
"Andai di bumi ini hanya tersisa satu laki-laki dan itu Juan, maka gue memilih menjadi amoeba yang membelah diri."
"Andai di bumi ini hanya tersisa satu laki-laki dan itu Juan, maka gue memilih menjadi amoeba yang membelah diri."
-Givanya Nantika Soekma-
*****
Namanya Juan Dirangga Moelya dengan garis keturunan darah biru dari ibunya yang seorang klan Wiratmojo. Ayahnya mungkin bukan turunan keraton, namun kesuksesannya di dunia bisnis telah mengantarkan namanya menjadi salah satu orang berpengaruh di dunia bisnis Indonesia. Dengan memiliki lebih dari sepuluh jenis usaha yang berada dinaungan Kita Moelya's Company, Juan hidup dengan seluruh kemewahan sejak ia baru bisa bersuara oek-oek.
Juan punya kakak perempuan yang galaknya sama seperti Giva. Namanya Nadine Dirana Moelya. Usianya 5 tahun lebih tua dibandingkan Juan. Kebetulan ia sudah menikah dengan salah satu pengusaha kaya raya asal Brunei Darussalam yang emasnya saking terlalu banyak sampai ditempel di wc. Kalau kata Juan, kakak iparnya bahkan lap keringat juga memakai lembaran duit dolar.
Hidup Juan itu impian banyak orang. Selain dianugerahi kekayaan karena lahir dari seorang Harun Siswandi Moelya, Juan juga hidup dengan tampang di atas rata-rata.
Matanya cantik.
Hidungnya bangir.
Bibirnya ranum.
Dekik di pipi serupa sihir.
Definition of handsome is Juan.
Tidaklah mengherankan kalau sejak masa pubertas, Juan sudah dikenal sebagai playboy yang memiliki fans bejibun. Hingga detik ini, urusan perempuan bagi Juan, selalu selancar jalan tol. Mau tidur dengan yang mana, Juan tinggal tunjuk. Mau hang out, mau ke club, mau beach party, mau ke manapun, Juan tinggal memilih dengan yang mana dan spek seperti apa.
Maka jelas sekali, ketika laki-laki itu mengatakan bahwa ia ingin menikah dengan Giva, sudah bisa ditebak reaksi perempuan itu seperti apa. Ditolak mentah-mentah sebab Giva tuh manusia paling paham Juan seperti apa.
Pernah suatu hari, Giva bertanya pada Juan. "Memangnya lo nggak bisa ya pacaran secara normal gitu?"
"Normal versi gue ya saling menikmati kebersamaan, Giva. Caranya ya cuddling without clothes, misalnya."
Giva jelas memukul kepala Juan saat itu. Ia jadi meratapi nasib perempuan-perempuan yang sudah dipermainkan Juan selama ini.
Lalu ketika langkah Giva jadi batal untuk keluar ruangan dan memilih berbalik padanya, Juan akhirnya menyerah. Memilih jujur demi menemukan solusi yang dirasa olehnya tepat.
Giva solusi bagi Juan.
"Seriusan lo mau dijodohin? Sama anak pangeran mana?"
Giva sejatinya kembali menghampiri Juan bukan karena kasihan pada laki-laki itu sih. Ia jelas mendekat hanya untuk mendengarkan cerita kelanjutan perkonglomeratan ini. Kakak Juan saja –Nadine – menikah dengan orang penting di Brunei, maka bisa dipastikan Juan juga nasibnya tidak akan jauh berbeda.
"Sama orang dari Negara upin-ipin, puas lo," ujar Juan kesal. Ia tidak habis pikir bagaimana wajah Giva justru berseri-seri setelah mendengar pengakuannya yang akan dijodohkan. "Kok lo senang banget sih, Giva?"
Perempuan itu tertawa. Ditepuknya pelan pundak sang sahabat. "Dinikmati saja ya Tuan muda."
"Masalahnya kalau gue kawin betulan, gue nggak bisa menikmati kehidupan gue yang menyenangkan itu Givanya."
"Banyak 'kan pengusaha yang selingkuh?" todong Giva enteng.
"Lo kira selingkuh setelah menikah itu menguntungkan? Nggak, Giva. Ribet tahu."
"Terus gimana?"
"Makanya opsinya cuma gue menikah sama lo."
Giva memukul lengan Juan keras hingga laki-laki itu mengeluh kesakitan. "Lo kira gue mainan lo apa?"
"Win-win solution, Giva."
"Dari mananya, kampret?"
"Usia kita sekarang sudah diangka 29, Givanya Nantika Soekma. Sekalipun orang tua lo yang satu orang bule dan tidak akan menuntut pernikahan, tapi nyokap lo orang jawa. Dimana lo sebentar lagi juga bakalan ditanya kapan kawin. Just tell me, who do you want to marry?"
"Iya ... belum ada sih."
"Laki-laki yang mau menikah dengan lo, memberikan lo biaya hidup dengan berapapun nominalnya, memberikan perhatian pada lo, memberikan sandang pangan dan papan berupa apartemen mewah atau rumah minimal 3 lantai, but there is no sex for him. Tell me, what man would want to be treated like that?"
Giva memandang Juan lekat. Ucapan sahabatnya jelas tepat sasaran. Laki-laki mana yang waras, yang akan memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak murah –sebab hobinya saja mengoleksi tas Dior dengan BA Jisoo Blackpink– tetapi tidak mendapatkan haknya secara utuh. Kesenangan yang biasanya diberikan seorang istri pada suami.
Tidak ada!
Tidak akan ada laki-laki semacam itu.
"Nggak ada," jawab Giva pada akhirnya. Nada bicaranya jelas kecewa, namun mengelak dari sipembicara ulung seperti Juan rasanya percuma. Ia akan diberondong lebih banyak fakta lagi. "Tapi bilang sama gue, apakah laki-laki itu lo? Laki-laki yang tidak akan menuntut sex dalam pernikahannya?"
"It's me."
"Seorang Juan yang bahkan saking kebeletnya sampai bercinta di apartemen gue?"
Juan berpura-pura tak mendengar. Ia mencoba menampik fakta.
"Itu rasanya lebih mustahil lagi, Juan. Kecuali kalau lo bermaksud menikah sama gue tapi bobo-bobo enak-nya dengan perempuan lain a.k.a selingkuh, itu baru masuk akal."
Juan sedikit terkejut. Maksud terselubungnya ternyata tercium juga oleh Giva.
"Dari ekspresi muka lo sih sudah ketahuan ya." Giva mendecak pelan. Ia akhirnya memilih benar-benar bangkit. Sudah lelah rasanya Giva meladeni omong kosong Juan sejak tadi. "Terserah deh lo mau nikah sama anak orang Inggris, Perancis, Maroko, bahkan walikota Bandung juga, gue nggak peduli. Gue sudah di ruangan ini 30 menit dan itu cukup bikin orang berspekulasi yang nggak-nggak. Bye!"
Giva mengabaikan rengekan Juan yang memohon agar dibantu terkait perjodohannya yang akan tiba sebentar lagi. Sayangnya perempuan itu tak menggubris bahkan kala Juan bilang akan membelikan segudang tas Dior yang mirip dengan Jisoo Blackpink.
*****
Juan itu seperti cenayang. Apa yang dikatakannya pada Giva minggu lalu, soal akan terbitnya pertanyaan 'kapan kawin?' dari keluarga perempuan itu, sialnya, benar-benar menjadi kenyataan.
Sebuah telepon di pagi hari, weekend Giva yang berharga, dering ponselnya menginterupsi. Giva malas sebenarnya. Bisa dipastikan kalau yang mengganggu waktu tidurnya pastilah Juan. Namun anehnya, setelah Giva mengabaikannya hingga dering kelima, sipenelepon tetap keras kepala. Jadilah Giva terpaksa membuka mata, melihat nama yang tertera lantas terkejut kemudian.
"Nembe tangi toh nduk?"
Dari seberang telepon sana, suara ayu milik perempuan paruh baya yang wajahnya tak kalah ayu memenuhi pendengaran Giva. Pertanyaannya sederhana, namun Giva merasa malu untuk menjawabnya.
"Hehehe iya bu."
"Nanti malam kita dinner sama-sama ya nduk."
Giva mengernyit. "Tumben, bu. Di rumah atau di luar?"
"Di rumah kitalah."
Giva mengangguk. "Sebenarnya rada curiga sih bu, tapi nggak mau suudzon dulu. Kira-kira nih ya, dinner yang dimaksud itu hanya antara aku, ibu, ayah sama Zaki atau ...." Giva menjeda kalimatnya. Berharap ibunya terdengar gugup karena rencananya ketahuan dan Giva bisa menyimpulkan. Namun anehnya terdengar anteng saja di seberang sana.
"Atau opo?"
"Atau ada maksud terselubung?"
Terdengar tawa pelan dari ibunya. Bisa Giva pastikan, meskipun tertawa, perempuan paruh baya itu tetap anggun. Sebab segala tindak tanduknya benar-benar rapi, tertata, dan mempesona.
Jelas!
Beda dengan Giva.
"Maksud opo toh nduk?"
Giva menghela napas. Cobanya disusun kalimat agar terkesan tidak menyinggung namun tetap to the point. "Perjodohan misalnya. Soalnya Juan juga begitu nasibnya. Usiaku sekarang 'kan sebentar lagi masuk 30 tahun. Kata Juan, pasti ibu juga akan ketar-ketir layaknya orang tua yang lain karena aku belum juga menikah."
"Terus?"
"Giva belum ketemu jodohnya, bu. Jodoh yang bisa menerima keadaan Giva. Ibu 'kan tahu sendiri, Giva punya kekurangan yang bahkan sudah bolak-balik ke ahli juga tetap nggak bisa disembuhkan. Menurut ibu, mana ada laki-laki yang mau menerima hal sepenting itu?"
Bisu saja di seberang sana. Giva bukannya hendak memancing rasa bersalah ibunya untuk kemudian membatalkan apapun rencana yang disusun sang ibu.
No!
Giva selalu menjadi anak yang penurut kok.
Tapi soal satu ini, Giva lebih ke arah sadar diri, begitu.
Takutnya ibunya nanti malu bila pernikahannya hanya bertahan seumur jagung. Lebih malu lagi kalau sampai alasan perpisahan itu ter-blow up ke luaran sana.
"Kalau ada laki-laki yang mau menerima keadaan kamu, nduk, menurutmu bagaimana?"
"Mana ada bu."
"Wes toh, percoyo karo ibu. Nanti kamu siap-siap ya, datang lebih awal lebih baik. Kalau ndak punya baju yang sopan, biar ibu siapkan."
Giva tertawa. "Punya dong bu."
"Yowes, ibu mau siap-siapin semuanya dulu ya."
"Nggih, bu."
Panggilan itu resmi ditutup, namun hati Giva masih berdebar-debar saja. Kepasrahannya untuk menerima keputusan paling besar dalam hidupnya itu semata-mata bukan karena ia tidak bisa melawan seperti Juan. Ia melakukan itu karena rasa cintanya pada ayah dan ibu. Tidak salah juga, 'kan mempercayakan pada pilihan ibunya ketika jelas-jelas setiap pilihan Giva, dulu, selalu gagal.
****
Rumah Giva cukup besar karena memiliki 2 lantai. Nuansa jawa yang dipadu padankan dengan modern minimalis cukup kental terasa. Menilik bagaimana ibu Giva masih mempertahankan bahasa Jawanya yang kental ketika berbicara dengan orang terdekat, menunjukkan seberapa berpengaruh setiap pemilihan properti di rumah ini.
Ayah Giva orang bule, kalau kata Juan. Dari Belanda ayah Giva berasal. Maka jangan tanya dari mana wajah cantik blasteran miliknya berasal. Meski begitu, laki-laki yang Februari kemarin berulang tahun ke 60 itu nyatanya tak kalah pandai juga berbahasa Jawa jika dibandingkan dengan ibu Giva. Walau bahasa jawanya jadi terdengar lucu karena aksen barat-nya masih terasa.
"Wes teko toh nduk?"
Suara lembut itu menginterupsi Giva yang baru saja sampai. Bergegas ia menyalami sang ibu dan memeluknya kemudian.
"Kangen ibu," ujar Giva tiba-tiba.
"Memangnya siapa yang suruh tinggal di apartemen ketika jelas-jelas punya rumah?" sindir ibunya.
Giva tertohok. Ia hanya bisa tertawa canggung ketika soal keputusannya untuk hidup mandiri kembali diungkit. Beruntung Giva punya ayah dari luar negeri sana, yang sudah pasti urusan hidup mandiri, akan didukung sepenuhnya.
"Ini sudah siap semuanya ya bu?" tanya Giva sambil matanya berpredasi ke sekeliling rumah. Di beberapa sudut, bunga segar tampak mengisi vas-vas. Belum lagi makanan yang sudah terhidang di meja, banyaknya mengalahkan acara ulang tahun Zaki tahun lalu.
"Ya sudah toh, lah wong iki wes jam sepiro," gerutu ibunya. "Disuruh datang lebih awal buat bantuin ibu malah datang mepet-mepet begini."
Giva tertawa. "Aku masih harus menyiapkan mental bu, jadi dari tadi banyak bengongnya. Seandainya ibu kasih tahu aku dari bulan lalu, mungkin aku nggak akan se-shock ini."
"Kalau ibu kasih tahu kamu dari bulan lalu, kamu pasti kabur."
Giva tertawa, ibunya tertawa.
"Sebentar lagi tamune teko. Ndang siap-siap,"perintah ibunya.
Giva hanya menurut. Ia memilih masuk ke dalam kamarnya yang sekarang kosong karena dirinya memilih tinggal di apartemen. Ruangan itu didominasi warna biru langit dengan beberapa pajangan dan foto di dalamnya. Beberapa adalah foto-fotonya waktu SMA dengan teman-teman satu kelas dan satu sekolah ketika tragedi itu belum terjadi. Sisanya – yang jauh lebih banyak– hanya foto-fotonya dengan Juan.
"Juan dulu nggak kaya sekarang," gumam Giva saat memperhatikan foto Juan di acara ospek kampus. "Dulu cupu," ujarnya seraya tertawa sendiri.
"Cupu-cupu juga gue ganteng kali, Givanya."
Suara itu familiar. Giva memejamkan mata saja sudah tahu siapa pemiliknya. Manusia yang paling menyerupai jelangkung karena sukanya datang tak dijemput, pulang tak diantar.
Sontak saja Giva berbalik. Di belakangnya, dalam jarak sepuluh meter, si laki-laki yang beberapa detik lalu ia katai cupu itu sedang bersandar pada pintu dengan kedua tangan dipangku.
"Dih sok keren," ejek Giva seraya kembali memilih fokus dengan foto-foto lamanya dibandingkan penasaran kenapa manusia satu itu tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya.
"Lo nggak tanya kenapa gue tahu lo pulang?" cecar Juan seraya mendekat. Juan tidak habis pikir bagaimana Giva itu tidak memiliki sedikitpun rasa penasaran soal dirinya. Kalau demikian 'kan harga diri Juan jadi terluka.
"Lo 'kan cs-an sama Mbok Wi dan Pak Slamet. Biasanya juga lo dapat info dari mereka."
Juan tertawa. Ia mendekat pada Giva dan merangkul pundak perempuan itu. "Lo memang manusia paling mengerti gue, Giva."
"Heh, jangan rangkul-rangkul bisa nggak, paduka raja?"
"Ow sorry. Tapi lo dandan cantik banget sih? Ada acara apa di bawah sana sampai si ibu gupek?"
Giva membalik album foto sekolahnya saat SD, memperlihatkan foto Juan dengan gigi-giginya yang tanggal.
"Lo dulu lucu banget, Juan." Giva masih tersenyum memperhatikan wajah Juan di foto tersebut. Mata yang sipit, kulit putih, pipi seperti bakpao dengan barisan gigi gerubis khas anak kecil. Juan adalah definisi menggemaskan.
"Jawab deh jangan mengalihkan topik pembicaraan."
Giva menghela napas panjang. "Gara-gara lo nih gue jadi ketulah. Gue mau dijodohin juga sama kaya lo. Eh ... omong-omong, gimana nasib perjodohan lo itu?"
"Lancar," jawab Juan enteng.
Giva mengernyit. "Lo setuju?"
"Mau nggak mau."
"Berarti lo mau nikah dong? Bisa dipastikan gue nggak akan dijajanin belanja bulanan lagi sama lo," rengek Giva dibuat-buat.
Juan tertawa. Ia menyentil dahi Giva hingga si perempuan mengaduh kesakitan. "Gue masih bisa ya beliin lo ini dan itu sekalipun gue menikah."
"Kenapa? Bini lo ngamuk dong nanti," balas Giva setengah kesal. Rasa kesalnya bukan karena ia yang akan ditinggal nikah laki-laki itu melainkan karena dahinya yang sakit akibat sentilan Juan.
"Gampanglah bisa diatur."
"Dih."
"Kalau ini juga acara perjodohan lo, berarti lo juga mau nikah dong?"
Kini Giva dan Juan sama-sama berdiri di balkon lantai dua, di depan kamar Giva. Keduanya memandang langit Jakarta yang malam ini tampak keruh. Tidak ada satu dua bintang yang bisa meromantisasi suasana dua sahabat tersebut.
"Iya, gue mau menikah."
Juan menatap Giva. "Kemarin gue ajakin lo nikah, nggak mau."
"Gue juga mau nikah tahunya baru tadi pagi. Nanti nasib gue gimana juga mana gue tahu. Gue cuma percaya dengan yang ibu bilang bahwa that man already knew my situation."
"Me too," kata Juan ngotot.
"Jadi aku punya 1 % harapan kalau suatu ketika ... mungkin orang tersebut bisa mencintaiku."
"Jadi menurut lo, kalau itu gue, bahkan 1% ini nggak akan pernah ada?"
Giva mengangguk, Juan jelas merengut.
"Lo selalu menyepelekan gue, Giva."
Giva tertawa. Entah bagaimana Juan belakangan ini memang selalu ngotot ingin menikah dengannya ketika jelas ... mereka berdua berbeda. Giva sendiri bahkan tak pernah membayangkan secuilpun dalam ingatannya, bahkan ketika ia sering memimpikan hidup dengan pangeran tampan, bahwa sosok yang akan berdiri dengannya mengikat janji suci adalah Juan.
Sejak kecil saja Juan itu sudah tertolak dari alam bawah sadar Giva.
"Nduk, ayo turun."
Di depan pintu kamarnya yang terbuka, Ibu Giva dengan kebayanya yang super rapi itu sudah berdiri. Mengajak Giva menemui calon suami yang akan merubah hidup Giva seutuhnya.
"Bye, Juan."
Giva tersenyum seraya melambaikan tangannya pada Juan dan menjauh. Meninggalkan laki-laki itu dalam ketermanguan yang rasanya aneh. Ia tidak pernah membayangkan akan menemui hari ini. Sebuah hari dimana Giva akan ia lepas untuk selamanya.
Berbeda ketika gadis itu berpacaran seperti dulu-dulu. Ia selalu masih bisa merusuhi kehidupan Giva dan bahkan mengambil alih atensi Giva agar tetap menjadikannya pemegang puncak skala prioritas dibandingkan sang pacar.
Tapi menikah?
Ia rasa tidak etis melakukannya lagi.
Menerobos ke apartemen Giva, misalnya.
Padahal ia suka berada di sana, berlama-lama di kasur Giva yang wanginya vanilla, bermain Uno saat bosan, atau bahkan memasak makanan kesukaan Giva.
Ia tidak akan bisa melakukannya lagi.
Ia tidak akan bisa membuat Giva tergesa ke apartemennya saat ia menelepon perempuan itu dan mengabarkan soal demam padanya. Ia juga tidak bisa membawa Giva mengelilingi toko-toko buku bekas kesukaannya. Terlebih membawa ke Maldives seperti yang dijanjikannya sebagai ulang tahun Giva tahun ini.
Maka Juan tiba-tiba lupa soal perjodohannya yang sudah diatur beberapa waktu lalu. Ia juga lupa soal Giva yang menolaknya mentah-mentah. Ia lupa banyak hal karena gerak refleksnya yang tak bisa dinalar oleh dirinya sendiri.
Juan setengah berlari, mengejar Giva dan ibunya yang sudah berada di anak tangga terakhir. Ketika jarak yang tersisa hanya dua-tiga langkah, Juan berhasil mencuri atensi.
Pada mereka yang ada di meja makan.
Juga Giva dan ibunya yang terkejut dan terdiam.
"Ayah, Ibu, saya mau tanggung jawab atas anak yang ada di perut Giva."
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
