Turun Ranjang

0
0
Deskripsi

Bab 6-8

Bab 6

Pukul sebelas malam, Alyzaa belum juga bisa memejamkan matanya. Dia masih duduk di sofa dengan posisi yang sama sejak Tiara, sahabatnya meninggalkannya tadi.

Duduk diam menatap langit-langit ruang tengah, diam dengan pandangan menerawang. Menatap langit-langit dengan kepala terasa penuh. Hingga tangisan nyaring dari arah kamar membuat dia menoleh, lama dia menatap ke arah sana. Hingga kemudian Tiara keluar dari kamarnya. Menatap Alyzaa dengan wajah terkejut.

Sahabatnya itu, sepertinya baru terbangun karena sama terkejutnya seperti dirinya mendengar suara tangisan.

"Za..?" Panggilnya saat Alyzaa tak bergeming di tempatnya. ''Ngapain lo bengong? Samperin! Lo bisa buat semua penghuni apartement kesini bego!''

Menghela nafas panjang, Alyzaa bangkit, melangkah ke arah kamar dengan sedikit malas-malasan. Menelan ludah saat pandangannya jatuh pada seorang anak kecil di atas ranjang. Menangis dengan suara memanggil mamanya. Padahal kedua matanya terpejam. Dia sepertinya mengigau, atau kenapa? Alyzaa sama sekali tidak tahu, karna tidak pernah berurusan dengan anak kecil. Dan juga menghadapinya. Selain dia anak tunggal, dia belum pernah memiliki bayi.

''Mama... mama.''

Alyzaa menghela nafas panjang, melangkah mendekat dan duduk di ujung ranjang. Berusaha mengingat siapa nama pria kecil di depannya.

Arsen Wigara?

"Arsen." Begitu kan panggilanya?

''Mama..."

"Arsen."  Ragu-ragu Alyzaa menyentuh kepalanya, mengusapnya lembut, lalu tubuhnya mematung saat pria kecil di depanya membuka mata. Menoleh ke arahnya dengan air mata memenuhi wajahnya. Alyzaa mengerjab melihat itu, semua itu mengingatkannya pada kejadian tadi. Di mana pria kecil itu ditinggalkan begitu saja di rumahnya. Apa dia terbangun dan menangis karna itu?

Tubuh Alyzaa semakin membeku saat Arsen, pria kecil yang dia panggil tadi menghampirinya. Memeluk lehernya erat dan meletakkan kepalanya di pundaknya. Alyzaa menelan ludah susah payah.

"Mama,'' Gumam Arsen layaknya sesuatu yang menekan dada Alyzaa. Dia kesulitan bernafas. Seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya, menimbulkan rasa yang benar-benar menyakitkan.

Dia seperti di ejek dengan rasa sakitnya kali ini, namun Alyzaa seakan kehilangan kewarasannya. Dia hanya diam tak menjauhkan tangan kecil yang lagi-lagi memeluknya.

Cukup lama Alyzaa bertahan dengan posisi ini, membiarkan lengan kecil memeluknya sampai tangis Arsen terhenti. Bahkan setelah berhenti, dia berbaring dengan kepala di letakkan di atas pangkuannya. Membuat Alyzaa bisa dengan jelas melihat kedua mata pria kecil itu terpejam. Nafas kasar keluar dari bibirnya, layaknya mengeluarkan segala beban di pundaknya. Berharap bisa sedikit mengurangi segala rasa sakit di dadanya.

Sampai di rasa Arsen sudah benar-benar terlelap. Alyzaa dengan hati-hati mengangkat kepalanya. Meletakkannya di atas kasur sedang dia berbalik, keluar dari kamar itu dan menutup pintunya hati-hati.

"Gue kira lo bakal marah-marah ma tu bocah, atau bersikap kayak emak tiri yang ada di sinetron." Celetuk Tiara begitu Alyzaa keluar dari kamar.

Alyzaa tak menanggapi, dia hanya diam dan bergabung dengan sahabatnya di sofa.

"Lo gak tidur? Ini udah tengah malam."

Tiara mengedikkan bahunya acuh. "Gue cuman mau memastikan aja tadi." Duduk miring menghadap Alyzaa, Tiara meletakkan lenganya di sandaran sofa, menatap sahabatnya lurus dan penuh sedikit.

"Jujur sama gue, apa yang lo rasain waktu liat bocah itu?!"

Alyzaa diam cukup lama, semua itu membuat Tiara bisa menebak jalan pikiran wanita itu.

Menghembuskan nafas kasar, Tiara menggeleng menyerah. "Za, gue ngomong gini karna gue sayang sama lo. Lo sahabat satu-satunya yang udah gue anggap keluarga gue sendiri. Bukan gue gak punya rasa perikemanusiaan, atau iba sama bocah itu. Apalagi dengan apa yang menimpa dia. Tapi kita juga punya takaran dalam menahan rasa sakit, gak mungkin lo terus-terusan bisa nahan semuanya. Gue bahkan salut sama lo yang masih tetep waras sampe sekarang dengan apa yang menimpa lo.''

"Pengkhianatan, pembohongan, dan sekarang lo ngurusin anak dari laki lo sama perempuan lain. Gue gak tahu hati lo terbuat dari apa."

"Cuman, Za, gue takut kalau semua lo pendem. Suatu saat nanti akan berdampak buruk buat diri lo sendiri. Gue gak mau ya kehilangan satu-satunya sahabat gue. Karna itu sekarang gue kasih tahu-''

"Lo ngomong gini kayak gue bakal ngurus tu anak sampai tua sih, Ra.''

Tiara mengedip-ngedipkan kedua matanya kaku. "Hah?" Dia tampak bingung sekarang. "Maksud lo, lo gak akan ngadopsi tu anak, kan?"

"Ya, gak lah, Ra."

Ada helaan nafas lega keluar dari bibir Tiara, semua itu tampak sangat berlebihan di mata Alyzaa. Membuat dia mendengus kasar.

"Syukur deh kalau gitu." Dia tampak lega sekarang. "Gue udah takut dari tadi."

"Lebay."

Tiara tertawa mendengar cibiran sahabatnya. Tak urung dia lega karna sahabatnya sudah kembali, sudah bisa membalas segala kata-katanya dengan cibiran khasnya. Yang artinya dia percaya jika sahabatnya itu sudah baik-baik saja. Dan apa yang selama beberapa hari dia takutkan tidak terjadi.

"Lo gak tahu aja sih, gimana gue merinding denger tu anak dari tadi manggil lo mama. Sumpah itu tu horor banget."

Alyzaa terdiam dan mengerjab kaku. Membuat Tiara yang mulai sadar jika celetukan asalnya berlebihan pun meringis pelan.

Mulut sialan.

"Za, sori-sori gue gak bermaksud-''

"Santai aja." Alyzaa bangkit dari duduknya. "Gih tidur, udah malam ni."

"Lo mau ke mana? Lo gak tidur?" Tanya Tiara saat Alyzaa malah melangkah ke arah dapur.

"Bentar lagi." Alyzaa menoleh sebentar, hanya untuk menatap sahabatnya sekilas. "Gue tidur di sofa aja deh.''

''Loh kenapa?"

"Gak papa, pengen aja." Jawab Alyzaa yang sama sekali tidak membuat Tiara puas, namun dia menahan diri untuk tidak bertanya lebih.

***

Pukul tujuh pagi, Alyzaa sudah berada di dalam mobil Tiara yang berhenti di depan gerbang rumah besar milik mertuanya. Rumah yang dulu sering dia kunjungi setiap minggunya.

Tapi ada yang berbeda dengan kunjungannya pagi ini, tidak seperti biasanya, jika dia datang berkunjung ke rumah mertuanya akan langsung di sambut atau di bukakan gerbang. Kali ini Alyzaa di biarkan berdiri di depan gerbang, berkali-kali memencet bel tidak ada yang menanggapi. Membuat Tiara yang berada di dalam mobil pun menyempulkan kepalanya demi melolokkan kepalanya untuk menatap ke adaan sekitar yang tampak sepi.  

"Za, kayaknya mertua lo gak ada deh." Ujarnya. Membuat Alyzaa menoleh ke arahnya beberapa saat, baru kemudian kembali menoleh ke arah rumah besar mertuanya.

"Gimana?"

"Coba gue hubungi bu Rini." Alyzaa mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, mencari kontak kepala pelayan di rumah mertuanya untuk bertanya keberadaan mertuanya saat ini.

"Gimana, bisa?" Tanya Tiara yang ternyata sudah berada di samping Alyzaa. Menatap sahabatnya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.

"Gak diangkat.''

Tiara menghembuskan nafas kasar, sudah dia duga semua ini akan terjadi.

"Terus gimana, kita bakal antar anak itu ke mana?" Tiara mengedikkan dagunya ke arah mobilnya, di mana kini Arsen berada.

Alyzaa diam, tampak menimbang-nimbang.

****
"Lo yakin mau ke sini, Za?" Tiara menatap Alyzaa ragu, baru kemudian pada rumah besar di depannya.

Alyzaa melirik ke belakang, di mana Arsen berada. Duduk di kursi belakang dengan kedua mata masih terpejam. Mereka membawa pria kecil itu disaat dia bahkan masih tertidur pulas.

"Lo tunggu di sini aja deh, ya, Ra. Gue aja yang turun." Alyzaa sudah bersiap turun, membuat Tiara yang awalnya memperhatikan rumah besar di depannya pun seketika menoleh ke arahnya.

"Loh, tapi-"

"Gue cuman bentar, cuman mau nanya keberadaan mama Dwita." Belum sempat Tiara membalas semua kata-kata Alyzaa, sahabatnya itu sudah melangkah menjauh, membuat Tiara pada akhirnya mengalah dan menurut.

Hal pertama yang Alyzaa dapatkan begitu masuk ke dalam rumah adik mertuanya adalah tatapan bingung salah satu pelayan yang membukakan pintu.

"Cari siapa, mbak?" Tanyanya kemudian.

"Saya cari tante Windi. Ada kan, Bik?"

"Oh, Bu Windi-"

"Ngapain kamu ke sini?!'' Teguran tak bersahabat menarik perhatian Alyzaa dan pelayan di depannya yang belum sempat menjawab pertanyaannya. Senyum sopan Alyzaa langsung terbit begitu melihat siapa yang menegurnya tadi.

'Tante-"

"Berhenti!" Bentak Windi menghentikan langkah Alyzaa yang akan berjalan mendekat.

"Saya tidak akan mengulang pertanyaan saya, Alyzaa. Apa yang kamu lakukan di sini?!" Tanya Windi tajam.

Alyzaa menghembuskan nafas pendek. "Aku datang cuman mau menanyakan keberadaan mama Dwita, Tan. Apa-"

"Mama? Setelah apa yang kamu lakukan pada keluarga kami kamu masih berani memanggil mbak ku dengan sebutan mama? Kamu memang wanita gak tahu diri, ya, Alyzaa!"

"Tan-''

"Saya sama sekali gak ngerti kenapa dulu Rangga begitu tergila-gila sama perempuan kayak kamu, Alyzaa. Dan begitu saya melihat Ares bersikap kurang ajar demi perempuan seperti kamu, kemarin, saya baru tahu jika kamu memang perempuan semenjijikan itu.''

Alyzaa tampak bingung dengan apa yang wanita di depannya katakan. Wajahnya jelas tampak kebingungan saat ini.

"Tan, aku sama sekali gak ngerti dengan apa yang tante katakan. Aku-"

"Setelah membuat seorang ibu kehilangan anaknya, seorang anak kehilangan sosok ayahnya, dan seorang istri kehilangan suaminya. Kamu masih ingin bersikap pura-pura bodoh, Alyzaa?! Kamu itu benar-benar perempuan mengerikan, ya? Saya benar-benar menyesal telah menerima kamu di keluarga besar saya, dulu. Tahu begitu saya tidak akan mau bersikap baik ke pada kamu dulu, jika pada akhirnya keluarga kakak saya bisa hancur begini!"

"Tan-"

"Pergi, kamu! Keluar kamu dari rumah saya!"

Alyzaa menggeleng, melangkah mendekat ke arah Windi yang menatapnya penuh dendam.

"Tan, aku akan menjelaskan semuanya! Ini gak seperti yang tante pikirkan, ini-"

"Kamu, ngapain kamu diam di situ!" Bentak Windi pada salah satu pelayannya yang sedari tadi hanya diam menonton. "Usir dia dari rumah ini! Cepat!"

"Tan, tolong dengar Alyzaa dulu. Semua ini hanya salah paham. Tante Windi?" Tanpa mendengarkan segala cerita Alyzaa lebih lama, Windi segera berbalik, pergi meninggalkan Alyzaa yang kini berusaha melepaskan diri dari tarikan pelayan yang memintanya untuk pergi.

"Mbak, udah, mbak. Mending mbak pergi aja. Pulang."

"Sebentar, bik, ini. Aku-'' Alyzaa belum sempat meneruskan ucapannya, tapi tangannya sudah di tarik paksa, di keluarkan dari rumah dan menutup pintu tepat di depan wajahnya. Membuat Alyzaa mematung di tempatnya. Dia tersenyum kecut saat menerima segala perlakuan tak mengenakkan dari keluarga Rangga.

Berbalik, Alyzaa hendak kembali ke mobil Tiara-yang ternyata kini sahabatnya itu berdiri di samping mobilnya. Menatapnya cemas.

"Kenapa, lo gak papa, Za?'' Tanya Tiara begitu Alyzaa sudah berdiri di depannya.

Alyzaa mengangguk, berusaha terlihat baik-saik saja meski sebenarnya kedua matanya mulai kembali terlihat linglung. Dia cukup syok dengan perlakuan adik mertuanya dulu-yang dulu Alyzaa kenal sebagai sosok wanita yang ramah dan juga hangat, kini berubah menjadi begitu sinis tak bersahabat. Membuat Alyzaa bertanya-tanya, memangnya apa yang Ares lakukan kemarin? Kenapa tante Windi bisa bersikap semarah itu?

''Za?" Panggil Tiara menggoyang-goyangkan tanganya di depan wajah Alyzaa, membuat Alyzaa sedikit tersentak kaget.

"Ya?"

"Lo ngelamun?"

"Hah? Gak, gue cuman-" Alyzaa tampak menghindar saat Tiara menatapnya memicing.

"Oh, kita pergi dari sini aja kayaknya."

Tiara mengangguk setuju masuk ke dalam mobilnya, sedang Alyzaa, sebelum dia masuk ke dalam mobil dia sempat menoleh ke arah rumah tante Windi sekilas. Ada banyak tanda tanya yang kini memenuhi kepalanya.

"Jadi, kita mau pergi ke mana lagi, Za?" Tanya Tiara begitu mereka sudah pergi meninggalkan rumah Windi.

Alyzaa menoleh ke arah Tiara, lama dia tatap sahabatnya itu.

"Ra?"

Tiara hanya bergumam menjawab pertanyaan Alyzaa, karna fokusnya kini pada jalanan.

"Waktu gue gak sadar kemarin, lo tahu apa yang Ares lakuin di rumah sakit, gak sih?"

Beberapa saat, Tiara melirik ke arah Alyzaa yang kini menatapnya lurus. Ada dehem pelan yang keluar dari bibir Tiara membuat Alyzaa yakin jika sahabatnya itu pasti tau sesuatu.

"Emang tadi tantenya Rangga ada ngomong aneh-aneh ya, Za?"

Alyzaa tak menjawab. Dia malah balik melemparkan pertanyaan. "Lo bilang, kemarin suami gue bukan Rangga lagi, berarti lo tahu gimana dia nikahi gue, kan? Lo ada di sana gak?"

"Za-"

"Lo hanya perlu jawab tahu atau gak, Ra. Kasih tau gue apa yang lo tahu."

"Gak, gue gak tahu. Waktu-"

"Lo yakin?!" Potong Alyzaa cepat, membuat Tiara menepikan mobilnya. Sahabat Alyzaa itu tampak membenarkan letak duduknya.

"Om saya Ares, adik mas Rangga. Mungkin om sudah mengenal saya, atau mendengar nama saya dari mas Rangga."

Tiara yang saat itu baru datang hendak menjenguk Alyzaa, sahabatnya mengurungkan niatnya untuk melangkah. Memilih melangkah mundur dan bersembunyi di salah satu dinding. Menatap dua orang pria berbeda usia yang tampak serius berbicara. Mungkin ini terlihat tidak sopan, tapi Tiara penasaran dengan apa yang pria muda itu katakan pada ayah sahabatnya. Karna bagaimana pun  juga, pria itu tidak pernah muncul, walau Tiara tahu jika dia adalah adik ipar Alyzaa.

"Saya datang kemari ingin memberikan penawaran untuk, om.''

"Penawaran, maksud nak Ares?"

"Saya ingin om menikahkan saya dengan putri om, Alyzaa."

Haikal yang mendengar ucapan Ares terbelalak lebar, tampak terkejut dan kaget.

"Sebagai gantinya saya tidak akan melaporkan putri om atas apa yang telah dia lakukan."

"Apa maksud kamu, nak Ares? Om sama sekali tidak tahu dengan apa yang kamu katakan."

"Apa om tahu apa penyebab kecelakaan mas Rangga?"

"I-itu, bukankah polisi mengatakan jika-"

"Saya punya banyak bukti atas apa yang putri om lakukan. Dan saya yakin jika polisi melihat itu semua, putri om akan mendekam di penjara!""

"Nak Ares itu-"

"Saya hanya butuh jawaban om. Iya atau tidak?!"

"Nak Ares, mana mungkin Alyzaa bisa menikah dengan kamu jika status dia bahkan masih sah istri kakak kamu."

"Saya tidak mau om tahu, om, yang saya tahu, say harus menikah dengan putri om secepatnya."

"Ra!" Panggil Alyzaa mengejutkan Tiara, membuat wanita yang duduk di kursi kemudi pun  tersentak kaget.

"Hah?"

"Kenapa? Lo ngelamun ya?"

"Oh, hah? Gak, kok." Tiara tampak panik dengan pertanyaan Alyzaa yang tiba-tiba.

Alyzaa menarap sahabatnya memicing.

"Lo nanya apa tadi?"

"Lo-"

"Eh, ya, kenapa gak lo tanya aja sama bokap lo? Dan..." Menoleh ke arah samping, "kayaknya itu anak kita cariin baju aja deh, Za. Kasian dari semalam gak ganti baju."

Alyzaa ikut menoleh ke arah belakang. Baru menatap Tiara dengan wajah tak terima. Tapi belum sempat dia bertanya lebih, Tiara sudah bergumam. "Gue ijin hari ini kan buat ngantar lo nganter dia. Ini mau kita antar ke mana?"


Bab 7

Ada beberapa hal yang membuat Alyzaa merasa sedikit takjub dengan cara mendidik Jesika pada putranya. Salah satunya adalah ketenangan bocah kecil itu.  

Disaat dia tidur lelap-lelapnya, di bangunkan dan di bawa turun dari mobil. Alyzaa bahkan sedikit heran karna bocah kecil itu tidak menangis atau rewel. Dia hanya diam dengan kedua mata polosnya yang menatap Alyzaa dengan wajah kantuk, sama sekali tidak ada hal yang keluar dari bibirnya. Baik protesan, rengekkan, atau satu pertanyaan pun, tidak. Semua itu membuat Alyzaa sedikit merasa tidak nyaman.

Seharusnya bocah kecil itu rewel dan menangis, kan? Membuat Alyzaa jengkel atau semacamnya agar Alyzaa memiliki alasan untuk membenci juga meninggalkannya seperti ibu bocah itu. Tapi apa yang terjadi, kenapa dia hanya diam dan menurut? Membuat Alyzaa takut sendiri berada di dekat bocah kecil itu.

Disaat Alyzaa sibuk memikirkan semua keheranannya, tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh telapak tangannya. Begitu dia menunduk, dia menemukan tatapan Arsen mengarah padanya, tangan kecilnya menggenggam setengah telapak tangannya yang besar. Membuat langkah Alyzaa terhenti. Tiara yang berdiri di sampingnya pun ikut berhenti begitu langkah Alyzaa terhenti. Dia mengikuti arah pandang Alyzaa. Kedua matanya melotot lebar saat menemukan pemandangan apa di depannya.

Ditatap lurus oleh dua orang dewasa di sampingnya membuat Arsen mengeratkan genggamannya di telapak tangan Alyzaa. Wajahnya tidak bisa di tutupi jika saat ini tampak takut.

"Asen, ndak pelnah sini, ante."

Ada sesuatu yang terasa menyentil hati Alyzaa mendengar ucapan polos bocah kecil di sampingnya. Apalagi ketika melihat tatapan takut bocah itu, seakan Alyzaa akan meninggalkannya di tempat ramai ini sendiri. Sama seperti apa yang ibunya lakukan padanya. Membuat dia pada akhirnya menghembuskan nafas pasrah. Membiarkan Arsen menggandeng telapak tangannya erat selagi mereka meneruskan langkah.

"Za, kita mau langsung naik ke lantai atas?" Alyzaa melirik Tiara sekilas, baru kemudian mengangguk ala kadarnya.

"Mbak, anaknya di gendong dong. Masih kecil begitu kok dibiarin naik eskalator sendiri, sih? Bahaya, mbak." Teguran dari arah belakang tubuh Alyzaa saat mereka hendak menaiki tangga berjalan itu pun membuat Alyzaa dan Tiara menoleh ke arah belakang serempak.

Belum sempat Alyzaa membalas, Tiara sudah lebih dulu menyela. "Za, biar gue aja yang gendong." Ucapnya. Hendak meraih tubuh Arsen, tapi Arsen menggenggam erat tangan Alyzaa, wajahnya bahkan tampak menahan tangis saat Tiara mendekat. Membuat Alyzaa mengerjab kaku.

"Ante.."

"Heran deh sama anak muda zaman sekarang, bikin anak seneng, giliran punya anak gak mau ngurusin yang benar. Kalau gak mau punya anak mending jangan bikin, mbak. Kasian anaknya gak keurus."

"Heh, buk! Jangan sok tahu, deh!" Tiara yang sudah menunduk kembali berdiri, menatap tajam ibu-ibu dibelakangnya, terlihat tak terima dengan sindiran ibu-ibu itu.

Alyzaa yang sedari tadi menatap Arsen yang tampak menahan tangis pun pada akhirnya menunduk, meraih tubuh kecil itu untuk masuk ke dalam gendongannya.

"Ayo, Ra!" Ujarnya. Mulai melangkah dan menaiki eskalator di depannya. Membuat Tiara yang sudah akan mengomeli ibu-ibu dibelakangnya pun pada akhirnya menyerah. Namun tatapannya jelas menunjukkan ketidakterimaannya. Hingga dia terus menatap kesal pada ibu-ibu dibelakangnya, membuat ibu-ibu itu pun menjaga jarak dari mereka.

"Heran deh, ibu-ibu itu kurang kerjaan banget sih?! Suka banget komentarin hidup orang. Heran!" Tiara masih tampak tak terima karna belum meluapkan kekesalannya. Membuat Alyzaa diam-diam melirik sahabatnya itu. Tidak sadar jika kini kedua lengannya memeluk punggung Arsen erat, sedang bocah kecil dalam gendongannya pun begitu. Memeluk lehernya erat. Hingga mereka menyusuri pusat perbelanjaan itu, mencari-cari toko pakaian anak. Alyzaa baru sadar jika dia terlalu dekat saat merasa pundaknya mulai pegal karna di jadikan tempat bersandar Arsen membuat langkahnya pun terhenti.

"Kenapa, Za?" Tanya Tiara ikut berhenti. Seakan ikut tersadar dengan situasi sahabatnya saat ini, buru-buru Tiara meraih tubuh belakang Arsen.

"Arsen, sama Tante Tiara dulu, ya? Tante Iza nya capek, nih."

Arsen tak menolak, dia menurut. Namun kedua matanya tidak lepas menatap Alyzaa. Seakan dia benar-benar takut jika wanita itu akan meninggalkannya seperti ibunya kemarin.

"Ya Allah, Sen. Lo makan apaan, sih? Gue encok gendong lo, bocah!" Seru Tiara saat dia menurunkan Arsen begitu mereka berada di toko pakaian anak. Dia langsung duduk berselonjor di lantai saat merasa pinggangnya benar-benar mau patah. Mengabaikan beberapa ibu yang menatap ke arahnya dengan beberapa bisik-bisik kekepoannya.

Alyzaa yang melihat temannya mengeluh dengan sikapnya yang nyeleneh hanya geleng-geleng kepala. Tak urung dia tetap tersenyum, merasa terhibur dengan perbuatan temannya itu. Tapi senyum Alyzaa tak bertahan lama saat seseorang kembali menggenggam telapak tangannya. Membuat dia kembali menunduk.

"Za, buruan deh lo belanja. Gue tunggu di sini ah. Capek gue gendong tu bocah."

Alyzaa berdehem, baru bergumam menjawab ucapan Tiara.

Selama Alyzaa berbelanja beberapa pakaian anak, dia membiarkan Arsen menggenggam telapak tangannya. Mengekorinya tanpa suara, beberapa kali Alyzaa melirik ke arah Arsen yang hanya diam.

Jangan berpikir jika Alyzaa akan membeli pakaian bocah itu dengan cara ibu-ibu membeli pakaian di sekitarnya. Yang menempelkan pakaian di tubuh anaknya, lalu mencocokkannya. Apakah pas atau tidak. Tidak! Alyzaa tidak melakukan semua itu. Dia hanya menatap pakaian itu, dan sekiranya pas di tubuh Arsen. Dia langsung meraihnya. Tanpa memikirkan cocok atau tidaknya untuk bocah itu.

Dan selama Alyzaa berjalan dia sudah menemukan sekitar lima potong pakaian untuk Arsen. Menggenggamnya di sebelah tangan karna sebelah tangannya di genggaman oleh Arsen.  

Merasa sudah cukup membeli pakaian untuk Arsen, Alyzaa kembali menghampiri Tiara yang masih berada di tempatnya. Duduk berselonjor tanpa peduli sekeliling.

"Ra, udah yuk."

Tiara menoleh. "Udah selesai... ?"

Alyzaa menunjukkan hasil pemburuannya tadi.

"Cuman itu doang?" Tiara bangkit dari duduknya, berdiri dengan tangan mengusap-usap pantatnya. Seakan menghilangkan kotoran di sana.

"Iya."

"Et, buset, Za. Lo pelit amat, sih? Itu bocah mau lo pakaiin pakaian gitu doang? Kagak ada gitu, tetek bengek lainnya?"

Alyzaa mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. Membuat Tiara menggeleng dan mengehela nafas panjang.

"Nih, ini nih contohnya." Tiara meraih salah satu topi yang berada tidak jauh darinya. Tanpa ragu memakaikannya di kepala Arsen.

"Nah, kan, cakep!" Tiara tersenyum puas, sedang Alyzaa hanya diam di tempatnya.

Sampai Tiara sibuk ke sana-sini, mencari perlengkapan Arsen, Alyzaa hanya diam memperhatikan. Sampai Tiara selesai dengan pemburuannya.

"Yuk." Ajak Tiara, melangkah lebih dulu. Diikuti Alyzaa di belakangnya.

Selesai membayar semua belanjaannya, perhatian Alyzaa jatuh pada Arsen yang sedari tadi terus menggenggam tangannya erat.

Bocah kecil itu hanya diam, namun perhatiannya terus jatuh pada seorang anak yang memakan es krim dalam gendongan seorang pria dewasa. Yang Alyzaa yakini adalah ayahnya.

Mereka tampak bahagia, saling tertawa dan saling berceloteh ria. Seiring dengan perhatian Arsen pada dua orang itu, entah mengapa Alyzaa merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya. Membuatnya memalingkan wajah kaku, enggan menatap kedua mata Arsen yang tampak redup dan sayu.

"Sa, kenapa?" Tanya Tiara menyadarkan Alyzaa, membuat Alyzaa buru-buru mengerjab dan tersadar.

"G-gak. Gak papa."

"Lo yakin?"

Alyzaa mengangguk dan bergumam pelan. Setelahnya, dia pun menunduk, menatap Arsen yang ternyata juga tengah menatapnya.

Bocah kecil itu tampak diam menatapnya dengan kedua mata polosnya. Membuat Alyzaa buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain.

***

Setelah selesai berbelanja, Alyzaa pun membawa Arsen ke kediaman keluarganya bersama Tiara. Ada beberapa hal yang harus dia tanyakan pada kedua orangtuanya, terutama papanya.

Tapi-sepertinya, lagi-lagi keberuntungan tidak berpihak padanya. Papanya sedang pergi melakukan perjalanan bisnis, baru akan kembali Minggu depan. Semua itu membuat Alyzaa tidak tahu harus menyesal datang ke sana atau sebaliknya. Karna begitu dia tiba di sana, ibunya langsung memberondong banyak pertanyaan padanya tentang bocah kecil yang dia bawa.

"Duh ganteng banget, anak siapa ini?" Sapa Intan, ibu Alyzaa begitu Arsen menatapnya polos.

"Namanya siapa ganteng?" Tambahnya lagi, mana kala Arsen sembunyi di belakang Alyzaa.

"Asen,"

"Asen?" Beo Intan menatap putrinya tak mengerti.

"Arsen." Ralat Alyzaa yang kemudian diangguki mamanya mengerti.

"Oh, Arsen." Gumamnya kemudian. "Namanya cakep ya kayak orangnya," Intan tampak berbinar senang. "Sini dong sayang sama Oma. Tahu gak, Oma punya coklat sama es krim. Arsen mau gak, sayang?" Tawar Intan, yang beberapa saat membuat Arsen menatapnya berbinar, tapi hanya beberapa saat sebelum dia menatap Alyzaa. Seperti meminta ijin pada wanita dewasa itu.

"Ma." Tegur Alyzaa, yang sama sekali tidak di gubris Intan. Karna kini dia tampak mengulurkan tangannya, yang ragu-ragu di terima dengan Arsen.

"Ma, Iza ke sini cuman mau nanya sesuatu sama papa. Kalau papa gak ada, Iza pergi sekarang."

"Apa sih, Za. Cepet banget? Mama aja belum ngobrol sama Arsen. Ayo, sayang, sini, oma kasih es krim. Kamu udah makan siang belum?"

Mendengar mamanya membahas soal makan, Alyzaa tertegun beberapa saat. Membuat wanita itu segera menoleh ke arah Tiara-yang mana wanita itu tampak sama terkejutnya dengan dirinya. Mereka saling pandang dengan wajah kagetnya.

Hingga Alyzaa tidak sadar jika kini Arsen sudah di bawa oleh mamanya. Di tuntun wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumahnya lebih dalam.

"Za?" Panggil Tiara mendekat. "Itu bocah dari pagi belum kita kasih makan, kan ya? Ini udah siang kan, ya? Kok tu bocah gak minta makan sih, Za?"

Alyzaa tak bergeming, dia hanya diam dengan pandangan terus menatap punggung Arsen, yang kini sesekali menoleh ke arahnya. Tapi dia terus menurut saat mamanya terus menuntunnya.

****

"Eh, Za, mama belum tahu, itu Arsen anak siapa, sih? Kok bisa ikut kamu sama Tiara?" Tanya Intan mengambil tempat duduk di samping Alyzaa yang sedari tadi hanya diam. Terus memperhatikan Arsen yang duduk di depan tv dengan tayangan kartun.

Setelah selesai sarapan merangkap ke makan siang, Arsen menurut saja ketika mamanya membantu bocah kecil itu untuk bersih-bersih dan berganti baju. Baru kemudian membawa bocah kecil itu ke ruang tengah dengan sekotak es krim, ada tayangan kartun yang sengaja mamanya pilihkan untuk bocah kecil itu. Yang membuat bocah kecil itu pada akhirnya melupakan keberadaanya. Mamanya, benar-benar pintar dalam membuat bocah kecil itu nyaman berada di dekatnya.

Dia tampak senang dengan apa yang dia tonton, sesekali tertawa dan tampak ikut berceloteh ria, mengikuti celoteh yang berada di depannnya. Membuat Alyzaa yang memperhatikannya dari tempat duduknya, sesekali meremas telapak tanganya.

"Alyzaa?"

"Hah?"

"Hah, heh, hah, heh. Mama tanyain juga."

Alyzaa meringis dalam hati, baru kemudian menatap mamanya lagi.

"Mama nanya apa tadi?"

"Itu si Arsen anak siapa, sih? Kok bisa sama kamu? Itu yang mama tanyain dari tadi, kok malah ngelamun sih?"

Alyzaa mengerjab, tampak bingung dengan pertanyaan ibunya.

"Hah, kan, ngelamun lagi."

"Oh, I-itu dia anak teman Iza."

"Temen kamu?" Ragu-ragu Alyzaa mengangguk. "Siapa? Kok mama baru tahu kamu punya temen yang punya anak sebesar itu?"

"Iza juga baru tahu kalau dia punya anak sebesar itu." Itu pun setelah Rangga pergi, Ma.

Alyzaa memperhatikan mamanya dengan seksama. Ada perasaan menyesal karna harus berbohong tentang apa yang mamanya tanyakan, tapi dia juga tidak bisa jika harus menjawab jujur. Apa yang akan terjadi pada mamanya jika saja mamanya tahu, jika bocah kecil yang dia bawa itu adalah anak dari suaminya dengan wanita lain? Tidak! Alyzaa tidak bisa membayangkannya, dan tidak akan pernah bisa. Setidaknya, dia tidak ingin terlihat bagaimana hidupnya begitu menyedihkan di depan kedua orang tuanya. Bagaimana pernikahannya tidak seindah yang selama ini di pertontonkan oleh Rangga dulu.

"Itu Arsen umurnya dua tahunan ya, Za?"

"Hmm," Gumam Alyzaa.

"Kalau aja kamu dulu sama Rangga langsung di kasih momongan mungkin anak kalian umurnya sama kayak Arsen ya, Za?"

Alyzaa tidak tahu harus menanggapi bagaimana, tapi yang jelas, saat ini ... ada yang terasa ngilu dalam hati Alyzaa. Layaknya ada sesuatu yang hancur berkeping-keping dalam hatinya. Patah dan remuk tanpa sisa.

"Tapi-" Intan meraih tangan Alyzaa, menepuk punggung tangan wanita itu lembut. "Gak tau mama harus bersyukur atau sebaliknya, mama gak bisa bayangin gimana jadinya kamu dan anak kamu kalau pada akhirnya Rangga harus pergi secepat ini."

"Hidup berdua dengan seorang anak tanpa suami itu ... " Intan menggeleng lemah. "Pasti berat banget. Apalagi zaman sekarang itu orang suka berkomentar tanpa tahu jalan hidup yang kita jalani. Mereka hanya sibuk berkomentar tanpa tahu ada berapa banyak badai yang sudah kita lewati."

"Ma."

"Alyzaa, mama benar-benar bersyukur karna kamu ditinggalkan Rangga seorang diri. Walau mungkin ucapan mama terdengar jahat, tapi mama bener-bener gak bisa bayangkan bagaimana jadinya kamu dan anak kamu ketika tuhan memanggil Rangga lebih dulu."

"Karna kamu harus tahu, kehilangan sosok suami yang mencintai kita saja itu sudah sangat menyakitkan. Apalagi jika sampai harus melihat seorang anak sekecil itu harus kehilangan ayahnya."

"Itu pasti akan sangat menyakitkan, Alyzaa."

Sangat menyakitkan?

"Jika seorang istri mungkin bisa hidup tanpa seorang suami, tapi anak?" Intan menggeleng lemah. "Tidak semua anak bisa baik-baik saja jika dia harus kehilangan ayahnya. Sama halnya seorang ibu yang kehilangan anaknya, seorang anak pasti akan merasakan hal yang serupa. Di mana dia tidak akan pernah bisa lagi mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Orang tua yang seharusnya menjadi contoh, panutan juga sosok pelindung di hidupnya."

Setelah membuat seorang ibu kehilangan anaknya, seorang anak kehilangan sosok ayahnya, dan seorang istri kehilangan suaminya. Kamu masih ingin bersikap pura-pura bodoh, Alyzaa?! Kamu itu benar-benar perempuan mengerikan, ya?

Sejenak sepenggal ingatan berputar dalam kepala Alyzaa. Membuat kepalanya menoleh kaku pada Arsen, di mana bocah itu tampak diam memperhatikan layar lebar di depannya.

Semua perkataan wanita yang dia panggil tante beberapa waktu lalu kini berputar di kepala Alyzaa. Meski Alyzaa tahu semua ucapan itu di tunjukkan untuk ibu mertua juga adik iparnya, tapi entah mengapa kini rasa bersalah menggerogoti hati Alyzaa. Apalagi saat mengingat bagaimana keluarga Arsen berantakan karna dirinya.

Seandainya Rangga malam itu tidak mengejarnya, tidak kecelakaan, dan Alyzaa menyelesaikan segalanya dengan kepala dingin, Semua ini tidak akan terjadi.

Arsen tidak akan kehilangan sosok ayah, dan juga tidak di buang oleh ibunya.  

Memikirkan semua itu, entah mengapa dada Alyzaa sesak luar biasa. Apalagi ketika keluarga mertuanya tidak ada yang bisa di hubungi, tidak ada yang tahu di mana keberadaanya. Bahkan jika pun suatu saat nanti dia bertemu dengan mereka, akankah mereka menerima Arsen dengan suka rela? Mengingat latar belakang pria kecil itu?

"Za, kenapa?" Seru Intan saat melihat kedua mata putrinya berkaca-kaca. Wajahnya tampak tertekan juga penuh beban. "Nak?"

"Ma?"

"Ya?"

"Iza harus gimana sekarang? Iza harus apa?"

Intan mengerjab tak mengerti. Apalagi ketika tangis putrinya kembali pecah.

"Iza gak bermaksud begitu, Iza cuman gak bisa berpikir dengan benar waktu itu. Kalau pun Iza tahu bakal begini, Alyzaa gak akan mau berada di situasi seperti itu."

"Alyzaa, sayang. Apa maksud kamu, nak? Kamu ngomong apa, sih? Mama sama sekali gak ngerti. Coba jelasin sama mama ada apa?" Ujar Intan lembut, mengusap punggung Alyzaa yang kini menangis dalam pelukkanya, berusaha menenangkan putri semata wayangnya yang kini menangis dengan hebatnya.


Bab 8

"Jadi gimana? Kita bakal bawa bocah ini ke mana?"

Alyzaa melirik Arsen yang kini tertidur di kursi belakang. Setelah lelah bermain dan memakan kue coklat dari mamanya, bocah kecil itu tak lagi bersuara. Dan ternyata dia tertidur di belakang, yang Alyzaa yakini pasti bocah kecil itu kelelahan.

"Atau kalau gak kita bawa ke kantor polisi?" Tawar Tiara yang menarik perhatian Alyzaa. Dia langsung menoleh ke arah sahabatnya itu.

"Seenggaknya kita bisa minta bantuan polisi buat cari emak tu bocah, Za. Karna gue gak tega kalau harus taro tu bocah di panti asuhan. Apalagi liat tu bocah kadang gak berani minta apa-apa. Dia kayak orang trauma gak sih? Nahan semuanya sendiri, padahal bocah seusia dia tu seharusnya ekspresif banget."

Alyzaa kembali menoleh ke arah Arsen, dalam hati membenarkan ucapan Tiara. Tapi untuk lapor polisi? Itu bukan pilihan yang tepat.

"Dia bakal lebih trauma kalau kita sampai lapor polisi, Ra. Dan itu gak akan bagus buat mentalnya."

"Serius, gue boleh ngumpatin mantan laki lo gak sih, Za? Sumpah gue gedek banget! Kok bisa sih dia itu sampai selingkuh sama cewek yang bahkan gak bisa ngurus anaknya. Gue-"

"Besarin anak sendirian dengan status gak jelas pasti berat, Ra. Apalagi liat kondisi perempuan kayak dia, dan belum tentu keluarganya bisa nerima."

"Tetap aja, Alyzaa. Kalau sejak awal dia gak siap dengan kondisinya, kenapa dia gak gugurin pas tahu hamil?" Tiara terlihat jengah. "Walau itu kedengerannya kejam atau jahat, seenggaknya itu lebih baik dari pada kayak gini. Dia bahkan gak peduli sama anaknya, ujung-ujungnya juga anak jadi korban, kan? Kayak gini bahkan lebih parah dari cewek yang gugurin anaknya."

"Anak yang gak tahu apa-apa bahkan harus jadi korban, coba kalau begini, kita gak mungkin-"

"Gimana kalau gue yang adopsi dia?"

"ALYZAA!"

Tiara tampak tercengang dengan teriakannya, sedang Alyzaa dia terkejut dengan ucapnya sendiri. Tidak menyangka jika kata seperti itu akan keluar dari bibirnya. Bahkan dengan kondisi seperti ini.

Arsen yang tertidur di kursi belakang pun terlonjak kaget mendengar teriakan di depan, membuat dia menangis. Hingga membuat dua wanita yang duduk di kursi depan pun saling pandang.

Alyzaa orang pertama yang lebih dulu tersadar, buru-buru mengulurkan tanganya ke arah Arsen yang tampak menangis, terus memanggil mamanya. Yang di terima Arsen tanpa pikir panjang saat tangan besar itu terulur ke arahnya, bahkan ketika Alyzaa membawa tubuh kecil itu ke atas pangkuannya, menepuk-nepuk punggung Arsen lembut, dengan bibir bergumam tidak apa-apa. Membuat Arsen yang bersandar di tubuh wanita itu, tampak nyaman hingga berangsur-angsur tangisnya pun mereda dan kembali tertidur pulas.

Semua itu tidak luput dari perhatian Tiara, bagaimana sahabatnya itu tampak telaten mengurus Arsen, juga menenangkan bocah kecil itu.

Menarik nafas dalam dan berat, Tiara tampak menyerah dan tidak lagi bisa berkata-kata, hingga dia memilih untuk menjalankan mobilnya. Mungkin nanti setibanya di rumah dia akan berbicara dengan sahabatnya lagi. Membahas apa yang akan mereka lakukan nanti.

****

"Arsen mau buah gak?"

Arsen yang mendapatkan tawaran dari wanita dewasa di depannya pun mengangguk patuh, membuat senyum Alyzaa pun pada akhirnya mengembang.

"Ok, tante Iza mau mandi dulu, Arsen tunggu di sini, ya?" Ucap Alyzaa, menggiring Arsen ke arah sofa dengan televisi menyala di depannya.

"Asen mandi gak, ante?"

"Iya, nanti mandi. Tapi selesai tante mandi, ya?"

"Iya." Senyum Alyzaa kian mengembang lebar, apalagi ketika Arsen tampak begitu manis dan menggemaskan. Kenapa Alyzaa baru sadar jika bocah kecil di depannya itu tampak lucu dan menggemaskan ya?

Semua interaksi Alyzaa dan Arsen tidak luput dari perhatian dari Tiara. Bagaimana sahabatnya itu tampak berubah lunak pada bocah kecil di depannya, dan perubahannya itu tampak sangat tidak dia sukai. Karna bagaimana pun juga, sahabatnya tidak seharusnya menanggung kekacauan mantan suaminya.

****

"Za, lo gak serius sama apa yang lo bilang, kan, Za? Lo tadi pasti becanda, kan?"

Alyzaa yang baru saja keluar dari kamar setelah selesai mandi pun menoleh ke arah samping, di mana sahabatnya kini memberondong banyak pertanyaan padanya, membuatnya pun menghela nafas kasar.

"Alyzaa...?" Rengek Tiara karna Alyzaa tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Lo bisa bantu gue buat nyari baby sitter kan, Ra? Soalnya kalau gue besok kerja, gue gak mungkin bawa-bawa Arsen."

"Lo beneran mau ngadopsi tu anak?" Histeris Tiara. Dan Alyzaa hanya mengangguk membuat Tiara semakin di serang syok.  

"Gue mau bantu Arsen mandi dulu, ya? Lo bisa tolong bantu siapin makan, kan?"

"Za, tunggu, tunggu bentar deh." Seru Tiara menghadang langkah Alyzaa, menahan wanita itu yang hendak melangkah menjauh.

"Apa lagi sih, Ra?"

"I-ini gue sama sekali gak mengerti sama apa yang lo maksud. Gimana bisa sih, Za, lo bersikap bego begini? Lo kalau mau ngadopsi tu anak sama aja kayak lo cari penyakit tahu gak?"

"Lo kayak biarin penyakit gerogoti diri lo sendiri."

Alyzaa menghela nafas dalam dan kasar, semua itu terlihat begitu berlebihan di mata Tiara, hingga dia pun hanya diam memperhatikan sahabatnya itu dalam diam.

"Ra," Panggil Alyzaa lembut, namun terdengar tegas di telinga Tiara. "Bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita gak mungkin taro tu anak di panti asuhan?"

Tiara diam, dia kehilangan kata-kata juga suaranya.

"Rangga kecelakaan karna kecerobohan gue. Kalau aja malam itu gue bisa bersikap dewasa dan coba denger semua penjelasan Rangga, Arsen gak akan nanggung semua kesalahan dia kayak gini."

"Rangga salah? Iya, benar dia salah. Rangga brengsek? Gue gak akan nepis itu. Dia memang brengsek dan bangsat. Tapi Arsen?" Alyzaa menggeleng. "Arsen gak tahu apapun. Dia gak salah apapun. Dan gue gak mau menghukum anak sekecil itu yang gak tahu apapun. Yang harusnya di hukum, dan menerima semua kesalahan Rangga itu dia sendiri gak ada hubungannya dengan Arsen."

