Bagian Delapan Belas

2
0
Deskripsi

Silakan dibaca hehehe

πŸ“


 

"Bagus!" Dejun bertepuk tangan dengan semangat setelah Leia dan Seungmin selesai dengan presentasi mereka. "Udah sini, kita review dulu." ajak Dejun pada mereka berdua untuk berkumpul.

"Gimana?" tanya Leia.

"Lo mah nggak usah diragukan lagi anjir! Selebgram mah beda. Ngomong aja udah wes, wes, wes!"

Leia mengibaskan rambutnya mendengar ucapan Seungmin. "Ya gimana yaa, bukannya sombong nih." padahal aslinya sih iya, Leia memang sedang menyombongkan diri.

Rasanya tidak sia-sia selama ini dipanggil bawel dan cerewet, karena itu Leia sudah memiliki keberanian dan kemampuan bicara yang baik untuk tampil didepan umum.

Tapi Leia malah ditoyor oleh Dejun. "Jangan sombong, wahai wanita."

Leia mencebik sebal pada Dejun yang menjatuhkannya. Untuk saja cowok itu tersenyum di akhir tanda kalau toyoran itu hanya candaan saja, maka Leia pun tidak membalasnya.

"Nah Min, kalo gue boleh kasih saran, kayaknya lo harus latian menekankan dibagian ini, deh. Supaya nanti penonton terutama juri bakalan percaya sama aplikasi yang mau kita kembangin ini memang worth it."

"Oke." tanpa banyak kata Seungmin mengiyakan, karena memang saat latihan tadi ucapannya lumayan belibet. "Nanti latihan lagi, mau nggak, Le?"

"Boleh aja. Eh, tapi sore boleh nggak? Siang nanti gua ada kelas. Kita latian di kafenya Minho."

"Lah berarti hari ini lo kerja juga, Le??" tanya Seungmin lumayan kaget mendengar jadwal padat dari Leia.

"Biarin aja. Yang penting ada muka gua diliat sama si Minho." jawab Leia kelewat santai. Yah, segala hal juga pasti dibuat santai sih sama cewek itu.

Prinsip hidupnya kan santai selalu, selalu santai!

Meskipun pagi ini dirinya harus berkumpul dengan ketiga anggota timnya ini dan membicarakan persiapan untuk presentasi besok, siangnya ada jadwal kuliah dan sore sampai malam dirinya akan bekerja di kafe Minho. Ya, nggak papalah. Nggak usah diambil pusing.

Kecuali kalau memang ada sesuatu yang mengusik dirinya dan Hyunjin. Untuk hal yang menimbulkan masalah itu, barulah santainya Leia bisa hilang dan menciptakan kegaduhan bagi siapapun juga.

"Jen, gue tau lo pendiem. Tapi bisa kali ikutan kasih saran."

Setelah Seungmin mengeluhkan Jeno yang masih saja bungkam, Leia dan Dejun pun jadi ikut menatap cowok itu. Tanpa sadar mereka menantikan ucapan apa yang akan dikatakan oleh cowok itu.

Jeno tersentak pelan karena tadi sempat melamun beberapa saat. Ia berdehem pelan, membalas tatapan ketiga anggota timnya yang sedang melihatnya lekat. "Udah bagus kok."

Lalu mereka bertiga mendesah kecewa. Jeno hanya mengucapkan ketiga kata itu tanpa ada tambahannya lagi.

"Udahlah, Jeno nggak usah ditemenin. emang dia mah nggak asik!" Leia mengajak Seungmin dan Dejun untuk ngobrol bertiga saja.

Jeno nggak asik. Tidak perlu diajak lagi.


 

πŸ“



 

"Lo nggak nanya sesuatu?"

Saat ini mereka hanya berdua. Berpisah dengan Dejun dan Seungmin yang sudah kembali ke kelas mereka masing-masing. Sementara Jeno ingin ke perpustakaan dan kelas Leia searah dengan tujuannya.

"Tentang?"

Jeno menatap Leia lekat. Menilik dari sikap Leia yang selama ini berisik dan selalu menanyakan segala hal sampai keingintahuannya terpenuhi, keterdiaman cewek itu sekarang membuatnya mengernyitkan dahi juga.

"Malam minggu kemarin beneran lo sama Hyunjin bukan, sih?"

Leia jadi tertawa mendengar Jeno bertanya dengan nada menggerutu.

"Gue jadi inget kata-kata Hyunjin. Dia bilang pacaran aja ada batasnya, trus gue jadi mikir apalagi kita yang cuma temenan? Atau sebenernya cuma gue yang nganggep lo temen?" Leia berkata dengan nada biasa, bahkan masih sempat tersenyum tipis di akhir ucapannya.

"Le." Jeno menghentikan langkahnya dan Leia mengikuti. Posisi Leia yang naik satu undakan anak tangga membuat Jeno lebih mudah melihat wajah cewek itu yang kini sejajar dengannya. "Nggak gitu."

"Nggak papa Jen, kalo emang lo nggak bisa cerita atau emang bener ya lo yang nggak nganggep gue temen?"

"Le, apa sih?" bagaimanapun Jeno juga bisa merasa tersindir.

"Cuma asal lo tau aja, gue sebenernya lagi nahan diri. Gue sebenernya kepooo banget, pengen gitu gue interogasi lo bahkan kalo bisa sekalian sama Zetta. Tapi kata Hyunjin gue nggak boleh begitu, semua orang punya privasi masing-masing yang nggak boleh sembarangan dikasih tau ke orang lain. Oke. Gue bisa paham kok. Karena gue pun juga suka begitu..."

Inilah yang orang-orang lain tidak bisa lihat dari Leia. Betapa pengertiannya cewek ini sebenarnya. Yang mungkin benar selalu bertindak sesukanya tapi cewek itu tidak akan pernah bertindak lebih jauh jika jarak itu diperlihatkan.

"Le..."

"Lo tau alasan kenapa gue nyuruh lo deketin Zetta?" tanya Leia sambil tersenyum tipis pada Jeno lalu menepuk pundak kiri cowok itu. "Karena gue percaya sama lo, Jen. Apapun itu, jangan sakitin Zetta, ya."

Mendengar helaan napas pelan dari sampingnya otomatis keduanya menoleh. Mata Leia membelalak kaget karena disana ada Zetta yang sedang melihat mereka. Bagaikan kepergok, secara cepat Leia menarik tangannya dari pundak Jeno. Beda lagi dengan Jeno yang terlihat lebih tenang. Ia pun menahan tangan Zetta untuk tidak pergi walau istrinya itu memberontak dan menolak.

"Gue sama Zetta pulang duluan, Le." Jeno pun meninggalkan Leia sendiri dan menuntun Zetta dalam genggamannya. "Pelan aja, Taa." peringat Jeno saat Zetta berjalan sambil menghentakan kakinya.

Biar saja, tidak Zetta ladenin. Ia sebal. Kesal gitu melihat suaminya itu bicara berduaan dengan mantan crush-nya itu. Mana sambil dipegang-pegang gitu. Zetta menghentikan langkahnya lalu mengusap-usap pundak yang disentuh Leia barusan. Zetta bagaikan sedang menghilangkan bekas pegangan Leia dari sana. Seenaknya saja cewek itu memegang pundak lebar kesukaannya ini. Zetta tidak akan pernah terima. Pokoknya bekas Leia harus ia hilangkan secepat mungkin.

Sampai tangannya dipegang oleh Jeno, Zetta jadi mengangkat pandangannya.

"Lo lucu kalo lagi cemburu." Jeno tersenyum. Tipe senyum lembut yang berhasil membuat Zetta salah tingkah. Tapi Zetta pun jadi mencebik sebal karena suaminya ini sedang menggodanya.

Wajarkan kalau seorang istri cemburu? Apalagi ini Leia. Leia loh!

Seorang cewek yang menjadi mantan gebetan suaminya. Eh, tapi memang sudah bisa dipastikan jadi mantan gebetan?

Tuhkan, memikirkan itu membuat suasana hati Zetta mendadak suram. Awan mendung sudah tampak dan memberikan efek buram di matanya.

"Yaudah nggak usah anterin gue pulang. Sana pergi ke Leia! Nggak usah peduliin gue lagi! Mau gue nunggu lama di perpustakaan sendirian juga lo nggak bakalan peduli, kan? Yang lo suka cuma Leia!"

Zetta menyentak tangan Jeno yang memegangi tangannya. Lalu menarik dan menghembuskan napas berat. Semua perkataan yang sudah dirangkainya itu hanya tersimpan di ujung lidahnya, sulit sekali untuk mengeluarkannya. "Gue bete! Udahlah, jadi pulang nggak nih?"

Jeno maju mendekat dan mengelus perut Zetta. "Mamanya Bee, kalo lagi ngambek begini toh."

"Jen, ini di kampus!" Zetta mendorong Jeno. "Nanti ada yang liat." jeritan Zetta tertahan di tenggorokan.

"Nggak papalah kalo ada yang liat." ujar Jeno. "Makanya jangan ngambek, gue sama Leia nggak ngapa-ngapain tadi."

"Mau ngapa-ngapain juga nggak papa!" sahut Zetta dengan cepat tapi wajahnya masih juga cemberut.

"Yakin? Oh iya, tadi Leia nggak sengaja pegang tangan gue kalo nggak salah." Jeno mengangkat tangan kirinya, lalu tangan itu ditangkap oleh Zetta dan kembali diusap-usap sama seperti bahunya. "Apa tangan yang kanan, ya?"

"Jen!" Zetta baru sadar saat ini Jeno hanya sedang menggodanya saja.

"Iya, nggak. Nggak ada yang dipegang lagi sama Leia." Jeno terkekeh pelan. "Cuma nggak tau, gue suka liat lo marah-marah karena cemburu gini. Lucu. Tapi jangan keterusan yaa, gue udah janji untuk jatuh cinta sama lo dan lo harus percaya itu."

Ternyata walaupun selalu berwajah dingin dan datar, Jeno juga sama seperti cowok kebanyakan. Pintar gombal dan merayu. Wajah Zetta saja sampai memerah sekarang.




 

πŸ“



 

"Ayah... Ayah!"

Jeno yang memang ingin membangunkan Zetta karena hari sudah mulai gelap, jadi hampir berlari untuk menghampiri istrinya yang barusan menjerit itu.

"Taa, Taa, coba sadar dulu." Jeno berusaha membangunkan Zetta tanpa harus terlalu mengguncang tubuh istrinya itu.

Zetta mengaku lelah sesampainya mereka di rumah, lalu ketiduran di sofa yang di ruang tv sementara Jeno sibuk mengerjakan coding program aplikasi yang sedang dibuatnya untuk lomba dengan duduk dilantai, menjaga Zetta agar setidaknya istrinya itu tidak terjatuh. Bukannya Jeno tidak kuat mengangkat Zetta dan menaruhnya di kamar, tapi akhir-akhir ini istrinya itu jadi lebih sensitif. Pernah sekali Jeno melakukan itu, dan akhirnya Zetta malah terbangun dengan wajah tertekuk karena merasa terganggu.

Jeno pikir Zetta tidur dengan sangat pulas, jadi ia meninggalkan istrinya itu sebentar untuk mandi untuk melepas penat setelah berkutat hampir dua jam di depan laptopnya, lagipula waktu juga menunjukkan pukul lima lebih.

"Leia memang begitu, caper! Papaku aja mau direbut sama dia, makanya kamu jaga papa kamu supaya nggak direbut juga sama dia!"

"Taa, bernapas, Taa." ujar Jeno panik karena Zetta hanya menarik napas panjang tanpa menghembuskannya.

Mata Zetta menyorot pada Jeno, barulah ia tersadar untuk menghembuskan napasnya dengan cepat. Perlahan Zetta mulai bernapas dengan normal namun tubuhnya terasa lemas. Dengan telapak tangan kirinya, Zetta untuk menutupi air matanya yang tiba-tiba mengalir.

"Kenapa, Taa?" tanya Jeno khawatir.

"Jen, maaf." ucap Zetta terisak. "Tapi gue mau sendiri dulu." Zetta merubah posisinya jadi membelakangi Jeno, menghadap sandaran sofa dan berharap sofa ini bisa menyembunyikan dirinya dari Jeno.

Tapi Jeno tak mengindahkan permintaan istrinya itu. Ia malah tetap duduk di dekat Zetta dan menepuki pelan punggung mungil istrinya itu. Walau tanpa kata, namun Jeno ingin Zetta mengetahui kalau ia adalah suami yang akan siap untuk selalu ada didekat Zetta dalam kondisi apapun istrinya itu. Lagipula hatinya mencemaskan Zetta, sangat.

Jeno sebisa mungkin menunjukkan kepeduliannya terhadap Zetta. Ia menurunkan selimut agar sebatas perutnya saja sehingga tidak terlalu membuat Zetta kepanasan saat masih menangis. Jeno juga pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas air hangat untuk istrinya itu. Ketika dirasakan Zetta mulai tenang walau masih sesenggukan, Jeno kembali menepuki punggung Zetta.

"Nggak mau lanjut nangisnya sambil dipeluk aja?"

"E-emang boleh?" Zetta agak menolehnya sedikit kepalanya pada Jeno.

"Bolehlah, kita udah halal ini dimata Tuhan atau negara." Jeno yang tadinya duduk melantai jadi duduk disofa, membantu Zetta agar terduduk jadi ia bisa memeluknya. "Kenapa? Lo bisa cerita sama gue, disini cuma ada kita berdua kok." Jeno mengelus rambut Zetta, memberikan kenyamanan.

Zetta membuat jarak. "Kangen ayah. Trus pas tadi tidur, mimpiin ayah. Ayah nangis disitu jadi gue ikutan sedih." air mata Zetta mengalir lagi membuat Jeno menghapus air mata yang berjatuhan itu dengan ibu jarinya.

"Udah, itu kan cuma mimpi..." ujar Jeno dengan suara lembut. "Mungkin bener, karena lo lagi kangen ayah aja." Jeno sudah mengetahui cerita ayah mertuanya yang meninggal dikarenakan sakit oleh Zetta.

Zetta ikut menghapus air matanya sendiri dengan kedua tangannya. "Maaf yaa, Jen. Gue pasti ganggu." Zetta melihat laptop yang masih terbuka dan beberapa kertas yang berserakan di lantai. Jeno pasti sedang mengerjakan tugasnya tapi ia malah mengganggu suaminya itu.

"Nggak ganggu, gue bahkan baru selesai mandi. Lo mau mandi? Udah malem nih."

"Haa?" Zetta pun memandang Jeno yang hanya memakai kaos tanpa lengan dan celana rumahannya. "Gue tidur berapa lama?" Zetta mencari-cari ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang ini.

"Cuma dua jaman. Mandi sana, trus kita makan diluar aja. Nggak usah masak." saran Jeno yang diangguki Zetta tanda setuju. "Apa mau ditemenin mandi?"

"Jeno!"

Dan Jeno hanya terkekeh geli sampai matanya menghilang.

Dan Jeno hanya terkekeh geli sampai matanya menghilang


 

πŸ“













 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Tie To The Knot
Selanjutnya Amaranth (Part 1)
2
0
Bunga Amaranth yang berarti kesetiaan... Banyak yang bilang mereka bersama hanya karena terbiasa. Tidak ada cinta didalam hubungan mereka. Tidak ada kasih sayang. Mengenal sejak umur 8 tahun sampai sudah semester 3 dibangku perkuliahan mereka selalu bersama. Sifat Leia yang manja, cengeng, matre terkadang menyebalkan dimata siapapun yang melihat. Ditambah sikapnya yang hidup sesukanya, sering memperburuk segalanya. Klise sih. Tapi dalam cerita ini kalian akan belajar menjadi Hyunjin yang setia karena Leia selalu memberikan kenyamanan…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan