Hasrat Liar Ibu Tiri Suamiku

0
0
Deskripsi

Putri (25tahun) mengira kalau hidupnya sangat beruntung karena dinikahi oleh anak dari pemimpin perusahaan dimana dia bekerja. Padahal kenyataannya dia dinikahi oleh lelaki yang dianggapnya sempurna itu tak lain hanya untuk menutupi hubungan gelap lelaki itu dengan ibu tirinya.

##Bab 1

Pov Putri
Deru nafasku dan suamiku saling memburu, tatkala tangan liarnya menjelajahi setiap lekuk tubuhku.

Bibir kami saling bertautan, keringat bercucuran, aku sangat menikmati ciuman pertama yang Mas Indra berikan untukku.

Sebelumnya perkenalkan dulu. Namaku Putri, umurku 25 tahun. Malam ini adalah malam pertamaku bersama suamiku Mas Indra. Aku tak menyangka hidupku sangat beruntung karena di nikahi oleh anak dari pemilik perusahan tempat dimana aku bekerja. Dua bulan pacaran, Mas Indra membuktikan keseriusannya dengan mengajakku ke pelaminan.

Ayah Mas Indra saat ini masih di luar negeri mengurus bisnisnya, entah kenapa Mas Indra tiba-tiba memutuskan menikah denganku saat Ayahnya masih sibuk dengan pekerjaannya. Semua terasa begitu mendadak, bahkan muncul gosip di kantor bahwa kami cepat-cepat menikah karena aku telah hamil lebih dulu. Padahal saat proses pacaran, jangankan meniduriku, menciumku saja tidak pernah di lakukan oleh Mas Indra.

"Kamu, siap, Put?" tanya Mas Indra. Aku mengangguk malu sambil menyembunyikan wajah tersiksaku karena pemanasan-pemanasan yang Mas Indra lakukan beberapa saat yang lalu.

Aku mengambil nafas dalam-dalam sebelum kami memulai. Tak lupa ku pejamkan mata untuk menyingkirkan rasa gerogiku.

Baru saja kami akan memulai, kami di kejutkan oleh suara dering ponsel suamiku. Dengan wajah frustasi Mas Indra menjauhkan tubuhnya dariku.

"Kenapa enggak di matikan dulu ponselnya sih, Mas?" tanyaku dengan raut wajah kecewa.

"Aku lupa, sayang. Maaf!" jawab Mas Indra sembari berjalan meraih ponsel yang dia letakan di atas meja.

Kulirik jam di dinding kamar, dalam hatiku mengutuk siapa bedebah yang berani menelepon suamiku tengah malam begini. Terlebih malam ini adalah malam pertamaku dengan Mas Indra. Apa orang itu tak punya rasa segan sama sekali pada kami berdua?

"Put, ternyata Papah yang telepon. Boleh aku angkat teleponnya?" tanya Mas Indra. Mendengar ternyata Ayahnya yang menelepon, rasa amarahku sedikit mereda.

"Angkat saja, Mas. Enggak apa-apa!" jawabku sambil menutup tubuh dengan selimut.

Mas Indra pun sedikit menjauh dariku. Entah apa yang akan dia dan Ayahnya bicarakan sampai tak mau ada orang lain yang ikut mendengarnya.

"Sayang, aku enggak bisa lanjutin kegiatan kita dulu. Papah bilang Tante Sarah sakit. Aku mau bawa Tante Sarah ke dokter dulu!"

Tante Sarah adalah Ibu tiri suamiku. Aku sedikit tak percaya mendengar kabar beliau sakit. Tadi siang saat pesta pernikahanku dan Mas Indra di gelar, dia terlihat baik-baik saja.

"Sakit apa, Mas? Tadi siang dia kelihatannya baik-baik saja, kok!"

"Mungkin kecapean karena beberapa hari ini ikut sibuk ngurusin pernikahan kita." jawab Mas Indra sambil memakai kembali bajunya.

"Kalau cuma sakit karena kecapean kan bisa besok saja ke dokternya, Mas. Ini udah tengah malam, loh."

Entah kenapa aku merasa tak ikhlas membiarkan Mas Indra pergi dengan ibu tirinya. Ini malam pertama kami tega-teganya wanita itu mengusik kebahagiaan kami.

"Kalau sampai Tante Sarah kenapa-kenapa, kamu mau tanggung jawab?" tanya Mas Indra. Tentu saja aku menggelengkan kepala cepat. Ayah Mas Indra sangat sayang pada istrinya, aku tak mau di salahkan jika terjadi apa-apa dengan wanita itu.

"Kalau gitu aku mau bawa Tante Sarah berobat dulu. Kamu enggak usah khawatir, secepatnya aku akan balik kesini kok!"

Mas Indra mengecup pucuk kepalaku, dia bersiap pergi menuju kamar Tante Sarah yang kebetulan letaknya tepat di depan kamar kami

"Tapi Mas, tengah malam begini. Kamu mau bawa Tante Sarah berobat kemana?" tanyaku sebelum lelaki itu melangkah pergi.

"Ke Dokter pribadi keluarga ini. Papah bilang sudah menghubungi Dokter Hasan jadi kamu enggak usah khawatir!"

Aneh, kenapa bukan Dokter Hasan saja yang kesini kalau benar ibu tiri suamiku sakit. Entah kenapa aku merasa ganjal dengan alasan-alasan yang suamiku berikan. Dari awal suamiku mengenalkanku pada ibu tirinya aku melihat tatapan kebencian dari wanita itu kearahku. Jadi kecurigaanku akan niat jahat wanita itu bukan tanpa alasan. Aku berpikir mungkin wanita itu membenciku karena aku orang miskin. Dia mungkin malu mengakuiku sebagai menantu di rumah ini.

"Owh, gitu. Ya sudah, kamu hati-hati saat nyetir nanti, ya."

"Iya. Aku pergi dulu ya, sayang!"

Aku menghembuskan nafas kasar setelah suamiku keluar kamar. Beberapa saat kemudian ku dengar langkah suamiku dan Tante Sarah berjalan menuruni anak tangga. Aku cepat-cepat mengenakan bajuku, demi bisa melihat mereka dari balkon kamarku.

Lihat, firasatku ternyata benar. Tante Sarah sama sekali tak terlihat sakit. Mana ada orang sakit berpenampilan seksi seperti itu, apalagi memakai high heels tinggi seperti yang di kenakannya sekarang. Dia lebih terlihat seperti ingin mengunjungi sebuah klub di banding mengunjungi dokter.

Mas Indra ini gimana, kok percaya begitu saja kalau wanita itu sakit. Jelas-jelas wajahnya sama sekali tak pucat. Sebegitu takutkah dia dengan Ayahnya sampai dia mengorbankan malam pertama kami hanya untuk menolong orang yang hanya pura-pura sakit saja.

Aku kembali menuju ranjangku dengan wajah cemberut. Malam pertama yang harusnya ku lalui penuh kebahagiaan harus berakhir kesepian seperti ini.

Sudah dua jam lebih Mas Indra pergi, karena tak kunjung pulang aku mencoba menghubunginya. Namun betapa kecewanya aku saat tahu nombornya tak aktif.

Karena lelah menunggu, aku tak sadar sampai ketiduran. Hingga sebuah kecupan di keningku tiba-tiba membangunkanku.

"Selamat pagi sayang!" ucap Mas Indra sembari menampikan senyum termanisnya.

"Loh, Mas sudah pulang?" tanyaku sembari berusaha bangkit.

"Udah dari semalam aku balik!"

"Kenapa enggak bangunin aku?" tanyaku menunjukan raut wajah bersalah.

"Aku enggak tega mau bangunin kamu, keliatannya kamu kecapean banget semalem."

"Padahal enggak apa-apa Mas bangunin aku aja. Aku khawatir banget karena kamu enggak pulang-pulang. Ditambah kamu enggak bisa di hubungi karena ponselmu enggak aktif!"

"Eh, ya. Lupa kasih tahu. Semalam ponsel aku habis baterainya. Maaf ya, sayang buat kamu khawatir!"

"Ya udah, enggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu udah pulang. Aku mandi dulu, ya. Baru setelah itu kita sarapan bareng!"

"Ok!" balas suamiku. Akupun bergegas bangun lalu melangkah ke kamar mandi.

Selesai mandi, sudah tak kulihat ada suamiku lagi. Aku kemudian turun untuk menyusulnya ke bawah.

Belum sampai di ruang makan, ku dengar suara tawa Tante Sarah menggelegar sampai ke ruang depan. Aku menggelengkan kepala mendengarnya. Bisa-bisanya semalam dia mengaku sakit padahal suaranya bisa sekeras itu.

"Eh, Putri. Sudah bangun. Maaf ya kalau semalam Tante ganggu malam pertama kamu!" ucap Tante Sarah. Mau tak mau aku menanggapi secara lembut ucapannya. Padahal hati ini sudah sangat dongkol padanya.

"Enggak apa-apa, Tante. Gimana keadaan Tante sudah agak baikan?" tanyaku kepada wanita yang berumur sekitaran tiga puluh lima tahun itu.

"Ya, karena Tante sudah minum obat yang tepat jadi Tante cepat sembuh!" jawabnya sambil mengunyah. Aku hanya mengangguk sebagai respon ucapannya.

Beberapa saat kemudian keadaan menjadi hening. Hanya suara dentingan sendok yang terdengar di ruang makan ini.


"Indra, kamu sibuk enggak kira-kira siang ini?" Tiba-tiba suara Tante Sarah memecah keheningan kami.

"Enggak Tante. Memangnya kenapa?"

"Anterin Tante belanja bulanan, ya. Semua barang pribadi Tante habis. Mau nunggu Papahmu pulang masih minggu depan!"

Apa? Setelah semalam merusak malam pertamaku sekarang Tante Sarah mau menggangguku lagi.

"Aku izin dulu sama Putri, Tan." ucap suamiku sambil menatap kearahku.

"Putri pasti izinin kok, Ndra. Ya kan, Put?" tanya Tante Sarah. Percaya diri sekali dia bicara seperti itu.

"Maaf Tante bukan saya enggak izinin Mas Indra pergi sama Tante. Tapi saya enggak tega, sejak pesta kemarin Mas Indra belum istirahat sama sekali!"

Wajah ramah Tante Sarah tiba-tiba berubah marah setelah mendengar jawabanku. Aku tak peduli jika gara-gara masalah ini membuat wanita itu makin membenciku.

##Bab 2

Aku dan Mas Indra tak langsung ke kamar setelah sarapan selesai. Kami berbincang sambil menonton televisi di ruang keluarga.

Mumpung ibu tirinya sedang tak ada, aku berniat mengeluarkan semua unek-unekku pada lelaki yang baru kemarin sah menjadi suamiku tentang ibu tirinya. Mas Indra harus tahu betapa terganggunya aku dengan sikap wanita itu yang seenaknya.

"Mas, Tante Sarah kok kelihatannya masih enggak suka sama aku. Aku perhatikan dari semalem dia kayaknya selalu berusaha menjauhkan kita."

Mas Indra mengecilkan volume televisi lalu dia melirik sinis ke arahku. Dari caranya menatapku, jelas sekali menunjukan sikap marahnya karena aku berbicara hal buruk tentang ibu tirinya. Aku tahu, sejak kami berpacaran dulu dia memang tak suka ketika aku membahas tentang Tante Sarah apalagi membicarakan tentang keburukan wanita itu. Aku pikir karena kami sekarang sudah menikah responnya akan berubah. Tapi kenyataannya aku salah.

"Cuma karena hal sepele seperti tadi kamu punya pikiran seperti itu. Bagaimana pun juga Tante Sarah itu istri Papah. Kalau dia butuh bantuan sudah semestinya dia meminta bantuan sama aku, Put."

"Mas, aku tidak keberatan kalau dia meminta bantuan sama kamu. Tapi dia juga harus tahu waktu, dong! Semalam dia sudah mengacaukan malam pertama kita. Masa hari ini dia juga mau mengulanginya. Masalah belanja kebutuhannya dia bisa kan menyetir sendiri ke mall. Kenapa juga tadi dia malah minta kamu antarkan."

"Tante Sarah kalau belanja lumayan banyak, wajar kalau dia minta bantuanku. Sudahlah, Put. Ini masalah sepele saja. Enggak usah di besar-beasarkan. Lagian aku juga sudah nurutin kemauan kamu yang melarangku pergi dengan Tante Sarah, kan?"

Benar kata Mas Indra. Yang terpenting sekarang dia masih ada bersamaku. Aku tak mau karena kemarahanku yang membabi buta pada Tante Sarah malah membuat kami bertengkar.

"Iya, Mas. Maaf, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada ibu tirimu. Jujur, aku merasa dia masih tak mau menerima kehadiranku di rumah ini makanya dia selalu mengganggu kebersamaan kita. Aku sadar diri Mas, aku cuma gadis miskin yang kebetulan beruntung karena di nikahin orang kaya seperti kamu. Tapi, tetap saja aku merasakan sakit hati kalau terus-terusan di perlakukan seperti ini oleh ibu tirimu."

Mas Indra memegang kedua bahuku, amarahnya mereda melihat kesedihan yang ku tunjukan di depannya.

"Aku janji, aku akan berusaha membuat Tante Sarah suka sama kamu, Put. Aku akan meyakinkannya kalau kamu adalah wanita yang paling tepat untuk aku."

"Beneran, Mas? Kamu enggak bohong, kan?"

"Buat apa aku bohong sama istri sendiri, sayang."

Tangan Mas Indra beralih ke wajahku. Dia mendekatkan wajahku ke wajahnya. Mendapat perlakuan manis darinya tiba-tiba jantungku berdetak sangat kencang. Aneh memang, Mas Indra adalah suamiku tapi aku terus merasa berdebar-debar saat di perlakukan semanis ini.

Dengan lembut Mas Indra menciumku, aku memejamkan mata dan mulai pasrah.

Tangan Mas Indra bergerak masuk ke dalam bajuku. Namun tiba-tiba aku menghentikan tangannya saat menyadari keberadaan kami yang ternyata ada di ruang keluarga.

"Mas, ini ruang keluarga. Nanti kalau ada yang lihat gimana?" tanyaku pada Mas Indra.

"Enggak akan ada yang lihat, sayang. Dira ikut Tante Sarah berbelanja. Rumah sedang kosong jadi enggak akan ada yang memergoki permainan kita disini!"

Dira adalah pembantu di rumah ini. Hanya saja wanita itu bekerja pagi sampai sore saja. Atas ide Mas Indra beberapa saat yang lalu, Tante Sarah akhirnya setuju juga membawa Dira bersamanya meski terlihat sekali dengan sangat terpaksa.

Aku sudah pasrah tatkala Mas Indra mulai membuka satu persatu bajuku. Sungguh dari semalam aku tak sabar menantikan Mas Indra melakukan kewajibannya sebagai suamiku.

Dreettt...Dreeeettt...!

Sekali lagi aku di buat kesal karena getaran ponsel milik Mas Indra. Dia berhenti menyentuhku dan ingin meraih ponselnya tapi dengan cepat aku tarik tangannya.

"Mas, enggak usah peduliin ponselmu dulu. Permainan kita belum selesai!" ucapku tegas. Aku tak mau ada yang mengganggu kami lagi. Sudah cukup semalam aku mengalah.

"Ok!"

Mas Indra menurut, namun sialnya si penelpon tak mau berhenti mengganggu kami. Dia terus menghubungi suamiku hingga membuat konsentrasi kami pecah.

"Tunggu sebentar, Mas."

Aku bangkit lalu menyambar ponsel Mas Indra yang terletak di atas meja. Aku tersenyum sinis melihat layar ponselnya, sudah ku duga orang yang menghubunginya adalah Tante Sarah.

"Kenapa ponselku di matiin?" tanya bingung suamiku saat aku tanpa ragu menonaktifkan ponselnya.

"Biar enggak di ganggu ibu tiri kamu terus." jawabku tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Aku kembali meletakan ponsel suamiku diatas meja lalu menarik tangan suamiku untuk melanjutkan kegiatan kami.

"Ah, Mas!"

Aku benar-benar merasa gila saat kedua tangan Mas Indra meremas bagian dadaku. Sepertinya pemanasan ini harus segera ku akhiri agar aku tak merasa tersiksa seperti ini.

"Mas, ayo. Sekarang saja!" ucapku setengah berbisik. Mas Indra mengangguk penuh semangat. Namun baru saja kami hendak melakukan penyatuan, kembali kami di ganggu oleh deringan telepon rumah ini. Aku benar-benar sangat yakin itu dari Tante Sarah. Aku mendorong tubuh Mas Indra yang masih ada diatasku karena saking marahnya.

"Angkat dulu telepon dari ibu tirimu, Mas. Sumpah, nafsuku hilang sudah karena dia terus saja mengganggu kita!"

"Tapi, itu belum tentu dari Tante Sarah, Put. Enggak usah berpikir buruk dulu!"

Suamiku lagi-lagi membela ibu tirinya.

"Aku yakin itu dari Tante Sarah. Kalau enggak percaya cepetan angkat sana!"

Suamiku cepat-cepat mengenakan kembali bajunya lalu berlari ke ruang depan. Aku membanting bantal sofa saking kesalnya.

Beberapa lama kemudian suamiku kembali dengan raut wajah panik. Jujur aku penasaran kenapa dia bersikap seperti itu tapi aku enggan bertanya karena aku yakin ini tentang ibu tirinya.

"Sayang, aku harus pergi sekarang, ya. Mobil Tante Sarah nabrak pembatas jalan. Sekarang aku mau ke rumah sakit buat jenguk dia."

"Apa?"

Mendengar Tante Sarah kecelakaan membuatku merasa bersalah karena sempat melarang suamiku mengangkat telepon dari wanita itu.

"Papah pasti marah besar kalau sampai tahu aku biarin Tante Sarah menyetir sendiri. Mampus!" ucap suamiku membuatku makin merasa bersalah padanya.

"Papah enggak mungkin akan marah. Biar nanti aku yang jelasin ke dia kalau--"

"Kalau apa? Kalau kamu yang melarangku mengantarkan dia ke mall? Kamu pikir Papah akan nerima alasan kamu begitu saja? Yang ada juga kamu malah jadi di benci olehnya!'

Aku terdiam melihat suamiku mulai meninggikan suaranya.

"Mulai sekarang tolong jangan larang-larang aku buat bantuin ibu tiri aku sendiri, Put. Kalau sampai terjadi sesuatu sama dia memangnya kamu mau bertanggungjawab?"

Aku sedikit syok mendengar ucapan suamiku. Bukannya beberapa saat yang lalu dia sama sekali tak mempermasalahkan hal ini. Kenapa sikapnya jadi seperti ini?

"Sekali lagi dengerin aku ngomong, Put. Kalau kamu mau pernikahan kita langgeng cukup jangan pernah kamu larang aku buat bantu Tante Sarah. Aku enggak mau disalahkan Papah jika terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Mengerti?" tanya suamiku dengan sorot mata mengerikan. Aku hanya mengangguk dengan tangan gemetar. Baru kali ini aku melihat Mas Indra semarah ini. Memang semua berawal dari keegoisanku, tapi tidakkah dia paham bahwa aku melakukannya karena aku kesal terus di ganggu oleh wanita itu.

##Bab 3
Aku menatap punggung suamiku dengan perasaan hancur. Dia begitu terburu-buru pergi hingga tak sadar perkataannya barusan membuatku begitu sakit hati. Kali ini aku akui aku yang salah, tapi tidakkah dia berfikir, aku melarangnya pergi mengantarkan Tante Sarah juga karena ada alasannya.

Satu persatu ku ambil kembali pakaianku yang berserakan di lantai. Ku kenakan lagi pakaian itu dengan air mata yang menetes. Kebahagian yang ku impikan setelah menikah sepertinya takan pernah terwujud jika kami masih satu atap dengan ibu tirinya.

Siang ini perasaanku kacau, disatu sisi aku ingin menghubungi suamiku menanyakan keadaan Tante Sarah. Di sisi lain, aku merasa gengsi melakukannya terlebih dahulu. Kalimatnya beberapa jam lalu masih terngiang jelas di telinga. Rasa sakit dan kecewa membuatku enggan menghubungi lelaki yang baru kemarin sah jadi suamiku.

Di tengah rasa gelisahku, tiba-tiba ku dengar suara bel berbunyi. Bergegas aku bangkit dari dudukku kemudian berjalan kearah pintu.

"Dira, kamu sudah pulang? Gimana keadaanmu, baik-baik saja?" tanyaku pada Dira dengan memperhatikan  bagian tubuhnya, takut ada yang terluka.

"Iya, Mbak. Saya baik-baik saja. Saya sangat bersyukur Nyonya Sarah berhasil mengendalikan mobilnya."

"Berhasil mengendalikan mobilnya? Bukannya mobil Tante Sarah nabrak pembatas jalan, ya?" tanyaku dengan raut wajah penasaran.

"Belum sampai nabrak kok, Mbak. Nyonya Sarah ngerem tepat waktu. Lagian dia nyetir mobilnya juga pelan-pelan, jadi enggak sempai terjadi apa-apa sama kami berdua."

"Apa?"

Tanganku mengepal mendengar ucapan Dira. Jadi, wanita itu sudah berbohong pada suamiku agar suamiku panik dan menyalahkanku seperti tadi.

"Loh, Mbak. Kok kayak enggak suka denger kita baik-baik saja?" tanya Dira dengan raut wajah kesal. Sepertinya dia sudah salah paham.

"Bukan enggak suka, Dir. Kamu jangan salah paham. Tadi suamiku bilang kalian ada di rumah sakit soalnya jadi saya pikir keadaan kalian cukup parah."

"Enggak parah kok, Mbak. Bahkan sekarang Nyonya Sarah kembali pergi menuju ke mall di temani suami Mbak."

"Apa?"

Sekali lagi aku merasa sangat syok mendengar penjelasan Dira. Bisa-bisanya Mas Indra mengantarkan wanita yang jelas-jelas sudah membohonginya. Aku muak dengan keadaan ini, jika aku terus diam saja seperti ini, Tante Sarah akan terus merasa menang.

Ku hubungi nombor suamiku dengan perasaan dongkol, nombor terhubung tapi yang angkat malah Tante Sarah.

[Hallo, Put. Ada apa?] tanya Tante Sarah. Aku menggelengkan kepala mendengar wanita itu masih bisa berbicara santai padaku setelah apa yang dia lakukan. Awalnya aku ingin langsung memaki wanita itu karena sudah membohongi suamiku tapi setelah memikirkan dampak besar yang akan terjadi aku kemudian mengurungkan niatku.

[Aku mau ngomong sama suamiku, Tan. Mana dia?]

[Suamimu lagi fokus nyetir, enggak bisa pegang hp!]

[Pokoknya, aku mau ngomong sama dia, Tan. Aku enggak peduli gimana caranya!]

[Kamu mau buat kami kecelakaan? Gila kamu, ya!]

Panggilan tiba-tiba terputus. Aku hampir saja membanting ponselku saking marahnya.

Kesabaranku benar-benar habis sekarang, aku sudah tak sanggup melanjutkan pernikahanku kalau begini terus. Segera ku kirim pesan suara untuk memberi dua orang itu pelajaran.

[Mas, aku tunggu tiga puluh menit dari sekarang. Kalau kamu enggak pulang, aku pergi dari rumah kamu.]

Pesan terkirim. Aku segera melangkah ke kamar untuk mengemasi barang-barangku. Sudah cukup aku mengalah. Di awal pernikahan saja, aku sudah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti ini. Apalagi nanti.

Barangku di rumah ini tak banyak, untuk itulah aku tak perlu menghabiskan banyak waktu mengemasi semuanya.

"Mbak Putri mau kemana?" Dira terlihat syok melihat aku menuruni anak tangga membawa barang-barangku.

"Mau pulang, Dir."

"Loh, kok tiba-tiba gini? Apa Mbak berantem sama Tuan Muda?" tanya wanita itu lagi. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya. Waktu yang ku berikan pada suamiku sudah habis namun lelaki itu belum juga menunjukan batang hidungnya. Bahkan, membalas pesanku juga tidak. Dia pikir aku main-main dengan ancamanku.

"Mbak, jangan pergi Mbak. Nanti saya harus jawab apa kalau Nyonya Sarah tanya."

Dira mencoba menghentikanku.

"Dia sudah tahu aku akan pergi jadi dia enggak akan banyak tanya sama kamu!" balasku sambil menyeret koper menuju teras.

"Aduh, Mbak. Nanti saja perginya. Kenapa tak tunggu Nyonya sama Tuan Indra pulang saja?"

"Minggir!"

Dira terus berusaha menghalangi kepergianku. Aku menepis tangannya yang berusaha meraih koperku.

"Mbak, jangan nekat pergi Mbak!"

Aku tak menggubris teriakan Dira. Ku percepat langkahku menuju taksi online yang sudah ku pesan.

"Put, tunggu. Jangan pergi dulu!"

Mas Indra menurunkan kaca mobilnya di depan gerbang rumah saat melihatku masuk dalam taksi online. Pulang juga ternyata dia.

Awalnya aku hendak menuruti perintahnya namun melihat sosok wanita yang  ikut turun dari mobilnya membuatku mengurungkan niatku. Entah kenapa aku begitu membenci wanita itu sekarang. Jika dia tak suka aku menjadi menantu di keluarga ini, harusnya dari awal dia tak ikut memberi restu pernikahanku dan Mas Indra. Bukan malah mengacaukan hubungan kami saat kami baru saja sah menjadi suami istri.

"Pak, jalan!" perintahku pada sopir taksi yang kutumpangi.

"Baik, Mbak." jawabnya kemudian.

Mobil dengan cepat melaju, namun siapa sangka beberapa saat kemudian mobil Mas Indra memepet dan memaksa taksi ini berhenti di pinggir jalan.

"Put, keluar! Aku mau ngomong sama kamu!" ucap Mas Indra sambil mengetuk kaca mobil. Sebenarnya aku sama sekali tak berniat keluar namun aku merasa tak enak pada sopir taksi yang ku tumpangi karena Mas Indra terus saja mengganggu perjalanan kami.

"Pak, tunggu bentar, ya. Nanti saya akan bayar lebih."

"Baik, Mbak."

Aku pun segera turun dari taksi, Mas Indra langsung menggenggam kedua tanganku.

"Maafin aku, karena tadi telat beberapa menit, Put. Jalanan macet dan--"

"Aku enggak mau tahu, waktu yang ku kasih sudah habis jadi aku harus tetap pergi dari rumah kamu!"

"Put, kita baru nikah. Apa kata orangtuamu nanti kalau kamu sudah kabur-kaburan seperti ini!"

"Justru karena aku baru nikah sama kamu jadi aku berani seperti ini. Lebih baik aku mundur awal-awal daripada harus bertahan sama orang egois yang selalu mengutamakan ibu tirinya di banding istrinya sendiri!"

"Put, apa kamu enggak kasihan sama Tante Sarah. Dia kecelakaan karena menyetir sendiri tadi!"

"Untuk apa aku kasihan sama wanita pembohong itu?" jawabku tegas.

"Wanita pembohong? Beraninya kamu bilang seperti itu pada ibuku, Put!" bentak Mas Indra.

"Kenapa Mas selalu enggak terima aku berbicara fakta tentang wanita itu, hah? Yang aku katakan itu kenyataan. Dia itu pembohong! Dia bilang sama kamu di telepon kalau dia kecelakaan dan masuk rumah sakit. Tapi kata Dira tadi mobilnya sama sekali tak menyentuh pembatas jalan. Apa itu namanya kalau bukan pembohong!"

Plak!

Perih, rasanya sangat perih mendapatkan tamparan dari Mas Indra. Semua yang ku katakan itu fakta, tapi tetap saja dia tak terima.

"Makasih tamparannya, Mas. Aku semakin yakin untuk bercerai dengan kamu."

Aku masuk kembali dalam taksi setelah berkata. Mas Indra panik dan meminta maaf sambil mengetuk kaca mobil. Namun sedikit pun aku tak menoleh ke arah lelaki itu. Rasa cinta yang selama ini kumiliki berubah menjadi kekecewaan yang mendalam.

"Mbak, sudah sampai!" ucap sopir taksi itu membuyarkan lamunanku. Aku membuka dompet lalu membayar ongkos beberapa kali lipat dari harga seharusnya. Aku merasa tak enak karena perjalanan kami sempat di ganggu oleh Mas Indra.

Ragu aku turun dari taksi yang ku tumpangi, entah apa alasan yang akan ku berikan pada kedua orangtuaku jika mereka bertanya apa yang telah terjadi.

"Ampun, Tuan! Jangan usir kami. Ampun!"

Baru masuk dalam pagar rumah aku mendengar teriakan Ayahku dari dalam rumah orangtuaku. Bergegas aku berlari hendak masuk dalam rumah demi melihat apa yang terjadi.

"Saya sudah kasih waktu kalian tiga bulan untuk membayar hutang kalian, tapi kalian tidak bisa membayarnya. Untuk itu sekarang juga mending kalian pergi dari rumah ini!"

Hutang? Untuk apa orang tuaku berhutang? Bukankah tiap bulan aku selalu memberikan separoh gajiku untuk mereka. Lalu, kenapa mereka masih berhutang?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Hasrat Liar IbubTiri Suamiku (Bab 7)
0
0
Bab 7 Novel Hasrat Liar Ibu Tiri Suamiku
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan