
Demi mendapatkan ponsel Impiannya. Anisa (18 tahun) rela menjual kehormatannya pada kakak iparnya.
##Bab 1 Ponsel Baru Anisa
"Nis, ponselmu baru? Kamu dapet uang darimana buat beli ponsel itu?" tanyaku saat adik perempuanku mengeluarkan ponsel barunya di ruang keluarga.
"Ini ibu yang beliin, Mbak." jawab Anisa sambil menatap kearah ibunya. Anisa adalah adik tiriku. Dia dan ibunya ikut tinggal di rumahku dan suamiku setelah kematian Ayah kami dua tahun lalu. Ayah terlilit hutang sangat banyak saat pergi meninggalkan kami, jadi mau tak mau kami menjual rumah untuk melunasi hutang yang Ayah kami tinggalkan. Setelah rumah di jual, dia ikut tinggal di rumah ini bersama ibunya. Umurnya saat itu masih 16 tahun. Aku tak tega membiarkan dia terlunta-lunta hidup di luar sana tanpa rumah.
"Bukannya ibu enggak ada uang ya? Darimana ibu dapet uang buat beli ponsel mahal itu?" tanyaku sambil menatap ibu tiriku yang terlihat sedikit gugup.
"Anu...ibu dapat arisan, La."
Arisan? Selama dua tahun dia tinggal bersamaku, tidak sekalipun aku melihat dia ikut arisan atau acara apapun.
"Ibu bukannya enggak pernah ikut arisan ya?" tanyaku memberanikan diri. Aku harus tahu darimana dia mendapatkan uang untuk membeli ponsel adikku. Pengalaman Almarhum Ayahku yang terlilit hutang membuatku harus selalu waspada padanya. Kebiasaan ibu dan adikku yang selalu ingin mempunyai barang-barang mewah tak peduli bagaimanapun caranya harus aku hentikan. Aku tak mahu tiba-tiba rumahku di gedor oleh renternir seperti yang sudah-sudah.
"Ibu ikut di arisan di RT sebelah, La. Arisan baru di mulai dan ibu senang karena nama ibu yang keluar pertama."
"Ibu dapat berapa memangnya?" tanyaku terus memancing.
"7juta, La. Uangnya langsung ibu berikan sama Anisa bt beli hp. Kasian Anisa selalu ngeluh malu sama temen-temen sekolahnya karena hp nya jelek sendiri. Kamu sih punya suami bergaji besar tapi pelit."
"Aku bukannya pelit. Tapi ibu tahu sendiri kan, setelah menikah aku di larang kerja sama Mas Dani. Aku segan pakai uang pemberian Mas Dani buat hal-hal yang kurang penting."
Aku mencoba memberi pengertian ibuku agar dia tak terus mendesakku membelanjakan uang suamiku untuk hal-hal yang kurang penting. Aku punya anak yang masih berumur 7 tahun. Masa depan anakku masih panjang, kalau aku tak pandai berhemat, bagaimana nasib anakku nanti.
"Hal-hal kurang penting? Kamu enggak sadar omonganmu itu bisa melukai hati adikmu. Harga ponsel Anisa paling cuma setengah gaji suamimu. Ibu rasa suamimu enggak akan keberatan kalau kamu membelikan ponsel Anisa. Dasarnya kamu yang perhitungan saja sama adikmu."
Aku mengelus dada mendengar ucapan ibu tiriku. Gaji Mas Dani memang berkisar 15juta, tapi dia juga masih punya tanggungan seorang adik perempuan yang masih kuliah. Masih untung Mas Dani memperbolehkan ibuku dan Anisa tinggal disini. Eh, sekarang mereka malah minta yang macam-macam. Benar-benar tak punya rasa terimakasih.
"Kenapa selalu mendesakku untuk mencukupi kebutuhan kalian sih, Bu. Aku sudah izinkan kalian tinggal disini harusnya kalian sudah bersyukur. Harusnya ibu kerja, ibu masih cukup muda loh. Jadi kalau ibu pengin beli apa-apa enggak perlu minta lagi sama aku!"
"Wah...wah...kurangajar banget kamu ya, La. Ayahmu diatas sana pasti marah banget denger kamu nyuruh-nyuruh ibu buat kerja!" ucap ibuku sembari melotot tak terima kearahku.
"Sudahlah, Mbak. Kenapa ngomongnya makin kemana-kemana. Kalau Mbak enggak mau ngasih aku uang untuk kebutuhanku, ya udah. Enggak usah pakai acara suruh ibu kerja juga. Sekarang aku bisa kok dapetin uang tanpa minta ke Mbak lagi!" sela Anisa. Apa tadi dia bilang? Bisa dapat uang tanpa minta sama aku? Sombong sekali anak manja ini. Bangun tidur kalau tidak di bangunkan saja, dia selalu bangun kesiangan, bagaimana caranya seorang pemalas sepertinya bisa dapat uang.
"Kamu lagi enggak mikir mau buat hal yang aneh-aneh kan, Nis?" tanyaku penuh selidik. Adikku tak langsung merespon ucapanku. Dia memainkan ponselnya sambil memasang wajah juteknya.
"Bentar lagi kamu ujian kelulusan, jangan sampai kamu ngelakuin hal yang memalukan ya, Nis. Mbak enggak mau masa depan kamu rusak hanya gara-gara kamu salah langkah!"
Anisa bangkit dari duduknya dan berniat pergi. Dia sama sekali tak mau mendengarkan nasehatku.
"Nis, mau kemana kamu? Mbak belum selesai ngomong!"
Anisa tak menyahut ucapanku, ibuku ikut bangkit lalu menatap marah kearahku.
"Kami tahu kami cuma numpang di rumah kamu, La. Tapi enggak seharusnya kamu perlakukan kami seperti ini. Biar bagaimanapun dia adikmu, kamu enggak boleh lupakan tanggungjawabmu. Bukan malah nyuruh ibu kerja!"
Aku kembali mengelus dada sambil menatap punggung ibuku yang makin terlihat menjauh. Hal kecil seperti ini kenapalah harus selalu di besar-besarkan. Kurang tanggungjawab apa aku selama ini jadi kakak Anisa. Semua kebutuhan sekolahnya sudah aku cukupi. Hanya karena aku tak mau membelikannya sebuah ponsel, mereka malah memaki-makiku seperti tadi.
"Mah, Lapar!" tiba-tiba anakku Elsa datang sambil mengelus perutnya. Aku melirik jam dinding, sudah jam delepan malam pantas saja dia sudah kelaparan.
"Elsa mau makan sekarang atau tunggu Papah pulang?" tanyaku pada Elsa.
"Mau makan sekarang saja, Mah." jawab putri kecilku. Aku tersenyum lalu menggandengnya ke ruang makan.
"Mah, sekarang kok Papah sering pulang telat, sih. Elsa kangen makan malam sama Papah!" ucap putriku sembari mengunyah.
"Papah sekarang sibuk lembur sayang. Jangan sedih, ya. Papah kerja banting tulang juga buat kamu!"
Putri kecilku mengangguk sembari terus mengunyah. Sebulan ini memang suamiku sering pulang malam, aku sangat kasihan melihat wajah lelahnya ketika pulang.
Selesai makan, aku langsung menemani Elsa tidur. Baru beberapa halaman aku bacakan Elsa buku dongeng, dia akhirnya tertidur juga. Ku selimuti tubuhnya lalu ku kecup keningnya. Setelah itu baru aku kembali ke ruang makan.
Sampai di ruang makan, aku tak melihat nasi berkurang sedikitpun. Sepertinya ibu dan adikku masih ngambek jadi mereka tak mau makan. Aku tak mau ambil pusing soal mereka. Umur sudah banyak tapi sikap mereka masih juga kekanak-kanakan.
"Kamu belum makan, sayang?"
Suara suamiku membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum lalu bangkit dan menarik sebuah kursi untuknya duduk.
"Aku tunggu Mas pulang!" balasku. Ku ambilkan dua centong nasi untuk suamiku lalu membiarkannya memilih sendiri lauk yang Ia suka.
"Makanannya kok masih banyak. Ibu dan adikmu enggak makan?" tanya suamiku lalu menyuap nasi dalam mulutnya.
"Mereka lagi ngambek Mas." jawabku sembari mengunyah.
"Ngambek lagi? Kenapa?"
"Anisa beli ponsel baru, Mas. Aku tanya uangnya darimana, eh malah mereka jawabnya kemana-kemana. Pakai nuduh aku pelit segala lagi!" aku mulai curhat.
"Bener juga kata mereka sih kalau kamu terlalu pelit sama mereka. Padahal kan Mas enggak pernah mempermasalahkan loh kamu mau belikan apapun sesuai permintaan mereka." Suamiku malah membela adik dan ibu tiriku. Mood makanku tiba-tiba hilang.
"Loh kok Mas malah bela mereka sih! Aku pelit sama mereka itu karena aku enggak tega belanjain uang hasil kerja Mas buat sesuatu yang kurang penting." ku letakan sendok diatas piring. Padahal aku makan baru sedikit, tapi karena pembelaan suamiku pada adik dan ibu tiriku membuatku benar-benar kehilangan selera makan.
"Mas bukan bela mereka, La. Uang bisa di cari lagi, apa susahnya belikan saja apa yang mereka mau. Mereka juga keluargamu, La. Mas enggak mau kalian bertengkar cuma gara-gara masalah sepele seperti ini!"
Aku mengalah dan memilih diam. Kalau tahu ujung-ujungnya suamiku lebih membela adik dan ibu tiriku mending tadi aku tak perlu curhat padanya.
"Kok enggak di habisin sih makanannya, mubazir loh masih banyak gitu!"
"Udah enggak selera lagi!" balasku jutek.
"Ola...Ola...! Kamu ini aneh, orang lain berjuang mati-matian pengin suaminya baik sama keluarganya. Tapi kamu kok enggak. Kamu malah kelihatannya pengin Mas musuhin keluargamu sendiri." suamiku menggelengkan kepalanya sembari menatap kearahku.
"Aku bukan nyuruh Mas buat musuhin mereka. Aku cuma mau Mas jangan terlalu baik sama mereka. Dulu Almarhum Ayahku sampai terlilit hutang karena selalu menuruti permintaan mereka. Aku enggak mau nasib kita sama Mas. Mas paham enggak sih maksudku!"
"Iya, paham. Sudah, ah. Enggak usah emosi gitu terus. Cantiknya ilang tau! Mas buatin kamu susu ya, biar moodmu kembali bagus!" suamiku bangkit dari duduknya padahal makanan di piringnya belum habis.
"Mas, aku bisa buat susu sendiri!" aku raih lengannya agar dia mau duduk lagi.
"Kamu lagi emosi kaya gitu, biar Mas yang buatin saja!"
Sembari tersenyum suamiku melepaskan cengkeraman tanganku. Aku hanya bisa pasrah lalu kembali duduk. Sebenarnya aku kasihan pada suamiku, dia pasti lelah baru pulang kerja tapi masih juga menyempatkan diri membuatkanku segelas susu.
"Ini minum!" ucapnya sembari meletakan segelas susu tepat di hadapanku.
"Makasih ya, Mas. Maaf, aku jadi merepotkanmu!"
"Iya, enggak apa-apa."
Aku meniup sesaat susu ditanganku lalu mulai menyesap pelan-pelan.
"Gimana, emosimu sudah sedikit mereda setelah minum susu buatanku?" tanya suamiku.
"Iya, sih Mas. Tapi kenapa tiba-tiba kepalaku terasa berat ya?" ucapku sembari memijit kepalaku dengan satu tanganku.
"Kamu pasti kecapean karena nungguin Mas pulang sampai malam begini. Yuk, Mas bantu kamu naik ke kamar!" suamiku bangkit lalu mulai membantuku berjalan. Entah kenapa sudah tiga hari ini aku selalu seperti ini setelah meminum susu pemberian suamiku. Kepalaku terasa berat dan mata terasa sangat mengantuk.
##Bab 2 Suamiku Membela Adikku
Sinar mentari menerobos masuk lewat celah-celah jendela. Rasa hangat yang menyengat kulitku membuatku menggeliat dalam lelap. Pelan ku buka mata setelah mendengar teriakan tukang sayur keliling, bukankah Bang Fandi biasa berjualan sekitar pukul 9 pagi? Jadi apakah kali ini aku juga bangun kesiangan lagi?
Mataku melotot melihat jam dinding di kamarku, ternyata benar ini sudah jam sembilan pagi. Bagaimana bisa tiga hari berturut-turut aku selalu kesiangan bangun seperti ini?
Aku hendak bangkit untuk meraih ponselku di atas nakas, tapi kepalaku masih terasa sangat berat. Akhirnya dengan sedikit dipaksakan aku berhasil juga pelan-pelan bangkit lalu beralih ke sofa dengan menggenggam ponsel di tanganku.
Baru saja selesai mengetik, ku dengar suara gemercik air dalam kamar mandi. Mungkinkah itu Mas Dani? Hari sudah sesiang ini, bagaimana bisa dia masih berada dalam rumah?
"Kamu sudah bangun sayang?" tanya suamiku setelah keluar dari kamar mandi.
"Ya, baru saja aku bangun. Maafin aku ya, Mas. Sudah tiga hari ini aku selalu bangun kesiangan." jawabku dengan raut wajah bersalah.
"Enggak apa-apa. Mas paham kok, kamu pasti kecapean mengurus rumah!" balas suamiku sembari tersenyum menampilkan lesung pipinya. Wajahnya terlihat selalu tampan, aku tak pernah bosan menatap wajahnya meski usia pernikahan kami sudah menginjak delapan tahun.
"Cape? Semua pekerjaan rumah Mbok Yuli yang ngerjain. Mana mungkin aku kecapean Mas."
Suamiku hanya tersenyum menanggapi ucapanku sambil mengenakan baju santainya.
"Loh, Mas kok pakai baju santai. Memangnya Mas enggak kerja hari ini?" tanyaku kemudian.
"Hari ini hari minggu sayang, masa kamu lupa hari?"
"Astaga, pantes saja aku heran. Sudah sesiang ini kamu belum berangkat kerja!" aku menepuk jidatku sendiri setelah menyadari kekonyolanku.
"Kayaknya kamu lagi banyak pikiran, La. Masa hari saja kamu sampai lupa!"
"Entahlah Mas, padahal aku enggak lagi mikirin apa-apa. Tapi tiga hari ini kepalaku sangat sakit ketika bangun tidur."
"Ya udah enggak usah di pikirin, mungkin kamu butuh istirahat saja!"
"Ya, Mas. Aku juga berpikir seperti itu. Sekarang aku mau turun ke bawah, mau lihat apa Mbok Yuli sudah selesai siapin sarapan atau belum!"
"Ok!" balas suamiku.
Saat aku hendak berdiri, tak sengaja tanganku menyentuh sebuah ikat rambut. Aku mengernyit sejenak melihat ikat rambut adikku ada disini. Bukankah semalam ketika kami bertengkar dia masih menggunakan ikat rambut ini? Lalu kenapa sekarang benda ini bisa berada disini?
"Mas, apa semalam Anisa datang ke kamar ini?" tanyaku pada suamiku.
"E...enggak...kok...! Memangnya kenapa?" jawabnya terlihat sedikit gugup.
"Ini ikat rambutnya, kenapa ada di atas sofa sini?" tanyaku sembari memperlihatkan ikat rambut merah milik Anisa kearah Mas Dani.
"Owh itu. Semalem Mas enggak sengaja liat ikat rambut itu di depan kamarnya. Karena segan mau ketuk pintu kamarnya, jadi Mas bawa saja ke dalam sini.
"Owh!" aku mengangguk mengerti kemudian melangkah untuk membasuh mukaku. Setelah selesai baru aku keluar kamar menuju dapur.
"Mbok, sarapan sudah siap kan?" tanyaku pada Mbok Yuli yang sedang mengepel lantai dapur.
"Sudah, Buk. Semua masakan sudah terhidang di ruang makan!" balas Mbok Yuli.
"Ya sudah kalau begitu. Saya panggil suami saya dan yang lainnya untuk sarapan sekarang juga!"
Aku pun bergegas naik lagi ke lantai dua. Sebelum masuk dalam kamar, aku berhenti di depan kamar Anisa yang kebetulan letaknya tepat di hadapan kamarku. Awalnya aku ragu mengetuk pintu, tapi setelah melalui banyak pertimbangan, aku beranikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya juga.
"Nis, sarapan sudah siap. Kamu turun makan ya!"
Tak ada sahutan, aku kembali mengetuk pintu.
"Nis, maafin ucapan Mbak kemarin. Mbak cuma lagi emosi!"
Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Anisa terlihat sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia memakai t shirt sangat ketat hingga bagian dadanya terlihat sangat besar.
"Mbak turun dulu, aku keringin rambutku bentar!" ucapnya. Syukurlah kelihatannya Anisa sudah tak marah lagi denganku.
"Nis, kamu ganti baju ya. Enggak enak di lihat Mas Dani kalau kamu sarapan dengan baju seketat itu!" ucapku setengah berbisik.
"Maleslah Mbak kalau mau ganti lagi."
"Tapi, Nis. Bajumu itu terlalu ketat. Apa kamu enggak malu terlalu memperlihatkan bagian dadamu di depan Mas Dani!"
"Emang kenapa sih, Mbak. Mbak takut perhatian Mas Dani akan teralihkan kepadaku kalau aku pakai baju ketat ini?"
"Kamu kok makin ngelunjak jadi orang ya. Mbak sebagai perempuan saja malu lihat kamu pakai baju seperti ini, apalagi Mas Dani. Terserahlah sekarang kamu mau pakai baju seperti apa, yang penting Mbak sudah ingetin kamu!"
Dengan nafas kembang kempis aku membuka pintu kamarku lalu membantingnya. Suamiku yang tengah sibuk dengan ponselnya sampai terjengkit kaget karena perbuatanku.
"Kamu ini kenapa, La. Kok kasar seperti ini?" tanya suamiku dengan nada sedikit tinggi.
"Aku kesel sama Anisa, Mas. Di nasehatin untuk tukar baju yang lebih sopan malah nuduh aku yang bukan-bukan!" jawabku dengan raut wajah ketus.
"Kamu ini kenapa akhir-akhir ini cerewet sekali sama Anisa. Biarin dia lah mau pakai baju seperti apa itu hak dia!" lagi-lagi suamiku membela Anisa.
"Mas disini ada kamu, apa dia enggak ngerasa segan sama sekali sama kamu kalau pakai baju ketat seperti itu!"
"Namanya juga Anisa masih muda, wajarlah kalau dia lebih suka pakai baju ketat dari pada yang longgar-longgar. Sudahlah, La. Mas lapar. Enggak usah bahas ini lagi. Cape dengerin curhatanmu yang sama terus dari kemarin-kemarin!" suamiku bangkit lalu keluar kamar. Aku terpaksa mengikutinya dari belakang.
Di ruang makan sudah ada Elsa duduk di sebelah ibu tiriku. Kemudian aku dan Mas Dani duduk bersebelahan. Baru setelah itu ku lihat Anisa datang.
"Pagi Mas Dani!" ucap ramah Anisa. Sepertinya dia sengaja memancing amarahku lagi karena terang-terangan sekali dia tersenyum nakal kearah suamiku.
"Pa...pagi...Nis...!" balas suamiku gugup.
Saat Anisa mengambil tempat duduk tepat di depanku, tak sengaja aku melihat satu jejak merah di lehernya. Aku terkejut bukan main, semalam saat kami bertengkar aku belum melihat ada tanda itu di lehernya. Lalu kenapa sekarang ada?
##Part 3 Jejak Merah Di Leher Adikku
"Nis, semalam kamu enggak pergi kemana-mana kan?" tanyaku pada Anisa. Melihat tanda merah di lehernya tiba-tiba mengingatkanku pada ucapannya semalam bahwa mulai sekarang dia bisa dapatkan uang sendiri tanpa bantuanku. Sumpah saat ini aku sangat takut kalau dia benar-benar membuktikan ucapannya. Di luar sana banyak sekali lelaki hidung belang, hidup Anisa bisa benar-benar hancur jika dia salah melangkah sedikit saja.
"Pergi kemana sih, Mbak. Mbak tahu sendiri kan setelah bertengkar dengan Mbak aku langsung mengurung diri dalam kamar!"
Bohong, Anisa pasti sedang mencari alasan untuk menutupi kesalahannya. Kalau dia tak keluar bagaimana bisa jejak merah itu bisa ada di lehernya.
"Nis, sekarang jujur sama Mbak. Setelah Mbak tidur kamu mengendap-endap pergi dari rumah kan?"
Sarapan belum di mulai tapi aku sudah merusak mood semua orang karena emosiku mendengar kebohongan Anisa.
"Kamu kenapa sih, La. Dari kemarin kayaknya kok emosi terus sama adikmu!" protes ibu tiriku. Aku tak segera menjawab pertanyaannya melainkan mendekat ke arah putriku lebih dulu.
"Elsa sayang, sekarang pergi ke kamar dulu ya. Nanti biar Mamah yang anter makanan ke kamar kamu!"
Meski terlihat berat hati Elsa hanya mengangguk tanpa banyak bertanya. Dia bergegas lari menuju kamarnya.
"Kamu kenapa, La. Dari kemarin sepertinya cari masalah terus sama Anisa!"
Kini suamiku ikut berbicara membela adikku.
"Mas aku cuma takut Elsa melakukan hal yang tidak-tidak di luar sana. Dia adikku Mas, meski bagaimanapun juga aku merasa bertanggungjawab dengan masa depannya!"
"Mbak ngomong apaan, sih. Sumpah Mbak, aku sama sekali enggak keluar rumah semalam!" Anisa terdengar mulai membela diri.
"Bohong! Kalau kamu enggak keluar rumah bagaimana bisa ada jejak merah di lehermu!" Aku mendekat kearah Anisa untuk menunjukan jejak merah yang aku maksud.
"Ini mungkin cuma karena aku menggaruk terlalu kuat saja Mbak." Anisa masih ingin membela diri.
"Mbak enggak bodoh Anisa. Mbak tahu bedanya luka akibat garukan dengan jejak merah yang seseorang tinggalkan di lehermu!"
Anisa terlihat kebingungan. Dia menoleh kearah ibunya seperti sedang memberi kode pada ibunya untuk membelanya.
"Anisa sudah besar, La. Dia tahu mana yang baik mana yang enggak. Kamu mendingan berhenti ngurusin urusan dia. Kayak kamu enggak pernah muda saja!"
Aku menoleh kearah suamiku yang dari tadi terus-terusan mencoba membela Anisa.
"Kalau dia tahu mana yang baik dan mana yang enggak, tidak mungkin dia berani mengendap-endap keluar rumah malam-malam hanya untuk menemui pasangan mes*mnya, Mas. Anisa adikku, kenapa kamu selalu melarangku mengatur hidupnya? Kalau sampai Anisa hamil di luar nikah, kamu mau ikut tanggung jawab?"
Wajah suamiku terlihat merah menyala, namun kali ini dia memilih diam tak menyahut lagi ucapanku.
"Ibu percaya Anisa enggak mungkin ngelakuin hal di luar batas, La. Jadi berhenti mencurigai Anisa lagi."
"Ibu...Ibu...Bukti Anisa telah melakukan hal di luar batas sudah di depan mata pun ibu masih bilang percaya dia tak melakukan apa-apa. Lihat Anisa dari tadi diam, berarti apa yang aku tuduhkan tidak sepenuhnya salah kan?"
Anisa menatap marah kearahku, matanya sedikit berair. Tak berapa lama kemudian wanita itu bangkit lalu pergi dengan menghentakan kakinya. Ibu tiriku mengikutinya, sepertinya pagi ini mereka akan kompak mogok makan lagi.
"Mas malu sama ibu dan Adikmu, La. Sebelum kamu mau minta maaf sama mereka jangan harap Mas mau makan bareng kamu lagi!"
Loh-loh, kok suamiku ikut-ikutan pergi. Aneh, kenapa akhir-akhir ini dia terlalu membela Anisa secara berlebihan. Padahal sebelumnya dia juga ikut kesal melihat sikap arogan Anisa. Apalagi kalau dapat surat peringatan dari sekolah Anisa ketika wanita itu membuat masalah.
Melihat semua orang pergi, mood makanku sudah hilang. Akhirnya aku hanya makan beberapa suap lalu mengantarkan sepiring nasi beserta lauk ke kamar anakku Elsa.
"Elsa, sayang. Maaf ya kalau Mamah telat antar makanan kamu. Kamu pasti sudah sangat lapar kan?" tanyaku setelah mendekat kearah Elsa.
"Enggak apa-apa, Mah. Sini Elsa makan sekarang saja!"
Elsa mulai melahap makanan yang ku bawa dengan rakus. Sepertinya dia sudah benar-benar lapar tadi. Sesaat rasa bersalah padanya muncul. Karena tak bisa menahan emosiku pada Anisa, aku jadi membuat Elsa kelaparan seperti ini.
"Pelan-pelan makannya sayang, nanti kamu bisa tersedak!" ucapku sambil mengelus rambut anakku.
"Hehe...Elsa lapar banget, Mah." balasnya sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.
Aku kemudian memberinya segelas air putih setelah anakku selesai makan.
"Mah, Mamah bertengkar lagi sama Tante Anisa ya?" tanya putriku setelah meletakan gelasnya diatas meja kamar.
"Enggak kok, tadi Mamah cuma ingin bertanya kemana dia semalam!" jawabku.
"Loh kok Mamah bertanya kemana Tante Elsa semalam. Bukannya dia ada di kamar Mamah semalaman tadi ya?"
Degh!
Aku sontak terkejut mendengar ucapan Elsa. Bagaimana dia bisa mengatakan kalau semalam Anisa ada di kamarku.
"Mamah tidur setelah makan malam sayang, enggak mungkinlah Tantemu ada di kamar Mamah semalam!"
"Mah, beneran Tante Anisa ada di kamar Mamah kok semalam. Subuh tadi Elsa bangun karena pengin pipis. Saat Elsa baru buka pintu kamar, enggak sengaja Elsa lihat Tante Anisa keluar dari kamar Mamah. Elsa pikir Tante Anisa tidur bareng sama Mamah!" cerita putri luguku yang masih berusia tujuh tahun itu.
Tidak mungkin, tidak mungkin Anisa ada di kamarku semalam. Elsa pasti semalam cuma mimpi, dia tak benar-benar melihat Anisa keluar dari kamarku. Aku terus berharap apa yang barusan Elsa katakan tidaklah benar.
Saat aku mencoba mengelak kebenaran cerita Elsa, tiba-tiba aku teringat kejadian saat aku menemukan ikat rambut Anisa yang ada di sofa kamarku. Melihat bukti itu, mau tak mau aku harus lebih percaya ucapan putri kecilku di banding Mas Dani. Kalau benar apa yang Elsa katakan barusan, berarti jejak merah di leher Anisa yang ku lihat itu ulah dari Mas Dani bukan dari lelaki lain?
##Bab 4 Anisa Shooping Barang Mahal
Kakiku terasa lemah saat ku gerakan, seluruh kekuatanku seakan ikut menghilang setelah mendengar cerita Elsa barusan. Suamiku sebelumnya orang yang sangat baik, dia bukan lelaki gampangan yang mudah tergoda oleh seorang perempuan. Jadi aku belum bisa menyimpulkan apapun saat ini sebelum aku melihat kebej*dan suamiku melalui kedua mataku sendiri. Namun meski begitu tetap saja, ucapan Elsa terus mengganggu pikiranku. Aku takut kehilangan orang sebaik Mas Dani. Dia satu-satunya penguatku saat aku kehilangan kasih sayang Ayahku yang lebih mencintai putri keduanya yakni Anisa.
Baru saja membuka pintu kamar, aku menemukan suamiku dengan penampilan yang sudah rapih. Tak lupa lelaki itu menyemproti tubuhnya dengan parfum yang sangat wangi.
"Mas, kok sudah rapih. Mau kemana kamu?" tanyaku pada Mas Dani.
"Mau makan diluar." jawabnya tanpa mau menatap kearahku.
"Kok makan di luar, sih. Mas. Di rumah makanan masih banyak, loh!"
"Aku sudah kehilangan selera makan di rumah ini." jawabnya ketus sembari menggerakan kakinya ke luar kamar.
"Tunggu Mas, ini kan cuma masalah sepele. Kenapa kamu bereaksi sampai separah ini?" Aku mengejar lalu mencengkal lengan suamiku. Mencoba menahan lelaki itu agar tidak pergi.
"Masalah sepele gimana? Sikapmu akhir-akhir ini menyebalkan banget, La. Sudah tiap hari bangun telat, marah-marah enggak jelas lagi sama adikmu. Kamu mau mempermalukan Mas di depan keluargamu?"
Mas Dani malah jadi mengungkit kesalahanku yang beberapa hari ini selalu bangun kesiangan. Padahal sebelumnya dia tak pernah mempermasalahkan hal ini.
"Mas, adik perempuanku itu jelas-jelas sudah melakukan hal di luar batas. Sebagai kakaknya emang enggak boleh ya aku nasehatin dia? Niatku padahal baik Mas, aku enggak mau adikku kenapa-kenapa. Masa depannya masih panjang, aku takut saja dia menyesal nantinya!"
"Niat kamu memang bener, tapi cara nasehetin kamu yang salah, La. Harusnya kamu merangkulnya, bicarakan ini baik-baik ketika kalian sedang berdua saja. Bukan malah memarahinya ketika banyak orang seperti tadi. Enggak kebayang betapa sakit hatinya Anisa saat di permalukan kamu di depanku dan ibumu!"
Aku akui kali ini aku salah, karena emosi aku langsung saja mengintrogasi adikku tanpa memikirkan perasaan wanita itu. Tapi sungguh aku tak berniat mempermalukannya. Semua reflek terjadi begitu saja.
"Betul katamu, Mas. Aku memang salah karena menegurnya pada saat enggak tepat seperti tadi. Aku minta maaf, jadi tolong enggak usah pergi. Yuk, aku temenin kamu makan di bawah!" bujukku. Aku mencoba meredakan amarah suamiku. Pertengkaran ini takan ada ujungnya kalau tidak ada yang mau mengalah.
"Aku baru mau makan di rumah kalau kamu sudah minta maaf sama adikmu. Kamu mau minta maaf sama dia?"
Aku membeku sambil menatap lurus kearah suamiku. Seberubah ini suamiku sekarang. Delapan tahun menikah dengannya aku selalu di perlakukan seperti ratu di rumah ini. Tak sekalipun lelaki ini membentakku sebelum pada akhirnya dia selalu membela Anisa seperti saat ini.
"Apa perasaan Anisa sekarang lebih penting buat kamu ketimbang aku, Mas? Kamu enggak sadar, permintaanmu barusan sangat melukai hati aku?" Aku berucap tanpa sadar cairan bening lolos begitu saja dari pelupuk mataku.
"Mulai baper lagi, kamu. Sudahlah Aku malas meladeni wanita pemarah yang baperan seperti kamu!" suamiku menepis tanganku kemudian melanjutkan langkahnya. Aku menatap penuh amarah kearah lelaki yang sudah sangat berubah itu.
Saat hendak berbalik menuju kamarku lagi, pintu kamar Anisa terbuka. Wanita itu pun terlihat sudah bernampilan rapih dengan mengenakan sling bag di tubuhnya.
Tunggu, kenapa Anisa dan Mas Dani ingin keluar rumah saat bersamaan seperti ini. Mereka tak janjian kan?
"Mau kemana kamu, Nis?" tanyaku pada wanita pembuat masalah ini. Anisa mengunci pintu sembari menjawab ketus pertanyaanku.
"Mau jumpa temen!"
"Jumpa temen, dengan baju seperti itu?" tanyaku sambil menunjuk kearah dress seksinya.
"Bukan urusan Mbak!" jawabnya sinis.
"Nis, Mbak perhatikan sikap kamu akhir-akhir ini kok makin kurangajar, ya? Kamu pikir karena suami Mbak selalu belain kamu, kamu jadi bisa semena-mena ngelawan Mbak gitu?"
"Aku enggak punya waktu ngeladenin Mbak. Temenku sudah nungguin aku diluar. Minggir!" Anisa makin berani bersikap kurang aj*r.
"Denger ya, Nis. Mbak tunggu perubahan sikap kamu, jika kamu masih berani kurangaj*ar lagi sama Mbak, sumpah Mbak enggak mau lagi ngurusin kamu juga ibu. Silahkan kalian keluar dari rumah ini!"
Aku tak benar-benar ingin mengusir adik dan ibuku, ini hanya gertakan untuk kembali membuat Anisa menjadi adik manisku.Tapi, jika dia masih tak mau berubah, terpaksa aku benar-benar akan mengusirnya. Daripada rumahtanggaku dan Mas Dani hancur berantakan karena wanita ini, lebih baik dia pergi saja dari sini.
Mata Anisa terlihat berkaca, mungkin dia tak menyangka aku tega mengusirnya dari rumah suamiku.
Anisa pun pada akhirnya memilih tetap pergi. Dia menabrak sebagian bahuku saat melewati tubuhku. Hal ini seolah memberi tanda bahwa dia takut sama sekali dengan ancamanku. Aku menatap kepergian wanita itu dengan perasaan sangat jengkel.
Saat Anisa sedang berjalan menuruni anak tangga, bergegas aku lari ke balkon. sekedar memastikan kalau wanita itu keluar dengan Mas Dani atau tidak.
Dari balkon kamar, ku lihat teman dekat Anisa yang bernama Ririn sudah ada di depan pagar rumah. Aku pun pada akhirnya bisa bernafas lega ketika melihat Anisa menghampiri Ririn lalu mereka berboncengan pergi dengan motor milik Ririn. Kecurigaanku salah, ternyata Mas Dani dan Anisa tidak janjian keluar bersama.
Hari minggu yang membosankan, biasanya satu harian full di temani oleh Mas Dani tapi kini tidak lagi. Gara-gara pertengkaran kami, aku di tinggalnya sendiri di rumah.
Karena bosan akupun mengambil ponselku, mendengarkan musik favorit ku rasanya bisa sedikit mengobati perasaan kacauku saat ini.
Bosan mengulang lagu yang sama beberapa kali, akhirnya aku berselancar ke media sosial. Baru saja membuka akun fb ku tiba-tiba mataku menyipit melihat status yang adikku posting di wall pribadinya
'Makan siang yang sangat berkesan. Makasih ya, sayang!!!'
Anisa memamerkan beberapa hidangan mewah dan beberapa papper bag yang berlogo butik ternama. Harga satu pakaian di butik itu saja jutaan rupiah dan Anisa membeli bukan hanya satu pakaian saja. Aku penasaran siapa yang belikan Anisa barang-barang mahal itu. Kalau pacarnya masih bocah SMA sepertinya tidak mungkin. Mengingat Anisa di belanjakan barang-barang semahal itu pasti pacar Anisa orang kaya.
##Bab 5 Berbaikan
Hari menjelang sore, aku membantu Bik Yuli menyirami bunga di halaman rumah ini. Saat kami sedang asik berbincang, aku melihat sebuah taksi berhenti di depan pagar. Aku dan Mbok Yuli kompak melihat kearah taksi tersebut.
Seorang wanita dengan dres seksi yang di kenakannya membuat moodku yang awalnya baik-baik saja seketika berubah menjadi buruk. Wanita itu adalah Anisa, adik tiriku yang tak tau terimakasih itu.
"Mbok, bukain gerbangnya dong!" mohon Anisa sambil berdiri tepat di depan pagar.
"Mbok Yuli sedang sibuk, kamu kan punya tangan. Mending langsung buka saja dengan tanganmu. Enggak usah ngerepotin orang yang lagi sibuk!"
"Aku bawa banyak barang, Mbak. Susah!" ucapnya sambil memamerkan beberapa papper bag yang ada di tangannya.
"Susah gimana, Nis. Kamu loh tinggal letakin papper bag itu lalu geser gerbangnya. Apa susahnya?"
Wajah Anisa cemberut, namun meski begitu wanita itu tetap melakukan seperti apa yang ku suruh. Setelah selesai, dia berjalan melewatiku, aku membiarkannya lewat begitu saja tanpa mau menanyainya soal barang belanjaannya. Malam ini aku tak mau bertengkar dengan suamiku, jadi sebisa mungkin sementara waktu aku akan menahan diri untuk tidak mencari keributan dengan Anisa.
Selang tiga puluh menit dari kepulangan Anisa, Mas Dani pun pulang. Aku menyambut kepulangannya dengan senyuman. Semoga dengan sambutan ramahku saat ini bisa meredakan kemarahan Mas Dani tadi pagi.
"Mau aku siapkan air anget buat mandi, Mas?" tanyaku pada suamiku setelah kami berada dalam kamar.
"Enggak perlu, Mas mau lansung tidur saja. Mas cape banget!"
Apa katanya tadi? Cape? Dia tidak bekerja hari ini, kenapa malah dia mengeluh cape?
"Ini sudah mau maghrib loh, Mas. Enggak baik tidur di jam-jam seperti ini!"
"Udah enggak usah banyak ngomong kamu, Mas cape jadi Mas mau tidur sekarang juga!"
Aku hanya diam memandangi suamiku yang langsung bisa terlelap setelah membentakku. Entah apa yang sudah di lakukannya sampai wajahnya terlihat sangat letih seperti itu.
Ku dekati tubuh suamiku lalu ku buka sepatu yang belum sempat di lepaskannya. Setelah selesai baru aku selimuti tubuhnya.
Sudah adzan maghrib, aku mencoba membangunkan suamiku tapi dia sama sekali tak mau bergerak. Akhirnya aku membiarkannya tidur saja tanpa menjalankan kewajibannya dulu sebagai seorang muslim.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam, suamiku belum juga terbangun. Akhirnya aku memutuskan untuk makan malam tanpanya.
Di ruang makan terlihat sangat sunyi, hanya ada aku dan anakku Elsa saja. Adik dan ibu tiriku memilih mengorder makanan online daripada satu meja makan denganku. Aku sama sekali tak berniat membujuk kedua wanita itu, takutnya mereka makin besar kepala jika aku melakukan itu.
Kita lihat saja sampai kapan pacar Anisa mampu memberi wanita boros itu uang. Semoga kehidupan pacar Anisa tidak berakhir seperti Almarhum Ayahku yang awalnya kaya namun harus terlilit hutang karena terlalu memanjakan ibu tiriku.
"Loh kok makan enggak bangunin, Mas?" tiba-tiba suamiku datang mendekat kearahku juga Elsa. Dia mencium pipi Elsa kemudian menarik kursi yang ada tepat di sebelah kiriku.
Aku sempat mengernyitkan kening saat dia bertanya seperti itu, bukannya tadi pagi dia sempat bilang kalau dia takan mau makan bersamaku jika aku belum minta maaf sama Anisa?
"Aku takut buat Mas marah saja karena sebelumnya Mas bilang padaku kalau Mas tak mau makan bersamaku selagi belum minta maaf sama Anisa." jawabku jujur.
"Mas tadi pagi cuma lagi emosi saja. Maaf, ya sayang. Akhir-akhir ini Mas memang kurang bisa mengontrol diri!" ucapnya sambil menyendok nasi ke atas piringnya.
Berbeda dari sebelum tidur, aku melihat raut wajah suamiku yang sangat ceria kali ini. Aku merasa senang karena dia sudah kembali menjadi suamiku yang baik dan lembut.
"Mas mau lauk apa?" tanyaku pada lelaki disampingku.
"Mau Ayam goreng sama sayur buncis itu!"
"Ok!" Aku langsung mengambilkan Ayam goreng beserta sayur buncis sesuai permintaan suamiku.
Malam ini kami banyak mengobrol dan becanda. Elsa terlihat sangat senang karena melihat kami kembali harmonis seperti sebelumnya.
Setelah selesai makan, aku mengantarkan Elsa ke kamarnya. Elsa bilang dia langsung mau tidur saja jadi aku tak perlu membacakan dongeng seperti yang sudah-sudah.
Saat masuk dalam kamar, ku lihat Mas Dani sedang cekikan berbalas pesan dengan teman-temannya. Aku mendekat kearahnya lalu duduk tepat disamping kirinya.
"Mas enggak mau lanjut tidur?" tanyaku pada lelaki itu.
"Mas masih belum ngantuk sayang!" jawabnya sambil mengetik.
"Mas sudah beberapa hari aku selalu ketiduran dan tak sempat melayanimu. Apa ini alasan kamu selalu marah-marah sama aku?" tanyaku memberanikan diri.
Mas Dani menoleh kearahku kemudian meletakan ponselnya diatas meja.
"Mas enggak marah karena masalah itu kok, sayang. Mas cuma mau kamu akur sama Anisa dan ibumu. Mas cape lihat kalian bertengkar terus."
Aku menghembuskan nafas panjang setelah mendengar jawaban dari Mas Dani.
"Aku bersikap keras seperti ini karena aku sayang Anisa, Mas. Aku enggak mau masa depan Anisa rusak karena pergaulan bebasnya."
"Iya, Mas mengerti. Tapi kamu harus bisa membimbingnya dengan cara yang lembut bukan dengan cara yang kasar seperti yang sudah-sudah!"
Sekali lagi aku menghembuskan nafas panjang, mencoba mengontrol emosi karena takut bertengkar lagi dengan Mas Dani.
"Aku akan mencoba bersikap lembut pada Anisa, tapi kalau wanita itu tak mempan juga aku peringati, jangan salahkan aku kalau aku kembali bersikap kasar padanya!"
"Yang penting kamu sudah mencoba sayang. Soal bagaiamana respon Anisa itu urusan nanti!"
Suamiku kembali mengambil ponselnya setelah selesai berbincang denganku. Setelah melalui banyak pertimbangan, aku memberanikan diri untuk bertanya tentang kedatangan Anisa subuh tadi ke kamar ini.
"Mas, kata Elsa. Subuh tadi dia melihat Anisa keluar dari kamar ini. Benarkah Mas?"
Mas Dani terlihat sangat terkejut mendengar pertanyaanku.
"Elsa mimpi mungkin. Mana mungkin Anisa subuh-subuh ada disini!" balas suamiku. Wajahnya terlihat tegang, aku rasa dia memang sedang berbohong.
"Elsa enggak mimpi kok, Mas. Dia benar-benar lihat Anisa keluar dari kamar ini."
"Ya ampun sayang, masa ucapan anak kecil kamu percaya sih. Ingat enggak beberapa hari lalu dia tidur sambil berjalan. Kalau Anisa enggak mergokin dia, sudah jatuh anak itu dari tangga!"
Aku mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Memang Elsa beberapa kali pernah berjalan sambil tidur, jadi aku tak bisa mutlak mempercayai ucapannya.
"Karena ucapan Elsa itulah aku jadi punya pikiran buruk sama kamu dan Anisa Mas. Aku pikir kalian berdua menjalin hubungan diam-diam di belakangku!" ucapku jujur. Ada rasa cemburu beecampur amarah saat mengucapkan hal itu.
"Kamu ini bisa-bisanya berpikiran seperti itu. Mas masih waras, enggak mungkinlah Mas mau macarin adikmu sendiri. Apalagi usianya masih 18 tahun." Mendengar jawaban suamiku seketika raut wajahku berubah menjadi malu.
"Hehe..Aku minta maaf sudah curiga sama kamu ya, Mas." ucapku sembari menahan rasa malu. Melihat reaksi wajahku yang seperti ini suamiku terlihat gemas. Dia meletakan ponselnya kemudian membopongku ke atas ranjang. Dia terlihat sangat liar malam ini, aku benar-benar kewalahan di buatnya. Beberapa jejak merah Mas Dani tinggalkan di leherku, aku sempat marah padanya tapi dia malah terkikik mendengar omelanku.
Jam menunjukan pukul empat pagi, aku membersihkan dan menyucikan diri sebelum aku menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim.
Setelah selesai solat, aku turun ke dapur untuk membantu Mbok Yuli memasak. Kami asik mengobrol hingga tak terasa semua pekerjaan telah selesai dengan cepat.
Saat aku naik kembali ke kamarku, tak sengaja berpapasan dengan Anisa yang sudah mengenakan seragam sekolahnya.
"Kamu enggak sarapan dulu, Nis?" tanyaku mencoba bersikap lembut pada Anisa. Sesuai janjiku pada Mas Dani kalau aku akan bersikap baik pada Anisa mulai hari ini.
Bukan menjawab Anisa malah melirik jengkel kearah leherku. Dia pergi begitu saja dengan raut wajah sangat marah. Aku hanya menggelengkan kepala melihat kelakuannya.
Sampai dalam kamar ku lihat suamiku sudah rapih mengenakan baju kerjanya. Aku pun menggandengnya keluar kamar menuju ruang makan.
Di ruang makan sudah ada Elsa, aku duduk di sebelah putri kecilku yang sedang mengolesi rotinya dengan selai strowbery kesukaannya.
Elsa memang kalau pagi tak pernah mau makan nasi, untuk itulah aku selalu menyediakan roti untuknya.
"Loh kok sepi, tadi kamar Anisa sudah gelap kenapa dia tak ikut sarapan?" tanya suamiku.
"Tadi aku sudah tawari dia makan Mas, tapi dia malah pergi begitu saja tanpa membalas ucapanku!"
Sesaat kemudian ponsel Mas Dani berbunyi. Setelah membuka pesan dia langsung bangkit dari duduknya.
"Sayang, Mas enggak ikut sarapan ya. Mendadak di kantor akan diadakan meeting pagi ini. Mas takut telat." ucap suamiku.
"Loh Mas, ini masih jam enam. Kamu makan kan cuma berapa menit jadi enggak mungkin akan telat!" ucapku.
"Sayang, Mas beneran enggak bisa ikut makan. Mas berangkat dulu ya. Tolong kamu antarkan Elsa pagi ini ke sekolah." suamiku terlihat buru-buru sekali, bahkan dia tak sempat mencium kening putrinya seperti kebiasaan yang fi lakukannya saking karena takut terlambat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
