atas tembok. Kembali menghembuskan keras nafasnya melalui mulut, Sean menepuk kedua telapak tangannya. Memberi semangat pada dirinya sendiri, untuk segera mulai memanjat tembok.

Elang mengulum sepasang bibirnya kuat-kuat. Geli, juga salut melihat bagaimana gadis itu berusaha keras. Kepalanya menggelang. Ia yakin gadis itu tidak akan berhasil. Mengeluarkan tangan kiri dari saku celana, Elang melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Ia mendesah. Nyaris 30 menit ia terlambat. Berderap, Elang membawa langkahnya mendekati Sean yang sedang berusaha menarik tubuhnya ke atas.

“Lo bukan spider women. Nggak akan berhasil dengan kemampuan lo yang seperti itu.”

Sean langsung memutar kepala. Sumpah serapah sudah terkumpul di ujung lidah—sudah siap Sean tumpahkan--karena ocehan cowok yang belum ia ketahui namanya tersebut, sebelum sepasang matanya mengerjap perlahan. Cowok itu sudah meletakkan tas slempangnya ke tanah, lalu berjongkok menghadap ke dinding. Kedua tangannya menyentuh tembok, kepala cowok itu menoleh ke arah Sean.

“Cepetan naik, gue bantu lo lompat pagar. Besok lagi jangan telat. Besok gue nggak bakalan ada di sini.”

Sean kembali mengerjap. Masih tidak bisa mempercayai cowok ketus itu, kini menawarkan bantuan padanya. Tak tanggung-tanggung, ia meminta Sean memanjat punggungnya. Sean berdehem. Tidak ada pilihan, karena ia tahu ia tidak mungkin memanjat tembok tersebut sendiri. Ia sudah mencoba. Menggeser pelan kakinya ke samping—tempat Elang sudah berjongkok, gadis dengan rambut diikat menjadi lima bagian yang bentukknya sudah berantakan itu—mendelik.

“Lo nunduk. Jangan berani ngintip. Awas lo!!” 

Elang berdecih, lalu memutar kepala ke depan. “Emang lo nggak pakai celana??”

“Ya pakai lah…” sahut cepat Sean.

“Ya udah… ngapain takut diintip. Paling juga yang kelihatan cuma celana aja.” Elang terkekeh. Sementara Sean sudah mencebik ke arah punggung yang sudah siap ia panjat.

Menarik sedikit ke atas ujung roknya, kaki kanan Sean terangkat—hanya untuk menggantung beberapa detik, sebelum akahirnya Sean turunkan lagi. Elang mengernyit, saat masih belum merasakan gadis itu menaiki punggungnya. Kepalanya memutar ke samping. Terdiam, ketika yang ia tunggu untuk segera naik ke punggungnya, sedang sibuk melepas sepatu.

Sean yang masih membungkuk saat melepas sepatunya, mengangkat wajah. “Gue hargai bantuan elo. Terima kasih. Gue nggak mau bikin baju lo kotor.” Lalu Sean memperlihatkan cengirannya, sembari mengangkat sepasang sepatunya dengan satu tangan. Memperlihatkan sepatu berwarna hitam itu pada Elang. Elang hanya menggelengkan kepala, lalu kembali menghadap ke tembok. Merasakan satu kaki mulai menapaki punggungnya, disusul dengan satu kaki yang lain.

Sean yang sudah berdiri di atas punggung Elang, berpegangan pada tembok. Sepatu terlebih dulu ia lempar--melewati tumbukan batu bata yang disusun rapi dengan perekat pasir serta semen. Juga dilapisi dengan adukan seman pada bagian luarnya. Sedikit goyah saat Elang perlahan berdiri. “Naik aja ke bahu gue,” ucap Elang. Meski ragu, Sean tetap melakukannya. Meletakkan satu kaki ke bahu kanan, dan satu kaki lagi ke bahu kiri Elang. Gadis itu tersenyum lebar begitu berhasil berdiri dan bisa melihat halaman sekolahnya. Dengan menumpu kedua tangan ke bagian atas tembok, Sean membawa kaki kanannya ke tepi atas tembok. Nenumpu tubuhnya dengan kedua telapak kaki lebih kuat, kaki kiri sean mengikuti naik ke atas tembok. Elang mengangkat kepala, saat sudah tidak merasakan beban di tubuhnya. Sean sudah duduk di tepi atas tembok, siap untuk melompat ke bawah.

“Kenapa cewek suka dengan warna pink?”

Sean langsung memutar kepala ke belakang, hanya untuk memelototi cowok yang kini sudah tertawa keras.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya FATED--ONE SHOOT
3
2
Pagi itu Neisa berangkat sekolah seperti hari-hari biasanya. Dia gadis yang terbilang pendiam, tidak banyak bicara, susah bergaul, dan kurang percaya diri. Setelah kegagalannya memasuki SMP favorit di lingkungannya, kepercayaan dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya.Dengan mengenakan seragam putih-biru tua nya, ia berjalan dari rumahnya yang berada di dalam gang kecil, menuju jalan raya--dengan kepala tertunduk. Tidak ingin menyapa siapapun yang ditemuinya sepanjang jalan itu. Bukan karena sombong, tapi … karena minder. Di mata Neisa, setiap tatapan mata yang terarah padanya—terlihat mengasihani. Dia tidak ingin dikasihani.Neisa mendekap erat tas punggung yang sengaja ia kenakan di depan--seraya menunggu bus yang akan mengantarnya ke sekolah tempat dia menuntut ilmu. Bukan tanpa alasan. Pagi hari, bus selalu penuh sesak. Tak jarang, ia bahkan harus berdiri di ambang pintu. Dan dia memakai tas punggungnya untuk melindungi dadanya. Melindungi dari ulah pria-pria usil, yang terkadang berbuat tidak senonoh.Neisa terus melihat ke arah kanannya, sambil berkomat kamit merutuki bus yang belum datang-datang juga. Bukan karena dia takut terlambat sampai di sekolah--mengingat dia selalu berangkat lebih pagi dibanding teman-temannya, tapi karena dia takut bertemu dengan seseorang yang selama ini dia sukai. Lucu bukan?? Dia bahkan sudah memiliki rasa suka pada teman lawan jenis bahkan sedari masih memakai seragam putih-merah. Yah … yang orang bilang cinta monyet. Mungkin memang benar begitu. Entahlah. Harapannya pupus, setelah sebuah sepeda berwarna hitam, nampak di penghujung penglihatannya. Semakin lama, semakin mendekat. Menundukkan menundukkan kepalanya dalam-dalam tidak ingin bertemu pandang dengan si pengayuh sepeda hitam itu. Berharap topi dengan gambat tulisan tut wuri handayani yang dikenakannya bisa menyembunyikan wajahnya.“Hai, Neisa. Masih menunggu bus, ya ?” Neisa mengerjap. Kepala yang tertuntuk perlahan terangkat. Tidak mungkin juga kan Neisa pura-pura tidak mendengar sapaan tersebut, atau berpikir sosok itu menyapa Neisa yang lain, sedangkan di tepi jalan tersebut—hanya ada dia seorang.“Oh …hai Rava. Iya bus nya belum datang.” Neisa menyengir melihat Rava yang berhenti di hadapannya.Rava menoleh ke arah datangnya bus. “Ya udah, aku jalan dulu, ya. Daah.“ Rava mengulas senyum, sembari melambaikan tangan.Teman SD Neisa itu kemudian melanjutkan mengayuh sepedanya, menuju sekolah yang tidak jauh dari tempat itu. Sekolah favorit di lingkungan tempat mereka tinggal. Neisa hanya bisa menghela nafas berat seraya melihat punggung Rava sampai menghilang dari pandangannya. Kembali memutar kepala, memperhatikan ujung jalan yang belum menampakkan bus yang ditunggunya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan