Marriage proposal season 1

2
0
Deskripsi

Bab 1-12

Bab 1

"Kiara, mama gak mau tau, secepatnya kamu harus membawa calon suami. Kamu gak malu dengan sepupu mu, itu?"

Seru seorang wanita setengah baya pada wanita muda di sampingnya. Yang membuat Aiden yang berdiri di belakangnya mengernyitkan hidung.

Meski sedikit terganggu dengan pembicaraan dua wanita itu, namun Aiden tidak mengangkat wajahnya. Ia tetap menunduk dengan pandangan kearah ponsel pintarnya.

Lebih tepatnya pura-pura sibuk dengan ponselnya. Karna telinganya mendadak bersikap tidak sopan karena mendengarkan obrolan orang itu.

"Ma..."

Terdengar wanita muda itu menyela. Namun dengan cepat di potong oleh mamanya.

"Mereka bahkan sudah menikah, membina rumah tangga yang harmonis. Bahkan ada juga yang sudah memberikan cucu." Lanjutnya tak mengindahkan teguran putrinya. Terus mengoceh dengan wajah kesal.

Aiden hanya melirik sekilas pada dua wanita yang berdiri didepannya,  saling bicara tanpa melihat sekeliling. Jika seperti ini, dia seperti pecundang yang tengah menguping pembicaraan orang. Sungguh tidak sopan.

Tapi bagaimana, dia tidak bisa pura-pura tidak mendengar. Karna mereka berbicara lumayan keras. Hingga menarik perhatiannya.

"Mama itu malu, setiap arisan keluarga mereka selalu menanyakan hal yang sama." Omel Kinanti pada putrinya. Yang kini hanya menunduk dalam. Tidak berani mendebat mamanya.

"Denada Kiarani kapan nikah? Udah punya calon suami belum? Duh sayang banget, cantik-cantik gak laku." Ucap Kinanti.

Suaranya memperagakan ucapan beberapa keluarganya yang sering bertanya perihal putrinya. Lengkap dengan ekspresi wajahnya yang dibuat-buat tertarik.

Seolah mereka benar-benar peduli, tapi nyatanya. Cih, hanya kebusukan belaka.

"Mau bagaimana lagi ma, kan jodoh Kiara belum datang." Balas Kiara sekenanya. Sedikit enggan karna mamanya membahas perihal seperti ini di tempat umum.

"Dicari dong KIARA, dicari. Orang kamu nya aja malasnya gak ketulungan."

"Kerjaan kamu apa? Cuman makan tidur. Selain itu, ngumpet didalam kamar. Pantes nenek kamu gak pernah suka sama kamu. Orang kamu nya aja begini." Kiara mencebik mendengar omelan mamanya.

Beruntung, didalam lift hanya ada dirinya, juga pria yang entah siapa. Yang lebih fokus pada ponselnya.
Jika sampai ramai, Kiara tidak tau harus di letakkan di mana wajahnya. Dia pasti akan sangat malu setengah mati.

"Percuma kecantikan kamu itu gak di gunakan, buat apa? Benar kata nenek kamu, kamu itu gak bisa mama andalkan."

"Iya-iya, nanti Kiara nyari ma." Balas Kiara mengalah. Tidak lagi mendebat mamanya. Percuma, dia pasti akan kalah.

Diam-diam, Aiden menahan senyum melihat ekspresi wajah wanita didepannya. Lewat dinding lift didepannya.

Nampak lucu juga menggemaskan. 
Tak berselang lama, pintu lift terbuka. Keluar lah dua wanita yang sedari asik mengobrol meninggalkan Aiden didalam lift seorang diri.

Aiden sampai di gedung teratas. Lantai tiga puluh. Siang ini mamanya datang berkunjung ke kantornya. Sekaligus mengajaknya untuk makan siang bersama.

"Mom." Sapa Aiden pada wanita cantik yang kini berdiri memunggungi Aiden. Memperhatikan pemandangan didepannya.

Begitu menolah Ane menemukan putranya yang baru masuk kedalam ruangan. Lengkap dengan stelan kantornya.  

"Kamu baru datang?" Aiden hanya bergumam menjawab pertanyaan mommy nya. Namun kakinya tetap melangkah mendekat.

"Mana calon menantu mama, Aiden? Kamu tidak membawanya?" Tanya Ane begitu Aiden mengecup pipinya.

"Mom." Mohon Aiden memelas. Jika sudah membahas wanita mommy nya pasti akan mengomel panjang lebar. Dan telinganya akan sakit jika mendengar itu.

"Ini sudah tiga tahun, dan kamu belum bisa melupakan wanita itu?"

"Ini tidak ada hubungannya dengan dia mom." Ane berdecih mendengar Aiden mengelak tuduhannya.

"Lalu apa?" Desak Ane penasaran. Tubuhnya bersedekab menatap penuh pada Aiden yang kini melangkah kearah sofa.

Aiden mendesah lelah. Menatap mamanya memohon, lalu bertanya, berusaha mengalihkan pembicaraan Mommy nya. "Mommy ingin makan apa? Biar Aiden pesankan." Tanya Aiden meraih ponsel, bersiap menghubungi sekertaris nya.

"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan Aiden. Mommy tidak suka jika kamu selalu menghindar pembahasan ini."

"Mom."

"Temukan calon menantu mama secepatnya. Atau kamu akan menikah dengan wanita pilihan mommy." Perintah Ane menunjuk Aiden tegas.

"Aiden belum siap menikah dalam waktu dekat mom. Sedang banyak pekerjaan akhir-akhir ini."

"Harus." Potong nya tegas. "Jika kamu tidak ingin menikah secepatnya, mommy tidak akan pernah menganggap kamu putra mommy lagi." Ancam Ane semakin menjadi-jadi.

Aiden terbelalak mendengar ucapan mommy nya. Tidak mungkin ini hanya ancaman. Karna selama dia hidup, mommy nya tidak pernah mengancam Aiden.

Karna setiap ancaman yang dilayangkan mommy nya pada siapapun, itu bukan hanya ancaman biasa. Melainkan dia nyata adanya. Dan mommy nya tidak pernah bermain-main dengan ancamannya.

"Hanya menikahkan?" Tanya Aiden pada akhirnya.   Meletakkan ponselnya di atas meja. Melipat kakinya dengan tubuh bersandar.

Mengalah, baiklah sepertinya Aiden harus sibuk sebentar lagi. Mencari calon istri seperti keinginan mommy nya.

"Tentu saja tidak, mommy ingin pewaris keluarga Sincler secepatnya. CUCU." Tekan Ane di akhir kalimat.
Aiden mengusap wajahnya freustasi. Mengerang dengan wajah kesal. Sekarang bagaimana?

"Mom."

"Tidak ada tawar-menawar Aiden. Kamu pilih mommy yang mencarikanmu calon istri? Dan memberikan cucu secepatnya. Atau, kamu menemukan istrimu sendiri dan menikah."

"Atau kamu ingin menjadi anak durhaka? Dan mommy tidak akan menganggap kamu sebagai putra mommy lagi. Biar saja mommy dan Daddy tidak punya anak. Dari pada punya satu tapi begitu keras kepala... Bla bla bla...." Aiden merasa kepalanya ingin pecah saat ini juga.

Sudah ia duga jika mommy pasti akan mengomel panjang kali lebar seperti saat ini.

***

"Anda baik-baik saja, tuan?" Tanya Tomi saat melihat Aiden hanya diam melamun dari kaca spion.

"Hmm, entahlah.," Gumam Aiden. Melirik Tomi di depannya yang hanya diam dengan tatapan mata tak percaya.

"Kamu taukan apa permintaan mommy?" Aiden menghela nafas panjang, pikiran tentang mommy nya yang meminta dia untuk segera menikah belum menemukan titik terang.

Dia belum menemukan ide untuk menuruti atau menolak keinginan mommy nya.

"Saya rasa anda tidak akan sulit untuk mencari calon istri, tuan."

Aiden melirik Tomi yang tengah menyetir kemudi. Saran Tomi sama sekali tidak membantu. Dan dia sama sekali tidak tertarik untuk itu.

"Ya, tapi aku yang tidak tertarik untuk itu." Jawaban Aiden sudah sering Tomi dengar. Dan Tomi juga tau alasannya.

"Anda bisa mencobanya lebih dulu, tuan, tidak ada salahnya untuk mencoba."

Aiden bungkam, tidak menyahut ucapan Tomi. Lebih tepatnya pembahasan seperti ini sangat Aiden hindari.

"Sudan lama sekali, anda harus belajar, bangkit dari sana. Jangan biarkan masalah itu terus menakuti Anda. Anda harus bangkit tuan."

"Tomi." Tegur Aiden penuh peringatan. Matanya berubah tajam, menatap Tomi penuh peringatan.

"Maaf, tapi jika anda seperti ini terus kapan anda bisa bangkit. Anda harus mulai memikirkan masa depan anda, tuan."

"Berhenti berbicara omong kosong, Tomi." Geram Aiden. "Apa kamu tidak bisa melihat jika sejauh ini aku baik-baik saja?"

"Ya tapi--"

"Cukup Tomi." Sela Aiden dingin. Emosinya terasa merambat naik, setiap kali pembahasan sensitif yang membuat mereka akan berdebat panjang. Aiden tidak suka, tidak akan pernah suka jika seseorang mengungkit masalah ini.

"Kamu disini berkerja untuk ku. Dan aku tidak mau jika kamu melewati batas." Setelah mengatakan ultimatum itu Tomi benar-benar membungkam mulutnya. Tidak membuka mulut lagi. 
Karna dia tau jika Aiden sudah menegurnya sampai ke status mereka. Itu artinya Aiden sudah benar-benar marah.

Bab 2

Aiden mengetuk-ngetuk kan jari telunjuknya di atas meja kerjanya. Menatap malas pada layar leptop yang menunjukkan grafik saham perusahaannya.

Sesekali matanya melirik kearah sekertarinya yang kini sibuk dengan pekerjaan yang telah ia berikan. 
Setelah perbincangan panas itu, Aiden belum banyak bicara lagi dengan Tomi. Dia lebih banyak menghindar lebih tepatnya.

Namun dia juga belum bisa jika mereka harus membahas masalah sensitif itu. 
Tapi Tomi juga tidak sepenuhnya salah, dia harus mencoba, jika tidak ingin terus-menerus seperti ini.

"Tomi." Panggil Aiden pada asisten nya. Yang kini tengah sibuk dengan berkas di meja, duduk di sofa. Banyak tumpukan dokumen di depannya. Lengkap layar leptop yang menyala.

"Ya tuan? Ada yang bisa saya bantu?" Tomi berdiri dari duduknya, berjalan mendekat kearah Aiden.

Sejenak Aiden terlihat gelisah, dia bingung harus mengatakan apa? Dia juga bingung harus memulai dari mana. 
"Apa ada masalah tuan?"

"Tidak." Balas Aiden menggeleng.

"Kembalilah bekerja, nanti kita bicarakan lagi."

"Apa anda ingin mengatakan sesuatu? Ada apa tuan, katakan saja?"

Aiden menatap Tomi ragu. "Apa menurut mu, aku bisa mencobanya?"

"Ya, tentu saja tuan. Jika perlu kita bisa ke piskiater untuk berkonsultasi."

"Tidak." Tolak Aiden cepat. "Aku tidak siap jika semua orang tau."

"Maksud anda?"

"Lupakan." Aiden menepiskan tanganya. "Sepertinya aku akan menikah." Lanjut Aiden tiba-tiba.
Tomi menatap Aiden tidak percaya, lebih tepatnya kata-kata Aiden tidak bisa dia percaya.

"Kamu benar Tomi, tidak ada salah nya aku mencoba. Karna itu aku ingin mencoba menikah pura-pura."

"Anda barusan mengatakan apa, tuan?" Tomi masih tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Hingga dia meminta Aiden mengulangi kata-katanya.

"Aku tidak akan mengulangi kata-kata ku." Sengit Aiden. Wajahnya sudah memerah saat ini. Entah karna malu atau kesal. Tapi yang jelas merah bukan marah.

"Lalu apa rencana anda, tuan? Siapa gadis yang akan anda ajak untuk menikah?"

"Nanti, kita akan mencarinya. Untuk saat ini aku belum memiliki kandidat yang cocok."

Tomi mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Tidak berbicara lagi.

"Jika anda mau, saya bisa mencarikan wanita malam untuk mulai membiasakan diri anda, tuan? Agar nanti jika--"

"Tidak."

"Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama seperti tiga tahun yang lalu." Dengan cepat Aiden menambahkan. Wajahnya nampak murung kali ini.

"Baiklah, tuan. Tapi saran saya, lebih baik jika wanita yang anda cari itu juga membutuhkan anda. Hingga bisa di bilang jika nanti anda menikah dengannya, kalian bisa saling membutuhkan."

Ucapan Tomi mengingat kan Aiden pada sesuatu yang pernah ia alami. Lebih tepatnya kejadian beberapa hari lalu. Hingga ia memiliki ide untuk rencananya.

"Tomi?" Tomi mendongak, menunggu Aiden meneruskan ucapan nya. 
"Sepertinya, aku punya tugas untukmu. Tolong selidiki gadis bernama Denada Kiarani."

"Denada Kiarani?" Ulang Tomi menatap tak mengerti Aiden. Bosnya nampak menganggu dengan tubuh bersandar di kursi, tanganya terdapat pulpen yang dimainkan.

"Ya."

"Saya bisa memulai dari mana penyelidikannya, tuan?"

Gerakan tangan Aiden terhenti. Benar, harus dari mana Aiden menjelaskan. Tidak mungkin dia mengatakan lewat lift, jika begitu dia bisa di bilang tukang menguping pembicaraan orang.

"Aku tidak punya apapun, aku hanya tau namanya. Denada Kiarani."

"Apa anda mempunyai fotonya, tuan?" Sekali lagi Tomi mencoba peruntungan lain.

"Tidak." Aiden menggeleng tegas.

"Lalu bagaimana cara saya menyelidiki wanita itu? Jika hanya nama, saya rasa ada banyak nama Denada Kiarani di kota ini, tuan."

Aiden menghela nafas panjang, menatap tajam Tomi yang kini berdiri didepannya. Nampak frustasi dengan perintahnya.

"Aku tidak mau tau, yang terpenting kamu harus mencari gadis yang bernama Denada Kiarani. Tidak peduli ada seribu gadis di kota ini yang bernama Denada Kiarani. Yang terpenting, kamu harus menemukan gadis yang aku cari." Sungut Aiden yang diangguki pasrah oleh Tomi.

"Dan satu lagi, aku tidak bisa menunggu lama. Jadi usahakan secepatnya kamu menemukan wanita itu."

****

Sudah tiga hari Aiden menunggu hasil pencarian Tomi, tapi hingga detik ini, Tomi belum juga menemukan wanita itu.

Frustasi, itulah yang Aiden rasakan. Dan sekertarinya juga nampak kesulitan, karna biasanya Tomi bekerja hanya butuh beberapa jam. Tapi kali ini, lumayan lama hingga berhari-hari. 
 
"Bagaimana?" Tanya Aiden ketika dia berjalan mengelilingi mall, mengecek perkembangan salah pusat perbelanjaan miliknya. Diikuti Tomi di belakangnya.

"Saya sudah menemukan beberapa wanita yang bernama Denada Kiarani, tuan, lengkap dengan identitas juga fotonya. Sesuai keinginan anda." Jawab Tomi mengingat dia sudah menemukan beberapa wanita sesuai nama yang di sebutkan oleh Aiden.

Tomi masih berjalan di belakang Aiden. Mengikuti kemanapun Aiden pergi. Karna siang ini, jadwal kunjungan rutin mereka ke mall.

"Jika anda mau, saya bisa menunjukkan nya sekarang." Tomi menawarkan. Yang diangguki setuju oleh Aiden.

"Baiklah, kita keruangan ku sekarang." Balas Aiden cepat, tak ingin membuang kesempatan. Karna dia sudah tidak sabar untuk melihat hasil penyelidikan asistennya.

Dan semoga saja, dari hasil penyelidikan Tomi beberapa hari ini ada Denada Kiarani yang Aiden maksud. Hingga dia tidak akan kecewa. 
Namun ketika mereka melewati pintu kaca toko salah satu toko barang branded, samar-samar Aiden mendengar suara seseorang.

"Apa ada warna lain untuk koleksi tas ini?"

Langkah Aiden melambat, lalu terhenti begitu pendengaran nya menangkap suara seseorang yang dia kenali. Meski samar. Karna jarak antara wanita itu dan Aiden lumayan jauh.

Begitu menoleh,  seorang wanita didalam salah satu toko barang branded berpakaian kasual  tengah berdiri didepan pramuniaga toko.

Wanita itu membelakangi Aiden, tapi Aiden dengan jelas melihat postur tubuhnya. Sangat mirip dengan wanita yang ia temui di lift siang itu.

Punggung nya, rambutnya, juga bentuk tubuhnya.  Sangat sama dengan wanita yang Aiden maksud.

Dia terlihat berbincang dengan pramuniaga, ada tas tanganya yang dia putar-putar. Memeriksa tas tangan itu lebih tepatnya.

"Maaf, nona. Ini hanya tinggal satu. Dan kita tidak punya warna lain. Karna tas ini memang edisi terbatas." Balas pramuniaga sedikit menyesal.

"Tomi." Panggil Aiden tanpa mengalihkan pandangannya. Tatapannya tetap fokus pada satu titik, yaitu punggung wanita  itu.

"Iya, tuan." Balas Tomi mengikuti arah pandangan Aiden. Dipandangnya Aiden dan dua wanita itu secara bergantian. 
"Sepertinya, aku sudah menemukannya.." Ucapnya menunjuk dua wanita dengan dagunya. Tanpa menunggu balasan dari Tomi, Aiden langsung masuk kedalam toko.

Melangkah mendekat kearah dua wanita itu. Dan entah mengapa mendadak Aiden merasakan perasaan yang aneh. Ada sebuah gelenjar aneh dalam hatinya.

Hingga dia begitu penasaran pada wanita itu. Begitu penasaran nya, dia sampai tidak sabar melihat wajahnya. 
"Denada Kiarani?"


Bab 3

"Denada Kiarani?"

Merasa di panggil, Kiara pun menoleh.

"Ya?"

Aiden berhenti melangkah ketika wajah tak asing itu menoleh kearahnya. Namun, matanya seakan tak bisa mengalihkan pandangannya. Hingga dia membeku sekanak. Terkunci pada dua bola mata wanita itu.

Ditatapnya pria asing yang berdiri tidak jauh darinya. Namun dia hanya membeku. Tidak melakukan apapun selain menatapnya lurus. Sampai dia berdehem, lalu melangkah mendekat.

"Bisa kita bicara sebentar?" Ucap Aiden berjalan semakin dekat dengan Kiara.

"Apa saya mengenal anda?" Tanya Kiara bingung. Karna dia merasa tidak mengenal pria itu.

Aiden hanya tersenyum tipis, tidak mengangguk atau menggeleng. "Kita bisa mencari tempat private jika anda setuju?" Tawar Aiden yang semakin menambah Kiara bingung.

***

Mereka duduk di sebuah restoran Jepang yang menyongsong konsep privat, hanya berdua.

Dengan Kiara yang duduk tepat di depan Aiden. Duduk dilantai beralaskan bantal. Mereka saling menatap satu sama lain, tapi belum ada yang membuka suara.

"Jadi.... Apa saya mengenal anda?" Tanya Kiara setelah diam beberapa menit. Diperhatikan nya pria yang duduk di depannya.

Tidak bisa dikatakan biasa, karna wajahnya nampak menyilaukan mata.

"Tidak, ini pertama kali kita bertemu." Balas Aiden dengan percaya dirinya.

"Perkenalkan, saya Aiden." Lanjut Aiden beberapa saat kemudian. Sambil menyodorkan tanganya kearah Kiara.

"Saya kira anda sudah tau siapa nama saya." Balas Kiara yang menatap uluran tangan Aiden malas. Membuat Aiden tersenyum tipis. Ikut menatap uluran tangannya.

"Jadi saya tidak perlu memperkenalkan diri saya lagi, kan?" Aiden menurunkan uluran tanganya. Senyum tipis masih tersemat di wajah Aiden. Tidak menutupi jika dia senang dengan cara wanita di depannya bersikap.

Menarik.

"Lalu, apa yang ingin anda bicarakan kepada saya? Sedang ini pertama kali nya kita bertemu."

"Santai saja, anda ingin memesan sesuatu?"  Sahut Aiden mendorong buku menu lebih dekat kearah Kiara. Mempersilahkan Kiara memesan lebih dulu.

Kiara berdecak, semakin menatap kesal pria asing didepannya. "Saya tidak suka berbasa-basi. Jika anda hanya ingin membuang-buang waktu saya, dan berniat modus untuk mendekati saya. Lupakan, saya tidak tertarik dengan pria yang berprofesi sebagai penjaga toko."

"Penjaga toko?" Ulang Aiden bingung. Bagaimana bisa wanita di depannya menganggap dirinya pegawai toko?
Namun jawaban Kiara lengkap dengan tatapan matanya kearah pakaian Aiden menjawab pertanyaan Aiden. .

"Ya, bukankah anda penjaga toko?" Tanya Kiara dengan alis terangkat tinggi.  

Mengikuti arah pandang Kiara, Aiden terkekeh pelan.

Dia bahkan baru sadar jika pakaiannya kini hanya kemeja putih dengan celana bahan hitam. Tanpa jas juga embel-embel lainnya. Yang biasa ia gunakan.

Sangat mirip dengan pakaian penjaga toko tempat Kiara belanja tadi. Pantas saja dia menganggap Aiden penjaga toko. Namun Aiden  tidak berniat mengelak tuduhan Kiara tentang profesinya.

Membiarkan wanita itu berpikir profesinya sesukanya.

"Jadi menurut anda, saat ini saya berniat modus?"  Aiden yang tidak bisa menutupi nada geli nya, tangannya sibuk membuka-buka buku menu. 
Dia begitu menikmati obrolan nya dengan Kiara. Tak berniat sedikit pun untuk cepat mengakhirinya.

"Ya, memangnya apalagi. Anda menyapa saya tiba-tiba, lalu mengajak saya mengobrol. Diruang private."

"Apa ada sebutan lain selain modus?" Lanjutnya kian percaya diri.

"Ya anda benar."

Wanita didepannya benar-benar memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

"Jadi sudah jelas bukan, saya tidak tertarik dengan anda. Dan jangan pernah bermimpi untuk bisa mendekati saya." Seru Kiara tanpa ragu. Dan hampir membuat Aiden tertawa lepas. 
Kiara yang melihat Aiden menahan senyum mengerutkan kening, satu alisnya terangkat tinggi.

'Apanya yang lucu? Kenapa dia terlihat menahan senyum Seperti itu?' Kiara membatin.

"Apa itu artinya saat ini anda menolak saya?" Buku menu ditutup. Diletakkan di atas meja. Sorot mata Aiden sepenuhnya menatap Kiara. 
Ditatap begitu intens, membuat Kiara salah tingkah.

"Ya."

Aiden terkekeh geli, dengan kepala menggeleng-geleng tak habis pikir. Namun matanya tidak lepas menatap Kiara.

'Wanita ini benar-benar, lucu.'

"Pasti anda sudah biasa di tolak, hingga anda bersikap biasa seperti ini?" Sinis Kiara karna mendapatkan tanggapan biasa dari Aiden.

Tanpa menunggu balasan Aiden Kiara buru-buru bangun, lalu meninggalkan Aiden begitu saja. Tanpa berniat menoleh pada Aiden dibelakangnya. Dia terus melangkah pergi.

"Kiara, tunggu." Panggil Aiden yang melihat Kiara keluar tanpa permisi. 
Buru-buru bangun dari duduknya, Aiden bergegas menyusul Kiara. Tapi langkahnya melambat begitu menemukan Kiara yang berhenti tidak jauh darinya. Dengan seorang wanita tak kalah cantik berdiri didepannya. 
Mereka terlihat berbincang. Dan jarak antara Aiden dan mereka kira-kira hanya lima langkah. Hingga Aiden hanya diam di tempat nya berdiri. Tak berniat pergi ataupun berbalik.

"Apa yang kamu lakukan disini, Kiara?"

"Bukan urusan mu." Ketus Kiara tak berniat berlama-lama mengobrol dengan sepupunya. Dia terlihat enggan, bersiap pergi sebelum suara Gisella kembali terdengar menghentikan niatnya.

"Oh, sayang sekali. Apa kamu sudah mau pulang? Jika belum, aku ingin menawarkan makan malam bersama."

"Malam ini kekasih ku ingin menawarkan makan malam romantis. Yah, karna sibuknya perkerjaannya, membuat kami jarang bertemu. Jika kamu mau bergabung--"

"Tidak, terima kasih." Potong Kiara cepat.

"Aku bisa mencarikan mu teman kencan jika mau? Atau, aku yakin kekasih ku memiliki banyak teman pria. Aku bisa menyuruhnya untuk memperkenalkan dirimu." Kiara menggeram frustasi. Kenapa semua orang disekitarnya selalu bersikap menyebalkan?

"Bukankah kamu hingga detik ini belum memiliki kekasih?" Lanjutnya meledek.

"Punya atau tidak, tidak ada hubungannya dengan mau Gisella. Jadi urus saja urusan mu, jangan ikut campur urusan ku."

"Jangan sombong Kiara, pantas saja tidak ada yang mau dengan mu. Sikap mu saja seperti ini."

"Kaku dan keras kepala." Sambung Gisella sinis.

Kiara sudah jengah, hingga tanpa mengatakan apapun dia pun berniat pergi. Tapi lagi-lagi Gisella menahan lengannya.

"Lepas." Geram Kiara datar.

"Aku hanya ingin berbaik hati pada mu, Kiara. Karna aku kasihan pada mu, setiap hari hanya jadi bahan gunjingan keluarga. Tapi sepertinya, kamu--."

"Aku tidak butuh belas kasihan dari mu." Sela Kiara cepat. "Dan siapa bilang aku tidak memiliki kekasih?"

"Jadi kamu sudah memiliki kekasih?" Balik tanya Gisella terdengar kaget.

"Ya..." Jawab Kiara ragu. Bola matanya terlihat gelisah. Bertanda ia tengah mencari ide kini. Takut jika Gisella mengetahui jika saat ini dia tengah berbohong.

Lalu bagaimana sekarang?

"Oh benarkah? Kenapa aku tidak percaya dengan kata-kata mu?"

Kiara hanya mengangkat bahu acuh.

"Aku juga tidak butuh kepercayaan mu." Balasnya dengan santainya. Menutupi kegelisahannya.

"Lalu kenapa hingga detik ini kamu tidak pernah membawanya ke arisan keluarga? Kenapa kamu tidak pernah memperkenalkannya pada kami?"

"Itu, karna kami... sedang mempersiapkan pernikahan." Ragu, itulah jawaban Kiara saat ini. "Ya, kami sedang mempersiapkan pernikahan." Lanjutnya terkekeh canggung. Sebisa mungkin menutupi kegelisahannya.

"Benarkah?" Gisella masih tidak puas dengan jawaban Kiara.

"Sayang."


Bab 4

"Sayang."

Kiara mungkin sudah gila, benar-benar gila hingga memanggil pria yang baru di temuinya beberapa jam yang lalu dengan panggillan sayang.

Bahkan lebih gilanya lagi, pria itu baru saja ia tolak mentah-mentah. Jika sampai pria itu tidak mau membantunya, Kiara siap mati detik ini juga.

"Kenapa lama sekali di dalam?" Tanya Kiara begitu Aiden berdiri di sampingnya. Menelan ludah susah payah sebelum menatap Aiden penuh harap.

Berharap Aiden mau membantunya kali ini.

"Dia ... kekasih mu?" Tanya Gisella menunjuk Aiden yang kini berdiri disamping Kiara.

"Y---a." Jawab Kiara kian gugup, sedikit merapatkan tubuhnya pada Aiden. Ragu-ragu meraih lengan Aiden untuk dia peluk.

Padahal jantungnya sudah bertalu-talu ingin keluar. Namun sebisa mungkin dia bersikap biasa saja.

"A--aiden, perkenalkan ini Gisella, sepupuku." Gagap Kiara memperkenalkan Aiden. Beruntung Aiden tidak mengatakan apa pun selain memperkenalkan dirinya.

Di luar dugaan, Aiden seakan mau membantunya dan itu adalah keberuntungan yang tak bisa Kiara jelaskan.

"Gisella."

"Aiden." Aiden menerima uluran tangan Gisella. Bisa ia rasakan jika saat ini tubuh Kiara terasa bergetar.

Apa dia takut?

Bagus, Aiden bisa menggunakan ini sebagai kesempatan untuk menekan gadis galak ini.

"Jadi kamu benar-benar memiliki kekasih?" Tanya Gisella masih ragu, namun kepalanya menoleh kearah Kiara.

"Ya." Jawab Kiara mengangguk mantap. Ekor matanya melirik Aiden yang hanya diam sedari tadi.

Di dalam hati berharap jika Aiden tidak akan menepis semua kata-kata Kiara. Dan membongkar kebohongannya detik ini juga.

"Baiklah, lain kali kita akan mengobrol lagi. Sekarang aku harus pergi." Ucap Gisella ketika ada seseorang yang memanggil dirinya.

Kiara hanya mengangguk sekilas, tidak tertarik menanggapi. Namun paru-parunya terasa longgar, dan Kiara seperti di terpa angin segar.

"Tapi, Kiara," Kiara menelan ludah gugup, matanya melirik Gisella yang berdiri dengan mata menatap Aiden lurus.

Sekilas Kiara merasa was-was, takut jika Gisella akan tau kebohongannya.

"Tidak ada salahnya jika acara arisan minggu depan kamu membawa Aiden." Ucapnya tiba-tiba yang hampir membuat Kiara kehilangan nafas.

"Keluarga kita berhak tau seperti apa calon suami kamu, Kiara." Lanjutnya sebelum pergi meninggalkan Kiara yang menatap punggungnya kesal.

***

Kiara menghembuskan nafas lega, begitu terbebas dari Gisella sepupunya. Seumur hidup, dia memang tidak pernah akur dengan Gisella. Ada saja yang membuat mereka tidak akur. Baik keluarga, sekolah, atau bahkan pria. 
Mungkin karna mereka dari keluarga yang berbeda, orang tua Gisella lebih kaya dari keluarga Kiara. Hingga dia bisa bersikap seenaknya pada Kiara. 
Dan Kiara benci itu.

Benci ketika seluruh keluarganya lebih mengulung-ulungkan Gisella. Selalu memanjakan Gisella layaknya putri. Menuruti semua keinginannya, layaknya ratu.

Sedang Kiara, dia sudah seperti anak tiri. Di gunjingkan, di bedakan, hingga kadang selalu dianggap tidak ada. Dan dia benci itu.

Benci ketika Gisella seolah selalu menjadi pusat dunia. Bahkan disekolah pun begitu, wanita kaya yang baik hati.

Cih, mereka bahkan tidak tau bagaimana sifat asli Gisella. Jika tau, masih mau kah mereka memanggil Gisella dengan sebutan itu. Bahkan kekasih Kiara pun pernah jatuh hati padanya. Dan alasan tak masuk akal yang pernah Kiara dengar adalah, Gisella adalah gadis sempurna yang ada dimuka bumi ini.

"Jadi sekarang kita sepasang kekasih?" Tanya Aiden begitu mereka kembali duduk di ruang privat. Ada nada geli bercampur jenaka di dalamnya.

"Tidak." Ketus Kiara.

"Kamu tau kan, jika tadi aku berbohong. Dan kamu tidak perlu menganggapnya serius." Aiden menatap Kiara tidak puas. Hingga ia berniat membuat perhitungan pada wanita di depannya.

"Oh, berarti anda tidak keberatan jika saya menemui sepupumu. Mengatakan jika tadi dia salah paham. Karna kita bukanlah sepasang kekasih, ralat calon pengantin lebih tepatnya."

"Sialan, kamu mengancam ku?"

"Tidak, saya hanya ingin menegaskan."

"Agar dia tidak salah paham disini. Kamu ingatkan, jika dia berniat mengumumkan hubungan kita di acara keluarga anda minggu depan?" Lanjutnya lebih santai, tidak terpengaruh dengan tatapan mata Kiara yang menatapnya tajam, juga wajah Kiara sudah memerah lantaran emosi.

"Apa yang kamu inginkan?" Tanya Kiara menyabarkan diri, berusaha sebisa mungkin menekan emosinya. Tidak ingin Aiden semakin berniat menemui Gisella.

Jika itu terjadi, dia akan semakin tidak memiliki muka untuk bertemu dengan keluarganya. Karna Gisella tidak akan melepaskan kesempatan emas ini, untuk mengolok-olok Kiara.

"Apa kamu ingin mengatakan jika saat ini kamu ingin membuat penawaran dengan saya?" Balik tanya Aiden.

"Katakan apa yang kamu inginkan, asal kamu tidak mengatakan pada Gisella tentang kebohongan kita."

"Jadi sekarang kamu berubah pikiran?" Kiara mengerang, ingin sekali menyumpal mulut sialan pria didepannya. Yang seolah-olah mengejeknya.

Tadi Kiara jual mahal, dan sekarang malah menyerahkan diri. Kiara ingin berteriak jika saja bisa.

Aiden begitu menikmati wajah kesal Kiara. Hingga ide gila tiba-tiba tercetus di kepalanya. Sekaligus bisa membebaskan dirinya dari ancaman mommy nya.

"Bagaimana jika kita menikah? Saya bersedia menjadi suami kamu. Asal--"

"Asal?"

"Kamu bersedia memberikan saya keturunan tanpa hubungan suami istri."

"Maksud mu?"

"Bayi tabung." Diam sejenak. "Saya ingin kamu memberikan saya keturunan lewat bayi tabung."

Kiara menganga, menatap Aiden semakin tidak percaya. Barusan dia bilang apa? Keturunan? Bayi tabung?

Dasar gila.

"Jangan salah paham." Buru-buru Aiden menambahkan.

"Saya menginginkan keturunan lewat bayi tabung karna saya tidak akan mengambil kesempatan untuk menyentuh kamu. Dan tentu saja tidak akan ada kontak fisik. Jika itu yang kamu takutkan."

"Saya bukan pria brengsek yang akan mengambil kesempatan untuk melakukan hal-hal gila. Jadi, kita hanya akan menikah. Tanpa kontak fisik. Anggap saja kita menikah untuk kepentingan kita masing-masing."

"Dasar gila." Raung Kiara tak lagi bisa menahan rasa kesal di hatinya. Apa yang Aiden pikirkan hingga dia berpikir Kiara mau menikah dengannya?

Kiara tidak sebodoh itu hingga mau saja menikah dengan perjanjian konyol.

Apalagi dengan pria yang jelas-jelas gila?

"Apa kamu pikir aku mau menikah dengan mu?" Jeritnya kian melengking. Yang mampu membuat Aiden terlonjak kaget.

"Jadi kamu tidak mau?" Balik tanya Aiden setelah menguasai diri dari keterkejutannya.

"Dasar gila." Sekali lagi, Kiara meraung keras. Mengusap wajahnya yang terlihat frustasi.

Mimpi apa dia semalam. Hingga bertemu dengan pria sinting dengan penawaran yang tidak masuk akal.
"Simpan dalam-dalam angan-angan gila, mu itu. Karna aku tidak akan pernah mau menikah denganmu." Tambah Kiara beranjak bangun.

"Sekalipun di dunia ini hanya ada kamu." Jari telunjuk Kiara mengarah tepat kearah Aiden. Lalu padanya. "Aku lebih baik menjadi perawan tua ketimbang menuruti ide gila mu." Sambungnya melenggang pergi.

"Kiara?" Panggil Aiden bangun dari duduknya. Hingga menghentikan langkah kaki Kiara. "Jika kamu berubah pikiran, kamu bisa datang ke toko saya." 
Aiden sepertinya sinting, benar-benar sinting sampai bibirnya berbicara seperti itu.

Melihat tak ada respon dari Kiara, Aiden mengusap wajahnya frustasi. Sepertinya kali ini dia gagal, dan dia tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran mommy nya.


Bab 5

"Anda yakin akan menghadiri acara makan malam ini, tuan?" Pertanyaan bernada ragu dari Tomi hanya di balas anggukan kepala oleh Aiden.

"Ya, tidak ada salahnya kita menghadiri nya kan?." Balik tanya Aiden.

Untuk beberapa saat Tomi mengangguk ragu. "Tapi, tuan, perusahaan itu hampir bangkrut. Dan yang terakhir kali saya dengar, mereka juga licik." Saut Tomi setelah diam.

Aiden berhenti melangkah, menoleh kearah Tomi yang berdiri disampingnya yang ikut menghentikan langkah kakinya.

Mereka kini berada di sebuah restoran bintang lima. Untuk menghadiri undangan makan malam sambutan dari salah satu teman papanya.

"Kita datang kemari, hanya akan menghadiri undangan Tomi. Bukan bekerja sama dengan perusahaan itu. Lagi pula saya tidak berniat untuk menyetujui kontrak yang mereka ajukan."

"Dan soal kabar miring itu, saya juga sudah mendengarnya, saya datang hanya untuk menggantikan papa. Kamu tau kan pria tua itu teman papa? Dan papa meminta saya untuk menghadiri undangan itu." Penjelasan panjang lebar Aiden di balas anggukan mengerti oleh Tomi.

Hampir dia berpikiran buruk tentang bosnya.

"Baiklah, tuan, saya mengerti." Balas Tomi menunduk.

Mereka masuk ke dalam lift, Tomi menekan tombol yang akan membawa mereka ke lantai tiga. Tapi belum sampai di lantai tiga, liift yang mereka naiki berhenti di lantai dua, pintu terbuka.

Seorang wanita dengan dress terusan berwarna hitam masuk ke dalam lift. Sejenak dia cukup terkejut dengan seorang yang berada di dalam lift.  Seseorang yang dia kenal. Memberikan tawaran gila yang tak masuk akal.

"Kiara?" Aiden lebih dulu menyapa, sedang Kiara hanya diam. Namun pandanganya tidak lepas dari Aiden. 
Tanpa menjawab sapaan Aiden, Kiara masuk. Berdiri di samping Aiden.

Tubuhnya bergeser sedikit jauh. Karna di lift hanya berisi tiga orang, hingga lift masih sangat longgar.

Aiden yang mengerti Kiara nampak tak nyaman dengan nya pun ikut bergeser. Memberi jarak antara dirinya dengan Kiara.

Mereka hanya diam, hingga lift yang membawa mereka ke lantai tiga. Dan mereka pun  hanya diam dengan pandangan fokus ke arah dinding lift di depannya. Atau lebih tepatnya, pura-pura menganggap tidak ada orang di sampingnya.

Pintu lift terbuka, Kiara keluar begitu pun Aiden yang keluar diikuti Tomi di belakangnya.

Mereka berjalan berlawanan arah, Kiara ke kanan sedang Aiden kekiri. Mereka hanya terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

"Tomi."

"Ya, tuan?"

"Kamu bisa temui mereka dulu, saya ke toilet sebentar." Ucap Aiden beberapa saat, begitu mereka hampir sampai di ruangan kolega papanya. Entah mengapa mendadak ia ragu.

"Baik, tuan."

Setelah memberi perintah pada Tomi, Aiden berbalik melangkah berlawanan arah dengan Tomi. Membiarkan Tomi masuk lebih dulu keruangan itu, dan Aiden menuju toilet.

Aiden hampir sampai di toilet pria sebelum seseorang menabrak pundaknya keras. Seorang wanita yang berjalan tergesa-gesa di belakang Aiden hingga berhasil menabrak pundaknya.

Begitu menoleh, Aiden menemukan wajah sebab Kiara. Lengkap dengan wajahnya yang menunduk.

Kiara pun sama terkejutnya dengan Aiden, hingga ia hampir membuka mulut. Tapi berhenti ketika Aiden hanya melengos. Tidak ingin bertatap muka dengan Kiara lebih lama. Mengabaikan wajah berantakan Kiara.

"Aiden." Panggil Kiara begitu Aiden hampir masuk ke dalam toilet pria. 
Aiden hanya diam, tidak berbalik atau menjawab panggilan Kiara. Dia hanya menghentikan langkah kakinya, berdiri mematung di tengah-tengah pintu.

"Apa tawaran kamu masih berlaku untuk ku?"

*****

Kiara membawa Aiden ke sebuah ruangan yang terdapat meja panjang dengan banyak sekali jamuan. Hampir setiap kursi sudah diduduki.

Mereka yang terlihat asik berbincang pun seketika berhenti, menoleh ke arah Kiara yang menggandeng Aiden mendekat.

"Mereka keluarga ku." Bisik Kiara pada Aiden. Yang diangguki mengerti oleh Aiden.

Kiara tadi sempat menjelaskan singkat pada Aiden, jika saat ini dia tengah menghadiri acara  makan malam untuk perayaan ulang tahun neneknya. Istri dari tuan Addison Wesley yaitu Margaretha Wesley. Sedang  kedua orang tuanya bernama Derren Ricolas dan Kinanti Wesley.

"Selamat malam semua. Maaf karna saya terlambat. Perkenalkan, saya Aiden." Aiden membungkuk sopan. Memperkenalkan dirinya di depan para keluarga Kiara. Sengaja tidak menambahkan Sincler. Ingin melihat bagaimana respon keluarga Kiara, dari cerita Kiara kakek dan neneknya tidak terlalu menyukainya.

Hingga sedari tadi mereka selalu menyudutkan Kiara. Karna itulah Kiara menyetujui ide yang dia tawarkan beberapa hari yang lalu.

Dan kini semua orang pandangannya pun fokus pada Aiden. Memperhatikan Aiden secara seksama.

"Jadi kamu adalah pria pilihan cucu saya, Kiara?" Tanya salah seorang wanita tua yang duduk di samping pria tua. Menatap Aiden dengan tatapan mata menilai. Aiden yakin jika itulah nenek Kiara, Margaretha Wesley. Yang saat ini tengah berulang tahun.

"Benar, malam ini saya juga berniat ingin melamar cucu anda." Balas Aiden sopan. Sesopan mungkin lebih tepatnya. Bahkan ia membuat suaranya begitu lembut.

"Punya apa kamu mau melamar cucu saya?" Kini pria tua di samping wanita tua itu yang angkat bicara. Taun Addison Wesley.

"Aiden punya toko sepatu." Kiara yang menjawab cepat. Tidak ingin Aiden mengatakan jika ia hanya seorang penjaga toko.

"Toko sepatu?" Pekikan tak percaya terdengar dari kursi lain.

"Ya, dia juga memiliki toko tas branded. Dan dia berencana melebarkan bisnisnya." Sebelah alis Aiden terangkat, menoleh ke arah Kiara dengan bingung.

Apa maksudnya itu?

"Maksud mu, calon suami mu itu dari kalangan bawah?" Margaretha memekik kaget.

"Dia masih muda, dia juga pekerjaan keras." Dengan lantangnya Kiara menjawab. "Kiara yakin jika kami bisa memulai berbisnis dari bawah. Iya kan, Pa?" Lanjut Kiara meminta dukungan dari papanya. Yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Aiden. Atau menilai penampilan Aiden lebih tepatnya.

"Kiar---" Aiden sudah mau menyela, tapi urung ketika Kiara menoleh padanya. Dari tatapan matanya Aiden mengerti jika dia harus diam.

"Kamu lihat, Derren, putri mu ingin menikahi pria miskin."

"Ma, tidak apa-apa. Setidaknya mereka saling mencintai." Mama Kiara, Kinanti yang sedari tadi hanya diam akhirnya angkat bicara.

Dan membuat Kiara mengukir senyum tipis pada mamanya. Bersyukur setidaknya mamanya masih mau membantunya.

"Saling mencintai? Kamu kira dengan saling mencintai bisa hidup bahagia?" Ejek Margaretha sinis.

Tangannya pun melempar serbet ke depannya kasar. Lalu menatap Kinanti lurus. "Lihat hidup mu?"

"Apa kamu bahagia setelah menikahi pria miskin?" Lanjut sinis. "Memiliki suami yang bahkan bisanya hanya menjadi manager perusahaan tidak lebih. Mama bahkan malu makan semeja dengannya."

"Ma." / "Nenek."  Kiara dan Kinanti menegur Margaretha berbarengan.

"Kenapa? Aku benarkan?"

"Setidaknya aku tidak kekurangan perhatian juga cinta dari suami ku, Ma." Kinanti yang sudah tidak tahan akhirnya berteriak kesal. Tak ingin mendengar mamanya menghina suaminya lebih banyak, Kinanti beranjak bangun.  

Berdiri dari duduknya, Kinanti meraih tangan suaminya. Menariknya untuk pergi. "Kita pulang." Seru Kinanti setelah berdiri di samping Kiara.


Bab 6

Aiden melirik Kiara, yang duduk di sampingnya dengan bibir tertutup rapat. Tidak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. Mereka duduk di sofa panjang yang berada di ruang tamu rumah Kiara.

Sedang Kinanti, mama Kiara nampak berjalan mondar-mandir di depannya.

Dia terlihat menggerutu, sesekali mengomel tidak jelas. Sedang papa Kiara, Darren diam mendengarkan. Sesekali menghela nafas panjang.

"Jadi, berapa lama kalian saling mengenal?" Pertanyaan bernada menuntut membuat Aiden sedikit terlonjak.

"Oh, tidak-tidak. Berapa lama kalian menjalin hubungan?" Ralat Kinanti. Menatap ke arah Kiara juga Aiden secara bergantian yang nampak salah tingkah.

"Kiara?" Tegur Kinanti begitu belum juga mendapatkan jawaban.

Mendapatkan pertanyaan mendadak dari ibunya, Kiara melirik Aiden yang kini juga tengah melirik ke arahnya. Mereka sama-sama salah tingkah.

"Hanya beberapa bulan, nyonya." Aiden yang akhirnya angkat bicara. Yang dibalas ringissan pelan oleh Kiara.

"Beberapa bulan, maksudnya? Bisa berbicara secara spesifik, Aiden?" Desak Kinanti menuntut.

"Sayang." Tegur Derren yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.

"Bisa kamu duduk dulu, mereka terlihat takut jika kamu paksa seperti itu." Lanjutnya begitu Kinanti menoleh ke arahnya.

Meski sedikit tidak ikhlas, akhirnya Kinanti mengikuti arahan suaminya. Duduk di samping Derren yang berhadapan langsung dengan Kiara dan Aiden.

"Jadi, bisa jelaskan kepada kami kenapa kalian mendadak ingin menikah?" Setelah dirasa istrinya duduk dengan tenang, Derren memulai sesi interogasinya. Yang langsung mendapatkan tatapan protes dari Kiara.

"Sebenarnya ini tidak mendadak, tuan." Sela Aiden, diraihnya tangan Kiara untuk dia genggam. Lalu membawanya ke pangkuannya. Mendadak ia merasa grogi. Takut-takut jika dia salah bicara dan akan di tendang keluar oleh kedua orang tua Kiara.

"Kami sudah merencanakannya beberapa minggu yang lalu. Hanya saja, baru hari ini Kiara berani membawa saya menghadap anda." Diakhir kalimat, Aiden menyempatkan diri untuk melirik ke arah Kiara yang hanya diam. Tidak memprotes semua ucapannya.

Seperti nya gadis itu menyerahkan semuanya pada Aiden. Gadis itu terlihat pasrah.

"Benarkah?" Ganti, mama Kiara yang bertanya. Terdengar tidak puas dengan jawaban Aiden.

Mengangguk beberapa kali, Aiden menambahkan. "Dia hanya tengah ragu. Saya paham maksudnya. Mungkin karna kami yang selalu menutup hubungan kami dari anda maupun keluarga, hingga dia tidak memiliki keberanian untuk jujur juga mengatakan yang sebenarnya kepada kalian. Jika kami berencana untuk menikah."

"Ya tentu saja dia takut, orang tua mana yang tidak akan syok saat tiba-tiba putrinya ingin menikah. Dengan pria yang baru pertama kalinya dibawa pulang?" Kinanti menimpali. Ada nada menyindir di dalamnya yang hanya di tanggapi Aiden dengan senyum tipis.

Sedang Derren sedikit menegur istrinya yang terlampau jujur.

Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang memenuhi ruangan. Aiden, maupun kedua orang tua Kiara hanya saling diam. Membungkam mulutnya dengan pikiran-pikiran masing-masing.

"Jadi, kamu hanya berprofesi sebagai penjaga toko?" Kinanti kembali angkat bicara, setelah beberapa menit hanya diam.

"Maaf mungkin profesi saya membuat anda tidak puas, nyonya." Tanpa sadar Kinanti mengangguk setuju. Yang mendapat plottotan tak percaya dari Kiara. Dan gelengan tak habis pikir dari suaminya.

"Tapi, saya tidak akan menentang hubungan kalian. Kalian bisa menikah, tapi dengan satu syarat." Mendadak Kiara menahan nafas mendengar mamanya mangajukan persyaratan.

Semua orang terlihat menunggu dengan apa yang akan di katakan oleh Kinanti setelahnya.

"Kalian harus lebih kaya dari siapapun setelah menikah." Lanjut Kinanti di luar dugaan.

"Ma." Tegur Kiara, memutar kepalanya cepat, Kiara menoleh cepat kearah Aiden. Memperhatikan ekspresi apa yang ditunjukan oleh Aiden.

Perasaannya mendadak cemas, takut jika Aiden akan tersinggung dengan kata-kata mamanya.

"Kenapa?" Tanya Kinanti.

"Wajarkan mama mengajukan persyaratan itu, mama juga takut jika kamu akan menjadi bahan olok-olok keluarga. Cukup mama saja yang merasakan itu." Lanjut Kinanti lagi.

"Maaf." Mendadak suasana berubah canggung ketika Derren berucap lirih pada istrinya.

"Aku tidak apa-apa, Derren, itu, maksud ku---" Kinanti nampak panik, ucapkan pun sampai terputus-putus begitu melihat tatapan mata bersalah suaminya.

"Baik nyonya saya setuju." Kiara bukan hanya menoleh kini dia benar-benar menatap lurus ke arah Aiden. Tidak menyangka jika pria di sampingnya akan menyetujui persyaratan mamanya.

*****

"Terima kasih." Ucap Kiara begitu mereka kembali bertemu di sebuah caffe. Duduk berhadapan dengan secangkir kopi di depannya.

"Untuk?" Tanya Aiden menyesap kopinya.

"Karna sudah meyakinkan kedua orang tua ku."

"Bukankah mereka belum menyetujui lamaran ku?" Aiden kembali membuka suara. Meletakkan cangkir kopi kembali ke tempatnya.

"Ya, setidaknya kita sudah berusaha."

"Kamu terdengar senang, tidak khawatir kedua orang tua mu menolak ku." Kiara hanya mengangkat bahu acuh. Tidak berkomentar apapun kepada Aiden.

"Boleh aku tanya sesuatu?" Ucap Aiden begitu mereka diam beberapa saat. 
Kiara tidak membuka suara, namun kepalanya tetap mengangguk. Mempersilahkan Aiden bertanya.

"Kenapa kamu mengatakan aku memiliki toko barang branded?"

"Kenapa? Kamu keberatan soal itu?" Aiden menggeleng cepat.

"Tidak." Ucapnya memperjelas. "Heran saja, kenapa kamu tidak mengatakan jika aku memiliki beberapa usaha. Atau setidaknya bos besar. Mungkin itu kedengarannya lebih baik."

"Itu terlalu beresiko." Gantian, Kiara yang menyesap kopinya. Sedang Aiden menunggu Kiara melanjutkan ucapannya.

"Jika nanti mereka menyetujui mu menikahi ku, mereka pasti mengorek informasi tentang mu. Bertanya macam-macam tentang usaha mu, dan yang lebih parahnya lagi. Mereka akan mendatangi kantor mu."

"Tidak masalah." Sela Aiden tanpa beban. "Aku bisa menyewa kantor yang besar, setidaknya keluarga mu tidak akan malu." Aiden menambahkan.

"Aku lebih suka pria seperti papa, jujur dan apa adanya. Tidak ingin menunjukkan sesuatu yang bukan miliknya."

Entah mengapa kata-kata Kiara terasa menamparnya. Cukup keras, hingga dia diam menatap Kiara dalam.

"Lalu bagaimana jika ternyata aku benar-benar bukan pria seperti papa mu?" Pancing Aiden tiba-tiba, ada niatan dalam hatinya untuk mengatakan siapa dirinya.

"Maksud mu?"

"Jika aku benar-benar orang kaya?" Balik tanya Aiden.

Untuk beberapa saat, Kiara mengerutkan keningnya. Lalu kekehan geli meluncur begitu saja dari bibirnya.

"Mungkin kita tidak akan menikah." Mendadak Aiden merasa jantungnya berdetak kencang. Terpaku pada kata-kata yang di ucapkan Kiara.

"Kalau begitu aku memilih menjadi pria seperti papamu." Balas Aiden tanpa pikir panjang.

Mulut sialan. Aiden ingin berteriak begitu. Namun tawa Kiara yang kian menghiasi wajahnya membuat sudut bibir Aiden ikut terangkat.

"Jangan bilang kamu menganggap semua kata-kata ku dengan serius?" Tanya Kiara setelah tawanya reda. 
Aiden hanya mengangkat bahu acuh, tak ingin berkomentar apapun.

"Kamu tidak akan menyesal?" Aiden mengalihkan pembicaraan. Tidak tertarik untuk meneruskan pembicaraan sebelumnya.

"Menyesal untuk apa?"

"Karna akan menikah dengan ku." 
Kini gantian Kiara yang membeku, terpaku pada ucapan Aiden.

Menyesalkah dia suatu saat nanti? Karna jika mereka menikah, itu artinya Kiara harus mengandung bayi Aiden. Tanpa kontak fisik dan semacamnya.

Bab 7

"Kamu tidak berniat menerima lamaran pria miskin itu kan, Kinanti?" Tanya Margaretha di suatu pagi. Di kediamannya.

Pagi ini, Margaretha Wesley memanggil putri bungsunya, Kinanti Wesley untuk datang ke rumahnya.

Bukan tanpa alasan dia memanggil Kinanti, yang mana sangat jarang datang ke rumahnya setelah menikah. 
Dan mereka juga tak sedekat dulu, layaknya putri dan anak. Lebih banyak perdebatan dibandingkan obrolan hangat seperti dulu.

Saat ini mereka sarapan pagi di sebuah taman belakang, yang nampak asri dengan pepohonan disekitar dengan banyaknya menu sarapan seperti biasa. Margaretha duduk berhadapan dengan Kinanti. Meski tanganya sibuk dengan pisau dan garpu, sesekali matanya masih melirik kearah Kinanti yang nampak enggan didepannya.

Entah menu sarapannya yang kurang cocok dengan lidah Kinanti, atau karna suasananya. Margaretha pun tak ingin tau lebih banyak, juga tak peduli lebih tepatnya.

Setelah Kinanti menikah dengan pria biasa yang menjabat sebagai manager di salah satu perusahaan. Margaretha berubah enggan berbicara dengan Kinanti, dia merasa putrinya ini terlalu membangkang. Karna menolak banyak pria kaya demi seorang pria rendahan. Dan Margaretha tidak bisa menerima semua itu. 
   
"Entahlah, sedang Kinanti pikirkan." Jawab Kinanti kalem. Tidak peduli dengan tatapan mata mamanya yang nampak menajam.

"Pikirkan? Apa lagi yang harus kamu pikirkan?" Tanya Margaretha menghentikan gerakan tanganya di atas piring. Tatapannya sudah menghumus tajam.

"Lebih baik kamu tolak lamaran itu. Mama gak mau menambah malu memiliki cucu menantu dari kalangan rendahan." Sambungnya tak ingin di bantah.

Namun Margaretha lupa jika putrinya sudah banyak berubah, hingga terguran yang sering Margaretha dengar kembali di layangkan Kinanti.

"Ma."

"Kalau Kiara tidak bisa mencari calon suami, lebih baik mama yang akan mencarikannya. Meski mama tidak terlalu menyukai putri mu itu. Yang notabennya keturunan rendahan, tapi mama tidak mau keluarga kita menanggung malu untuk kedua kalinya karna pilihannya." Lanjut Margaretha tanpa perasaan. Mengabaikan wajah Kinanti yang kian mendung. 
Kinanti tersenyum patah mendengar tuturan mamanya. Tak menyangka jika mamanya akan berbicara begitu tentang putrinya.

Meski Kinanti sering mendengar semua itu dari mamanya tentang status putri dan suaminya. Tapi tetap saja Kinanti merasa marah. Tidak terima. Ibu mana yang mau mendengar orang lain menghina putrinya, sekali pun itu ibunya.

"Mama tidak berubah." Komentar Kinanti tiba-tiba.  Tidak bisa menutupi nada kecewa dari suaranya.

"Mama tidak peduli bagaimana pandangan mu tentang mama. Tapi yang jelas, mama tidak suka jika sampai dia menjadi keluarga Wesley. Kamu tau kan reputasi keluarga kita?"

Kinanti membungkam bibirnya, tanganya yang tadi nampak sibuk dengan sendok dan garpu pun berhenti. Meletakkannya, tak lagi berniat menikmati sarapan pagi yang disuguhkan ibunya pagi ini.

Karna selera makannya pun sudah menguar. Rumah yang terasa nyaman untuknya di waktu kecil, kini berubah seperti di neraka. Terasa panas, membakar hati.  

"Harusnya Kiara itu mencontoh Gisella. Dia selalu punya pilihan yang tepat, termasuk calon suami sekali pun." Lanjut Margaretha yang semakin menghilangkan selera makan Kinanti.

Ya, keluarganya memang selalu membanggakan Putri dari kakaknya, Stella. Wanita yang menikah dengan salah satu pembisnis hebat di masanya dulu.

Berbeda dengan dirinya, tapi Kinanti tidak pernah menyesal sekali pun. Dia malah puas bisa menikah dengan Derren. Pria manis penuh cinta.

"Dia bahkan sekarang didekati banyak pria, dan baru-baru ini dia menolak lamaran putra keluarga Lukas." Cerita Amanda tanpa diminta.

"Kenapa?" Tanya Kinanti tak tertarik, namun masih berusaha menjaga sikap di depan mamanya. Tidak ingin di cap sebagai putri yang tak menanggapi ucapan mamanya.

Dia cukup sadar diri saat ini ada dimana. Dia tamu di rumah ini.

"Dia ingin mencari lebih. Dan papanya berniat menjodohkannya dengan keluarga Sincler."

"Seharusnya suami mu itu seperti itu, peduli dengan masa depan putrinya. Bukan malah berniat ingin mendorongnya ke jurang kehancuran." Sinis Margaretha yang mengingat bagaimana suami Kinanti, yang tak pernah sekali pun berencana menikahkan Kiara dengan pria kaya.

"Derren bukan seperti kalian, yang haus akan harta, Ma." Seru Kinanti tak kalah sinis yang mulai kehilangan kesabaran karna Margaretha membahas suaminya.

Padahal selama ini suaminya tidak pernah bersikap kurang sopan. Dia hanya diam setiap kali keluarganya mengunjunginya. Bahkan menghormati kedua orang tuanya, walau papa dan mamanya selalu menghinanya.

"Ya, karna itu hidup kalian selalu seperti ini. Hidup pas-pasan tanpa naik derajat." Balas margarin tak mau kalah. Kian menjadi, hingga membuat Kinanti merasa muak.

Kepalan tangan Kinanti mengeras, mengeram dalam hati karna suaminya selalu jadi bahan gunjingan keluarganya.

"Jika mama sudah selesai Kinanti pamit undur diri."

Margaretha menoleh, menatap Kinanti penuh keseriusan. "Dengar Kinanti, jika putri mu tidak becus mencari calon suami biarkan mama membantunya. Mama akan meminta Gisella untuk mencarikan kenalan yang kaya. Seperti keluarga kita."

Cukup sudah, kesabaran Kinanti habis. Semakin mamanya mengoceh tentang status, Kinanti semakin merasa kesal. 
Tanpa mendengarkan ucapan mamanya lebih lama, Kinanti memilih bangun dari duduk nya. Pergi meninggalkan mamanya yang masih meneriakinya tentang dia yang harus menolak lamaran itu.

****

"Daddy yakin kita hanya makan malam?" Tanya Aiden yang melangkah di samping Rick Sinclair. Daddy nya, pengusaha kaya yang namanya melejit hingga mancanegara.

Mereka baru pulang kerja dan mommy Aiden, Sofia meminta mereka untuk makan malam bersama.

"Entahlah, mommy mu tidak mengatakan apa pun."

"Aiden akan benar-benar kabur jika sampai mommy mengadakan makan malam perjodohan lagi."

"Ayolah, boy, berhenti merengek." Rick menepuk pundak Aiden pelan.

"Daddy tidak merasakan bagaimana rasanya di jodohkan sana sini, Dad." Keluh Aiden masam. Rick sampai tertawa mendengar keluhan putra semata wayangnya.

Teringat bagaimana gigihnya Ane Sofia Sincler istrinya menjodohkan Aiden, tapi tak satu pun yang berhasil menarik perhatian Aiden.

Yang ada putranya itu malah kabur, dengan dalih pekerjaan. Padahal semua orang tau jika Aiden tidak sesibuk itu.

"Daddy yakin mommy mu akan berhenti jika kamu sudah membawakan anak menantu padanya."

"Ya, besoknya mommy akan menagih cucu." Gerutu Aiden yang masih bisa didengar Rick.

"Apa kalian kira mencari istri dan membuat anak itu mudah?"

"Tentu saja mudah, buktinya kami bisa kan membuat mu." Ledek Rick pada Aiden.

"Aku serius, Dad."

"Kami hanya ingin yang terbaik untuk mu, boy."

"Ya, tapi aku bisa mencarinya sendiri."

"Jika begitu bawa dia pada kami."

"Sedang aku usaha kan."

Gerakan kaki Rick terhenti, kepalanya menoleh menatap Aiden penasaran.

"Jadi maksud mu, sekarang kamu sudah menemukan calon menantu?"

"Ya."

"Siapa gadis tidak beruntung itu?"

"Dad." Rick terkekeh geli. Namun masih menatap Aiden penasaran.

"Kami sedang meyakinkan orang tuanya." Beri tahu Aiden pada akhirnya.

"Orang tua mana yang menolak pewaris Sincler?" Tanya Rick semakin tak percaya.

"Tapi sayangnya mereka tidak ada yang tau tentang status ku, Dad." Jawaban Aiden cukup mengejutkan Rick.

Namun melihat keseriusan Aiden, Rick percaya jika dia tidak boleh ikut campur. "Baiklah, kamu bisa pergi sekarang." Perintah Rick tiba-tiba.

"Kenapa? Bukankah kita akan makan malam dengan mommy?"

"Mommy mu mengundang putri keluarga Wesley."

"Siapa?" Tanya Aiden penasaran.


Bab 8

"Hai, kita bertemu lagi." Sapa Aiden pada Kiara yang duduk manis di sofa singel. Menatap layar tv yang menyuguhkan siaran favoritnya.

Gadis itu nampak cantik dengan kaos oblong yang nampak kebesaran juga  hot pants. Yang memamerkan kaki jenjangnya. Pakaian santai yang terlihat manis. Namun juga sedikit seksi, namun Aiden sama sekali tidak tertarik padanya.

"Aiden? Ada apa? Kenapa datang kemari?" Tanya Kiara beranjak bangun dari rebahannya. Tubuhnya pun duduk tegak. Dengan kepala berputar mengikuti arah tubuh Aiden. Dimana pria itu kini duduk di sampingnya.

"Kenapa? kamu tidak senang aku datang ke sini?" Balik tanya Aiden, mendaratkan bokongnya di sofa panjang tepat di samping Kiara. Duduk bersandar dengan kaki dilipat, bertumpu dengan satu kaki.

Melihat Aiden yang datang tiba-tiba ke rumahnya tentu saja membuat tanda tanya besar dalam kepala Kiara. Tidak menyangka jika pria bermata sipit itu akan datang menemuinya di siang bolong seperti ini. Di rumahnya pula.

"Aku serius, Aiden." Tegur Kiara dengan serius. Tangannya meraih remote, mematikan televisi yang mendadak tak lagi menarik.

Dia lebih penasaran dengan hal yang membuat Aiden mengunjungi rumahnya. Padahal seingatnya mereka tidak memiliki janji temu.

"Aku datang karna undangan dari calon mama mertua." Gurau Aiden yang sama sekali tak terdengar lucu di telinga Kiara. Matanya malah terbelalak kaget.
Setelah menguasai diri Kiara baru kembali membuka suara. Bertanya dengan nada penasaran yang begitu ketara.

"Mama menyuruhmu datang ke sini?" Aiden mengangguk. Tanganya sibuk menggulung lengan kemejanya.

"Kenapa?" Aiden menggeleng. "Apa kamu bisu? Berbicara Aiden, jangan hanya menggeleng atau mengangguk." Omel Kiara sebal. Wajahnya nampak gemas karna sikap Aiden yang malah terlihat tak tertarik menjelaskan.

Aiden hanya melengos malas tidak menanggapi sama sekali.

"Jadi kamu sudah datang, Aiden?" Dari arah tangga, Kinanti menuruni anak tangga. Berjalan anggun ke arah Aiden dan Kiara di ruang tengah.

"Selamat siang, nyonya." Sapa Aiden sopan, dia bahkan membungkuk sopan dengan wajah nampak bersinar.

"Ah ya, selamat siang juga." Balas Kinanti ramah. "Ayo duduk lah, tidak usah terlalu formal." Aiden mengangguk, tapi sebelum duduk dia menyempatkan diri melirik kearah Kiara yang hanya diam memperhatikan interaksi antara mamanya dan Aiden.

"Jadi mama benar-benar menyuruh Aiden datang ke sini?" Tanya Kiara tidak lagi bisa membendung rasa penasarannya. Menatap lurus mamanya yang duduk tepat di depan Aiden.

"Kamu datang sendiri, Aiden?"

"Benar, nyonya."

Kiara melengos, menatap kesal kepada mama dan Aiden secara bergantian. Dia benar-benar tidak dianggap di sini. 
Dan, apa ini? Sejak kapan mamanya mau beramah-tamah kepada Aiden. Bukankah kemarin mamanya marah besar ketika mengetahui apa pekerjaan Aiden?

"Saya memanggil kamu datang ke sini karna ada hal penting yang ingin saya katakan pada mu, Aiden."

"Boleh saya tau hal apa itu, nyonya?"  

"Kiara bisa kamu buatkan Aiden minuman. Mama ingin berbicara empat mata dengan Aiden."

"Tapi ma--"

"Sekarang, Kiara." Tegur Kinanti tak ingin di bantah.

Menatap Aiden ragu, Kiara bangkit dari duduknya ketika Aiden mengangguk mantap ke arahnya. Seolah mengatakan jika dia akan baik-baik saja lewat tatapan matanya. Membuat Kiara mau tidak mau akhirnya bangkit dari duduknya.

"Apa kamu benar-benar berniat ingin menikahi putri ku, Kiara?" Pertanyaan bernada serius langsung di lontarkan oleh Kinanti setelah beberapa saat diam.

Menatap Aiden lurus dengan tatapan mata begitu serius.

"Ya." Jawab Aiden mantap. Tidak ada keraguan sedikit pun.

"Baiklah, kalau begitu saya akan merestui hubungan kalian asalkan dengan satu syarat."

Aiden menatap Kinanti menunggu, nampak begitu serius mendengarkan.

"Jangan pernah bercerai apa pun yang terjadi. Saya ingin kamu terus mencintai putri saya Kiara, hingga tua. Tidak peduli apa pun yang terjadi nanti, saya ingin kamu tidak pernah meninggalkan dia sampai kapan pun."

Aiden menelan ludah susah payah, menatap Kinanti bingung. Wajahnya nampak begitu gelisah. Dia kira, Kinanti akan mengajukan permohonan lain.

Harta atau kehidupan mewah untuk putrinya. Namun, sekarang Aiden menyesal sudah berada di sini.

Dia tidak mencintai Kiara. Lalu bagaimana jika kedua orang tuanya tau jika dia tidak pernah mencintainya?

"Bagaimana? Jika kamu setuju, maka kamu bisa menikahi Kiara. Tapi, jika tidak, kamu harus meninggalkan Kiara saat ini juga."

Sebelum Aiden menjawab, Kiara sudah datang dengan dua gelas di atas nampan ditangannya. Menatap Aiden dan mamanya secara gantian.

Sedikit terselamatkan memang. Namun, ketika melihat Kiara entah mengapa Aiden merasa semakin ragu.

"Baiklah, habiskan jus mu, Aiden. Saya harap kamu bisa mempertimbangkan kata-kata saya." Ucapan Kinanti seolah membuat Aiden merasa semakin bingung.

Dia tau kesempatan nya hanya saat ini. Dan setelah keluar dari rumah ini. Aiden tidak akan memiliki kesempatan lagi.

"Apa yang di katakan mama?" Tanya Kiara menatap punggung mamanya yang melangkah menjauh.

Meninggalkan Aiden dan dirinya hanya berdua di ruang tamu.

"Bukan apa-apa." Jawaban sekenanya Aiden sama sekali tidak membuat Kiara puas. Apalagi ketika melihat wajah Aiden nampak bingung.

"Kamu yakin?" Aiden mengangguk sekilas. Lalu sibuk dengan jus yang di bawakan oleh Kiara.

Untuk beberapa saat mereka hanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama Aiden yang beberapa kali menghela nafas pendek. Nampak dia tengah memikirkan sesuatu.

"Kiara?" Panggilan Aiden hanya di balas gumaman oleh Kiara.

"Boleh aku tau kenapa kamu tiba-tiba ingin menikah dengan ku?"

"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu? Apa mama mengatakan sesuatu padamu?" Tanya Kiara dengan tatapan mata memicing. Curiga jika Aiden pasti tengah menyembunyikan sesuatu.

"Jawab saja."

"Aku kira kamu tau jawabannya." Jawab Kiara mengerucutkan bibirnya sebal.

"Apa karna masalah dengan sepupu itu?" Tanya Aiden. Yang di balas gelengan panik Kiara. Tidak ingin menjawab dengan jujur. Namun melihat wajah Kiara yang memerah Aiden tau jika pertanyaan nya tepat sasaran.

"Ak---u..."

"Jika memang iya, aku tidak akan mempermasalahkannya." Potong Aiden cepat.

"Jadi kamu tidak marah?" Aiden mengangguk mantap.

"Maaf."

"Tidak perlu meminta maaf, bukankah aku juga menikah dengan mu karna sesuatu hal?" Gantian Kiara yang mengangguk.

"Apa soal bayi tabung itu?" Aiden mengangkat bahu acuh. Tidak memprotes ataupun membenarkan.

"Boleh aku tau kenapa kamu memilih bayi tabung?"

"Tidak." Kiara mengangguk mengerti. Tidak bertanya lebih jauh lagi.

Cukup lama Aiden memperhatikan Kiara, hingga Kiara yang ditatap begitu intens menjadi salah tingkah.

"Baiklah, aku harus pergi sekarang." Ucap Aiden berdiri dari duduknya.

Namun sebelum dia pergi, dia menyempatkan diri untuk menoleh pada Kiara. "Bisakah kamu mengatakan pada mamamu? Jika aku menerima semua tawarannya?"

"Tawaran?" Beo Kiara. "Tawaran apa?"

Aiden hanya mengangkat bahu acuh sambil melenggang pergi. Meninggalkan Kiara dengan tanda tanya di kepalanya.

Bab 9

Setelah menerima syarat Kinanti, yang notabennya calon ibu mertuanya. Pernikahan Kiara dan Aiden pun langsung di tentukan. Tepat sebulan lagi dari sekarang. Hingga persiapan pernikahnnya pun sudah di siapkan mulai dari sekarang.

Dan Aiden hanya menurut, sama sekali tidak protes atau mempermasalahkannya. Dan Kinanti begitu semangat ingin merayakan pernikahan putrinya dengan megah dan meriah. Karna ini akan menjadi pernikahan satu-satunya dari keturunannya.

Namun sayang, seluruh keluarga besarnya sama sekali tidak mendukung. Mereka malah sama sekali tidak berniat untuk menghadiri pernikahan Kiara. Mereka menolak tegas dengan alasan malu, karna Aiden dianggap sebagai pria biasa yang memiliki masa depan yang buruk.

Termaksud Margaretha yang langsung menolak tegas untuk hadir maupun membantu mempersiapkan pernikahan Kiara. Dia sudah mewanti-wanti jika tidak akan pernah menginjakkan kakinya di perniakahan Kiara jika sampai Kiara nekat menikahi Aiden. Atau pun kediamannya.

Namun, Kiara tetap bersikeras untuk menikah dengan Aiden. Dia tidak punya alasan untuk membatalkannya. Karna dia menganggap alasan keluarganya menolak Aiden terlalu berlebihan. Lagi pula kedua orang tuanya mendukung, hingga dia tidak membutuhkan restu orang lain selain kedua orang tuanya.

Dan hari ini, Kiara mau pun Aiden berencana mengunjungi toko perhiasan. Mereka berniat membeli cincin pernikahan untuk pernikahan mereka nanti.

Dan mereka sudah membuat janji dari semalam. Hingga mencari waktu yang pas dengan jam kerja Aiden.

"Kita akan pergi kemana?" Tanya Kiara begitu dia duduk di dalam mobil.

Duduk di kursi penumpang disamping Aiden yang menyetir. Siang ini dia yang menjemput Aiden, dan mereka bertemu di depan toko tempat Aiden bekerja.

Aiden sudah menawarkan Kiara untuk menjemputnya, namun Kiara menolak. Dengan alasan dia tidak sibuk, yang otomatis dia mengatakan ingin menjemput Aiden di tokonya. Dan Aiden dengan senang hati menerima itu. Tidak menolak tawaran baik Kiara.

"Toko perhiasan." Kiara memutar bola matanya malas begitu Aiden menjawab dengan santainya.

"Aku tau. Maksud ku, kita akan pergi ke toko perhiasan mana? Kamu punya rekomen?" Aiden nampak diam, berpikir sebelum menggeleng beberapa kali.

"Tidak. Lalu bagaimana dengan mu?" Balik tanya Aiden.

"Ada, tapi aku sanksi kamu akan menyukainya."

"Tidak masalah. Kemana pun itu, aku akan ikut dengan mu." Balasan Aiden di luar dugaan Kiara. Hingga dia tidak yakin jika Aiden akan mengatakannya jika Kiara benar-benar akan membawanya kesana.

Mengangkat sebelah alisnya tinggi, Kiara menatap Aiden ragu. "Kamu yakin?" Ketika Aiden mengangguk mantap, Kiara semakin menatapnya ragu. Namun meski begitu, dia tetap mengatakan alamat yang akan mereka datangi.

Toko perhiasan super besar dengan merek Tiffany. Perusahaan yang menyediakan perhiasan dengan koleksi batu permata dengan logam mulia asli. Sangat langka, hingga mereka hanya menyediakan koleksi terbatas. Tidak banyak, namun karna barangnya yang cukup langka hingga toko perhiasan ini begitu memiliki banyak peminat.

Harganya pun tidak murah. Banyak sosialita kelas atas yang memakainya. Dan kini, mobil yang di tumpangi oleh Aiden dan Kiara berhenti tepat di depan mobil itu.

"Aku akan mengambil pesanan mama lebih dulu, nanti setelah itu, kita baru akan membeli cincin."

Aiden menatap Kiara bingung, namun matanya menatap sederet kata yang tertulis di depan toko. Dia sering mengantar mamanya kesini. Dan Aiden yakin jika tempat ini juga menyediakan perhiasan.

Lalu kenapa Kiara tidak mengajaknya masuk?

"Kenapa tidak sekalian di sini saja?" Tanya Aiden menahan lengan Kiara yang bersiap turun. Dagunya menunjuk toko yang ada di depan meraka.

"Bukankah ini toko perhiasan?" Ucap Aiden menambahkan.

"Ya, tapi jangan di sini. Aku memiliki beberapa tempat langganan." Tolak Kiara di luar dugaan Aiden. Namun Aiden tatap melepaskan genggamannya begitu Kiara berbalik. Turun dari mobil dan melangkah masuk kedalam toko perhiasan. Tanpa menoleh ke arahnya.

Namun dia hanya menghembuskan nafas begitu tau kemana arah pikirkan Kiara. Tidak menyangka jika Kiara akan berpikir sejauh ini.

"Selamat datang nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang pramuniaga menyapa Kiara sopan, begitu Kiara memasuki toko perhiasan elit itu.

"Saya ingin--"

"Kiara?" Ucapan Kiara terputus ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Begitu menoleh, Kiara hampir mendengus begitu melihat siapa yang ada di depannya saat ini.

Gisella melangkah anggun ke arahnya, dengan neneknya Margaretha yang mengekor di belakangnya.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Lanjut Gisella begitu telah berdiri di depan Kiara.

"Bukan urusan mu." Balas Kiara malas. Namun langsung menutup rapat mulut nya begitu tatapan penuh peringatan Margaretha langsung menghumus ke arahnya.

"Kamu kesini bukan untuk mencari Cincin pernikahan, kan?" Sekali lagi Gisella bertanya. Mengabaikan tatapan malas Kiara yang dilayangkan ke arahnya.

"Kalau iya kenapa?" Kiara bersumpah, ingin menyumpal mulut sialannya itu. Bagaimana mungkin dia bisa berbicara begitu? Dia jelas tau harga setiap perhiasan yang berada di toko Tiffany ini.

Dan jika sampai Gisella terus mengawasinya. Bagaimana mungkin dia bisa lari. Belum lagi, ada neneknya yang terus melirik ke arahnya.

Bisa gawat jika sampai mereka memaksa Kiara untuk benar-benar membelinya. Uang dari mana dia bisa membayar perhiasan itu. Dia adalah pengangguran hakiki. Yang sama sekali tidak memiliki penghasilan.

"Oh benarkah?" Tanya Gisella yang terdengar meledek. Kiara semakin kesal di buatnya.

"Kamu tidak penasaran apa yang kami lakukan di sini, Kiara?" Kiara ingin sekali menjawab tidak. Namun, bibirnya seolah berkhianat. Hingga dia hanya diam, membungkam bibirnya itu.

"Sudah lah, Gisella. Jangan mengganggu dia. Ayo kita pergi." Margaretha yang malas berlama-lama dengan Kiara pun akhirnya membuka suara. Kiara hampir bersorak senang untuk itu. Namun, jawaban menyebalkan Gisella membuat Kiara mengurungkan niatnya.

"Ayolah, nek, Gisel kira. Saat ini Kiara butuh bantuan kita. Bukankah dia jarang membeli perhiasan? Aku yakin jika dia akan kesulitan menentukan pilihan. Aku hanya ingin berniat membantunya."

"Tidak perlu, aku bisa mengatasinya. Lagi pula, aku yakin jika kalian sangat sibuk." Ucap Kiara dengan nada menyindir. Dia juga merasa enggan berlama-lama dengan nenek juga sepupunya.

"Tidak masalah. Bukankah kita saudara sepupu?" Diakhir kalimat Gisella tertawa renyah. Tawa yang menurut Kiara sangat menyebalkan di telinganya. Seolah dia memiliki banyak rencana yang membuat Kiara akan malu.

"Nona, bisa tolong siapkan perhiasan terbaik di sini. Saudara sepupu saya ingin mem-." Kiara sudah akan menyela ucapan Gisella namun semua terhenti ketika seseorang memanggilnya. Begitu pun ucapan Gisella yang terputus karna panggilan Aiden yang tiba-tiba.

"Kiara?"

"Maaf apa kamu sudah menunggu lama?" Tanyanya Aiden begitu mereka berdiri berdampingan. Yang menimbulkan kernyitan bingung di kening Kiara.

"Aiden?" Panggil Kiara memastikan penglihatannya. Tapi begitu melihat senyum tipis di bibir Aiden, Kiara tau jika yang berdiri di depannya ini benar-benar Aiden calon suaminya.

Bab 10

"Aiden?" Panggil Kiara memastikan penglihatannya. Tapi begitu melihat senyum tipis di bibir Aiden, Kiara tau jika yang berdiri didepannya ini benar-benar Aiden calon suaminya.

"Maaf karna membuat mu menunggu lama." Meski tidak tau ke mana arah pembicaraan Aiden Kiara tetap mengangguk mengerti.

"Selamat siang nyonya Margaretha, nona Gisela." Sapa Aiden ramah. Yang Margaretha balas dengan lirik kan malas, sedang Gisella hanya menutup mulutnya. Tanpa berniat menjawab sapaan Aiden.

Matanya terus mengawasi interaksi Kiara dan Aiden. Melihat gerak-gerik Aiden dan Kiara di depannya.

"Jadi kalian ke sini untuk memesan perhiasan?"

"Ya. Kami berencana mencari Cincin Pernikahan." Jawab Aiden kalem.

Namun berhasil membuat Kiara menelan ludah susah payah. Tubuhnya mendadak tegang tanpa sebab.

Entah karna ucapan Aiden, atau karna akibat yang akan dia dapatkan setelah ini. Setelah semua rasa malu yang akan dia tanggung di depan nenek juga sepupunya itu.

Dari ekor matanya Aiden bisa melihat jika nenek Kiara juga Gisella, sepupu Kiara itu terlihat tersenyum sinis.

Seolah mengejek dengan apa yang telah dia katakan.

"Apa kamu memiliki uang untuk membeli perhiasan di sini? Saya bahkan ragu kamu pernah masuk ke sini?" Akhirnya nenek Kiara yang sedari diam angkat bicara. Mengatakan semua kata-kata yang dia tahan sedari tadi. Yang membuatnya penasaran bukan main.

Tanpa menjawab pertanyaan bernada cemooh dari Margaretha, Aiden menghadap pramuniaga yang berdiri di samping Kiara. Yang sedari tadi hanya diam mendengarkan perbincangan mereka.

"Nona, bisa tolong siapkan perhiasan terbaik di toko ini?" Dengan santainya Aiden menyodorkan sebuah kartu.

Bukan jenis kartu debit maupun kredit. Tapi lebih ke jenis kartu member. 
Yang membuat semua mata terbelalak. Termasuk kedua mata nenek Margaretha dan Gisella. Mereka yang sedari tadi menatap malas ke arah Aiden kini malah menatap Aiden penuh penasaran.

Dari mana pria biasa seperti Aiden itu memiliki kartu member yang hanya di miliki beberapa orang di kota ini?

Bahkan hanya orang-orang tertentu yang bisa memiliki kartu itu.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang mulai memenuhi kepala Margaretha dan Gisella. Termaksud Kiara.

"Baiklah, tuan." Pramuniaga menerima kartu yang di sodorkan Aiden.

"Mari, ikut saya." Ucap pramuniaga sopan.

"Ayo." Ajak Aiden menuntun Kiara. Yang nampak bengong di sampingnya.

Selama dia memasukkan toko itu, tidak pernah sekali pun melihat pramuniaga yang bersiap begitu sopan. Mereka memang tidak bersikap kurang ajar, namun mereka juga tidak bersikap berlebihan seperti ini.

Pramuniaga menuntun Aiden dan Kiara ke sebuah ruangan mewah. Ruangan yang pintunya terdapat tulisan VIP.

"Silahkan duduk, tuan, nyonya." 
Aiden dan Kiara menurut, duduk di sofa bersebelahan. Namun tak berselang lama Gisella dan neneknya ikut masuk. Duduk di sofa sebelah Kiara. Setelah memastikan Kiara dan Aiden duduk dengan nyaman, sang pramuniaga pun pamit undur diri. Keluar dan berjanji akan segera kembali.

"Kami hanya penasaran dengan pilihan Kiara. Barangkali aku bisa membantu jika Kiara merasa kesulitan memilih." Begitulah Gisella berkata begitu Kiara menatapnya bingung saat dengan santainya mereka duduk di atas sofa. Tepat di samping Sofanya.

Seorang pramuniaga yang tadi sempat keluar pun kembali masuk ke dalam ruangan. Dengan sebuah meja dorong yang di atasnya terdapat kotak kaca yang di dalamnya terdapat beberapa perhiasan indah.

Juga, disusul seorang pria berjas berjalan di belakangnya. Dengan langkah lebar di ikuti dengan wanita cantik di sampingnya.

"Hasbi?" Panggil Gisella lebih dulu. Gisella bahkan berdiri dari duduknya untuk menyapa pria tampan itu.

"Oh, Gisella?" Kaget Hasbi saat matanya bertemu tabrak dengan Gisella. Mereka menyempatkan mencium pipi sekilas.

"Perkenalkan ini nenek ku, Margaretha Wesley." Gisella memperkenalkan neneknya pada Hasbi.

"Selamat siang, nyonya Wesley. Sebuah kehormatan bisa melayani anda?" Sapa Lukas sopan.

"Perkenalkan saya Lukas, selaku manager di toko ini." Kedua mata Margaretha nampak berbinar untuk beberapa saat. Namun langsung redup begitu melirik kearah Kiara yang nampak diam memperhatikan.

"Wah, hebat sekali. Diusia muda sudah bisa menjadi seorang maneger." Puji Margaretha penuh bangga. "Di toko sebesar ini." Lanjutnya menambahkan.

"Lukas ini bukan hanya maneger nek, tapi dia juga memiliki saham di perusahaan ini." Gisella dengan bangga ikut menambahkan. Dan yang semakin membuat kedua mata Margaretha nampak berbinar cerah.

"Hebat sekali." Pujinya sekali lagi.

"Itu tidak seberapa, nyonya. Saya bukan apa-apa di bandingkan dengan keluarga anda." Ucapan Lukas yang sedikit merendah membuat Gisela melebarkan senyumnya penuh bangga.

"Tapi, bukankah Gisella bilang. Keluarga mu memiliki perusahaan besar? Kenapa kamu masih bekerja di sini juga?"

"Itu karna dia ingin memulai karirnya dari bawah, nek. Jika nanti dia berhasil dia tidak akan kesulitan untuk menghandle perusahaannya." Bukan Lukas yang menjawab, namun Gisella. Yang membuat Margaretha mengangguk mengerti.

"Hebat sekali." Puji Margaretha tak henti-hentinya.

"Kamu sangat cocok menjadi menantu impianku." Sambung Margaretha.

"Ya. Tapi sayang, nyonya. Cucu anda sudah menolak saya." Balas Lukas melirik Gisella yang kini tengah tersenyum malu-malu.

"Tidak perlu khawatir. Saya memiliki cucu yang lain." Sela Margaretha tak mau kalah. Melirik ke arah Kiara yang kini nampak diam membuang muka.

Pura-pura sibuk dengan Aiden. 
Mengikuti arah lirikan Margaretha, Lukas menoleh ke arah Kiara. Menatap Kiara dari atas hingga bawah dengan tatapan mata menilai.

"Ekhm." Aiden berdehem cukup keras membuat Lukas mengalihkan tatapannya. Wajahnya nampak terdapat semburat merah. Entah malu karna tertangkap basah telah menatap Kiara secara terang-terangan.

"Jadi, apa anda yang ingin memesan perhiasan terbaik kami, Nyonya?" Tanya Lukas berusaha mengalihkan pembicaraan. Yang dibalas gelengan kepala oleh Gisella.

"Bukan kami, tapi mereka." Lukas mengikuti arah telunjuk Gisella. Yang mengarah ke arah Aiden dan Kiara. 
Di perhatikannya pakaian yang digunakan oleh Aiden. Tidak berantakan, namun Aiden hanya menggunakan kemeja putih dengan celana bahan hitam. Sudah tidak lagi rapi tapi karna lengannya yang digulung asal.

Diam-diam Gisella mengukir senyum puas ketika melihat Lukas memperhatikan cara berpakaian Aiden. Tidak buruk, namun juga tidak rapi layaknya pria kaya dengan jas dan juga dasi.

Lalu pandangan Lukas menoleh ke arah Kiara, yang nampak anggun dengan dress pink bunga-bunga. Nampak begitu anggun dan juga cantik. Sangat berbeda jauh dengan lelaki di sampingnya. 
Menoleh ke arah pramuniaga, Lukas memberi isyarat kepada pramuniaga untuk mendekat. Lalu bertanya pelan.

"Benar, sir, tuan itu yang memiliki kartu member pelanggan VIP kita."

Tanpa mengangguk, Lukas mengukir senyum sopan ke arah Aiden. Yang dibalas Aiden dengan wajah datar. 
"Ada yang bisa saya bantu tuan? Perkenalkan--"

"Kami hanya butuh cincin pernikahan. Dan saya mau cincin terbaik di toko ini." Potong Aiden cepat. Tidak ingin berlama-lama untuk berada di ruangan yang sama dengan orang-orang yang melihatnya penuh cemooh.


Bab 11

"Ba---ik tuan." Lukas melirik wanita cantik di sampingnya. Lalu tanpa disuruh wanita itu pun bergerak maju. Berdiri tidak jauh dari Aiden dan Kiara.

"Perkenalkan, tuan, nona, saya Vivi. Asisten pak Lukas. Saya akan menjelaskan koleksi terbaik kami di Tiffany."

Pramuniaga yang tadi membawa meja kaca pun mendorong meja itu hingga berada di depan Kiara. Membuka tutup kaca di atasnya. Hingga menampakkan beberapa pasang cincin.

Kiara yang melihat beberapa pasang cincin pun melirik Aiden. Dalam hati bertanya-tanya benarkah Aiden akan membelikan cincin itu, atau ini hanya sebuah rencana agar sepupu juga neneknya tidak menghinanya? Jika benar, Kiara akan meminta maaf pada Aiden karna mungkin dia sudah terbebani.

"Kiara?"

"Eh?" Kiara mengerjab begitu Aiden menyentuh punggung tangannya yang berada di atas pengakuannya.

"Hah, apa?" Tanya Kiara bingung. 
Aiden berdecak menatap Kiara kesal, lalu dengan dagunya menunjuk wanita yang tadi memperkenalkan dirinya dengan nama Vivi.

Mengikuti arah tunjuk Aiden, Kiara menatap bingung pada Vivi juga Lukas yang menatap ke arahnya. Mereka seperti melihat Kiara dengan tatapan menunggu.

Apa? Pikirnya dalam hati.

"Dari semua penjelasan saya tentang cincin ini, ada yang menarik perhatian anda, nona?"

Kiara meringis melirik Aiden dengan rasa bersalah, karna pikirannya yang ke mana-mana dia sampai tidak mendengar Vivi menjelaskan tentang cincin.

Hingga mau tidak mau membuat ia menatap beberapa pasang cincin di depannya. Mencari cincin yang paling sederhana, berharap jika diantara semua cincin itu ada satu yang harganya lebih terjangkau.

"Aku kira, Kiara pasti sedang bingung mencari cincin? Apa dari semua cincin itu tidak ada yang bagus, Kiara?" Gisella yang melihat Kiara nampak diam akhirnya angkat bicara, bertanya dengan nada menyindir.

"Atau kamulah yang punya masalah soal mata? Tidak bisa membedakan mana cincin kelas atas dengan cincin yang sering kamu gunakan?"  Tambahnya kian sarkas.

Mengabaikan semua cemooh Gisella, Kiara menunjuk cincin dengan batu permata kecil. Nampak elegan di antara banyaknya pilihan. Hingga membuat Vivi tersenyum lebar.

"Saya suka dengan pilihan anda, nona." Kening Kiara mengernyit, menatap Vivi tak mengerti.

"Ini adalah jenis cincin rose-gold. Berlian berbentuk oval berat enam karat." Kedua mata Kiara langsung terbelalak kaget.

"Kami hanya menyediakan cincin jenis ini tiga di dunia, nona. Dan ini adalah cincin terakhir." Lanjutnya menambahkan. Dan semakin membuat Kiara syok bukan main. "Cincin ini memang elegan, tidak banyak yang tau jika cincin ini sangat langka."

Mendadak Kiara teringat dengan kata-kata mamanya. Di mana jika siapapun yang berbelanja di Tiffany seperti main lotre. Jika dia pintar melihat koleksi bagus, maka dia akan mendapatkannya. Karna di toko Tiffany.

Mereka tidak menjelaskan detail perhiasannya, yang mana-mana cincin langka, atau barang yang paling bagus diantara lainnya.

Mereka hanya akan menjelaskan koleksi mereka, dan tidak ada yang tau yang mana-mana koleksi langka. Karna itulah toko itu sangat di gemari oleh kalangan elit. Hingga mereka merasa tertantang untuk mencari mana yang paling bagus dari yang terbagus.

Dan Kiara harus mengakui soal itu saat ini. Karna dia juga barusan saja merasakannya. Ada kebanggaan tersendiri ketika pilihannya ternyata sebagus itu.

"Kalau begitu saya akan mengambil cincin itu." Kepala Kiara langsung berputar ke arah Aiden. Masih belum bisa mencerna apa yang Aiden katakan.

"Baiklah, tuan, kalau begitu kami akan--"

"Tunggu." Dengan cepat Gisella memotong ucapan Vivi. Bergerak cepat kearah cincin yang di pilih Kiara.

"Bagaimana harganya?" Ucapnya tiba-tiba. Menatap bagaimana bentuk cincin didepannya.

"Cincin ini di bandrol dengan harga satu koma lima, nona." Jawab Vivi kalem. Yang membuat Kiara kaget bukan main. Tidak menyangka jika cincin secantik itu ternyata memiliki harga yang terjangkau.

"Juta?" Tanya Kiara menambahkan menatap cincin itu penuh seksama.

"Milliar." Dan jawaban santai Vivi kini menjadi pusat perhatian semua orang, termasuk Margaretha.

"Apa?" Pekik Kiara tak percaya. "Ak---u pikir tadi juta." Cicitnya melemah. Yang mengundang kekehan Aiden dan terapan geli Lukas.

"Dari tanggapan mu yang begitu kampungan, sepertinya kamu tidak memiliki uang sebanyak itu, Kiara?" Kiara hanya mendengus menanggapi ucapan Gisella. Wajahnya nampak semakin ditekuk masam.

"Bagaimana, tuan, anda tertarik untuk membelinya?"

"Ya. Kami pilih itu."
"Aiden." Protes Kiara. Matanya sudah melotot penuh ancaman.

"Kenapa?"

Mendekat kan bibirnya ke arah telinga Aiden, Kiara berbisik lirih. "Jika kamu membelinya sekarang, kamu tidak akan bisa mundur. Lebih baik kita pergi saja? Harganya terlalu mahal."

"Oh, kalau begitu aku tidak akan mundur." Balas Aiden ikut berbisik.

"Tapi--"  Ucapan Kiara pun terputus ketika Aiden meletakkan telunjuknya tepat di bibir Kiara. Hingga mau tidak mau, membuat dia akhirnya menutup rapat-rapat bibirnya.

"Baiklah, kami sudah berdiskusi. Kami akan mengambil itu." Sekali lagi Aiden mempertegas ucapannya. Yang di angguk-ki setuju oleh Vivi.

"Baiklah, tuan, saya akan menjelaskan untuk pembayarannya." Kini Lukas yang mengambil alis suara. Melangkah mendekat ke arah Aiden.

"Karna anda memilih cincin rose-gold, maka untuk semua berkasnya akan selesai tujuh hari dari sekarang. Maka anda bisa mengambilnya seminggu lagi. Bagaimana anda mau?"

"Tidak masalah." Lukas mengangguk puas.

"Dan untuk pembayarannya, anda bisa membayar cash dari semua total harganya. Namun karena cincin belum bisa diambil. Anda tidak keberatan jika uang anda berada di sini untuk sementara waktu bukan?" Aiden hanya mengangguk beberapa kali. Tidak mengatakan apa pun.

Namun melihat tanggapan santai Aiden membuat Gisella menatapnya tak percaya. Begitu pun Margaretha. Jelas yang satu koma lima milyar bukan lah nominal yang sedikit. Namun kenapa seolah-olah Aiden tidak mempermasalahkannya?

"Baiklah, tuan. Untuk semua kwitansi Vivi yang akan mengurusnya." Lukas menunjuk Vivi di sampingnya.

"Dan saya bisa meminta salah satu nomor anda yang bisa saya hubungi. Barangkali anda bisa bertanya-tanya masalah perihal cincin." Lanjut Lukas.

Kening Aiden terangkat sebelah ketika mendengar suara Lukas padanya. Namun pandangannya malah menatap kearah Kiara.

"Apa anda sedang menggoda calon istri saya?" Todong Aiden cepat. Mengabaikan wajah kaget Lukas dan juga Gisella.

"Ah maaf, tuan, jika anda keberatan."

"Tentu saja saya keberatan. Jangan sampai karna sikap anda yang kurang ajar ini saya membatalkan pembelian ini." Ancam Aiden terdengar begitu serius.

"Ba---ik, tuan. Maaf." 
Mengabaikan tanggapan berlebihan Lukas, Aiden menatap Vivi. Lalu menyodorkan sebuah kartu nama ke arahnya. "Kamu bisa menghubungi nomor ini. Dia yang akan mengurus semuanya." Perintah Aiden yang langsung diangguki setuju oleh Vivi.

"Baik, tuan. Harap tunggu sebentar." Buru-buru Vivi berbalik. Melangkah menjauh diikuti Lukas juga pramuniaga.

"Jadi, siapa yang akan membayarkan cincin kalian?" Margareth yang penasaran pun akhirnya angkat bicara.

"Apa calon ibu mertua mu?" Lanjutnya kian curiga.


Bab 12

"Maaf, nyonya Wesley. Saya rasa siapapun yang membayar itu tidak penting." Jawaban berani Aiden di luar dugaan Margaretha. Hingga membuat wajahnya nampak sedikit memerah karna kesal. Tidak menyangka jika pria biasa seperti itu tidak mudah terintimidasi. Dengan kesal dia menatap Kiara.

"Inikah pilihan mu, Kiara? Pria yang tidak punya sopan santun sama sekali. Pria yang tidak punya etika juga tata krama hingga dia berani berbicara seperti itu kepada ku?" Selorohnya meledak. Tidak peduli jika wajah Kiara kini Nampak kesal.

Aiden sudah akan menyela, tapi urung ketika tangan Kiara meremas tangannya. Menyuruh nya untuk diam lewat remasan tangannya.

Memilih menurut, Aiden membungkam bibirnya. Meski hatinya terasa gatal ingin memberikan pelajaran kepada nyonya Wesley yang nampak angkuh di depannya.

"Tidak ayah, tidak anak, kalian itu sama. Aku sampai tidak tau apa yang membuat Kinanti begitu tergila-gila pada Derren. Pria miskin yang bahkan tidak bisa membuat ku bangga menjadikannya menantu."

"Nenek jangan begitu. Nanti kalau ada yang mendengar bagaimana? Tante Kinan bisa malu."

Kiara membuang wajahnya ke samping. Menatap apapun asal bukan Gisella juga neneknya. Hatinya merasa panas, antara geram juga kesal dengan suara Gisella. Dia layaknya ular, selalu berpura-pura baik. Padahal hatinya busuk.

Dia juga pintar mencari muka, apalagi untuk orang-orang seperti neneknya yang sama persis sikapnya. Pantas saja mereka cocok. Mereka sama-sama ular yang berbisa.

"Lihatlah, meski Kinanti tidak menyukai Gisella tapi dia selalu membelanya."

Ada senyum kepuasan ketikan terang-terangan Margaretha memuji Gisella. Dan itu semakin membuat Kiara muak. Dia semakin ingin menjauh dari keluarga ibunya itu.

Keluarga yang selalu merendahkan papanya. Juga dirinya. Kiara bangga pada ibunya yang tidak menuruni sifat menyebalkan nenek dan kakeknya.

"Seharusnya kamu belajar dengan Gisella Kiara. Bagaimana dia bersikap, juga bagaimana dia menempatkan diri."

Kini bukan hanya papanya yang menjadi sasaran tapi juga Kiara. 
Kiara sudah bisa menebak apa yang akan terjadi setalahnya. Pasti neneknya akan mengeluarkan khotbah penuh drama muslihatnya.

"Tidak seharusnya anda berbicara seperti itu, nyonya Wesley. Bagaimana pun juga Kiara adalah cucu anda." Protes Aiden yang tidak tahan terus mendengar Wesley menjelekkan Kiara. 
Dan alasannya hanya sebuah status.

Masih tidak percaya jika orang berpendidikan dengan sosial tinggi bisa memandang orang serendah itu. 
Kiara menatap Aiden tak percaya, ada perasaan senang begitu mendengar Aiden membelanya.

"Orang miskin seperti mu tidak berhak menggurui ku."

"Nenek--" ucapan Kiara terputus begitu Gisella dengan cepat menyela. Tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk berbicara.

"Sudah lah, nek, simpan baik-baik tenaga nenek. Untuk apa memperdulikan ocehan dia. Nenek akan menyesal jika terus memperdulikan dia, lebih baik kita pergi. Aku akan mengatakan pada kakek untuk masalah ini. Nenek tidak perlu khawatir." Margareth mengangguk setuju. Beranjak bangun dari duduknya.

Tidak memperdulikan Kiara yang kini menatap lurus.

"Benar. Tidak salah nenek menyayangi mu, Gisella. Kamu memang selalu bisa diandalkan." Senyum Gisella semakin lebar. Dengan semangat dia pun ikut berdiri. Bersiap menuntun nya untuk pergi.

"Kamu dengar, Kiara, kamu akan menyesal menikah dengan pria seperti dia. Asal-usulnya tidak jelas. Kamu harus tau jika kamu mau, lebih baik kamu dengan Lukas. Nenek akan memandang mu berbeda jika kamu bersedia menikah dengannya."

"Setidaknya dia memiliki sopan santun, juga pekerjaan yang pantas. Kehidupan mu juga akan berubah jika hidup dengan dia."

Kiara hanya diam, membungkam bibirnya rapat-rapat. Tidak tertarik dengan ocehan neneknya.

"Sudahlah, nek, Lukas juga tidak akan tertarik pada Kiara. Nenek tau kan, Lukas itu memiliki kriteria calon istri. Bukan wanita sembarangan yang bisa menjadi calon istrinya."

"Ya. Lukas memang pria pintar. Dia hebat karna mengkriteriakan dirimu. Beruntung kamu bisa memilih pria lebih dari Lukas, nenek semakin bangga padamu, Gisella." Puji Margaretha pada Gisella dan semakin membuat Gisella besar kepala.

"Tentu saja aku harus mencari pria hebat untuk menjadi suami ku." Bangga Gisella pongah. "Nenek tau kan, hanya orang-orang hebat yang cocok dengan diri ku, nek."

"Aku kan cucu kebanggaan keluarga Wesley."

"Ya, dan hanya keluarga Sincler yang cocok untukmu." Gisella mengangguk semangat, semakin membuat wajahnya berseri. Neneknya memang selalu menjadi keluarga favoritnya. Yang selalu bisa membuat dia merasa begitu di sanjung.

"Keluarga Sincler?" Beo Aiden. Merasa bingung dengan arah pembicaraan Gisella dan Margaretha.

"Kenapa? Kamu kaget mendengarnya?" Sinis Gisella. Tidak suka jika Aiden menyebut nama keluarga calon suaminya.

"Kamu mengenal keluarga Sincler?" Tanya Aiden mengabaikan pertanyaan sinis Gisella karna rasa penasarannya.

"Oh Gisella, kita harus pergi. Nenek lama-lama muak berbicara dengannya. Dia bukan lah pria selevel dengan kita." Margareth sudah menarik lengan Gisella, ingin membawanya menjauh. Namun Gisella menahanya. Tetap berdiri diam di tempatnya.

"Tidak apa-apa, nek, aku hanya ingin memperkenalkan calon suami ku pada mereka. Agar nanti mereka tidak terkejut mendengar kabar bahagia dari ku."

"Dan aku ingin semua orang tau siapa orang yang pantas untuk ku, nek." Margareth hanya pasrah melepaskan lengan Gisella, membiarkan cucu kesayangannya melakukan apapun yang dia mau.

Dalam hati dia membenarkan apapun yang Gisella pikirkan.

Hingga semua orang akan semakin memandangnya penuh kagum dan kesempurnaan. Keluarga Wesley yang terhormat bersanding dengan keluarga Sincler yang hebat. Margareth tersenyum bangga memikirkannya.

"Ya aku mengenal keluarga Sincler. Bahkan pewaris Sincler adalah calon suami ku." Aku Gisella bangga. Tidak peduli wajah Aiden sudah geli mendengarnya.

"Benarkah?"

"Jangan terkejut seperti itu, itu tidak pantas untuk pria biasa seperti mu."

Alis Aiden semakin terangkat tinggi mendengar nada suara penuh bangga Gisella. Aiden tidak percaya ada wanita senarsis ini.

"Mendengar semua kata-kata mu, kamu pasti sering pergi dengannya?" Dengan semangat Gisella mengangguk semangat.

"Tentu saja, aku bahkan sering berkunjung ke rumahnya. Keluarganya menyambut ku sangat ramah. Aku bahkan tidak lagi asing di keluarga itu."

"Keluarga? Lalu bagaimana dengan calon suamimu? Apa dia juga berperilaku sama?"

Untuk beberapa menit, Gisella diam. Membungkam mulutnya. Matanya nampak mengerjab beberapa saat.

"Jangan bilang kamu tidak pernah bertemu dengannya." Tebak Aiden tepat sasaran. Hingga membuat wajah Gisella memerah dengan gigi bergemelatuk.

"Itu bukan urusan mu."

"Oh sayang sekali. Padahal pewaris Sincler sangatlah sempurna." Aiden mengabaikan desissan Gisella. Dengan sengaja memanas-manasi Gisella.

Dia jadi penasaran bagaimana jika bagaimana reaksinya jika mengetahui yang sebenarnya. Masih bisa kah dia bersikap sombong seperti saat ini?

โ€œJangan berlagak kau mengenalnya. Aku yakin seratus persen kau pasti tidak mengenalnya. Jangankan mengenal, bertemu pun kamu tidak pernahkan?โ€

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Marriage proposal season 1
3
0
Bab 13-35
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan