
“Turunkan aku. Laki-laki bedebah sepertimu memang menyedihkan. Empat bulan yang sia-sia. Sialan!”
Aku mengumpat demi menahan tangis. Aku tidak mengerti mengapa dia melibatkanku namun kemudian membuangku. Aku sudah siap dengan tembok pertahanan tapi dia merobohkannya.
Setelah itu, pergi.
Sungguh bila ada kata yang lebih kasar daripada bedebah, itulah definisi untuk dia.
Dia langsung menepikan mobilnya. Jalanan sepi yang entah dimana ini tak digubrisnya ketika dia dengan arogannya menyuruhku turun.
Demi...

PROLOG
Itu saat masih awal September
Ketika perkuliahan di ENS baru akan dimulai.
Ditemani guguran daun-daun maple yang menguning. Tidak. Ada yang berwarna merah juga.
Jangan lupakan cuaca yang mulai dingin dan secangkir vanilla latte mengepul hangat di tangan -karena aku bukan pecinta kopi pahit- di depan jendela berbingkai besar.
Kamar sewa berukuran 20m persegi. Lantai 4 dengan 100 buah anak tangga tanpa lift.
Dari tempat itulah senja menuntunku pertama kali menemukan sosokmu di hari pertama aku menghuni kamar itu.
Rambutmu abu-abu sepertinya saat itu. Dan kini merah. Lihatlah!
Bahkan dengan rambut yang aneh bagi kebanyakan orang, kau ada pada pengecualian.
Kau tahu?
Kau sedang mondar mandir di balkon rumahmu dengan hanya bertelanjang dada.
Hey!
Jangan kutuk aku. Itu salahmu.
Salahmu karena menarikku pada sebuah tempat dimana melihatmu membuat hatiku menggila.
Atau membuatku yang polos ini -gadis berusia diakhir belasan- memikirkan ulang film-film yang pernah aku tonton hanya untuk membuat sebuah perkenalan seolah tak sengaja. Ah aku ternyata memang gila sejak awal.
Tapi sayangnya aku tetap tidak bisa melakukannya.
Iya.
Aku.
Viviane Fleur Langevin yang mendadak tuli, bisu dan bodoh setiap didekatmu bahkan dalam radius 100m.
Dan Tuhan baik ...
Menuntun kita pada sebuah keadaan yang membuat jatuh bangun.
Namun aku tidak merasa dibuat rugi.
Kau akhirnya mengatakan Je t'aime pada gadis Ars-en-re yang pernah kau temui di usia 10 tahun.
Merci ...
Dylan Park
Bila ada sebuah kata lebih dari kata 'beruntung' maka aku butuh kata itu saat ini untuk mewakili perasaanku padamu.
Merci ...
Dylan Park
Karena telah berjuang hingga akhir.
_____________________
______________
_______
01 - TEN BELLES DAN PARA PERI
Masih malas beranjak dari tempat tidurku ketika suara Anne terus mengusik rungu. Dia sama sekali tidak sadar, suaranya adalah sebuah polusi di pagi hari. Tidak, aku ralat. Suaranya polusi disetiap kesempatan. Gadis berambut pendek itu tidak pernah sadar bahwa aktivitas menyanyi sambil mandinya benar-benar mengganggu!
Anne membuat mataku kehilangan minat untuk meneruskan tidur, jadilah kini aku terpekur di depan jendela berbingkai besar favoritku. Secangkir Vanilla latte instant yang persediaannya sudah menipis menemani. Dan hazelku menangkap sosok itu. Sungguh, terima kasih Anne! Aku mendapatkan pemandangan indah dipagi hari berkat nyanyian busukmu!
Dia di sana. Di balkon lantai dua kamarnya sedang menikmati secangkir kopi -aku rasa- aku tidak tahu tepatnya. Semoga vanilla latte agar kita memiliki selera yang sama. Meski aku yakin, laki-laki sepertinya lebih cocok dengan kopi pekat yang beraroma kuat.
"Sial! Pagi-pagi kau sudah menguntit." Itu suara menyebalkan Anne yang baru keluar dari kamar mandi.
Aku sungguh ingin merobek bibir tipisnya dan melemparnya ke sungai Seine. Setelah mengataiku penguntit, gadis itu kini sibuk menceramahiku dengan petuah filosofisnya.
Cukup diktat kuliah yang dipenuhi petuah-petuah tentang dunia dari bibir John Locke, Karl Marx, Baruch Spinoza dan lain-lain. Jangan juga darimu Anne! Biarkan netraku kini fokus pada sosok indah bermantel putih di seberang jalan sana.
"Dia keturunan Korea-Prancis. Kuliah di ENS ditingkat akhir jurusan Biology. Tingginya 186 cm. Anak ketiga dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya perempuan. Kulitnya pucat khas Asia. Hobby-nya memainkan berbagai alat musik, menyanyi dan membuat lagu. Namanya .... "
Aku menoleh ke arah Anne. Gadis itu sengaja menggantung kalimatnya. Dia sungguh tahu caranya memanfaatkan kelemahanku. Gadis tengik!
"Vanilla latte dan sandwich di 10 Belles cafe." Gadis matrealistis yang sayangnya roomate-ku ini tersenyum lebar. Lihatlah matanya yang berbinar mendengar penawaranku.
"Namanya Dylan Park. Jangan lupa untuk mentraktirku setelah ini."
Aku hanya mendengus kesal. Tetap saja, Anne hebat. Aku sudah hampir empat bulan hanya memandanginya dari jendela kamar tanpa tahu siapa namanya.
Dan lihat Anne!
Aku tidak tahu darimana dia mendapatkan informasi sedetail ini, tapi sungguh aku berterima kasih.
"Ya Tuhan, Vi! Kau lupa sesuatu. Hari ini kau sudah mulai bekerja di cafe pukul 10 pagi dan lihat dirimu? Kau perlu waktu setidaknya 2 jam untuk berdandan. Cafe itu surga Vi."
Mengabaikan ocehan Anne dan sosok bermantel putih -siapa tadi namanya? Dylan Park- aku langsung buru-buru meletakkan cangkir dengan setengah isi vanila latte sisa tadi. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan makian Anne karena tak lebih dulu mencuci cangkir bekas minumku. Meskipun Anne gadis yang menyebalkan, sekali lagi aku bersyukur memilikinya. Ia berhasil mendapatkan nama laki-laki tampan berambut merah dan membuatku gagal dipecat di hari pertama bekerja.
******
10 Belles cafe adalah tempat yang sudah sejak Oktober begitu akrab denganku. Aku kursus menjadi barista di cafe ini. Kecintaanku pada vanilla latte membuatku ingin menekuni dunia per-kopian.
Aku tidak sendiri setiap kali datang ke cafe yang hanya berjarak sekitar 17 menit dari apartemenku ini.
Gadis bersuara melengking itu selalu menemaniku. Aku tahu dia tidak tulus. Alasannya bukan semata-mata karena aku, tapi karena para pegawai tempat ini. Anne selalu betah berlama-lama di cafe yang menurutnya merupakan duplikat surga.
Lihat!
Bahkan ia hampir membiarkan salivanya menetes hanya karena sapaan Sam, salah satu pegawai disana.
"Vi, kau sudah siap bekerja? Aku menyiapkan hadiah untukmu."
Aku mengenal sosok yang kini dengan lihainya memakaikan apron ke pinggangku. Dia playboy dengan tampang gila. Sungguh, Anne bahkan salah satu fans-nya.
"Aku menyulam inisial namamu di apron milikmu."
Jadi itu hadiah istimewa dari Sam.
"Merci beaucoup."
Aku sedikit menunduk layaknya putri dengan sedikit menggamit ujung apron. Sam bahkan mengikat apron langsung di pinggangku tanpa aku sadar sejak kapan ia menelisik masuk di balik mantelku. Anne yang melihat adegan tadi hanya mendengus kesal karena idolanya memperlakukanku dengan manis.
"Vi, kau akan membantuku membuat kopi untuk pelanggan langsung mulai sekarang. Jangan gugup. Jangan mengacaukannya oke."
Itu Kris.
Menurut Anne, sifat cool Kris adalah dibuat-buat. Anne yakin, laki-laki berambut blonde itu adalah orang yang konyol dan lucu. Terserah kau saja Anne!
Aku hanya mengangguk dan memberi hormat layaknya tentara. Hal itu sontak saja membuat mereka yang ada di depanku tersenyum. Bahkan Kris mengusak rambutku.
Sial!
Rambutku jadi berantakan Kris.
"Aku benar-benar bersemangat untuk berangkat bekerja Vi. Sekarang aku tidak hanya bekerja dengan spesies sama. Aku melihat pemandangan indah sekarang."
Itu si heboh; Regis.
Dia memang selalu heboh seperti perempuan. Anne bahkan beberapa kali hang out dengan Regis. Meskipun begitu, Regis tidak kalah keren dari dua orang sebelumnya.
Aku celingukan mencari satu orang lagi. Pemilik cafe ini. Laki-laki paling cool di antara mereka berempat; menurutku. Irit bicara dan sekali dia tersenyum jangan tanya berapa banyak sihir yang dia buat.
Dia memiliki lesung pipi. Anne dan juga aku tentunya selalu merasa meleleh tiba-tiba kalau ia dalam mode happy. Dan kalau boleh aku jujur, dia laki-laki paling menakjubkan di sini.
Catat itu! Di sini.
Karena di seberang apartemenku ada yang lebih menakjubkan lagi. Si rambut aneh yang sering berganti-ganti warna.
"Kau mencari Rev? Dia ada di dalam ruangannya. Pergilah."
Aku mengangguk dan menuruti perintah Kris. Aku sempat berbalik dan meminta Regis menyiapkan sandwich juga vanilla latte untuk sahabatku. Itu bayarannya untuk informasi tentang Dylan Park. Aku mendapati boss sekaligus mentorku beberapa bulan terakhir tengah asik dengan bukunya.
"Aku ingin menyapamu Rev maksudku boss. Sebelum bersiap bekerja. Yah maksudku ini hari pertamaku bekerja part time di sini."
Dia sudah mengalihkan pandangannya dari buku dan mengangguk menanggapi ucapanku.
"Tentu saja Vi. Dan jangan panggil aku boss, aku merasa seperti gengster. Panggil sebagaimana kau memanggilku biasanya. Sois prudent (hati-hati) Vi. Jangan sampai kau terluka."
Lihatlah!
Dia benar-benar laki-laki yang menakjubkan. Aku seperti memiliki seorang kakak laki-laki dengan sikap hangatnya ini. Setelah berpamitan pada Rev, aku mulai sibuk mempersiapkan cafe yang akan buka sebentar lagi. Anne pengunjung yang dikecualikan. Dia asik menikmati sandwich-nya dengan mata yang terus memindai pergerakan Sam.
Tolonglah Anne, matamu hampir copot!
Tepat ketika Regis membalik tulisan Open, pintu cafe berdenting membuat Sam otomatis mengumbar senyum ramah dan ucapan selamat datang.
Tubuhku yang berdiri di balik mesin pembuat kopi masih bisa melihat siapa orang yang datang. Mataku sepersekian detik -aku tidak bisa menghitungnya- sungguh terpaku pada dia. Bahkan saat aku berhasil menguasai diri dan menoleh ke pojok ruangan tempat Anne sibuk mengunyah sejak tadi, yang aku dapati bahwa mata Anne nampak membenarkan tentang apa yang netraku tangkap.
Si rambut merah ... Tidak maksudku Dylan Park.
Dibandingkan harus menerima pesanannya seperti saran Anne sejak di jalan tadi, aku lebih memilih menyembunyikan tubuhku yang tidak terlalu tinggi ini di balik mesin pembuat kopi. Aku tahu dia tidak mengenaliku, tapi sungguh jantungku menggila. Bahkan mungkin Kris yang berdiri di sampingku dapat mendengarnya. Tremor bahkan menyerang.
Sibodoh ini, sadarlah Viviane!
"Vi, kau tidak dengar? Dia pesan espresso. Kau baik-baik saja Vi?"
Suara rendah milik Kris berhasil membawa kewarasanku kembali. Aku hanya mengangguk tapi tidak berani menatap laki-laki kelebihan kalsium di depan dan sampingku. Lihatlah, dia dan Kris sama-sama menjulang bila berdekatan dengan tubuh mungilku ini.
Si rambut merah maksudku Dylan Park mengambil kopi dan sandwichnya tanpa mengucapkan terima kasih.
Tidak ... maksudku apa sulitnya mengucapkan terima kasih pada setiap orang yang melakukan pekerjaan untukmu. Tukang sapu jalanan, para pengamen yang menyanyi di jalanan atau pada barista sepertiku.
Hey!
Itu tidak sulit. Aku rasa, tabiatnya memang buruk. Tapi sialnya dia memang tampan.
"Vi, are you okay? Pelanggan tadi meminta Tiramissu. Bisa kau tolong aku? Aku sedang membuat adonan kue. Sam sedang keluar dan Regis .... "
"Baiklah Kris. Maaf aku melamun tadi."
Aku langsung menyiapkan tiramissu untuk si rambut merah. Aku tidak kesal pada Kris, aku justru malu. Masih pagi Viviane dan kau sudah ketahuan dua kali melamun sampai Kris harus memanggil namaku berkali-kali. Semoga aku tidak dipecat dalam waktu satu hari.
Aku meletakkan tiramissu di mejanya. Dan si rambut merah bahkan tidak mendongak untuk melihat siapa yang mengantar pesanannya apalagi untuk berterima kasih. Dia tetap asik dengan bukunya.
"Ada yang mau kau sampaikan? Kenapa terus berdiri di sana? Itu mengganggu."
Sialan!
Aku hanya mengangguk minta maaf dan buru-buru berlalu untuk sembunyi di balik mesin pembuat kopi. Kalau itu belum cukup menutupiku, aku akan menggunakan Kris sebagai tameng Demi menyembunyikan tubuhku dari rasa malu pada si rambut Merah. Dan lihat, perempuan licik itu tengah terkekeh tanpa suara menyaksikan sahabatnya dibuat malu. Awas kau Anne!
***
Ada sebuah pengakuan yang akan aku sampaikan. Sungguh, Anne seoranglah yang tahu alasanku kursus menjadi barista pemula Oktober lalu disela-sela jadwal kuliahku yang padat. Demi vanilla latte favorit?
Bohong.
Vanilla latte memang nikmat tapi sudah banyak dalam kemasan instan seperti yang setiap hari aku seduh.
Demi kecintaanku pada kopi?
Itu lebih bohong lagi. Aku tidak secinta itu pada kopi.
Atau demi si rambut merah? 100 % benar.
Saat itu, akhir September seminggu setelah aku terpana oleh parasnya di depan jendela saat senja yang dingin, aku kembali mematung saat Anne dan Myriam mengajakku ke cafe ini.
Bukan karena empat orang dengan apron coklat yang membuat tubuhku menegang, meskipun mereka tak kalah mempesona. Tapi laki-laki di sudut ruangan dengan cangkir kopi dan tiramissu juga buku di tangannya. Saat itu rambutnya berwarna abu-abu menambah sisi uniknya di mataku.
Aku tahu aku gila!
Aku hanya melihatnya pertama kali di balkon rumahnya saat dia wara-wiri shirtless. Dan kini wajahnya terpampang jelas hingga dengan bebas bisa aku nikmati walau dari balik buku Das Kapital milik Karl Marx. Aku merasa sudah sangat bahagia hari itu walau Anne dan Myriam merusaknya dengan mengataiku penguntit.
Sejak saat itulah aku tahu, dia pecinta kopi. Dia juga pengunjung setia 10 Belles cafe. Jadilah aku -dengan bantuan Myriam yang merupakan sepupu Rev- bisa kursus menjadi barista pemula.
Dan ya Tuhan, itu tidak semudah menyeduh vanilla latte instan milikku. Kadar kecerobohanku berulang kali membuat jari-jari panjang milik Kris bersarang di dahi.
Sialan itu sakit.
Belum lagi, ejekan Regis saat aku salah memasukkan komposisi bahan. Dan jangan abaikan tawa mengejek Sam. Mereka benar-benar paket pemberi nilai penderitaanku jadi plus-plus. Dan aku beruntung memiliki Rev. Dialah yang paling telaten mengajariku bahkan mengizinkanku bekerja part-time di cafenya. Dan itu semua karena laki-laki dari rumah bergaya gothic diseberang jalan.
Si rambut aneh!
^^^^
Prof. Julians memang dosen yang pengertian sekali. Dia membubarkan kelas hanya dalam 10 menit karena urusannya dengan orang penting -yang sungguh aku tidak peduli- tepat ketika mataku benar-benar berat.
Mengantuk!
Sejak bekerja part-time, aku terseok-seok berusaha membiasakan diri dengan ritme baru. Kuliah di pagi hingga siang dan selanjutnya sibuk dengan mesin espresso, grinder, milk jug dan lain-lain hingga pukul 10 malam.
Dan Ten Belles cafe menjadi tempat bekerja yang ingin aku kutuk karena memiliki pengunjung yang selalu ramai disetiap jamnya. Banyak mahasiswa ENS yang berlangganan di sana. Tidak ketinggalan turis-turis juga ikut menambah ramainya cafe. Paris memang memiliki jumlah kunjungan yang membludak setiap tahunnya.
Pesona kotaku memang menakjubkan.
Tapi coba tebaklah mengapa itu bisa terjadi di 10 Belles cafe. Tentu saja selain kopi buatanku yang enak -walau aku pemula- juga kue buatan Kris yang lezat, jangan abaikan kekuatan visual dari empat orang yang ada disekitarku.
Kalian boleh iri. Karena memang begitulah faktanya.
Banyak pengunjung kafe yang nampak menatap Kris, Regis, Sam dan Rev dengan pandangan kagum. Dan terakhir, mereka akan menatapku kesal.
Tentu aku yakin, mereka ingin bertukar tempat denganku.
"Kau nampak lelah Vi. Haruskah aku minta Rev untuk mengurangi jam kerjamu?"
Myriam adalah yang terbaik. Aku hanya menggeleng dan tersenyum menanggapi perhatiannya.
"Viviane bukan kelelahan bekerja. Wanita rubah ini mana mungkin lelah karena dikelilingi laki-laki tampan di Ten Belles. Dia hanya tidak mendapatkan 'asupan' sore hari lagi sejak bekerja."
Itu mulut lancang Anne!
Aku hanya mendengus kesal namun Anne ada benarnya. Sejak aku sibuk bekerja part-time, senja dan laki-laki di balkon seberang jalan menjadi pemandangan langka.
Myriam menepuk pundakku lembut.
"Kau tau Vi, aku punya berita terbaru untukmu, kau pasti langsung kehilangan rasa kantuk setelah mendengarnya."
Aku dan Anne menoleh ke arah Myriam penuh minat.
Dia dan Anne memang sudah seperti kaki tanganku terkait si rambut merah.
"Dia sudah putus dengan kekasihnya yang di jurusan Social science."
"Dia playboy Vi. Buktinya dalam satu musim dia sudah tiga kali putus dengan pacarnya. Pertimbangkan lagi rasa sukamu." Anne terlihat khawatir sungguhan.
Tumben!
"Kau harus berkaca pada dirimu Anne. Pertimbangkan kembali rasa sukamu pada Sam. Dia playboy yang cukup parah." Aku setuju dengan Myr. Anne tidak ada bedanya denganku.
"Meski begitu, bukankah laki-laki yang kau sukai itu masih belum bisa move on dari mantan kekasihnya? Buktinya, dia melampiaskannya dengan berganti-ganti wanita. Itu lebih parah dari Sam," bela Anne.
Menurut hasil penyelidikan Myr dan Anne, si rambut merah telah menjalin hubungan yang lama dengan seorang gadis Korea-Prancis seperti dirinya. Namun perempuan itu meninggalkan si rambut merah dan sekarang ada di Rusia.
"Aku tidak tahu pasti soal itu. Itu terkait perasaan seseorang. Lagi pula Viviane bahkan belum berjuang. Setidaknya kau mencoba dulu, baru putuskan untuk lanjut atau tidak." Aku menatap Anne dan Myr bergantian meminta pendapat.
"Baiklah, terserah kau saja." Anne akhirnya memberiku izin. Dan aku membalasnya dengan senyuman semringah.
"Dan kau harus ikut aku sekarang Vi, si rambut merah-mu ada di perpustakaan." Myriam bangkit seraya menggamit tanganku.
Anne langsung memandangku malas. Ia pasti begitu karena melihatku yang tadi manggut-manggut karena mengantuk saat Prof. Julians memberi sedikit kuliah, bisa langsung segar bugar mendengar si rambut merah-ku telah kembali menjadi milik bersama.
Bukan, maksudku milikku.
Mimpi saja terus kau Vi!
Kami bertiga akhirnya sampai di perpustakaan yang membuat kepalaku pening. Bagaimana tidak, Myriam hanya mendapat informasi yang sangat tidak utuh.
Perpustakaan dan tempat penyimpanan koleksi milik ENS ini 9.000m². Dan dia tidak tahu ada di bagian mana si rambut merah.
"Ayo kita berpencar."
Aku yang mengusulkan itu dan belum juga mulai Anne sudah mengumpat karena merasa direpotkan.
Gadis busuk!
"Vi, kau sepertinya beruntung. Dia ada di sana." Myriam menunjuk ke salah satu ruangan dengan rak-rak menjulang.
Melihatnya dari radius 100m saja sudah cukup membuat tubuhku seketika menegang.
Ini gila.
Maksudku ... aku bahkan tidak berniat menyapanya, aku hanya ingin melihatnya dari dekat tanpa ketahuan.
Hanya itu.
Tapi kenapa jantung ini begitu berlebihan?
Atas dorongan dua orang gila -yang sayangnya adalah sahabatku- aku bergerak ke arah tempat dia berdiri dengan buku di tangannya. Aku berpura-pura mencari buku di rak yang sama namun masih berjarak sekitar 10m.
Aku sekilas menoleh ke arah Anne dan Myriam. Aku bisa lihat, mereka mengumpat dan menertawakan kebodohanku.
Entah karena malu jadi bahan bully Anne dan Myriam atau karena dorongan untuk melihat wajahnya yang menggebu, aku menggeser tubuhku dengan alami seolah mencari buku ke arahnya. Dia masih sibuk dengan buku yang ada di tangannya ketika aku yang sudah berjarak cukup dekat dengannya berhasil mencuri pandang.
Ya Tuhan, kakiku lemah!
Lihat matanya.
Lihat kulit pucatnya.
Lihat bibir merahnya.
Tidak!
Aku ingin melihat sekali lagi. Melihat bibirnya yang berwarna alami. Sekali lagi, aku ingin menoleh dan melihatnya sekali lagi!
Benar, hanya sekali lagi.
"OH SHIT ...!"
Viviane yang tengah memberanikan diri untuk melihat pesona laki-laki di senja balkon lantai dua seberang jalan tiba-tiba kehilangan akal!
Aku mengumpat dengan cukup keras karena terlalu terkejut saat terakhir menoleh dan mengintip dari balik buku ternyata ketahuan.
Seperti maling!
Aku bahkan menjatuhkan buku yang sedang aku pegang. Dia menatap tajam. Dia tahu aku mencuri-curi kesempatan untuk menelusuri wajahnya. Untuk mengagumi anugerah Tuhan yang ada pada mata, hidung juga bibirnya.
"Orang aneh."


Oke.
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan ekspresi jijik dia berlalu. Dan kakiku yang lemah akhirnya kehilangan tumpuan. Myriam dan Anne segera memburu.
Tapi sungguh, aku tidak ingin dibantu mereka. Mereka berdua hanya menambah hatiku semakin berkabut.
"Viviane penerima beasiswa dari ENS untuk jurusan philosophy adalah ternyata gadis bodoh."
Satu. Itu mulut busuk Anne.
"Kau ketahuan sedang memandanginya dari jarak dekat? Kau lihat wajah jijiknya saat melihatmu?"
Dua. Itu suara Myriam dengan tawa tertahannya; karena kami ada di perpustakaan.
Tidak membantu sama sekali!
Sungguh, aku ingin memutuskan hubungan pertemanan ini dengan mereka berdua.
******
Malam ini, Ten Belles sedang memberiku sedikit ruang untuk bernafas karena pengunjung yang tidak terlalu ramai. Hanya satu pasangan yang sepertinya dilanda kasmaran dan satu orang dengan mata yang terus fokus pada bukunya.
Aku tidak berniat membantu Kris yang sibuk dengan resep kue barunya. Atau ikut percakapan tidak penting dengan Regis dan Sam. Aku ingin berbincang dengan Rev tapi sepertinya dia sedang sibuk di dalam ruangannya.
Jadilah aku hanya berdiam diri di kursi depan cafe dengan tangan yang sibuk merapikan dan menata bunga-bunga yang sengaja ditanam oleh Rev sebagai pemanis cafe.
Hey!
Laki-laki berambut merah kembali mampir ke Ten Belles!
Dia tidak sendiri. Tangannya menggamit seorang perempuan berambut hitam panjang dengan wajah khas Asia.
Spontan aku menunduk dan mengucapkan selamat datang. Dia tidak menggubris ucapan ramah pegawai cafe sepertiku dan langsung masuk ke dalam.
Tapi itu juga keuntungan buatku. Mengingat bagaimana wajah jijiknya saat memergokiku sedang mengintipnya dari balik buku sudah cukup membuatku ingin melarikan diri.
"Vi, buatkan espresso dan vanilla latte. Kris sedang sibuk dengan kue-nya." Sam menghampiriku yang masih mematung.
Aku mengangguk dan mengekori Sam. Segera saja aku membersihkan tanganku dan membuatkan pesanan yang pasti milik si rambut merah dan pacarnya; mungkin.
Wah!
Dia baru putus dari pacarnya dan sudah berkencan dengan perempuan lain. Aku tidak tahu kalau orang yang sudah empat bulan aku kagumi secara rahasia ini ternyata lebih parah dari Sam.
Dan apa-apaan ini?
Kenapa perempuan itu harus memesan vanilla latte yang jelas-jelas itu minuman favoritku?
"Sialan!"
"Vi, kau tidak apa-apa?"
Itu tadi umpatan yang lolos dari mulutku. Karena terlalu sibuk berpikir yang tidak-tidak, tanganku terkena kopi panas. Dan sekarang Rev sedang sibuk membasuh tanganku dengan air dingin untuk menetralkan rasa panasnya. Aku tidak tahu sejak kapan Rev ada di sini.
Aku dapat melihat si rambut merah sedang menatap ke arahku dan Rev. Dia pasti semakin menganggapku aneh karena sudah dua kali menjumpaiku dengan mulut sampah yang selalu mengeluarkan sumpah serapah.
"Kau harus berhati-hati Vi." Itu Kris.

Dia mengusak rambutku dan meneruskan pekerjaanku membuat kopi yang belum selesai. Kini Rev sudah selesai 'mengurus' jari-jariku yang sebenarnya sungguh tidak melepuh terlalu parah.
"Kau selalu ceroboh Vi. Itu membuatku kesal."
Wajah Rev yang biasanya dipenuhi senyum -juga dekik di pipi- kini terlihat serius dan sedikit menakutkan.
"Tanggung jawabmu adalah membuat kopi tapi tetap pastikan dirimu baik-baik saja. Never ignore your responsibility."
Aku hanya mengangguk dan tidak membantah seperti biasanya. Rev sedang dalam mode menakutkan.
Seperginya Rev, aku kembali duduk di dekat Kris yang sudah kembali sibuk dengan resepnya. Aku memberanikan diri mencuri pandang ke kursi yang tak jauh dari tempatku berada.
Kursi si rambut merah.
Aku ingin tahu apa dia sedang merayu gadisnya atau malah sedang bermesraan seperti pasangan yang duduk di pojok ruangan.
Sialan sekali!
Aku tertangkap basah sedang menatapnya lagi.
Tunggu!
Dia yang menatapku lebih dulu. Obsidiannya nampak seperti menghujamku. Seolah dia sedang menelanjangiku dengan matanya. Aku berusaha tetap waras dan menundukkan pandangan. Aku yakin dia sudah mengalihkan pandangannya dari tempatku berada.
Siapa tahu dia memperhatikan Kris yang sedang membuat kue?
Atau dia sebenarnya memperhatikan mesin pembuat kopi kami dan ingin membelinya untuk membuka cafe juga?
Siapa yang tahu, bukan?
Aku kembali mengangkat kepalaku dan mencoba menatapnya.
Oh Shit!
Dia masih menatap kearahku. Sebenarnya apa yang sedang dilakukannya?
"Park, kau tidak mendengarku? Aku sudah bilang untuk tidak mengabaikanku."
Jarak tempat duduknya memang dekat dengan tempatku. Jadi jangan salahkan aku yang bisa mendengar suara gadis itu yang sepertinya sedang kesal karena si rambut merah mengabaikannya.
Gadis itu nampak meraih rahang tegas milik si rambut merah dan membawanya pada beberapa kertas yang ada di meja mereka.
Ya Tuhan, itu si rambut merah-ku. Jauhkan jari-jarimu dari wajahnya!
"Vi, kau bersiaplah. Aku akan mengantarmu pulang agar kita bisa ke apotik."
Rev sudah menggunakan mantelnya dan berdiri menungguku. Aku bingung karena Rev memintaku pulang sebelum jam kerja selesai.
"Rev, kau memecatku? Aku tidak sengaja tadi dan aku tidak ak-"
"Dasar Viviane bodoh." Itu suara Regis dengan cekikik khas Sam setelahnya.
Aku memandang Rev dengan tatapan memelas. Aku tidak boleh dipecat. Aku masih punya hutang yang harus aku bayar pada Anne. Juga biaya makanku untuk bulan depan. Semoga Rev luluh dengan tatapan memelasku ini.
"Dia tidak memecatmu Vi, dia mengkhawatirkanmu. Cepat pakai mantelmu. Biar aku yang meneruskan pekerjaanmu. Toh sebentar lagi cafe tutup." Kris meletakkan mantel di pundak. Dia juga menyerahkan tasku.
Setelah menggumamkan permintaan maaf pada Kris, Regis dan Sam -yah karena aku pulang lebih dulu- akhirnya aku mengekor Rev untuk pulang.
Tepat saat aku melewati meja milik si rambut merah dan gadisnya, aku mendengar dia mendecih. Bahkan ekor mataku masih bisa menangkap wajah meremehkannya. Apa aku semakin aneh di hadapan si rambut merah?
*****
Setelah terlebih dahulu mampir ke apotik, kini aku dan Rev sudah berdiri di depan apartemenku.
Laki-laki berlesung pipi itu masih mendiamkanku sejak tadi. Apa aku sungguh dipecat kali ini?
Benar. Aku memang sangat ceroboh dan sering kali merepotkan mereka berempat. Mungkin kali ini Rev sudah tidak bisa mentolelir kesalahanku.
"Rev, sorry. Jangan memecatku," ucapku lirih. Aku tidak berani menatap mata bosku itu.
"Kau tahu Vi, aku mengkhawatirkanmu. Jangan ceroboh lagi. Cepat obati lukamu dan istirahatlah. Kau harus kuliah besok pagi."
Rev menyerahkan paper bag yang entah isinya apa karena obat apotik yang dibelinya tadi sudah berada di tanganku.
"Aku membelikanmu scarft. Ramalan cuaca mengatakan kalau mulai besok Paris akan menggila. Semakin dingin. Jangan sampai flue."

Meski merasa canggung, aku menerima pemberian Rev. Mendiang ibuku pernah berkata untuk tidak menolak kebaikan orang lain. Dan tentu saja, aku menyukai hal-hal yang gratis. Bagaimanapun, aku hanya mahasiswa miskin yang bisa berkuliah di ENS karena beasiswa. Aku juga hanya salah satu mahasiswa yang mendapatkan subsidi dari kampus dan pemerintah terkait apartemenku. Juga uang makan bulanan yang aku dapat dari bekerja di Ten belles dan kebaikan madame Cath. Kebaikan Rev tentu tidak aku sia-siakan.
"Merci, Rev."
Senyumnya sudah kembali. Lihat, betapa dalamnya dekik di pipinya itu. Sihir dari senyumnya kembali membuatku tenang. Tentu saja, artinya Rev tidak akan memecatku.
Rev mengusak rambutku tepat ketika bentley keluaran terbaru tiba di depan rumah bergaya gothic milik si rambut merah. Ekor mataku masih bisa menangkap sosoknya dari balik jendela mobil yang dibuka. Dia sedang menatap ke arahku. Dan mobil itu masih diam di sana padahal pintu gerbang rumah megahnya telah terbuka sejak tadi.
"Aku pulang dulu Vi. Istirahatlah. Bonne nuit (selamat malam)." Rev melambaikan tangan kemudian hilang bersama mobilnya di tikungan jalan.
Aku masih berdiri dan mengamati mobil milik si rambut merah yang masih ada di depan sana. Dengan kaca yang terbuka dan matanya yang masih menukik tajam ke arahku.
Ada apa dengan si rambut merah hari ini?
Aku masih mematung dengan jantung yang berdebar kencang ketika sosok pemilik tinggi 186 cm itu keluar dari mobilnya dan mendekat ke arahku. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi padaku hari ini?
"Apa kau masih menguntit laki-laki lain sedangkan kau sebenarnya memiliki kekasih?"


Itu kalimat terpanjang yang terucap dari mulutnya selain perkataannya di perpustakaan juga ketika ia memesan espresso.
Dia sungguh mengajakku mengobrol? Ya Tuhan, aku tidak ingin pingsan dan kehilangan kesempatan lebih lanjut untuk mengobrol dengannya.
"Kau tuli?"
Aku masih menatapnya. Runguku berfungsi namun bibirku tidak. Sulit sekali berbicara.
Apa aku stroke?
"Kau bisu? Ah tidak mungkin. Kau sering sekali mengumpat."
Sialan!
Dia ingat bagaimana mulutku penuh sumpah serapah.
"Baiklah, sepertinya kau tidak bisu atau tuli. Kau hanya orang bodoh." Selesai mengatakan itu, dia berbalik dan berjalan ke arah mobilnya.
"Aku mahasiswa beasiswa ENS dengan nilai 10 sempurna."
Viviane, apa yang kau teriakkan?
Itu kalimat bodoh.
Laki-laki itu berbalik dan tersenyum mengejek. "Apa di jurusan philosophy mengajarkanmu untuk menguntit?"
Demi Tuhan aku sangat terkejut.
Tunggu, darimana dia tahu aku jurusan Philosophy?
Dia menunjuk ke arah jendela kamarku dengan jari telunjuknya. Kemudian menunjuk balkon lantai dua rumahnya.
Sebentar!
Jadi dia tahu selama ini aku selalu memperhatikannya dari jendela?
"Kau menguntit laki-laki lain padahal sudah memiliki kekasih? Tampangmu nampak seperti perempuan baik-baik." Wajahnya nampak mengejek.
Demi Tuhan, jadi dia mengatakan aku pelacur?
"Aku tidak memiliki kekasih."
Come on Viviane, kau tampak bodoh. Kau seharusnya menamparnya karena mengataimu sembarangan!
"Aku tidak peduli. Kau hanya penguntit." Lepas mengatakan itu, si rambut merah kembali masuk ke dalam mobilnya dan menghilang di belakang garasi rumah megahnya.
Otakku yang biasanya pintar tiba-tiba membeku dan berubah layaknya otak udang. Aku begitu lambat setiap kali menyangkut si rambut merah.
Sialan!
Aku penguntit dan kini seperti maling yang tertangkap basah.
Mati saja kau Vi!
********
03 - BROKEN HEART
Hari ini, pertengahan Desember yang dingin, aku tengah sibuk merapatkan coat-ku sambil berjalan menuju Marche Bastille. Aku sendirian karena Anne masih sibuk di dalam selimut. Dia sepertinya begadang semalaman karena tugas.
Aku berjalan dengan tergesa mengingat aku ada kuliah Prof. John hari ini. Aku tidak tahu tugas apalagi yang akan diberikan laki-laki berkebangsaan Jerman itu. Dia tergolong dosen yang sangat menyulitkan mahasiswanya.
Dan sungguh itu menyebalkan!
“Kau bahkan menguntitku sampai ke sini?”
Sebuah suara memecahkan lamunanku tentang Prof. John. Suara rendah yang sudah aku hafal walau hanya lewat kata ‘espresso’. Iya, suaranya ketika memesan kopi di Ten Belles.
Aku melihat ia tengah sibuk di depan tenda yang menjual buah-buahan. Berdiri sekitar 5 meter 15 inch dari tempatku berdiri. Dengan gaya angkuhnya yang berhasil membuat jantungku seperti berhenti bekerja, dia menatapku tajam. Sepasang netra berwarna gelap yang membuatku sukses mematung.
Viviame kembali ke mode bodoh setiap bertemu si rambut merah!
“Kau tuli dan bisu setiap berbicara denganku? Itu nampak lain saat di cafe. Kau mengumbar senyum dan tawa seperti rubah.”
Dia masih memasang wajah meremehkan seperti beberapa malam lalu.
Dan kata-katanya yang tak bisa ku proses dengn otakku padahal Prof. John yang menyebalkan saja memberi skor 10. Dia baru saja mengataiku murahan lagi tapi tubuhku masih diam saja mematung terkena sihirnya.
“Aku bukan rubah dan aku tidak menguntit. Lagipula pemilik bentley keluaran terbaru dengan rumah megah bergaya gothic kenapa membeli buah di Marche Bastille?”
Kalimat panjang yang lagi-lagi membuatku tampak bodoh.
Dia menyeringai dan menghampiriku.
“Aku kaya tapi bukan berarti aku tidak boleh berjalan-jalan ke sini kan?”
“Terserah kau saja.” Aku gugup dan hanya itu yang bisa aku ucapkan.
“Kau begitu senang menguntitku. Kau kuliah di ENS untuk menguntitku?”
Dia nampak berpura-pura terkejut dan menggunakan punggung tangannya untuk menutup mulutnya yang terbuka.
Seandainya aku tidak bodoh, berarti aku terkena sihir. Laki-laki ini sungguh menyebalkan hingga berhak mendapat satu tonjokan di wajah tampannya.
Tapi lihat apa yang tubuhku lakukan!
Hanya diam dengan wajah yang terus memandangnya lekat. Nampak bodoh!
“Tidak juga. Apartemen Jl. Boulevard Richard Lenoir dengan 100 anak tangga tanpa lift lantai 4. Aku melihatmu pertama kali setelah aku terdaftar jadi mahasiswa ENS. Membuktikan aku berkuliah bukan untuk melihatmu.”
Dan itu fakta. Tapi mengapa dengan bodohnya aku mengatakan hal yang tidak-tidak?
Dia menatapku remeh. “Kau menyukaiku setelah melihatku dari jendela kamarmu di lantai 4, begitu?”
Ya Tuhan, siapapun tolong buang aku ke sungai Seine.
“Apa itu terlihat aku menyukaimu?”
“Kalau kau bukan orang aneh, tentu jawabannya oui (iya).”
Dia tersenyum mengejek. Dia memindai diriku dengan netra gelapnya dari ujung kaki hingga kepala. “Kau tidak cantik, tidak juga seksi. Kau pendek. Kau nampak bodoh. Kesimpulannya kau bukan type-ku.”
Aku menyesal dengan respon tubuhku yang masih belum bisa menamparnya setelah mengatakan hal-hal yang menyakitkan. Aku masih saja diam mematung. Runguku mampu menangkap apa yang diucapkannya tapi mulutku seperti kehabisan kata.
“Prof. John jam 12 siang. Maaf aku harus segera berbelanja dan kembali untuk segera ke kampus. Bonjour.”
Aku memilih kata-kata tidak bermutu sebelum meninggalkannya dengan tatapan anehnya.
Aku tidak peduli. Lagipula aku sudah ditembak mati sebelum menyerang. Aku kalah. Ditolak ditengah pasar Bastille mentah-mentah.
Viviane Fleur Langevin, cinta pertamamu kandas!
******
“Jadi dia menolakmu bahkan sebelum kau mengatakan apapun? Kau juga ketahuan menguntitnya?”
Suara nyaring Myriam mengisi Ten Belles dengan leluasa. Belum lagi tawa Anne dan Regis yang membuat hari patah hatiku semakin lengkap. Untung saja belum ada Kris, Sam dan Rev; tentu saja. Atau aku bisa mati karena malu.
“Aku tidak menguntit Myr, aku hanya menontonnya tanpa sengaja. Kebetulan balkon rumahnya nampak jelas dari kamarku.”
Itu bukan pembelaan, namun kenyataan. Aku tidak menguntit yah kecuali ketika aku menyusulnya ke perpustakaan atas usul Myriam sendiri. Selebihnya tidak. Aku tidak mengikutinya kemanapun meskipun aku begitu menyukainya. Satu-satunya tempat yang membuatku bisa melihatnya hanya dari kamarku di lantai 4 dan Ten Belles. Itu saja.
“Gadis kecil ini kenapa begitu murung?”
Itu suara Kris yang baru saja masuk ke dalam cafe. Jari-jarinya yang panjang langsung menyapa kepalaku dan mengusapnya lembut. Dia memang selalu seperti itu. “Salut (Hai) Myr, Anne. Kenapa dengan gadis Ars-en-ré ini?” Kini pertanyaan teralih pada Anne, Myr dan Regis.
“Dia pa ....”
Kalimat Anne terhenti dengan telapak tanganku yang membungkam mulut lancangnya. Aku terlalu malu kalau sampai Kris tahu.
“Im okay, Kris. Apa kau membuat resep baru lagi?” Aku melepaskan tanganku dari mulut Anne.
Perempuan licik itu menatapku dengan kesal. Aku sengaja mengalihkan perhatian Kris pada resep kue baru. Ia selalu lupa akan semua hal setiap kali aku bertanya tentang itu.
“Tentu Vi. Kau akan mencobanya nanti. Anne, mau aku buatkan janji kencan dengan Sam? Kau harus memberitahuku apa yang terjadi pada gadis Ars-en-ré ini.” Tiba-tiba saja resep kue baru tidak mengalihkan rasa ingin tahu Kris.
Jangan tanya soal Anne. Iming-iming janji kencan dengan Sam –idolanya- tentu saja membuat dia rela mengatakan apapun termasuk aibku. Aku benci kau Anne!
Setelah mendapatkan janji dari Anne tentang informasiku, Kris dan Regis berlalu. Tak lama Sam dan Rev juga datang. Si playboy itu bahkan mengedipkan sebelah matanya pada Anne hingga membuat sahabatku itu seperti cacing kepanasan. Tentu saja aku dan Myriam hanya bisa menatapnya jengah.
Sedangkan Rev, dia tidak mengatakan apapun. Dia hanya tersenyum dengan mode angel-nya. Aku yakin, walaupun Anne menyukai Sam tapi melihat senyum Rev barusan, dia tak urung merasa bahagia sepertiku. Kecuali Myr, dia sepupu Rev.
Sejak Anne dan Myr pulang, aku tidak memiliki minat untuk melakukan apapun. Sungguh. Ditolak oleh orang yang kau sukai ternyata memiliki dampak yang luar biasa. Tidak ingin menyapu, merapikan meja atau sekedar menyiram bunga-bunga favoritku di depan Ten Belles.
Kalimat utuhnya, aku benci sekali bekerja hari ini!
Tentu saja ketidaksemangatanku hari ini membuat empat orang laki-laki yang ada di sekitarku menatap heran.
Tidak ada lelucon-lelucon bodoh yang sering membuat mereka jengkel.
Tidak ada teriakan mereka karena aku ceroboh.
Yang dapat mereka lihat hanya aku yang menatap tidak fokus pada mesin pembuat kopi. Jangan lupakan helaan-helaan nafas panjangku.
Sungguh hari yang buruk!
“Espresso Vi. Kau melamun lagi?” tanya Regis dari balik mesin pembuat kopi. Aku gelagapan karena memang sangat tidak konsen dan yah aku melamun. Aku buru-buru membuatkan pesanan Regis.
“Vi, kau antarkan ke meja luar depan cafe. Aku dan Sam sibuk.” Regis berlalu dengan wajah isengnya. Aku hanya mengangguk malas.
Demi Tuhan, si rambut merah ada di sana. Jadi ini pesanan si rambut merah? Apa Rev punya persediaan arsenic?
Aku meletakkan espresso pesanannya di meja. Dia menoleh ke arahku sekilas. Lihat, dia masih dalam mode menyebalkan tapi hatiku seperti terbang. Aku tiba-tiba lupa kalau aku telah ditolaknya mentah-mentah.
“Kenapa kau berdiri di situ? Itu mengganggu.”
Sepertinya aku memang selalu menjadi bodoh radius 100m darinya. Lihat, setelah dia mengatakan hal yang menyakitkan –lagi- aku masih saja merasa berdebar. Aku berbalik dan hendak masuk ke dalam cafe ketika dia melanjutkan kalimatnya.
“Kau tidak menaruh racun di kopiku karena sudah aku tolak, kan?”
Aku sontak saja berbalik dan menatapnya. Seandainya aku bisa membuat syaraf-syarafku yang terasa lumpuh ini kembali sehat, aku ingin menonjok wajahnya. Tidak, mungkin perutnya. Wajahnya terlalu tampan.
“Seandainya Rev punya, aku pasti akan menaruh arsenic di kopimu.”
Aku masih dengan ekspresi yang sama. Selalu sama. Tanpa senyum, datar dan nampak bodoh. Itu adalah ekspresi yang selalu dikatakan Anne setiap kali dia melihatku sedang berinteraksi dengan si rambut merah.
“Kalau begitu suruh kekasihmu itu membeli arsenic. Kau bahkan mengandalkan kekasihmu untuk membunuh laki-laki yang kau sukai.”
Aku tidak tahu kalau ternyata Mr. Park tidak mengajari anak-anak mereka pelajaran Etika dan kesopanan. Lihatlah anak bungsu mereka. Seperti bedebah!
“Aku tidak butuh bantuan Rev hanya untuk membunuhmu. Sebaiknya kau diam!” Itu kalimat tergalak yang aku punya untuk menyumpah si rambut merah.
“Vi, apa ada masalah?” Kris sudah berada di balik punggungku. Dia menghampiri meja si rambut merah dengan tatapan tanda tanya. “Kau ada masalah apa dengan Viviane?” Dia mengulang pertanyaan pada si rambut merah karena aku masih membeku.
“Wah, kau punya banyak kekasih?” Si rambut merah meraih cangkir espressonya. Dia nampak mengejek aku dan Kris dari balik cangkir espressonya. Aku tahu Kris nampak marah dan kepalan tangannya rasanya sudah cukup pas untuk membungkam mulut sinis si rambut merah. Tapi tidak. Aku tidak ingin Kris membuat ribut. Dan wajah tampan si rambut merah babak belur.
“Ayo kita ke dalam Kris.” Aku meraih lengan Kris dan dengan sedikit paksaan masuk kembali ke dalam cafe.
“Kau perempuan aneh. Kau memiliki satu, dua, tidak ... mungkin tiga, empat laki-laki. Dan kau masih menguntitku? Kau bahkan tidak nampak menarik. Kenapa mereka begitu tertarik padamu. Apa yang kau berikan pada mereka? Tubuhmu?”
Dan demi Tuhan, itu kalimat paling menyakitkan yang aku dengar selama ini ;tentu saja selain makian ayahku dulu.
Aku tidak bisa menahan Kris ketika laki-laki yang tingginya hampir sama dengan si rambut merah itu merangsek kembali keluar cafe dan menghantamkan satu tinju di wajahnya.
Aku yang memang selalu bodoh karena tidak memiliki refleks cepat dan baru bisa menarik lengan Kris –sekuat yang aku bisa- untuk membuatnya berhenti memukuli si rambut merah setelah mendaratkan sekitar 3 pukulan di wajahnya. Dan sungguh, aku tidak tega melihat wajahnya yang mengeluarkan darah. Lagipula aku tidak ingin Kris terlibat masalah hanya karena aku.
Rev, Sam dan Regis bahkan ikut membantuku melerai perkelahian yang bisa dikatakan hanya sepihak. Si rambut merah hanya diam saja. Dia tidak membalas pukulan-pukulan Kris. Yang dilakukannya hanya tersenyum mengejek ke arahku dan Kris.
“Mulutmu penuh sampah! Jangan berani menampakkan wajahmu di sini lagi.”
Suara Kris meninggi dan tersengal. Aku tahu dia marah sekali. Dan aku pun merasakan begitu. Kalimat yang meluncur dari bibirnya yang indah itu penuh duri.
Menyakitkan.
“Vi, kau tidak apa-apa?” Rev merengkuhku ke dalam pelukannya mengabaikan tatapan terkejut Regis, Kris dan Sam dan para pengunjung lain. Juga tatapan si rambut merah yang berlalu seraya membuang ludah. Dia menatapku penuh benci.
Benar.
Hari ini buruk dan untuk pertama kalinya aku menangis lagi setelah terakhir kali diusia 8 tahun.
Kau menyakitiku, rambut merah!
*****
Aku masih mengobati jari-jari Kris yang digunakannya untuk memukul si brengsek maksudku si rambut merah dengan diam. Laki-laki berambut blonde ini pun sama sekali tidak mengatakan apapun. Sam dan Regis sudah kembali melayani para pengunjung cafe. Bahkan Rev yang notabene-nya adalah bos kembali menggantikanku untuk membuat kopi. Dan itu semua gara-gara aku. Sempurna sekali kau Vi!
“Jangan menggunakan tinjumu lagi untuk menyelesaikan masalah Kris. Tanganmu lebih cocok untuk membuat cake yang enak.”
Aku sudah menyelesaikan kegiatanku mengobati ruas-ruas jari Kris. Tidak terlalu parah. Tapi aku yakin, nan jauh di sana, wajah si rambut merah benar-benar terluka lebih parah.
“Jangan terlibat dengannya lagi Vi. Terutama menangis karena dia. Matamu lebih cocok untuk berbinar setiap makan kue dan vanilla latte.”
Kris tertawa mendapatiku yang jengah karena disangkutpautkan dengan makanan. Dan itu selalu. Bukan hanya Kris, tapi semua orang dekatku mengatakan bahwa aku nampak bahagia hanya karena sepotong cake dan secangkir vanilla latte.
“Vi, dengar aku. Semua orang menyayangimu. Aku, Rev, Anne, Myr, Regis bahkan Sam. Jangan terluka hanya karena satu orang yang tidak menyukaimu. Jadi jangan murung gadis Ars-en-ré. Kau tidak cocok dengan wajah itu.” Kris mencubit pipiku dan juga mengusak rambutku.
Entah mengapa, kehangatan yang diberi Kris melalui ucapannya atau sikap lembutnya membuatku selalu merasa tenang. Dia seperti sosok kakak yang selalu melindungi. Dan terima kasih Myr, karena aku bisa bekerja dengan orang sebaik Kris.
“Aku akan kembali bekerja. Apa kau mau di sini lebih lama?”
Aku mengangguk dan Kris telah menghilang dari balik pintu. Sekalipun aku merasa tidak enak karena beristirahat setelah membuat keributan, tapi semoga Rev mengerti. Aku ingin sendiri sebentar. Mataku berkabut!
Rev masuk ke dalam ruangan tepat ketika aku menangis. Hari ini mataku sepertinya bermasalah karena ini sudah kedua kalinya aku menangis. Buru-buru aku menyembunyikan wajahku dengan memunggungi Rev.
“Pakailah mantelmu Vi dan ikut aku.” Aku masih bergeming saat Rev memerintahku untuk memakai mantel. Suara Rev sepertinya sedang dalam mode menakutkan lagi.
Tentu saja bodoh! Aku sudah membuat onar di cafenya ketika tepat banyak sekali pengunjung.
“Maaf Rev karena aku membuat kekacauan.” Aku tidak bisa menahan suaraku yang sumbang. Terlebih lagi air mata. Ya Tuhan, Vivienne. Sejak kapan kau begitu cengeng?
“Ayolah Vi, bangun dan pakai mantelmu. Ikut aku.”
Setelah mengatakan itu, aku merasakan tangan Rev yang melingkarkan mantelku ke atas pundak. Aku mengangkat wajahku menghadapnya. Dia tersenyum dalam mode angel. Dia meraih tanganku dan membawaku keluar cafe diikuti tatapan heran Kris, Regis dan Sam. Lagi-lagi aku harus meminta maaf pada mereka karena lebih dulu pulang sebelum membantu mereka membereskan pekerjaan di cafe.
Aku tidak tahu Rev membawaku kemana. Otakku masih begitu tumpul memikirkan kejadian hari ini. Bagaimana si rambut merah meremehkanku hingga mengataiku menjual tubuh demi kebaikan Rev dan yang lainnya. Itu menyakitkan. Maksudku ... bibir indahmu tak pantas mengeluarkan duri-duri semacam itu. Aku bahkan tidak menyakitinya kecuali aku memang memiliki kebiasaan memandangnya dari balik jendela kamar. Selebihnya tidak.
Aku tidak melakukan sesuatu yang harus sekali dibenci. Misalnya melemparkan espresso panas tepat di wajahnya yang tampan. Atau menjambak rambutnya yang berwarna merah menyala. Tidak. Aku tidak melakukan itu. Satu-satunya kesalahanku adalah menyukainya dan menatapnya dari kamarku di lantai 4.
“Vi, kau tidak mau turun?”
Suara Rev menyadarkanku dari lamunan soal si rambut merah. “Kau tidak akan terus berada di dalam mobil kan Vi?” Rev menuntun tanganku keluar dari mobil dan sungguh aku terkejut dengan tujuan akhir mobil Rev.
Sungai Seine di malam hari.
Sungguh pemandangan yang indah. Aku orang Ars-en-ré dan ini pertama kalinya aku melihat sungai seine di malam hari. Menurut cerita Anne dan Myr, yang sering berkencan di sini, pemandangan sungai seine di malam hari memang tidak bisa diragukan. Dan saat ini, aku percaya apa yang diucapkan dua sahabatku itu.
“Kau suka Vi? Semoga sedihmu hilang setelah melihat pemandangan ini.” Rev berdiri di sampingku yang masih terpana keindahan sungai milik Paris ini. “Kau mau naik yacht?”
“Itu gila Rev, aku tidak ingin menghabiskan banyak euro milikmu. Merci, tapi aku hanya ingin melihatnya dari sini saja.”
Laki-laki itu hanya tertawa mendengar bantahanku. Lihat, dia sengaja tebar pesona dengan menunjukkan lesung pipinya.
"Kau tahu Rev, Paris dan Eiffel-nya tidak akan lengkap tanpa seine. Dan aku berterima kasih karena kau membawaku ke sini setelah lama sekali tak memiliki kesempatan.”
Aku menatap hamparan sungai dan kerlip lampu-lampu juga eiffel yang bercahaya yang ikut menambah suasana syahdu. Saat masih di Ars-en-ré, aku begitu ingin menikmati malam-malamku di sungai seine. Dan hidupku yang miskin tentu saja membuat diriku sibuk dengan belajar –bahkan part time saat ini- hingga belum bisa menatap seine dalam bingkai malam.
“Vi, apa hubunganmu dengan lelaki itu?”
Aku menoleh ke arah Rev. Aku tahu ia nampak berhati-hati dilihat dari bagaimana ia nampak gugup sebelum melontarkan pertanyaan tadi.
“Aku menyukainya Rev. Sejak pertama kali menginjak Paris. Senja dan dari jendela kamarku di lantai 4.”
Aku mendudukkan diri di bangku yang tersedia di sana. Rev ikut duduk di sebelahku. Dia tidak menyela cerita. Dia pendengar yang baik.
“Dia ada di balkon rumahnya saat itu dengan rambut abu-abu. Sejak saat itu, seperti candu, aku melihatnya dari jendela kamarku setiap dia ada di balkon kamarnya. Lalu tanpa sengaja melihatnya di Ten Belles.”
“Jangan bilang alasanmu di Ten Belles bukan karena vanilla latte tapi karena dia?”
Kali ini Rev menyela. Aku tidak menyalahkannya. Dia berhak tahu, itu menyangkut cafe-nya.
“Oui. Maaf aku seperti rubah.” Aku tertawa untuk memecahkan hening karena Rev nampak diam dan memikirkan sesuatu. Mungkinkah dia memikirkan tentang memecatku yang saat ini ketahuan bekerja tanpa ketulusan?
“Aku melalui musim gugur hingga awal musim dingin dengan rutinitas yang sama. Melihatnya dari jendela kamarku. Kadang kalau tanpa sengaja bertemu di depan rumah kami maksudku yah di jalan yang sama, aku selalu berubah jadi orang bodoh. Tapi jujur tentang menguntit, aku tidak tahu bila melihatnya dari jendela kamarku adalah menguntit. Aku tidak pernah mengikuti kemanapun dia pergi layaknya stalker. Aku benar-benar tidak melakukan itu Rev.”
Aku masih menatap seine yang bercahaya.
“Vi, aku sakit.”
“Kau sakit Rev?” Aku tidak fokus dengan apa yang dikatakan Rev. Aku hanya mendengar bagian dia berkata sakit. “Haruskah kita kembali ke cafe sekarang? Di sini juga dingin.” Aku buru-buru melepaskan scarft milikku –yang beberapa waktu lalu diberikan oleh Rev tentu saja- dan melilitkannya di lehernya.
“Vivienne mahasiswa ENS adalah gadis bodoh.”
Aku tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Rev. Dia hanya tertawa dan mengusap kepalaku lembut. Laki-laki seperti Rev adalah yang terbaik.
Apa si rambut merah tidak bisa memperlakukanku begitu?
Vi sadar!
“Kau sungguh sakit Rev? Ayo kita pulang. Lagipula seine hanya indah tapi tidak hangat. Kau bisa semakin sakit.”
Rev hanya menatapku lembut dan tersenyum. Dia menarik tubuhku dan memelukku lembut. Demi Tuhan, apa yang dilakukan laki-laki ini?
“Seine dingin. Tapi berada di dekatmu terasa hangat Vi. Dan kalaupun aku sakit, melihatmu cukup membuatku merasa sembuh lagi. Hanya dengan senyum Vi. Senyum yang kau miliki.”
Aku tidak tahu apa yang sedang merasuki kepala bos-ku itu. Dia memelukku? Sepupu Myr memelukku? Atas dasar apa dia mengucapkan kata-kata yang manis tadi? Apa dia sebegitu ibanya mendengar kisah cinta bertepuk sebelah tangan milikku?
“Kau sepertinya sungguh sakit Rev. Ayo kita pulang.” Aku menepuk-nepuk pundak Rev pelan. Aku mendengar suaranya yang tertawa.
Dia melepaskan pelukannya. Kalimat selanjutnya yang meluncur mulus dari bibirnya yang indah –tentu saja setelah bibir si rambut merah- sukses membuatku membeku.
Bukan karena udara sungai seine yang dingin. Tapi karena atmosfer yang diciptakan oleh Rev.
“Je t’aime, Vi. Vivienne Fleur Langevin."
^^^^
04 - Malam 25 Desember Terburuk
Sudah seminggu sejak peristiwa sungai seine. Aku mematung saat itu dan tak tahu harus menjawab apa. Dan untungnya Rev mengerti. Dia hanya tertawa mencairkan suasana dan memintaku untuk tidak memikirkannya.
Sore ini, 3 hari sebelum natal di Desember yang dingin, aku masih terpekur di balik jendela kamarku di lantai 4 tanpa lift dengan 100 anak tangga. Jangan lupakan vanilla latte di tangan juga suara berisik Anne dengan lagu Korea kesukaannya. Mataku tetap memaksa menoleh ke arah rumah mewah dengan dua lantai di seberang sana. Mencari sosok berambut merah yang sukses menorehkan luka beberapa waktu lalu.
Dan ini sudah hari ketujuh sejak aku tidak bisa melihatnya dari jendela kamarku. Sungguh yah aku hanya khawatir.
Anggap saja begitu.
Mengingat bagaimana Kris membuat rupanya yang rupawan berdarah. Aku sungguh hanya ingin tahu keadaannya.
Harus aku akui, dia berhasil membuat cinta pertama yang aku milikku runtuh. Tanpa sempat membangunnya lebih jauh. Tanpa sempat melihatnya utuh.
Tapi tak apa. Itu pengalaman berharga dan aku bertekad untuk menyudahi perasaan yang bertepuk sendirian ini.
Tapi lihatlah kebodohan Vivienne ini!
Netraku tetap saja berlarian gelisah setiap kali melihatnya dari jendela kamarku. Mencari keberadaannya dengan segenap kekhawatiran.
Sungguh, gadis dari daerah Ars-en-ré ini memang terlampau bodoh untuk ukuran mahasiswa ENS Paris.
Laki-laki berwajah sempurna percampuran Paris-Korea itu telah meluluh lantakkan seluruh harga diri yang aku junjung tinggi. Tetap berada pada titik mengaguminya di tengah mulutnya yang mengiris-iris hati.
Sialan!
Itu terlalu puitis untuk melukiskan dampak yang dibuat si rambut merah.
“Kau sungguh tidak berniat membalas perasaan Rev?”
Suara Anne membuyarkan lamunan tentang kekhawatiranku pada si rambut merah. Aku menoleh ke arah Anne.
“Andai aku tahu jawabannya, sudah sejak seminggu aku memberi Rev kepastian.”
Aku kembali membenturkan atensiku pada balkon kosong rumah lantai 2 di seberang sana.
“Kau harus ingat Vi, Dylan Park laki-laki brengsek. Jangan percaya dengan apa yang kau lihat dalam drama Korea. Sosok brengsek tidak akan pernah berubah menjadi baik saat kau terus dengan bodoh memperjuangkannya.”
Dan sekalipun mulut Anne selalu seperti menyemburkan api yah karena dia memang tak pandai memilih diksi, tapi Anne benar. Dia yang brengsek akan tetap seperti itu sekalipun aku terus memandanginya dari balik jendela kamarku 100 tahun lamanya.
“Aku bukan kau Anne yang sangat suka drama Korea,” jawabku sarkas. Aku menutupi tentang persetujuanku atas kalimat bijaknya atau dia akan berbesar kepala.
“Terserah kau sajalah. Lagipula Myr bilang, sepertinya Rev bersungguh-sungguh. Kau patut pertimbangkan itu.” Anne kembali sibuk dengan youtube dan EXO-nya.
Myr pun mengatakan hal yang sama. Tentang Rev yang terliat begitu tulus padaku. Tapi tetap saja, perasaanku yang masih bertumpu pada laki-laki yang selalu ada di balkon lantai 2 membuatku ragu.
Aku ragu untuk mengatakan ‘oui’ pada Rev. Laki-laki dengan jutaan kebaikan seperti Rev tak pantas menjadi bentuk pengalihan atas cinta pertamaku yang gagal, bukan?
*****
Aku masih bingung dengan ditutupnya cafe lebih awal. Belum lagi sosok Anne dan Myriam yang ikut muncul di Ten Belles.
Ini malam natal dan dapat aku pastikan banyak pengunjung cafe malam ini yah walau malam biasanya pun Ten Belles selalu dipenuhi pengunjung.
Kebingunganku belum 100 % terjawab saat Sam menyapa seorang gadis cantik dan seksi. Aku dapat melihat wajah Anne yang ditekuk.
Maaf Anne, aku sudah memperingatkanmu bahwa Sam sama bajingannya dengan si rambut merah.
Sial Vi!
Jangan ingat dia lagi.
“Kita akan makan malam di La Calife. Rev sudah memesan kursi untuk kita.” Kris akhirnya membuntukan kebingunganku. “Pakai mantelmu Vi, di luar dingin.” Dia sungguh representasi seorang kakak untukku. Dan aku suka perhatiannya itu.
“Kenalkan, Adelyn.”
Sam memperkenalkan gadis seksi yang baru saja masuk di Ten Belles. Kami bergantian memperkenalkan diri kecuali Anne yang memilih diam saja dan menatap tajam ke arah Sam yang dibalasnya tak acuh.
“Mana Rev?” tanya Myr. Semua memang sudah siap kecuali Rev.
“Laki-laki tampan dengan lesung pipi maksud kalian? Dia ada di luar.”
Adelyn yang menjawab. Aku dapat membaca gesture Anne yang nampak ingin melenyapkan gadis genit milik Sam ini.
“Ayo kita berangkat.”
Anne mendahului yang lain keluar cafe. Myr yang tidak dapat menahan tawa melihat sikap Anne buru-buru menyusulnya. Aku keluar terakhir dengan Kris.
“Vi, ayo masuk.”
Rev membukakan pintu mobilnya dengan gentle. Kris mengusap kepalaku dan menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil Rev.
Meski canggung, aku akhirnya duduk. Gadis bernama Adelyn itu yang duduk di belakang dengan Sam; tentunya. Sedangkan Anne dan Myr di mobil milik Kris dengan Regis.
“Kalian berkencan? Romantis sekali.” Itu suara gadis seksi-nya Sam. Tentu saja ucapannya sukses membuatku kembali semakin canggung.
Bagaimanapun, pengakuan Rev di sungai seine –yang hingga hari ini belum mendapatkan jawaban- benar-benar membuatku canggung. Sialnya hanya aku yang canggung sejak hari itu. Rev sama sekali tidak terganggu dan tetap mempesona seperti biasanya.
“Sepertinya aku salah. Monsieur, hanya kau yang menyukainya?”
Pertanyaan macam apa yang dilontarkan perempuan sinting itu? Sam bahkan terkikik di belakang sana.
Aku menoleh ke arah Rev untuk memastikan bagaimana ekspresinya.
Lihat Vi!
Hanya kau gadis kecil di dalam mobil ini. Wajah Rev nampak santai dan tertawa menanggapi pertanyaan Adelyn si sinting itu.
“Mademoiselle, jangan terlalu tegang. Dia tidak keberatan menunggumu sampai kau menyukainya.”
Aku hanya bisa menghela nafas kesal dengan semua ucapan perempuan itu.
“Bisa kalian hentikan kegiatan kalian menggodaku?” Sungguh jengah terus mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Adelyn di tengah tawa Sam dan senyum santai Rev. Mereka sungguh kurang kerjaan dengan terus mengerjaiku.
“Hentikan Ade, jangan menggoda Vi lagi.” Rev menoleh ke arahku sekilas dan tersenyum.
Dia benar-benar dalam mode angel karena memamerkan senyum lengkap dekik di pipinya. Aku membalas senyum Rev sebagai bentuk terima kasih karena menghentikan gadisnya Sam.
“Melihat kalian tersenyum begitu, aku yakin kalian cocok. Mademoiselle, cobalah buka hatimu. Rev tidak buruk.” Dia ternyata belum berhenti.
Boleh aku lepas vans-ku dan menyumpal mulutnya?
“Bagaimana hubunganmu sendiri dengan Sam? Dia laki-laki brengsek yang sering gonta-ganti perempuan.”
Aku juga kesal pada Sam karena terus menertawakanku, jadi jangan salahkan aku ada kosakata ‘brengsek’ dalam kalimatku.
Aku menoleh ke arah Adelyn dan Sam. Ekspresi perempuan itu terlihat tak acuh. Ia membetulkan dress berbelahan dada rendah miliknya dan mengangkat bahu.
“Aku juga mudah bosan dan berganti-ganti pria. Jangan terlalu dibawa serius hubungan diusia seperti kita ini Mademoiselle.”
Aku hampir menjatuhkan rahang dengan jawabannya. Belum lagi Sam yang hanya tersenyum tak acuh mendapat jawaban dari gadisnya. Aku rasa pepatah yang mengatakan bahwa jodoh adalah cerminan diri itu memang tepat. Lihat Sam dan Adelyn. Mereka sangat mirip dan cocok.
Sama-sama brengsek!
“Mungkin aku yang terlalu konservatif di sini.”
Aku membetulkan tempat dudukku dan membuang pandanganku ke luar jendela mobil. Dari ekor mataku dapat melihat Rev yang menoleh ke arahku. Dia menepuk tanganku sekilas. Sepertinya dia sadar arti perkataanku pada Ade barusan terselip nada kesal.
“Kau bukan konservatif Vi. Kau hanya tulus.” Itu suara Rev.
“Aku juga tulus pada Ade. Begitu juga dengan perempuan-perempuan lain yang pernah aku kencani. Tapi bukan berarti aku tidak boleh bosan, kan? Benar kan Ade?”
“Kau benar Sam. Mademoiselle, kau boleh tulus asal jangan bodoh.” Ade membenarkan ucapan kekasihnya dan mengeluarkan kata-kata menyebalkan.
Aku mahasiswa ENS dengan nilai 10 sempurna dan aku tidak bodoh.
“Aku tidak bodoh dan berhenti memanggilku Mademoiselle.” Aku meninggikan suaraku. Entah kenapa aku benar-benar kesal pada perempuan berbaju tipis itu.
“Berhenti menggodanya Ade.” Rev menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya. Ia nampak berusaha menenangkan emosi yang dibuat oleh gadis brengsek itu.
*****
Kini kami berdelapan telah duduk di tempat duduk yang di booking oleh Rev. Pemandangan sungai seine dengan kerlap-kerlip lampu membuat suasana benar-benar indah. Belum lagi eiffel yang berdiri perkasa dengan segala pesonanya. Sungguh membuat makan malam ini terasa menghibur.
Terima kasih Rev!
Aku duduk di sebelah Rev dan Anne. Gadis itu masih saja memasang wajah kesalnya. Tunggu sampai di apartemen Anne, aku akan menceritakan betapa menjengkelkannya kekasih Sam itu.
Baru saja aku mengedarkan pandangan ke beberapa sudut La Calife yang mulai diisi tamu, netraku menangkap sosok yang hampir 10 hari tidak pernah aku lihat di balkon rumahnya.
Si rambut merah!
Dia tepat menatapku ketika netraku berpredasi ke sekitar ruangan. Alisnya bertaut dengan sorot mata membunuh yang berusaha menelanku bulat-bulat. Seketika hatiku gugup. Seluruh niat dan tekad serta usaha yang aku buat untuk melupakannya tiba-tiba menguap bersama angin di sungai seine. Hatiku berdebar lagi.
“Vi, kau mau memesan apa?” Rev berhasil membawa kewarasanku kembali, meskipun yah hatiku masih berdebar keras.
“Sama sepertimu Rev.” Laki-laki itu mengangguk dan memilihkanku menu. Anne yang penasaran kemana arah pandangku membalikkan tubuhnya dan nampak terkejut dengan sosok diarah jam 2.
“Dylan Park, Vi.” Anne berbisik. Aku mengangguk. Dari sorot matanya aku bisa melihat gadis itu khawatir. Bagaimanapun aku tahu, Anne khawatir dengan sahabatnya yang baru patah hati untuk pertama kalinya ini.
Aku berusaha fokus dengan percakapan Regis yang heboh tentang sale akhir tahun. Atau tentang Kris yang menemukan resep kue terbaru bertema natal. Myr juga bercerita tentang liburannya esok untuk bertemu dengan pacarnya yang berdomisili di Jerman. Juga tentang Ade yang mendapatkan dress mahalnya dengan susah payah hingga harus mencakar seorang perempuan saat berebut.
Sekali lihat perempuan seksi itu memang sesuatu.
Bicara tentang dress, sungguh aku sial sekali malam ini. Ketiga wanita dalam kelompok ini memakai dress terbaik mereka untuk makan malam istimewa di tengah sungai seine ini. Tersisalah aku yang hanya mengenakan jeans dan kemeja di dalam mantelku dengan vans pelengkap.
Sungguh mirip gelandangan!
Aku tidak menyalahkan mereka yang mengajakku tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Jujur sekalipun mereka memberitahuku sebulan sebelumnya, aku akan tetap datang dengan penampilan ini. Atau paling tidak meminjam dress Anne yang pasti membuatku tidak nyaman. Aku sungguh tidak punya pakaian-pakaian semacam itu.
Terutama dress merah seperti milik Adelyn yang memamerkan hampir seluruh tubuhnya. Belahan dada rendah, punggung terekspos sempurna dan belahan rok yang lima inch lagi mengekspos area sensitivnya. Sungguh, aku membenci pakaian seperti itu.
Maafkan aku Ade!
“Mademoiselle, kau diam sejak tadi. Kau tidak sakit perut kan?”
Sungguh, dari semua hal menyebalkan malam ini -yah selain bertemu lagi dengan si rambut merah- aku sungguh membenci hadirnya Ade. Mulut dia busuk.
“Aku mual melihat pakaianmu Ade. Jadi jangan menggangguku.”
Aku melontarkan kalimat pedas yang hanya ditanggapi dengan tak acuh oleh Ade. Aku rasa perempuan itu sudah terbiasa dengan caci maki melihat bagaimana cara dia berbicara pada orang-orang.
“Vi, kau harus mencoba pakaian seperti Ade sesekali.” Sam memang mesum. Dia mengusulkanku memakai pakaian seperti gadisnya.
“Jangan rusak Vi, Sam. Aku tidak akan mengizinkannya.” Kris menjadi kestaria berbaju zirah-ku. Aku senang dia tidak mesum seperti Sam.
“Vi tetap cantik dengan kesederhanaanya.” Aku ingin terbang ke langit mendengar ucapan Rev.
Lihat Ade, kesatria berbaju zirah-ku yang berikutnya membelaku.
“Merci,” jawabku seraya berhigh five dengan Kris dan Rev.
“Tentu saja Mademoiselle cocok dengan penampilan casual seperti itu. Tak ada yang bisa dipamerkan dari tubuhnya.” Dia mengatakan itu dengan menegapkan tubuhnya seolah sedang pamer.
Aku mendecih mendengar apa yang dikatakan Ade. Myr dan Anne nampak tertawa ditahan.
Sialan, mereka memang pengkhianat!
Sam, Regis bahkan Kris nampak mengulum senyum. Harapanku Rev juga hilang karena dia berusaha menahan senyumnya.
“Kalian semua sialan! Kau benar Ade, aku tidak punya sesuatu untuk dipamerkan. Sekalipun milikku tak seindah milikmu, aku tidak meletakannya di tempat terbuka dimana semua tangan bisa menjamah.” Sudah terlanjur berdebat, lanjutkan saja. Dia juga sudah menghinaku.
Aku dapat melihat Sam yang notabene-nya kekasih Ade malah tertawa pertama kali dan diikuti pukulan dari Ade. Anne dan Myr mengangguk setuju. Kris mengajakku berhigh five. Regis memberiku dua jempol dan Rev hanya tersenyum sambil memandangku.
Kau kagum kan, Rev?
Suasana kemenanganku atas debat dengan Ade tiba-tiba berubah ketika meja di arah jam 2 tiba-tiba membanting sendoknya dengan keras. Sontak saja seluruh tamu –bukan hanya kelompok kami- menoleh ke arah mereka. Si rambut merah dengan keluarganya. Tempat ini cukup kecil untuk tidak mendengar apa yang diucapkannya dengan suara sekeras itu.
“Aku sudah punya kekasih dan tidak akan kembali padamu Marie!” hardiknya. Dia bahkan menggeser kursinya kasar dan berdiri.
Semua orang telah kembali pada rutinitas makan mereka –karena ikut campur bukanlah hal yang baik- kecuali aku yang masih menatap apa yang terjadi pada si rambut merah.
Aku jelas melihat ekspresi Mr. Smith yang nampak terkejut. Selain wajah Mr. Smith, aku tidak tahu siapa lagi yang ada di sana. Please Vi, jangan ikut campur!
Aku mengalihkan perhatian pada piringku tepat ketika tanganku diraih seseorang. Aku terkejut. Juga Rev dan yang lainnya.
Si rambut merah!
Dia yang meraih tanganku dengan paksa dan tanpa bisa aku lawan dia menyeretku ke tempat duduknya dan keluarganya tadi. Aku bisa melihat Kris dan Rev hendak mencegah, namun aku meminta mereka dengan isyarat agar tidak membuat kekacauan. Aku tidak ingin dilempar ke sungai seine oleh petugas. Jadilah Kris dan Rev tetap berdiri menatap khawatir ke arahku.
“Dia kekasihku. Jadi kembalilah ke Kremlin dengan Jean, Mar! Aku tidak akan mencegahmu lagi.” Aku masih berusaha mencerna apa yang dikatakan si rambut merah.
Kekasih?
Siapa?
Aku?
“Kau jangan macam-macam Park. Gadis mana yang kau seret untuk berpura-pura.” Perempuan berwajah Asia yang aku lihat di cafe dengan si rambut merah dulu.
“Aku tidak bermain-main noona. Jadi jangan ikut campur dan membela Marie. Kau lupa bagaimana dia pergi begitu saja meninggalkanku?” Si rambut merah menunjuk ke arah perempuan cantik berambut panjang yang duduk di sebelah gadis berwajah Asia yang dipanggil noona tadi.
Mr. Smith hanya menatapku penuh tanda tanya. Ini sungguh malam natal termenyebalkan. Aku tidak suka dengan pandangan gadis bernama noona dan Marie saat memindai tubuhku. Meskipun Ade tadi menjelek-jelekkan selera fashionku tapi keadaan saat ini 1.000x lebih menyebalkan dari itu. Dan bodohnya lagi, aku diam saja. Aku mau-mau saja ikut dalam sandiwara bodoh si rambut merah.
Radius 100m saja sudah membuatku membeku apalagi dengan tangannya yang kini melingkar dipinggangku. Aku pasti nampak bodoh!
“Baiklah Park, kita bicarakan ini lain kali. Kau tidak menyuruh kekasihmu duduk? Dan kenapa dia justru bergabung di meja lain sejak awal kalau kau ingin memperkenalkannya sebagai kekasihmu.” Gadis yang dipanggil noona itu menyelidik.
“Tidak perlu, lagipula makan malam ini sudah selesai. Ayo, aku antar kau pulang.” Setelah berkata demikian, si rambut merah menarik tanganku keluar melewati rekan-rekanku yang nampak geram. Aku dapat melihat bagaimana Anne mencoba menahan Kris dan Rev untuk tidak menonjok si rambut merah.
“Ayo masuk.”
Si rambut merah menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Aku masih diam saja namun detik berikutnya aku terpaksa masuk karena ia memaksaku. Dia menyalakan mobilnya dan berlalu dengan cepat. Aku tidak tahu kemana dia akan membawaku tapi yang pasti, dia mengemudi dengan kecepatan yang cukup tinggi.
“Kalau kau mau bunuh diri jangan bawa aku.”
Kalimat pertama yang keluar dari mulut bodohku. Dia menoleh ke arahku sekilas. Matanya nampak tajam dengan rahang yang mengeras.
“Jangan merasa tersanjung karena aku meraih tanganmu tadi. Hanya kau yang aku kenal di sana dan bisa aku gunakan untuk membalas Marie. Dan aku tidak akan berterima kasih.” Ucapannya selalu saja menyakiti.
Tajam. Berduri. Dia tidak pernah peduli apakah orang lain terluka karena mulut bedebahnya itu atau tidak. Sosok arogan yang sungguh aku benci.
“Turunkan aku. Laki-laki bedebah sepertimu memang menyedihkan. Empat bulan yang sia-sia. Sialan!”
Aku mengumpat demi menahan tangis. Aku tidak mengerti mengapa dia melibatkanku namun kemudian membuangku. Aku sudah siap dengan tembok pertahanan tapi dia merobohkannya.
Setelah itu, pergi.
Sungguh bila ada kata yang lebih kasar daripada bedebah, itulah definisi untuk dia.
Dia langsung menepikan mobilnya. Jalanan sepi yang entah dimana ini tak digubrisnya ketika dia dengan arogannya menyuruhku turun.
Demi harga diri, aku benar-benar turun dari mobilnya. Tak lama, ia sudah menghilang dari pandangan. Aku tidak membawa tasku karena si brengsek itu menarik tanganku tadi.
Dan kini, bila ada kata lebih dari kata takut, maka kata itulah yang dapat mendefinisikan perasaanku.
Dylan Park Brengsek!
*****
05 - NEW YEAR DAN DRAMA PARK MARIE
Malam ini hari terakhir di tahun 2016. Aku memilih berjalan-jalan dengan Anne, Kris, Rev dan Myr di icon kota Paris.
Yup menara Eiffel. Sam sengaja tidak ikut karena ada misi dengan Adelyn. Jangan tanyakan apapun soal itu padaku –yah aku hanya gadis polos usia menginjak 20.
Sedangkan anggota Ten Belles lainnya yakni Regis tidak bisa ikut karena orang tuanya mengajak makan malam bersama, jadilah hanya kami berlima yang bersiap menantikan malam tahun baru di bawah pesona eiffel.
Aku dapat merasakan Rev merapatkan syalku. Udara Paris memang sedang dingin-dinginnya. Aku bahkan mendengar beberapa kali Myr mengeluh namun tidak mengurangi antusiasnya.
Kris dan Anne sejak tadi sibuk dengan pikiran masing-masing. Kalau boleh aku tebak, pikiran Anne melayang pada Sam dan Ade yang entah sedang terdampar di hotel mana.
Bukan hanya kami berlima yang antusias menanti pergantian tahun di Eiffel, tapi juga pengunjung lainnya yang aku rasa berasal dari berbagai belahan dunia. Itulah pesona Paris-ku.
“Masih kurang 10 menit lagi. Aku tidak sabar ingin melihat kembang api.”
Myr menyembunyikan sebagian wajahnya disyal. Dia berkali-kali melihat arlojinya. Sepertinya ia berharap semakin sering ia lihat semakin cepat waktu berlalu.
“Dan Paris sungguh dingin sekali.” Aku meniup kedua tanganku dan berusaha memberi hawa panas disana.
Keinginan untuk melihat pesta kembang api dalam menyambut tahun baru berlawanan dengan tubuhku yang belakangan semakin tidak tahan dengan hawa dingin.
“Aku harus membeli kopi dulu Rev. Tunggu sebentar.”
Aku meninggalkan Rev dan yang lainnya setelah tawarannya untuk mengantar aku tolak. Bagaimanapun aku bukan anak kecil yang dapat tersesat hanya karena ramainya orang-orang.
Adelyn mungkin akan menertawakanku lagi!
Aku sudah mendapatkan dua cup kopi panas untukku dan Rev karena Myr, Anne dan Kris sudah lebih dulu membelinya tadi. Aku kemudian berjalan kembali menuju tempat dimana teman-temanku berkumpul.
Dan demi Tuhan, aku benci sifat pelupaku!
Aku bingung dimana tadi teman-temanku duduk berkumpul menunggu pesta kembang api. Terlalu banyak orang ditempat ini.
Dan aku sungguh menyesal Rev, seharusnya aku mendengarkan saranmu.
Peduli setan dengan tertawaan Adelyn.
Tepat ketika aku kebingungan, aku merasakan tangan seseorang melingkar di pinggangku. Aku terkejut sekaligus takut.
Meskipun aku tidak menarik seperti yang dikatakan oleh Ade –tapi bagaimanapun aku adalah perempuan.
“Brengsek! Lepaskan tanganmu.” Aku berusaha melepaskan tangan laki-laki kurang ajar yang memelukku dari belakang ini. Sampai sebuah suara yang begitu familiar ditelingaku menghentikan syaraf-syarafku.
“Diamlah, Paris sedang menggila. Disini dingin sekali.”
Si rambut merah yang bersuara. Jangan tanyakan kemana seluruh tenagaku bila berkaitan dengan si rambut merah. Catat –semarah apapun aku.
“Aku minta maaf karena meninggalkanmu di jalanan. Aku kembali ke tempat itu dan kau sudah tidak ada.”
Dia meletakkan kepalanya di bahuku. Ini gila. Maksudku –apa tujuan dia melakukan ini. Juga itu –yah kembali mencariku dijalanan gelap setelah dia membuangku.
Aku bersyukur karena Rev dan yang lainnya menyusulku dan berhasil menemukan diriku yang bersimpuh sambil menangis.
“Lepaskan tangan kotormu brengsek! Laki-laki brengsek yang bahkan membuang perempuan di jalanan gelap.”
Aku memang tidak memiliki tenaga untuk memberontak karena bersama datangnya dia maka sirnalah seluruh kekuatan.
Tapi beruntung, kali ini mulutku berfungsi dengan baik hingga bukan hanya Anne atau Ade yang bisa aku maki, tapi juga si rambut merah.
“Sudah aku bilang diam sebentar. Kau kekasihku, ingat?” Dia semakin mengeratkan pelukannya.
“Rambut merah brengsek! Peduli setan dengan itu.” Makian kedua yang akhirnya lolos dari mulutku. Aku bisa mendengar suaranya yang mendecih karena panggilan ‘kesayanganku’ untuknya.
“Kau sangat menyukai rambut merahku sampai menjadi panggilan kesayangan untukku, huh?” Dia membenamkan wajahnya dibalik punggungku.
Aku masih diam saja. Sudah aku katakan, seluruh tubuhku membeku. Harapanku hanya satu, Kris dan yang lainnya menyadari aku hilang dan mencariku.
“Paris sungguh dingin Mademoiselle. Jangan jauh-jauh. Kembang api akan dimulai sebentar lagi.”
Dan kegugupanku bukan tanpa alasan. Dia yang meletakkan dagunya di pundakku membuat garis-garis nafasnya yang hangat menerpa pipiku. Dan gilanya itu nyaman.
“Lihat itu.”
Dia menunjuk kembang api dilangit yang mulai berpijar berwarna warni. Dan seluruh atensiku beralih pada pemandangan menakjubkan itu.
Peduli setan dengan si rambut merah yang masih memelukku. Selama jantungku baik-baik saja, aku ingin menikmati kembang api –yah hanya kembang api- selama yang aku bisa.
“Mademoiselle, teman-temanmu datang sebentar lagi. Kau harus ingat, kau kekasihku. Dan kau tumbuh semakin cantik.”
Usai menyelesaikan kalimat gilanya –yang pada akhir kalimat tidak aku mengerti-, dia mengusak rambutku dan berlalu.
Tepat setelah punggungnya menghilang dibalik kerumunan, Kris dan Rev juga Anne dan Myr datang. Mereka menarik nafas lega karena menemukanku. Untuk seluruh Paris dan keindahannya, aku tidak ingin menceritakan ini pada siapapun.
“Kalian mau kopi?”
Tepat setelah kalimat itu, jangan tanya siapa yang paling banyak menyumpahiku.
Anne, sigadis busuk!
*****
Pukul 14 ditengah Januari yang dingin, aku berjalan dengan terburu-buru menuju apartemenku setelah menyelesaikan kelas Prof. Ludwigh.
Tidak ada Anne ataupun Myr. Mereka berdua masih asik di kampus. Aku memutuskan untuk pulang karena ingin merebahkan badanku sejenak sebelum pergi ke Ten Belles pukul 15.00.
Dari jauh, aku bisa melihat sosok yang sejak pertama kali pindah ke apartemen di Jl. Boulevard mulai masuk ke dalam kehidupanku.
Si Rambut merah.
Dia tengah berdiri di depan rumahnya dengan seseorang. Aku tidak yakin siapa perempuan yang kini ada di sisinya karena gadis itu memunggungiku. Mereka berdua tidak menyadari kedatanganku.
Langkahku melambat dengan sendirinya. Seolah tanpa dikomando seluruh syaraf-syarafku menjadi slowmotion dan menghasilkan langkah yang canggung.
Sebagian diri ingin memutuskan tak peduli dan langsung masuk ke dalam apartemen melangkah naik dengan 100 anak tangga.
Tapi sayangnya, sebagian dari diriku memaksa untuk menuntaskan seluruh rasa ingin tahuku yang terkutuk ini.
Dan akhirnya aku malah berhenti tepat tak jauh dari dua anak manusia yang tampaknya tengah berdebat.
Tunggu! Itu gadis yang malam itu menjadi kandidat calon menantu Mr. Park –yah aku lupa siapa namanya.
“Aku minta maaf Park. Jangan kekanak-kanakan. Aku hanya pergi selama satu tahun ke Kremlin untuk course. Aku pergi dengan jean sungguh hanya untuk study. Kau sangat tahu, aku mencintaimu begitu besar.”
Aku bisa mendengar percakapan mereka. Jangan salahkan aku –yang mereka bertengkar dijalanan umum.
“Aku tidak kekanak-kanakan Marie. Kau memilih Jean jadi teruskan saja. Kau meninggalkanku tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Kau pikir bagaimana kehidupanku setahun ini tanpa dirimu? Kau sungguh keterlaluan Mar!”
Si rambut merah nampak emosi dilihat dari bagaimana intonasi suaranya. Aku yakin dia terlalu fokus dengan perdebatan mereka hingga abai akan posisiku yang tengah jadi manusia terkutuk yang ikut campur urusan orang lain.
“Tatap aku Park. Aku tidak peduli kau berganti-ganti dengan jalang manapun. Aku tahu hatimu milikku. Aku juga sama mencintaimu. Aku ingin kita memulai lagi semuanya. Kau tahu, ini semua hanya kesalahpahaman.”
Kepercayaan diri gadis itu –Marie- rasanya seperti memukul telak hatiku. Aku tahu si rambut merah telah menolakku mentah-mentah di tengah Marche Bastille. Bahkan meninggalkanku dijalanan gelap tepat di malam natal.
Tapi tetap saja, pelukan hangatnya di malam tahun baru dalam kesaksian bisu kembang api yang berpijar-pijar di langit membuat harapan yang sudah membusuk kembali bertunas.
Dan apa ini? aku salah satu jalang yang disebutkan gadis itu sedangkan pemilik hati laki-laki bernama Dylan Park adalah dirinya?
“Tatap aku Park. Katakan kau ingin meninggalkanku. Katakan kau ingin membuangku! Kau jahat Park! Kau lupa semua hal tentang kita! Aku study di Kremlin dan disini kau bahkan berganti-ganti wanita! Tatap aku...”
Gadis itu menangis dalam pelukan si rambut merah.
Shit! dan pemandangan berikutnya adalah adegan romantic dimana pemeran utama pria membungkam mulut pemeran utama wanita melalui ciumannya.
Ironi! Aku dengan segala keingintahuan harus menyaksikan drama murahan di tengah siang yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Air mataku meluruh dengan segala tunas harapan yang baru tumbuh dan kembali membusuk.
Aku dapat melihat mata si rambut merah menatapku ketika melakukan adegan panas di depan jalanan rumahnya. Dan aku harus mengutuk seluruh tubuhku yang tidak bisa bergerak sesuai dengan kemauanku.
“Vi, kau harus segera ke cafe. Apa yang kau lakukan disini. Ayo.” Suara Rev memecah seluruh keheningan yang tercipta atas sepotong adegan yang dimainkan oleh si rambut merah dan gadis bernama Marie.
Rev meraih lenganku dan membenamkan mataku yang mulai berair di dadanya.
Sungguh, jerih payahku selama bertahun tahun untuk menjadi gadis cerdas akhirnya tumbang hanya karena menangisi laki-laki yang berulang kali memberi perih.
Aku berterima kasih karena Rev tiba-tiba datang disaat yang tepat. Sungguh, bila Rev tidak datang entah bagaimana aku harus bersikap. Untuk menyembunyikan perasaan terluka dan harga diri yang telah jatuh dan terberai.
Dylan Park –rambut merah- kau melukaiku lagi.
“Rev, sedang apa disini? Apa kabarmu?” Suara Marie. Aku tidak tahu sejak kapan ciuman panas mereka usai. Dan kepalaku terlalu pening untuk memikirkan bagaimana gadis sundel itu mengenal Rev.
Rev melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku. Ia menyuruhku untuk menjadi tegar.
“Salut (hai) Marie. Sudah lama tidak melihatmu. Apa kabarmu?” Aku dapat melihat gadis bernama Marie itu melangkah menuju ke arahku dan Rev.
Dia tersenyum setelah beberapa saat lalu menghapus air matanya. Kemudian gadis itu mengerutkan kening ketika netra-nya menatapku. Sedangkan si rambut merah hanya tetap terpaku di tempatnya.
“Im fine, Rev. Sepertinya aku harus mampir ke Ten Belles kapan-kapan. Kenalkan, dia Dylan Park, kekasihku. Baby, kesini.”
Si rambut merah melangkah ke arah kami bertiga.
Jangan tanyakan bagaimana kondisiku. Seluruh sendiku tiba-tiba terasa ngilu dengan beban ribuan kilo yang menghantam pundak.
Hiperbola?
Aku rasa tidak.
Ini pertama kalinya aku jatuh cinta namun sudah dipermainkan oleh nasib dengan begitu tragis.
Aku mengeratkan kepalan tanganku. Namun Rev meraihnya dengan tangan kirinya seolah menyalurkan sedikit kekuatan. Hanya genggaman tangan ringan namun sangat membuatku sedikit lebih tegar.
“Baby, dia temanku ketika di Jerman. Rev, ini kekasihku.” Aku dapat melihat Rev dan si rambut merah saling berjabat tangan.
“Itu siapa Rev? Aku pernah melihatnya tapi aku yakin kau akan mengenalkannya padaku, kan?”
“Dia Vivienne, kekasihku. Dia temanku Vi, Marie Lui Francois.” Aku tidak peduli lagi bagaimana Rev memperkenalkanku pada kedua manusia di hadapanku.
Aku hanya akan terus berterima kasih pada Rev dan mengabdi dengan sungguh-sungguh pada Ten Belles untuk balas jasa atas kejadian ini.
“Kekasihmu? Park, kau harus minta maaf pada temanku. Kau meminjam gadis ini untuk merajuk padaku saat malam natal.”
Gadis itu nampak tersenyum dengan sisipan seringai di akhirnya. Si rambut merah hanya mendecih dan tidak mengatakan apapun.
“Aku harus permisi Marie. Ten Belles selalu ramai pengunjung dan aku harus segera membantu Kris dan yang lainnya.”
“Tentu saja Ten Belles ramai pengunjung, kau menggunakan ketampanan para pegawaimu untuk memikat pengunjung.”
“Termasuk aku.” Rev terkekeh. Gadis bernama Marie itu tertawa.
Kemudian aku dan Rev berpamitan dan masuk ke dalam mobil. Aku berusaha memberanikan diri untuk melirik ke arah si rambut merah. Dan lagi, dia hanya menatapku lekat. Sepasang obsidiannya tak bisa aku artikan apapun.
Terserah kau saja brengsek!
*****
“Dia Marie Vi. Temanku saat SHS. Aku tidak pernah tahu kalau lelaki yang kau sukai mati-matian itu adalah kekasihnya. Tapi aku rasa mereka sudah lama menjalin hubungan. Maaf aku tadi berbohong soal menjadi kekasihmu.”
Kini aku dan Rev tengah berada diruang istirahat Ten Belles yang biasanya digunakan hanya untuk makan siang atau merebahkan tubuh yang penat. Sejak di dalam mobil aku belum mengeluarkan sepatah katapun pada Rev.
Sungguh, seluruh kejahatan yang diperbuat oleh si rambut merah membuatku menjadi gadis yang tak tahu sopan santun. Rev sudah menolongku dan aku malah mengabaikannya bukannya mengucapkan terima kasih.
“Maafkan aku Rev karena menjadi gadis tidak tahu sopan santun. Kau sudah menolongku dan aku tidak mengucapkan terima kasih. Sungguh, kau baik sekali Rev. Terima kasih karena menolongku.” Rev meraih tanganku dan tersenyum.
“Apapun untukmu, Vi.”
Aku hanya bisa menundukkan kepalaku mendengarkan ucapan lembutnya. Aku merasa begitu bersalah karena terus mendapatkan kebaikan darinya tanpa mempertimbangkan perasaannya.
Perasaan yang tidak dapat aku balas.
Come on Vi, ini bukan drama korea seperti kata Anne. Si rambut merah akan tetap menjadi duri hingga akhir. Aku harus melihat kebaikan Rev.
“Maafkan aku Rev.” Aku masih menunduk saat mengatakan itu.
“Jangan meminta maaf Vi, perasaanku tidak membutuhkan permintaan maafmu. Jadilah gadis periang seperti biasanya. Aku kesal melihatmu menjadi lemah belakangan ini.”
Rev mengangkat daguku dan menghapus air mataku yang entah sejak kapan meleleh dengan ibu jarinya.
Lembut.
Dia memperlakukanku layaknya queen. Tapi mengapa hatiku belum mampu melihatnya?
“Kau pecinta vanilla latte yang ceroboh dan menyukai lelucon-lelucon bodoh. Jadilah seperti pertama aku melihatmu. Itu daya tarikmu. Kau bisa duduk di sini lebih lama. Aku akan keluar membantu Kris.”
Rev bangkit setelah sebelumnya mengecup keningku lembut. Aku tidak dapat bereaksi apapun.
Karena sungguh, bayangan si rambut merah tengah berpagut dengan Marie tak bisa luruh walau dengan kecupan lembut Rev dikeningku.
*****
TO BE CONTINUED
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
