Turun Ranjang

1
0
Deskripsi

Bab 4 dan 5

Bab 4

"Ma, bisa tolong tinggalin Alyzaa?" Intan menatap putrinya keberatan. Bagaimana mungkin dia meninggalkan putrinya seorang diri di rumahnya?

"Za."

"Alyzaa cuman mau sendiri, Ma. Alyzaa gak papa."

"Kamu masih marah ya sama papa, mama soal nikah itu?"

Alyzaa menatap mamanya lama, baru kemudian memalingkan muka.

"Za, papa kamu gak bisa menolak, dia merasa bersalah atas apa yang menimpa sahabatnya. Dan Ares janji-"

"Alyzaa cuman mau sendiri, Ma. Mau istirahat. Mama pulang aja, ya? Alyzaa berasa capek banget soalnya."

"Kamu boleh istirahat di kamar, mama gak akan ganggu. Janji. Tapi mama jangan di suruh pulang, ya?"

"Ma."

"Nak, mama gak mungkin ninggalin kamu sendiri dalam kondisi begini."

"Alyzaa gak papa."

Intan tidak semerta-merta percaya dia menatap putrinya yang hanya diam di tempatnya.

"Alyzaa bener-bener pengen sendiri, Ma. Tolong tinggalin Alyzaa."

"Nak,"

"Alyzaa cuman butuh waktu buat menerima semua, Alyzaa janji gak akan melakukan hal-hal yang mama takutkan."

Tau jika putrinya keras kepala, Intan pada akhirnya menghela nafas pasrah. Tanda dia mengarah.

"Ya udah mama akan pulang." Intan maju satu langkah, memeluk Alyzaa erat-erat.

"Tapi setelah ini mama minta kamu untuk ikhlas, ya? Lepaskan Rangga agar dia bisa pergi dengan tenang."

Alyzaa tak menjawab dia hanya diam tak bergemiing di tempatnya. Menatap lurus dan kosong.

"Nak-"

"Mama boleh pulang sekarang.''

"Hubungi mama kalau kamu butuh sesuatu, ya?"

Alyzaa hanya mengangguk kaku, membuat Intan sebenarnya tak tega untuk meninggalkannya.

"Jam makan malam mama balik lagi ya, sayang, sama papa?"

"Alyzaa cuman pengen sendiri, Ma. Tolong."

"Ya udah, mama pulang sekarang.''

Sepeninggalanya Intan, Alyzaa hanya diam di tempatnya. Menatap lurus-lurus pada mobil mamanya yang pergi meninggalkan rumahnya. Sejenak dia merasa pernah mengalami semua ini. Dia sering berada di posisi ini, saat Rangga pergi bekerja. Dia sering menatap moobil pria itu dengan lambaian manis. Semua terasa berputar di kepala Alyzaa, memenuhi semua pikirannya hingga rasanya dia hampir gila.

"Sayang,"

Kepala Alyzaa berputar ke kanan dan ke kiri, tampak mencari-cari sesuatu. Hingga pandangannya jatuh pada satu sosok yang berdiri beberapa langkah darinya. Dia tersenyum seperti biasa, melambai dengan stelan kerjanya.

"Rangga..." Panggil Alyzaa buru-buru mendekat dengan tangan terulur hendak meraih tubuh pria itu. Tapi secepat kilat pria itu menghilang. Membuat langkah Alyzaa pun terhenti, menatap sekeliling, Alyzaa tergugu saat dia berdiri di sana, tidak ada siapa pun di sana kecuali diriinya. Yang artinya dia sedari tadi berhalusinasi.

Tak ingin berdiri berlama-lama di sana Alyzaa pun berbalik. Masuk kedalam rumahnya. Alyzaa baru menutup pintu, tubuhnya baru beberapa langkah menjauh dari pintu. Tapi ketukan pintu di belakangnya menghentikan niatnya untuk melangkah lebih jauh.

Sekali. Alyzaa hanya menatap lama pada pintu di depannya. Membuat dia ragu untuk membuka pintu itu. Karna dia yakin semua itu hanya halusinasinya. Semua tidak lah nyata. Kembali berbalik, langkah Alyzaa seketika terhenti saat mendengar ketukan pintu untuk yang kedua kalinya. Membuat dia buru-buru membuka pintu, dan melihat siapa yang berada di depanya membuat sekujur tubuh Alyzaa terasa mati rasa. Dia terdiam dengan tubuh kaku.

"Bu Alyzaa, saya..."

Pandangan Alyzaa yang awalnya menatap wanita di depannya tajam kini sedikit turun, lalu tanpa di duga pandangan Alyzaa jatuh pada tangan mungil yang berada di genggaman wanita itu. Alyzaa tampak linglung, dia mundur satu langkah dengan wajah syok.

"Bu, saya... "

"Pergi!"

"Mama."

Tubuh Alyzaa terasa layaknya di guyur air es. Menggigil dengan wajah pias. Hatinya bahkan terasa ngilu luar biasa, layaknya di tusuk ribuan jatum. Tak ingin menatap lebih lama dua orang di depannya, Alyzaa buru-buru akan menutup pintu.

"Dia benar-benar anak dari mas Rangga, Bu." Seru Jesika cepat. Menghentikan pergerakan Alyzaa yang akan menutup pintu.

"Dia putra kami. Putra sah kami."

Alyzaa nyaris luruh ke atas lantai jika saja dia tak berpegangan pada gagang pintu erat.

"Saya tahu ini terdengar kejam, tapi ... "

"Pergi!"

"... Saya benar-benar minta maaf, Bu."

"Saya bilang pergi!" Bentak Alyzaa keras.

"Mama..."

Wajah Alyzaa semakin tampak pias saat mendengar suara anak kecil di depannya. Suara itu tampak menahan tangis dan juga penuh ketakutan menatapnya.

Mata itu ... kedua mata itu ... mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang beberapa hari ini selalu membuatnya hampir gila karna rasa bersalah juga penyesalannya. Tapi juga membuatnya benar-benar mati rasa dan muak.

****

"Za, lo gak papa?"

Alyzaa menoleh ke samping, di mana sahabatnya berada setelah beberapa jam yang lalu dia tidak lagi bisa membendung tangisnya.

Yah, Alyzaa lagi-lagi kalah dengan rasa marah dan kecewanya.

"Saya minta maaf, Bu, tapi saya harus mengatakan ini. Saya tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Karna saya merasa Bu Alyzaa berhak tahu segalanya."

Alyzaa hanya diam, menatap lurus pada bocah kecil yang duduk di samping wanita yang selama ini Alyzaa kenal sebagai sekertaris Rangga. Duduk dengan wajah sesekali bersembunyi di punggung ibunya.

"Saya dan mas Rangga menikah setelah kalian menikah."

Layaknya di hantam batu besar, Alyzaa merasa dadanya luar biasa sesak. Kedua tanganya terkepal tanpa sadar, mati-matian dia menahan kedua matanya agar tak berkaca-kaca. Juga tangisnya tidak pecah.

"Semua itu karna saya mengandung anaknya," Jesika menoleh ke arah samping, dimana kini juga menjadi fokus Alyzaa.

"Kami memiliki hubungan jauh sebelum mas Rangga mengenal bu Alyzaa. Tapi malam itu adalah sebuah kecelakaan. Yang membuat saya harus mengandung anaknya."

"Malam itu saya bingung bagaimana caranya memberitahu mas Rangga tentang kehamilan saya, karna bagaimana pun juga, dia sudah menikah dengan bu Alyzaa. Tapi di luar dugaan. Mas Rangga mau bertanggung jawab. Dia mau menikahi saya secara sirih tapi dengan catatan, bu Alyza tidak boleh tahu." Ada jeda yang diambil oleh Jesika sebelum dia menoleh ke arah Alyzaa. "Setidaknya sampai bayi kami lahir. Begitu katanya."

Ada hantaman kuat pada relung hati Alyzaa. Begitu menyakitkan dan penuh sesak. Dia bahkan tak lagi bisa bernafas dengan benar. Semua yang dia dengar terasa begitu menyakitkan. Luka perselingkuhan itu terasa kembali menganga di relung hati Alyzaa.

"Saya kira semua akan berjalan lancar, sesuai dengan rencana kami di awal. Tapi saat semua perhatian mas Rangga pada saya, juga bayi kami yang begitu tulus. Saya tahu seharusnya saya tidak boleh terbuai-"

"CUKUP!" Alyzaa berdiri dari duduknya. "Kamu sudah mengatakan apa yang harusnya saya ketahui, kan? Sekarang kamu bisa pergi dari sini!"

"Bu.."

"Saya bilang pergi!"

Tidak ada yang tahun bagaimana perasaan Alyzaa saat ini. Dia benar-benar merasa sakit luar biasa. Tanpa menunggu lebih lama, menatap tamunya. Alyza berbalik, tapi belum sempat dia melangkah menjauh, suara Jesika kembali terdengar.

"Saya tahu ibu Alyzaa bukan orang bodoh, saya tahu ibu pasti sadar kenapa sampai sekarang belum hamil, kan?"

Alyzaa diam tak bergeming, dia kembali meneruskan langkahnya meski dengan susah payah. Dengan sisa-sisa tenaganya.

"Mas Rangga hanya ingin putra kami menjadi satu-satunya keturunannya, Bu. Menjadi satu-satunya pewarisnya."

"Karna itu..."

Alyzaa menyentuh setengah wajahnya dengan satu telapak tangannya. Meremas keningnya yang mulai terasa nyeri. Baru kemudian naik ke kepalanya, meremas rambut atasnya kuat. Baru kemudian berbalik dan menatap Jesika tajam.

"Di sini yang buta itu siapa? Saya atau kamu?!"

"Bukankah kamu sudah melihat?! Saya tidak memiliki anak, atau keturunan seperti yang kamu takutkan. Lalu apa masalahnya?! Bukankah keinginan kalian juga sudah tercapai?!"

"Rangga bahkan tidak memiliki anak lain selain putra kamu itu!" Alyzaa menatap tajam Jesika baru kemudian pada bocah kecil yang kini memeluk lengan ibunya. Tampak takut pada Alyzaa.

"Za,"

Alyzaa mengerjab pelan, kembali tertarik ke dunia nyata.

"Lo ngelamun, ya?"

Alyzaa hanya diam, menatap Tiara lama. Saat ini dia bahkan berada di dalam kamar tamu. Sama sekali tidak berani keluar.

Duduk dengan kedua kaki di tekut di depan dada. Memeluknya erat dengan air mata tak berhenti turun.

"Za, udah dong. Jangan nangis terus. Gue tahu lo sedih, tapi Rangga gak akan balik kalau pun lo begini terus. Gimana kalau- Za mau ke mana?" Teriak Tiara begitu Alyzaa bangkit dari atas ranjang. Melangkah ke luar kamar dengan langkah tergesa.

Karna khawatir dengan sahabatnya, Tiara pun menyusul Alyzaa. Mengikuti sahabatnya itu yang berlari ke arah lantai dua.

"Za..." Panggilnya yang sama sekali tidak dipedulikan oleh Alyzaa. Wanita itu tampak mencari-cari sesuatu. Membongkar beberapa laci juga tempat lemari yang berada di dalam kamarnya.

Merasa tidak menemukan apa yang dia cari, dia pun melangkah ke arah toilet. Melakukan hal serupa pada kamarnya. Yang semua itu membuat Tiara pun heran.

"Za, nyari ap-itu apa?" Tunjuknya saat Alyzaa menemukan sebuah kantong pelastik. Dan saat dia mengeluarkan isinya. Nafas Alyzaa berubah memburu dengan tubuh luruh ke atas lantai.

"Za?"

Alyzaa menoleh ke arah Tiara, menatap sahabatnya itu dengan nafas kasar. Setelahnya tangisnya kembali pecah.

"Za?" Tiara ikut duduk di depan Alyzaa, memeluk sahabatnya yang tampak terus meraung-raung karna tangisnya.

***

"Udah ngerasa lebih baik?" Tiara menyodorkan segelas air ke arah sahabatnya yang hanya diam. Dan di terima tanpa kata.

Cukup lama Alyzaa menatap gelas di tangannya dengan pandangan kosong. Tanpa sadar gelas di tangannya jatuh, luruh ke atas lantai hingga kacanya pecah berserakan di sana.

"Za,"

"Maaf, Ra, gue-" seru Alyzaa tampak linglung, dia sudah akan bangkit.

"Gak, gak papa. Biar nanti gue yang minta mbak beresin." Tegur Tiara menahan Alyzaa agar tetap tenang. Duduk di tempatnya.

"Biar gue ambilin minum lagi, ya?"

"Ra." Secepat kilat Alyzaa menahan lengan Tiara yang hendak bangkit. "Gue gak papa, gue gak haus."

"Tapi-"

"Gue cuman capek."

Tiara menghembuskan nafas dalam, mengangguk dan kembali duduk di tempatnya. "Mau gue temenin tidur?"

Alyzaa menggeleng, menghempaskan tubuhnya untuk bersandar di sofa. Menatap langit-langit ruang tengah dengan pandangan kosong.

"Za, sebenernya ada apa, sih? Lo jangan buat gue takut. Itu tadi obat apa?"

Alyzaa menoleh ke arah Tiara, menatap sahabatnya itu dengan wajah sendu.

"Gue lebih seneng jadi tong sampah lo, Za. Dari pada harus liat lo begini. Lo yang kayak gini tambah bikin gue takut."

"Gue selama ini bego ya, Ra?" Alyzaa bisa merasakan usapan lembut di pundaknya, sahabatnya itu tampak kembali berusaha menenangkannya. Membuat dadanya kembali terasa sesak jika mengingatnya.

"Dia banyak banget salahnya sama gue. Dia bahkan belum jelasin apa pun. Tapi kenapa dia pergi gitu aja."

"Semua ini gak adil buat gue, Ra. Gimana bisa..." Alyzaa kembali tergugu. Merasa marah sekaligus kecewa. Namun semua tertahan dalam dada, membuatnya merasa luar biasa sesak.

"Seharusnya dia bilang sejak awal." Tiara kembali menarik Alyzaa untuk bersandar di pundaknya.

"Seharusnya, kalau sejak awal bukan gue. Kenapa dia gak bilang? Kenapa dia gak jujur?"

"Kalau sejak awal dia ngomong, dia jujur, sakitnya gak akan separah ini, kan Ra? Gue gak akan sehancur ini?"

"Kenapa waktu gue sayang banget sama dia? Kenapa waktu dia udah pergi? Kenapa..?"

"Za..."

"Setelah bayangan suami sempurna. Setelah dia buat gue berpikir dia gak akan pernah jahat sama gue? Kenapa semua baru keliatan? Kenapa gak sejak awal...?"

"Ra... Kenapa dari awal dia gak bersikap jahat sama gue? Kenapa dia harus pura-pura sempurna kalau ujungnya begini?"

"Gue bahkan gak tahu harus gimana supaya bisa luapin rasa marah dan benci gue? Gue harus gimana sekarang?"

"Lo cuman harus bahagia, Za. Lo cuman perlu lupain dia dan memulai semua dari awal." Nasehat Tiara, yang membuat Alyzaa bahkan ragu untuk melangkah ke sana. Karna nyatanya, bayangan atas apa yang wanita itu katakan, terus berputar di kepalanya.


Bab 5
Selama hampir seminggu Alyzaa hanya menghabiskan waktu di dalam rumahnya. Mengurung diri tanpa melakukan apa pun. Dia hanya akan tidur seharian, menatap langit-langit kamar tanpa melakukan apa pun. Hanya Tiara yang menemaninya sepanjang hari, juga mamanya yang akan datang sesekali. Itu pun hanya menyuruh Alyzaa untuk makan atau mengajaknya untuk keluar kamar karna keluarganya datang berkunjung, tapi Alyzaa seakan tak peduli, dia hanya diam tanpa membalas segala bujuk rayu mamanya.

Tapi hari ini, entah mengapa Alyzaa memilih bangkit dari ranjangnya, keluar kamarnya dengan tubuh tampak rapi. Semua ini karna semalam sahabatnya Tiara, yang hari ini mulai kembali masuk kerja setelah mengambil cuti untuk menemaninya di rumah.

Alyzaa melihat bagaimana sahabatnya itu tampak rapi dengan stelannya, membuat Alyzaa tanpa sadar termenung.

Mau sampai kapan dia akan bersikap seperti sekarang ini. Hanya diam tanpa melakukan apa pun. Meratapi nasibnya yang bahkan tidak akan berubah. Rangga, papa mertuanya tidak akan pernah kembali meski dia mengurung diri di dalam kamar.

Dan semua rasa marah, kecewa juga sakit hatinya tidak akan sembuh hanya dengan Alyzaa berbaring sepanjang hari di dalam kamar. Yang ada dia akan terus mengingat segala kenangannya bersama Rangga, juga apa yang pria itu lakukan.

Dia harus bangkit, harus berusaha menyembuhkan segala sakit juga lukanya. Mungkin dengan mulai beraktivitas seperti biasa akan membuat Alyzaa berangsur-angsur lupa dengan segala rasa sakit hatinya. Juga melupakan segala hal tentang Rangga.

"Alyzaa, lo.... ?''

Tiara tampak terkejut dengan kemunculan sahabatnya yang tampak rapi. Tidak seperti seminggu terakhir ini-yang hampir sama layaknya mayat hidup. Kini Alyzaa tampak rapi dengan stelannya. Entah Tiara harus lega atau semakin khawatir, tapi melihat Alyzaa yang bahkan tiba-tiba bersikap biasa seperti ini malah membuat Tiara takut.

Karna sahabatnya itu hanya akan diam tanpa melakukan apa pun sejak seminggu terakhir. Diam dengan pandangan kosong, bahkan Tiara tidak yakin jika Alyzaa akan makan jika tidak dia atau mama sahabatnya itu paksa dan marahi. Dia sudah sama persis seperti seorang manusia tak bernyawa juga tak memiliki semangat hidup. Rangga, pria brengsek itu benar-benar sialan. Dia sudah merubah sahabatnya yang ceria, selalu hidup damai menjadi seorang wanita yang bahkan nyaris tak bernyawa.

"Za, lo mau ke mana?"

"Kerja."

Tiara diam dan menatap Alyzaa. Membuat wanita yang hari ini berpakaian serba putih itu pun balik menatapnya.

"Kenapa?'' Tanya Alyzaa karna Tiara terus menatapnya.

"Lo yakin?"

''Hmm,''

"Za, kalau lo butuh waktu buat sendiri gak papa. Gue ngerti dan maklum. Gak usah di paksa. Atau kalau lo mau liburan, gue-"

"Gue udah baik-baik aja kok." Seru Alyzaa menghentikan ucapan Tiara. "Gue cuman mau bersikap realistis mulai sekarang. Dan juga sekarang ini yang gue butuhin cuman kerja dan menyibukkan diri sendiri.''

Melangkah ke arah meja makan, Alyzaa duduk di salah satu kursi. Diikuti Tiara di sampingnya. Dengan cekatan dia mengisi piring sahabatnya dengan sarapan yang pagi ini dia siapkan untuk mereka berdua.

Sahabatnya itu seakan masih tidak percaya dengan penglihatannya. Karna itu dia menatap Alyzaa tanpa berkedip.

"Lagi pula," menoleh ke arah Tiara, "Sakit hati dan kecewa gue gak akan berkurang kalau cuman diam di rumah tanpa melakukan apa pun. Dan buat liburan, kayaknya itu terlalu berlebihan buat gue. Gue gak butuh itu.''

"Za."

"Gue gak butuh liburan. Karna yang gue butuhin cuman nyembuhin sakit hati gue. Dan cara satu-satunya cuman gue sibuk dengan pekerjaan. Lupain semua yang gue alami selama ini." Alyzaa meraih sendok di depannya, menatapnya lama dan juga menggenggamnya erat.

"Gue juga harus mulai cari rumah baru kan mulai sekarang?"

"Za,"

Menoleh ke arah sahabatnya, Alyzaa menarik sudut bibirnya tipis. Senyum pertama yang dia tunjukkan setelah segala kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. "Gue gak mau tinggal di rumah ini lebih lama. Dan gak tertarik untuk melanjutkan hidup di sini.''

Tiara menghembuskan nafas dan mengangguk. Menepuk pundak Alyzaa lembut. "Gue akan dukung apa pun keputusan lo, dan kalau lo mau lo bisa tinggal di apartemen gue. Seenggaknya tempat gue lebih baik dari pada rumah gue." Mengedikkan bahunya acuh. "Seenggaknya walau tempat gue gak bagus-bagus amat, di sana lo gak punya kenangan apa pun sama mantan laki lo." Yang brengsek itu. Ingin sekali Tiara menyeruakkan isi kepalanya itu tentang mantan suami sahabatnya yang sialan itu. Namun akan terdengar sangat kejam disaat Alyzaa bahkan masih belum move on. Belum lagi pria itu bahkan belum pergi lama. Setidaknya Tiara masih memiliki sedikit sopan santun untuk orang yang sudah meninggal.

"Ok, gue bakal pikirin tentang tawaran lo kalau begitu,"

Tiara mengangguk dengan senyum puas.

"Gue harus jalan sekarang, lo mau bareng?" Tiara bangkit dari duduknya.

"Gue belum sarapan." Alyzaa mengedikkan dagunya ke arah piring membuat Tiara kembali duduk.

"Ya udah, gue tungguin deh kalau gitu."

''Gak perlu, lo jalan aja dulu kalau emang buru-buru."

"Gue gak mau ninggal lo sendirian di rumah ini."

Alyzaa memutar bola matanya malas. Sedikit mencibir dengan apa yang sahabatnya itu katakan.

"Gue juga harus mampir ke suatu tempat. Lo jalan dulu aja.''

"Tapi-"

"Gue bakal diantar supir kok. Lo gak perlu khawatir." Tiara menatap Alyzaa ragu, baru saat Alyzaa mengangguk tegas barulah Tiara setuju.

"Ok, deh. Gue jalan dulu ya? Lo bisa hubungi gue kalau terjadi sesuatu!" Pesan Tiara sebelum benar-benar meninggalkan Alyzaa.

Alyzaa tersenyum dan mengangguk setuju, menyakinkan sahabatnya jika dia akan baik-baik saja.

Sepeninggalnya Tiara, senyum Alyzaa luntur begitu pun tatapannya yang kembali kosong. Dia menunduk, menatap lama piringnya yang berisikan sarapannya. Yang pagi ini lagi-lagi disiapkan sahabatnya.

Ada senyum miris menghiasi wajah Alyzaa. Seakan segalanya kembali menamparnya.

Ketimbang rasa sakit yang Rangga berikan, dia merasa malu pada orang-orang di sekelilingnya. Yang mana-yang masih sangat peduli padanya. Termasuk sahabat juga kedua orang tuanya, atau keluarga besarnya.

Mati-matian menekan rasa sakit hatinya, Alyzaa mulai menyendokkan sarapanya. Mulai menyuapkannya dan mulai mengunyahnya. Rasahnya hambar, sangat hambar dan juga dingin. Entah hanya perasaan Alyzaa saja, tapi setiap makanan yang masuk ke dalam mulutnya akhir-akhir ini terasa hambar. Membuatnya semakin merasa menyedihkan. Hingga beberapa sendok sarapan yang Alyzaa paksa untuk masuk ke dalam perutnya. Alyzaa pun bangkit, menyudahi segala acara sarapan paginya.

Setelah memastikan supir kedua orang tuanya sudah tiba di depan rumahnya. Tidak butuh waktu lama bagi Alyzaa untuk keluar. Namun baru saja Alyzaa membuka pintu pemandangan di depannya membuat tubuh Alyzaa mematung di tempatnya.

Seorang bocah kecil yang beberapa hari lalu datang ke rumahnya karna di bawa salah satu wanita simpanan suaminya. Simpanan? Bolehkah Alyzaa menyebutnya begitu? Kini berdiri di teras rumahnya seorang diri, menatapnya takut-takut padanya.

''Mbak,''

Perhatian Alyzaa teralihkan dari bocah laki-laki yang menatap Alyzaa takut-takut. Menatap supir ibunya yang hari ini dia minta untuk menemaninya.

Dan Alyzaa bisa melihat jika supir ibunya yang bernama pak Seto itu tampak sama terkejutnya dengan dirinya saat melihat ada bocah kecil berdiri di terasnya.

"Mbak, itu-''

Alyzaa memilih melewati bocah kecil di depannya begitu saja, membuat pak Seto yang membuka pintu penumpang untuknya pun menatap lurus ke arah bocah kecil yang dia tebak mungkin berusia sekitar dua tahunan, atau lebih ..?

"Ayo, pak!"

"Mbak, itu ... anak kecilnya?"

Alyzaa mengikuti arah pandang pak Seto, baru kemudian memalingkan muka. Mati-matian bersikap tak peduli.

"Saya gak kenal, pak. Biar aja. Nanti juga di jemput ibunya."

"Tapi, mbak kok dia-"

"Pak, saya lagi buru-buru, bisa kita pergi sekarang?!"

Seakan tak ingin membuat putri majikannya marah, buru-buru pak Seto pun mengangguk. Segera masuk dan menjalankan mobilnya, pergi meninggalkan rumah Alyzaa dengan ekor mata sesekali melirik bocah kecil yang sedari tadi terus memperhatikan mobilnya lewat kaca spion.

****

Sama seperti manusia pada umunya, Alyzaa juga bisa bersikap kejam, masa bodoh, marah, benci dan juga kecewa. Dan itu lah yang saat ini dia lakukan. Bersikap tak peduli, masa bodoh juga acuh pada bocah kecil yang menatapnya takut-takut.

Tidak ada rasa iba sedikit pun yang dia rasakan saat melihat bocah kecil itu. Yang ada Alyzaa malah merasa sakit hati. Apalagi ketika kedua mata itu mengingatkan pada seseorang. Membuat semua rasa sakit Alyzaa naik ke permukaan. Kembali menganga dan juga basah. Padahal, Alyzaa sedang berusaha mengeringkan lukanya, berusaha mengobati lukanya yang dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Lalu kenapa dia kembali diingatkan pada rasa sakitnya? Kenapa orang-orang yang menyakiti hatinya tidak bisa membiarkan Alyzaa bernafas dengan tenang sebentar saja? Setidaknya sampai lukanya kering, atau Alyzaa tahu apa obatnya.

Pukul delapan malam, Alyzaa tiba di rumahnya. Rumah yang seharusnya tidak dia datangi mengingat dia memutuskan untuk menginap di apartement Tiara. Namun, dia terpaksa untuk pulang karna harus mengambil beberapa potong baju ganti.

Dia sudah memberi tahu Tiara untuk rencanannya itu, begitu pun kedua orang tuanya. Karna itu mereka malam ini tidak akan datang ke rumahnya. Membiarkan Alyzaa mengambil segala kebutuhanya.

"Pak Seto tunggu di sini saja. Saya cuman sebentar kok."

"Baik, mbak."

Alyzaa tidak mengatakan apa pun lagi, dia turun dari mobil. Tapi baru beberapa langkah dia melangkah dari mobil, dia mendengar sesuatu, sesuatu yang membuat wajahnya berubah kaku dengan tubuh membeku di tempat.

Dia jelas melihat bagaimana seseorang yang pagi tadi dia abaikan masih berada di sana. Duduk berjongkok di samping pot bunganya dengan wajah di tenggelamkan diantara kakinya.

"Mama..''

Alyzaa tidak bisa melihat dengan jelas wajah itu karna rumahnya masih tampak gelap. Sedang sorot lampu mobil tidak membantunya untuk melihat wajah itu dengan jelas karna jaraknya yang lumayan jauh. Tapi pendengarannya jelas mendengar isak tangis itu, membuat kepalan tangannya mengerat.

Berusaha mengeraskan hati, Alyzaa sudah akan berbalik pergi, tapi panggilan lemah yang masuk ke gendang telinganya membuatnya kesulitan melangkah.

"Mama..''

Disusul lengan kecil yang melingkar di lututnya. Tubuhnya sedikit mundur saat tubuh kecil itu menubruknya, dengan lengannya memeluknya erat.

Saat kedua mata lekat itu mendongak bersamaan dengan Alyzaa yang menunduk. Kedua mata mereka bertemu tatap, membuat Alyzaa melihat dengan jelas lelehan air mata di pipi itu.

"Ante, ante teman mama, ya? Asen takut."

Seharusnya Alyzaa menepis tangan kecil yang kini memeluk lututnya erat, kan? Mendorongnya menjauh darinya. Karna kini lelehan air mata Alyzaa jatuh tanpa dia sadari. Terus jatuh tanpa bisa dia tahan.

"Ante, Asen mau puyang."

"Tolong antal Asen puyang, ante.''

Sejenak Alyzaa mengingat seseorang sering meminta hal seperti itu padanya, seseorang yang sering mengatakan.

Sayang, tolong. Ketika Alyzaa tidak memberikan apa yang orang itu inginkan.

Sejenak, Alyzaa kehilangan tenaganya. Tas di tanganya jatuh, meluncur ke atas lantai. Membuat pelukan di kakinya terlepas. Pria kecil itu mundur beberapa langkah, membuat Alyzaa melihat dengan jelas wajah itu yang semakin berurai air mata.

Tak lagi mampu menahan berat tubuhnya, Alyzaa membiarkan tubuhnya luruh. Jatuh terduduk di atas lantai dengan tangis yang tak bisa dia tahan. Tangisnya kembali pecah, benar-benar pecah sepecah- pecahnya.

Alyzaa menangis dengan telapak tangan menutup wajahnya. Tapi tak berapa lama dia terdiam ketika merasakan seseorang memeluknya. Begitu dia menurunkan tanganya.

"Ante, jangan ais. Asen gak nakal kok. Asen cuman mau puyang. Asen mau mama."

Alyzaa semakin menangis kuat. Semakin tak lagi bisa membendung tangisnya. Tanpa sadar membiarkan lengan kecil itu memeluknya erat. Lengan yang seharusnya dia jauhkan dari tubuhnya malah kini memeluknya-yang artinya membiarkannya kembali merasakan luka, juga meluapkan segala yang tertahan dalam hatinya. Lukanya kembali menganga, bahkan lebih lebar lagi.

****

Saya tahu semua ini gak adil untuk bu Alyzaa. Tapi begitu pun untuk saya. Jujur saya sangat mencintai mas Rangga, karna itu saya merasa tidak bisa membesarkan putra kami. Dia selalu bisa membuat saya mengingat mas Rangga dengan semua yang dia miliki. Saya benar-benar tidak bisa membesarkan putra mas Rangga seorang diri. Apalagi saya tidak terlahir dari keluarga berada seperti Bu Alyzaa atau mas Rangga, karna itu saya memutuskan untuk menyerahkan tanggung jawab ini pada keluarga mas Rangga. Saya menyerahkan hak asuh sepenuhnya kepada mereka, tapi saya sama sekali tidak tahu di mana keberadaan mereka. Karna itu-

"Brengsek!" Maki Tiara menggelegar. Meremas surat di tangannya kuat. Mencekramnya erat, sama sekali tidak peduli jika surat itu akan hancur atau sobek karna ulahnya.

"Emang dasar jalang gak tahu diri. Setelah buat masalah, dia malah lari begitu aja?"

"Apa katanya tadi? Dia gak bisa hidup dengan anaknya karna selalu mengingatkannya pada Rangga? Taik!" Maki Tiara menggebu-gebu.

"Hidupnya gak lebih baik dari lo? Dia itu halu atau gimana sih, Za? Jelas dia gak selevel lo, kalau sejak awal sadar. Kenapa dia masih berani jadi simpanan laki lo."

Alyzaa hanya diam tanpa kata, pandangannya lurus ke arah depan.

"Terus lo gimana? Lo bakal apain bocah itu?"

Yang awalnya Alyzaa menatap ke depan kini menoleh ke arah pintu kamar. Tempat di mana pria kecil itu berada saat ini. Karna kelelahan menangis, dan kelaparan, dia tertidur setelah Alyzaa meminta pak Seto membelikan makanan untuk pria kecil itu. Anggap dia bodoh atau semacamnya, tapi dia tidak bisa mengabaikan begitu saja pria versi kecil Rangga itu. Apalagi ketika tahu jika ibu pria kecil itu memilih pergi meninggalkannya tanpa persiapan apa pun. Membuat Alyzaa merasa tak tega.

"Lo gak ada niatan buat ngurus anak jalang itu, kan Za?" Tiara masih terlihat tak terima.

"Za?" Panggil Tiara gemas, karna sahabatnya hanya diam sedari tadi.

"Gue gak tahu."

"Ya Tuhan, Za. Jangan aneh-aneh deh lo. Belum cukup mereka nyakitin lo segitu parahnya?"

Alyzaa mengarahkan pandangannya ke arah Tiara. Menatap sahabatnya itu lama.

"Mending lo taro di panti asuhan aja lah. Kalau gak di mana kek, yang penting jangan cari penyakit lagi, Za. Gue gak mau liat lo hampir gila lagi kayak kemarin." Pesan Tiara sebelum berbalik. Pergi meninggalkan Alyzaa yang hanya diam di tempatnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Turun Ranjang
0
0
Bab 6-8
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan