
[Novelet]
Chapter 1
Orang bilang, “Kalau kamu termasuk kaum good looking, setengah dari permasalahan hidupmu terselesaikan.”
Aku enggak akan bilang pernyataan di atas sepenuhnya benar tapi enggak sepenuhnya salah juga. Benar kenapa? Oke, aku jadiin diriku contoh. Dari kecil sampai duduk dibangku SMP, aku termasuk anak yang enggak peduli penampilan. Badan mekar, muka kucel, belum lagi kulitku yang sebenarnya putih jadi berubah karena sering terpapar sinar matahari.
Apa yang aku dapat? Cemoohan. Mirisnya kebanyakan ejekan tentang fisikku justru datang dari keluarga besar—Mama dan ayahku enggak termasuk. Di sekolah bagaimana? Satu yang pernah bikin aku sakit hati banget sampai akhirnya memutuskan berubah. Aku jatuh, lututku lecet tapi enggak ada yang niat bantu aku. Padahal di pinggir lapangan ada kakak kelas yang duduk santai, parahnya mereka malah ketawa.
Bukan masalah besar seandainya perlakuan mereka berakhir di situ. Sayangnya dilain waktu, aku lihat sendiri bagaimana teman aku yang memang terkenal cantik jatuh di tempat yang sama. Enggak ada yang ketawa, mereka bahkan berebutan bantu dia berdiri.
Dan sekarang, aku puas merasakan keuntungan menjadi perempuan cantik.
Mudah untukku berbaur dengan circle pertemanan baru. Hebatnya meski aku cuma diam, orang-orang yang akan datang dan mengajakku berkenalan. Di mana pun aku berada dan terlihat kesulitan, selalu saja ada orang yang membantuku dengan senyum merekah.
See? Masih mau bilang pernyataan di atas salah besar?
“Win, temen gue ngajak kenalan.”
Aku berhenti memoles lipstik saat Jessica menunjukkan room chat dengan temannya. “Tingginya berapa?”
“Kayaknya 165.”
“Skip!”
Bagi seorang Winaya Yusuf yang telah bertransformasi menjadi angsa cantik, memilah laki-laki adalah suatu keharusan. Termasuk tinggi badannya yang enggak boleh di bawah atau menyamaiku. Tinggi laki-laki yang kuidam-idamkan 180cm, dengan segala kriteria penunjang lain dan sampai detik ini belum kutemui.
“Dia ganteng kok, Win,” bujuk Jessica lagi.
“Enggak. Tingginya sama kayak gue. Kalau gue pak heels, tinggian gue jadinya.”
Jessica rupanya enggak nyerah namun aku buru-buru membungkam mulutnya. “Sekali enggak tetep enggak. Lo juga tau gue enggak ada minat pacaran sekarang.”
“Sini buat gue aja,” sela Laras yang tengah menyantap salad sayur yang kubawa untuknya.
Dua Minggu ini aku rutin membuatkannya untuk Laras yang sedang dalam upaya menurunkan berat badan. Sebagai sahabat, tentu aku mendukung penuh niat Laras karena aku pernah ada di posisinya. Aku mau dia enggak terus-terusan ngeluh soal berat badan atau bajunya yang makin mengecil sementara selama tiga tahun kuliah dia enggak ada usaha sama sekali.
Sebenarnya Laras enggak overweight, cuma badannya memang lumayan berisi dan dia paling enggak suka kalau ada tongkrongan cowok yang tiba-tiba ngejek fisiknya. Kalau sama aku, udah kumajuin cowok itu. Yang jadi masalah kalau Laras sendiri.
“Temen gue sukanya sama Wina, bukan sama lo, Ras,” kata Jessica.
Aku mencubit paha Jessica yang berada di bawah meja dan memperingatkannya melalui tatapan mata. Jessica dan mulut tajamnya adalah masalah.
“Sori, Ras.”
“Enggak apa-apa, lo bener juga sih,” ucap Laras lalu kembali menyuap salad ke dalam mulutnya.
Dimulut Laras bisa bilang enggak apa-apa, tapi aku tahu hatinya enggak. Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan agar suasana bisa sedikit cair. “Ras, ntar sore jadi kan gym-nya?”
Laras mengangkat kepalanya lalu mengulas senyum tipis. “Jadi, Win. Lo jemput, ya?”
Aku mengangguk.
“Gue enggak diajak?” sahut Jessica.
“Emang mau? Lo kan selalu nolak.”
“Basa-basi, lagian ngapain gue olahraga? Badan kurus begini.”
“Jes, lo salah kalau cuma nganggap olahraga cuman buat nurunin berat badan. Olahraga itu biar sehat.”
Jessica mengangkat bahu tak peduli. “Kapan-kapan aja gue ikutnya.”
“Kapan-kapannya lo itu bisa sampe tahun depan,” kata Laras.
“Enggak, ya! Gue ikut bulan depan,” janji Jessica.
Getaran ponselku yang berada di atas meja menarik atensi Jessica dan Laras, termasuk aku juga tentunya. Dari Mama. Tanpa mengangkat teleponnya, aku bergegas memasukkan iPad dan map ke dalam tas lalu meninggalkan uang di atas meja.
“Enggak lo angkat Win?” tanya Laras.
Aku menggeleng. “Gue emang ada janji sama nyokap, panggilan itu artinya gue mesti jalan sekarang. Gue duluan!” pamitku meninggalkan kantin.
Siang ini, aku sudah punya janji yang telah dibuat jauh-jauh hari dengan Mama. Menemaninya belanja bulanan. Mama sih bisa sendiri, tapi Mama tuh enggak suka kalau enggak ada yang nemenin. Enggak ada yang bisa diajak ngobrol katanya. Ya aku sih oke-oke aja, enggak ada kerjaan juga setelah kuliah.
Aku memasang helm lalu menaiki Vespa matic-ku. Tumben-tumbenan sebenarnya aku bawa motor, biasanya mobil Ayah. Itu karena dosen yang tiba-tiba memajukan jadwalnya, aku yang panik setengah mati langsung membawa motor tanpa pikir dua kali.
Sweater kukeluarkan dari tas dan memakainya untuk menutupi tanganku. Kulit yang telah kurawat susah payah enggak boleh gosong karena matahari. Selanjutnya masker, kacamata hitam, dan ... selesai!
Motorku melaju pelan membelah jalan hampir setengah jam. Beberapa meter lagi aku sampai, tapi malah dihadang lampu merah. Aku mendesah pasrah karena berhenti menantang sinar matahari yang hari ini entah kenapa teriknya minta ampun.
Tiba-tiba saja motorku dihantam dari belakang hingga aku tersentak. Untungnya enggak terlalu keras jadi nyawaku masih terselamatkan. Aku menengok cepat, ingin tahu siapa pelakunya.
Aku turun dari motor dan menghampiri mobil hitam yang berada tepat di belakang. Sedikit menunduk lalu mengetuk kaca mobilnya. Tidak lama, kacanya perlahan turun.
“Maaf, saya benar-benar enggak sengaja.”
“Mas, nanti ikutin motor saya. Saya mau ngomong,” potongku tanpa memerhatikan wajah si pengemudi tapi dari suaranya yang agak berat, mungkin dia pria dewasa.
Beruntung laki-laki yang menabrakku masih punya itikad baik, dia enggak kabur. Begitu motorku menepi, mobilnya juga ikut berhenti. Keluarlah seorang laki-laki dan mulutku yang masih tertutupi masker setengah terbuka setelah mengetahui tinggi laki-laki itu.
Aku enggak butuh penggaris atau alat apa pun itu untuk mengukur tinggi badannya. Yang aku tahu, tingginya benar-benar pas jika berdiri di sebelahku. Menurut perkiraanku, 180cm atau bisa jadi lebih dari itu. Belum lagi tubuhnya yang tampak kokoh dibalut kemeja hitam dan celana bahan hitam, kakinya jadi makin jenjang.
Wow!
Oh, tidak! Aku nyaris lupa niatku menceramahi laki-laki ini. Aku menggeleng demi mengembalikan kesadaranku.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya laki-laki itu.
Aku menggeleng lalu melepas helm sementara laki-laki kembali bersuara.
“Saya benar-benar minta maaf atas kejadian barusan. Mungkin kamu enggak akan percaya tapi sa—”
Kalimatnya menggantung begitu aku melepas masker dan kacamata hitamku. Alisku terangkat, mempersilakannya melanjutkan.
“Saya akan ganti kerugian motor kamu,” lanjutnya.
Aku mendongak dengan mata menyipit karena sinar matahari. “Enggak usah. Saya berhentiin Masnya bukan masalah biaya atau ganti rugi tapi gimana seandainya hantamannya jauh lebih keras? Bukan cuma motor saya yang lecet, sayanya juga. Mas, tolong ya lain kali hati-hati.”
Laki-laki itu mengangguk. “Sebentar,” katanya lalu berlari menuju mobilnya dan kembali dengan sobekan kertas di tangannya. “Kamu bisa hubungi saya dinomor ini, saya akan ganti kerugiannya.”
“Mas, tadi saya udah bilang enggak,” tolakku.
“Akan tetap saya ganti. Tolong hubungi saya begitu kamu bawa motor kamu ke bengkel.” Laki-laki itu menarik sebelah tanganku tanpa izin dan menaruh potongan kertas tadi. “Sekali lagi saya minta maaf. Saya harus pergi sekarang.”
Aku menengok nomor yang ada pada kertas saat laki-laki itu telah menghilang dari pandanganku kemudian membuangnya. Walaupun dia ganteng, tinggi, sayangnya dia enggak bisa hati-hati di jalan. Skip!
Chapter 2
Tuhan itu adil, aku sudah punya wajah cantik makanya enggak dikasih otak yang encer. Yap! Dalam bidang akademik, aku biasa aja. Bukan mahasiswi yang menonjol, tapi enggak bego-bego amat juga. Kalau dijelaskan, aku ngerti. Cuman kalau dikasih soal yang susah, ya aku angkat tangan deh.
Tapi bukan itu alasanku harus mengulang salah satu mata kuliah di semester tiga. Kehadiranku yang enggak mencukupi adalah alasan satu-satunya. Kalau soal tugas dan ujian, aku masih punya kesadaran untuk mengerjakan walaupun pekerjaan sampinganku sebagai selebgram lebih menjanjikan.
Iya, kan?
Seandainya bukan karena Ayah, aku sudah lama berhenti. Sebagai seorang dosen, beliau memang menjunjung tinggi pendidikan. Kalau aku? Mending bikin konten atau terima endorse-an, dapat duit. Daripada kuliah, capek iya, keluar duit iya.
Aku menghela napas bersamaan dengan bokongku yang mendarat di kursi. Paling belakang, berjejer dengan para lelaki. Tapi ada sesuatu yang aneh. Menurut pengalamanku selama kuliah, biasanya kalau datang terlambat dan Prof. Husain belum datang, aku bakal kebagian kursi dibaris pertama atau kedua.
Hari ini enggak. Semua barisan depan terisi mahasiswi. Apa jangan-jangan mereka enggak tahu gimana membosankannya Prof. Husain membawakan mata kuliahnya? Ah, bisa jadi. Tapi, ada kemungkinan lain yang tiba-tiba terlintas di kepalaku. Dosen baru?
“Selamat siang.”
“Siang, Pak!”
Itu bukan Prof. Husain yang rambutnya hampir semuanya memutih. Laki-laki yang sudah jelas dosen itu bertubuh tegap, tinggi, dan kokoh. Satu lagi, tampan. Dan laki-laki itu—ah, bukan. Maksudku dosen itu adalah laki-laki yang kemarin menabrak motorku dari belakang!
Kebetulan macam apa ini?!
Aku buru-buru menunduk, takut tatapanku bertemu dengannya. Bisa gawat kalau dia tahu perempuan kurang ajar yang kemarin ternyata mahasiswinya. Bisa-bisa dia mempermalukan di depan para juniorku.
Perkenalannya memakan waktu cukup lama sampai leherku sakit karena terus menunduk. Dan sekarang aku tahu namanya. Daniel Adhitama. Pak Daniel benar menggantikan Prof. Husain yang akhirnya memilih berhenti karena sudah cukup usur. Kenapa aku enggak tahu, ya? Aku banyak ketinggalan berita.
“Oke. Bisa saya absen sekarang? “
“Bisa, Pak!”
Seandainya tabrakan kemarin enggak terjadi, mungkin aku juga akan sama semangatnya dengan mahasiswi dalam ruangan ini. Bahkan aku akan merencanakan strategi detik itu juga untuk mendekatinya.
Ya, seandainya.
“Yang mana orangnya?” Suara Pak Daniel agak meninggi.
Laki-laki di sampingku tiba-tiba menepuk bahuku. “Nama Kakak tuh yang dipanggil.”
“Hah? Gue?” Aku spontan mengangkat kepala dan tanganku bersamaan. Dan ... saat itulah mata kami bertemu. Sial! Muka Pak Daniel kentara sekali kalau dia kaget.
“S-saya, Pak,” cicitku.
Hebatnya, ekspresi Pak Daniel telah berubah datar dan biasa saja. “Tolong fokus kecuali kamu mau mengulang untuk kedua kalinya.”
“Iya, Pak.”
Sifatnya 180% berbeda dengan yang kemarin. Aku jadi curiga mereka bukan orang sama.
**
“Aa! Pak Daniel!” seru Jessica begitu selesai mendengar ceritaku dari awal pertemuan hingga yang baru saja terjadi.
“Lo tau?” tanyaku sambil menikmati potongan berbagai macam buah yang memang kubawa hari ini. Laras yang duduk di sebelahku juga sedang menikmatinya.
“Tau, lah! Jurusan ekonomi bisnis akhirnya kedatangan dosen cakep setelah sekian lama cuman diisi sama dosen lanjut usia, perempuan, kalaupun ada yang muda, dianya udah nikah.” Jessica mendesah. “Harusnya gue ngulang juga biar bisa kenalan sama Pak Daniel.”
Aku mendecakkan lidah sambil geleng-geleng. “Inget Rangga, Jes.”
“Gue cuman niat kenalan, Win. Tapi kalau Pak Daniel pengen serius, ya ayo.”
“Rangga bakal ngamuk lagi kalau denger lo ngomong gitu.”
Hubungan Jessica dan pacarnya itu memang agak unik, menurutku. Jessica itu cepat akrab sama orang, termasuk laki-laki. Sedangkan Rangga adalah laki-laki yang cemburuan parah. Setiap ada masalah atau bertengkar, Jessica akan meminta putus dan Rangga tanpa ragu mengiakan. Tapi enggak cukup seminggu, mereka akan mengunggah foto berdua dengan caption mirip ABG yang baru kenal cinta.
Masalahnya aku dan Laras yang kadang capek denger curhatan Jessica tentang Rangga yang enggak ada habisnya pas mereka marahan. Bayangin aja, mereka pacaran dari awal kuliah dan sejak itu pula aku dan Laras jadi buku diary-nya.
“Win, kan bukan lo yang salah. Kenapa lo yang seakan-akan ngindarin Pak Daniel?” tanya Laras tiba-tiba.
Aku mengabaikan Jessica yang kini tengah video call dengan sang kekasih lalu menjawab Laras. “Kemarin gue enggak sopan banget sama dia, Ras.”
“Wajar dong! Dia yang nabrak.”
Aku menghela napas lalu bersandar ke sandaran kursi. “Iya, sih, tapi tetep aja aneh. Kalau gue bisa ngindar, mending ngindar deh.”
“Emangnya dia galak pas di kelas?” tanya Laras lagi.
Adegan di mana Pak Daniel masuk, memberiku peringatan karena sempat enggak mendengarnya, dan caranya membawakan materi, secara otomatis terputar di kepalaku. Sejujurnya, aku enggak masalah sama cara mengajarnya.
Penyampaiannya jelas dan enggak bertele-tele, tapi di saat yang bersamaan Pak Daniel juga tegas. Pak Daniel enggak segan-segan tegur mahasiswanya yang berisik atau enggak memerhatikannya. Jadi, mau dibilang galak juga enggak. Dibilang baik juga enggak.
“Emm, bukan galak tapi tegas. Kayaknya?” kataku ragu. Aku susah menilainya karena selama Pak Daniel mengajar, pikiranku melayang entah ke mana. Belum lagi usahaku menghindar biar netra kami enggak ketemu.
“Sayangnya lo tetap ketemu Pak Daniel seminggu sekali.” Laras mengingatkan.
“Anggap aja itu pengecualian, yang penting di luar kelas atau kampus gue enggak ketemu lagi sama dia. Papasan aja jangan deh.”
“Tadi itu doa?”
Aku mengangguk. Mudah-mudahan didengar sama Allah walaupun aku bukan hamba yang selalu taat.
Laras mencondongkan tubuhku ke arahku dan berbisik, “Kayaknya doa lo enggak terkabul, Win.”
“Kenapa?”
“Nengok, Win.” Laras masih berbisik.
Aku mengernyit namun tetap mengikuti perintahnya. Aku memutar tubuhku ke belakang dan menemukan orang yang sangat enggak ingin aku lihat. Pak Daniel baru saja masuk ke kantin, langkahnya tanpa ragu, dan kedua matanya memindai ke segala penjuru kantin.
Belum sempat kembali ke posisiku semula, mata kami malah bertemu. Tatapan kami terkunci selama beberapa detik, untung aku cepat sadar dan buru-buru mengalihkan pandangan.
Ah, sialan!
Chapter 3
Sukses!
Aku berhasil menghindari Pak Daniel. Saat Pak Daniel sedang memesan makanan, aku buru-buru pamit pada dua temanku dan keluar dari kantin. Sebaiknya aku pulang daripada berkeliaran di kampus dan kemungkinan bisa papasan lagi sama Pak Daniel.
Cukup seminggu sekali, enggak perlu lebih dari itu.
Aku mengembuskan napas lega saat duduk di dalam mobil. Tanpa menunggu lebih lama, aku memasang sabuk pengaman lalu.. “Arghh!”
Ketukan di jendela mobilku mengagetkanku. Aku memegang dadaku sambil menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Jendela mobilku kembali diketuk, jadi aku menoleh tajam. Tatapanku yang tadinya penuh permusuhan berubah saat tahu siapa pelaku yang membuat jantungku hampir lepas. Pak Daniel!
Mau apa dia?
Pak Daniel kembali bersiap mengetuk jendela namun aku cepat-cepat menurunkan kaca jendelanya. Pak Daniel menunduk hingga mata kami nyaris sejajar. Wah! Dilihat dari dekat, aku akui Pak Daniel makin tampan.
“Bisa keluar sebentar? Saya mau bicara.”
Aku mengernyit. “Soal apa, ya, Pak?” tanyaku hati-hati. Status Pak Daniel sekarang adalah dosenku, bukan lagi orang asing yang menabrak motorku. Mulutku harus hati-hati kalau enggak mau mengulang dua kali.
“Tentang yang kemarin. Kamu bisa keluar, kan? Orang mungkin akan salah paham lihat posisi saya.”
“Oh!” Aku melepas sabuk pengaman dan mengikuti perintahnya. Aku juga enggak mau jadi bahan gosip. “Maaf, Pak.”
Pak Daniel mundur selangkah lalu meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Kalau enggak salah ingat, kemarin saya kasih kamu kontak yang bisa kamu hubungi.”
Aku mengangguk.
“Kenapa kamu enggak hubungin saya?” tanya Pak Daniel.
“Itu.. biayanya enggak besar kok, Pak. Jadi, enggak perlu,” kataku sambil memaksakan mengulas senyum.
Pak Daniel mengernyit dengan mata menyipit lalu menggeleng. “Enggak. Walaupun kecil, saya harus tetap bayar. Itu salah saya.”
Ini orang kok maksa? Harusnya kan dia seneng pihak korban enggak minta ganti rugi atau nuntun dia. Ditolak dua kali, masih aja ngotot. Heran. Aku mesti bilang apa lagi biar Pak Daniel mengerti dan enggak bahas masalah tabrakan itu lagi?
“Jadi, berapa?”
Aku melirik beberapa mahasiswa yang lalu lalang di sekitar kampus dan mereka secara terang-terangan melihatku dan Pak Daniel. Kalau makin lama, bisa-bisa aku beneran digosipin. Aku sudah trauma dengan gosip setahun lalu, tentang aku yang dekat dengan dosen yang telah beristri. Kali ini enggak lagi.
“Nomer kamu.”
“Hah?” Aku melongo. Aku enggak salah dengar, kan? Jadi, Pak Daniel enggak nanya berapa biaya perbaikan motorku, tapi nomorku? Ini orang yang sama dengan dosen tegas yang tadi mengajar di kelas, kan?
“Bapak ...” Aku menggeleng sambil memejamkan mata. “Maaf, Bapak tadi ngomong apa? Kayaknya saya salah denger.”
Pak Daniel mengeluarkan ponsel dari saku belakang celananya. “Saya minta nomor kamu. Bisa?”
“Buat apa, ya, Pak?” Aku belum ada niat menyambut ponselnya.
“Urusan motor kamu masih harus kita bicarakan, tapi saya harus masuk sekarang. Jadi, saya minta nomor kamu biar komunikasinya gampang.”
Di kepalaku seakan-akan ada yang terus berteriak, enggak! Tapi masalahnya dengan alasan apa lagi aku bisa menolaknya? Aku makin merasa terdesak dengan tatapan penuh rasa ingin tahu mahasiswa yang terus lewat.
“Ya udah deh, Pak.” Aku mengambil ponsel Pak Daniel dan mengetik nomorku di sana. Emm, bukan nomorku sih sebenarnya. Nomor yang kuberikan pada Pak Daniel adalah nomor khusus untuk orang-orang yang ingin menggunakan jasa endorse-ku. “Nanti saya kasih tau biayanya berapa,” kataku mengembalikan ponselnya.
Pak Daniel mengangguk-angguk sambil menatap layar ponselnya. “Ini bukan nomor kamu.”
Pak Daniel enggak bertanya, tapi lebih ke menuduh. Pak Daniel mengangkat pandangan lalu beralih ke ponsel yang kupegang. “Lihat,” katanya sambil menunjukkan layar ponselnya padaku. “Hape kamu enggak nyala.”
Ketahuan! Aku meringis dan pelan-pelan menyembunyikan ponselku ke belakang tubuhku. “N-nomor saya emang ada dua, Pak.”
“Kalau gitu, tulis juga yang satunya.” Pak Daniel dengan santainya mengulurkan ponselnya lagi.
“Saya lebih sering pake yang itu kok, Pak.”
“Ini akun bisnis.”
Kira-kira seperti itulah hingga akhirnya aku memberikan kedua nomorku pada Pak Daniel dan sejujur-jujurnya, itu pun dengan sangat terpaksa. Entah apa yang akan terjadi padaku dan dosen yang kuharapkan hanya bertemu seminggu sekali itu.
**
Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan bersiap bekerja. Barang endorse-ku enggak banyak sih kali ini, cuma aku enggak suka kalau ada barang numpuk di kamar. Mumpung aku ada di rumah dan enggak ada panggilan jalan, lebih baik kukerjakan sekarang.
Selesai mandi, aku terlebih dahulu turun ke dapur. Buah yang kumakan tadi enggak ada rasanya sama sekali di perutku. “Mbak, siang ini masak apa?”
Mbak Sari, perempuan bertubuh mungil berusia 27 tahun yang sudah bekerja 5 tahun di rumahku, menengok dan mengulas senyum. Mbak Sari menghentikan kegiatan cuci piringnya dan membuka tudung saji di meja. “Karena Mbak tau kamu pulang cepet, Mbak buatin ikan bakar. Terus sayur kangkungnya, minyak buat numisnya cuma sesendok.”
Karena sudah lama bekerja di rumah, aku memang cukup dekat dengan Mbak Sari. Aku juga yang minta biar Mbak Sari enggak manggil aku Non. Meski awalnya Mbak Sari nolak, tapi aku juga enggak menyerah bujuk Mbak Sari hingga akhirnya mau.
Aku menarik kursi dan duduk di sana. “Makasih, Mbak.”
Sedikit banyak, Mbak Sari tahu kebiasaan makanku. Sejak mendapatkan tubuh yang aku idam-idamkan, aku menjaga ketat asupan kalori yang masuk. Aku enggak mau balik ke masa di mana cuma bully-an yang kudengar.
Sayangnya, orang-orang yang lihat luarnya saja tanpa tahu usaha yang aku lakukan, kadang bikin aku cuma meringis. Mereka selalu menganggap tubuhku sudah begini adanya dari kecil, menganggap aku beruntung, dan segala macam. Padahal usahaku juga enggak main-main.
Rutin olahraga, hitung kalori makanan perhari, cheating day cuma sehari seminggu di mana aku bisa makan makanan tinggi kalori kesukaanku. Kayak martabak yang kalorinya bisa sampai 400 lebih untuk telur dan manis 200 lebih. Dan bakal nambah kalau topingnya ditambah. Minuman manis dengan tambahan cream di atasnya.
Ah, jadi pengen.
“Mbak, udah makan?” tanyaku ketika Mbak Sari kembali ke wastafel.
Mbak Sari menengok sembari tersenyum. “Nanti aja.”
“Sekarang aja sama aku, Mbak. Sini.”
“Ini belum beres.”
“Kalau yang itu bisa nanti aja.”
Mbak Sari akhirnya menurut dan duduk bersamaku. Ini kan enak. Makan bersama. Bukan maksudku enggak pernah makan bareng Ayah dan Mama, tapi karena Ayah lebih sering sibuknya jadi Ayah jarang makan di meja sama-sama. Tapi aku ngerti kok posisinya Ayah.
Di tengah obrolan ringanku bersama Mbak Sari, tiba-tiba ponsel yang kuletakkan di meja makan bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.
Ini saya, Daniel.
💄💄💄
Hai, hai!
Cerita ini sebenarnya aku tulis pas Movember kemarin selesai. Tiba-tiba ngide nulis ini, eh keterusan jadi 10 chapter. Ya udah, daripada enggak ada yang baca sekalian aku upload aja.
Rencananya sih cerita ini enggak kubikin sampai 40 atau 50 chapter. Karena judulnya novelet jadi paling 20an chapter.
Semoga kalian suka❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
