Lamaran Kedua (6-10)

7
0
Deskripsi

Happy reading.

Chapter 6 (Akbar Farabhi)

9 tahun yang lalu..

“Mas!”

“Mas Abhi!”

Atri berlari ke arah Abhi ketika laki-laki itu baru saja keluar dari pagar rumahnya. Dengan senyum semringah perempuan dengan potongan rambut pendek seperti pria itu menghadang motor Abhi.

“Gue mau ke kampus, Dek.”

Atri menggeleng, menolak. “Tunggu, Mas ada yang pengen gue omongin. Penting.”

Abhi mengintip jam di pergelangan tangannya. “Ya udah, apa?” ucap Abhi pasrah.

“Mas Abhi kenal Viona, kan?”

“Enggak,” jawab Abhi jujur. Abhi benar-benar tidak tahu siapa itu Viona.

“Ihh, Mas. Itu lho temen gue yang sering ke rumah,” jelas Atri menunjuk rumahnya sendiri. Yang ada tepat di samping rumah Abhi.

Abhi mengikuti arah telunjuk Atri. “Terus?”

Atri mendesah panjang. “Mas udah tau, kan?”

Abhi mengangguk meski sebenarnya lupa-lupa ingat. Untuk apa juga ia mengingat teman sepermainan Atri. Ini Abhi lakukan agar Atri membiarkannya pergi. Kalau ditahan lebih lama, Abhi bisa terlambat.

“Dia suka sama Mas Abhi.”

“Terus?”

“Viona minta nomor Mas Abhi. Jadi, boleh enggak gue kasih?”

Cuma karena itu? Ini yang disebut penting? Astaga! Abhi memejamkan mata sembari menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.

“Kasih aja,” sahut Abhi kemudian melajukan motornya.

“Makasih, Mas!” teriak Atri. Ia tersenyum puas, ada kabar baik yang menunggu sahabatnya.

***

Keesokan harinya, Viona datang ke rumah Atri untuk menagih janji. Dari jendela kamar Atri yang langsung berhadapan dengan rumah Abhi, Viona terus bertopang dagu. Menunggu, mungkin hari ini bisa melihat Abhi meski hanya sekilas.

“Biasanya jam segini Mas Abhi di kampus. Kenapa enggak coba lo SMS aja sih?” Atri memberikan saran sambil bermain game Zuma di komputernya.

“Gue takut gangguin Mas Abhi.”

“Enggak kok, paling juga di kampus dia cuma nongkrong.”

“Tau dari mana?”

“Mas Abhi sendiri yang pernah bilang. Katanya, kalau gue butuh apa-apa tinggal telepon dia. Berarti dia enggak pernah sibuk.”

“Hmm, gue coba deh,” kata Viona bersemangat.

Viona berjalan cepat dan duduk di atas tempat tidur, ia mengeluarkan ponselnya dari tas punggungnya. Cukup lama Viona menimbang-nimbang hingga akhirnya keberaniannya terkumpul. Viona menempelkan ponselnya di telinga dan menunggu laki-laki di seberang sana mengangkat teleponnya.

Atri menghentikan gamenya dan ikut bergabung di atas tempat tidur. “Gimana?” bisik Atri penasaran.

Viona menggeleng lemah.

“Coba telepon ulang,” kata Atri dan langsung disetujui Viona.

Dan berhasil! Abhi mengangkat teleponnya.

“Halo? Ini siapa?”

“Ha.. halo, Mas. Ini aku, Viona,” jawab Viona melirik Atri dengan senyum amat lebar.

“Oh, temannya Atri, kan? Ada apa?”

“Anu, itu.. Mas Abhi belum pulang?”

“Belum. Kenapa?”

Viona merutuki dirinya sendiri karena menelepon tanpa persiapan terlebih dahulu. Orang menelepon pasti karena ada alasan. Viona panik setengah mati, otaknya mendadak buntu. Namun, ide mendadak muncul ketika matanya berada tatap dengan Atri.

“Atri nyariin Mas Abhi!” Viona menyerahkan ponselnya pada Atri.

Atri yang tidak tahu apa-apa hanya diam untuk beberapa saat. “Kok gue?”

“Gue enggak tau mesti ngomong apa,” bisik Viona memelas.

Tidak tega melihat sahabatnya, Atri pun menempelkan ponsel Viona ke telinganya.

“Halo?”

“Halo, Mas?”

“Kenapa? Hape lo mana, kenapa pake punya temen?”

“Pulsanya abis, Mas.”

“Mau gue beliin?”

“Eh? Enggak usah.”

“Terus lo kenapa nelpon?”

“Itu Mas, ehh,” Atri melirik Viona sekilas. “Gue ada tugas tapi enggak ngerti.”

“Matematika?”

Atri mengangguk meski tahu Abhi tidak melihatnya. “Iya, Mas.”

“Ohh, ya udah nanti malam lo ke rumah.”

“Nanti malam?” ulang Atri.

Viona menggeleng sambil membentuk X dengan dua jari telunjuknya.

Atri yang mengerti langsung mengangguk. “Enggak bisa sekarang?”

“Bisa. Lo mau sekarang?”

“Iya, Mas. Biar sekalian sama Viona, dia juga enggak ngerti soalnya.”

“Oke. Gue pulang sekarang.”

Itu kalimat terakhir sebelum Mas Abhi memutus sambungan telepon. Atri menyerahkan kembali ponsel di tangannya kepada sang pemilik dengan wajah kesal.

“Kita kan enggak punya tugas matematika, gimana dong sekarang?” desak Atri panik. Abhi bisa marah besar kalau tahu Atri berbohong.

“Kasih tugas yang minggu lalu aja,” usul Viona.

“Iya juga, ya.”

“Ngomong-ngomong, lo kenal berapa lama sama Mas Abhi?” tanya Viona tiba-tiba. Entah, lah, ia penasaran karena Abhi rela pulang cepat hanya karena Atri mengeluh tentang tugasnya.

“Dari kecil. Bokap gue sama bokap Mas Abhi udah lama kenal.”

“Udah kayak sodara dong?”

“Iya, lah!” jawab Ati bangga. “Sebenarnya Mas Abhi punya kakak cowok, tapi gue enggak deket sama dia. Mas Bian juga udah nikah.”

“Ganteng juga enggak?”

Atri tersenyum malu membayangkan wajah Mas Bian yang memang lebih tampan dari Abhi. “Ganteng.”

“Vi, gue ada ide!” ujar Atri tiba-tiba. Ide ini melintas begitu saja di kepalanya. Seperti bola lampu sedang menyala terang di atas kepalanya.

“Ide apaan?”

“Nanti pas kita ke rumah Mas Abhi, gue pura-pura sakit perut terus balik ke rumah. Nah, kalian bisa ngobrol berdua tuh. Gimana?”

Viona tersenyum cerah menyambut ide brilian dari sahabatnya. Viona mengacungkan dua jempolnya dan menarik Atri ke dalam pelukannya.

“Tumben-tumbenan otak lo encer.”

Atri tertawa keras. “Dari dulu kali.”

***

Satu bulan berlalu, Atri mendapatkan kabar baik dari sahabat dan tetangga yang dikenalnya sejak kecil. Mereka berdua resmi berpacaran.  Atri lega, usahanya selama ini tidak sia-sia. Ia juga berhasil meyakinkan Abhi jika Viona adalah perempuan yang baik dan cocok dengan Abhi.

Toh, selama ini Atri tidak pernah melihat Abhi dekat dengan perempuan. Entah itu dibawa ke rumahnya atau diajak jalan. Semua temannya kebanyakan laki-laki.

Hubungan Viona dan Abhi juga terbilang baik selama beberapa bulan setelahnya. Dan Abhi tetap sama, ia tidak melupakan Atri. Ketika Atri butuh bantuan, Abhi selalu siap sedia. Namun Atri tidak menyangka, di bulan ke-enam. Viona datang ke rumah Atri dengan berlinang air mata.

“Vi’? Lo kenapa nangis?” Atri memegang merangkul bahu Viona yang bergetar. Membimbingnya untuk masuk ke kamar Atri.

Atri mendudukkan Viona di tepi tempat tidur. Dengan langka buru-buru, Atri keluar dari kamar menuju dapur. Untungnya, rumah sedang kosong hari ini. Papa berangkat kerja dan Mamak sedang di rumah Oma. Jadi, Atri tidak perlu menjelaskan keadaan Viona pada Mamak.

Setelah menuangkan segelas air, Atri kembali ke kamar.

“Minum dulu.” Atri menyodorkan segelas air pada Viona.

Viona meneguknya sekali lalu menyerahkannya kembali. Atri meletakkan gelas di nakas kemudian duduk di samping Viona. Dengan sabar, Atri mengusap punggung Viona. Sahabatnya ini masih sesegukan.

“Mau tiduran dulu? Lo ceritanya nanti aja, Vi’.”

Viona menggeleng. Atri menghela napas, ia tidak tahu Viona ada masalah apa. Selama mengenal Viona, sahabatnya jarang menangis. Keluarga Viona bisa dibilang harmonis, jadi tidak mungkin karena itu. Kalau karena nilai sekolah? Tidak mungkin juga. Viona tidak begitu peduli tentang nilai.

“Ya udah, lo cerita sekarang.”

Viona mengangguk. “Atri, gue putus sama Mas Abhi.”

“Hah?” seru Atri. Ini hal yang membuat Viona menangis? “Jangan bercanda.”

“Enggak! Gue enggak bercanda.” Air mata Viona kembali bercucuran. “Gue beneran putus sama Mas Abhi.”

Atri mematung. Tidak pernah terlintas di kepalanya bahwa Viona dan Abhi, yang berhasil ia satukan justru berpisah. Dan hubungan mereka hanya berjalan enam bulan?

“Kenapa kalian bisa putus?”

Bukannya menjawab, tangisan Viona malah makin kencang. Menyaksikan sahabatnya menangis, jujur Atri kecewa pada Abhi. Pasti masalahnya datang dari Abhi.

Selang beberapa hari. Karena tidak terima Viona disakiti, Atri mendatangi rumah Abhi. Meminta penjelasan. Atri mengetuk pintu rumahnya Abhi sambil menahan amarah.

“Eh? Atri, kenapa sayang?” sapa Mama Mas Abhi ramah begitu pintu terbuka.

Atri memaksakan seulas senyum. “Tante Eka, Mas Abhi ada?”

“Ada, di kamar. Ayo masuk.”

Atri masuk dengan tenang dan naik ke lantai dua, tepatnya kamar Mas Abhi. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Atri masuk dengan tatapan nyalang.

Abhi sedang bersandar di tempat tidurnya sambil membaca komik. “Dek, di ketok dulu. Gimana kalau Mas lagi ganti baju?”

Atri mendengus. Viona selama beberapa hari ini sakit hati dan hilang semangat, sementara laki-laki ini justru asyik membaca komik! Dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa kehilangan.

“Mas kenapa putus sama Viona?” tanya tanpa basa-basi.

Abhi turun dari tempat tidur dan menghampiri Atri. “Kenapa lo mau tau?”

Atri membanting pintu di belakangnya. “Kenapa gue enggak boleh tau?”

“Viona yang minta putus.”

Atri mengernyit. “Enggak mungkin! Viona enggak mungkin nangis kalau memang dia yang minta putus.”

“Gue ngomong jujur, Dek.”

“Gue enggak percaya, Mas jahat banget bikin temen gue nangis.”

Abhi menghela napas. “Dari awal kan gue emang enggak mau pacaran sama temen lo.”

“Terus kenapa Mas pacaran sama Viona?” teriak Atri.

“Itu karena lo maksa.”

“Gue?” Atri menunjuk dirinya sendiri, “Mas bilang gue maksa?”

Abhi mengangguk. “Setiap hari lo selalu desak biar gue bisa suka sama Viona, setiap hari lo selalu omongin soal Viona, setiap hari lo bahas kelebihan Viona. Viona lagi, Viona lagi, sampe gue bosen dengernya.”

“Tapi, gue enggak pernah maksa Mas Abhi pacaran sama Viona,” desis Atri tak terima sambil menunjuk dada Abhi.

“Oke! Terus mau lo apa? Mas minta maaf sama Viona? Balikan sama dia? Itu yang lo mau?”

Atri merasa matanya mulai panas. Ini pertama kalinya ia dan Abhi berdebat hebat seperti ini. “Jangan pernah ajak gue ngomong. Dan jangan pernah ke rumah gue lagi!”

Atri berbalik namun tangannya langsung dicekal.

“Dek, lo jangan egois. Lo enggak mau ketemu sama gue lagi yang lo kenal sejak kecil cuma karena teman lo?”

Atri menepis tangan Abhi dan mengusap kasar pipinya. Atri juga tak menyangka kenapa harus menangis. “Ini karena Mas Abhi yang semaunya sendiri. Gue benci sama Mas Abhi! Gue enggak mau ketemu sama Mas Abhi lagi!”

Itu pertengkaran pertama sekaligus terakhir yang terjadi di antara mereka. Setahun lamanya Atri dan Abhi saling diam tanpa ada yang berniat berbaikan. Hingga hari di mana keluarga Atri harus pindah tiba. Atri sama sekali tidak keberatan, karena itu juga berarti ia bisa menjauh dari Abhi.

Chapter 7 (Oma Marah)

Aku menggeleng cepat. Berusaha mengenyahkan ingatan sembilan tahun lalu yang entah kenapa memenuhi kepalaku. Padahal itu memori yang tidak ingin aku ingat lagi. Bahkan jika bisa, aku berharap bisa lupa.

Aku menyambar ponsel di atas meja kasir sekedar mengalihkan pikiran. Sebenarnya tidak banyak juga yang bisa aku lakukan di ponsel. Aku jarang membuka sosial media, apalagi WhatsApp. Sangat jarang rasanya aku membalas grup atau pesan-pesan tidak penting. Kalau sekedar menanyakan kabar, sudah pasti aku abaikan.

Yang rajin aku gubris hanya teman-teman dekatku. Itu pun kami jarang saling berkabar, mereka semua sudah sibuk dengan urusan masing-masing.

“Atri!”

Aku menoleh ke arah pintu masuk. “Oma!”

Perempuan dengan rambut separuh memutih yang ditata rapi membentuk sanggul itu merentangkan kedua tangannya. Aku tersenyum menunjukkan beberapa deret gigiku dan menghampirinya.

“Oma, aku bukan anak kecil lagi,” rengekku.

Oma menunjukkan wajah yang dibuat seolah-olah kecewa lalu menurunkan kedua tangannya. “Kamu memang masih kecil, belum dewasa,” katanya diakhiri senyum cerah.

Keriput di sudut matanya semakin tampak. Kadang, aku tidak suka melihat wajah Oma dari dekat. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa Oma semakin tua dari tahun ke tahun.

Aku tertawa sebelum memeluknya erat-erat, “Oma kenapa tiba-tiba ke toko?”

“Mau ketemu cucu satu-satunya Oma dong.” Oma melepas pelukanku, “Tadi Oma ke rumah tapi kamunya enggak ada.”

“Sekalian mau ketemu Lisa,” lanjut Oma menggenggam tanganku dan mengajakku ke dapur.

“Cuma kamu yang jaga di depan? Yang lain mana?” tanya Oma mengedarkan pandangan.

“Yani sakit, kalau Juli di dapur.”

“Oh, gitu..”

“Oma!” teriak Juli girang yang lebih dulu menyadari keberadaan Oma di pintu dapur.

Oma tersenyum simpul. Juli yang duduk di depan meja langsung menghampiri Oma dan mencium punggung tangannya. Baru saja yang lain ingin melakukan hal yang Juli lakukan, Oma segera menahan dan meminta agar mereka lanjutkan saja pekerjaannya.

Mbak Lisa yang selesai memasukkan loyang roti, ikut menghampiri Oma. “Oma, apa kabar?”

“Baik,” jawab Oma memeluk Mbak Lisa.

Sebelum toko ini berpindah tangan, Mbak Lisa memang sudah bekerja untuk Oma. Jadi, Mbak Lisa ini termasuk orang kepercayaan Oma dan aku tentunya. Sementara yang lain, aku yang merekrut.

Dulu, beberapa dari pegawai tidak begitu percaya ketika aku memegang kendali. Satu per satu dari mereka berhenti. Mau tidak mau aku harus mencari pegawai baru dan yang membuat terharu itu Mbak Lisa. Dia percaya padaku dan tetap tinggal.

“Mama kamu apa kabar. Baik?” tanya Oma sembari mengusap pucuk kepala Mbak Lisa.

Mbak Lisa mengangguk kecil. “Baik, Oma.”

“Kamal, kamu gantiin Lisa, ya?” titah Oma.

Kamal mengangguk patuh. “Siap, Oma!”

“Oma mau ngobrol banyak sama kamu,” kata Oma pada Mbak Lisa.

“Oma ke sini mau ketemu Mbak Lisa apa aku sih?” selaku menyindir Oma.

Oma mengelus pipiku sembari tersenyum. “Malam ini Oma nginap di rumah kamu. Jadi, siang ini bagiannya Lisa.”

“Ayo,” ajak Oma meninggalkan toko bersama Mbak Lisa.

Aku memperhatikan punggung mereka hingga menghilang ketika mobil Oma pergi. Kadang aku penasaran, hal apa yang selalu mereka bicarakan berdua. Karena bukan sekali ini saja Oma mengajak Mbak Lisa. Biasanya, setiap Oma berkunjung ke rumahku. Oma pasti tidak lupa mengajak Mbak Lisa makan dan ngobrol. Anehnya, aku tidak boleh ikut.

Aku bukannya cemburu. Karena posisiku sebagai cucu satu-satunya tidak akan tergantikan di hati Oma. Hanya saja, rasa penasaran ini terlalu kuat. 

“Mbak, kenapa enggak ikut?”

“Juli, ihh!” Aku tadi sedikit tersentak karena bisikan Juli yang tiba-tiba.

Sorry, Mbak.” Juli cengengesan.

“Hape Mbak bunyi, tuh,” kata Juli menunjuk ke arah kasir.

Setengah berlari, aku kembali ke kasir. Aku mengintip nama yang tertera dilayar. Mas Abhi. Lagi? Aku menghela napas dan membiarkan ponselku berdering semaunya.

Gara-gara ingatan masa laluku, entah kenapa suasana hatiku jadi tidak baik. Apalagi menyangkut Mas Abhi.

Aku duduk saat ponselku berhenti berdering. Sepertinya aku harus menonton film sembari menunggu jam makan siang. Baru saja film aku putar, ponselku kembali berdering. Dengan malas, aku mengangkatnya.

“Halo,” jawabku terdengar ketus ditelingaku sendiri.

“Dek, kamu di toko?”

“Iya, kenapa?”

Hening. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. Masih tersambung.

“Halo, Mas?”

“Iya! Dek, aku mau ngajak kamu nonton nanti malam.”

Lah? Punya nyali juga Mas Abhi mengajakku. Padahal dia tahu sendiri jawabanku.

“Enggak!” Aku memutus sambungan telepon.

Lebih baik aku menonton lewat TV atau hape dibandingkan nonton bioskop bersama Mas Abhi.

***

Sebelum jam makan malam, aku sudah sampai di rumah. Karena malam ini, aku harus makan bersama Oma. Sudah lama Oma tidak ke sini, jadi aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan Oma.

Ujung bibirku tertarik ke atas ketika langkahku semakin dekat dengan pintu masuk. Aku sengaja mengendap-endap, tanganku hampir menyentuh gagang pintu yang sedikit terbuka namun urung aku lakukan. Suara lantang Oma terdengar menakutkan dari dalam sana.

Aku membeku. Oma marah.

“Mah, ini bukan salah Dian.” Itu suara Papa.

“Atri itu masih muda. Kenapa kalian desak dia terima lamaran laki-laki yang Atri tidak suka?” Suara Oma meninggi.

“Mah, ini lamaran ketiga yang datang. Enggak baik kalau ditolak.”

“Diam. Dian, kamu harus tau saya sangat menyayangi Atri. Sama seperti saya menyayangi Arini. Jadi jangan pernah paksa Atri turuti semua apa yang kamu minta.”

“Mama kenapa bawa-bawa Arini?” geram Papa.

“Maaf Mah, tapi setau aku Abhi itu anak yang baik kok,” kata Mamak tenang.

“Dia baik belum tentu Atri mau hidup semati sama Abhi. Kenapa kalian tidak bisa terima keputusan Atri? Dia sudah dewasa. Atri bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Atri lebih dari kata dewasa untuk tau mana yang benar dan salah. Kalian sebagai orang tua seharusnya mendukung, bukannya memaksa Atri seperti ini. Jaya, apa Mama pernah ikut campur ketika kamu memilih pasangan. Tidak, kan? Contoh hal itu.”

“Mama cukup!”

Napasku tercekat. Papa itu termasuk sosok tersabar yang aku kenal seumur hidup. Dan kali ini, aku tahu dari nada suaranya. Papa ikut tersulut amarah.

“Dari dulu, Mama memang tidak suka kalian menikah. Ditambah lagi kamu yang tidak bisa hamil.”

Aku ikut membeku mendengar kata menyakitkan Oma. Seharusnya kalimat itu tidak perlu keluar dari mulut siapa pun. Mamak pasti sangat terluka.

“Mama! Mama keterlaluan sama Dian.”

“Kalian pikir, kalian tidak keterlaluan sama Atri?”

“Iya, tapi ini bukan salah Dian sepenuhnya. Kenapa Mama selalu nyalahin Dian?”

Kedua tanganku terangkat menutup telingaku. Cukup. Aku tidak suka mendengar mereka bertengkar dengan suara keras seperti itu.

“Kamu memang merawat Atri sejak kecil. Tapi, bukan berarti kamu berhak sepenuhnya atas hidup Atri. Ingat, jangan pernah paksa Atri lagi.”

Aku menelan ludahku dengan susah payah. Ini semua gara-gara aku. Oma selalu marah jika ada hal mengganggu yang menyangkut diriku. Akibatnya, Mamak jadi sasarannya. Aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku dan mencari kontak Mas Abhi.

Aku : Mas, jemput. Gue tunggu di depan rumah.

Pesan terkirim. Sejenak aku memandang pintu dan berbalik. Aku harus menenangkan diri sebelum bertemu Oma dan Mamak.

***

“Kenapa Mas malah bawa gue ke sini?” tanyaku menerima minuman manis kemasan dari Mas Abhi.

Mas Abhi ikut duduk di sampingku dan menyalakan TV. “Memang kamu mau ke mana?”

Aku mengendikan bahu. Dulu, saat Mamak dan Papa bertengkar kecil aku selalu mengungsi di rumah Mas Abhi. Tidak aneh, lagi pula waktu itu aku masih anak-anak. Tapi, sekarang beda. Kami berdua dua manusia dewasa berbeda jenis kelamin. Berdua di dalam apartemen. Apa kata orang coba? Mereka pasti berpikir yang tidak-tidak.

“Ke rumah Om Damar,” jawabku asal.

“Apa bedanya sama rumah aku?” tanyanya lalu meneguk minuman kaleng di tangannya.

“Beda, lah. Di sini kita cuma berdua, di rumah Om Damar kita bertiga.”

“Cuma itu?”

Aku memicingkan mata ke arahnya.

“Mas, kalau orang mikir macem-macem gimana?”

“Enggak masalah, kalau orang nyuruh kita nikah. Ya udah, ayo. Mas siap kok.”

“Apaan, sih!” sinisku melepas kontak mataku dengan Mas Abhi.

“Papa sama Mamak berantem?” tanya Mas Abhi setelah kami saling diam.

“Enggak.” Mataku kelayar TV.

“Terus kenapa keluar?”

“Pengen aja.”

“Aku tau kamu bohong.”

Aku menghela napas. “Iya, gue bohong. Mas enggak usah tau alasannya.”

“Dulu, tanpa aku minta. Kamu selalu cerita apa pun sama aku.”

“Itu dulu, Mas. Semua udah berubah.”

Mas Abhi berdehem pelan. “Enggak semuanya.”

“Apanya yang sama?” tanyaku menoleh ke samping. Dan tepat saat itu juga Mas Abhi menatapku serius.

“Perasaan aku masih sama.”

Deg! Tenang. Jantung, aku mohon tetaplah tenang. 

Tubuhku seakan terisap ke dalam hitamnya iris mata Mas Abhi. Membeku dan tak berkutik bahkan ketika Mas Abhi mendekatkan kepalanya perlahan. Aku menelan ludahku susah payah. Apa yang harus aku lakukan? Menamparnya? Tetap diam dan membiarkan setan menguasai kami berdua? Atau menampar Mas Abhi dua kali lalu meninju hidungnya hingga bengkok?

Ini alasannya aku tidak mau berduaan di apartemen. Di sini banyak setannya.

“Mas, tawaran nonton tadi siang masih berlaku enggak?” tanyaku cepat setelah berhasil menang dari bisikan-bisikan setan yang terkutuk. “Atau makan gitu?”

Mas Abhi membeku lalu menarik kepalanya menjauh. Namun tak bisa menyembunyikan senyumnya.

“Kenapa senyum-senyum?” tanyaku.

Mas Abhi menggeleng. “Enggak. Kepikiran aja. Seharusnya tadi aku bawa kamu ke rumah Ayah.”

Aku mengerti maksud Mas Abhi. Dasar laki-laki. “Nah, kan?”

“Di sini bahaya,” ucap Mas Abhi mengalihkan pandangannya.

Makanya aku dan Mas Abhi harus cepat-cepat pergi dari sini.

“Ya udah, tunggu apa lagi? Ayo, berangkat sekarang,” ajakku lalu bangkit dari duduk.

“Nonton atau makan?” Mas Abhi menghampiriku dan tanpa izin mengisi sela-sela jariku dengan jarinya.

Aku mengangkat tanganku yang digenggam Mas Abhi. “Ape nih?”

“Pegangan tangan? Masa kamu enggak tau.”

Aku mendengus mendengar jawabannya. “Maksudnya ngapain gandengan? Mau nyebrang?”

“Kita enggak perlu alasan mau nyebrang untuk gandengan, Dek.”

Aku menghela napas lelah. “Ada aja jawabannya.”

“Daripada aku enggak jawab.”

“Gue pulang aja deh! Enggak usah nonton,” putusku menarik paksa tanganku.

Bahaya kalau aku lama-lama sama Mas Abhi. Pertahanan yang aku bangun susah payah bisa runtuh.

Chapter 8 (Yang Terlewatkan)

Mobil berhenti. Aku menatap rumahku sedikit ragu. Mungkin Oma sudah tidur? Apa Mamak sudah tenang? Atau mereka masih bertengkar. Tapi, aku tidak punya pilihan lain selain masuk ke dalam. Mamak dan Papa pasti mencariku jika pulang terlalu malam.

“Kamu mau nginap di rumah aku?”

Aku tersentak lalu menoleh sinis. “Maksud Mas apa?”

“Abisnya, kamu kayak ragu.”

“Enggak, lah! Kenapa gue ragu masuk rumah sendiri!” sahutku melepas seatbelt dengan cepat.

“Dek,” Mas Abhi menahan tanganku. “Kalau kamu butuh apa-apa lagi, aku siap.”

“Kapan pun?” tanyaku menantang. Tidak mungkin, lah. Mas Abhi punya kehidupan sendiri. Dan tidak mungkin seluruh waktunya hanya berputar di sekitarku.

“Kapan pun,” jawabnya mantap.

Aku tersenyum miring. “Jangan ngomong gitu, Mas. Gue enggak mau kecewa kalau sampai Mas Abhi enggak bisa tepatin janji.”

Mas Abhi diam. Aku menarik tanganku dengan mudah dan mengucap terima kasih sebelum menutup pintu. Aku masuk tanpa menoleh sedikit pun. Sekarang waktunya menghadapi Oma.

Pintu kututup dengan hati-hati. Melangkah pelan dan tidak menemukan seseorang di ruang tamu. Padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan. Akhirnya, aku lanjut ke arah dapur. Di sana aku menemukan Mamak duduk sendiri.

“Mak,” panggilku dan segera menghampirinya.

“Kenapa baru pulang?” tanya Mamak menuangkan air dan menyerahkannya padaku.

“Tadi ke rumah temen.” Aku duduk tepat di samping Mamak.

“Biasanya kamu pulang cepat kalau tau Oma di rumah.”

Aku menandaskan air di dalam gelas. “Aku tadi pulang.”

Mamak diam dan aku pun memberi jeda sebelum melanjutkan, “Tapi, keluar lagi pas denger Oma marah-marah”

“Kamu dengar semuanya?”

Aku menggeleng, menunduk agak dalam sambil memainkan bibir gelas.

“Mamak mau tanya. Boleh?”

Aku mengangkat kepala dan menatap Mamak dengan alis terangkat. Menunggunya melanjutkan.

“Selama ini, apa Mamak terlalu atur hidup kamu?”

Meski bukan Ibu kandungku, aku tidak pernah berpikir Mamak adalah orang asing. Untuk beberapa aturan, aku memang tidak suka. Tapi, dengan alasan yang jelas. Tidak serta merta aku tidak suka karena Mamak yang mengatur. Bukan.

“Enggak. Aku tau Mamak cuma mau yang terbaik buat hidup aku.”

Mamak tersenyum tipis, mengangkat tangannya dan mengelus pipiku. “Maafin Mamak kalau terlalu maksa kamu terima lamaran Abhi.”

Aku mengernyit lalu menggeleng cepat. “Jangan ngomong gitu, Mamak enggak salah apa-apa.”

“Tapi, Oma kamu bener. Kamu udah dewasa dan bisa pilih calon sendiri.”

Walaupun ucapan Oma benar ditambah aku sayang Oma. Tetap saja aku tidak suka Mamak jadi sedih dan merasa bersalah seperti ini. Aku menarik tangan Mamak dari pipiku dan menggenggamnya kuat-kuat.

“Mama enggak paksa aku. Anggap ini keputusan aku sama Mas Abhi untuk saling yakin. Bukan karena paksaan. Ya?”

Mamak tersenyum dan menarikku ke dalam pelukannya. “Iya.”

Selesai! Sekarang tinggal Oma.

Lampu di dalam kamarku masih menyala. Artinya, Oma belum tidur. Aku mendorong pintu dan mengintip apa yang Oma lakukan di dalam. Rupanya Oma sedang merapikan buku-buku di rak samping tempat tidurku. Aku meringis, merasa bersalah karena Oma yang harus turun tangan.

“Oma?”

Oma berbalik dengan kacamata yang bertengger dibatang hidungnya, kedua tangannya masih memegang buku. “Kamu ke mana aja, tumben pulang jam segini.”

Aku masuk dan duduk di atas tempat tidur. “Jalan sama temen.”

“Cowok?” tanya Oma kembali pada rak di hadapannya.

“Cewek, temen SMA aku.”

Tangan Oma berhenti bergerak. “Oh, yang pernah pacaran sama Abhi bukan?”

Oma memang paling kenal dengan Viona. Sementara temanku yang lain mungkin Oma sudah lupa-lupa ingat. Ngomong-ngomong, kenapa yang Oma ingat harus hubungan masa lalu Viona dan Mas Abhi?

“Bukan Oma, temen aku kan banyak. Bukan cuma Viona doang.”

“Nah! Itu, Viona. Iya, Oma baru ingat namanya.”

“Oma kenapa belum tidur?”

“Kamu enggak lihat Oma lagi apa? Ini buku kamu berantakan, Oma enggak tahan lihatnya. Bikin pusing tau.”

“Kebetulan aja berantakan, biasanya rapi kok, Oma,” kilahku memamerkan beberapa deret gigiku.

“Alasan kamu.”

Aku tertawa hambar, tidak tahu harus memulai dari mana setelah basa-basi panjang. Kalau aku bahas, Oma bisa berpikir Mamak mengadu padaku.

"Emm.. Oma.”

“Iya?”

“Oma tadi ngobrol apa aja sama Mbak Lisa.”

“Banyak.” Oma menjawab tanpa menoleh, “Tapi, kebanyakan tentang kamu.”

“Pantesan tadi siang aku batuk-batuk mulu,” candaku untuk mengurangi rasa cemasku.

“Kamu itu, anak muda masa percaya mitos.”

“Mbak Lisa cerita apa? Bukan yang jelek-jelek, kan?”

“Enggak mungkin. Lisa lebih banyak cerita soal Abhi sama kamu.”

“Mas Abhi?”

“Iya,” Oma memasukkan buku terakhir di rak dan ikut duduk di sampingku. “Oma pikir setelah Abhi datang lagi, langsung kamu tolak. Ternyata Jaya sama Dian malah nyuruh kamu terima lamarannya.”

Aku menelan salivaku susah payah, aku harus hati-hati dalam meyakinkan Oma. Salah-salah, Oma jadi salah paham dan marahnya semakin menjadi-jadi.

“Oma, Papa sama Mamak enggak pernah paksa Atri, kok.”

“Kalau enggak maksa, kenapa harus tunggu bulan depan baru kamu jawab lamarannya Abhi?”

“Itu mau aku sama Mas Abhi. Walaupun kita kenal dari kecil tapi aku sama Mas Abhi hampir 9 tahun enggak ketemu. Banyak yang berubah Oma, kita mau saling kenal lagi.”

Oma mengernyit tak percaya. “Kamu yakin? Terus kenapa lamaran pertama Abhi kamu tolak?”

Aduh! Aku tidak tahu harus jawab apa. Ini tidak aku pikirkan tadi.  “S-soalnya yang waktu itu, aku kaget Oma.”

Oma diam meminta aku melanjutkan.

“Iya, Oma. Aku kan kenal Mas Abhi dari kecil jadi aneh pas Mas Abhi mau lamar aku. Makanya lamaran pertama itu aku tolak.”

Oma mengangguk pelan. Untungnya, sedikit demi sedikit Oma mulai percaya.

“Oma percaya, kan? Enggak ada yang maksa aku kok.”

“Kamu enggak bohong, kan? Jangan coba melindungi Papa sama Mamak kamu.”

Peringatan dari Oma hampir membuat nyaliku ciut. Oma kalau pakai mode garang memang menakutkan.

“Ihh, Atri mah anak baik. Enggak suka bohong. Masa Oma enggak percaya sama cucu satu-satunya ini?”

Oma hanya bisa geleng-geleng kepala. “Iya, iya. Oma turun dulu, mau ambil minum.” 

“Iya, oma..”

Akhirnya aku bernapas lega setelah Oma keluar dari kamar. Hari ini aku menampung banyak dosa karena berbohong pada Mamak dan Oma.

***

Niatku berangkat pagi ternyata salah. Mobil Mas Abhi sudah terparkir di depan rumah saat aku keluar. Aku bingung, apa Mas Abhi seluang itu sampai aku saja bosan melihatnya. Atau karena saking kayanya, Mas Abhi jadi tidak peduli mau kerja atau malas-malasan.

Aku mendaratkan pantatku di kursi mobil dan menutup pintu dengan keras. Tidak peduli mobil ini rusak atau lecet.

“Kita sarapan dulu,” kata Mas Abhi bersamaan dengan kakinya yang menginjak gas.

“Mas lupa, ya? Gue kan—”

“Enggak pernah sarapan,” potong Mas Abhi.

“Nah! Itu tau.”

“Mulai sekarang, kamu harus belajar sarapan.”

“Gur enggak mau.”

“Enggak baik lewatin sarapan, Dek.”

Mulai lagi. Mas Abhi ini dari dulu senang sekali menceramahiku. Papa sama Mamak saja tidak segitunya. Aku jadi kasihan pada perempuan yang kelak menyandang status sebagai istri Mas Abhi.

“Gue dari dulu enggak sarapan, kenapa baru sekarang diingetin?”

“Dulu kamu masih keras kepala. Enggak mau dengerin aku sama sekali.”

“Dan sekarang gue masih sama. Gue enggak akan dengerin Mas Abhi.”

“Kamu bilang, semua udah berubah.”

Skakmat! Aku menyesal mengucapkan kalimat itu semalam. Senjata makan tuan, kan.

“Oke, oke,” aku mengangkat kedua tanganku ke udara. Tanda menyerah. “Mas Abhi menang.”

Dari sudut mataku, kulihat Mas Abhi tersenyum puas. “Oke! Kamu mau makan apa?”

“Burger,” jawabku asal.

“Oke. Kita makan bubur ayam. Aku tau tempat bubur ayam yang enak.”

Lihat, kan. Mas Abhi itu memang suka semaunya. Walaupun aku tidak berharap Mas Abhi benar-benar memilih burger sebagai sarapan tapi harusnya Mas Abhi menyuruhku memilih makanan lain.

Ini sama saja Mas Abhi yang pilih. Lalu gunanya dia bertanya barusan apa!

“Kalau gitu ngapain nanya?” gerutuku mengalihkan pandangan keluar jendela. Sengaja tak ingin memandang Mas Abhi.

“Memangnya kamu beneran mau makan burger? Enggak, kan?”

Tidak kusangka dia dengar. Aku mendengus, menolak membalas pembelaannya.

“Aku tau kamu, Dek. Pagi-pagi dikasih buah aja enggak mau, apalagi burger yang jelas-jelas makanan berat.”

“Sok tau!” gumamku tak mau kalah meski semua yang Mas Abhi katakan benar adanya. Membayangkan burger jadi santapan pagiku saja sudah membuatku hampir muntah.

“Memang aku tau semuanya kok. Coba kamu tanya, aku pasti bisa jawab,” tantang Mas Abhi yang ternyata juga tak ingin kalah dariku.

Oke! Mari kita lihat seberapa kenal dan jauh Mas Abhi mengetahui tentangku. Aku tersenyum miring, di kepalaku sudah terbayang jelas muka cengo Mas Abhi. Berpisah sembilan tahun lamanya, pasti ada hal yang Mas Abhi tidak ketahui.

“Tanggal lahir.”

“17 Mei,” jawab Mas Abhi tanpa pikir panjang.

Aku mengangguk samar. Boleh juga. Biasanya, kan, laki-laki suka lupa tanggal-tanggal penting.

“Pertanyaan selanjutnya. Kebiasaan buruk.”

“Koleksi novel tapi enggak dibaca.”

Ujung bibirku memaksa naik, tapi aku menahannya. Dari sekian banyak kebiasaan buruk, aku tidak menyangka Mas Abhi akan menyebutkan satu hal yang banyak orang tidak tahu. Jujur, aku memang senang mengoleksi novel. Dan hal pertama yang membuatku tertarik membeli sebuah novel adalah sampulnya. Jika suka, akan aku beli. Meski pada akhirnya hanya jadi pajangan di rak kamarku.

“Alasan gue enggak suka sarapan.”

Aku menoleh ketika jawaban tak kunjung kudengar. Aku tersenyum menang. “Enggak tau, kan?”

“Tau. Cuma lupa tepatnya kamu umur berapa waktu itu.”

Aku mengernyit.

“Yang jelas, itu pas kamu SMP. Karena enggak sempat sarapan di rumah, kamu akhirnya jajan di sekolah. Kamu sakit perut sampai harus bolak-balik toilet selama jam pelajaran. Emm, kalau enggak salah kamu juga diejek selama beberapa hari karena itu. Sejak saat itu, kamu enggak mau sarapan lagi. Iya, kan?” Mas Abhi menoleh dengan senyum tipis. Hanya sekilas namun nyatanya, senyumnya barusan tertinggal di kepalaku.

Chapter 9 (Tentang Aryani)

Kata orang, cinta tumbuh karena terbiasa. Dan sekarang, aku takut jatuh cinta lagi pada Mas Abhi. Iya, lagi. Aku pernah menyukai Mas Abhi.

Sejak kecil tumbuh bersama, membuatku terbiasa dengan keberadaan Mas Abhi. Justru aku merasa aneh jika sehari saja tidak melihatnya. Dia adalah sosok sempurna bagi perempuan manja dan kekanak-kanakan sepertiku, sepuluh tahun yang lalu. Aku tidak yakin kapan perasaan suka itu mulai tumbuh, yang jelas aku baru menyadari perasaanku saat duduk dibangku SMA.

Waktu itu, aku memaksa diriku untuk tetap waras. Aku menganggap, kala itu aku belum bisa membedakan mana perasaan suka kepada lawan jenis dan laki-laki yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Hingga akhirnya aku pindah, perasaanku tetap tersembunyi dan tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan sampai detik ini.

“Kamu mikiran apa?”

Aku terperanjat dari lamunanku dan segera menggeleng. Aku bermaksud melepas sabuk pengamanku namun kemudian urung aku lakukan. Ada pertanyaan yang harus aku ajukan pada Mas Abhi.

“Mas.”

Mas Abhi bergumam pendek sambil menatapku dengan alis terangkat.

“Seandainya, gue nolak Mas Abhi. Apa yang bakal Mas lakuin?”

Kening Mas Abhi berkerut. “Maksudnya?”

Aku menghela napas panjang lalu mengulang pertanyaanku. “Maksudnya, apa Mas Abhi cari perempuan lagi, jomlo seumur hidup atau lamar gue untuk yang ketiga kalinya?”

Mas Abhi melepas pandangannya dariku. “Emm.. Enggak tau.”

“Kenapa enggak tau?”

Mas Abhi mengendikan bahu. “Karena aku enggak pernah kepikiran kamu nolak aku kali ini.”

Tanpa sadar aku mendengus. “Pede banget.”

Mas Abhi tidak menyahut dan hanya tertawa kecil. Aku juga diam sejenak. Belum berniat turun karena merasa pertanyaanku barusan belum menemukan titik terang. Aku hanya ingin tahu apa yang akan terjadi pada Mas Abhi jika aku menolaknya.

Tiba-tiba kaca jendela di sampingku diketuk. Aku menoleh cepat dan menurunkan jendela. “Kenapa, Mbak?”

“Atri,” panggil Mbak Lisa. Alisnya bertaut dengan pandangan yang tak fokus.

Sekilas aku melihat Mas Abhi kemudian membuka pintu mobil. Mbak Lisa langsung menggenggam kedua tanganku. Dan saat itulah aku merasa tangan Mbak Lisa gemetar. Aku ikut panik dan bingung harus bertanya apa.

“Lo tenang dulu,” kata Mas Abhi berdiri di sampingku. “Coba cerita pelan-pelan.”

Mbak Lisa mengangguk cepat lalu menarik napas perlahan. “Yani masuk rumah sakit, tadi.. tadi adiknya telepon gue sampai nangis-nangis. Kita ke rumah sakit sekarang, ya? Takutnya Yani kenapa-napa.”

Aku meremas tangan Mbak Lisa. “Mbak tenang dulu, jangan khawatir. Biar gue yang ke rumah sakit. Oke?”

Sekali lagi Mbak Lisa mengangguk patuh namun matanya tidak bohong. Mbak Lisa masih sama cemasnya. Meski usianya berada di atasku, Mbak Lisa memang gampang panik. Apalagi jika mendengar kabar buruk dari orang yang ia kenal.

“Setelah makan siang, Mbak tutup toko dan nyusul ke rumah sakit,” lanjutku.

Mbak Lisa memelukku sebelum akhirnya aku kembali masuk ke dalam mobil Mas Abhi. Jujur, aku merasa bersalah. Seharusnya waktu itu aku menjenguknya. Seharusnya aku tidak percaya saat Yani bilang dia baik-baik saja. Seharusnya..

Aku menunduk menatap tangan besar yang membungkus tanganku. Pikiranku yang melayang jauh kembali tersadar karena Mas Abhi.

“Jangan khawatir.”

***

Selain kecelakaan dan darah, aku juga paling benci dengan rumah sakit. Mungkin karena panik aku jadi nekat ke rumah sakit tanpa pikir panjang. Aku mendesah panjang menatap bangunan menjulang di hadapanku.

“Kalau kamu enggak bisa, biar aku yang masuk.”

Aku menggeleng. “Gue harus masuk, Mas. Gue harus mastiin sendiri keadaan Yani.”

Iya, aku tidak boleh kalah. Lagi pula aku tidak akan berpapasan dengan pasien berlumuran darah di dalam sana. Aku menelan salivaku dengan susah payah karena merasa perutku sudah mual duluan mencium bau alkohol bercampur karbol yang tercium saat pintu rumah sakit terbuka.

“Ayo,” ajak Mas Abhi menautkan jemariku dengannya.

Aku menatap Mas Abhi ragu. “Bentar, Mas.”

“Ada aku.”

Dua kata itu berhasil membuat jantungku berdegup tak beraturan. Bagus, ini pas sekali karena di depan sana ada rumah sakit. Aku sampai lupa rasa cemasku. Mas Abhi menarikku perlahan dan aku tidak punya pilihan selain mengikuti langkah Mas Abhi. Semakin jauh jalan yang kami lewati, semakin aku merapatkan tubuhku pada Mas Abhi. Bahkan aku sudah memeluk sebelah tangannya.

“Itu kamarnya bukan?”

Aku mengikuti arah telunjuk Mas Abhi dan mengangguk yakin. Kali ini aku melangkah mendahuluinya namun tetap dalam jangkauan Mas Abhi. Mas Abhi mendorong pintu perlahan, sejenak aku terdiam ketika beberapa pasang mata mengamatiku. Ruangan ini diisi empat ranjang dan hanya menggunakan gorden hijau sebagai pemisah. Pasien yang berada di sebelah kiri adalah seorang perempuan paruh baya, mungkin seusia Mamak. Untungnya tidak ada luka serius yang aku lihat. Sementara tempat tidur di sebelah kanan kosong.

Langkahku menjadi berat, takut pasien yang berhadapan dengan tempat tidur Yani mengalami luka berat. Aku menunduk, mengikuti ke mana Mas Abhi membawaku.

“Mbak Atri?”

Aku mendongak saat suara asing memanggil namaku. Perempuan berhijab dengan pipi agak tembem itu adik Yani, Sinta. Aku beberapa kali melihatnya saat berkunjung ke toko. Mataku kemudian beralih pada tubuh yang terbaring lemah di atas kasur, lengkap dengan selang infus yang terpasang di tangan kirinya.

“Yani sebenarnya sakit apa?”

Sinta duduk diujung ranjang sembari memandang kakaknya. “Kata dokter, Mbak Yani kecapaian, selain itu maag nya juga ikut kambuh.”

“Maag?”

Sinta mengangguk. “Iya, Mbak. Sebenarnya Mbak Yani enggak cuma kerja di tokonya Mbak Atri.”

Aku bertukar pandang dengan Mas Abhi.

“Pulang dari toko roti, Mbak Yani langsung lanjut kerja di kafe sampai tengah malam. Mungkin karena itu Mbak Yani sering lupa makan.”

Penjelasan Sinta membuatku tak sanggup berkata-kata. Kenapa selama ini aku tidak tahu? Atasan macam apa aku ini! Mas Abhi membimbingku duduk di kursi samping kasur kemudian berdiri di belakangku. 

“Maaf kalau aku lancang tapi aku pengen tau kenapa Yani harus kerja sampai segininya?”

Sinta tersenyum pahit dan menunduk dalam, “Mungkin karena aku, Mbak.”

“Karena kamu?”

Sinta mengangguk. “Alasan Mbak Yani datang ke kota itu karena aku. Mbak Yani mau aku sekolah akhirnya kita nekat ninggalin bapak di kampung. Uang yang dikirim bapak juga enggak banyak jadi Mbak Yani kerja.”

“Kamu kuliah?” tanyaku hati-hati.

Sinta menggeleng. “Aku masih SMA, Mbak.”

Aku mengangguk, tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang keluarga Yani. Itu hanya membuat Sinta semakin bersalah. Aku memutar kepalaku ke belakang.

“Mas, bisa minta tolong beliin makan enggak? Buat gue sama Sinta," pintaku pada Mas Abhi.

“Enggak usah, Mbak. Aku makannya nanti aja,” sela Sinta.

“Enggak apa-apa, sebentar lagi kan makan siang. Kamu juga harus ingat makan biar siap siaga jagain Yani.”

Mas Abhi mengelus pucuk kepalaku sebelum pamit keluar dari ruangan. Aku sengaja menyuruh Mas Abhi pergi dibanding memesan makanan karena aku tahu ada sesuatu yang ingin Sinta katakan. Jika tidak, ia tidak mungkin sampai menelepon Mbak Lisa.

Sinta lagi-lagi menunduk, kedua tangan yang berada di pangkuannya tampak tidak tenang. Sejak tadi Sinta terus meremas jari-jarinya. “Aku minta maaf udah repotin Mbak Atri.”

“Jangan ngomong gitu. Daripada maaf, kata terima kasih jauh lebih baik,” kataku tersenyum menatap Sinta.

“Makasih, Mbak,” ucap Sinta lirih. Mataku ikut berair melihat pundak Sinta bergetar menahan tangis.

Aku meraih satu tangannya lalu menggenggam erat-erat. Kuharap dengan begini, aku bisa sedikit menyalurkan rasa hangat untuk Sinta. “Kalau kamu butuh apa-apa dan selama aku sanggup. Aku siap bantu kamu.”

Sinta menatapku penuh harap, seakan kata-kataku barusan membuatnya kembali hidup.

Sinta menyeka jejak basah di matanya. “Mbak..”

Aku mengangguk, membiarkan Sinta melanjutkan.

“Aku tau kita enggak dekat sama sekali tapi cuma Mbak Atri satu-satunya tempat buat aku minta tolong. Sebenarnya aku bisa minta sama bapak, tapi aku takut bapak pingsan atau kenapa-kenapa kalau dengar Mbak Yani masuk rumah sakit.”

Aku mengangguk, meyakinkannya untuk terus bicara.

“Biaya rumah sakit Mbak Yani, uang tabungan kita enggak cukup.” Sinta memberi jeda lalu kembali melanjutkan, “Aku janji bakal ganti semua uang Mbak Atri. Secepat mungkin.”

“Aku ngerti. Sekarang kamu jangan khawatir masalah itu. Mulai sekarang, kamu harus jaga Yani. Tapi, bukan berarti kamu jadi enggak peduli sama kesehatan kamu sendiri.”

“Iya. Sekali lagi makasih, Mbak.”

Setelah kalimat itu meluncur dari mulutnya. Samar-samar aku mendengar pintu terbuka disusul derap langkah terburu-buru yang semakin mendekat.

“Yani!”

Aku mendongak, Mbak Lisa dan Juli menatap Yani tidak percaya. “Astaga, Yani.”

“Mbak, Yani enggak apa-apa, kan?” Juli memandangku dan Yani bergantian.

Aku menempelkan jari telunjukku di depan bibir. “Jangan keras-keras. Lo enggak usah khawatir, Yani baik-baik aja.”

Juli mengangguk. Wajahnya yang semula tegang berubah tenang mendengar penjelasanku. Berbeda dengan Mbak Lisa yang masih menatap Yani cemas.

“Tadi, kan, gue suruh Mbak ke sini setelah makan siang. Kok malah ke sini?” tanyaku pada Mbak Lisa.

Mbak Lisa melirikku sekilas. “Gue enggak bisa tenang mikirin Yani.”

“Kita juga tau Mbak kan takut ke rumah sakit makanya kita susul,” timpal Juli.

“Kan, ada Mas Abhi.”

Tiba-tiba Juli mengedarkan pandangannya. “Terus Mas Abhi nya ke mana, Mbak?”

“Tadi keluar.”

“Mbak, duduk di sini.” Sinta menawarkan pada Mbak Lisa dan Juli lalu menjauh dari tempat tidur.

“Enggak apa-apa. Kamu aja yang duduk,” tolak Juli tak enak hati.

Tidak berapa lama, aku kembali mendengar pintu yang terbuka. Mbak Lisa yang seakan tersadar melangkah menjauh dari ranjang Yani dan menatap  lurus ke arah pintu. Jangan-jangan Kamal, Ilham, dan Dimas yang datang.

“Oma!” panggil Mbak Lisa membuatku spontan berdiri dari kursi. Kenapa Oma ada di sini?

Aku mendekat ke arah Mbak Lisa namun sebelum itu terjadi Oma lebih dulu menghampiri Mbak Lisa dan memeluknya. Langkah kakiku membeku seketika itu juga. Aku tidak mengerti dengan pemandangan yang aku saksikan saat ini.

Chapter 10 (Cemburu)

Aku cemburu. Kedekatan mereka membuat perasaanku tidak karuan. Aku tahu Oma dan Mbak Lisa sudah lama saling mengenal. Tapi, aku ada di sini dan kenapa Oma justru lebih dulu menenangkan Mbak Lisa dibanding aku cucunya? Oma tahu aku takut berada di rumah sakit, aku yang lebih lama menemani Sinta dan aku juga butuh pelukan.

“Oma..” panggilku pelan.

Oma melepas pelukan Mbak Lisa kemudian menghampiriku. Kedua tangannya terangkat, membungkus sisi wajahku. “Astaga Atri, kamu kenapa enggak bilang sama Oma?” tanya Oma lembut.

Mood-ku jadi jelek karena kejadian barusan. “Aku bisa atasin ini kok Oma. Lagian ada Mas Abhi yang nemenin aku.”

“Jangan ngomong gitu, bagaimana pun Oma masih punya tanggung jawab sama pegawai toko. Untung ada Lisa yang kabarin Oma.”

Aku mengangguk lalu melirik Sinta. “Aku keluar dulu,” pamitku menatap Juli, Oma dan Mbak Lisa bergantian.

“Kamu mau ke mana?” Oma mencekal pergelangan tanganku.

“Ada yang harus aku urus. Oma di sini aja sampai Yani siuman.”

Selama ini, sebagai cucu satu-satunya Oma memang tidak pernah membagi kasih sayangnya pada siapa pun. Aku tidak pernah melihat Oma sekhawatir itu. Bahkan pada Mas Abhi sekalipun, yang jelas-jelas Oma kenal sejak lama. Haa.. Mengingatnya saja membuatku ingin segera pulang.

Setelah menyelesaikan biaya rumah sakit Yani, aku langsung memesan taksi online. Dalam perjalanan menyusuri koridor rumah sakit, aku terus mempertanyakan hal yang sama. Kenapa? Apa saat ini Oma lebih menyayangi Mbak Lisa ketimbang aku? Apa Oma butuh sosok cucu yang dewasa dan bisa diandalkan? Tapi, kan, aku juga bisa. Berani mengambil alih toko adalah langkah awalku. Dan sekarang, sebagai pemilik aku berani melawan ketakutanku demi Yani. 

Tiba-tiba ponsel di genggamanku bergetar. Aku berhenti, sekadar mengintip siapa menghubungiku karena tak kunjung kembali. Dari Mas Abhi. Aku menghela napas, padahal aku berharap telepon barusan dari Oma. Maaf Mas, saat ini aku tidak ingin bersitatap dengan Mas Abhi. Laki-laki itu bisa tahu apa yang aku rasakan hanya dengan melihatku sekilas. Ponsel aku masukkan ke dalam tas kemudian melanjutkan langkahku.

***

“Atri.”

“Katrina!”

“Kamu enggak ke toko?” teriak Mamak dari luar kamar.

Aku menarik selimut hingga menutupi kepalaku. “Enggak!”

“Kalau gitu bangun Atri, udah siang.”

Aku mendesah malas lalu melempar selimutku. Padahal aku masih mengantuk. Tapi, daripada Mamak mengamuk aku tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya. Jika dibandingkan Papa, Mamak memang agak menyeramkan.

Selesai mencuci muka, aku keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Bukannya menemukan Mamak, aku malah melihat punggung seorang pria. Yang aku yakini adalah Mas Abhi. Siapa lagi orang yang berani masuk ke rumahku dan bahkan memindahkan ikan goreng dari wajan ke atas piring.

Mas Abhi belum menyadari keberadaanku. Aku memilih duduk sambil mengikat rambutku yang mencuat ke sana kemari.

“Mamak mana?” tanyaku kemudian meneguk habis air di dalam gelas.

Mas Abhi menengok dari balik punggungnya. “Oh! Udah bangun.”

“Ke warung, beli garam katanya,” lanjut Mas Abhi kemudian duduk di hadapanku.

“Mas.”

“Hmm?”

“Mas beneran enggak ada kerjaan, ya?” tanyaku sedikit mencondongkan tubuh ke depan.

“Ada, emang kenapa? Kamu takut aku enggak bisa nafkahin kamu?” Mas Abhi tersenyum geli.

Aku mengangkat sebelah bibirku ke atas. “Habisnya Mas datang mulu ke rumah, kalau enggak ke rumah ke toko, gue aja nih ya bosen lihat Mas Abhi.”

“Aku enggak.”

Dua kata itu membuatku diam. Aku harus balas apa? Ini di luar dugaan.

Tangan Mas Abhi kemudian terulur meraih gelas di hadapanku. Mungkin ia juga tidak ingin melanjutkan obrolan kami barusan.

“Kamu minum?” tanya Mas Abhi mengangkat gelas di tangannya.

Aku mengangguk. “Iya. Kenapa?”

“Ini bekas aku.”

Hah?

“Ihh! Kok enggak bilang?” protesku. Kalau aku minum bekas bibir Mas Abhi, secara tidak langsung aku ciuman dong sama dia.

“Kenapa jijik? Dulu juga kita makan sepiring berdua.”

Mataku melotot tak terima. “Jangan ngarang ya, Mas. Kita enggak pernah gitu.”

“Jangan pura-pura lupa, Dek. Kalau aku mau ke rumah, kamu selalu minta kita sepiring berdua biar Mamak enggak capek cuci piringnya.”

“Mas yang salah ingat. Jangan-jangan itu mantannya Mas Abhi. Pake bawa-bawa gue segala lagi.”

“Itu kamu, Dek.”

“Bukan!” teriakku belum terima.

Dicari bagaimanapun, aku tidak ingat pernah berbagi peralatan makan dengan Mas Abhi. Kecuali kalau itu saat aku masih SD.

“Kalian bahas apa sih? Suaranya sampai ke teras.” Mamak melewati meja makan sambil menenteng kantong kresek hitam.

“Ini Mak, masa Mas Abhi bilang aku pernah makan sepiring berdua sama dia,” aduku pada Mamak.

Mas Abhi menengok, menunggu Mamak yang tampak berpikir. Mungkin mengorek-ngorek ingatan beberapa tahun silam.

“Kayaknya sih pernah. Waktu itu Mamak minta kamu belajar cuci piring. Jadi, setiap Abhi main ke rumah. Kamu maksa Abhi sepiring berdua biar enggak banyak piring yang kotor.”

Mas Abhi kembali ke posisinya semula dengan senyum jemawa. Sialan! Ternyata Mas Abhi tidak bohong. Tapi, kenapa aku tidak ingat. Aku jadi mempermalukan diriku sendiri.

“Kenapa? Belum ingat juga?” tanya Mamak.

“Ngapain diingat-ingat, enggak penting. Iya kan, Mas?” Aku mengangkat daguku, menantang Mas Abhi.

Mas Abhi mengendikan bahu tak acuh. Rasanya kepalaku mendidih seketika.

***

Menjelang malam, Mas Abhi baru pulang. Jangan pikir Mas Abhi seharian di rumahku. Tidak. Jadi, setelah perdebatan sepiring berdua tadi pagi, Mas Abhi pamit karena ada yang harus diurus. Lalu menjelang sore, Mas Abhi datang lagi. Sehari dua kali, mungkin beberapa hari ke depan. Aku akan benar-benar muak melihat Mas Abhi.

Bahkan di saat ingin pulang pun, aku masih harus berdekatan dengannya. Aku bersikeras tidak ingin mengantarnya ke depan tapi lagi-lagi ada Mamak yang siap menceramahiku. Ini aku lakukan dengan sangat terpaksa.

Katanya, tuan rumah yang baik harus mengantar tamu pulang. Kalau begitu, kenapa bukan Papa atau Mamak sekalian yang menggantikan posisiku. Ahh, seandainya kalimat itu berani aku utarakan.

“Atri.”

“Apa? Mas, mending pulang sekarang deh.”

“Besok malam, kamu sibuk?” tanyanya tak peduli dengan perintahku.

“Iya.”

“Sibuk apa?”

“Mas Abhi mau ajak gue jalan, kan?” tebakku. Dan sudah kupastikan benar. “Gue enggak mau, Mas. Mau tiduran aja di rumah.”

Bukannya menunjukkan wajah memelas atau memohon-mohon untuk membujukku. Mas Abhi malah terkekeh geli.

“Kenapa ketawa?”

“Siapa yang mau ngajak kamu jalan?”

Pipiku mendadak menghangat karena malu. Aku segera mengalihkan pandanganku. “Terus kenapa nanya-nanya?”

“Mas mau ajak kamu ke rumah Ayah.”

Aku memberanikan diri mendongak menatapnya. “Bukannya itu sama aja ngajakin gue jalan?”

Senyum merekah Mas Abhi terbit. “Beda dong, adikku sayang.”

Mataku melebar saat Mas Abhi sekonyong-konyong mencubit pipiku gemas. Aku menepis tangannya, takut Mas Abhi melihat semburat merah di pipiku.

“Kebiasaan! Jangan pegang-pegang!” kataku memperingatkan.

“Iya, iya. Maaf, Dek. Terus tawaran Mas gimana. Mau enggak?”

Aku tidak butuh waktu lama untuk memutuskan. “Lain kali aja deh, Mas.”

Kalau aku terima ajakan Mas Abhi. Aku takut Om Damar salah paham tentang hubungan kami. Bisa saja Om Damar mengartikan kedatanganku sebagai jawaban atas lamaran Mas Abhi itu.

“Lain kali, kan? Itu namanya janji loh, Dek.”

Aku mengangguk saking malasnya meladeninya lebih lama. “Iyain aja deh biar cepet.”

“Ya udah, Mas pulang sekarang.”

Oh! Akhirnya pulang juga. Aku mengangguk semangat sambil melambaikan tangan mengantar langkah Mas Abhi mendekat ke mobilnya. Namun, senyumku perlahan memudar karena Mas Abhi terdiam disisi mobilnya. Tak berapa lama, Mas Abhi berbalik.

“Dek.”

“Apa lagi?” kataku karena Mas Abhi tak kunjung masuk ke mobilnya.

“Aku mau nanya.”

Aku memejamkan mata menahan emosi. Entah sudah berapa lama aku berdiri di sini.

“Nanya apa lagi sih, Mas?”

Mas Abhi melangkah menghampiriku. “Kemarin, kenapa kamu tiba-tiba pulang?”

Aku terdiam sebentar, mengendikan bahu lalu mengalihkan pandangan. Padahal aku mulai lupa kejadian kemarin, Mas Abhi malah membahasnya. “Pengen aja.”

“Jujur, Dek.”

“Ya udah kalau Mas enggak percaya,” kataku sedikit emosi.

“Kamu marah sama siapa?” Mas Abhi berusaha mendekat, berusaha menatap mataku.

Aku mengernyit. “Gue enggak marah sama siapa-siapa.”

“Aku kenal kamu.”

Kenal katanya? Aku tersenyum miring dan maju satu langkah. “Mas lupa ya kita pisah berapa tahun? Sembilan tahun, Mas.” Aku mengangkat sembilan jariku ke udara agar ia bisa menghitungnya sendiri kalau-kalau lupa bagaimana bentuk angka sembilan.

“Atri..” panggil Mas Abhi lembut.

“Banyak yang berubah. Gue bukan Atri yang Mas kenal sepuluh, dua puluh tahun yang lalu. Gue bukan lagi Atri yang manja dan selalu butuh bantuan Mas. Gue bukan Atri yang selalu bergantung sama Mas. Dan Mas Abhi,” aku menunjuk dadanya.

“Bukan lagi tempat gue untuk cerita semuanya. Jangan terjebak dimasa lalu, Mas. Mas harusnya sadar kalau Mas, gue dan keadaan di sekitar kita ini, semuanya udah enggak sama. Sembilan tahun itu bukan waktu yang sebentar, Mas!”

Mas Abhi menatapku dalam diam. Dan aku pun sama. Setelah kalimat itu keluar dari mulutku, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku lebih dulu memutuskan netra dan memutar tubuhku. Kakiku baru saja mengayun ketika tanganku ditarik hingga tubuhku tersentak ke belakang. Mata kami kembali bertemu namun yang berbeda posisi kami terlalu dekat. Aku bisa merasakan tangan Mas Abhi di pinggangku dan tangan satunya terangkat memegang pipiku. Dari matanya, aku tahu apa yang Mas Abhi inginkan. Aku tidak sepolos itu untuk bertanya apa yang akan Mas Abhi lakukan padaku.

Mas Abhi mendekatkan wajahnya perlahan, seakan memberiku pilihan menolak atau tetap diam menerima ciumannya. Lalu apa yang aku pilih? Aku juga sedang memikirkannya. Tetapi waktunya terlalu sedikit, bibir Mas Abhi semakin dekat.

Mungkin aku gila. Karena aku memilih diam dan memejamkan kedua mataku. Menunggu bibir itu segera mendarat. Mas Abhi merapatkan tubuhnya saat berhasil menciumku. Selama dua tahun bibirku suci tak tersentuh oleh pria mana pun. Aku tidak menyangka Mas Abhi yang akan memulainya lagi.

Ah! Aku benar-benar gila!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lamaran Kedua (11-15)
7
0
Happy reading.Bagi yang gak mau top Up coin. Bukanya lewat web, ya. Biar bayarnya bisa pake e-Wallet (shopeepay, dana, gopay, dll)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan