Bab 12 - Buku, Bebek, dan Bau Kambing

0
1
Deskripsi

Medium Ugly adalah kumpulan tulisan pendek dari seorang manusia biasa—yang tidak tampan-tampan amat, tapi terlalu cerewet untuk diam.

Lewat memoar sehari-hari yang jujur dan jenaka, Nara bercerita tentang kesialan kecil, overthinking menahun, cinta yang lewat begitu saja, hingga perjuangan melawan alarm yang selalu lebih dulu menang.

Tulisan-tulisan ini tidak akan mengubah hidupmu. Tapi bisa menemanimu saat lagi males kerja, patah hati, atau cuma butuh ngetawain hidup yang nggak selalu masuk akal....

Hari itu, aku niatnya mulia: pergi ke toko buku.

Bukan untuk gaya-gayaan, ya.

Tapi emang beneran pengin beli buku.

 

Aku udah riset sebelumnya.

Alamat toko, jalur angkot, titik turun, bahkan arah mata angin.

Lengkap.

Aku udah kayak intel kecil yang siap beraksi.

 

Berangkatlah aku dari kosan, dengan semangat dan sandal jepit.

Sampai di pinggir jalan, aku tanya ke sopir angkot yang lagi ngetem,

"Ini lewat depan Gramedia, kan?"

 

Dia jawab cepat, "Lewat, Mas. Naik aja."

 

Aku langsung naik.

Tanpa curiga.

Tanpa sadar bahwa itu adalah detik terakhir kebodohan yang damai.

 

Lima menit.

Sepuluh menit.

Dua puluh menit.

Kok rutenya beda, ya?

 

Aku lirik kiri.

Aku lirik kanan.

Biasanya kalau angkot udah dekat toko buku, ada anak-anak SMA, atau paling nggak orang bawa tote bag isi novel bekas.

 

Ini yang kulihat justru kambing.

Dua ekor.

Jalan santai di trotoar, seolah-olah mereka juga lagi cari buku.

 

Aku mulai panik.

Tapi belum berani turun.

Mungkin ini jalur alternatif?

 

Tiga menit kemudian, muncul papan besar bertuliskan:

“Pasar Hewan Terpadu”

 

Aku langsung tahu:

aku nyasar.

Nyasar bukan ke tempat biasa.

Tapi ke pusat perdagangan makhluk berkaki empat dan bersuara serak.

 

Angkot berhenti.

Sopir menoleh ke belakang dan berkata,

"Nih, Mas, udah nyampe."

 

Aku mematung.

 

Di depan mataku, ada kios penuh kandang ayam.

Di sebelahnya ada tumpukan karung isi pakan.

Di ujung jalan, seekor kambing sedang duduk di bangku semen seperti sedang menunggu giliran vaksin.

 

Aku turun, tentu saja.

Karena kalau terus ikut angkot itu, mungkin aku bisa sampai peternakan sapi.

 

Begitu turun, aroma khas pasar hewan langsung menyambut.

Bukan bau kambing biasa.

Ini versi edisi spesial:

bau kombinasi kambing, bebek, keringat, dan takdir.

 

Aku berdiri bingung di pinggir jalan.

 

Beberapa penjual mulai melirik.

Salah satu dari mereka mendekat, membawa kandang kecil berisi tiga anak ayam.

 

"Mau, Mas? Baru netas semalem. Lucu-lucu, lho."

 

Aku tersenyum kaku.

"Nggak, Pak. Saya... salah naik angkot."

 

Dia mengangguk pelan.

Tapi matanya bicara:

"Ya udah, sekalian aja beli ayam."

 

Aku mundur pelan.

 

Baru mau cari arah pulang, datang satu bocah kecil menarik lenganku.

"Om, mau kura-kura nggak? Jalan lambat, tapi setia."

 

Aku nggak tahu ini promosi atau puisi.

Yang jelas, aku makin bingung.

 

Aku buka ponsel, mau cek peta.

Sinyal hilang.

Mungkin kambing-kambing di sini pakai jaringan sendiri.

 

Aku pasrah.

Berjalan pelan menyusuri kios demi kios.

Setiap dua langkah, ada yang nawarin entah kelinci, entah bebek, entah sesuatu yang berbulu tapi belum jelas spesiesnya.

 

Seumur hidup, ini kali pertama aku dikelilingi begitu banyak makhluk hidup... tanpa bisa kabur.

 

Satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang: cari angkot pulang.

Tapi bagaimana caranya?

 

Satu-satunya papan petunjuk arah di pasar ini ditulis dengan kapur di kardus bekas, dan arahnya menunjukkan ke... “area burung”.

 

Bukan burung langka, ya.

Ini burung yang digantung di kandang dengan suara cempreng kayak alarm rusak.

 

Aku nyengir sendiri.

Niat awal mau ke toko buku buat cari inspirasi hidup.

Akhirnya justru berakhir dikejar-kejar penjual bebek dan ayam, sambil napas ngos-ngosan karena aroma misterius dari entah mana.

 

Aku berdiri di antara bebek, kambing, dan suara ayam jantan yang entah kenapa sudah berkokok walau matahari masih galau.

Tujuanku jelas: keluar dari pasar ini, pulang, mandi, dan pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa.

 

Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

 

Seorang bapak mendekat, membawa seekor itik kecil dalam genggaman.

 

"Mas, ini bagus buat peliharaan. Jinak. Bisa diajak ngobrol."

 

Aku belum pernah lihat bebek diajak ngobrol, kecuali di mimpi buruk.

Tapi bapak itu serius.

Dia menatapku dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, seperti sales panci yang yakin piring bisa jadi wajan.

 

Aku tersenyum sopan dan jalan lebih cepat.

Tapi belum dua langkah, ada ibu-ibu lain datang dari kanan.

 

"Nak, kura-kura, Nak. Ini kura-kura pintar. Kalau takut, dia masuk ke rumahnya sendiri."

 

Aku menatap kura-kura itu.

Dia menatap balik.

Entah kenapa, aku merasa kami punya kesamaan emosional saat itu:

sama-sama pengin kabur ke dalam tempurung.

 

Aku lanjut jalan, menunduk, pura-pura sibuk.

Tapi di pasar ini, menunduk justru membuatmu melihat hal-hal yang seharusnya tidak kau lihat.

 

Ada seekor kambing duduk dengan ekspresi damai, seperti habis yoga.

Ada seekor bebek yang tidur sambil berdiri.

Dan ada seekor kucing yang tampaknya bukan bagian dari pasar, tapi entah kenapa ikut nimbrung dan berusaha menjual dirinya sendiri.

 

Aku mulai kehabisan akal.

 

Ponselku masih tidak bersinyal.

Orang-orang terus menawariku binatang, dan aku belum juga menemukan ujung jalan keluar.

 

Lalu aku melihat seorang anak muda, kira-kira seusia mahasiswa semester tua, berjalan santai sambil bawa kardus berisi tiga kelinci.

 

Aku hampiri dia.

"Mas, maaf. Mau tanya, angkot ke arah toko buku lewat mana, ya?"

 

Dia menatapku.

Mengangkat alis.

Lalu menjawab dengan kalimat paling menyakitkan hari itu:

 

"Lho, Mas juga salah turun, ya?"

 

Kami tertawa pendek.

Tawa orang-orang yang disatukan oleh nasib apes.

 

Dia menunjuk ke arah utara, "Lewat sana, Mas. Nanti ketemu jalan raya. Naik aja angkot jurusan Kebun Sirih, terus oper."

 

Aku mengangguk penuh harapan.

Arah itu... adalah cahaya di ujung kandang.

 

Aku mulai jalan cepat.

Melewati kambing-kambing, ayam-ayam, dan puluhan tatapan penuh harapan dari penjual hewan yang seolah ingin berkata,

"Mas, hidupmu hampa. Pelihara sesuatu."

 

Aku sempat tergoda beli ikan cupang.

Harganya murah.

Warnanya ungu campur hijau, seperti hasil perceraian lampu disko.

 

Tapi aku tahan.

Aku datang untuk buku, bukan ikan dansa.

 

Akhirnya aku sampai di pinggir jalan raya.

Napas ngos-ngosan.

Bau sedikit amis.

Pikiran setengah trauma.

 

Angkot jurusan Kebun Sirih lewat.

Aku langsung naik, duduk, dan kali ini dengan doa khusus: semoga sopirnya tidak bohong dan tidak ada kambing di titik akhir.

 

Angkot yang kutumpangi kali ini terasa seperti perahu penyelamat.

Aku duduk dekat jendela, membiarkan angin sore masuk dan mengusir sisa aroma kambing yang entah kenapa masih menempel di ujung hidung.

 

Kupandangi jalanan.

 

Lampu-lampu toko mulai menyala.

Orang-orang berlalu-lalang.

Dan tidak satu pun dari mereka tahu bahwa aku baru saja selamat dari perang mental di tengah bebek, ayam, dan tawaran kura-kura berkedok motivasi hidup.

 

Sopir angkot ini lebih kalem.

Tidak banyak bicara.

Tidak banyak senyum juga, tapi paling tidak dia tidak berhenti mendadak untuk ambil kambing. Itu sudah cukup membuatku percaya pada hidup kembali.

 

Aku akhirnya sampai di toko buku.

Langkahku agak gontai karena kaki sudah lelah, tapi ada perasaan puas.

 

Masuk ke toko buku, rasanya seperti pulang ke dunia normal.

 

Bau kertas.

Orang-orang diam membaca sinopsis.

Petugas toko dengan baju rapi dan suara pelan.

 

Tidak ada yang menawarkan kura-kura.

Tidak ada kambing yoga.

Tidak ada ayam yang matanya lebih tajam dari mantan yang tahu kita stalking.

 

Aku berjalan menyusuri rak-rak buku.

Mencari satu dua judul yang bisa kubawa pulang.

 

Tapi kemudian aku berhenti.

 

Aku sadar sesuatu.

Pikiranku masih kepikiran pasar hewan tadi.

Aku belum bisa fokus.

 

Entah kenapa, setiap kali lihat judul buku "Hidup Minimalis Bahagia", aku malah terbayang ekspresi bebek mungil yang sempat ditawarkan ibu-ibu tadi.

Atau saat melihat buku motivasi "Menjadi Lebih Tenang Dalam Hidup", aku ingat kura-kura yang ditawarkan karena "bisa masuk rumah kalau takut".

 

Aku berdiri lama di satu rak.

 

Mungkin, hidup memang absurd.

 

Kita niatnya pengin beli buku, tapi malah dikejar kambing.

Kita pikir kita yang mengatur hidup, padahal kadang hidup membawa kita muter dulu ke kandang ayam sebelum balik ke toko buku.

 

Dan jujur aja,

aku nggak menyesal.

 

Karena kalau hari ini berjalan mulus, aku tidak akan tahu rasanya ditawari ikan cupang warna lampu disko, atau mengalami debat batin antara beli novel sastra atau adopsi kura-kura spiritual.

 

Aku beli dua buku.

Satunya kumpulan cerpen.

Satunya buku memasak.

 

Entah kenapa, setelah semua itu, perutku jadi lapar.

 

Keluar dari toko, langit sudah gelap.

Aku pulang dengan langkah pelan.

 

Dan malam itu, sambil makan mi instan di kamar, aku membuka buku yang kubeli...

lalu diam sejenak.

 

Karena aku mencium sesuatu.

 

Bukan aroma mie.

Bukan wangi buku baru.

 

Tapi bau samar...

bau yang khas...

yang mengingatkanku pada tempat yang jauh lebih liar dari toko buku mana pun.

 

Aku tersenyum kecil.

Mungkin kaus yang kupakai perlu dicuci dua kali.

 

Tapi ya sudahlah.

 

Begitu hidup berjalan.

Kadang kita ke toko buku.

Kadang nyasar ke pasar hewan.

Dan kadang—paling sering malah—kita dapat dua-duanya sekaligus.

post-image-681e2e6b94814.png

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 13 - Petualangan Celana Sobek di Hari yang Salah
0
0
Medium Ugly adalah kumpulan tulisan pendek dari seorang manusia biasa—yang tidak tampan-tampan amat, tapi terlalu cerewet untuk diam.Lewat memoar sehari-hari yang jujur dan jenaka, Nara bercerita tentang kesialan kecil, overthinking menahun, cinta yang lewat begitu saja, hingga perjuangan melawan alarm yang selalu lebih dulu menang.Tulisan-tulisan ini tidak akan mengubah hidupmu. Tapi bisa menemanimu saat lagi males kerja, patah hati, atau cuma butuh ngetawain hidup yang nggak selalu masuk akal.Karena kadang, yang kita butuhkan bukan motivasi... tapi validasi bahwa hidup memang aneh dan kita semua sama-sama bingung.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan