
=== Bab 6. Panggilan Rejeki Bagian 2 ===
Arinda benar-benar menunggu panggilan telpon yang dikatakan oleh Nindy tadi, sudah satu jam dia menunggu hingga akhirnya ponselnya berdering juga dengan nomor tak dikenal.
"Halo," sapa-nya dengan semangat empat lima.
["Halo benar dengan Ibu Arinda."]
"Iya benar. Ada perlu apa ya," tanya Arinda sambil mengigit bibirnya sendiri.
["Saya Ali ingin memesan makanan dari katering Ibu apa bisa ?"]
"Bisa Pak, untuk kapan ya ? dan mau menu apa Pak ?" Setelah Arinda menanyakan hal tersebut pria bernama Ali itu sepertinya tidak langsung menjawab. Hingga akhirnya terdengarlah suara Ali kembali.
["Bos saya minta Ibu buatkan sarapan untuk besok pagi dan diantarkan ke alamat yang akan saya kirimkan. Saya pesan menu sarapan spesial untuk tiga puluh orang. Diantar pukul delapan tepat ya."]
"Oh baiklah Pak, terima kasih sudah order. Besok jam delapan saya sudah tiba di alamat."
Arinda menutup telponnya dan dia sangat bahagia. Jika orderan seperti ini lancar maka dia bisa membuka usaha sendiri pikirnya.
Arinda melihat jam di ponsel lalu dia menghitung waktu masih bisa beristirahat sebentar sebelum dia bergegas ke pasar untuk membeli semua bahan untuk menu sarapan yang diminta.
Dalam pikirannya saat ini hanyalah membuat sarapan Lontong Medan yang khas itu. Dia kali ini akan membeli mika yang sudah bisa dijadikan box makanan saja karena mengingat harga yang akan diterimanya.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya dan itu dari Ali.
Tanda transfer ke rekeningnya dan juga alamat kemana dia harus mengantarkan pesanan besok.
***
Anton baru selesai mengambil pakaian yang dia laundry dan membeli beberapa perlengkapan yang dia butuhkan. Sebenarnya gaji Anton sudah cukup untuk dia bisa tinggal di apartemen namun ada satu hal yang membuat dia enggan untuk pindah, hal itu tidak lain karena Arinda.
Wanita yang sudah satu tahun lebih ini mencuri hatinya perlahan-lahan hingga Anton yakin jika dia memang jatuh cinta padanya, tapi apa daya dia belum siap mengatakan hal itu kepada Arinda.
Dia hanya bisa diam-diam memperhatikan Arinda dan membantu apa yang dia bisa.
Arinda adalah wanita cantik yang tidak terpengaruh akan pergaulan di Jakarta. Arinda yang dia kenal itu adalah wanita yang bekerja keras, ramah, dan sopan.
Wajah cantik dan pintar memasak sudah menjadi nilai plus tersendiri untuknya. Bagi Anton Arinda adalah wanita yang tepat untuk dijadikan istri.
Sedikit memikirkan Arinda kini Anton melihat wanita itu tengah berdiri dan melihat ponselnya, "Mau kemana Arinda ?" tanya Anton membuat Arinda menatapnya.
"Eh ! Ini bang, mau pesan ojek online."
"Memang mau kemana ?"
"Mau ke pasar. Ada yang order sarapan besok jadi mau belanja," jawab Arinda dan benar saja Anton menawarkan bantuan kepada Arinda.
Awalnya Arinda menolak tapi alasan Anton dia juga kebetulan ingin ke pasar membeli beberapa keperluannya.
Arinda pun pergi ke pasar bersama Anton dengan mobil yang Anton miliki. Di pasar Anton membantunya membawa belanjaan dan pria itu juga mengajak Arinda untuk makan di warung bakso. Arinda tidak bisa menolak karena Anton sudah sangat membantunya.
Setibanya di warung bakso ponsel Arinda bergetar menampilkan chat di group dia dan teman-temannya.
Arinda sibuk membalas pesan di group hingga ternyata pesanannya sudah datang. Anton sedari tadi menatap Arinda tanpa wanita itu sadari.
"Bang kok gak di makan ?" tanya Arinda karena mangkuk Anton masih penuh sementara miliknya sudah kandas. Arinda juga sebenarnya harus memburu waktu.
"Eh iya," jawab Anton lalu mulai memakan pesanannya sementara Arinda sudah gelisah ingin cepat-cepat pulang ke kost. List pekerjaannya masih menumpuk.
Hingga akhirnya setelah lima belas menit menunggu Anton selesai juga dengan makanannya. Arinda langsung berdiri, dia memberikan uang ke kasir mendahului Anton yang kalah cepat.
"Arinda saya saja."
"Tidak apa bang, anggap saja uang bensin sudah antar Rinda."
"Loh kok gitu."
"Sudah tidak apa-apa bang. Ayo bang Anton Rinda harus segera menyiapkan pesanan untuk besok." Anton langsung mengikuti Arinda yang sudah berjalan menuju mobilnya.
****
Adzan subuh sudah terdengar Arinda pun bangun, sejujurnya dia ketiduran setelah meracik semua bumbu yang dia perlukan. Bahkan dia hanya tidur dengan bersandar ke dinding, dia melihat jam merasa masih beruntung bisa tidur dua jam.
Arinda menatap pantulan dirinya di cermin, dia tersenyum dan menyemangati diri sendiri untuk terus semangat. Sangat lelah memang tapi apa yang bisa dia lakukan hanya ini, dia hanya lulusan SMA dengan keinginan yang tinggi.
Ini jalan yang sudah dia pilih maka dia harus tetap semangat melewatinya. Sambil meracik bumbu dia sudah memikirkan untuk membuka warung makan jika uang yang dia kumpulkan sudah cukup.
Mungkin wanita diluar sana yang seumuran dengannya sudah memiliki pacar dan menjalin hubungan romansa, tapi tidak dengan Arinda. Tidak sekalipun dia pernah merasakannya, seluruh ruang di kepala dan hatinya hanya di isi dengan keluarga dan cari uang.
Anehnya bahkan dia tidak pernah terpikirkan mencari kekasih, atau mungkin dia terlalu menikmati dunianya saat ini dan semua teman-temannya juga hanya fokus mencari uang dengan cara halal pastinya. Kecuali Reina yang memang sudah lama berpacaran dengan kekasihnya.
Dia bukan tidak ingin memiliki kekasih, terkadang dalam sendirinya dia juga terpikirkan hal itu tapi kembali lagi mencari uang lebih penting untuknya saat ini.
Usai memotivasi diri sendiri Arinda menggulung rambut panjangnya lalu menyiapkan semua masakannya. Tepat pukul tujuh pagi Arinda sudah selesai dan dia bernapas lega.
Nindy yang keluar dari dalam kamar melihat pintu kamar Arinda terbuka dan semerbak aroma kuah gulai menguar.
"Rin masak apa lo ?"
"Itu teman bos lo pesan sarapan hari ini. Lumayan banget pesanannya malah, makasih ya Nin." Arinda lalu segera mengambil satu piring dan mengisi dengan lauk pauknya.
"Ini buat lo sarapan. Gue mau mandi terus antar ini pesanan."
"Bisa lo sendiri, Naik apa ?"
"Pakai taksi lah. Nanti bilangin sama Ena dan Ela kalau mau makan ambil aja di kamar gue, kunci gue simpan di tempat biasa." Nindy mengangguk dan dia berdecak kagum karena banyak pesanan Arinda dan dia hanya mengerjakan sendiri.
***
"Makasih Pak," ujar Arinda setelah memberikan ongkos taksinya. Dia melihat bangunan besar di depan yang di alamatnya mengatakan adalah sebuah gedung apartemen. Arinda bertanya pada sekuriti yang berjaga dia harus ke arah mana untuk sampai pada unit si pemesan.
Setelah tahu tempatnya Arinda dibantu sekuriti lainnya untuk membawa semua box makanan itu.
Sekuriti itu meninggalkan Arinda di depan pintu apartemen kemudian dia menekan bel.
Arinda saat ini mengikat rambut panjangnya dan hanya memakai dress hitam bermotif polkadot dengan dalaman kaos putih. Make up yang dia gunakan juga hanya sederhana saja. Ketika mengantarkan pesanan dia harus terlihat segar dan wangi tentunya.
Setelah menunggu sedikit lama akhirnya pintu apartemen dibuka, dan wajah seorang wanita yang dapat Arinda lihat.
"Permisi saya mau mengantarkan pesanan Bapak Ali," kata Arinda dengan sopan dan wanita itu meneliti penampilan Arinda.
=== Bab 7. Rembulan di pagi hari ===
Wanita paruh baya di depan Arinda itu tersenyum lalu mempersilahkan Arinda untuk masuk.
"Bawa masuk saja sekalian ya. Saya panggilkan keponakan saya dulu," kata wanita yang terlihat sangat anggun itu.
Arinda membawa sedikit demi sedikit barang yang dia bawa dan meletakkan di tempat yang wanita tadi minta.
Ruangan yang dia masuki saat ini sangat mewah dia sangat terpesona melihatnya.
Setelah selesai menata semua orderannya Arinda berniat pamit dan ingin mengucapkan terima kasih. Tapi yang dia dengar ada semacam keributan antara dua orang dengan bahasa Inggris, dan untungnya dia tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan.
Tidak lama keluar seorang pria membuatnya langsung menampilkan senyuman. Sementara pria itu mengusap wajahnya berulang kali dan perlahan mendekati Arinda dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggangnya.
Arinda otomatis ikut mundur perlahan dan dia masih tidak mengerti apa yang terjadi.
"It's you," suara pria itu membuat Arinda semakin tidak mengerti.
"Eadric what are you doing ?!" Lagi Arinda tidak mengerti dengan apa yang terjadi hingga kini wajahnya sudah di sentuh dengan kedua telapak tangan pria bule yang membuatnya ketakutan.
Untung si Ibu menyelamatkan jantung Arinda. "Maafkan keponakan saya, dia masih mabuk jadi seperti ini." Tangan Ed langsung di tarik oleh wanita itu dan menjauhkannya dari Arinda yang bernapas lega.
"Oh iya Bu. Saya permisi, ini juga sudah di bayar oleh Bapak Ali," kata Arinda ingin segera pergi dari sana dan dia mengira Ed adalah Ali yang pesan semua makanan itu kepadanya.
"Hei wait ! wait !" panggil Ed tidak ingin wanita yang dia mimpikan dua hari ini pergi begitu saja.
Arinda yang tidak mengerti apa yang Ed ucapkan terus saja keluar dari sana membuat Ed menyingkirkan tangan tante-nya yang pagi ini datang secara tiba-tiba. Dia mengejar Arinda masih menggunakan lilitan handuk dan untungnya mereka bertemu di lift.
Arinda yang kini kembali ketakutan memegang erat tas selempang yang dia pakai. "Ad-a apa Pak ?" tanya Arinda dan Ed malah tersenyum.
"Akhir-nya kita bertemu." Arinda semakin bingung dengan jawaban pria itu. Jelas terlihat bahasa Indonesia pria bule ini masih sangat kaku.
"Abang kenal sai-ya ?" tanya Arinda dan kenapa dia memanggil 'abang' ini kebiasaan Arinda dan anehnya dia juga ikut gugup.
"Come on follow me," ujar Ed menarik tangan Arinda yang tentu saja di tepis Arinda dengan kasar. Dia juga tidak mengerti apa yang dikatakan pria ini. "Ayo ikut saya," ujar Ed lagi pelan membuat Arinda menaikkan kedua alisnya namun pintu lift kemudian terbuka.
"Abang ! Eh, Pak Ali mau bawa saya kemana ?"
"Saya bukan Ali."
"Loh terus lo siapa ?!" Arinda berhenti lagi dan dia benar-benar ketakutan saat ini. "Heh ! Lo siapa, lepasin tangan gue !" Arinda memukul-mukul lengan Ed. Dia pun berhenti melihat wajah Arinda yang panik lalu kemudian menghela napas.
"Saya Ed. Saya bos Ali yang memesan masakan kamu," kata Ed lalu dia mengulurkan tangannya. Arinda terdiam dia melihat Ed dari ujung kepala ke handuk lalu sampai ke kaki pria itu yang tidak menggunakan apapun mengejarnya. Arinda menelan ludahnya berat saat tubuh polos kekar milik pria ini dapat dia lihat jelas dari dekat.
Perlahan Arinda membalas uluran tangan Ed.
"Sa-ya Arinda," ucapnya sambil menatap Ed dengan awas.
"Akhirnya saya bisa bertemu kamu."
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya ?"
"Sering di dunia nyata dan di dalam mimpi saya."
Arinda yang masih sangat polos tidak mengerti dengan semua yang Ed ucapkan, tapi karena pria ini mengaku sebagai bos Ali yang memesan masakannya dia akhirnya mengikuti Ed untuk masuk kembali ke dalam unit apartemen pria itu.
"Kamu tunggu saya disini, saya akan berpakaian dulu." Arinda hanya diam mendengarnya, wanita yang tadi ada di sana juga tidak terlihat lagi. Perasaan Arinda tidak tenang karena Ed terlalu lama, dia takut ini hanya modus untuk menculiknya kemudian mereka menjual semua organ tubuhnya.
Sial !
Arinda lalu segera keluar dari sana. Bisa saja dia di umpan dengan orderan besar lalu kemudian mereka menjual dirinya atau mungkin organ tubuhnya. Maka dari itu dia buru-buru pergi dari sana sebelum si Abang yang mengaku bos itu keluar.
Ed yang buru-buru memakai pakaian yang bisa di lihat pertama kali di dalam ruang pakaiannya kini sudah rapi dan dia bersemangat untuk menemui wanita yang wajahnya seperti rembulan bernama Arinda, bahkan Ed juga melihat dagu yang terbelah milik wanita itu seolah memanggilnya untuk mengecupnya lembut.
Ed bahagia pagi ini karena dia bisa melihat wanita itu dan bisa tahu namanya. "Hai Arinda saya,____" ucapnya terhenti karena Arinda sudah tidak ada di dalam apartemen miliknya.
Ed harusnya menduga jika Arinda akan lari begitu saja tadi, dia tidak berpikir demikian karena biasanya para wanita akan rela menunggu untuknya tapi wanita ini malah pergi begitu saja.
Jika tahu begitu harusnya Ed menariknya untuk ikut ke dalam kamar tadi.
Ponselnya bergetar menampilkan nama Tante-nya tercinta yang selama ini selalu memperhatikannya.
"Halo," jawabnya datar.
["Ed aunty mau pesan lagi dong ini sarapannya. Beneran enak loh ini."]
Ed melihat ke arah meja makan dimana tadi terdapat banyak box makanan dan kini tidak bersisa satu pun.
Dia memang sengaja memesan banyak karena di rumah keluarga besarnya sedang ada acara keluarga jadi dia sengaja memesan dalam jumlah banyak. Tapi aunty tercintanya benar-benar membawa seluruh box yang berisi sarapan itu.
["Ed do you hear me ?"]
Ed yang masih kesal mematikan begitu saja sambungan telpon itu, dan langsung menelpon Ali.
"Ali cari tahu dimana tempat tinggal wanita bernama Arinda yang diberikan asisten Raka nomornya ke kamu itu ! Saya ingin bertemu dengannya sekarang," perintah Ed tidak terbantahkan.
...
Turun dari taksi Arinda langsung mengirimkan pesan kepada Nindy. Anton yang baru keluar dari dalam kos melihatnya dan menyapa Arinda.
"Hai Rin darimana ? Cantik banget," katanya membuat Arinda yang di puji cantik langsung bersemu merah. Belum ada yang mengatakan dia cantik selama ini selain opung dan kedua orang tua-nya dulu. Oh... tidak, Arinda ingat ada yang selalu memujinya dulu, tapi pria tua hidung belang.
"Tadi habis antar pesanan sarapan Bang. Abang gak kerja ?" Arinda balik bertanya.
"Kerja, tapi ada yang ketinggalan jadi balik lagi deh."
"Oh begitu. Ya sudah Rinda naik dulu ya bang," ujar Arinda lalu pergi dari hadapan Anton yang merasa sangat bahagia karena bisa membuat Arinda merona tadi.
Arinda masuk kedalam kamar kos sambil membaca chat-nya dan Nindy yang tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami.
Karena merasa tubuhnya benar-benar kelelahan dia memilih untuk tidur saja. Tapi bagaimana mau beristirahat jika bentuk kamarnya sudah seperti kapal pecah.
Kamarnya yang menjadi dapur dadakan itu terlihat mengenaskan. Dia memutuskan untuk mengganti pakaian santai untuk di rumah agar lebih leluasa. Celana pendek dan kaos besar yang sudah lusuh warna-nya adalah pilihan Arinda dan dia mengikat tinggi rambutnya.
Perlahan demi perlahan dia membersihkan kamar itu hingga terlihat layak dan nyaman kembali. Rasanya benar-benar lega karena setelahnya dia bisa tidur dengan nyaman.
Belum dia menutup mata tapi pintu kamarnya sudah diketuk. Arinda melihat jam di dinding dan tidak mungkin semua sahabatnya sudah pulang, karena ini masih jam dua siang.
"Siapa ?" tanya Arinda.
"Saya," jawab orang diluar sana yang Arinda ketahui adalah pria pastinya. Dia pun berdiri dan membuka pintu kamarnya.
Lambaian tangan dari pria itu bagaikan kutukan untuk Arinda karena dia benar-benar takut saat ini.
"Lo !?"
"Hai Arinda," sapa pria dengan wajah sperti aktor-aktor luar negri yang tak lain adalah Ed.
"Ganteng sih iya ! Tapi kok nyeremin."
Bersambung...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
