Istri Adik Iparku Yang Kegatelan

1
0
Deskripsi

"Jadi sebenarnya perempuan inilah alasan kamu berubah kasar padaku, Bang? Pantas saja kamu selalu membela dan memujinya di depanku. Kurang apa aku jadi istrimu, Bang? Aku selalu mengalah dan meminta maaf untuk kesalahan yang sama sekali tak kubuat hanya demi menghindari pertengkaran denganmu. Tapi ini balasanmu?"

 

Aku kemudian beralih pada Adel, wanita yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku ingin menghajarnya. Aku ingin membuatnya merasakan sakit yang kurasakan. Tapi Adel sigap menghindar dan...

Istri Adik Iparku Yang Kegatelan

 

##Bab 1 Istri Adik Iparku Menggoda Suamiku

"Bang Galih, ini aku bungkusin kue buatanku untuk Abang. Kata suamiku rasanya enak sekali jadi Abang juga wajib coba. Aku yakin setelah mencobanya, Abang suka dan ketagihan sama rasanya," ucap Adel, istri dari adik lelaki suamiku sambari menyodorkan sebuah kotak kue dengan senyum manis yang menurutku terlalu berlebihan.

 

Aku memperhatikan ekspresi wajahnya dengan seksama. Mata Adel berbinar penuh harap seolah menunggu pujian dari suamiku. Ini bukan pertama kalinya dia menunjukkan perhatian yang menurutku kelewat batas. Aku sudah sering melihat caranya bersikap manis di hadapan Bang Galih dan jujur saja aku tidak menyukainya.

 

Namun seperti biasa aku hanya bisa diam. Aku tak cukup berani untuk menegurnya secara langsung. Aku tahu jika aku berbicara sembarangan dan Adel merasa tersinggung. Bukan tak mungkin aku yang disalahkan. Keluarga suamiku terlalu membelanya. Jika aku memulai keributan aku yang akan dicap sebagai istri cemburuan dan terlalu sensitif.

 

"Ok, nanti Abang makan setelah sampai di toko. Terimakasih banyak ya, Del!" balas suamiku dengan nada ringan sambil menerima bungkusan kue itu.

 

Aku mengepalkan jemari di balik punggung. kenapa sih harus diterima? Kenapa Bang Galih tidak sedikit saja menjaga perasaanku? Mungkinkah aku sama sekali tak berharga di matanya sampai tanpa perasaan dia menerimanya tanpa mempertimbangkan perasaanku.

 

"Sama-sama,Bang. Nanti kalau Abang suka aku bakal buatin tiap hari buat Abang," ujar Adel dengan senyum menggoda. Matanya melirik kearahku seolah ingin melihat reaksiku.

 

Aku mencoba menahan diri. Menegakan bahu agar tak terlihat lemah. Tetapi cara Adel berbicara dan ekspresi wajahnya benar-benar seperti sedang menantangku.

 

"Baik banget kamu, Del. Enggak salah kalau adikku cinta banget sama kamu. Bahkan ibuku setiap hari juga memujimu sebagai menantu sempurna. Udah cantik, baik, perhatian lagi sama keluarga suami," puji suamiku.

 

Kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk dadaku.

 

Aku menatap Bang Galih. Berharap dia sadar betapa kata-katanya telah melukai hatiku. Tapi tidak, dia tampak begitu santai seolah ucapan itu hanyalah basa-basi belaka. Sedangkan Adel? Dia tertawa kecil, suara tawanya terdengar begitu manja dan menjijikan di telingaku.

 

Tak hanya itu, dengan seenaknya, dia meletakan tangannya di lengan suamiku seperti sengaja mempertegas keberadaannya.

 

"Ah, Bang Galih bisa aja mujinya. Jujur, aku ngelakuin semua ini karena prihatin sama keadaan Abang. Ada istri pun seperti enggak terurus. Uang nafkah aja dituntut banyak, tapi malas belajar masak!"

 

Darahku berdesir.

 

Jantungku berdegup sangat kencang. Amarah mulai menguasai pikiranku. Mataku menatap tajam ke arah Adel, yang masih memasang ekspresi tanpa dosa.

 

Aku menarik napas dalam.Mencoba mengontrol emosi yang hampir meledak. Tapi kali ini aku tak bisa diam saja.

 

"Del, dari pada repot-repot terus-terusan mengasihani suamiku, mending kamu urusin dulu rendaman bajumu yang sudah dua hari menuhin kamar mandi. Kudengar tadi pagi Rudi ngomel karena sudah kehabisan baju dan celana bersih. Cuci sekarang sana!"

 

Adel terdiam seketika. Wajahnya yang semula penuh percaya diri langsung memerah, campuran antara malu dan amarah. Aku bisa melihat bagaimana tatapannya berubah. Tapi aku tidak peduli. Dia yang lebih dulu menyinggungku dan aku sudah lama menahan diri.

 

Dengan mendengus kesal Adel berkata, "Ya udah, aku pamit nyuci dulu ya, Bang Galih. Jangan lupa dimakan kuenya, biar aku enggak kecewa!"

 

Suamiku tersenyum kecil. "Iya, tenang aja. Abang pasti makan sampai habis kok!"

 

Aku memandang suamiku dengan kecewa. Kenapa dia justru memberi Adel ruang untuk terus bersikap seperti ini? Apa dia benar-benar tidak menyadari niat tersembunyi di balik perhatian berlebihan Adel?

 

Begitu Adel pergi aku segera menghampiri suamiku dan mencoba mengambil kue dari tangannya. "Bang, sini kuenya biar aku buang aja. Aku kesel banget sama Adel yang kelihatan banget haus pujian. Bukannya ngurusin suami sendiri malah sibuk ngurusin suami orang!"

 

Namun, suamiku dengan sigap menepis tanganku. "Gila kamu ya, mau buang-buang makanan! Udah mending ada yang kasih makanan. Bukan terimakasih malah marah. Aneh banget sih jadi orang!" bentaknya dengan nada tajam.

 

Aku terkejut. Aku tidak menyangka reaksinya akan sekeras itu.

 

"Bang, kalau Abang suka kue bilang aja sama aku. Biar besok-besok aku buatin. Jangan malah nerima kue dari Adel. Dia itu kayak caper banget sama Abang. Aku enggak suka!"

 

Aku akhirnya mengungkapkan perasaanku. Berharap suamiku mengerti. Tapi ternyata harapanku sia-sia.

 

"Wajar kan kalau ada seorang wanita yang baru menikah caper karena ingin disayang keluarga suami? Kamu itu tidak seharusnya membenci dan menuduh Adel yang bukan-bukan. Justru kamu harus banyak belajar dari dia biar ibu lebih bisa nerima kamu sebagai menantu. Paham?" ucap suamiku kemudian pergi menuju mobilnya.

 

Aku terdiam.

 

Aku memandang suamiku dengan pandangan nanar. Mencoba mencerna kata-katanya.

 

Belajar dari Adel? Biar lebih diterima oleh ibu mertua?

 

Aku menahan nafas. Menundukkan kepala dan menahan pedih yang terasa menusuk di hati. Bang Galih tidak mengerti atau mungkin tidak peduli.

 

Aku tidak pernah menolak untuk dekat dengan ibu mertuaku. Aku sudah berusaha berkali-kali tetapi dia sendiri yang menolakku. Baginya memiliki menantu miskin adalah aib.

 

Lantas, aku harus berbuat apa?

 

Tepat ketika aku berusaha menguatkan diri. Sebuah suara yang begitu menyebalkan kembali terdengar.

 

"Mbak, aku denger semua pembicaraanmu dengan Bang Galih. Bisa-bisanya ya kamu ingin buang kue pemberianku! Untung saja Bang Galih enggak mau nurutin permintaan kamu. Jujur, aku puas banget denger jawaban Bang Galih tadi!"

 

Aku menoleh dan mendapati Adel berdiri tak jauh dariku dengan tatapan penuh kemenangan.

 

Aku mengepalkan tangan. "Orang haus perhatian kayak kamu enggak heran kalau suka sekali menguping pembicaraan orang!"

 

Adel terkikik kecil, "Aku enggak nguping, Mbak. Tadi enggak sengaja aja denger," ujarnya dengan tatapan merendahkan. Kemudian dia menatapku tajam dan menambahkan, "Mbak, dari ucapanmu tadi ke Bang Galih, kelihatan banget kalau sebenernya kamu takut Bang Galih berpaling ke aku. Kenapa, Mbak? Mbak sudah ngerasa enggak layak lagi buat Bang Galih yang makin hari makin sukses ya? Bagus lah kalau Mbak sadar diri!"

 

Aku membelalak.

 

"Aku sudah lama banget berusaha sabar sama sikap kamu yang kurangajar. Bisa tolong sedikit jaga mulutmu atau tidak?" bentakku. Hampir saja aku tak bisa menahan diri untuk tidak menampar mulut jahat wanita di depanku.

 

"Jaga mulutku? Buat apa? Semua orang di rumah ini tahu kamu enggak diinginkan. Kalau aku jadi kamu, aku angkat kaki aja dari pada terus jadi beban!"

 

Setelah puas menghinaku Adel berbalik pergi sebelum aku sempat membalas.

 

Aku berdiri di tempat.

 

Hatiku terasa sesak

 

Ya Tuhan, dengan cara apa aku harus melawan kejahatannya sedangkan suamiku dan kedua orangtuanya ada di pihak wanita jahat itu?

 

## Bab 2 Dibenci Mertua

“Mbak Nara, Mbak habis nangis? Kok matanya sembab begitu?” tanya Sofia, adik perempuan suamiku yang baru beberapa hari lalu lulus SMA. Dalam rumah ini hanya dia yang memperlakukanku dengan baik. Mungkin karena alasan itulah aku cukup dekat dengannya.

 

“Aku Cuma lagi kangen sama Almarhum Ibu dan Ayah,” jawabku berbohong. Namun sesuai dugaanku Sofia tak langsung mempercayai jawabanku.

 

“Mbak, kalau ada masalah lebih baik cerita saja ke aku. Siapa tahu bisa sedikit mengurangi beban Mbak Nara. Aku tahu Mbak menderita tinggal di rumah ini. Maaf ya Mbak kalau keluargaku selalu memperlakukan Mbak dengan tidak baik.” Sofia menggenggam tanganku seolah menyalurkan kekuatan untukku yang tengah terluka. Aku selalu terharu dengan kebaikan wanita itu padaku.

 

“Kamu enggak perlu minta maaf Sofia. Ini bukan salah mu atau pun keluargamu. Menantu miskin sepertiku memang tidak ada gunanya. Aku paham kenapa mereka tidak mau menerimaku,” air mataku mengalir semakin deras. Sungguh aku menangis bukan karena ingin di kasihani Sofia. Aku juga berusaha menghentikannya agar Sofia tak perlu melihatnya. Namun tetap tidak bisa.

 

“Mbak Nara jangan bilang begitu. Enggak baik. Menurutku Mbak itu kakak ipar paling baik yang pernah ada. Mbak tulus mengabdi di rumah ini. Cuma orang-orang disini saja yang enggak sadar atau pura-pura buta!”

 

Mendengar ucapan Sofia rasanya aku mendapat sedikit kekuatan. Aku mulai berpikir untuk menceritakan masalahku kepadanya. Aku ingin meminta solusi pada Sofia bagaimana caranya menghadapi wanita jahat seperti Adel. Namun sebelum sempat melakukannya tiba-tiba ibu mertuaku muncul dengan wajah sangarnya.

 

“Kamu kok mau-maunya dengerin curhatan perempuan cengeng ini Sofia? Dia itu selain bisa nangis dan mengeluh bisa apa lagi?” suara ibu mertuaku terdengar dingin tanpa perasaan. Hatiku yang tadi sedikit membaik tiba-tiba kembali remuk. Airmataku pun semakin deras mengalir membuat ibu mertuaku semakin muak.

 

“Bisa diam enggak kamu? Tiap hari kerjaannya Cuma nangis! Enggak capek apa?” bentaknya, membuatku semakin ketakutan.

 

“Bu, bisa enggak jangan kasar-kasar sama Mbak Nara? Salah apa dia sebenernya sama Ibu sampai Ibu begitu membencinya?” Sofia langsung berdiri di depanku seperti biasa menjadi pelindungku. Bagiku dia jauh lebih membelaku dibanding suamiku sendiri.

 

“Kamu masih tanya kesalahan Nara apa, Sofia? Kamu sendiri tahu Ibu dan Ayah paling benci sama orang miskin! Coba saja Nara selevel dengan keluarga Adel, Ibu pasti enggak akan pernah membencinya!”

 

Meski ucapan itu bukan pertama kalinya keluar dari mulut mertuaku tetap saja terasa menampar telingaku. Aku terlahir di keluarga miskin juga bukan kemauanku. Namun meski begitu aku tak pernah malu dan menyesal karena meski kedua orang tuaku miskin, tapi mereka begitu bekerja keras membesarkan ku hingga aku bisa lulus kuliah dan bekerja di perusahaan ternama sebelum menikah dengan Bang Galih. Sayang sekali baru sebentar bekerja, orangtuaku meninggal karena sebuah kecelakaan. Dan saat aku terpukul dengan kepergian orangtuaku, aku dikenalkan dengan Bang Galih oleh keluarga pamanku. Bang Galih yang nampak baik dan begitu perhatian denganku membuatku luluh dan setuju untuk menikah dengannya. Dan beberapa bulan setelah pernikahan kami, Bang Galih membujukku untuk berhenti bekerja. Bodohnya, aku setuju saja dengan permintaannya.

 

Seandainya saat awal menikah aku tidak berhenti bekerja, aku yakin aku bisa mengumpulkan banyak uang dan membuat bangga keluarga suami. Sayang sekali penyesalanku tidak berarti lagi. Sekarang aku Cuma menjadi seorang istri yang hanya bisa mengandalkan uang suami untuk bertahanhidup.

 

“Bu, kok tega sih selalu ngomong kayak gitu? Bukannya sebelum Ayah sukses dengan toko bangunannya, kita juga pernah hidup serba kekurangan? Ibu lupa atau pura-pura lupa masalalu kita?” Sofia membalas dengan nada tinggi, tak habis pikir dengan pemikiran ibunya.

 

“Justru karena Ibu pernah merasakan susahnya hidup miskin, Ibu enggak mau lagi hidup dalam kesusahan! Kalau saja dulu Galih mau menerima perjodohan dengan anak teman ibu yang punya toko emas, hidup kita pasti lebih terjamin!”

 

Sofia menggelengkan kepalanya. Tampak kecewa dengan ibunya sendiri.

 

“Mbak, kita ke kamar aja yuk. Kalau di sini terus, bisa ketularan gila kita nanti!” ajaknya setengah berbisik.

 

“Dasar anak kurangajar! Otakmu sudah dicuci ya sama si miskin ini sampai-sampai berani bicara begitu sama Ibu!” teriak ibu mertuaku. Dia baru saja ingin berdiri dari sofa ketika Adel datang memperburuk suasana.

 

“Ya ampun, Bu. Ibu kan punya darah tinggi jadi jangan marah-marah begini. Nanti darah tinggi Ibu kumat loh!” ujar Adel kemudian menoleh ke arahku dan Sofia.

 

Lalu dengan wajah menyebalkan dia berkata, “Kalian ini enggak bisa ya bicara lebih lembut sama Ibu? Kalau darah tinggi ibu kumat siapa yang mau tanggungjawab?”

 

Setelah puas mencibir, Adel mulai merayu ibu mertuaku agar menjauh dari kami.

 

“Udah, kita ke kamar aja ya, Mbak. Enggak usah dengerin orang-orang zalim itu,” Sofia menarik tanganku dan aku menurut. Kami pun masuk ke kamar, di mana Sofia terus menghiburku hingga jam menunjukan pukul satu siang.

 

Tiba-tiba suara ibu mertuaku terdengar lantang mengagetkan kami.

 

“Sofia, makan!”

 

Sofia pun mengajakku ke meja makan. Aku ingin menolak dan memilih makan sendiri setelah semuanya selesai tapi Sofia terus memaksa.Akhirnya aku berani mengikuti langkahnya.

 

Saat sampai di meja makan aku melihat hanya ada Ibu dan Ayah mertuaku saja.

 

“Loh, kok Cuma ada Ibu dan Ayah? Mbak Adel mana? Kok enggak ikut makan?” tanya Sofia sambil mencentong nasi.

 

“Ibu menyuruhnya mengantar nasi ke toko buat Galih. Kasihan punya istri tapi kayak enggak punya istri. Semua serba sendiri!”

 

Aku tersentak. Seketika dadaku terasa sesak.

 

“Bu, kenapa enggak nyuruh aku saja? Mas Galih itu suamiku, bukan suami Adel,” ucapku. Untuk pertama kalinya berani protes.

 

Ibu mertuaku melirikku dengan tatapan merendahkan.

 

“Lah, kerjaan kamu Cuma ngurung diri di kamar. Enggak ada inisiatif sedikit pun buat ngurus suami. Lihat tuh Adel, meski lebih muda dari kamu dia lebih bisa merawat suami dibanding kamu!”

 

Ucapannya membungkamku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

 

Sofia yang geram akhirnya ikut bicara. “Bu, Ibu nyuruh Mbak Adel nganter makanan ke Bang Galih apa enggak takut Bang Rudy salah paham? Kalau Ibu nggak mau jaga perasaan Mbak Nara setidaknya jagalah perasaan Bang Rudy. Kalau dia cemburu dan salah paham gimana coba?”

 

Ibu mertuaku terkekeh kecil. “Rudy itu orang terpelajar enggak mungkin berpikiran picik kaya Nara. Rudy pasti paham Adel baik sama Abangnya karena kita ini keluarga.”

 

Aku mengepalkan tangan di bawah meja berusaha menahan gejolak amarah yang mendidih di dadaku. Picik? Aku yang picik? Bagaimana bisa dia mengatakan itu padaku sementara jelas-jelas dia yang membiarkan Adel berlaku kelewat batas pada suamiku. Dadaku terasa sesak oleh kemarahan yang tertahan. Aku ingin membalas ucapannya, ingin meneriakan segala ketidakadilan yang selama ini kutelan bulat-bulat. Tapi apa gunanya? Aku tahu tak peduli sekeras apa pun aku mencoba membela diri, di matanya aku tetaplah perempuan rendahan yang tak punya hak untuk berbicara.

 

##Bab 3 Terbongkar

"Aku dengar kalau hari ini kamu bikin masalah lagi ya,Nara? Berapa kali harus kuingatakan kalau ibu punya darah tinggi? Seharusnya kamu bisa lebih jaga emosinya!"

 

Suara Bang Galih menyambut ku saat ia baru pulang kerja. Tanpa bertanya kabarku. Tanpa sekadar menanyakan bagaimana hariku berlalu. Ia langsung menuduh, langsung memarahiku. Aku tersenyum kecut. Aku tahu ini ulah Adel. Wanita itu memang hobi sekali memprovokasi suamiku hingga kami bertengkar.

 

"Apa Adel yang mengadu padamu tentang kejadian tadi siang?" tanyaku dengan nada pelan. Bang Galih tengah emosi. Kalau aku bicara dengan nada tinggi aku takut berujung dengan pertengkaran hebat yang melibatkan kedua orangtuanya juga. Aku lagi pasti yang disalahkan nanti.

 

"Enggak penting siapa yang ngadu. Toh kabar itu benar, kan?" jawab Bang Galih kemudian.

 

"Salah ya Bang kalau aku cuma ingin Adel menjauh darimu? Dia itu punya suami tapi kenapa setiap hari sibuk mengurusi suami orang?" ucapku dengan mata berkaca-kaca menahan semua emosi yang sudah lama ku pendam.

 

"Dia enggak akan sibuk ngurusi aku kalau kamu becus jadi istri!"

 

Jawaban itu menghantam perasaanku. Hatiku seolah remuk berkeping-keping.

 

"Aku bukannya enggak mau masakin kamu, Bang. Tapi kamu tahu sendiri, setiap aku masak tak ada yang mau menyentuh makananku termasuk kamu. Padahal Sofia bilang masakanku enak tapi tetap saja kalian tak mau memakannya. Lalu kenapa semua orang terus menyalahkanku seolah-olah aku ini pemalas, enggak berguna!"

 

Suamiku terdiam, aku pun melanjutkan ucapanku, "Aku selalu berusaha menjadi menantu yang baik. Aku bangun paling awal dan mengerjakan semua pekerjaan rumah kecuali memasak itupun aku punya alasan kuat kenapa aku tak melakukannya, tapi kenapa kalian tetap saja seenaknya bilang aku pemalas dan tak berguna!"

 

Bang Galih tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dan menyeretku kedepan cermin.

 

"Kami pikir kami menyebutmu tak berguna cuma karena soal makanan dan pekerjaan rumah saja?" ucap Bang Galih kemudian melanjutkan kalimatnya, "Lihat dirimu!" katanya dingin. "Baru dua tahun menikah kenapa kamu kelihatan enggak menarik lagi?"

 

Aku menatap bayangan diri di cermin. Mata sembab, wajah berantakan. Ya aku memang sudah tak memperhatikan penampilanku. Tapi aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku takut dianggap boros kalau menggunakan uang suamiku untuk merawat diri. Aku takut makin di benci kalau tampak lebih cantik. Aku takut segalanya semakin buruk.

 

"Malam ini renungkan kesalahanmu. Aku enggak akan tidur di kamar sebelum kamu sadar dan meminta maaf pada ibuku dan Adel," ucap Bang Galih kemudian berbalik dan berjalan pergi.

 

Ku intip dia yang tengah menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang keluarga, membiarkanku sendiri dalam kamar dan menanggung semua luka yang ia ciptakan.

 

Malam semakin larut. Jarum jam sudah menunjukan pukul dua. Aku tak bisa tidur. Rasa bersalah mulai merayapi dadaku. Aku bangkit perlahan dan melangkah ke ruang keluarga.

 

Bang Galih masih tidur di sofa. Wajahnya tertutup selimut. Aku terenyuh. Sesalah itukah aku? Apa aku benar-benar istri yang buruk?

 

Aku menghela nafas kemudian mendekat. Dengan hati-hati aku menggoyangkan bahunya.

 

"Bang, aku udah sadar. Aku bakal minta maaf ke Ibu dan Adel besok. Aku janji enggak akan menuduh Adel yang bukan-bukan lagi."

 

Aku berharap dengan meminta maaf pada ibu mertuaku dan Adel akan membuat hubunganku dan Bang Galih membaik meskipun aku yakin itu hanya bertahan sebentar karena Adel pastinya takan pernah membiarkan kami berdua akur dan hidup tenang.

 

"Kalau Bang Galih tak puas aku hanya minta maaf pada mereka, aku sanggup berlutut di depan keduanya. Apapun akan kulakukan asal Bang Galih berhenti marah lagi padaku. Jadi tolong pindah lagi ke kamar kita ya, Bang!"

 

Tak ada jawaban. Ia masih terlelap. Akupun menarik selimutnya perlahan. Namun seketika aku terperanjat.

 

Bukan Bang Galih.

 

Yang tidur di sofa ternyata adalah Rudy.

 

Bau alkohol menusuk hidungku. Aku hampir muntah mencium aroma minuman keras yang menyeruak dari napasnya.

 

Jika Rudy di sini lalu di mana Bang Galih?

 

Aku menelan ludah mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang tiba-tiba menyeruak di benakku. Tidak. Tidak mungkin. Bang Galih tidak mungkin tidur di kamar Adel, kan? Mereka tak akan melakukan hal segila itu kan?

 

Langkahku gemetar saat menuju kamar Adel. Baru saja aku ingin mengetuk pintu, samar-samar kudengar suara Adel yang mengatakan hal begitu menjijikan.

 

"Bang Galih, terus, Bang... Ini yang aku suka darimu. Tampan, perkasa, dan..."

 

Dadaku terasa sesak. Napasku tercekat. Airmataku jatuh tanpa bisa ku bendung. Aku buru-buru menutup telinga tak sanggup mendengar kelanjutan kalimat Adel.

 

Jadi dugaanku selama ini benar. Bang Galih dan Adel punya hubungan terlarang. Pantas saja Bang Galih selalu mencari-cari kesalahanku. Ternyata ini alasannya.

 

Hatiku hancur.

 

Aku ingin berteriak, ingin menjerit sekencang-kencangnya. Tapi aku sadar aku tidak bisa hanya berdiam diri dan menjadi penonton dalam kisah menyedihkan ini.

 

Tanganku gemetar. Aku meraih handle pintu. Lalu, dengan satu tarikan keras pintu kamar itu terbuka lebar.

 

"Nara...?"

 

Bang Galih terlonjak kaget. Ia segera menjauh dari Adel, sementara wanita itu hanya tersenyum puas seolah menikmati penderitaanku.

 

"Aku bisa jelasin, Nara. Ini cuma kesalahpahaman!" panik Bang Galih.

 

Kesalahpahaman?

 

Apa dia pikir aku bodoh?

 

Aku mengedarkan pandangan, mencari sesuatu. Lalu mataku menangkap tongkat baseball di dekat meja rias. Tanpa pikir panjang aku meraihnya.

 

"Nara, jangan gila!" teriak Bang Galih saat aku mengayunkan tongkat itu ke arahnya. Tapi aku tak peduli. Aku sudah terlalu muak.

 

Bang Galih berhasil menghindar, lalu dia mencoba merampas tongkat dari tanganku, tapi aku malah memukul lengannya hingga ia meringis kesakitan.

 

"Jadi sebenarnya perempuan inilah alasan kamu berubah kasar padaku, Bang? Pantas saja kamu selalu membela dan memujinya di depanku. Kurang apa aku jadi istrimu, Bang? Aku selalu mengalah dan meminta maaf untuk kesalahan yang sama sekali tak kubuat hanya demi menghindari pertengkaran denganmu. Tapi ini balasanmu?"

 

Aku kemudian beralih pada Adel, wanita yang telah menghancurkan rumah tanggaku. Aku ingin menghajarnya. Aku ingin membuatnya merasakan sakit yang kurasakan. Tapi Adel sigap menghindar dan tongkatku justru menghantam cermin besar di atas meja rias, menciptakan bunyi pecahan kaca yang memekakkan telinga.

 

Adel berteriak panik.

 

"Tolong...Tolong...Ibu...Ayah...Tolong...!"

 

Teriakannya membangunkan seluruh orang kecuali Rudy yang tengah tak sadarkan diri karena pengaruh alkohol.

 

Ayah mertuaku muncul lebih dulu, diikuti ibu mertuaku yang tampak terkejut melihat kekacauan ini.

 

"Nara, gila kamu! Kamu mau bunuh Adel?" bentak ayah mertuaku sambil merebut tongkat dari tanganku.

 

Aku meronta. "Kembalikan tongkat itu, Ayah! Wanita ini sudah berselingkuh dengan suamiku! Aku harus menghukumnya!"

 

Aku menangis, berusaha merebut kembali tongkat itu. Tapi sebelum sempat menyentuhnya, tiba-tiba...

 

BRAK!

 

Tubuhku terhempas keras ke dinding.

 

Sakit.

 

Perih.

 

Aku mengangkat kepala perlahan dan kulihat ibu mertuaku berdiri di depanku, menatap penuh kebencian.

 

"Pergi dari rumah ini, dasar perempuan sial!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Istri Adik Iparku Yang Kegatelan Bab 4-6
0
0
Bab 4-6Cuplikan part“Kalian pikir karena aku lemah dan tak punya keluarga yang melindungi ku, kalian jadi bisa seenaknya menyingkirkanku dari sini?” Aku mulai berani bicara lagi. “Lah memang itu kenyataannya. Bahkan kalau malam ini aku menghilangkan nyawamu, itu takan membuat kedua orang tuamu kembali hidup untuk menolongmu!” kata-kata ibu mertuaku membuat kemarahanku semakin memuncak. Aku janji, setiap penghinaan dan kesakitan yang diberikannya padaku, dia harus membayarnya. “Kamu wanita tua yang lemah. Tubuhmu dihinggapi begitu banyak penyakit yang mematikan. Kamu yakin bisa menyingkirkanku?” ucapanku membuat semua orang membelalak kaget. Aku tak pernah seberani ini sebelumnya. “Nara, ngomong apa kamu. Kamu itu sudah sejak tadi dipersilahkan pergi. Bukannya cepat-cepat angkat kaki dari rumah ini malah berani sekali menyakiti ibuku dengan kata-kata tak berperasaan seperti itu!” teriak Bang Galih. “Angkat kaki begitu saja setelah dua tahun penuh aku diperlakukan tak manusiawi oleh kalian? Enak saja! Aku takan mau!” ucapku membuat semua orang menatapku semakin marah bercampur benci.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan