
Terlepas dari stigma “rumah adalah istana”, kini Uci harus berjuang menemukan definisi rumah yang sesungguhnya. Dibantu oleh Casandra, Uci harus menghadapi rintangan yang menghalanginya demi mendapatkan arti rumah yang sesungguhnya, dari orang tuanya yang selalu bertengkar, masalah dengan ibunya serta teman-temannya, Uci harus menghadapi itu semua.
“Rumahku adalah istanaku”, begitulah peribahasa yang selalu ada ketika membicarakan rumah. Bagi seluruh orang, rumah adalah tempat berlindung yang nyaman dan hangat. Rumah juga merupakan tempat berbagi canda-tawa dan suka-duka bersama orang tersayang. Itulah gambaran tentang rumah bagi semua orang.
Namun, tidak dengan Uci. Ketika orang lain menganggap rumah adalah istana, Uci malah sebaliknya. Ia menganggap rumah sebagai sumber dari segala masalah. Gadis yang awalnya ceria, berubah menjadi pemurung akhir-akhir ini. Itu semua disebabkan oleh masalah di rumahnya yang selalu terjadi bertubi-tubi, tetapi di sisi lain Uci merupakan anak yang memiliki prestasi tinggi di sekolahnya. Namun entah mengapa ia kerap dirundung oleh teman-temannya, termasuk trio usil Indy, Mika, dan Lily yang selalu mengucilkannya, kecuali Casandra yang merupakan sahabat karibnya.
Saat itu Uci yang baru saja pulang sekolah ingin menunjukkan nilai ujian Matematika kepada orang tuanya, tetapi yang ia dapatkan hanyalah ruang tamu yang terlihat seperti kapal pecah. Bingkai foto terpasang miring dan hanya ada beberapa yang sudah mulai jatuh. Lantai yang terlihat kotor, banyak barang berserakan tanpa ada yang diletakkan pada tempatnya.
“Ma, Pa, Uci pulang. Mama dan Papa di mana? Tadi Uci mendapat nilai bagus di ujian Matematika. Ma? Pa?” Uci yang baru saja membuka pintu, melangkahi setiap barang yang berserakan di ruang tamu dengan hati-hati, mencari orang tuanya karena tidak sabar ingin menunjukkan hasil ujian Matematikanya.
Saat Uci hendak masuk kamar, ia menelan ludahnya dan terkejut melihat barang yang dilempar hingga jatuh ke lantai. Ada sebuah barang yang hampir mengenai kepalanya, tetapi untungnya ia dapat menghindar. Uci yang tidak tahu mengapa rumahnya selalu berantakan merasa jika menggenggam secarik kertas ujian yang sudah diberi nilai sempurna dan memendamnya itu lebih baik dibandingkan mengabarinya, karena ia takut jika ada benda melayang lagi di hadapannya. Meski mendapat nilai bagus, Uci tetap menyimpannya di map yang tersimpan di laci kamarnya lalu menguncinya.
Keesokan harinya di sekolah, saat waktu istirahat tiba, Uci masih memikirkan sesuatu yang terjadi di rumahnya. Ia duduk di bangku koridor, matanya hampir terasa berat dan mulai mengantuk. Di saat yang bersamaan, Casandra yang baru saja kembali dari kantin menghampiri Uci untuk menawarkan makanan yang dibelinya.
“Ci?” tanya Casandra.
“Ya, Cas?” sahut Uci, membuka matanya.
“Kamu mau makan, Ci? Ini waktunya istirahat, lho. Kalau kamu tidak makan nanti kamu bisa sakit.” Casandra menyodorkan sebungkus kue kecil yang baru saja dibelinya di kantin kepada Uci.
“Maaf, Cas. Aku sudah membawa bekal dari rumah,” tolak Uci halus.
Uci mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya. Saat makan, perasaan tidak enak seolah menyelimuti seluruh tubuhnya. Rasa gelisah akan rumahnya yang tidak aman dan nyaman menghiasi wajahnya. Selesai makan, Uci masih saja memikirkan kondisi rumahnya, kali ini bukan kabut yang menutupi wajahnya, melainkan tetes hujan yang mengalir membentuk sungai kecil di pipinya. Saat ini, Uci masih saja kepikiran kondisi rumahnya, padahal di sekolah keadaannya baik-baik saja.
Sepulang sekolah, Uci mendapatkan hal sama yang menimpa rumahnya. Masalah datang silih berganti. Ia bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang terjadi di rumah, apakah karena Soni; anak kecil tetangga yang iseng mengacak-acak seisi rumahnya, atau bencana alam. Kalau memang bukan kedua alasan itu, artinya ada alasan lain yang membuat rumahnya kacau-balau.
Apa yang terjadi dengan rumahku? Mengapa banyak barang berserakan di setiap ruangan? Kalau bukan karena Soni yang usil pasti rumahku tidak akan seperti ini. Ah, lupakan saja, Uci, lupakan saja. Jangan salahkan Soni karena itu pasti bukan salahnya, batinnya sambil berjalan dengan hati-hati.
Hari demi hari, Uci mencoba melupakan masalah rumahnya yang setiap hari berantakan. Meskipun terasa sulit, ia tetap berusaha melupakannya. Rumah yang kini penuh dengan barang yang terjatuh dan terlempar inilah yang menjadi tantangan baginya. Uci memiliki dua sisi yang berbeda, di rumah ia selalu memendam perasaannya, sementara di sekolah ia adalah gadis periang.
Awalnya Uci ingin memberitahu masalah rumahnya kepada Casandra, tetapi ia khawatir Casandra tidak mau memberi solusi. Setelah beberapa menit, Uci mulai menceritakan masalahnya kepada Casandra.
“Cas?” panggil Uci sambil menepuk bahu Casandra
“Ya, Ci?” sahut Casandra, menoleh.
“Sebenarnya aku..,” kata Uci gugup.
“Ci, ayolah, ceritakan kepadaku. Aku siap mendengarkan. Nanti aku beri solusi untukmu, Ci,” pinta Casandra.
“Bagaimana kalau kamu berkunjung ke rumahku? Kamu pasti tidak percaya dengan kondisi rumahku, bukan? Kamu pasti akan tercengang melihatnya.” Uci kali ini meminta Casandra mengunjungi rumahnya. Entah mengapa Uci berkata seperti itu, mungkin karena ia ingin menyembunyikan perasaannya kepada sahabatnya.
“Apa? Mengunjungi rumahmu? Mengapa kamu tiba-tiba berkata seperti itu? Sepertinya ada yang tidak beres dengan dirimu.” Casandra terhenyak mendengar perkataan Uci, dan mengira kepribadian Uci kali ini berubah drastis. “Baiklah, Uci,” jawab Casandra mengiyakan.
Benar saja, sepulang sekolah, Uci mengajak Casandra mengunjungi rumahnya. Begitu masuk, Casandra terkejut melihat seisi rumah Uci yang berantakan. Terdapat serpihan kaca berserakan di lantai yang membuat mereka harus berhati-hati ketika hendak melangkah.
“Ci, apakah benar ini rumahmu? Berantakan sekali. Apakah kamu jarang membersihkan rumahmu setiap Minggu pagi?” tanya Casandra heran.
“Sebenarnya aku rajin membersihkan rumahku setiap Minggu pagi, tetapi tentang serpihan kaca itu, nanti kita bicarakan di kamarku.” Uci mencoba mendiamkan Casandra yang masih heran melihat rumahnya yang berantakan.
“Ada apa, Ci?” tanya Casandra.
Uci membawa Casandra ke kamarnya. Uci melakukan hal itu karena selain urusan pribadi yang tak perlu diceritakan kepada orang lain selain sahabatnya, ia juga tidak ingin isi hatinya diketahui siapapun kecuali Casandra. Uci mulai mengunci pintu kamarnya dan memastikan tidak ada suara bising dari luar.
“Jadi begini, Cas. Sebenarnya, aku..,” kata Uci pelan, mencoba bercerita kepada Casandra.
“Ceritakan kepadaku, Ci. Mengapa rumahmu berantakan seperti itu?” pinta Casandra.
Uci menceritakan alasan mengapa rumahnya bisa berantakan. Semua bermula saat ia pulang sekolah dan ingin menunjukkan hasil ujian Matematikanya kepada kedua orang tuanya, tetapi yang didapat hanyalah ruang tamu yang berserakan serta barang yang terjatuh bahkan ada yang melayang hampir mengenai kepalanya. Kejadian itu terus terjadi setiap hari, bahkan di rumah terlihat Uci yang tidak mau bercerita dan selalu memendam perasaannya. Akhirnya, Uci menjelaskan alasan yang memperkuat pertanyaan mengenai rumahnya yang selalu berantakan setiap harinya.
“Mama dan Papaku setiap hari selalu bertengkar. Mereka tidak jarang melempar barang hingga membuat rumahku menjadi seperti ini, kecuali kamarku dan kamar mandi,” kata Uci lirih.
“Oh, jadi ini yang membuat rumahmu setiap hari berantakan?” tanya Casandra.
“Benar, Cas. Rumahku jadi berantakan karena pertengkaran mereka. Barang kategori pecah belah menjadi korban karena selalu dilempar, terutama vas bunga yang pernah kubuat untuk Mamaku saat tugas Prakarya setahun yang lalu, sekarang hancur berkeping-keping.” Uci hampir menangis, melihat beberapa serpihan kaca yang ternyata itu adalah pecahan dari vas bunga karyanya.
“Uci, aku tahu kamu pasti sedih, tetapi sebagai sahabat aku berjanji tidak akan menyebarkan ini kepada teman-temanmu. Aku tahu kamu pasti sakit hati ketika melihat orang tuamu bertengkar, tetapi syukurlah kamu tidak terkena barang apapun yang dilempar oleh mereka. Ci, sekarang kamu harus mendengar kataku. Aku akan selalu ada di sampingmu, kalau kamu ingin bercerita, kamu tidak harus menghampiriku secara langsung, kamu bisa juga menghubungiku lewat ponselmu.” Casandra menenangkan Uci yang hampir terisak. “Apakah kamu masih menyimpan nomorku, Uci?” tanya Casandra.
“Iya, Cas. Aku masih menyimpan nomormu.” Uci menunjukkan bagian kontak di ponselnya yang sudah terdapat nomor telepon Casandra. Ia sudah menyimpan kontak sahabatnya sejak pertama kali bertemu.
“Lalu, bagaimana dengan vas bunga karyaku setahun yang lalu? Aku sudah lelah membuatnya dari dulu, sekarang hanya tersisa serpihannya,” isak Uci memikirkan vas bunganya.
“Lupakan saja, Uci. Bukankah kamu dapat membuatnya kembali?” tanya Casandra.
“T-tapi, vas bunga itu sangat berharga bagiku. Itu adalah hasil jerih payahku sejak dulu. Aku tidak bisa menggantikannya dengan yang baru,” kata Uci terisak.
“Tidak apa-apa, Uci. Mungkin suatu hari nanti kamu pasti akan bisa melupakan vas bunga lamamu dengan segala kenangan yang membekas di dalamnya. Ibarat mengganti air di sebuah akuarium, air lama yang kotor pasti akan tergantikan dengan yang baru. Bukankah begitu, Uci?” tanya Casandra.
“Ah, iya Cas. Kamu benar.” Uci tersenyum. Isak tangis di wajahnya berubah menjadi tawa bahagia setelah mendengar ucapan bijak dari Casandra. Ia senang memiliki sahabat seperti Casandra.
Casandra ternyata baik kepadaku. Balasan apa yang cocok untuknya? Ah, lupakan saja, Uci, lupakan saja. Tidak perlu membalas dengan barang apapun. Cukup balas dengan senyuman itu sudah cukup, batin Uci.
Hari berikutnya saat jam istirahat pertama, Uci merasa lapar. Ia mulai membuka kotak bekalnya dari dalam tas. Uci menunggu Casandra yang baru selesai membeli makanan di kantin agar ia dapat ikut makan bersamanya.
Saat makan, tiba-tiba datang tiga orang yang merupakan teman sekelas Uci. Mereka adalah Mika, Lily, dan Indy. Uci yang kebetulan sedang mengunyah roti yang dibawanya, segera menelan roti tersebut dan berdiri menghadapi tatapan menyeramkan mereka. Uci tampak ketakutan.
“Hei, Uci! Apakah kamu sudah mengerjakan tugas Matematikamu??” tanya Indy menatap Uci dengan matanya yang membesar.
“S-sudah,” jawab Uci ketakutan.
“Bohong! Kamu pasti belum mengerjakannya, bukan? Bu Mawar pasti akan memarahimu kalau kamu belum mengerjakannya!” Mika mengejek Uci yang masih ketakutan. Sebenarnya Uci sudah mengerjakan tugas Matematika dari hari sebelumnya, dan hari ini dia sudah pasti merasa lega. Akan tetapi, kelegaan dalam dirinya berubah ketika kedatangan mereka bertiga.
“Aku sudah mengerjakannya dari awal. Memangnya mengapa? Seharusnya Bu Mawar tidak marah kepadaku, bukan?” Uci yang masih ketakutan, matanya sedikit berair dan agak menutup karena tak tahan melihat mata Mika yang membesar.
“Sebentar lagi jam terakhir. Kamu pasti akan dimarahi Bu Mawar. Ayo, kita tinggalkan Uci! Hahaha.” Lily tertawa, disusul oleh Mika dan Indy yang tertawa sambil berjalan meninggalkan Uci sendirian.
Uci yang mendengar tawa jahat mereka bertiga langsung duduk dengan wajah yang sedih. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar mereka bertiga.
Apa yang mereka lakukan kepadaku? Padahal tugas Matematika itu sudah kukerjakan beberapa hari sebelum hari ini, seharusnya mereka yang berbohong, bukan aku. Aku sudah mengerjakannya sejak awal. Memangnya mengapa? Uci tak bisa berkata apa-apa selain hati kecilnya yang berbicara dan matanya yang terus mengeluarkan air hingga membentuk sebuah sungai di wajahnya.
Uci yang masih menutup wajah dengan kedua tangannya, tiba-tiba mendengar sebuah suara.
“Uci?”
Uci mengintip, lalu berteriak.
“Seseorang tolong aku! Ada yang merundungku!” teriak Uci.
“Ci, tenanglah, ini aku.”
“Siapa kamu? Apakah kamu Mika yang tadi mengucilkanku?” Uci masih terisak, kemudian ia merasa seolah hilang ingatan karena tidak mengenali siapa yang ada di depannya.
“Uci, ini aku sahabatmu, Casandra. Maaf telah membuatmu terlalu lama menunggu hingga membuatmu seperti ini,” kata Casandra mengelus bahu Uci.
“Tidak perlu minta maaf, yang penting aku senang jika kamu ada di sampingku,” kata Uci menyeka air matanya.
“Aku ingin bertanya kepadamu. Mengapa kamu tadi menangis?” tanya Casandra.
“Menangis? Memangnya kamu tadi mendengar suara tangisanku? Tadi kamu sedang di kantin, jadi kamu tidak mendengar suara tangisanku,” kata Uci sedikit lirih.
“Meskipun aku sedang di kantin, bukan berarti aku tidak mendengar suara tangisanmu. Aku bisa membaca kondisi wajahmu, Uci,” kata Casandra.
“Ah, iya. Tadi aku...” Uci menceritakan masalahnya kepada Casandra, kali ini ia bercerita bagaimana Mika, Lily, dan Indy merundungnya dengan cara mengucilkannya sambil mengatakan Uci belum mengerjakan tugas Matematika, padahal Uci sudah mengerjakannya dari awal. Tak jarang ia menirukan suara tawa jahat Lily yang mengucilkannya bersamaan dengan Mika dan Indy. “Begitu ceritanya, Cas,” kata Uci mengakhiri cerita.
“Oh, begitu. Jahat sekali mereka,” kata Casandra.
“Iya, padahal aku sudah mengerjakannya dari awal. Itu artinya, apakah aku akan kena marah Bu Mawar seperti kata mereka? Mereka bilang aku tidak mengerjakannya,” kata Uci lirih.
“Bu Mawar tidak akan marah kepadamu, Ci. Percayalah padaku. Bu Mawar guru yang baik dan ramah. Kamu pasti tidak dimarahi olehnya, asalkan kamu sudah mengerjakan tugas yang diberikan olehnya hari demi hari. Yang mereka bertiga katakan itu salah, tetapi kamu maafkan saja mereka dan jangan ada niatan untuk membalas,” kata Casandra.
“Benarkah?” tanya Uci.
“Iya, Ci. Apa yang dikatakan olehku itu benar,” kata Casandra membelai rambut Uci dengan lembut.
“Lalu, apa yang seharusnya kulakukan? Katamu aku tidak boleh membalas mereka dengan cara yang salah, yang berarti aku harus memaafkan mereka. Apa yang harus kulakukan, Cas?” tanya Uci.
“Begini saja, Ci. Nanti pada jam pulang saat selesai pelajaran Matematika, kita akan ke ruang BK untuk membahas masalahmu. Di sana ada Bu Alamanda. Kamu bisa menceritakan masalahmu kepada Bu Alamanda. Kalau kamu butuh aku, aku bisa ikut dan duduk menemanimu bercerita di ruangan itu.” Casandra menyarankan Uci untuk mencurahkan isi hatinya kepada Bu Alamanda yang merupakan Guru BK di sekolahnya, tetapi kali ini ia akan ditemani Casandra. “Tidak apa-apa, kan, kalau aku ikut masuk?” tanya Casandra.
“Boleh, Cas. Dengan senang hati,” kata Uci tersenyum. Isak tangis di wajahnya berubah menjadi senyum bahagia karena ada Casandra.
“Terima kasih, Uci.” Casandra membalas dengan tersenyum.
Jam pelajaran terakhir adalah Matematika. Uci yang sudah mengumpulkan tugas Matematikanya kepada Bu Mawar kini merasa lega. Ia mendapat nilai tertinggi di tugas Matematika, begitu pula dengan Casandra. Namun, di sisi lain Uci merasa sedih.
“Uci, Ibu sudah memberimu nilai 95, mengapa kamu masih sedih?” tanya Bu Mawar kepada Uci.
“Saya masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Lily, Indy, dan Mika, Bu. Mereka pasti bilang kalau saya tidak mengerjakan ini dan pasti saya akan dimarahi Ibu,” isak Uci.
“Uci, yang dikatakan ketiga temanmu itu tidak benar. Mereka semua salah, tetapi kamu jangan membalas mereka dengan kejahatan, ya. Kamu murid Ibu yang pandai dan selalu rajin,” kata Bu Mawar.
“Benarkah? Terima kasih, Bu!” kata Uci haru.
Benar saja, sepulang sekolah, Uci dan Casandra berjalan ke ruang BK untuk menemui Bu Alamanda. Ruang BK terletak di dekat akses jalan menuju tangga, jadi mereka dapat menemui Bu Alamanda dengan mudah.
“Silakan masuk,” kata petugas.
“Selamat sore. Apakah ada Bu Alamanda? Saya ingin menyampaikan keluh kesah saya kepada Bu Alamanda,” kata Uci.
“Oh, Bu Alamanda? Ada di ruangan ini. Silakan kalau ingin curhat,” kata petugas.
Mereka menghampiri Bu Alamanda, kemudian duduk di ruangan tertutup yang disediakan.
“Uci, ada apa kamu menghampiri Ibu? Coba ceritakan apa yang terjadi.” Bu Alamanda meminta Uci untuk menceritakan keluh kesahnya.
“Jadi begini, Bu. Saya...” Uci menceritakan semua yang dialaminya, mulai dari rumahnya yang berantakan karena orang tuanya yang selalu bertengkar tiada henti hingga dirinya yang selalu dikucilkan oleh Lily, Mika, dan Indy. “Begitu, Bu,” kata Uci menutup cerita.
“Apakah yang diceritakan temanmu itu benar? Menurut Casandra, bagaimana?” tanya Bu Alamanda.
“Saya adalah sahabatnya. Tentunya yang diceritakan teman saya itu benar. Awalnya di sekolah dia adalah orang yang periang, tetapi entah mengapa hari ini dia menunjukkan wajah murung dan sedihnya.” Casandra menceritakan semuanya kepada Bu Alamanda. Ia mengatakan kalau ia terus menjadi bukan hanya sebagai sahabat, tetapi juga sebagai rumah bagi Uci.
“Uci, dengarkan Ibu. Sepertinya kamu sedang berjuang mencari persinggahan yang sesungguhnya dalam dirimu, berusaha menghindar dari mereka yang selalu memunculkan banyak masalah, baik di dalam maupun di luar. Tentang mereka bertiga, sepertinya besok Ibu akan panggil mereka ke ruang ini agar mereka jera,” kata Bu Alamanda.
“Apakah Ibu akan menghukum mereka? Tolong jangan beri hukuman yang berat bagi mereka, Bu,” pinta Uci.
“Ibu tidak akan memberi hukuman berat. Ibu hanya menasihati mereka agar tidak merundung dan mengucilkanmu lagi,” kata Bu Alamanda.
“Terima kasih, Bu. Kami pulang dulu.” Uci dan Casandra berpamitan kepada Bu Alamanda karena waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, yang artinya mereka harus pulang.
“Sama-sama,” balas Bu Alamanda.
Keesokan harinya, Lily, Mika, dan Indy dipanggil ke ruang BK oleh Bu Alamanda. Mereka yang tadinya sedang duduk bercanda ria, seketika menjadi ketakutan. Mereka bertiga langsung menuju ruang BK.
“Selamat pagi. Ada apa, Bu?” tanya Indy.
“Kalian tahu, mengapa Ibu memanggil kalian bertiga?” Bu Alamanda bertanya kepada ketiganya, tetapi mereka menggeleng. “Karena kemarin kalian sudah merundung Uci hingga ia menangis,” kata Bu Alamanda.
Sementara itu, Uci dan Casandra masih di kelas. Mereka mengobrol tentang definisi rumah dalam diri mereka masing-masing.
“Cas, menurutmu apa definisi rumah dalam dirimu?” tanya Uci.
“Rumah dalam diriku adalah tempat untuk berbagi cerita, tentunya aku bisa menjadi tempat bercerita bagi diriku sendiri.” Casandra menjawab pertanyaan Uci sambil tersenyum. “Kalau kamu, Ci?” tanya dia lagi.
“Rumah dalam diriku?” tanya Uci.
“Iya, rumah dalam dirimu,” kata Casandra.
“Sebenarnya, aku masih mencari rumah dalam diriku, Cas. Aku tidak punya definisi rumah dalam diriku karena aku masih mencarinya,” jawab Uci.
“Syukurlah kalau kamu ingin jujur kepadaku. Mencari arti persinggahan dalam diri itu membutuhkan proses panjang, ya,” kata Casandra.
“Kamu benar, Cas. Butuh proses yang panjang untuk mencari arti sesungguhnya dari sebuah persinggahan dalam diri,” kata Uci lirih.
Setelah istirahat pertama, pelajaran Bimbingan Konseling pun dimulai. Kali ini materinya adalah rumah dalam diri. Saat Uci ditanya tentang arti rumah dalam diri yang sesungguhnya oleh Bu Alamanda, ia tidak bisa menjawab karena ia masih harus menemukan definisi yang sebenarnya, yang memperkuat tentang persinggahan dalam dirinya. Sementara saat giliran Casandra, ia berhasil menjawab pertanyaan Bu Alamanda tentang rumah.
Sepulang sekolah, Casandra meminta sesuatu kepada Uci. Kali ini ia meminta Uci untuk menginap di rumahnya. Entah mengapa Casandra melakukan itu.
“Ci?” tanya Casandra.
“Ya?” kata Uci sambil mendorong rambutnya ke belakang telinga.
“Kamu mau menginap di rumahku? Sampai dirimu dan pikiranmu benar-benar pulih. Rumahku lebih rapi dan bersih,” pinta Casandra.
“B-boleh,” kata Uci gugup.
“Baiklah. Kamu akan tinggal di rumahku sampai kamu benar-benar pulih,” kata Casandra.
Di rumah, Uci mengemasi barang-barangnya ke tas dan memastikan tak ada satupun barang yang ketinggalan. Saat Uci sudah siap dan hendak pergi ke rumah Casandra, tiba-tiba Mamanya datang di belakangnya.
“Nak, kamu mau ke mana?” tanya Mama.
“Uci ingin pergi saja. Uci sudah lelah mendengar Mama dan Papa bertengkar dan melempar barang. Lebih baik Uci pergi dari rumah ini,” kata Uci kesal, kemudian ia keluar dengan wajah yang masih marah.
Sesampainya di rumah Casandra, Uci masih belum memastikan apakah ini benar rumah sahabatnya itu atau bukan.
Apa benar ini rumahnya? Sepertinya aku salah rumah. Rumah Casandra dindingnya ungu cerah dan berpagar besi cokelat, batinnya.
Tiba-tiba terdengar suara derit pintu. Ternyata di depan mata, Casandra sudah menyambutnya.
“Uci!” sambut Casandra riang.
“Casandra!” kata Uci senang.
“Silakan masuk, Uci,” kata Casandra mempersilakan masuk.
Saat memasuki rumah Casandra, Uci dibuat takjub dengan rumah Casandra yang interiornya rapi, tidak seperti rumahnya yang terdapat banyak barang jatuh dan terlempar.
Oh, ternyata seperti ini rumah sahabatku. Kalau rumahnya tidak berantakan seperti rumahku, aku pasti betah tinggal di sini daripada aku harus pulang ke rumahku yang suasananya masih kacau. Casandra, terima kasih sudah memperbolehkanku untuk tinggal di rumahmu. Uci berkata dalam hatinya karena masih kagum akan rumah sahabatnya itu.
“Mama Papamu tidak bertengkar seperti Mama Papaku, Cas?” tanya Uci.
“Tidak, Uci. Mereka berdua hidup rukun. Memangnya ada apa?” tanya Casandra.
“Entah mengapa di rumahmu aku jadi semakin betah. Mungkin karena aku tidak menyukai suasana di mana orang tuaku selalu bertengkar setiap harinya, jadi aku lebih memilih untuk tinggal di rumahmu saja, Cas.” Uci menyatakan alasan mengapa dirinya lebih menyukai rumah Casandra daripada rumahnya.
“Tidak apa-apa, Ci. Aku mengizinkanmu untuk tinggal di rumahku selamanya. Aku menganggapmu bukan hanya sebagai sahabat, tetapi juga saudaramu,” kata Casandra.
“Benarkah?” Uci bertanya kepada Casandra tentang pengakuannya itu. “Terima kasih, Casandra!” jawab Uci kemudian.
Di rumah Casandra, Uci diperkenalkan kepada seorang wanita yang ternyata itu adalah Mamanya Casandra. Ia sangat senang ketika menyadari Mamanya Casandra adalah orang yang baik dan tidak pernah bertengkar dengan Papanya Casandra. Tak hanya itu, Uci juga diperkenalkan kepada Papanya Casandra.
“Om, Tante, nama saya Uci. Saya ke mari karena saya tidak menyukai kondisi rumah saya yang kacau,” kata Uci lirih.
“Tidak apa-apa, Nak. Kamu pasti senang dengan rumah ini. Apakah kamu menyukai rumah yang rapi ini?” tanya Mamanya Casandra.
“Saya suka, Tante. Rumah Tante dan Om rapi sekali,” kata Uci.
Uci menjalani hari di rumah Casandra hingga dirinya tak mau pulang. Akan tetapi, tiba-tiba orang tuanya Uci menghubunginya lewat notifikasi, yang mana pada saat itu Uci harus pulang, tetapi Uci menolak pulang karena ia tidak mau lagi melihat Mama dan Papanya bertengkar kembali. Melihat itu, Casandra dan orang tuanya semakin khawatir melihat kondisi Uci.
“Ci, ada apa denganmu?” tanya Casandra.
“Aku disuruh pulang oleh Mama Papaku, padahal aku tidak mau pulang karena kalau aku pulang ke rumahku, nanti aku melihat mereka bertengkar dan melempar barang lagi. Aku tidak suka.” Uci menangis, menatap Casandra yang saat itu sedang duduk di sofanya.
“Sudahlah, Ci. Lebih baik kamu tinggal di rumahku saja. Orang tuaku sangat baik terhadapmu. Rumahku lebih aman, nyaman, dan damai, jadi kamu betah tinggal di sini,” kata Casandra.
Sejak saat itu, Uci sering kehilangan kontak dari orang tuanya, karena ia memilih untuk tinggal bersama Casandra. Memang Uci masih dalam proses penyembuhan dalam dirinya. Ia masih mencari arti sesungguhnya dari sebuah persinggahan. Pertengkaran orang tuanya dan ejekan teman-temannya membuat Uci harus berjuang, tetapi semenjak ia tinggal di rumah Casandra, ia tidak pernah berjuang sendirian karena ada Casandra yang selalu menemaninya.
Di sekolah, berita Uci yang sekarang tinggal di rumah Casandra menjadi buah bibir seluruh warga sekolah, tetapi kesempatan ini tidak dimanfaatkan oleh Lily dan dua orang temannya karena mereka takut akan dipanggil Bu Alamanda lagi, jadi mereka hanya diam saja dan tidak menggubrisnya. Uci dan Casandra yang masih duduk di koridor sekolah, tertawa dan bercanda, sepertinya topik mereka masih sama, yakni rumah dalam diri mereka. Meskipun mereka selalu bercanda, tidak ada sama sekali perkataan yang menyinggung, baik kepada Uci maupun Casandra.
Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Lily, Mika, dan Indy menghampiri mereka berdua. Uci meringkuk, bersembunyi di belakang Casandra karena ketakutan.
“Sudahlah, Uci. Biar aku saja yang bicara kepada mereka.” Casandra meyakinkan Uci lalu ia mulai berbicara kepada tiga orang itu.
“Ada apa kalian datang ke mari? Kalian mau merundung sahabatku lagi?” tanya Casandra kepada mereka bertiga sambil marah.
“Bukan begitu, Cas. Kami sengaja ke mari untuk meminta maaf kepada Uci, karena kami belum meminta maaf kepadanya. Sesuai kata Bu Alamanda, kami harus meminta maaf.” Raut wajah penyesalan Mika bersamaan dengan Indy dan Lily mulai terlihat. “Di mana Uci?” tanya Indy.
“Uci masih ketakutan karena ulah kalian waktu itu. Sepertinya ia masih trauma mengingat kejadiannya. Kalian minta maaf kepadaku saja,” kata Casandra.
“Baiklah. Maafkan kami karena sudah merundung sahabatmu, Cas,” kata Lily disusul Indy dan Mika dengan wajah penyesalan.
“Tidak apa-apa. Aku maafkan kalian, tetapi kalian jangan mengulanginya lagi, ya,” kata Casandra.
Setelah meminta maaf, mereka bertiga pergi. Casandra yang melihat mereka pergi lalu menepuk bahu Uci untuk mengatakan sesuatu.
“Ci, kamu mendapat salam dari mereka bertiga.” Casandra menepuk punggung Uci yang saat itu masih ketakutan.
“Salam? Dari siapa? Beritahu kepadaku, Cas,” pinta Uci.
“Lily, Mika, dan Indy. Mereka tadi sudah minta maaf kepadamu. Kamu sudah memaafkan mereka bertiga, bukan?” tanya Casandra.
“Aku sudah memaafkan mereka bertiga, tetapi tidak dengan traumanya. Mungkin karena aku masih ingat kejadian itu. Aku tidak melupakan momen saat mereka merundungku dengan cara mengucilkanku. Meski aku sudah memaafkan mereka, entah mengapa dalam hatiku aku masih kesal kepada mereka.” Uci mengatakannya dengan lirih. Ia masih terus mengingat kejadian di mana ia dirundung oleh mereka bertiga yang pada saat itu Casandra masih membeli makanan di kantin.
“Ah, maafkan saja, Ci. Yang lalu biarlah berlalu. Mereka kini sudah baik kepadamu, bahkan menjadi sahabatmu. Lupakan bekas luka di hatimu, karena ada aku di sini yang selalu menjadi sahabatmu. Kalau kamu bersedih, aku jadi ikut sedih,” kata Casandra meyakinkan Uci.
Meski sudah diyakinkan Casandra, Uci masih tidak percaya dengan apa katanya. Baginya, apa yang dilakukan tiga temannya itu sudah membuat dirinya tidak bisa mencari arti rumah yang sesungguhnya. Uci masih menyimpan trauma mendalam tentang mereka bertiga, tetapi Uci tidak memiliki rasa untuk balas dendam kepada mereka.
Di rumah Casandra, Uci masih memikirkan bagaimana caranya menghilangkan trauma tentang Lily, Mika, dan Indy dalam hatinya. Bayang-bayang tentang mereka mulai melayang mengelilingi kepala Uci. Mata Uci terpejam, tetapi mengeluarkan air mata yang membentuk air terjun kecil mengaliri pipinya. Uci yang saat itu masih terbayang mereka, padahal mereka tadi sudah meminta maaf kepadanya, dikejutkan oleh Casandra.
“Ci?” panggil Casandra.
“Ya, Cas?” kata Uci sambil menyeka air matanya.
“Maaf mengganggumu. Mamaku tadi sudah membuatkan makan siang untukmu. Kamu mau makan?” tanya Casandra.
“Ya, aku mau,” kata Uci.
Saat makan siang, Uci masih terbayang perlakuan Indy, Mika, dan Lily terhadapnya beberapa hari yang lalu, padahal mereka sudah meminta maaf. Ditambah lagi kondisi rumah Uci yang masih berantakan akibat orang tuanya yang selalu bertengkar dan melempar-lempar barang. Uci masih bisa menghabiskan makanannya, meskipun pikirannya masih bercabang dan hatinya yang masih menyimpan trauma.
Uci kembali ke kamar Casandra. Ia masih membayangkan perlakuan mereka bertiga kepadanya. Meski mereka sudah meminta maaf, ia masih khawatir kalau mereka masih mengulangi perbuatannya. Ada dua kemungkinan. Jika benar mereka bertiga sudah menjadi sahabat bagi Uci dan Casandra, mereka pasti tidak mengulangi perundungan. Jika mereka masih mengulangi perbuatannya, Uci akan ketakutan, begitu pula dengan Casandra. Namun, Uci yakin dengan perkataan Casandra tentang mereka bertiga yang nanti akan menjadi sahabat bagi mereka berdua itu. Mereka bertiga takut ketika bertemu Bu Alamanda karena mereka yakin Bu Alamanda akan memarahi mereka jika mereka masih merundung Uci.
Keesokan harinya di sekolah, Uci masih menyimpan trauma mendalam kepada Lily, Indy, dan Mika. Ketika ia berpapasan dengan mereka bertiga, ia merasa cuek dan tidak mau menyapa, karena mungkin masih ada perasaan tidak enak dalam hatinya.
Uci menemui Casandra yang saat itu sedang menyapu lantai. Hari ini yang mendapat giliran piket kelas adalah Casandra. Karena lantainya sedang dibersihkan dari kotoran, Uci meminta Casandra untuk menaruh tasnya di tempat duduk terdepan karena ia khawatir sahabatnya akan kewalahan jika ia menginjak lantai yang disapu oleh sahabatnya.
“Cas?” kata Uci. “Bolehkah aku meminta tolong kepadamu sebentar?” pintanya.
“Ada apa, Uci?” tanya Casandra yang kebetulan masih memegang sapu ijuk di tangannya.
“Aku khawatir kalau aku menginjak lantai yang sudah kamu sapu. Aku duduk di kursi paling depan. Bagaimana caranya aku melangkahi lantai ini? Aku takut kamu marah padaku,” kata Uci lirih.
“Uci, aku tidak akan marah padamu. Aku tidak keberatan kalau kamu menginjak lantainya. Aku juga tidak merasa kewalahan. Kalau kamu ingin menaruh tasmu, silakan saja kalau kamu mau,” kata Casandra.
Uci berterimakasih kepada Casandra, lalu ia menaruh tasnya di kursi paling depan.
Saat jam istirahat tiba, Uci masih saja dihantui perasaan tidak enak tentang Lily, Mika, dan Indy. Mungkin mereka akan kembali lagi untuk merundung Uci seperti biasa, atau karena mereka sudah dinasihati oleh Bu Alamanda, mereka kini menjadi anak baik. Uci masih belum menemukan jawaban sesungguhnya tentang arti dari sebuah persinggahan dalam dirinya, sebab ia masih harus menghadapi rumahnya yang berantakan karena pertengkaran orang tuanya hingga perundungan dari Lily, Mika, dan Indy. Untungnya pada saat itu Uci sudah selesai makan camilannya, jadi ia tidak merasa mual karena pikirannya yang bercabang.
Saat Uci sedang memikirkan arti rumah yang sesungguhnya, Bu Mawar mulai menghampirinya. Ia duduk di samping Uci yang tangannya terlihat masih menopang pipi sebelah kanan. Seperti biasa, Bu Mawar menanyakan keadaan Uci yang pada saat itu masih dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
“Uci, ada apa denganmu? Kalau kamu ada masalah, ceritakan pada Ibu. Ibu akan mengerti keluh kesahmu,” kata Bu Mawar duduk di dekat Uci.
“Apakah Lily, Mika, dan Indy masih merundung saya, Bu? Saya khawatir mereka mengusili saya seperti waktu itu,” kata Uci lirih.
“Tidak, Ci. Mereka tidak merundungmu. Bukankah mereka sudah dinasihati oleh Bu Alamanda?” tanya Bu Mawar.
“Meskipun mereka sudah dinasihati oleh Bu Alamanda, tetap saja saya masih khawatir kalau saya dirundung lagi oleh mereka. Saya khawatir mereka berulah lagi, Bu,” kata Uci terisak.
“Uci, Ibu yakin padamu, mereka bertiga pasti tidak akan mengulangi perbuatannya, karena mereka sudah meminta maaf kepadamu.” Bu Mawar meyakinkan ucapan Uci yang masih sedih. “Di mana sahabatmu?” tanya Bu Mawar.
“Maksud Ibu, Casandra?” tanya Uci lagi. “Casandra tadi ke ruang BK. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan kepada Bu Alamanda,” jawabnya.
Uci mengatakan saat itu Casandra pergi ke ruang BK karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Ia tidak memberitahukan itu kepada Bu Mawar karena hanya ia dan Casandra yang mengerti apa isi pembicaraannya. Setelah itu, Bu Mawar beranjak dari bangku koridor lalu pergi. Tiba-tiba Casandra menghampiri Uci yang masih duduk sendirian. Pastinya bagai udang di balik batu, ada sesuatu yang membuat Uci ingin menemukan jawaban dari definisi persinggahan dalam dirinya.
“Uci!” sahut Casandra.
“Iya, ada apa?” kata Uci.
“Nanti saat pulang sekolah, Bu Alamanda katanya ingin mengajakku ke kedai kopi. Kamu mau ikut, Ci?” Casandra mengajak Uci ke kedai kopi terdekat sepulang sekolah. Uci awalnya menolak, tetapi kali ini ia menerima tawaran sahabatnya itu.
“Boleh. Aku senang kalau kamu mengajakku ke kedai kopi. Aku pernah mendengar kalau menghirup aroma kopi itu dapat menenangkan jiwa yang lelah dan letih. Kalau begitu, aku ikut denganmu. Seorang sahabat tidak boleh memprotes tawaran dari sahabatnya.” Uci menerima tawaran Casandra sambil sedikit tertawa. Ia tersenyum karena kali ini ia pasti akan menemukan jawaban dari definisi persinggahan dalam dirinya.
Benar saja, saat pulang sekolah, mereka menaiki mobil Bu Alamanda untuk ke kedai kopi terdekat. Sesampainya di sana saat masuk, mereka sudah disambut aroma kopi yang sedang dibuat oleh barista di tempat itu.
Apa benar ini kedai kopinya? Bu Alamanda tidak salah, bukan? Kalau memang benar ini kedai kopinya, pasti aku betah minum kopi di tempat ini, batin Uci.
“Selamat sore. Ini buku menunya. Silakan kalian mau pesan makanan dan minuman sepuas hati,” kata pelayan kedai kopi itu.
“Apa, ya?” Uci memikirkan jawabannya. “Aku ingin kopi espresso dan kue stroberi,” kata Uci.
“Kalau aku ingin kopi susu Thailand dan kue kering,” kata Casandra.
“Saya ingin kopi tawar biasa dan sepiring kacang,” kata Bu Alamanda.
“Baiklah, daftar pesanan sudah dibuat. Kalian tinggal menunggu di meja sebelah sana,” kata pelayan kedai kopi sambil menunjuk meja kosong dengan dua sofa empuk yang terletak di dekat jendela.
Mereka menerima nomor meja dan langsung duduk. Uci masih terus menatap langit sore dari jendela. Terlihat matahari sebentar lagi akan terbenam. Uci masih memikirkan arti dari persinggahan yang sesungguhnya dalam dirinya. Pikirannya masih bercabang dan dihantui perasaan bimbang tentang Lily, Mika, dan Indy. Saat Uci sedang memikirkan sesuatu, ia ditepuk bahunya pelan-pelan oleh Casandra.
“Uci, ada apa denganmu?” Casandra mulai menanyakan Uci. “Iya, apa yang terjadi kepadamu?” Bu Alamanda juga menanyakan kondisi Uci.
“Saya masih belum memahami arti sesungguhnya dari sebuah persinggahan. Mungkin ada yang tidak beres dalam diri saya. Dalam diri saya bagai tersesat tak tentu arah. Bagi saya, saya belum bisa menemukan definisi rumah yang sesungguhnya,” kata Uci mencoba menjelaskan kepada Casandra dan Bu Alamanda.
Tak lama kemudian, pesanan mereka sudah ada di meja. Sambil menyeruput kopi espresso, entah mengapa Uci masih dilanda perasaan bimbang mengenai arti sesungguhnya dari sebuah persinggahan dalam dirinya. Berbeda dengan Casandra yang waktu itu sudah menemukan arti dari sebuah rumah di dirinya, Uci sampai sekarang masih belum mencari arti rumah dalam dirinya.
Kopi dan camilan mereka kini sudah habis tak bersisa. Saat pulang, Uci masih memandangi terbenamnya matahari sambil mencari definisi dari rumah yang sesungguhnya.
“Uci, apa kamu sudah menemukan arti rumah yang sesungguhnya bagimu?”
“Belum. Masih belum.”
Hingga kini, Uci masih berjuang menemukan arti persinggahan sesungguhnya dalam dirinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