"Gue emang pernah jadi orang bodoh dan bego karna percaya gitu aja sama Rangga selama ini. Tapi, gue gak mau nambah daftar bego gue dengan melampiaskan semua kesalahan sama Arsen."

"Dia itu terlalu kecil buat nerima semua dosa dan kesalahan ayahnya. Dia juga berhak bahagia, Ra. Sama kayak gue, kan? Gue juga mau bahagia. Dan menurut gue, dengan berdamai dengan keadaan dan Arsen itu gak akan buat gue kelihatan bego-bego amat dan begitu menyedihkan. Malahan kita bisa saling berbagi kebahagian."

"Za?" Tiara beringsut mendekat. "Lo tahu gak sih kenapa gue mau jadi sahabat lo selama ini?" UJarnya memeluk Alyzaa.

"Karna lo itu terlalu bego dan baik tahu gak?"

Alyzaa terkekeh, namun sudut matanya tampak berair.

"Gue tahu."

"Gue bakal dukung keputusan lo, dan kalau dengan Arsen ada di samping lo bisa buat lo bahagia, gue bakal dukung kok."

Alyzaa menganggukkan kepalanya pelan. "Makasih, ya? Lo selalu ada buat gue, Ra." Balas Alyzaa, balas memeluk Tiara. Membuat Tiara semakin berurai air mata.

***

"Ok, sekarang Arsen bobok, ya? Karna besok kita harus pergi." Alyzaa membenarkan letak selimut Arsen, tersenyum tipis saat bocah kecil itu menatapnya polos.

"Ante?"

"Hmm?" Gumam Alyzaa. "Kenapa?"

"Asen gak akan nakal kok, ante."

Alyzaa mengernyit, tampak bingung namun dia tetap mengangguk membalas ucapan pria kecil di depannya.

"Asen juga gak akan minta ketemu papa telus."

Lipatan kening Alyzaa semakin banyak saat Arsen terus berbicara melantur.

Apa bocah kecil di depannya ini merindukan Rangga? Batin Alyzaa.

"Asen gak akan nangis lagi kok, janji."

Tersenyum lebar, Alyzaa meraih tangan Arsen, menggenggamnya dan menepuk punggung tanganya. "Iya, tante tahu kok kalau Arsen gak akan nakal." Ujarnya mengundang senyum lebar Arsen. "Arsen kan anak pinter."

"Telus kalau Asen ndak nakal ante gak akan ninggal asen kayak mama, kan?"

Alyzaa tertegun, terdiam dengan bibir kelu seketika.

"Mama bilang Asen itu nakal, kalna itu mama halus kelja jauuh. Telus, nanti kalau Asen ndak nakal lagi, mama mau jemput Asen."

Diantara rasa nyeri dalam hatinya, Alyzaa berusaha tetap tersenyum. Sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air matanya meski kini dia merasa matanya perih.

"Mama Arsen bilang gitu?"

Arsen mengangguk beberapa kali. Membuat Alyzaa menepuk punggung tangannya lembut. Meski hatinya seperti di remas paksa. "Iya, kalna itu Asen halus sama oma dulu. Nanti kalau Asen ndak nakal lagi mama datang jemput Asen."

"Arsen gak nakal kok, Arsen anak pintar dan baik."

"Kalau pintal itu ante gak akan ninggal Asen, kan, Nte?"

Alyzaa tanpa ragu mengangguk, mengusap lembut kepala Arsen. "Iya, mulai sekarang, Arsen akan tinggal sama tante Iza. Tante akan jagain Arsen sampai dewasa. Dan tante gak akan ninggalin Arsen sendirian."

Senyum Arsen mengembang lebar, bahkan tanpa Alyzaa duga, Arsen bangkit dari berbaringnya. Memeluk Alyzaa erat-erat.

"Makacih, ante."

Alyzaa mengangguk, menggigit bibir bawahnya kuat. Balas memeluk Arsen tak kalah erat.

****

"Arsen, hari ini sama oma dulu, ya? Tante Izanya pergi sebentar, nanti tante akan jemput Arsen kalau pulang kerja."

Arsen mendongak sebentar, baru kemudian kembali menatap Alyzaa yang berjongkok di depannya. Tanpa di duga tangis Arsen pecah, tubuhnya langsung menubruk Alyzaa, memeluk tubuhnya erat-erat.

Intan yang melihat itu pun tampak terkejut, begitu pun Alyzaa. Dia tampak bingung karna Arsen tiba-tiba menangis histeris.

"Ante.... Asen ndak nakal. Asen gak akan bandel, ante.. hiks."

"Ssstt, iya tante tahu kok kalau Arsen gak nakal."

"Asen ndak mau sama oma, ante. Ndak mau. Asen sama ante aja." Arsen kian memeluk Alyzaa erat, menangis semakin kuat. Dan untuk pertama kalinya, Alyzaa melihat itu tampak kebingungan dan heran. Hingga dia pun menoleh ke arah mamanya, yang kini juga tengah menatapnya bingung.

Tadi dia sudah mengirimkan pesan pada mamanya, jika hari ini Alyzaa harus bekerja, mengecek restoranya, karna sudah beberapa hari dia bahkan sibuk, dan belum sempat datang ke restoran untuk mengecek. Karna itu lah dia meminta mamanya untuk datang, membatu Alyzaa untuk mengurus Arsen selagi dia pergi bekerja.

"Za, udah kayaknya kamu jangan kerja dulu, kasian itu Arsen." Tegur Intan saat melihat bagaimana Arsen menangis dan tidak mau melepaskan pelukannya.

"Tapi, Ma-"

"Seenggaknya sampai Arsen tenang dulu, Za. Kasian dia sampe nangis begitu."

Menghembuskan nafas kasar, pada akhirnya Alyzaa menyerah. Mengangkat tubuh Arsen yang kini masih memeluk lehernya erat.

"Ok, Ok, tante gak akan pergi, tapi berhenti nangis. Ok?" Bujuk Alyzaa, mengusap punggung Arsen lembut, membuat tangis pria kecil itu pun terhenti, terganti menjadi isakan-isakan kecil.

*****
"Za, mama boleh nanya sesuatu gak, sih?"

Alyzaa menoleh ke arah mamanya sejenak, lalu mengangguk dan kembali menepuk punggung Arsen yang berada di pangkuannya lembut. Bocah kecil itu duduk di atas pangkuannya, menghadap ke arahnya dengan kedua tangan memeluk lehernya erat. Sejak drama tangis tadi, Arsen sama sekali tidak ingin jauh darinya. Dia terus menempel padanya layaknya anak koala.

Intan terus memperhatikan interaksi antara putrinya dan anak kecil dalam rengkuhannya.

"Mama perhatiin, Arsen lengket banget sama kamu. Memangnya ke mana orang tuanya?"

"Gak tahu."

"Za." Intan terlihat tidak puas.

"Papanya udah gak ada, meninggal kemarin."

Intan terbelalak, membekap mulutnya tak percaya. "Terus, mamanya?"

Alyzaa menghela nafas dan menggeleng. "Seperti kata mama, mungkin membesarkan seorang anak tanpa suami itu gak mudah. Mungkin karna itu dia memilih pergi,"

"Dan meninggalkan anaknya sendiri?" Sambung Intan lagi. Yang diangguki setuju oleh Alyzaa.

"Ya Allah, Za." Intan menatap Arsen kasihan. Tidak percaya jika bocah kecil di depannya itu akan mengalami hal yang sangat menyakitkan. Dibuang oleh ibunya sendiri?

"Terus, kenapa dia bisa sama kamu?"

Alyzaa menatap mamanya lama, lalu kembali menunduk untuk menatap Arsen, yang ternyata tengah tertidur pulas. Mungkin dia kelelahan sehabis menangis.

"Mungkin karna dia cuman kenal Iza selama ini. Karna itu dia memilih mendatangi Iza."

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

"Mama keberatan kalau Iza mengadopsi Arsen?"

"Alyzaa-"

"Kami sama-sama ditinggalkan, Ma. Dan mungkin saja tuhan ingin kami saling menguatkan." Potong Alyzaa, yang langsung membungkam mulut Intan. Dia langsung terdiam kaku. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Ya udah terserah kamu aja, tapi kamu harus ijin papa kamu dulu." Pesan Intan pada akhirnya, yang diangguki Alyzaa tanpa ragu.

****

Pagi ini Alyzaa kembali ke rumahnya, rumah yang sudah berhari-hari dia tinggalkan karna memilih mengungsi di apartemen Tiara. Karna pagi ini dia hanya mengecek keadaan rumah, dan mengambil beberapa barang yang tertinggal dia sengaja tidak membawa Arsen ikut serta. Selain pria kecil itu yang belum bangun dari tidurnya, dia juga tidak berniat berlama-lama tinggal di sana. Dia hanya akan mengecek rumah sebentar, mengambil barang lalu setelah itu pergi lagi.

Meski ada dua orang art yang sengaja dia pekerjakan di rumah itu selagi rumah itu kosong, tapi tetap saja Alyzaa ingin mengeceknya.  

Alyzaa baru saja turun dari mobil, tapi langkahnya terhenti begitu ada mobil lain yang tiba-tiba terparkir di samping mobilnya. Mobil mewah yang dia belum pernah melihatnya. Mobil asing yang tidak dia ketahui siapa pemiliknya.

Tetap berdiri di tempatnya, Alyzaa sama sekali tidak beranjak hingga pengemudi mobil keluar dari mobil. Menoleh ke arah Alyzaa dengan kedua mata tertutup kaca mata. Begitu kaca mata hitam itu terbuka, barulah Alyzaa bisa melihat siapa orang itu.

Samudra Aresmana Wigara

Adik ipar, sekaligus adik Rangga. Pria yang baru beberapa kali dia temui selama dia menikah dengan Rangga.

Sibuk dengan kegiatannya yang menatap Ares, Alyzaa tidak sadar jika pria yang memakai kemeja hitam itu melangkah mendekat ke arahnya. Berdiri tepat di depannya dengan wajah kaku. Wajah yang tidak pernah terlihat ramah itu, kini menatapnya kian datar dan dingin.

"Hai, kakak ipar? Akh, ralat, haruskah aku memanggil mu istri? Atau ... Sayang?"

Alyzaa mundur beberapa langkah, menjaga jarak saat pria di depannya mencondongkan tubuh ke arahnya.

"Kenapa? Sepertinya kamu tidak senang melihat keberadaan ku?"

"Ares-" ucapan Alyzaa seketika terputus saat Ares mengulurkan tangannya, mengurung Alyzaa yang saat ini tubuhnya membentur mobil. Terkunci dengan keberadaan pria di depannya.

"Samudra!" Serunya datar. "Gue lebih suka mulut lo nyebut nama gue Samudra ketimbang Ares! Lo tahu kenapa?" Ares mendekatkan wajahnya. Berbisik sinis.

"Cewek gak tahu diri dan semurahan lo gak pantes nyebut nama gue. Apalagi nama kesayangan papa gue itu, terlalu berharga buat lo sebut dengan mulut kotor lo."

Ares menegakkan tubuhnya, menjauh, melangkah mundur hingga membuat Alyzaa bisa kembali bernafas dengan benar.

"Gue sama sekali gak ngerti dengan apa yang lo maksud-"

"Ais, gue gak bakal termakan sama cewek munak kayak lo. Jadi mending simpen semua cerita penuh drama lo, karna gue gak akan peduli." Ares berbalik, melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mau berbicara terlalu lama dengan Alyzaa. Membuat Alyzaa menatap punggung pria tinggi itu dengan hembusan nafas berat.

Terserah kalau begitu. Batinnya.

Alyzaa datang ke rumah itu hanya untuk mengambil beberapa barang, jadi dia juga tidak punya alasan untuk meladeni Ares lebih lama.

Mengekori Ares yang melangkah masuk ke rumahnya lebih dulu, Alyzaa melewati Ares begitu dia sudah masuk ke dalam rumah, sedang Ares hanya berdiri di depan pintu. Memperhatikan interior rumah yang tampak biasa saja di matanya.

"Di mana kamar kita?" Seru Ares menghentikan langkah Alyzaa yang sudah berada beberapa langkah di depannya.

Berbalik menghadap pria yang beberapa tahun lebih muda darinya, Alyzaa sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan datar Ares di depannya.

"Lo bisa pilih kamar mana aja, rumah ini kosong. Jadi lo bisa bebas tidur di mana pun." Ujarnya sebelum berbalik.

"Gue cuman nanya sekali, dan gue gak suka ngulangin pertanyaan yang sama!"

Alyzaa tak menggubris, sampai Ares memanggil nama lengkapnya barulah Alyzaa menghentikan langkahnya.

"Alyzaa Windari, lo gak tulikan?!"

"Sama kayak lo, gue juga bukan tipe orang yang suka ngulangin kata-kata gue."

"Akh, sial! Gue suka perempuan yang pemberani dan sok jual mahal. Tapi sayangnya, lo terlalu murahan buat jadi perempuan yang gue suka. Jadi gimana kalau lo mending jual murah aja? Toh lo udah sering tidur sama kakak gue, kan?"

Alyzaa mengepalkan tangannya erat, bersikap seolah-olah tidak mendengar semua ucapan kasar Ares. Karna bagaimana pun juga, dia sedang tidak bisa pergi terlalu lama karena ada Arsen yang mungkin saja menunggu dirinya.

Merasa kesal karna diabaikan, Ares pun melangkah lebar. Menyusul Alyzaa yang kini telah menaiki anak tangga. Hingga dia berhasil menarik lengan Alyzaa, memutar tubuh wanita itu hingga tubuhnya kini berbalik.

"Gue paling benci di abaikan! Jadi jangan coba-coba mengabaikan apa yang gue bilang, Alyzaa!"

"Lepas!"

"Lo gak tulikan, atau lo memang udah bosen hidup?!"

"Ares!"

"BERHANTI PANGGIL GUE ARES, SIALAN!"

Alyzaa terlonjak kaget saat Ares berteriak keras tepat di depan wajahnya. Nafas pria itu memburu dengan kedua mata berkilat-kilat penuh emosi.

Mencekik leher Alyzaa, Ares menekannya kuat. Membuat kedua mata Alyzaa melebar.

"Sam-samudra!" Alyzaa memukul lengan Ares yang terlihat berurat karna mencekik lehernya begitu kuat.

Ares mendengus ketika Alyzaa menyebut dirinya Samudra disaat dia sudah terlihat muak. Melepaskan cekikannya, Ares mundur saat Alyzaa batuk-batuk karna cekikannya. Tanpa memberikan kesempatan pada Alyzaa untuk mereda batuknya. Ares mencekram dagunya untuk mendongak ke arahnya.

"Lo harus tahu, gue bukan tipe orang yang punya kesabaran ekstra kayak kakak gue. Jadi, gue harap lo tahu dan bersikap tahu diri. Gue benci ketika ada orang yang berani melawan gue."

"Gue gak punya alasan buat nurut sama lo-"

"Ada!" Cengkraman Ares mengerat. "Lo harus tahu, gue punya banyak kartu mematikan keluarga lo, termasuk lo sendiri. Jadi, jangan coba-coba buat gue marah atau berbuat nekad." Melepaskan cengkraman tangan kasar. Ares mundur beberapa langkah.

"Karna gue yakin itu gak akan bagus buat diri lo dan kehidupan keluarga lo."
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Turun Ranjang
2
0
Bab 9-13
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan