
Tie to the Knot - Bagian Empat Belas
❤
📝
"Cieeee, kok perasaan mama ada yang lagi berbunga-bunga nih." goda Mama Yuna ketika melihat Zetta sedang didapur masih dengan senyum merekahnya.
Senyumnya itu bikin silau. Sejak membuka mata pagi tadi dengan masih dipeluk Jeno, tanpa sadar senyumnya terus mengembang sampai sekarang.
Memang benar, kalau wanita jatuh cinta bisa kita lihat dari senyumnya.
"Masak apa kamu, Taa?" tanya Mama Yuna lembut, tidak dengan nada galak seperti juri-juri diacara masak-masak itu.
"Ayam goreng sama capcay, Maa. Yang aku liat, Jeno suka ayam goreng."
"Eum, sebenernya kamu masak apa aja juga bakalan dimakan sama Jeno. Nih Taa, Jeno itu random banget." ujar Mama Yuna sambil mengambil pisau dan talenan memotong wortel. Membantu menantunya ini memasak untuk sarapan mereka bertiga rasanya tidak ada yang salah.
"Random? Kayak gimana maksudnya, Ma?"
"Randomnya Jeno tuh, kayak..." Mama Yuna berhenti bicara dan malah mengetuk-ngetuk dagunya seraya berpikir. "Dia nggak suka manis, tapi nggak pernah nolak makan es krim. Bilang nggak mau ini itu, tapi nanti juga di lakuin. Dan yang paling aneh tuh, dia itu pendiem dan kaku. Salah satu sifatnya yang Mama nggak pernah suka. Tapi pas Jeno udah senyum, bahkan Mama aja ngerasa sayang lagi sama anak Mama itu."
"Mama ada-ada aja sih." Zetta terkekeh mendengar penuturan itu, lucu sekali sih Mama mertuanya ini. "Masa gitu aja aneh lagian juga Jeno kan anak mama, masa sih nggak sayang?"
"Mama betulan ini, Taa." sahut Mama Yuna. "Tapi bukan nggak sayang yang gimana, kadang Mama tuh cuma mau narik Jeno dari sosok kalem dan lempengnya itu. Mama pengen Jeno bisa jalanin kehidupannya sesuai sama keinginannya sendiri."
Zetta fokus memastikan ayam yang sedang ia goreng ini tidak sampai gosong meski ia tetap mendengarkan walau tanpa menyahuti obrolan sang Mama mertua.
"Jeno tuh anaknya penurut banget, Taa. Diminta sama Papanya les musik Jeno manut, sampe bisa main piano, gitar juga biola. Diminta neneknya untuk les matematika, Bahasa Inggris, Cina, Jepang, ikut aja gitu, sampe bisa menangin olimpiade dari sekolah. Disuruh masuk tim basket, sepak bola sampe belajar Judo untuk beladiri, yaudah gitu anaknya mau-mauan aja. Nggak pernah neko-neko apalagi sampe nakal disekolah. Bahkan bolos aja nih, Jeno nggak pernah! Mama tuh sampe bosen karena selalu dapet pujian dari guru-guru Jeno dari SD sampe SMA."
"Woah, Jeno sehebat itu?" tanyanya pelan. Lalu berbalik menatap Mama Jeno ini dengan dahi mengerut. "Bukannya Mama seharusnya bangga karena Jeno sehebat itu? Terus letak salahnya dimana?"
Mama Yuna tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. "Dari lahir sampai umur Jeno hampir dua puluh satu bulan April nanti, Jeno tuh cuma dua kali minta sesuatu sama Mama dan Papanya. Yang pertama, saat dia minta untuk kuliah dijurusan yang dia minati ini dan tinggal di Jakarta trus yang kedua, saat dia minta untuk dinikahkan sama kamu."
Zetta mengulum bibirnya. "Masa sih, Maa?" tanya Zetta tak percaya.
"Mama sedih banget." Mama Yuna mendesah. Aura sekitar mereka menurun karena Mama Yuna kini memasang wajah sedihnya. "Sekalinya Jeno bandel, dia malah udah mau punya anak." raut wajah Mama Yuna berubah jahil untuk menggoda Zetta.
Padahal Zetta sudah terbawa suasana dan merasa bersalah akan Jeno karena ucapan Mama Yuna sarat akan sindiran. "Maaf, Ma." ucap Zetta penuh sesal.
Mama Yuna menggenggam jemari Zetta. "Kalo kamu memang menyesal, sebagai gantinya kamu harus bantu Jeno untuk jadi dirinya sendiri. Bantu dia untuk bisa mengekspresikan diri barang sedikittt aja. Biar Mama bisa lega dan lepas dari rasa bersalah."
Meskipun tidak mengerti Zetta tetap mengangguk. Karena Mama Yuna terlihat sedih walau senyuman masih ditampilkan diwajahnya, Zetta jadi tidak tega untuk menolak walau rasanya abu-abu sekali.
Ada apa sih sama Mama Yuna dan Jeno?
Rasanya amat tidak mungkin mereka punya masalah, karena interaksi mereka yang selama ini Zetta nilai terlihat amatlah harmonis.
"Jeeen," suara Zetta saat memanggil Jeno penuh rengekan, karena suaminya itu menaruh sesendok penuh brokoli ke piringnya. "Gue nggak suka brokoli."
"Ya seharusnya jangan dimasak." sahut Jeno mengabaikan Zetta yang menatapnya kemusuhan. "Lo masih ngerasa mual-mual?"
Dengan bibir cemberutnya, Zetta menggeleng. "Kalo udah di jam segini sih bisa normal, karna biasanya mualnya tuh kumat di pagi-pagi buta."
"Kenapa selama ini nggak bilang gue sih kalo hamil tuh ada efek sampingnya?"
"Lah gimana sih, Jen? Ini aja gue baru ngerasain, karena ini kehamilan pertama gue tau!" balas Zetta agak sensi karena Jeno mengucapkannya seperti sedang menggerutu.
"Ya kan bisa lo kasih tau gue!"
"Sssstttt!!" Mama Yuna mendesis, menghentikan pembicaraan Zetta dan Jeno yang sepertinya akan berujung perdebatan.
Mama Yuna memicingkan mata dan bersidekap sambil melihat anak dan menantunya ini. Jeno mengacuhkan itu dan kembali memakan sarapannya, sementara Zetta mencibir Jeno tanpa suara.
"Kalian! Ganti panggilan kalian mulai sekarang!" ucap Mama Yuna seperti perintah.
"Ganti panggilan?" cicit Zetta.
"Kamu lahir bulan November di bawah Jeno setahun, kan? Nah!" Mama Yuna menggebrak meja setelah Zetta mengangguk. "Panggil Jeno pake Mas lah. Coba, coba. Mas Jeno, gitu!"
Belum habis rasa terkejut Zetta akibat gebrakan Mama Yuna, kini mata Zetta pun membelalak mendengar ucapan itu.
"Coba Zetta!" sentak Mama Yuna karena Zetta masih saja terdiam. "Mas Jeno, gitu. Buru!" paksa wanita cantik itu.
"Ma... Mas Jeno."
"Bagus!" Mama Yuna terlihat senang sampai bertepuk tangan. "Nah, Jeno. Coba panggil Zetta... Eum... Adek."
"Apa sih, Maa. Aneh banget masih pagi juga." elak Jeno.
"Panggil Zetta, adek. Buruan!" paksa Mama Yuna sambil mengoyangkan lengan Jeno.
"Dek... Zetta..." ucap Jeno pelan lalu mengambil gelas dan meneguk isinya terburu.
Mama Yuna tersenyum lebar. "Biasain yaa. Waktu enam bulan seharusnya cukup buat kalian. Masa calon mama sama papanya Bee, manggilnya masih Jeno-Jeno aja, masih Zetta-Zetta aja... Nanti Bee-nya bisa niru. Emang mau begitu?" Mama Yuna gantian melihat Zetta dan Jeno. "Nah sekarang makan lagi."
Ketiganya kembali sarapan dalam diam. Walau Zetta terkadang mendengus ketika Jeno memaksanya untuk menghabiskan brokoli yang sudah dituangkan Jeno dipiringnya. Inginnya sih mendumel, cuma rasanya canggung kalau tiba-tiba ia kelepasan memanggil Jeno tanpa panggilan Mas seperti yang diperintahkan Mama Yuna.
Duh, Mamanya Jeno ini ada-ada saja sih.
Lagipula kenapa sih Jeno tuh keliatan beda dari yang semalam? Semalam tuh Jeno lembut dan perhatian sekali dengan membiarkan Zetta tidur dipelukannya, sekarang kok balik lagi jadi Jeno yang cuek dan dingin, menyebalkan.
"Kamu kapan periksa bulanan, Taa?" tanya Mama Yuna pada Zetta.
"Tanggal 28, Ma." jawab Zetta.
"Yaudah, Mama nginep disini sampai tanggal segitu yaa. Mama juga mau tau perkembangan cucu Mama."
Zetta mengangguk saja, sampai Jeno yang bertanya. "Tapi Mama nggak papa ninggalin Papa seminggu?"
"Nggak papa sih... Ah, udahlah Papa kamu udah gede ini, pasti bisa urus dirinya sendiri."
Zetta terkekeh mendengar jawaban yang terkesan ragu itu.
"Yang penting tuh kalian. Bukannya Mama nggak percaya, tapi Mama kan lebih berpengalaman sebagai istri atau pun seorang Ibu. Jadi selama Mama disini, Mama bisa sharing-sharing pengalaman."
"Iya, Ma." sahut Zetta menampilkan senyumannya. "Makasih, ya. Zetta seneng Mama ada disini." ucap Zetta tulus karena pastinya menyenangkan jika ada seorang wanita dewasa dirumah ini. Setidaknya ia punya teman bicara, tidak hanya jika berduaan saja dengan Jeno. Karena mereka akan lebih sering menghabiskan berjam-jam waktunya hanya untuk membaca buku atau mengerjakan tugas dikamarnya masing-masing.
"Ngomong-ngomong, Zetta masih kuliah? Sampe kapan?"
"Eum?"
"Zetta kuliah sampe semester ini aja, Ma. Sisanya dia bakalan cuti sampai Bee lahir."
Perlahan bahu Zetta menurun dan ia menaruh sendoknya dengan lemas setelah mendengar jawaban yang diberikan Jeno.
📝
Untuk melewatkan hari Rabunya kini rasanya Zetta malas sekali. Karena hanya ada satu mata kuliah yang akan dimulai pukul setengah empat sore dan selesai pukul tujuh. Tetapi untuk hari ini ia datang sejam lebih awal tanpa diantar oleh Jeno,—meski biasanya ia akan tiba dikampus dari pagi, dan waktunya saat itu diisi dengan menjadi salah satu panitia acara yang diselenggarakan kampus.
Zetta memilih untuk naik angkutan umum, meskipun ia menyesali keputusannya itu dan berakhir mual karena berbagai bebauan yang tercampur didalam sana. Belum kuat untuk berjalan ke kelasnya, Zetta mendudukan diri di bangku dibawah pepohonan rindang yang disediakan dekat lobi kampus. Jadi tak masalah meskipun matahari masih bersinar terik saat ini.
"Zetta kuliah sampe semester ini aja, Ma. Sisanya dia bakalan cuti sampai Bee lahir."
Zetta mengambil napas berat ketika teringat lagi dengan ucapan Jeno pas sarapan tadi. Kakinya ia luruskan dan menangkup wajahnya sendiri dengan kedua tangan.
Perasaan tidak rela itu ada. Selama ini dirinya merencanakan untuk lulus dengan cepat dan mendapatkan nilai cumlaude. Zetta sudah terbiasa untuk memadatkan jadwalnya dari awal semester, tetapi disemester keenam saat ini ia harus rela waktunya banyak yang kosong. Dari semester satu juga Zetta selalu mengisi harinya dengan banyak kegiatan kampus. Pikirnya semua itu akan berguna untuk mengisi portofolionya nanti saat melamar kerja. Zetta selalu memaksimalkan diri agar selalu mendapatkan yang terbaik untuk kuliahnya ini, tetapi semuanya harus berhenti karena kehamilannya ini.
Dan sepertinya Zetta harus merelakan lebih banyak hal lagi dalam hidupnya.
"Zetta si ambis udah balik lagi nih!"
Zetta mengangkat kepala lalu menatap Mahen yang sudah terlihat lusuh walau senyumnya cerah. Mahen menyampirkan totebag yang dibawanya ke pundak.
"Kenapa?" tanya cowok itu lalu ikut duduk disamping Zetta yang terlihat murung.
Zetta menggeleng lalu menutup hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk miliknya. "Lo bau! Bau matahari!"
"Jahat banget si Zetta!" sahut Mahen tak terima. "Niat gue baik loh, biar lo nggak sendirian!"
"Sorry deh, tapi lo tuh mandi kek!" Zetta mendumel, mengeluarkan sebotol parfum dari dalam tasnya dan menyemprotkannya banyak-banyak pada tubuh Mahen.
"Udah, Taa. Tadi pagi." balas Mahen, terima saja cowok itu disemprotkan parfum Zetta. "Sebelah sini dong." tagihnya meminta Zetta lebih menyemprotkannya pada punggungnya.
Zetta menepuk kencang bahu Mahen sampai cowok itu meringis sakit sehabis itu terkekeh geli. "Gue ada matkul yang ngulang, jadinya udah dateng dari pagi. Maklum yaa. Lagian lo tumben udah dateng, lo lagi nggak ikut acara apapun, kan?"
"Lagi pengen aja."
Mahen mendekatkan diri dan berbisik disamping Zetta. "Ngidam? Aneh banget pengennya ke kampus."
"Ih! ssststt!!!" Zetta memberikan tanda supaya Mahen diam. "Gue nggak mau yang lain tau yaa!"
Mahen menggerakkan tangannya seperti mengunci bibirnya sendiri, lalu melemparkan kunci tak kasat mata itu jauh-jauh. Zetta memutar bola matanya, jengah dengan tingkah absurd dari teman sekelasnya ini.
"Btw, lo tau dari mana? Siapa lagi yang udah tau?" tanya Zetta pada Mahen setelah sama-sama diam. Tapi Mahen tidak mau menjawabnya. Saat Zetta melotot, menuntut jawaban Mahen menunjuk kearah dimana ia membuang kuncinya.
"Aaahhh!! Maheeennn!!" rengek Zetta lalu berjalan seperti mencari kunci tersebut. Kembali lagi ke Mahen dan membuka gembok yang telah mengunci mulut Mahen.
"Kayaknya kuncinya bukan yang ini, cari lagi."
Zetta mengangguk kecil lalu berjalan lagi. Baru tiga langkah ia berbalik dan memukul bahu Mahen kencang. "Aaah, Maheeenn!! Gua ikutan tolol, kan jadinya!!!" jerit Zetta ditelinga Mahen, sementara cowok itu tertawa girang karena berhasil mengerjai Zetta.
"Hahahaha. Kapan lagi bisa ngerjain manusia yang biasanya pinter kek elu gini, Taa? Hahahahaha."
"Sialan!" Zetta kembali memukul bahu Mahen.
Setelah tawa mereka reda, Mahen pun menjawab. "Gue tau dari pas lo pingsan kemarin. Sebenernya gua ngikut ke RS dibelakang, tapi Jenonya aja nggak sadar. Dan tenang aja, Taa. Rahasia lo aman sama gue. Cuma lo tuh hati-hati kek! Kalo bisa minta Jeno beli mobil, jangan mau dianter jemput pake motor gede kek gitu!"
"Iyaaaa, Mahen bawel! Rese banget!" balas Zetta masih terbawa kesal.
📝
"Kenapa hari ini lo ke kampus sendirian?!"
Zetta yang tadinya sedang menatap laptopnya untuk mengerjakan tugas mendongak, menatap Jeno yang menanyainya dengan wajah kaku, si Adipati ini terlihat marah.
"Gue cuma hamil, Jen. Bukan lumpuh. Ke kampus sendirian juga udah biasa kali." jawab Zetta santai, mencoba santai lebih tepatnya.
Jeno mendengus, menatap kearah lain sebelum kembali menatap Zetta tepat di obsidian coklat si Adinda yang bergetar itu.
"Tapi seharusnya masih bisa jawab telpon atau minimal balas chat dari gue, kan?!" setelahnya Jeno masuk kedalam kamarnya. Tak lupa menutup pintunya itu berakhir dengan debuman kencang yang membuat Zetta mengurut dadanya sendiri.
"Kenapa sih si Jeno?" tanya Mama Yuna yang baru saja datang dari dapur dengan dua gelas berisikan bubur kacang hijau. Gelas yang satu ia berikan kepada Zetta.
Zetta mengendikkan bahu. "Nggak tau, Maa." ucapnya sok tak peduli. "Makasih, Maa."
"Karna kamu kali nih, main pergi ke kampus sendirian." ucap Mama Yuna menyalahkan Zetta. "Dari siang, Jeno keblingsatan nyariin kamu. Dan baru aja tuh anak mama yang itu pulang."
"Baru pulang?" lalu Zetta mencoba mengingat penampilan Jeno barusan. "Zetta pikir Jeno ada jadwal kuliah, Ma. Jadi Zetta pergi sendiri." Zetta beralasan.
Meski itu tentu saja sebuah kebohongan, karena mereka sebenarnya sudah terbiasa untuk pulang dan pergi bersama. Bahkan Jeno selalu rela untuk menunggu sampai jam kuliah Zetta selesai.
"Mas Jeno!" tegur Mama Yuna.
"Iya, Mas Jeno."
"Yaudah, minta maaf sana." suruh Mama Yuna.
"Nanti deh, Maa. Zetta kerjain tugas dulu." elak Zetta.
Mama Yuna terkekeh. "Seneng banget liat kalian begini. Tapi berantemnya jangan lama-lama yaa." pinta Mama Yuna lalu menyalakan televisi.
Menonton televisi dengan segelas bubur kacang hijau sambil menemani Zetta mengerjakan tugas. Mama Yuna sesekali tertawa, tidak terlalu mengambil pusing dengan tingkah anak dan menantunya ini walau mereka sedang bertengkar. Lagi pula Mama Yuna benar-benar ingin melihat kehidupan Jeno yang sebenarnya. Bukan yang menurut begitu saja dengan permintaan-permintaan dari orang-orang sekelilingnya.
Rasa bersalah Mama Yuna pun berawal dari dirinya yang tidak pernah bisa tegas membicarakan hal ini kepada suami maupun mertuanya. Jadi sekarang Mama Yuna hanya akan mendukung Jeno sepenuhnya. Terutama dalam hubungan pernikahan anak lelakinya itu dengan Zetta.
"Taa, Mama kekamar duluan yaa."
Zetta mengangguk. "Iya, maa. Zetta bentar lagi selesai." jawab Zetta menampilkan senyumnya lalu Mama Yuna beranjak menuju kamarnya. Iya, Mama Yuna menempati kamarnya sementara Zetta dipindahkan ke kamar Jeno.
Inilah yang membuatnya berat untuk pergi ke kamar itu. Zetta kan masih bete sama Jeno karena akan membuatnya berhenti kuliah sehabis semester ini.
📝
Jeno merenggangkan tubuhnya lalu meletakkan kaca mata bacanya dimeja. Mengurut pelan batang hidungnya lau memakai kaca matanya lagi guna melihat jam yang ada dimeja.
Pukul 01.41.
Jeno begadang untuk merancangkan program yang akan ia buat bersama timnya nanti. Rancangannya belum jadi sepenuhnya. Dan ketika ia ingin melanjutkannya, suara pintu diketuk menghentikannya.
"Masuk aja." ucapnya. Mengira itu Zetta karena sampai jam segini istrinya itu belum juga masuk kedalam kamar.
"Jen, pindahin istrimu sana. Dia tidur disofa." ternyata itu Mamanya yang menyuruhnya untuk memindahkan Zetta.
Jeno bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang TV sementara Mama Yuna masuk kembali kekamarnya. Ia bisa melihat Zetta tidur meringkuk disofa dengan menggunakan tangan sebagai alas kepalanya.
Jeno melihat meja yang berantakan dengan laptop dan beberapa buku dan kertas-kertas. Jeno tak ambil pusing untuk merapikan semua itu. Ia hanya melepaskan kaca mata yang dipakai Zetta dan menaruhnya diatas laptop. Lalu meletakkan tangannya diantara lutut juga leher istrinya itu dan membawanya untuk pindah kekamar yang sudah resmi menjadi milik mereka.
Jeno meletakkan tubuh Zetta secara hati-hati diranjang, membuat tubuh kecil istrinya terbungkus selimut agar Zetta bisa tidur dengan nyaman.
Setelahnya Jeno duduk dipinggir ranjang. Matanya tak lepas memperhatikan wajah Zetta yang sedang tertidur pulas itu.
Penilaiannya mengenai wajah Zetta itu... Cantik.
Menurutnya Zetta sudah terlihat cantik walau tanpa dipoles make-up sekalipun. Ini karena ia biasa melihat istrinya itu lebih suka hanya menggunakan bedak bayi dan juga liptint jika berpergian sekali pun itu ke kampus.
Bibirnya mungil dengan bagian bawahnya sedikit tebal. Hidungnya juga mancung dan kecil. Jika terbuka matanya yang berwarna kecoklatan itu lebih sering menyiratkan ketegasan dan pemberontakan walau tak jarang Jeno juga merasa hangat ketika menatapnya, apalagi ditambah ketika Zetta tersenyum.
Tetapi hari ini Jeno benar-benar kelimpungan menghadapi Zetta dan keras kepalanya. Bagaimana bisa istrinya yang sedang hamil hampir tiga bulan ini memilih untuk pulang-pergi kekampus tanpa dirinya? Tanpa bisa ditemukan olehnya meski ia sudah keliling mencarinya kemana-mana, pada saat jam pulang tadi. Padahal Jeno sudah terbiasa menempatkan diri untuk pulang-pergi bersama istrinya ini.
"Batu." ujar Jeno lalu menjitak pelan kepala Zetta.
Baru kali ini Jeno merasakan kesal dan lega bersamaan karena seorang wanita. Dan wanita itu adalah istrinya.
Jeno tak melanjutkan rancangannya. Ia mematikan laptop dan tak mempedulikan apapun lagi. Tubuhnya sudah pegal, jadi ia pun ikut masuk kedalam selimut dan merebahkan diri disamping Zetta.
Jeno memejamkan matanya, lalu tak lama ia merasakan ada yang bergerak memeluk lengannya. Tanpa perlu ditebak lagi, Jeno sudah tau bahwa itu adalah Zetta. Jadi ia membiarkan itu. Jeno hanya terlalu lelah...
📝
Epilog.
"Euunngg." Zetta melenguh saat merasa ada yang bergerak meremas dada sebelah kirinya.
Lalu matanya menangkap sebuah tangan kekar yang melingkari tubuhnya, tak hanya tangan tetapi juga sepasang kaki yang memerangkap kakinya sampai ia tidak bisa bergerak.
"Jen... Jeno..." panggilnya lirih setelah tau pemilik tangan nakal itu adalah Jeno. Tetapi suaminya itu tetap tidak bergeming.
Maka sebelum tangan itu semakin lancang menggerayangi tubuhnya, Zetta menarik tangan itu dan menggigitnya keras sampai si pemiliknya berteriak keras.
"AAARRGGHH!!" teriak Jeno pada akhirnya bangun walau belum sepenuhnya tersadar. Ia hanya agak menjauhkan diri dari Zetta yang sedang nenatapnya sinis.
"Ini tuh bukan squishy!!"
📝
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
