
"Pengkhianatan, luka dan juga rasa sakit yang mendalam. Membuat ku lebih tegar dari yang mereka bayangkan." Alyzaa.
"Nyawa harus dibalas dengan nyawa! Maka akan aku pastikan kamu sama menderitanya layaknya kehilangan nyawa!" Ares.
***
Bab 1
"Ngapain lo di sini?!"
Alyzaa yang mendapatkan pertanyaan tiba-tiba dari pria di belakangnya pun tidak bisa menutupi wajah terkejutnya begitu dia memutar tubuhnya. Kedua matanya seketika melebar, tapi kemudian sebisa mungkin dia memasang wajah tenangnya.
"Aku-"
"Masuk!"
"Sam-"
"Gue bilang masuk!"
Tak mendebat lagi pada akhirnya Alyzaa pun menuruti perintah pria di depannya. Masuk ke dalam sesuai keinginan pria itu yang baru kemudian diikuti pria itu di belakangnya.
Untuk beberapa saat Alyzaa bahkan kesulitan menggerakkan kakinya begitu dia masuk. Karna seluruh pasang mata mengarah padanya, hanya sepersekian detik sebelum semua melengos. Membuang muka dengan gerakan malas. Seakan-akan sebuah kesalahan karna telah menatap ke arahnya. Alyzaa tersennyum kecut, apa yang dia harapkan dari apa yang setelah dia terima setahun terakhir?
Sampai sesuatu berdiri di sampingnya, menarik perhatiannya, membuat Alyzaa mendongak.
Jika biasanya dia akan langsung memasang wajah biasa, menerima dengan pasrah apa yang pria itu inginkan, bereda kali ini. Saat tangan Alyzaa terulur, melingkar di lengan pria itu-Alyzaa merasa tak bisa membendung rasa sakitnya. Apa lagi ketika sayup-sayup dia mendengar suara seseorang saling membicarakannya. Hatiny semakin terasa tak menentu.
"Lihat, apa dia gak punya urat malu? Gak kakak gak adik, dua-duanya diembat! Kalau itu aku, aku yakin aku gak akan punya muka lagi. Apalagi masih harus menghadiri acara keluarga begini!"
"Memangnya wanita itu kapan punya urat malu? Langsung nikah di hari suaminya meninggal aja dia sanggup. Padahalkan dulu suaminya begitu mencintai dia. Apalagi cuman datang di acara kayak gini. Acara yang bahkan udah dia hadiri setiap tahunnya."
"Dia bener-bener gak punya urat malu!''
"Bukan cuman urat malu, dia juga bahkan udah gak punya harga diri."
"Iya kamu bener, wanita mana yang di tidurin kakak adik kayak gitu masih punya harga diri?"
"Kalau ku jadi Samudra, aku gak akan sudi nikah sama perempuan kayak gitu. Udah gak ada harga dirinya, apalagi urat malu? Yang ada mah cuman buat malu. Heran, Cowok sempan, setampan dan sesukses itu kok mau sih nikah sama perempuan kayak gitu?"
"Apalagi? Di pelet lah."
Semua kata itu Alyzaa sering mendengarnya. Ucapan seperti itu bahkan sudah sering dia dengar hampir setiap harinya, tapi kenapa rasanya masih tidak mengenakkan dalam hati? Kenapa masih menyakitkan begini?
"Gak heran muka cantik, badan seksi gitu masih banyak yang naksir padahal gak punya urat malu.''
Tak lagi bisa menahan rasa sakit hatinya, pada akhirnya Alyzaa pun melepaskan genggaman tangannya di lengan pria di sampingnya. Berbalik dan berlari keluar, mengabaikan segala pasang mata yang kembali menatapnya, tak terkecuali pria yang kini berstatussuaminya-yang mungkin saja setelah ini, akan begitu murka padanya.
****
"Za, lo gak papa?"
Alyzaa mendongak begitu mendengar kursi di depannya ditarik, disusul seorang wanita duduk di sana.
"Za.."
Alyzaa mengangguk lemah. Baru menjawab pelan. "Iya, gue gak papa."
"Lo yakin?"
"Hmm,"
"Kalau sekiranya lo-"
"Gue baik-baik aja, Ra. Itu kalau yang lo khawatirin."
"Tapi muka keliatan pucet." Telunjuk Tiara mengarah ke wajah Alyzaa, tampak tak percaya dengan apa yang wanita itu tepiskan tentang kondisinya.
"Gue cuman lagi ngerasa capek aja."
Tiara menghela nafas panjang. Ada tatapan kasihan di kedua matanya saat menatap sahabatnya. "Za.." Diraihnya kedua telapak tangan Alyzaa yang berada di atas meja, menggenggamnya kuat-kuat.
"Kalau sekiranya lo ngerasa capek, lo udah gak kuat, lo bisa berhenti, Za. Lo bisa pergi dan berbalik arah." Tiara tersenyum saat Alyzaa menatapnya lurus.
Seakan menggunakan kesempatan sebaik mungkin, Tiara pun kembali berbicara.
"Gak ada yang tahu gimana beratnya penderitaan yang selama ini lo tanggung, gimana rasa sakit juga pengorbanan lo buat cowok brengsek itu. Jadi-"
Untuk pertama kalinya mendengar keluhan sahabatnya tentang kondisinya, membuat Tiara merasa harus memberi saran. Yah, meski sarannya selama ini tidak pernah di dengar oleh sahabatnya.
"- kalau sekiranya lo capek, udah pengen istirahat dan pergi, lo bisa pergi sekarang. Lo bisa memulai segalanya dari awal. Dan kalau semisal lo gak mau pergi, lo bisa kasih tahu semua kebenarannya sekarang."
"Apa lo kira ada yang percaya sama kata-kata gue?"
"Ya?"
Alyzaa menarik tangannya yang berada di gengaman tangan Tiara.
"Gak ada." Alyzaa menggeleng frustasi. Bersamaan dengan tangannya yang mengusap wajahnya kasar. "Gak akan ada yang percaya sama kata-kata gue."
"Za."
"Kalau pun ada, mereka juga pasti udah gak peduli. Karna yang mereka peduliin sekarang adalah..." Alyzaa bangkit membuat Tiara pun pada akhirnya mendongak. Menatapnya khawatir bercampur kasihan. "Gimana pandangan Samudra ke gue."
