
Medium Ugly adalah kumpulan tulisan pendek dari seorang manusia biasa—yang tidak tampan-tampan amat, tapi terlalu cerewet untuk diam.
Lewat memoar sehari-hari yang jujur dan jenaka, Nara bercerita tentang kesialan kecil, overthinking menahun, cinta yang lewat begitu saja, hingga perjuangan melawan alarm yang selalu lebih dulu menang.
Tulisan-tulisan ini tidak akan mengubah hidupmu. Tapi bisa menemanimu saat lagi males kerja, patah hati, atau cuma butuh ngetawain hidup yang nggak selalu masuk akal....

Naik bus umum selalu penuh kejutan.
Kadang-kadang ketemu sopir yang ngebut kayak dikejar utang. Kadang ketemu pedagang asongan yang jualan permen sambil ceramah tentang pentingnya menabung. Kadang juga ketemu bayi kecil yang lucu... sampai dia mendadak menangis satu jam tanpa jeda.
Tapi hari itu, kejutan yang kudapat jauh lebih unik.
Aku baru saja naik bus jurusan dalam kota, mencari tempat duduk kosong sambil membawa tas kecil berisi buku-buku pinjaman dari perpustakaan. Busnya penuh, tapi tidak padat sampai desak-desakan. Aku menelusuri lorong sempit di antara kursi sambil berharap menemukan tempat duduk strategis: dekat jendela, dekat pintu keluar, dan jauh dari orang-orang yang kelihatan berpotensi menguap dengan suara gong.
Lalu aku melihatnya.
Perempuan itu duduk sendiri, wajahnya cantik, rambut tergerai rapi, pakai blus putih bersih. Dari jauh, auranya seperti adegan slow motion dalam iklan sampo. Ada cahaya matahari yang menyorot dari jendela, membuatnya kelihatan lebih bersinar. Di tengah segala hiruk-pikuk bus kota, dia seperti potret ketenangan.
Tanpa pikir panjang, aku melangkah cepat ke arah bangku kosong di sebelahnya.
Siapa yang mau melewatkan kesempatan duduk di sebelah bidadari bus?
Aku duduk, mengangguk sopan, dan mengatur napas supaya tidak terlalu ngos-ngosan kayak orang habis sprint.
Beberapa detik berlalu.
Semua terasa sempurna.
Sampai hidungku menangkap sesuatu.
Awalnya samar.
Seperti ada aroma aneh di udara.
Aku mencoba mengabaikan. Mungkin bau dari luar bus. Mungkin ada pedagang asongan yang baru selesai kerja bakti. Mungkin ini hanya imajinasi burukku.
Tapi semakin lama, aroma itu semakin nyata.
Ada kombinasi antara bawang mentah, keringat, dan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan dengan sopan.
Sebuah bau yang... menusuk. Menyusup ke lubang hidung tanpa permisi.
Aku mulai gelisah.
Mataku berkedip cepat.
Kepalaku menoleh sedikit ke kanan, sedikit ke kiri, mencari sumber bau.
Tapi yang kudapati hanya fakta pahit: sumbernya ada di sebelahku.
Perempuan itu, si makhluk bercahaya dalam iklan sampo khayalanku, ternyata membawa kejutan tak terduga: bau badan yang begitu kuat, begitu tegas, sampai aku merasa berada dalam eksperimen ilmiah tentang bau paling bertahan di udara.
Dalam hati aku berusaha tetap adil.
Mungkin dia habis berolahraga.
Mungkin dia baru saja bertarung dengan kehidupan.
Siapa tahu, kan?
Tapi perjuanganku baru benar-benar dimulai ketika aku sadar... orang-orang di sekitar kami mulai melirik.
Lirikannya bukan lirik biasa.
Ada lirikan mengerutkan hidung.
Ada lirikan mengipas-ngipas tangan di depan hidung.
Ada lirikan mencurigakan... yang mengarah ke aku.
Aku mulai panik kecil.
TIDAK. Ini salah paham besar!
Aku bukan sumber bau ini! Aku hanya korban! Aku hanya manusia biasa yang sial memilih tempat duduk!
Tapi di dunia nyata, orang tidak butuh bukti ilmiah.
Orang cukup lihat penampilan.
Perempuan di sebelahku tampak begitu rapi, cantik, manis, bersih.
Sedangkan aku? Rambut awut-awutan, kaos polos agak kusut, wajah berminyak karena panas jalanan.
Di mata mereka, keputusan sudah jelas:
Aha, pasti si cowok ini yang bau.
Aku mencoba bertahan. Menahan napas sambil sesekali pura-pura menguap lebar supaya bisa menghirup udara baru. Tapi setiap aku menghirup, aroma tak kasat mata itu kembali menyerang, lebih kuat, lebih intens, lebih... mematahkan semangat hidup.
Aku mulai melirik ke perempuan di sebelahku.
Dia tetap duduk anggun, sambil sesekali merapikan rambutnya.
Bahkan sempat mengeluarkan ponsel dan membalas pesan sambil tersenyum kecil, seolah dunia ini penuh bunga sakura dan kue tart stroberi.
Sementara aku?
Aku berkeringat, menggeliat kecil, dan berusaha mencari posisi duduk yang bisa menjauhkan hidungku dari serangan bau tak bertuan ini.
Tiba-tiba, dia bergerak.
Perempuan itu menoleh sedikit ke arahku, lalu... dengan suara manis tapi cukup keras untuk didengar seisi bus, dia berkata,
"Maaf, Mas... bisa agak minggir? Agak sesak baunya..."
Aku terdiam.
Seperti tertampar bulu landak.
Beberapa pasang mata langsung menoleh ke kami.
Ada yang tersenyum simpul. Ada yang mengangkat alis. Ada yang langsung menutup hidung lebih kencang, seolah sudah dapat validasi ilmiah bahwa sumber bau memang di sebelah mereka.
Aku berusaha menahan diri supaya tidak pingsan di tempat.
Sumpah, kalau ada batu sebesar biji salak di lantai bus saat itu, mungkin aku sudah sembunyi di baliknya.
Aku menatap perempuan itu dengan tatapan penuh luka.
Sementara dia, dengan akting selevel pentas drama 17 Agustusan, menunduk sopan sambil melipat tangan di pangkuan, memainkan ujung blusnya dengan polos.
"Sesak..." gumamnya lagi, penuh drama.
Sesak?
SESAAK??
Yang sesak ini aku, yang harus menahan aroma sambil difitnah terang-terangan di muka umum!
Tapi tentu saja, hukum alam bus berjalan tanpa belas kasihan.
Semua orang percaya padanya.
Karena apa?
Karena penampilan.
Karena wajah mulus dan baju rapi.
Karena, dalam dunia ini, kalau kamu cantik, semua bau busukmu akan dipersepsikan sebagai aroma terapi mahal.
Aku mulai mendengar bisik-bisik di belakang.
"Kasihan, padahal cakep tuh cewek, duduk sebelahan ama yang nggak jaga kebersihan..."
"Makanya, kalau naik kendaraan umum, mandi dulu kek."
Aku ingin berteriak membela diri.
Ingin berdiri, membuka sesi perdebatan ala pengadilan jalanan.
Ingin memanggil saksi ahli untuk membuktikan bahwa aku mandi pagi-pagi tadi, bahkan pakai sabun dua kali karena sabun yang pertama jatuh ke lantai kamar mandi.
Tapi aku hanya bisa diam.
Karena aku tahu, dalam dunia bus, siapa yang pertama memprotes... dia yang paling dicurigai.
Jadi aku duduk membatu, menerima fitnah ini seperti pahlawan tanpa tanda jasa.
Sambil dalam hati mengutuk sistem sosial yang lebih percaya wajah kinclong daripada kenyataan yang menguar di udara.
Dan perempuan di sebelahku?
Dia kembali menunduk manis, menarik nafas panjang, pura-pura menderita.
Hebat.
Hebat sekali.
Kalau ada penghargaan untuk akting terbaik kategori "Menyalahkan Orang Lain Tanpa Bicara Banyak", dia pasti menang mutlak.
Aku diam, menatap keluar jendela.
Memandang pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin.
Dalam hati, aku berdoa sederhana: semoga setelah ini aku lahir kembali sebagai kucing jalanan, bebas bau, bebas fitnah, dan bebas dari drama manusia sejenis ini.
Bus terus melaju, dan aku terus bertahan di tempat dudukku, mencoba tetap hidup tanpa menarik perhatian lebih banyak lagi.
Aku mengalihkan fokus ke pemandangan di luar jendela. Melihat warung-warung kecil, orang-orang yang lalu-lalang, dan jalanan yang mulai berdebu. Semua terasa lebih menarik dibandingkan aroma menusuk yang masih setia mengelilingi kepalaku.
Di sebelahku, si perempuan tetap duduk manis. Sesekali dia menghela nafas berat, sambil melirik ke arahku dengan ekspresi penuh kasihan... yang malah makin menyudutkanku.
Kalau saja ini dunia kartun, mungkin sekarang aku sudah berubah jadi asap hitam kecil yang melayang keluar dari bus sambil membawa papan bertuliskan, "Bukan Aku Yang Bau!"
Aku bertahan.
Sampai akhirnya, setelah perjalanan panjang yang terasa seperti mendaki Gunung Everest tanpa sepatu, bus berhenti di halte dekat rumahku.
Aku berdiri cepat-cepat, mengangguk sekilas ke arah si perempuan (demi sopan santun, walaupun hatiku ingin salto sambil kabur), lalu berjalan keluar dengan langkah panjang.
Begitu menjejakkan kaki di trotoar, aku menarik nafas dalam-dalam.
Udara luar, walaupun bercampur asap knalpot dan debu jalanan, terasa lebih suci dibandingkan atmosfer penuh dusta di dalam bus tadi.
Aku berjalan pulang sambil merenung kecil.
Kadang-kadang, dalam hidup, kita memang harus siap menghadapi ketidakadilan.
Seperti dituduh bau, padahal satu-satunya hal yang kita bawa adalah harapan dan doa.
Kadang-kadang, orang-orang tidak peduli fakta.
Mereka percaya apa yang mau mereka percaya.
Dan kadang-kadang, semua yang bisa kita lakukan hanyalah diam, pasrah, lalu ngetawain semuanya setelah lewat.
Di rumah, sambil minum teh manis hangat, aku akhirnya tertawa kecil sendiri.
Bukan karena kejadian tadi lucu saat terjadi—sama sekali tidak.
Tapi karena, ya, apa lagi yang bisa kulakukan?
Hidup ini sudah cukup berat tanpa perlu menyimpan dendam terhadap bau badan orang lain.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