"Thanks, Ra, karna udah khawatir sama gue. Tapi gue bener-bener gak papa. Gue pamit ya?"
"Za.." Alyzaa tak menggubris, die terus melangkah menjauh.
"Kalau gitu kenapa lo gak coba jelasin semua itu sama Samudra?"
Langkah Alyzaa terhenti namun dia sama sekali tidak berbalik, dia hanya diam di tempatnya.
"Seberapa persen?"
"Apa?"
Alyzaa berbalik. "Seberapa persen lo yakin Samudra akan percaya sama gue?"
"Zaa,"
Alyzaa menggeleng lemah. "Lo bahkan gak bisa jawab, terus lo minta gue buat ngomong yang sebenernya?"
"Sekalipun gue mati depan dia. Lo kira dia bakal percaya?" Alyzaa meneruskan langkahnya yang sempat tertunda, mengabaikan Tiara yang berdiri di tempatnya, yang hanya bisa menatap punggung Alyzaa kasihan.
"Gue selalu berharap semoga lo bisa bahagia, Za. Dan gue harap tuhan akan ngabulin itu suatu saat nanti."
***
Langkah Alyzaa melambat saat dia tiba di depan rumah-yang bertahun-tahun dia tinggali. Rumah itu tampak gelap, dan dingin.
Menatap lurus rumah di depannya, Alyzaa kembali meneruskan langkahnya seiring dengan genggaman tangannya di tali tasnya mengerat. Jantungnya berdetak tak beraturan, ada rasa ragu juga cemas menggerogoti hatinya saat kakinya terus melangkah. Meski rumahnya masih dalam keadaan gelap gulita, dia yakin jika rumahnya itu pasti tidak dalam keadaan kosong. Ada satu orang yang Alyzaa yakini kini berada di dalam. Yang mungkin saja saat ini menunggu kepulangannya.
Benar saja, begitu Alyzaa membuka pintu rumahnya. Rumah yang awalnya dalam keadaan gelap gulita kini berubah terang. Semua lampu hidup membuat kedua mata Alyzaa mengedar ke penjuru ruangan.
"Gue kira lo bahkan gak akan berani untuk pulang ke rumah ini lagi!" Ucapan bernada dingin bercampur kedua mata menyorot tajam membuat Alyzaa menahan nafas. Cengkramannya kian mengerat kuat di tali tasnya.
"Kenapa, gue benerkan?"
Alyzaa melangkah mundur saat Samudra melangkah mendekat ke arahnya.
"Sam-"
"Setelah denger ucapan orang-orang di luar sana, gue kira lo bakal pergi! Lari dan sembunyi." Ada tatapan mengejek yang Samudra layangkan pada Alyzaa. Tatapan yang selama ini selalu Alyzaa dapatkan darinya. "Tapi ternyata gue salah."
Alyzaa diam, sama sekali tidak berani membuka suara karna merasa tatapan Samudra kian menajam dan sinis. "Perempuan kayak lo, yang gak punya harga diri apa lagi urat malu. Mana mungkin bisa pergi meski dunia menghina lo habis-habisan."
Mati-matian Alyzaa tetap menjaga raut wajahnya tetap tenang, sama sekali tidak terpengaruh meski hatinya terasa bak tersayat-sayat.
"Kenapa cuman diam, gue benerkan?"
Menggigit pipi dalamnya kuat, Alyzaa menarik sudut bibirnya ke atas. Sama sekali tidak terpengaruh dengan segala ucapan penuh racun dari pria di depannya.
"Kamu pasti belum makan malam, kan? Maaf, aku pulangnya ke malaman ya hari ini." Seperti biasa, Alyzaa sama sekali tidak menanggapi segala ucapan pria di depannya. Bersikap seolah-olah tak pernah merasakan luka yang menggerogoti hatinya dari segala ucapan pria itu.
"Aku akan mandi dulu setelah itu-" Alyzaa tidak bisa meneruskan ucapannya saat tangan Samudra mencekram lengannya kuat. Membuat Alyzaa yang awalnya ingin menghindari pria di depannya pun kesulitan.
Alyzaa bisa melihat jika wajah Samudra di depannya mengerat, rahang pria itu pun mengeras seiring dengan cengkramannya menguat. "Dari pada lo nawarin makanan ke gue, kenapa gak tubuh lo aja yang lo tawarin? Itu bahkan lebih baik dari pada makanan yang bahkan gak bisa buat rasa marah gue hilang hari ini."
Belum sempat Alyzaa menjawab, lengannya sudah di tarik kuat, bibirnya segera di bungkam dengan pinggangnya ditarik merapat.
Bab 2
Beberapa Tahun yang lalu\\
"Sayang, aku pulang."
Alyzaa yang awalnya tengah sibuk memasak di dapur pun melongokkan kepalanya saat mendengar suara seseorang dari belakangnya. Dan senyumnya terbit saat melihat ada siapa, suaminya, Rangga Aksara Wigara. Pria yang sudah dia kenal hampir empat tahun lamanya. Mereka menikah sekitar tiga tahun yang lalu, dan satu tahun berpacaran sebelum memutuskan untuk menikah.
Selama mengenal pria yang berstatus suaminya, Alyzaa tidak pernah sekalipun mendapati kekurangan pria itu. Seorang Rangga Aksara Wigara, atau suaminya itu adalah jenis pria yang nyaris sempurna.Tidak pernah marah, selalu mengalah dan yang penting adalah family man. Dia tampak begitu mencintai Alyzaa, itu jugalah yang membuat Alyzaa memutuskan untuk menerima pinangan pria yang kini menatapnya hangat.
"Hai," Sapanya untuk yang pertama kalnya, yang dibalas Alyzaa dengan gumaman seadanya.
Tapi senyum Alyzaa pun kian mengembang saat merasakan lengan kokoh memeluk pinggangnya. Mendekapnya erat dengan bibir tak berhenti mengecup lehernya.
Ada kekeh ringan saat ia menegur pria itu untuk menjauhkan tubuhnya karna Alyzaa tengah sibuk memasak.
"Rangga!" Tegur Alyzaa penuh peringatan.
"Ya, sayang?"
"Awas!"
Ada gelengan yang Alyzaa terima sebelum Rangga menjawab mesra.
"Ya udah lanjut aja masak, aku gak ganggu kok, sayang.''
Alyzaa memutar bola mataya malas mendengar ucapan pria yang kini memeluk tubuhnya. Tak urung dia tetap pasrah mesti dengan hati setangah dongkol.Tak urung bibirnya tak berhenti tersenyum saat pria di belakangnya kian memeluk dirinya mesra.
Selama pernikahan mereka berjalan tiga tahun, sikap mesra Rangga sama sekali tidak berubah seperti dari awal menikah. Yah, meski selama itu mereka belum di karuniai anak namun tidak membuat Rangga berhenti bersikap mencintainya. Itu jugalah yang membuat Alyzaa menyebutnya lelaki sempurna. Pria itu, selalu tampak hangat dan mesra padanya. Yang kadang membuat Alyzaa bertanya-tanya, apakah dia akan terus bertahan di sampingnya meski Alyzaa tidak memberikannya keturunan. Karna setiap kali Alyzaa akan membahas perihal keturunan, Rangga dengan sabar menjelaskan.
"Tidak perlu teburu-buru, sayang. Kita masih punya banyak waktu untuk mendapatkan itu. Atau jika kamu tidak sabar untuk mendapatkannnya, kita bisa mengadopsi anak. Ada banyak anak di luar sana yang membutuhkan orang tua seperti kita."
"Tapi Rangga, aku pikir kita hanya perlu menemui dokter untuk memeriksa keadaan kita. Mungkin dengan begitu-''
"Sayang, dengar." Saat Rangga menggenggam tangan Alyzaa erat, menatapnya hangat. Alyzaa pada akhirnya diam dan menurut. "Kamu atau aku sehat. Sejak awal menikah kita bahkan sudah mendengar itu dari dokter, kan? Lalu apa lagi yang kamu takut, kan? Kita bahkan sudah berusaha sejauh ini. Dan, kalau pun tuhan belum mempercayakan itu, aku gak masalah. Bener-bener gak masalah."
"Iya, tapi-"
"Aku mencintai kamu. Dan selama kamu mau di sampingku selamanya, itu bahkan sudah lebih dari cukup."
Alyzaa menatap kedua manik mata Rangga lama. Menyelami kedua mata hitam pekat itu. Entah mengapa sejak mereka menikah, Alyzaa merasa tatapan itu lambat-lambat terasa hambar untuknya. Seperti ada sesuatu yang tidak dia mengerti.
"Sayang." Alyzaa mengerjab.
"Kamu melamun?"
"A-apa?"
"Lihat."
Alyzaa mengikuti arah pandangan Rangga dan dia meringis pelan saat menemukan apa yang ada di hadapannya saat ini.
Masakannya nyaris gosong.
"Maaf, aku-"
"Apa kamu lelah? Kalau lelah kamu istirahat aja, biar aku beli makan di luar."
Alyzaa menggeleng cepat, baru kemudian kembali sibuk dengan masakannya. "Aku gak papa kok.''
"Kamu yakin?"
Ayzaa mengangguk. "A-aku cuman lagi mikirin rencana liburan kita aja." Alyzaa mematikan kompor di depannya sebelum berbalik menghadap Rangga. Menatap pria itu dengan senyum hangat.
"Aku kayaknya udah gak sabar-"
"Sayang, soal liburan kita," Rangga menarik tangan Alyzaa, membawanya untuk dia genggam.
"Ya, kenapa? Jangan bilang batal karna kamu gak bisa?" Tebak Alyzaa yang membuat Rangga menggeleng cepat.
''Bukan. Jadi kok liburannya. Sesuai keinginan kamu, kita akan liburan selama seminggu setelah acara keluarga kita di bali."
"Cuman?" Sambung Alyzaa yang seakan bisa menebak jika pasti ucapan suaminya belum selesai.
"Kamu gak keberatan kalau aku bawa sedikit pekerjaan ku, kan?"
Satu hal yang Alyzaa lupa soal Rangga suaminya. Jika pria itu masih memiliki satu kekurangan. Yaitu gila kerja, seperti satu ini contohnya. Suaminya itu tidak akan pergi ke mana pun tanpa pekerjaannya.
"Bukannya kamu kemarin baru aja dinas keluar kota selama seminggu? Masa liburan kali ini kamu harus bawa pekerjaan juga, sih?"
Untuk pertama kalinya selama menikah Alyzaa menyerukan keberatannya. Karna bagaimana pun mereka tidak pernah liburan yang benar-benar liburan tanpa mengikutsertakan pekerjaan, dengan kata lain suaminya itu tidak pernah pergi tanpa membawa pekerjaanya tidak ikut serta.
"Sayang, aku janji pekerjaan ku ini tidak akan mengganggu liburan kita."
"Ya tapi-"
"Sayang, tolong."
Alyzaa menghembuskan nafas berat. Jika Rangga sudah mengatakan kata 'tolong' dia tahu akan terdengar begitu kanak-kanakan jika dia masih bersikap keras kepala. Meski sebenarnya dia adalah jenis wanita yang seperti itu.
"Aku janji Jesika gak akan ganggu waktu liburan kita.''
"Jesika? Kenapa jadi bawa-bawa Jesika?"
Rangga menatap Alyzaa dengan tatapan bersalah, dan semua itu membuat Alyzaa tahu apa maksud dari ucapan suaminya tanpa menjelaskan lebih jauh.
"Aku boleh curiga gak sih kamu ada apa-apa sama sekertaris kamu itu? Kok kayaknya kamu setiap kita liburan dia selalu ikut."
Bukannya marah atas apa yang Alyzaa tuduhkan Rangga malah terkekeh geli. Semua itu membuat Alyzaa semakin tampak kesal.
"Aku suka kalau kamu lagi cemburu gini. Makin keliatan cantik.''
Alyzaa hanya menatap datar Rangga, semua itu semakin membuat Rangga tergelak. Tak urung dia menarik Alyzaa ke dalam pelukannya.
"Aku bercanda, sayang. Jangan marah dong. Aku janji, ini kali terakhir aku bawa kerjaan di liburan kita. Gimana?" Rangga menjauhkan sedikit wajahnya guna menatap wajah Alyzaa yang kini bersandar di dadanya.
"Awas aja kalau bohong!"
Rangga tergelak, membuat Alyzaa pun tidak bisa memasang wajah kesalnya terlalu lama. Apalagi saat pria itu memeluknya erat dengan bibir tidak berhenti menggumamkan kata maaf. Yang mau tidak mau membuat Alyzaa pada akhirnya menyerah.
***
"Hai, Alyzaa.'' Sapaan bernada hangat dari beberapa keluarganya dibalas senyuman hangat wanita itu. Dia melepaskan genggaman tangan Rangga yang sedari tadi menggenggamnya sedari mereka keluar mobil. Membuat Alyzaa beberapa kali mendapatkan ledekan dari sepupunya.
"Duh berasa pengantin baru terus ya, Za? Mesra terus kayaknya.''
Alyzaa hanya menggeleng mendapat komentar bernada meledek dari sepupunya bernama Dwi itu. Yah begitulah, selama dia menikah dengan Rangga, pria itu selalu menunjukkan perhatian juga kemesraanya di depan umum. Tidak peduli ada keluarga pria itu, keluarga Alyzaa atau pun orang lain. Tapi Rangga seakan sengaja begitu terlihat memuja Alyzaa, membuat Alyzaa kadang risih, dan malu di awal-awal hungan mereka. Hingga kini dia nyaris terbiasa.
"Ya elah mbak mangkannya kawin biar tahu rasanya. Biar gak syirik." Tegur Dion yang membuat Dwi mendelik bersaaman dengan jawabnya yang terdengar sinis.
"Kawin mah gue sering, nikah yang belum."
"Eh, kok anjing benget." Dion mengelus dada, tatapannya tampak horor menatap Dwi yang kini tergelak.
Tapi tawa Dwi seketika sirna saat mendengar Dion berteriak keras.
"Tante Yona, siap-siap bentar lagi gendong cucu, mbak Dwi udah sering kawin soalnya.''
"HEH! Sembarangan lo!" Bentak Dwi, tangannya melemparkan bantal sofa ke arah kepala Dion, tapi langsung di tepis pria itu dengan kaki ngacir lari saat melihat tante Yona, mama Dwi muncul dari dapur dengan spatula di tangannya.
"Mama, enggak. Dion bohong, Maaa." Panik Dwi. Melotot kesal pada Dion yang kini tertawa terbahak-bahak. Sedang mamanya mengacungkan spatula ke arahnya.
"Gak, tante, bener, kalau gak percaya tanya aja sama Kak Iza."
"DION!" Tawa Dion kian menggelegar penuh kepuasan. Membuat Alyzaa hanya geleng-geleng kepala mendengar ulah jail para sepupunya.
"Sayang," Perhatian Alyzaa dari Dwi teralihkan begitu mendengar panggilan suaminya.
"Kenapa?"
"Aku boleh keluar sebentar?"
"Mau ke mana?" Alyzaa buru-buru melangkah ke arah Rangga saat para sepupunya berdehem-dehem pelan. Seperti kembali menggodanya.
"Cuman ketemu klien sebentar, gak lama kok. Mumpung masih siang, aku akan pulang sebelum jam makan malam. Boleh ya?" Bujuk Rangga, pria itu kini sudah berdiri di depannya, menatapnya memelas dengan tangan menggenggam tanganya erat. Jika seperti ini, Rangga tampak seperti anak yang merengek meminta mainan pada ibunya. Yang akan merajuk jika Alyzaa tidak memberikannya.
"Sayang,"
"Pulang sebelum jam makan malam?" Sekali lagi Allyzaa memastikan. Yang langsung diangguki Rangga dengan patuh.
"Ok.'' Seru Alyzaa pada akhirnya, yang langsung membuat Rangga maju dan mengecup pelipisnya mesra. Yang langsung membuat beberapa sepupunya berseru 'Aw'
"Udah-udah sana.'' Usir Alyzaa menahan malu.
"Terima kasih, sayang.'' Alyzaa mengangguk. "Wi, nitip istri, ya?" Seru Rangga sempat-sempatnya. Membuat Alyzaa melotot kesal, sedang Dwi mengacungkan ibu jarinya dengan bibir bergumam sip.
"Duh, manis banget sih, laki lo, Za. Gue jadi pengen." Alyzaa seketika menatap sepupunya, membuat Dwi buru-buru mengoreksi ucapannya.
"Pengen nikah juga maksudnya, Za. Bukan pengen laki lo."
"Ya udah buruan nikah." Alyzaa mengambil tempat duduk di samping Dwi yang kini duduk menghadap sofa dengan kedua lengan berada di lengan sofa. "Lagian tante Yona udah nanyain, kan?"
"Cariin dong, Za, calonnya. Lo pasti punya banyak kenalan cogan, kan? Jadi adik iper lo juga gak papa deh."
"Adik ipar gua?" Ulang Alyzaa menoleh ke arah Dwi yang duduk di sampingnya.
"Iya, siapa itu, Za, namanya? Kemarin pas nikahan lo gue ketemu, cakep tu orangnya."
"Ares?" Dwi menganggukkan kepalnya, sedikit semangat dan terlalu cepat.
"Nama lengkapnya siapa?"
"Samudra Aresmana Wigara."
"Duh gantengnya, Za, gak nahan gue liatnya. Mana mukanya terus keluar di majalah bisnis lagi, bikin para cewek jomblo kayak kita makin sering istigfar.''
"Kita, lo aja kali. Gue mah enggak!"
"Najis! Iya-iya yang udah nikah itu.'' Cebik Dwi membuat Alyzaa tergelak.
"Tapi gue serius, Za. Gue mau daftar jadi adik ipar lo. Kenalin kek, pelit amat lo sama gue. Sama sepupu sendiri juga."
"Bukannya pelit kali. Wi. Tapi gue gak gitu deket sama adik ipar gue. Kan lo tahu sendiri dia tinggal di mana? Tapi coba deh nanti gue bilang Rangga kali aja dia punya teman yang bisa di kenalin ke lo."
"Tapi gue maunya sama adik ipar lo, Za. Gak mau sama yang lainnya."
"Ya udah kalau gak mau, gak jadi."
"Dih gitu banget lo sama gue. Sepupu gak ada akhlak lo, tahu sodaranya lagi sendiri, bantu kek."
Alyzaa mendesah, menggeleng dengan wajah lelah. Bukannya gak mau, dia memang tidak sedekat itu dengan adik iparnya. Selain pria itu yang tinggalnya di entah negara mana, Alyzaa pun jarang mengobrol dengan pria itu. Karna selain pris itu yang suka berpindah-pindah antar negara. Mereka pun bertemu hanya beberapa kali, itu pun saat acara-acara besar saja. Saat mengharuskan dia berkumpul dengan keluarganya. Dan selama pertemuan mereka, pria itu bahkan tidak pernah mengajaknya berbicara.
"Ya udah entar gue bilang Rangga." Putus Alyzaa yang disambut Dwi dengan pekikkan histeris.
"Serius?"
"Hmm,"
"Duh sepupu gue baik banget, sih. Gak salah gue ngejomblo selama ini kalau nanti bakal jodoh gue sekelas adik ipar lo."
"Dih, lebay. Belum tentu juga adik ipar gue mau sama lo." Ledek Alyzaa yang sama sekali tidak membuat Dwi sakit hati, sepupunya itu malah terlihat begitu girang dan bahagia. Yang bahkan tampak begitu bberlebihan di mata Alyzaa.
****
"Sayang..."
Alyzaa hanya melenguh mendengar erangan pria di atasnya, sebelum pria itu ambruk menimpa tubuhnya. Ada rasa hangat yang menjalar dalam tubuhnya, membuat dia memejamkan mata dengan hati bergumam penuh doa. Berharap apa yang kini memenuhi dirinya akan membuahkan hasil. Di sepanjang pernikahannya, Alyzaa tidak berbohong jika dia berbahap tuhan akan mempercayakan seorang anak padanya, karna bagaimana pun. dia ingin memberikan keturunan untuk pria yang kini tengah memeluknya erat. Mengatur nafas atas pelepsan pasan mereka.
"Lelah?" Tanya Rangga menyingkir, manarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka. Setengah berbering dengan tangan mengusap peluh Alyzaa sedang tangannya yang lain meraih air dari atas meja yang berrada di samping ranjang. Menodorkannya pada Alyzaa. Dan diterima wanita itu tanpa pikir panjang.
"Habiskan!" Ucap Rangga lagi saat melihat Alyzaa hanya meminumnya setengah.
"Kenapa sih setiap kita habis begini aku harus minum?" Keluhnya, tak urung Alyzaa tetap melakukan yang Rangga perintahkan. Menandaskan air di dalam gelas.
"Air putih bagus untuk kesehatan, sayang." Rangga menjawab lembut, menerima uluran gelas dari Alyzaa dan kembali meletakkannya di atas meja. "Lagian aku perhatin kamu kurang minum, kan?"
"Iya, tapi-" Ucapan Alyzaa kembali tertelan saat Rangga mengecup bibirnya sekilas. Menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam pelukan pria itu.
"Ayo, tidur."
Mesti setengah hati, Alyzaa tetap menurut berbaring dengan tangan balas memeluk Rangga.
"Rangga,"
Rangga yang awalnya sudah memejmkan mata pun membuka kedua matanya. Dia menunduk untuk menatap istrinya. "Kenapa?"
"Ares, gimana kabarnya sekarang?"
"Baik, kenapa? Tumben kamu nanyain dia?"
Alyzaa menggeleng, tampak ragu untuk bertanya lebih. Tapi saat melihat Rangga tanpak menunggunya untuk kembali melanjutkan ucapannya, membuat Alyzaa pun pada akhirnnya menyerah.
"Aku gak pernah denger dia lama menetap di satu tempat, dia sebenernya tinggal di mana, sih?"
"Dia itu memang begitu, dulu waktu papa mengharuskan sering ke luar negri untuk mengurus pekerjaan, papa jadi sering sakit-sakitan. Mungkin karna fisiknya yang gak sekuat pas muda, jadi papa sering kelelahan dan sakit. Karna gak tega liat papa sakit-sakitan, dia memutuskan menggantikan papa mengurus pekerjaan di luar negri sedang aku di sini. Karna itulah dia jarang menetap di satu tempat. Lagipula dia juga bukan jenis orang yang betah berlama-lama di rumah dan betah tinggal di satu tempat. Sejak dia muda dia hobi traveling." Cerita Rangga yang membuat Alyzaa manggut-manggut mengerti.
"Eh, tapi kok kamu tiba-tiba nanya dia sih, sayang? Kenapa? Kamu nanya gini bukan lagi naksir sama dia, kan?"
"Apa?" Kesal atas tuduhan suaminya, Alyzaa pun memukul pundak Rangga gemas.
"Ini, kamu ngapain nanya-nanya dia?" Rangga masih terlihat tak terima.
"Gak, aku pengan tahu aja. Dwi tadi tiba-tiba nanyain dia. Terus minta aku buat jadi Mak comblang."
"Gak usah ah."
"Hah, kenapa?"
"Dia itu keras kepala dan ngeselin. Kasian Dwi kalau harus jadi istrinya suatu saat nanti."
"Masa sih?"
Rangga mengangguk. "Iya, lagian orangnya sensitif banget." Alyzaa mengangguk mengerti.
"Tapi, dari pada sifatnya yang sensitif. Ada hal yang buat aku lebih takut."
Alyzaa mendongak. "Apa?"
"Aku takut nanti dia malah naksir kamu, soalnya dia suka perempuan seksi." Rangga mengedipkan sebelah matanya. Membuat Alyzaa mendengus. Dan dia tersenyum puas saat Rangga mengerang tertahan karna tangannya yang mencubit perut pria itu.
"Loh kamu itu di mata aku seksi tahu, yang."
"Terserah."
Rangga tergelak, merasa senang karna telah menggoda istrinya.
Bab 3
Alyzaa tersenyum lebar begitu dia keluar dari mobilnya. Kini dia berdiri di depan kantor Rangga, menatap gedung tinggi dengan senyum bahagia. Terlihat tidak sabar dengan reaksi suaminya saat melihat Alyzaa nanti. Terkejut kah? Bahagia kah? Atau dia akan marah karna merasa di bohongi?
Pagi tadi suaminya itu tampak merajuk karna Alyzaa membatalkan kepulangannya dengan beralaskan dirinya lelah karna sehabis sibuk melakukan pengunjungan di resto barunya. Hingga dia pun membatalkan kepulangannya. Namun siapa sangka jika ternyata Alyzaa sudah berada di hotel dekat dengan kantor pria itu dan sekarang berencana mengejutkan pria itu dengan kepulangannya.
Menatap sekeliling yang sudah tampak sepi karna sudah lewat jam pulang, Alyzaa semakin semangat untuk mengejutkan Rangga. Dia sengaja datang ke kantor pria itu di jam-jam mendekati jam pulang. Berharap nanti mereka bisa menghabiskan malam yang manis atau pergi kencan untuk melepas rindu.
Memikirkan segala keinginannya menghabiskan waktu bersama pria yang begitu dia rindukan selama hampir tiga hari ini. Alyzaa melangkah tidak sabaran masuk ke gedung kantor Rangga. Senyum bahagia sama sekali tidak surut dari bibirnya. Sesekali pandangannya pun mengarah pada paper bag di tanganya. Makanan yang sengaja dia masak di hotel tadi sebelum dia datang ke kantor pria itu. Setidaknya, Rangga selalu suka dengan segala makanan yang dia masakan. Dan berharap dia akan semakin terkejut dengan apa yang dia siapkan.
Alyzaa melambatkan langkahnya begitu dia keluar dari lift, melambatkan langkahnya begitu dia melihat pintu ruangan Rangga.
Berkali-kali Alyzaa mengatur wajahnya untuk terlihat tenang. Meski tidak bisa dibohongi jika kini dia berdebar-debar karna merindukan pria itu.
Begitu Alyzaa berdiri di depan pintu ruangan Rangga, kepala Alyzaa sedikit menoleh ke arah meja yang berada di depan ruangan pria itu. Meja sekertaris Rangga-yang tumben sekali kosong. Karna selama Alyzaa mengenal wanita itu, dia selalu mendapati keberadaan wanita itu di sana.
Mengedikkan bahu acuh, Alyzaa tak ambil pusing. Dia kembali ke niat awalnya untuk masuk ke dalam ruangan Rangga. Tapi saat tangannya baru membuka pintu sedikit, kening Alyzaa mengernyit saat mendengar suara aneh dari dalam. Suara yang mendadak membuat debar jantung Alyzaa sedikit lebih cepat.
"M-mas ... lebih cepat."
"Seperti ini, sayang?"
"Ye-eah... mas... terus,, ah.."
Tubuh Alyzaa berubah kaku. Kedua matanya bahkan tidak lepas dari apa yang dua insan lakukan di sana.
Di atas meja, tepat di depan sana. Alyzaa melihat bagaimana pria yang berkali-kali mengatakan cinta padanya tampak tengah melakukan hal menjijikan dengan sekertarisnya. Wanita yang dia panggil Jesika. Wanita yang sama yang tengah berkeringat dengan pakaian setengah terbuka. Menampilkan bahunya yang polos juga setengah tubuh atasnya.
Tangan Alyzaa terlepas dari gagang pintu, genggaman tanganya di paper bag pun sama. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Membuat makanan yang sengaja dia bawa jatuh ke atas lantai. Semua itu berhasil menarik perhatian dua orang yang tadi tengah melakukan hal menjijikan seketika terhenti. Mereka langsung menoleh ke arah Alyzaa bersamaan dengan kesadaran Alyzaa yang kembali. Wanita itu buru-buru berbalik dan menutup pintu dengan keras mengabaikan panggilan Rangga yang berteriak memanggil namanya.
Secepat kilat Alyzaa berlari, masuk ke dalam lift begitu melihat Rangga yang berlari ke arahnya dengan wajah panik. Alyzaa mengepalkan tanganya erat melihat itu. Pria itu bahkan tidak mau repot-repot membenarkan pakaiannya yang berantakan.
Begitu pintu lift tertutup Alyzaa tidak lagi mampu menahan berat tubuhnya lebih lama. Dia jatuh terduduk di atas lantai dengan kepala menunduk. Hatinya hancur melihat apa yang terjadi di dalam tadi. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin pria yang tampak begitu mencintainya bisa berlaku sekejam itu? Mengkhianatinya?
Alyzaa tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, tapi saat pintu lift terbuka, dia sama sekali tidak memiliki tenaga untuk bangkit. Air mata di pipinya bahkan jatuh dengan sendirinya. Semua bayangan di mana Rangga dan semua yang pria itu lakukan berputar di kepalanya.
Semua seakan seperti mimpi. Alyzaa yakin jika saat ini dia pasti sedang berhalusinasi. Dia pasti sedang tertidur di hotelnya.
"Gak, ini cuman mimpi. Semua ini pasti cuman mimpi. Alyzaa bangun, Alyzaa! Cepat bangun, Alyzaa! BANGUN!"
Alyzaa memukul dadanya kuat, tubuhnya kian gemetar saat merasakan sakit luar biasa di dadanya. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang dia miliki, Alyzaa bangkit. Melangkah ke luar masih dengan tubuh gemetar. Tidak bisa membayangkan jika kali ini benar-benar terjadi padanya.
"Gak! Semua cuman mimpi! Semua ini pasti cuman mimpi. Semua ini pasti halusinasi ku,. Semua ini gak mungkin nyata." Gumam Alyzaa di sepanjang langkahnya. Hingga dia berhasil keluar kantor, Alyzaa masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan lobi. Tangannya sedikit gemetar saat harus memasukkan kunci. Berkali-kali tanpa bisa di cegah air matanya jatuh.
"Gak, ini cuman mimpi, Alyzaa. Semua hanya mimpi." Semakin Alyzaa menarik nafas dalam, dadanya semakin terasa sesak.
"ALYZAA! Tunggu, Alyzaa!"
Alyzaa menoleh, wajahnya tapak kaku saat melihat Rangga berlari ke arahnya. Buru-buru dia memasukkan kunci, berkali-kali Alyzaa mencoba baru berhasil. Hingga tak butuh lama dia pun menjalankan mobilnya. Pergi meninggalkan Rangga yang terus meneriaki namanya. Kaki pria itu bahkan terus berlari ke arahnya.
Alyzaa kira Rangga akan berhenti mengejarnya saat pria itu dia abaikan begitu saja. Tapi ternyata Alyzaa salah. Hampir lima menit mengemudikan mobilnya, dia melihat mobil Rangga membuntutinya, berkali-kali membunyikan klakson di belakangnya.
"Alyzaa, berhenti! Alyzaa!"
Alyzaa berusaha menulikan pendengarannya. Menancap gas kian dalam, sama sekali tidak peduli dengan mobilnya yang melaju kencang. Tapi melihat Rangga yang semakin mengejarnya membuat bayangan pria itu dan apa yang dia lakukan pada sekertarisnya memenuhi kepalanya.
"ALYZAA!''
BRAKKK
Alyzaa tidak tahu apa pun, semua tampak lebih cepat dan juga mengerikan. Apalagi ketika dia tidak sengaja melihat dari arah spion bagaimana mobil di belakangnya di hantam mobil yang berlawanan dari arah samping.
Alyzaa masih dengan jelas melihat bagaimana mobil itu hancur berkeping-keping. Terlempar jauh hingga membuat Alyzaa nyaris seperti seperti di cekik.
Bahkan tanpa peduli dengan sekitar Alyzaa menekan rem. Membuat mobilnya yang awalnya cepat seketika berhenti mendadak.
Alyzaa tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, tapi dia masih sempat berteriak. Menjerit sekuat tenaga sebelum sesuatu menghantam mobilnya. Lalu kemudian semua gelap.
"Tolong siapa pun, tolong bangunkan aku!"
***
"Alyzaa."
Sayup-sayup Alyzaa mendengar panggilan seseorang.
"Alyzaa, kamu baik-baik saja?"
Mata yang sedari tadi begitu terasa berat kini berangsur-angsur bisa dia buka. Membuat dia bisa dengan jelas melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini.
"Tiara?"
"Oh, syukurlah lo baik-baik aja, Za. Gue bener-bener khawatir tadi." Terlihat Tiara menghela nafas lega begitu melihat Alyzaa membuka matanya. Wanita yang berstatus sahabatnya itu tampak baik-baik saja.
"Gue ada di mana?"
"Rumah sakit."
"Rumah sakit?" Seru Alyzaa mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi, setelah itu wajahnya berubah kaku saat sebuah ingatan mengingatkannya pada satu hal.
"Apa yang terjadi sama gue, Ra? G-gue ... kenapa bisa ada di sini?''
Tiara menatap Alyzaa lurus, menatap sahabatnya itu yang berusaha beranjak duduk.
"Za, mending lo istirahat dulu aja deh." Tegur Tiara saat Alyzaa beranjak duduk. Memaksakan dirinya yang tampak kesulitan, bagaimana pun juga kondisi wanita itu masih belum bisa dikatakan baik-baik saja setelah apa yang dia alami saat ini.
"Za.."
"Please, Ra. Kasih tahu gue kenapa gue bisa ada di sini."
Tiara mendesah panjang, menatap Alyzaa yang hanya diam menatapnya menunggu.
"Lo bener-bener gak ingat apa pun?" Tiara kembali memastikan yang hanya dibalas Alyzaa dengan tatapan lurus.
"Za."
"Gak tahu, tapi gue berharap apa yang sekarang gue pikirin itu salah."
"Za..." Panggil Tiara, menatap Alyzaa yang saat ini menatap Tiara berkaca-kaca.
"Gue gak tahu apa yang terjadi. Tapi gue merasa semua kayak nyata."
"Za." Panggil Tiara, menggenggam tangan Alyzaa, meremasnya selagi wanita itu terus bercerita.
"Pemandangan itu, pengkhianatan itu, juga ... kecelakaan itu. Semua kayak nyata, Ra.''
Tiara beranjak bangkit, memeluk Alyzaa erat. Tubuh sahabatnya itu bergetar karna tangisnya.
"Gimana bisa, sih...?" Racaunya. "Rangga itu selama ini sayang banget kan sama gue? Dia cinta banget, kan?''
"Terus gimana mungkin dia selingkuh? Semua pasti cuman salah paham, kan, Ra?" Alyzaa mendongak, menatap Tiara yang kini juga mulai berkaca-kaca.
"Ra, coba lo nasehatin gue! Coba lo kasih tahu gue tentang Rangga. Ingetin gue tentang laki-laki itu, gimana selama ini dia begitu sayang sama gue. Gimana selama ini dia cinta banget sama gue. Lo sering bilang kalau gue beruntung punya dia kan, Ra? Lo sering bilang gue beruntung ketemu laki-laki sesempurna dia."
"Za.''
"Malam itu gue liat dia selingkuh, Ra. Tepat di depan mata gue." Adu Alyzaa. Meremas lengan Tiara yang memeluknya kuat. "Sekarang gue gak tahu harus gimana sama dia. Gimana bisa percaya sama dia lagi. Tapi gue juga gak mungkin ninggalin dia karna satu kesalahan ini aja, kan, Ra? Kebaikan dia banyak banget. Atau gue harus nanya alasan dia selingkuh, dan setelah itu kalau dia memang mau pisah-"
"Za, udah. Rangga udah tenang di sana. Kita udah gak akan bisa ketemu Rangga lagi."
Layaknya terhimpit ribuan ton besi tubuh Alyzaa seketika terasa sulit di gerakkan. Tenggorokannya bahkan layaknya di cekik kuat. Semua terasa begitu menyakitkan dan menyesakkan.
Yang awalnya semua terasa begitu menyakitkan, kini rasanya semakin berlipat-lipat menyakitkan. Tubuh Alyzaa bahkan terasa menggigil penuh ketakutan. Dia pasti salah dengar, kan? Pendengarannya pasti bermasalah kan? Atau Tiara yang sedang bercanda dengannya? Dia sedang salah bicara atau dia mencoba bergurau.
"Hahahah, gak lucu, Ra. Becanda lo sama sekali gak luc-"
"Gue sama sekali lagi gak bercanda, Za. Gue serius."
Alyzaa dengan cepat melepaskan rangkulan Tiara, menatap sahabatnya itu lurus dan juga marah.
"Tuhan lebih sayang sama Rangga. Begitu pun sama lo. Tuhan gak mau lo benci dia lebih lama, atau lihat lo hidup gak sama dia lagi padahal dia masih ada di dunia ini. Tuhan punya cara terbaik untuk-"
"Gak!" Geleng Alyzaa. Tampak ketakuatan.
"Za."
"CUKUP!" Teriak Alyzaa kuat. Nafasnya memburu dengan air mata kian deras, namun tak berapa lama dia bergerak mendekat ke arah Tiara, meraih tangan sahabatnya untuk dia genggam erat.
"Gue ... akan maafin Rangga.'' Tiara memalingkan wajahnya begitu Alyzaa menatapnya hancur.
"Ra, gue gak akan ungkit apa yang gue liat malam itu, gue akan pura-pura gak tahu. Gak liat apapun! Gue janji, Ra. Gue gak akan ngomong sama siapa pun." Alyzaa tampak mengiba. "Tapi gue mohon. Gue mohonnnn banget, Ra! Toloong antar gue ke ruangan Rangga. Tolong temenin gue jenguk dia."
"Zaaaa, jangannn begini." Alyzaa menggeleng. Kian erat meremas tangan Tiara.
"Gue udah terlanjur sayang banget sama dia. Gue udah terlanjur bergantung sama dia. Jadi tolong Ra, tolong gue. Sekali ini aja tolong bilang kalau semua cuman becandaan lo. Atau kalau enggak, bilang sama gue kalau semua cuman mimpi. Gue cuman perlu tidur dan setelah gue bangun, semua akan kembali seperti sedia kala. Atau gue lagi ada di malang pas bangun nanti, iya, kayaknya gue bener-bener batal pulang. Gue gak akan pernah kasih kejutan atau apa pun itu, Gue-"
"ALYZAA!" Tiara mencekram kedua pundak Alyzaa agar wanita itu berhenti berbicara omongkosong.
"Denger, gue!"
"... Gue bener-bener harus tidur sekarang. Gue...''
"Rangga udah benar-benar gak ada di dunia ini, Za! Dan lo harus bisa menerima itu!" Tiara menggoyang tubuh Alyzaa berharap sahabatnya itu akan sadar dan mengerti.
"Rangga udah pergi, Dia udah benar-benar gak ada di dunia ini. Dia udah benar-benar pergi!"
Alyzaa menatap Tiara linglung, baru saat Tiara mengangguk dengan wajah lemah. Tangis Alyzaa pecah sepecah pecahnya. Dia menangis dengan bibir terus meracaukan nama Rangga juga maaf. Memanggil nama pria itu juga berharap pria itu akan datang padanya seperti biasa.
***
Alyzaa menatap gundukan tanah di depannya dengan pandan kosong. Berkali-kali membaca nama seseorang yang selama tiga hari ini terus dia sebut namanya.
Setelah tiga hari dia di rawat di rumah sakit, pada akhirnya Alyzaa pun diijinkan pulang. Namun sebelum dia kembali ke rumahnya, dia memilih datang ke makam Rangga. Menjenguk pria yang selama tiga hari ini terus dia sebut namanya di sepanjang doanya.
"Sayang, mama tunggu di mobil?" Alyzaa menatap mamanya lama, baru kemudian mengangguk ala kadarnya.
"Jangan terlalu lama, ya? Kamu belum benar-benar pulih." Pesan mamanya Intan, yang dibalas Alyzaa dengan anggukan kepala.
Sepeninggalannya mamanya, Alyzaa kembali menatap gundukan tanah di depannya. Meletakkan bunga tulip putih yang dia bawa di sana.
"Hai..." Sapanya untuk pertama kali. Bibirnya tersenyum namun kedua matanya kembali berembun.
"Aku datang, kamu ... pasti nunggu aku, ya?"
Alyzaa menunduk, menyembunyikan lelehan air matanya yang kembali jatuh.
"Aku udah maafin kamu." UJarnya kembali mendongak.
Menarik nafas dalam, panjang, penuh sesak, lalu di hembuskan perlahan. Alyzaa kembali menatap nisan Rangga sendu.
"Aku minta maaf Rangga. Maaf. Aku benar-bener minta maaf..."
"Seandainya malam itu aku bisa bersikap dewasa. Lebih hati-hati dan dengerin penjelasan kamu, kamu gak akan marah dan pergi ninggalin aku kayak gini, kan? Kamu pasti masih ada di samping aku, kan?"
"Rangga... aku udah maafin kamu. Aku bakal lupain semua yang aku liat malam itu, tapi... Kamu juga udah maafin aku kan...? Kamu gak marah sama aku, kan?" Pandangan Alyzaa mengarah pada batu nisan di sampingnya. Menatapnya lama dan sendu.
"Tiara, gue mau lihat Rangga untuk yang terakhir kalinya. Tolong antar gue. Gue-"
'Za, Rangga udah dimakamin dari kemarin."
"Apa?!"
Tiara mengangguk, menatap sahabatnya kasihan.
"Gimana bisa? Gue istrinya, gimana bisa dia dimakamkan tanpa-''
"Dia gak dimakamkan sendiri.'' Potong Tiara. "Mertua lo. Papanya Rangga, juga dimakamkan kemarin. Bersamaan dengan Rangga."
"Apa?!"
"Mertua lo kena serangan jantung setelah mendengar kematian Rangga. Karna itu keluarga besar langsung makamin mereka tanpa nunggu lo.''
Alyzaa tak bisa berkata-kata lagi selain menatap Tiara syok. Dia tampak terkejut dengan apa yang sahabatnya katakan.
"Tapi tetap aja, Ra. Gue istrinya, gue seharusnya tahu dan liat Rangga untuk yang terakhir kalinya."
"Rangga bukan lagi laki lo, Za."
"Ya?"
Tiara menarik sebelah tangan Alyzaa, menunjukkan sesuatu yang tampak asing di matanya.
"Adek Rangga. Dia yang sekarang berstatus suami lo." Menarik nafas dalam. Tiara kembali meneruskan. “Dia nikahin lo tepat dihari meninggalnya Rangga.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
