
Lisa diceraikan oleh Atlas Johannes Specter tepat setelah malam pertama pernikahan mereka. Tanpa sepengetahuan Atlas yang telah mencampakkannya begitu saja setelah mengambil keperawanannya, Lisa hamil.
Hampir empat tahun kemudian, karena sebuah alasan yang sangat penting demi perkembangan kariernya, Lisa diminta datang ke sebuah perusahaan untuk bekerja sebagai sekretaris. la tidak tahu menahu kalau ternyata ia akan menjadi sekretaris seorang CEO arogan yang tak ia sangka adalah Atlas, mantan...
1. Malam Pertama
“Bi-bisakah ... kau melakukannya dengan pelan?” Lisa berusaha untuk bicara pada Atlas selagi napasnya memburu di sela lenguhannya.
“Diamlah,” jawab Atlas ketus.
“Ini sakit, Atlas. Aku mohon ...,” pinta Lisa.
Atlas sama sekali tidak menghiraukan keluhan Lisa. Meski tahu Lisa kesakitan, tetapi dia seperti sengaja melakukannya.
Keadaan ini masih terus berlanjut, Atlas menghujam Lisa dengan liar dan kasar, bahkan tak menunjukkan kelembutan apa pun dari sorot matanya terhadap Lisa.
Ini tidak seperti Atlas yang Lisa kenal. Atlas tampak sangat menyeramkan saat ini. Lisa tidak tahu harus berbuat apa selain berusaha menahan rasa sakitnya dan memaksakan diri saja untuk menikmati cara brutal Atlas menyetubuhinya.
Hingga beberapa menit kemudian, setelah mendapatkan puncak kepuasannya dari persetubuhan yang sejak tadi terjalin, Atlas pun berbaring tepat di sebelah Lisa.
Mereka adalah pengantin baru. Lisa berpikir bahwa Atlas akan memeluknya jauh lebih hangat dan penuh kasih sayang daripada yang sering Atlas lakukan selama ini setelah barusan mereka bersetubuh untuk pertama kalinya di malam pertama mereka ini.
Alih-alih memeluknya, Atlas bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun. Pria tampan bertubuh atletis itu menarik selimut, lalu berbaring dengan posisi menyamping membelakangi Lisa dan langsung memejamkan mata seperti akan tidur.
Lisa tentu terdiam. Masih dengan sensasi perih yang menjalar di area kewanitaannya, ia mengangkat kepalanya dari bantal dan menatap punggung Atlas.
Atlas terlihat benar-benar tidak memedulikannya. Lisa berusaha untuk berpikiran positif, berpikir bahwa mungkin Atlas kelelahan dan ingin langsung istirahat. Tak apa, Lisa berusaha mengerti jika memang begitu.
Keesokan paginya, Lisa terbangun pada pukul tujuh pagi. Ia bangkit dari baring dan terduduk di atas kasur sembari menutupi tubuhnya menggunakan selimut, sebab tubuhnya masih berada dalam kondisi tanpa busana sama sekali.
Lisa masih ingat apa yang terjadi semalam. Malam paling membahagiakan dalam hidupnya, pun juga menjadi malam pertamanya bisa merasakan pengalaman seksual yang nyata setelah ia menjaga keperawanannya selama 23 tahun karena ia memang hanya ingin memberikan kehormatannya pada pria yang benar-benar telah menjadi suaminya.
Kemarin adalah hari pernikahan Lisa dengan Atlas. Lisa tidak tahu apa yang terjadi, tetapi setelah malam yang mereka lalui semalam, pagi ini sikap Atlas makin berbeda. Semalam pun pria berusia 28 tahun itu sudah cukup membuat Lisa seperti tak mengenalinya, dan sekarang pria itu seperti berubah 180 derajat.
Dua tahun menjalin hubungan dengan Atlas, Lisa tahu Atlas memang sangat arogan dan dingin. Namun, baru kali ini ia melihat sikap Atlas benar-benar berbeda padanya. Atlas bahkan menatapnya dengan tatapan merendahkan yang seolah dirinya tak lebih dari seonggok daging murahan.
Atlas sedang berdiri di depan cermin untuk memakai dasi merah bermotif garis di kerah kemeja putihnya. Setelah selesai memakai dasi itu, dia turut memakai jas hitamnya yang mahal.
Lisa yang masih di kasur hanya terus memerhatikan Atlas. Sikap Atlas telah ia rasakan perbedaannya semenjak tadi malam mereka usai melakukan hubungan badan. Dan saat ini, Atlas menatapnya dari pantulan cermin dengan sorot mata biru lautnya yang sangat tajam.
Kamar mewah yang luas itu terasa dingin menusuk bagi Lisa, makin dingin setelah ia merasakan tatapan Atlas.
“Kau mau ke mana? Masih pagi begini,” ujar Lisa sambil tersenyum manis. Berpikir bahwa mungkin Atlas sedang marah karena ada urusan pekerjaan yang kacau, siapa tahu sapaan dengan senyuman seperti ini akan memberikan dampak yang lebih positif untuk suaminya itu.
“Tidak usah banyak tanya.” Atlas menyahuti dengan suara baritonnya yang datar dan begitu dingin.
Lisa sempat terdiam sejenak. Makin bingung pada sikap Atlas, ia memberanikan diri untuk bertanya, “Kau ... kenapa? Apa aku melakukan kesalahan padamu?”
Atlas tak menjawab. Setelah tubuh atletisnya terbalut oleh setelan jas mahalnya, dia berbalik untuk mengambil secarik kertas dan pulpen yang ada di atas meja sisi kamar. Dia melangkah menghampiri Lisa, meletakkan kertas itu di atas kasur, lalu berdiri dan menatap sang istri dengan kedua tangan yang terkubur di saku celana.
“Tanda tangani surat itu,” cetus Atlas.
Lisa mengambil kertas yang barusan Atlas letakkan untuk membaca isinya. Bak disambar petir, ia terperangah menatap isi surat itu. Ia pun memindahkan pandangannya untuk kembali menatap Atlas, mengerutkan kening dan menunjukkan ekspresi tak habis pikir.
“Apa maksudnya ini?” Lisa bertanya pada Atlas. “Ini surat cerai?”
“Kau bisa baca, kan?”
“T-tapi ... kenapa? Apa yang terjadi?”
“Aku ingin kita cerai, Lisa.”
“Kau bercanda? Kita bahkan baru menikah kemarin, Atlas.”
“Kau pikir aku mau menikahimu?”
Lisa terdiam menatap Atlas dengan kedua matanya yang seketika berair. Sorot mata Atlas sangat dingin dan penuh kebencian. Lisa yakin, ia tak pernah melihat Atlas seperti ini. Yang selalu ia dapatkan dari Atlas adalah tatapan yang teduh dan hangat, bukan penuh kebencian begini. Ia merasa seperti tidak mengenali Atlas lagi.
“Kau ... kau dan aku telah menikah, Atlas. Apa maksudmu bertanya begitu? Kau tidak mau menikahiku? Lantas mengapa kau menikahiku? Apa artinya semua ini?” tanya Lisa dengan suaranya yang bergetar hebat.
“Kau kira aku menikahimu karena aku betulan mencintaimu? Aku membencimu, Lisa. Sangat membencimu.” Atlas berujar dengan kejam.
Air mata Lisa menetes. “Kita telah berhubungan dua tahun terakhir. Kau bilang ... kau mencintaiku. Kenapa kau jadi seperti ini? Kau mempermainkanku? Apa salahku?”
Atlas membungkuk ke arah Lisa yang masih duduk di atas kasur. Dia menyentuh dagu tirus wanita itu, lalu mengangkatnya agar wanita itu mendongak.
“Dengar,” ujar Atlas, “Aku tidak butuh tangisanmu. Tanda tangani surat itu sekarang juga.”
“Tapi, Atlas, ki-kita ....”
“Jangan anggap serius pernikahan ini! Belasan tahun yang lalu, Clarissa Christine, ibu kandungmu itu telah membuat perusahaan keluargaku bangkrut dan hancur. Bertahun-tahun telah berlalu sampai akhirnya perusahaan keluargaku kembali berjaya seperti sekarang. Ini adalah pembalasanku untukmu atas apa yang telah ibu kandungmu lakukan.”
Lisa benar-benar merasa tak percaya mendengar Atlas bicara begitu. Ia masih ingat betul bagaimana dua bulan yang lalu Atlas berlutut di hadapannya sambil memegang kotak merah berisi cincin berlian, melamarnya dan meminta kesediaannya untuk dipinang menjadi istri. Atlas bahkan melamarnya di Vanua Levu, tempat yang Atlas sendiri tahu merupakan pulau impian Lisa.
“Jika itu yang terjadi, lalu mengapa kau harus melakukan ini padaku?” tanya Lisa lirih.
“Karena kau putri dari wanita sialan itu!”
Lisa tidak bisa menahan air matanya. Tangisnya pecah seketika. “Walaupun sejak kecil aku dirawat dan dibesarkan oleh ibu tiriku, tapi bukan berarti aku tidak menyayangi ibu kandungku. Mengapa kau menyebut ibuku seperti itu? Kau keterlaluan, Atlas.”
“Hapus air matamu itu! Aku tidak butuh tangisanmu.”
“Kau membuatku menggantungkan perasaanku padamu, lalu kau menikahiku, dan semua itu hanya untuk berakhir seperti ini?” tutur Lisa di tengah isak tangisnya.
“Bahkan jika kau menangis darah, itu tak sedikit pun bisa mengubah keputusanku.”
“Selama ini kau bilang kalau kau mencintaiku. Apakah semua itu hanya dusta? Kau tidak pernah mencintaiku, Atlas?”
Atlas tidak menjawab penuturan Lisa barusan. Dia menegakkan posisi berdirinya setelah tadi sempat membungkuk dan memegang dagu Lisa.
Pria berjas hitam dengan tinggi badan yang mencapai lebih dari 185 sentimeter itu menunjuk kertas yang masih Lisa pegang. Kemudian, dia berkata “Sebelum aku kembali, surat itu harus sudah ditandatangani. Dan sebelum aku kembali, kau juga harus sudah pergi dari rumahku ini.”
Hampir tiga minggu berlalu pasca Atlas mengusirnya pagi itu, Lisa resmi bercerai dengan Atlas.
Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sendiri, tetapi di tengah kehancuran perasaannya pasca diceraikan oleh pria yang ia cintai itu, tubuhnya terasa sangat tidak sehat sejak kemarin pagi dan ia berkali-kali merasa mual.
Kondisi itu membuat Lisa memberanikan diri untuk menjamah test pack. Dan sekarang, ia terduduk lemas di lantai kamar mandi dengan tangan kanannya yang gemetar memegang test pack yang menunjukkan tanda positif hamil.
Air mata Lisa menetes. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan kiri dan mulai menangis.
Ia tidak pernah melakukan hubungan badan dengan pria mana pun seumur hidupnya selain dengan Atlas yang menikahinya. Setelah ia resmi diceraikan oleh Atlas dengan cara yang menyakitkan, apa yang harus ia lakukan ketika mengetahui kalau dirinya hamil dan jelas-jelas mengandung darah daging dari pria itu?
***
2. Sebuah Syarat
“Alton? Kau di mana, Sayang?”
Wanita berambut pirang kecokelatan itu masih sibuk mencari keberadaan putranya. Hingga ketika mendengar suara gumam balita dari arah belakang, ia pun menghentikan langkah.
Lisa menghela napas pelan, lalu berbalik dan menatap sosok kecil yang saat ini sedang duduk seorang diri di atas karpet putih berbulu halus di ruang tengah.
“Ibu ...,” ujar sosok kecil itu memanggil Lisa dengan suara imutnya yang membuat hati Lisa langsung meleleh.
Lisa pun tersenyum, lalu melangkah menghampiri Alton Christopher Dawson, putra kecilnya yang saat ini sudah berusia tiga tahun.
Apartemen tempat tinggalnya itu cukup besar dan mewah, terletak di bilangan Downtown Manhattan, New York. Dengan interior Scandinavian dan warna dinding yang putih dengan lantai marmer yang cerah, selama ini ia dan putranya tinggal berdua di tempat ini bersama satu pelayan dan satu pengasuh yang ia pekerjakan.
Niatnya, hari ini Lisa akan meninggalkan Alton bersama pengasuh saja. Sejak satu setengah tahun yang lalu, ia memang mempekerjakan pengasuh untuk membantu mengurus Alton karena dirinya sebagai seorang model dan artis kerap kali sibuk bekerja. Namun sekarang, ketika melihat Alton menatapnya sambil menyebut ‘Ibu’, Lisa seperti berat hati untuk pergi tanpa Alton.
“Ibu harus pergi sekarang. Hanya sebentar saja, kok. Kau tetap di sini bersama bibi pengasuh, ya?” ujar Lisa dengan suaranya yang lembut seraya duduk di dekat Alton dan membawa putranya itu ke pangkuannya.
Alton tidak menjawab. Dia hanya diam menatap Lisa dengan mata biru bulatnya yang jernih.
Melihat mata Alton, Lisa tidak bisa menghalangi kepalanya untuk kembali menangkap bayang-bayang Atlas Johannes Specter, ayah kandung Alton, yang hampir empat tahun lalu menceraikan dan meninggalkannya tepat setelah malam pertama mereka.
Bola mata Lisa juga berwarna biru. Namun, warna birunya beda dengan Alton. Ia cenderung biru safir, sedangkan mata Alton yang sangat persis seperti mata Atlas yang Lisa ingat, berwarna biru laut dan sangat tajam.
Secercah rasa perih mungkin wajar jika muncul lagi dari dalam diri Lisa ketika melihat betapa miripnya Alton dengan Atlas. Bahkan meski telah berlalu lebih dari tiga tahun lamanya, sakit yang terukir dalam diri Lisa tak pernah sirna barang sejengkal saja. Namun, ia tetap menyayangi Alton. Sosok mungil ini adalah segalanya baginya, setengah nyawanya.
Atlas pergi begitu saja, menceraikannya, membuangnya bagai sampah tepat sehari setelah hari pernikahan mereka dan setelah malam pertama yang Lisa pikir akan menjadi suatu kebahagiaan besar baginya.
Lisa tak pernah lagi bertemu dengan Atlas. Tidak pernah pula mendengar kabarnya, sebab menghubungi pun ia tidak diperkenankan. Yang ia tahu, pria itu pergi ke London. Pria itu tidak pernah tahu bahwa Lisa dinyatakan hamil dua minggu setelah diceraikan.
“Kau ingin ikut?” tanya Lisa.
Alton pun manggut-manggut. Tangan mungil pria kecil berusia tiga tahun itu terjulur menyentuh pipi Lisa, lalu dia berkata, “Ibu, ikut ....”
“Tapi nanti saat Ibu bertemu dengan rekan Ibu, kau tidak boleh merengek. Mengerti?”
Entah Alton benar-benar mengerti apa yang diucapkan ibunya atau tidak, tetapi dia mengangguk-anggukan kepalanya. Dia beranjak dari pangkuan Lisa, lalu mengambil robot-robotannya dari atas karpet.
Lisa tersenyum lembut. Ia pun menggendong Alton dan keluar dari apartemennya itu bersama putranya tersebut. Ia ingin mengurus Alton sendiri, sehingga hari ini ia memberanikan diri untuk pergi sendiri tanpa membawa pengasuh dan meminta pengasuh untuk segera merapikan kamar Alton saja.
Di area parkir gedung apartemen tempat tinggalnya, ia sudah ditunggu oleh sopir pribadinya. Di sana juga ada Meghan, seorang wanita berambut keriting sebahu yang merupakan manajer Lisa.
Agar tidak berlama-lama, mereka pun segera masuk ke mobil Audi putih keluaran terbaru milik Lisa. Lisa dan Meghan duduk bersebelahan di kursi belakang selagi sopir mengemudikan mobil itu.
“Apa kau yakin ini akan berjalan dengan baik?” tanya Lisa pada Meghan.
Meghan menghela napas. Dia tahu kemungkinannya akan sangat kecil untuk berhasil membuat Lisa mendapatkan peran pada sebuah film garapan Yolanda Nelson, seorang sutradara ternama di Amerika Serikat. Namun bagaimana pun juga, Meghan tidak berani bilang pada Lisa yang secara harfiah adalah bosnya. Ia juga tidak mau mematahkan semangat Lisa.
“Kita hanya perlu berupaya meyakinkan sutradara itu,” kata Meghan akhirnya.
Butuh waktu hampir setengah jam untuk tiba di tempat tujuan mereka. Setelah akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai di area parkir sebuah gedung di pusat New York, Lisa yang menggendong Alton pun turun bersama Meghan.
Mereka pergi ke lantai tujuh di gedung itu. Lisa tetap membawa Alton ke dalam ruangan karena ia tidak mungkin meninggalkan Alton bersama sopir. Lagi pula ia yakin Alton tidak akan merengek.
“Elisa Carmella Dawson!” sapa seorang wanita paruh baya berparas anggun yang memakai sepasang blazer dan celana merah.
Lisa pun tersenyum. Ia bersalaman dengan wanita yang merupakan sutradara yang sudah memiliki janji temu dengannya siang ini.
“Kau apa kabar, Yolanda?” tanya Lisa dengan ramah.
“Sangat baik. Kau sendiri bagaimana? Oh! Dan ibu tirimu, bagaimana dia sekarang?”
“Ibuku? Sangat baik,” jawab Lisa sambil tersenyum.
“Hai, Anak Manis.” Wanita yang Lisa sebut bernama Yolanda itu tersenyum lebar saat menatap Alton di gendongan Lisa.
Beberapa saat kemudian, Yolanda mengajak Lisa dan Meghan untuk duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut. Setelah berbasa-basi sejenak, Meghan sebagai manajer Lisa pun memulai pembicaraan serius.
“Kami berniat membicarakan soal film yang akan kau sutradarai di waktu mendatang. Maksudku, film tentang percintaan di kantor yang pemeran utamanya adalah seorang sekretaris,” ujar Meghan.
Yolanda manggut-manggut mendengar ucapan Meghan. Dia menatap Lisa sejenak, mungkin sudah dapat menebak apa yang akan dikatakan Meghan selanjutnya.
“Lisa berkeinginan mengambil peran sekretaris itu.” Meghan melanjutkan, mengatakan inti dari pembicaraan ini.
Yolanda terdiam. Siapa pun tahu bahwa Lisa memang merupakan seorang model papan atas yang cukup terkenal, bahkan menjadi andalan sejumlah brand fashion ternama. Dia juga presenter yang pernah membawakan beberapa program televisi sejak usianya masih sangat muda.
Namun sayang, bakat mumpuni yang Lisa miliki hanyalah pada dunia permodelan, sedangkan bakat atau kemampuan akting Lisa tidak sebagus itu, justru cukup buruk.
Mengetahui kedatangan Lisa dan manajernya siang ini adalah karena Lisa menginginkan peran sekretaris dalam film yang akan digarapnya, Yolanda jadi bimbang.
Ibu tiri Lisa, yaitu Avana Eshter, adalah seorang artis ternama yang sangat dekat dengan Yolanda. Yolanda juga tahu bagaimana sepak terjang Avana Eshter dan tahu pula bahwa Avana sangat menyayangi Lisa seperti anak kandungnya sendiri, sebab dia menikah dengan ayah kandung Lisa sejak Lisa masih sangat kecil.
Namun sayang, sepertinya darah Lisa memang tak mengalir sedikit pun bakat akting yang mumpuni seperti ibu tirinya.
Dan sekarang, mempertimbangkan buruknya Lisa dalam berakting, Yolanda bingung. Ia tidak enak hati untuk menolak Lisa mentah-mentah.
“Aku benar-benar menginginkan peran itu. Kau tahu, kan? Tiga tahun terakhir jobku hanya berkutat pada permodelan saja. Aku belum pernah lagi mendapatkan peran dalam film apa pun. Bahkan peran sampingan pun juga jarang. Terakhir kali empat tahun yang lalu, itu pun juga hanya jadi pemeran pendukung,” tutur Lisa dengan wajah memelas.
Baik Yolanda maupun Meghan, mereka tentu tahu bahwa Lisa tidak mendapatkan job memerankan sebuah film karena memang tidak ada pihak perfilman yang mau memberikannya peran, mengingat kemampuan aktingnya yang tak sebagus itu.
Apalagi Lisa juga pernah terlibat skandal karena diduga memakai narkoba di sebuah kelab saat beberapa tahun lalu dia sempat depresi pasca diceraikan suaminya. Walaupun Lisa terbukti tak bersalah dan tak pernah memakai barang seperti itu, tetap saja skandalnya sempat mempengaruhi kariernya selama beberapa waktu.
Yolanda menghela napas. Atas dasar rasa tidak teganya pada Lisa dan tidak enak hati pada ibunya Lisa, dia pun berkata, “Begini saja. Aku akan jujur terlebih dahulu padamu agar kau mengerti. Kau ... sebenarnya sangat perlu mengembangkan kemampuan aktingmu, Lisa.”
Wajah Lisa langsung terlihat sedih dan melas, berhasil membuat Yolanda semakin tidak tega. Meghan pun mengusap-usap punggung Lisa, hanya dalam hati dia mengakui ucapan Yolanda barusan mengenai akting Lisa.
“Tapi jika kau menginginkan peran sekretaris itu, akan kuberikan. Namun dengan sebuah syarat,” ujar Yolanda.
Lisa dan Meghan mendengarkan dengan serius.
“Untuk mengupayakan agar aktingmu berkembang dan lebih natural, aku ingin kau memiliki pengalaman bekerja menjadi sekretaris dulu selama enam bulan. Kupikir, enam bulan adalah waktu yang sangat pas untuk terbiasa sampai kau mampu menguasai tindakan selayaknya seorang sekretaris.”
Sebenarnya, Lisa keberatan. Enam bulan bukanlah waktu yang sebentar baginya. Namun mengingat betapa menggebu-gebunya Lisa menginginkan peran dalam film itu, Meghan pun langsung mencetus, “Baiklah. Tidak apa-apa jika itu syaratnya.”
“Setelah kau sudah mampu mengusai banyak hal tentang seorang sekretaris, kau akan dicasting ulang dan bisa memiliki kesempatan untuk benar-benar menjadi pemeran dalam film yang kugarap di waktu mendatang. Aku yakin kau akan bersungguh-sungguh menjalani syarat ini.”
Pertemuan dengan Yolanda usai pada pukul tiga sore. Lisa dan Meghan langsung beranjak meninggalkan gedung.
“Mulai hari ini, aku akan mencarikan tempat yang pas untukmu bekerja menjadi sekretaris. Entah sekretaris direktur, general manajer, atau bahkan sekadar sekretaris manajer divisi, aku akan berupaya mencari yang pas untukmu,” ujar Meghan.
Lisa mengangguk.
“Aku tidak bisa membiarkanmu bekerja di perusahaan milik ayahmu. Kau tidak akan serius menjalani ini jika bekerja di sana. Paham?” tambah Meghan.
Lisa menghela napas. “Iya, Meghan. Aku paham. Lagi pula aku juga tidak mau terus-menerus merepotkan ayahku.”
Lisa dan Meghan berpisah di depan gedung itu. Meghan harus langsung pergi untuk melakukan tugasnya, sedangkan Lisa bersama Alton menaiki mobil yang dikendarai oleh sopir pribadinya.
“Antarkan kami ke Central Park. Aku ingin mengajak Alton jalan-jalan dulu ke taman itu,” ujar Lisa pada sopirnya setelah ia duduk di kursi belakang sambil memangku Alton.
“Baik, Nyonya.”
Mobil itu melaju dengan kecepatan normal menuju Central Park di pusat Manhattan. Mereka tiba tepat setelah Lisa selesai memberikan susu dari botol untuk Alton.
“Kau senang jalan-jalan ke sini? Mau makan biskuit sambil memegang balon?” tanya Lisa sembari menciumi pipi tembam Alton dengan gemas selagi berjalan menuju pintu masuk area taman.
“Es krim. Alton mau es krim!” kata Alton penuh semangat.
“Boleh. Tapi tidak boleh banyak-banyak, ya?”
“Mau yang banyak. Sepuluh!” Alton mengacungkan lima jari tangan kanannya.
Lisa pun tertawa pelan. “Itu lima, Sayang. Sepuluh harus dua tangan.”
Selagi berjalan menyusuri jalur menuju pintu masuk taman, Lisa mengajak Alton bercanda. Karena Alton tak henti menggeliat untuk turun dari gendongannya, Lisa pun menurunkan Alton. Ia berjalan sambil menggandeng tangan putra kecilnya itu.
Ada penjual es krim di dekat pintu masuk. Lisa pun beranjak ke sana dulu karena ingin membelikan es krim untuk Alton.
Saat Lisa sedang bicara pada penjual es krim, Alton melihat ada kupu-kupu biru yang hinggap di dedaunan di dekatnya. Sejenak kemudian, Lisa pun melepaskan gandengannya pada Alton untuk mengambil dompet dari dalam tasnya. Tepat pada saat itulah, Alton langsung beranjak dari samping Lisa untuk mengejar kupu-kupu yang telah terbang.
Lisa tak menyadari itu. Dia masih bicara pada penjual es krim yang mengajaknya mengobrol karena ternyata penjual itu mengenali bahwa dirinya adalah seorang model dan artis. Beruntung sang penjual hanya mengobrol normal saja dan tidak mengusik privasinya.
Setelah membayar dan menerima satu es krim cokelat yang ia beli untuk Alton, barulah ia menunduk untuk memberikan es krim itu pada Alton.
Lisa tercenung ketika tak mendapati Alton ada di dekatnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan putranya itu.
“Alton?” panggil Lisa seraya bergegas pergi dari tempat itu untuk segera mencari Alton.
Lisa tentunya panik. Hari ini ia pergi ke taman hanya berdua dengan Alton, tanpa pengasuh dan tanpa bodyguard sama sekali. Bahkan sopir pun hanya menunggu di area parkir. Bagaimana jika Alton hilang?!
Lisa masuk ke area taman karena berpikir Alton ada di sana. Ia mencari dan mencari, sudah tak segan ingin menangis karena panik setengah mati mengkhawatirkan putranya.
Hingga ketika Lisa berada di area rerumputan hijau di tengah Central Park New York tersebut, dari kejauhan Lisa melihat sosok mungil yang familier menggunakan topi cokelat. Itu Alton.
Lisa menghela napas lega. Ia langsung berlari menghampiri putranya itu. Namun saat hampir dekat dengan Alton, ia menghentikan langkahnya ketika menyadari bahwa Alton sedang berhadapan dengan seorang pria bertubuh jangkung.
“Mana orang tuamu? Apa kau datang sendirian ke sini?” tanya pria itu seraya berjongkok di hadapan Alton untuk menyamakan tinggi badannya dengan Alton.
“Bersama ibu,” jawab Alton.
“Begitukah?” Pria itu menoleh ke sekeliling. “Lalu, ibumu mana? Mengapa kau berkeliaran sendiri?”
“Ibu sedang beli es krim.”
“Kau terpisah dari ibumu, ya? Dia pasti sedang mencarimu. Aku akan mengantarmu kembali padanya. Di mana ibumu beli es krim?”
Alton tampak kebingungan. Dia pasti baru menyadari bahwa saat ini ibunya tidak ada di dekatnya. Karena itulah, seketika balita itu mulai menangis.
Pria dewasa berjas hitam yang berjongkok di hadapan Alton pun panik karena Alton menangis. Dan ketika dia menoleh ke kanan untuk melihat ke sekeliling barangkali dapat melihat keberadaan ibunya Alton, tatapannya beradu dengan Lisa yang berdiri dengan jarak sekitar sepuluh meter darinya.
Lisa mematung di tempatnya berdiri. Kedua matanya bahkan tak berkedip ketika ia melihat pria itu. Setelah hampir empat tahun berlalu, Lisa kembali melihat wajah itu. Itu Atlas Johannes Specter, mantan suaminya, ayah kandung Alton.
***
3. Bertemu Sang CEO
“IBU!” jerit Alton sambil menunjuk Lisa.
Atlas menggandeng tangan Alton dan melangkah menghampiri Lisa seraya bertanya, “Apa kau ibunya?”
Lisa makin mematung saat Atlas sudah berdiri tepat di hadapannya. Setelah tercenung selama sepersekian detik dengan perasaan syok yang menggerayangi, Lisa langsung meraih tangan Alton dan menggendong putranya itu.
Lisa syok dan terperangah, tak menyangka bisa melihat wajah pria itu lagi setelah bertahun-tahun lamanya semenjak pria itu menceraikannya tepat satu hari setelah hari pernikahan mereka.
“Lain kali, perhatikan anakmu dengan baik, Nona. Tempat ini ramai,” ujar Atlas.
‘Nona?’ batin Lisa, mengutip cara Atlas memanggilnya yang terkesan seolah-olah dirinya adalah orang asing yang tak Atlas kenal.
Beberapa saat kemudian, Atlas berbalik dan melangkah pergi dari tempat itu. Lisa masih mematung menggendong Alton, menatap punggung Atlas yang menjauh di tengah keramaian Central Park sore ini.
Lisa yakin dirinya tidak salah mengira. Pria tinggi berjas hitam dan bertubuh atletis yang barusan ada di hadapannya adalah Atlas. Namun, Atlas menatapnya dengan tatapan yang sangat biasa, seperti menatap orang asing yang sebelumnya tidak pernah dia lihat.
Ada apa dengan pria itu?
***
Suara dering dari ponsel Lisa tak henti berbunyi. Lisa berdecak dan hanya melirik ke arah benda itu selagi ia mondar-mandir di dalam kamar untuk bersiap-siap.
Kemarin Meghan sudah menghubunginya dan bilang bahwa dia telah mendapatkan tempat di sebuah perusahaan bagi Lisa untuk magang selama enam bulan sebagai sekretaris. Meghan melakukan pekerjaannya dengan baik. Seorang manajer HRD di perusahaan itu adalah penggemar Lisa, sehingga dia memudahkan Lisa untuk bisa diterima.
Lisa belum tahu ia akan menjadi sekretaris manajer atau bagaimana. Sebab Meghan bilang, manajer HRD ingin bicara empat mata dulu dengannya dan akan memberitahu setelah mereka bertemu.
Dan pagi ini, Lisa malah terlambat bangun dan jadi sangat terburu-buru untuk kejar waktu.
Lisa dijadwalkan datang pada pukul delapan pagi, tetapi ia malah baru bangun tidur pukul tujuh lewat beberapa menit. Belum lagi memikirkan betapa padatnya jalanan di New York pagi-pagi begini.
Pada pukul 07.42, Lisa bergegas keluar kamar sambil membawa tas jinjingnya. Alton sedang bermain bersama pengasuh di meja makan, sehingga ia menggunakan kesempatan untuk langsung berlari pergi sebelum putranya itu menangis dan merengek minta ikut.
Setelah tiba di basement gedung apartemen tempat tinggalnya, ia langsung mendatangi sopir pribadinya yang sudah menunggu di salah satu mobil mewah miliknya yang terparkir di sana.
“Berikan kuncinya. Aku akan pergi sendiri,” kata Lisa.
“Kau yakin, Nyonya?”
“Iya, Pak. Aku sudah sangat terlambat. Cepat berikan!” desak Lisa dengan terburu-buru.
Setelah sang sopir memberikan kunci mobil, ia pun bergegas masuk dan segera melajukan mobilnya itu keluar dari area gedung apartemennya.
Sambil menyetir, Lisa turut mengangkat telepon dari Meghan yang sejak tadi tak berhenti sama sekali.
“Di mana lokasi perusahaannya?” tanya Lisa begitu sambungan telepon terhubung.
[Aku sudah mengirimkan lokasinya lewat pesan, Lisa. Astaga ... cepatlah! Kau harus tiba tepat waktu.]
“Ya, ya. Aku mengerti.”
Lisa mengakhiri telepon itu dan langsung membuka pesan dari Meghan. Ia melihat maps yang dikirimkan Meghan untuk mengarahkannya menuju perusahaan yang menerimanya bekerja mulai hari ini.
Mengikuti arah yang tertera di ponselnya, akhirnya Lisa pun tiba di depan sebuah gedung tinggi pada pukul 07.56. Ia hanya punya waktu empat menit untuk bergegas menemui resepsionis.
Setelah memarkirkan mobilnya, Lisa turun dan bergegas memasuki lobi. Keningnya sedikit berkerut ketika melihat tulisan besar yang tertera di dinding lobi.
Atez Company. Itulah nama perusahaan yang ia datangi saat ini.
Nama perusahaan itu sangat tidak asing di telinga Lisa. Persis seperti nama perusahaan milik mantan suaminya, Atlas. Yang ia ketahui dulu, Atez Company milik keluarga Atlas berpusat di London, Inggis. Apakah hanya namanya saja yang mirip?
“Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?” sapa seorang wanita yang menjaga meja resepsionis.
“Ah, y-ya. Pagi. Aku Elisa Carmella Dawson. Aku dijadwalkan untuk bekerja di sini mulai hari ini.”
“Oh, begitu rupanya. Pak Gilbert, manajer human resource, sudah berpesan kalau kau bisa langsung ke ruangannya di lantai lima.”
Lisa tersenyum dan mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, ia langsung bergegas pergi menaiki lift untuk ke lantai lima seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi.
Setibanya di lantai lima, Lisa tergesa-gesa mencari letak ruangan bertulis Manajer HRD di depan pintu. Setelah menemukannya, Lisa pun mengetuk pintu beberapa kali. Pintu tersebut dibukakan dari dalam, ia langsung disambut oleh seorang pria paruh baya yang terlihat dari tanda pengenalnya bernama Gilbert.
“Elisa Carmella Dawson?” sapa pria itu seraya mempersilakan Lisa untuk masuk.
Lisa pun mengangguk. “Apa aku terlambat?”
“Tidak, tidak. Kau tepat waktu.” Gilbert menggeleng cepat. “Silakan duduk.”
Lisa beranjak duduk di sofa empuk yang ada di sana. Gilbert duduk di sofa yang berhadapan dengannya.
“Manajermu sudah menceritakan padaku bahwa kau membutuhkan pekerjaan di sini. Setelah bersepakat tempo hari, aku sudah berdiskusi dengan stafku dan kami berkenan mempekerjakanmu,” ujar Gilbert.
“Ah, ya. Itu ... aku senang karena diterima di sini.”
Senyum mengembang di wajah Gilbert. Pria paruh baya yang bertubuh agak gemuk itu menjulurkan tangan kanannya pada Lisa seraya berkata, “Aku penggemarmu.”
Lisa menatap tangan pria itu, mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu balas tersenyum dan menyambut jabat tangannya seraya berkata, “Senang bertemu dengan penggemarku di sini. Tapi omong-omong ... aku akan bekerja untuk siapa? Apakah aku akan menjadi sekretarismu, Pak?”
Gilbert menggeleng, lalu menunjuk meja di sisi ruangan yang terdapat seorang wanita yang sedang sibuk menatap layar komputer. “Aku sudah punya sekretaris.”
“Oh, begitu rupanya. Jadi, aku akan bekerja untuk siapa?”
“Sebelumnya aku ingin kau tahu dulu bahwa Atez Company adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan teknologi. Pusat Atez Company ada di London. Namun sejak dua bulan yang lalu, Atez Company resmi mendirikan cabang baru di New York. Gedung inilah cabangnya. Semenjak CEO perusahaan ini datang ke New York untuk mulai mengurus pengelolaan di sini, sekretarisnya dari London tidak dipekerjakan lagi karena memiliki masalah dokumen kenegaraan, sehingga tidak bisa ikut ke New York.”
Lisa diam dan mendengarkan dengan baik.
“CEO kami sudah memecat tiga sekretaris baru selama dua bulan belakangan.”
“Dipecat kenapa?” tanya Lisa penasaran.
“Karena melakukan kesalahan dan tidak disukai oleh CEO kami. CEO kami sangat keras dan tegas. Mereka semua dipecat mentah-mentah bahkan jika hanya karena satu kesalahan.”
“Jadi ... aku akan menjadi sekretaris CEO perusahaan ini?”
“Yap.”
“T-tapi, Pak ... aku datang dan bekerja di sini dengan tujuan untuk mencari pengalaman karena sebelumnya aku tidak tahu sama sekali soal dunia sekretaris. Jika aku yang masih belum tahu apa-apa ini malah langsung bekerja untuk CEO yang kau bilang sangat keras dan tegas, akan bagaimana nasibku?”
Gilbert menghela napas. “Kami tidak punya pilihan lain. Manajermu menawarkanmu untuk bekerja di sini tepat saat kebetulan kami juga sedang mencari sekretaris baru untuk CEO kami.”
Lisa terdiam.
“Kau hanya perlu memastikan kalau kau bekerja dengan maksimal, tekun, dan giat. Jika tidak mengetahui sesuatu, tanyakan saja pada sekretaris direktur yang ruangannya tak terlalu jauh dari ruang CEO. Kau juga bisa meminta bantuannya.”
“Bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Aku juga akan langsung dipecat?”
Gilbert menghela napas lagi, kali ini sembari memasang wajah prihatin.
Lisa pun tertegun susah payah, sudah keburu merinding duluan memikirkan bagaimana sosok CEO yang akan ia temui setelah ini.
“Kalau boleh tahu, siapa nama CEO-nya, Pak?” tanya Lisa.
Gilbert baru saja akan menjawab, tetapi mendadak pesawat telepon yang ada di ruangan itu berdering. Saat Gilbert menoleh pada sekretarisnya, sekretarisnya menunjukkan raut wajah tertentu yang seolah merupakan isyarat bahwa ada orang penting yang ingin bicara dengan Gilbert.
Gilbert pun bangkit dari duduknya dan bergegas ke meja sekretarisnya untuk mengangkat telepon itu.
Lisa menunggu di sofa dan duduk dengan perasaan yang tidak pasti ketika memikirkan semengerikan apa CEO perusahaan ini. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya Gilbert kembali ke hadapan Lisa.
“Ayo! Kau harus segera ke ruangan CEO sekarang juga,” kata Gilbert dengan terburu-buru.
Lisa beranjak dari sofa dan segera mengikuti Gilbert ketika pria paruh baya itu keluar dari ruangan dengan langkah yang cukup cepat.
Lisa memakai sepasang heels yang memiliki tinggi lebih dari lima sentimeter. Selagi menyeimbangi langkahnya untuk menyusul Gilbert, ia beberapa kali hampir tersandung karena tergesa-gesa dan lupa memerhatikan jalan dengan baik.
Setelah akhirnya tiba di lantai tujuan dan mengikuti Gilbert yang berjalan menuju ruangan besar di ujung koridor, Lisa melihat orang-orang yang berlalu lalang di tempat itu memakai pakaian formal dengan warna yang cenderung gelap, seperti hitam, marun, dan cokelat.
Lisa pun menunduk untuk menatap pakaiannya sendiri. Saat ini ia memakai kemeja satin berwarna pink cerah, rok putih seatas lutut, dan sepasang sepatu heels putih. Kalau dilihat-lihat, memang pakaiannya yang terlihat paling mencolok karena cerah sendiri di antara orang-orang di sana.
Namun tak apalah. Tak ada yang mempermasalahkan warna pakaian. Yang penting ia tetap berpakaian formal.
“Masuklah. Setelah berhadapan dengannya, pastikan kau memperkenalkan dirimu dengan baik dan jangan sampai berbuat salah,” kata Gilbert setelah mereka tiba di depan pintu bermaterial kokoh yang bagian depannya tertulis tulisan ‘CEO & President’.
“T-tapi ...,” Lisa berniat menanyakan pada manajer HRD itu soal siapa nama CEO yang akan ia temui setelah ini.
Namun karena waktu sudah mendesak dan Gilbert takut sang CEO mengamuk perkara menunggu terlalu lama, Gilbert langsung mendesak Lisa untuk segera masuk.
Lisa pun membuka pintu. Setelah akhirnya ia masuk ke ruangan megah nan luas dengan interior yang sangat modern itu, ia melihat sosok pria berjas hitam yang sedang berdiri di dekat jendela ruangan itu dengan kedua tangan yang terkubur di saku celana, yang mana posisi berdirinya jadi membelakangi pintu.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Lisa.
Ketika pria itu bergerak untuk berbalik, Lisa pun melangkahkan kakinya untuk sedikit maju. Akan tetapi, ia malah tak sengaja tersandung heelsnya sendiri, lalu akhirnya hilang keseimbangan dan jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap.
“Aw ...,” Lisa merintih pelan dengan mata berkaca-kaca karena jujur, ia kesakitan sekarang.
Selagi sibuk merintih, Lisa mendengar suara langkah kaki yang tegas dan tajam mendekat ke arahnya. Ia pun berhenti merintih, lalu menatap sepasang pantofel hitam mengkilat yang saat ini berada persis di depannya.
“Apa kau sekretaris baruku?”
***
4. Tidak Mungkin Salah Orang
Lisa mengerjap satu kali, masih menatap pantofel di hadapannya dalam posisi tengkurap. Suara bariton itu terasa tidak asing di telinga Lisa. Walaupun sudah lama tidak mendengarnya, tetapi Lisa yakin kalau ia mengenali suara itu. Sangat mirip pula dengan suara pria yang menemukan Alton di taman beberapa hari yang lalu.
“Kenapa malah tiduran di situ? Cepat bangun!” Suara pemilik pantofel hitam mengkilat itu pun kembali terdengar.
Lisa mengangkat kepala. Ia mendongak menatap pria yang saat ini berdiri di hadapannya, pria yang merupakan CEO Atez Company yang akan menjadi bosnya mulai hari ini.
Jantungnya sempat berhenti selama sepersekian detik ketika ia mendapati pria itu adalah Atlas Johannes Specter, mantan suaminya yang empat tahun lalu menceraikannya tepat satu hari setelah hari pernikahan mereka.
Lisa pun buru-buru bangkit dari posisi tengkurapnya setelah tadi jatuh tersungkur karena tersandung heelsnya sendiri. Walaupun nyeri di lutut dan di telapak tangannya cukup terasa, ia berusaha menahan itu.
Ia pun menepuk-nepuk pelan bagian depan tubuhnya sendiri untuk membersihkan diri. Setelah itu, dengan perasaannya yang masih sangat syok, ia menatap pria bertubuh tinggi yang saat ini berdiri di hadapannya.
Ini membuat Lisa tidak percaya. Bertahun-tahun lamanya tak pernah melihat Atlas lagi, ia tidak sekali pun terpikir untuk dendam atas apa yang telah Atlas lakukan padanya. Dan saat ini, ia merasa ingin menangis melihat pria itu lagi. Haruskah ia mengatakan sekarang juga bahwa ia hamil beberapa minggu minggu setelah Atlas meninggalkannya tiga tahun lalu?
“Kau ... bukankah wanita yang di taman tempo hari?” tanya Atlas. “Ibu dari anak yang hilang itu, kan?”
“Iya,” jawab Lisa sambil mengangguk.
“Siapa namamu?”
Lisa tercenung. Ini membuatnya bingung. Setelah menyebut ‘Ibu dari anak yang hilang’, mengapa sekarang Atlas bertanya soal nama? Tidak mungkin Atlas tidak mengenalnya hanya karena mereka tak pernah bertemu lagi selama tiga tahun terakhir.
“Kenapa malah diam? Kau bisu?” ketus Atlas.
“A-aku ... aku Elisa Carmella Dawson.”
“Mulailah bekerja. Nanti siang aku ada pertemuan penting. Kau harus membuat notulensi setelah pertemuannya selesai. Aku membutuhkan itu untuk urusanku besok siang,” ujar Atlas seraya berbalik dan berniat untuk beranjak menuju meja kerjanya.
Akan tetapi, Lisa memegang lengan Atlas dan menahannya.
Atlas pun menoleh. Dia menatap tangannya yang dipegang oleh Lisa, lalu beralih menatap wajah wanita itu. Sorot matanya terlihat tidak suka, menghardik tindakan Lisa yang baru saja lancang menyentuhnya.
Menyadari kalau Atlas risi, Lisa segera menurunkan tangannya dan melepaskan pegangannya pada tangan Atlas. “Maaf. Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu.”
“Apa?”
“Kau ... tidak mengenalku?” tanya Lisa sembari menunjuk wajahnya sendiri menggunakan jari telunjuk. “Mengapa tadi kau bertanya siapa namaku? Apakah wajahku ini terlihat berubah di matamu?”
“Apa yang kau bicarakan?” Atlas mengerutkan kening. “Kau datang ke sini untuk bekerja atau untuk meracau tidak jelas begini?”
Lisa terdiam.
Atlas menunjuk pintu seraya melanjutkan, “Keluar dari sini dan pergilah ke mejamu. Jangan ganggu aku jika bukan karena hal penting.”
Lisa tidak menghiraukan. Ia pikir, jangan-jangan ini bukan Atlas, mantan suaminya yang ia kenal dulu. Karena itulah, ia menatap ke arah meja yang ada di dekatnya. Melihat di sana ada sebuah kotak kecil yang merupakan tempat setumpuk kartu nama, ia pun langsung melangkah ke meja itu dan mengambil satu buah kartu nama.
Yang tertulis di kartu nama itu Atlas Johannes Specter sebagai CEO dan Presiden Atez Company.
Jelas Lisa tidak salah. Pria yang ada di hadapannya adalah Atlas, mantan suaminya. Namun mengapa Atlas bersikap aneh begini seolah tidak mengenalnya? Apakah Atlas tetap sebenci itu padanya karena dendam pada ibu kandungnya, sampai-sampai bersikap bak orang asing dan seperti tidak kenal begini?
“Kenapa malah diam di sana? Kau punya niat untuk bekerja atau tidak?” cetus Atlas.
Lisa pun menjawab dengan anggukan saja. Daripada tugasnya untuk bisa memiliki pengalaman sebagai sekretaris jadi kacau, ia pun bergegas berpamitan pada Atlas, lantas beranjak keluar dari ruangan tersebut.
Ia mendatangi sebuah meja kubikal yang terletak di depan ruangan Atlas. Tidak benar-benar di depan pintu, tetapi posisinya menjorok ke dinding samping agar tidak menghalangi pintu masuk.
Lisa pun meletakkan tasnya di sana. Ia tak tahu-menahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Selagi duduk di kursinya, ia melihat-lihat sekeliling meja itu dan berpikir keras tentang apa yang perlu ia lakukan sekarang.
Mencoba menyalakan komputer yang ada di meja itu, Lisa menekan tombol dan menunggu sampai komputer tersebut benar-benar menyala. Fokus Lisa terus-menerus teralihkan, ia tak henti menatap pintu ruang kerja Atlas. Perasaannya sangat tak menentu saat ini. Itu benar-benar Atlas.
“Apa kau sekretaris baru Pak Atlas?”
Lisa dikejutkan oleh sebuah suara yang mendadak muncul di dekatnya. Ia pun menoleh, lalu mendapati keberadaan seorang wanita berambut pendek yang berdiri di samping mejanya.
“Iya. Salam kenal.” Lisa tersenyum ramah.
“Aku Alena Smith, sekretaris wakil direktur bawahan Pak Atlas. Kau bisa memanggilku Lena. Aku diminta oleh Pak Gilbert untuk membantumu dan memberi arahan padamu,” kata wanita itu seraya menjulurkan tangan kanannya, mengajak Lisa untuk berjabat.
Lisa pun menyambut jabat tangan itu dan kian menunjukkan senyum semringahnya. “Senang bertemu denganmu.”
“Tunggu sebentar.” Wanita bernama Lena itu mengerutkan keningnya, menatap Lisa dengan tatapan yang cukup intens. “Kau ... bukankah kau Elisa Dawson? Model yang sering disebut di New York Times itu, kan?”
Lisa mengangguk. “Iya. Itu aku.”
“Woah! Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa bisa-bisanya kau bekerja menjadi sekretaris? Tidak mungkin kau tidak laku lagi, kan? Baru dua hari yang lalu aku membuka majalah dan melihat wajahmu masih ada di sana,” tutur Lena penasaran. “Apa kau bangkrut?”
“Tidak, kok.” Lisa terkekeh pelan. “Aku bekerja di sini karena ada keperluan penting yang tak bisa aku jelaskan.”
“Ah ... begitu rupanya.” Lena manggut-manggut.
Beberapa saat kemudian, Lena beranjak ke samping kursi Lisa, lalu mulai menjelaskan pada Lisa mengenai beberapa hal penting dalam pekerjaannya sebagai sekretaris, bahkan turut mengajarkan pada Lisa cara membuka beberapa file digital di komputer khusus perusahaan itu. Lena juga menyebutkan berbagai tugas dasar yang perlu Lisa lakukan selama bekerja.
“Yang aku sebutkan tadi hanya sebagian kecil saja. Pekerjaanmu sebagai sekretaris CEO jauh lebih kompleks daripada aku. Namun kuharap, kau bisa beradaptasi dengan cepat,” kata Lena.
Lisa tersenyum dan mengangguk. “Aku mengerti.”
Lena melirik ke arah pintu ruangan Atlas, memastikan pintu itu tetap tertutup. Sesaat kemudian, dia menunduk untuk berbisik pada Lisa.
“Kau harus tahu, Pak Atlas sangat kejam. Kau perlu disiplin, bekerja dengan cepat, dan jangan sekali-kali datang terlambat. Apa pun yang kau lakukan, selama masih berada di kantor, pastikan kau izin dulu padanya karena dia akan mengomel jika sekretarisnya tidak ada saat dia butuhkan,” tutur Lena.
“Sekejam itu?” tanya Lisa dengan kening berkerut.
Sebenarnya, tak perlu diberitahu pun ia memang sudah tahu Atlas sangat kejam. Pria mana lagi yang lebih kejam daripada Atlas yang tega menceraikan istrinya sendiri setelah malam pertama?
“Ya. Kau tahu? Semenjak cabang perusahaan ini diresmikan dua bulan lalu, sudah ada tiga sekretaris baru Pak Atlas yang angkat kaki dari perusahaan ini. Mereka tidak kuat membiasakan diri bekerja untuk Pak Atlas. Paling lama hanya bertahan tiga setengah minggu.”
“Dia benar-benar bajingan keparat, ya?” cetus Lisa dengan entengnya.
Lena pun langsung menutup mulut Lisa dengan telapak tangannya. “Ssstt! Jangan bicara sembarangan! Dia CEO di perusahaan ini, pewaris tunggal pula karena dia adalah putra satu-satunya dari pemilik utama perusahaan ini. Berhati-hatilah kalau tidak mau dipecat!"
***
5. Dokumen Bersampul Merah
Lisa masih mempelajari sejumlah berkas penting yang ada di laci mejanya. Ia menduga bahwa berkas-berkas itu pasti disimpan oleh sekretaris Atlas yang sebelumnya.
Dari tanggal yang tertera di berkas itu, Lisa mendapati bahwa rupanya berkas itu baru dibuat sekitar lima hari yang lalu. Berarti sekretaris Atlas yang sebelumnya baru saja berhenti bekerja.
Saat Lisa masih sibuk melihat-lihat isi berkas itu, pintu ruangan Atlas terbuka. Atlas keluar dari dalam sana. Di pendengaran Lisa, ia ingat bahwa langkah kaki Atlas tak sedikit pun berubah. Tetap tegas dan tajam seperti dulu.
“Katakan pada pimpinan operasional bahwa aku tidak mau menerima proposal sampah seperti ini,” ujar Atlas sembari meletakkan sebuah map file ke atas meja Lisa.
Lisa terdiam sejenak. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali menatap map file tersebut. Setelah kembali menatap Atlas, ia bertanya, “Aku ... belum tahu di mana ruang pimpinan operasional.”
“Cari tahu sendiri,” jawab Atlas datar seraya berbalik dan melangkah kembali ke ruangannya.
Lisa tercengang. Sosok Atlas yang ia lihat sekarang, sikap ketusnya tak jauh berbeda dari Atlas yang terakhir kali ia lihat ketika menyuruhnya menandatangani surat cerai dulu.
Agar tak menimbulkan masalah, Lisa pun bergegas membawa berkas yang tadi Atlas berikan. Ia menemui Lena, sekretaris wakil direktur, yang tadi pagi memberi arahan padanya karena ini adalah hari pertamanya bekerja.
Dengan bertanya pada Lena, Lisa berhasil mengembalikan berkas itu kepada pimpinan operasional seperti yang diperintahkan Atlas. Ia pun beranjak kembali ke lantai 45 di mana ruangan Atlas berada.
Tak bisa Lisa pungkiri bahwa dirinya tentu masih sangat sakit hati pada Atlas atas apa yang terjadi tiga tahun lalu. Dan sekarang, ia malah berpikir bahwa jangan-jangan Atlas ingin mempermainkannya lagi dengan bersikap seolah tidak mengenalnya.
Maka dari itu, sekarang ia ingin menghadap pria itu untuk mempertegas soal dirinya. Ia tidak akan diam saja. Dan lagi, bagaimana dengan Alton? Bukankah Atlas harus tahu bahwa Alton adalah darah dagingnya?
Setibanya di depan ruangan Atlas, Lisa mengentuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar sahutan dari dalam, ia pun membukanya dan segera melangkah masuk.
Atlas terlihat sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptop yang ada di atas meja kerjanya. Pria yang mengenakan dasi merah dengan motif bergaris itu melirik ke arah pintu. Hanya melirik sekilas saja sekadar untuk mengetahui siapa yang masuk.
“Maaf mengganggumu,” ujar Lisa.
“Aku tidak punya waktu untuk mengurus ketidaktahuanmu terhadap pekerjaanmu di sini. Jika kau ingin bertanya, tanyakan pada siapa pun, asal jangan padaku,” tutur Atlas dengan suara datar.
“Tidak. Bukan soal itu.”
“Lalu?” Atlas memindahkan pandangannya dari layar laptop, beralih menatap Lisa dengan mata biru lautnya yang penuh ketajaman.
“Aku ... tidak ingin dipermainkan lagi olehmu,” ujar Lisa, berusaha bersikap tegas.
Kening Atlas langsung berkerut, menatap Lisa dengan tatapan aneh. “Apa yang kau bicarakan?”
“Berhenti berpura-pura!”
“Kau pikir kau siapa berani berkata begitu padaku?”
Lisa terdiam ketika melihat sorot mata Atlas yang sangat tajam dan menghardik. Pria itu terlihat marah. Suara baritonnya yang dalam dan tegas juga menyuratkan ketidaksukaan atas apa yang Lisa ucapkan barusan.
Sempat tertegun, Lisa bingung harus bagaimana sekarang. Ia tak memprediksi kalau Atlas akan menunjukkan kemarahan seperti itu.
“K-kau ... kau bersikap seperti kau baru mengenalku,” ujar Lisa dengan gugup namun berusaha lantang.
Kening Atlas masih berkerut, membuat kedua alisnya yang tebal hampir menyatu ketika dia berkata, “Aku memang baru mengenalmu hari ini. Pertama kali melihatmu bahkan hanya tempo hari di taman.”
Lisa terdiam. Ini benar-benar aneh. Kalau Atlas tidak mempermainkannya, lalu mengapa dia bilang begitu? Apakah dia amnesia?
“Aku tidak punya waktu untuk meladeni segala pembicaraanmu yang tidak jelas. Jika kau ingin bekerja di sini, jangan coba-coba membuatku tak segan memecatmu tepat di mana hari pertamamu bekerja,” tutur Atlas dengan intonasi suaranya yang sangat mengancam. Dia juga mengibaskan telapak tangan kanannya, menyuruh Lisa untuk keluar.
Lisa yang masih dilanda ketidakpastian perasaannya sendiri, tak bisa berbuat apa-apa selain berdiri tegak dan mengangguk cepat. “Aku mengerti.”
Pada pukul dua siang, Lisa melihat Atlas keluar dari ruang kerjanya sembari memakai jas hitam.
Lisa yang duduk di meja kubikal di depan ruangan Atlas pun terdiam. Cara Atlas memakai jas, ia yakini siapa pun yang melihatnya pasti akan terkagum pada betapa maskulin dan atraktifnya sosok Atlas.
Ketika melewati meja tempat Lisa berada, Atlas berkata, “Aku akan pergi sekarang. Cepat!”
Lisa awalnya bingung, tetapi karena Atlas menggerakkan jari tangan kanannya sesaat, ia pun sadar itu isyarat ia harus ikut dengannya.
Setelah mengambil ponselnya sekaligus beberapa kertas di atas meja, Lisa bergegas menyusul Atlas dan berusaha untuk menyejajarkan langkahnya dengan pria itu.
Ia harus bersusah payah karena langkah Atlas sungguh lebar-lebar. Tubuh pria itu sangat tinggi, cukup jauh berbeda dengan Lisa walaupun seorang model seperti dirinya juga memiliki tinggi yang lumayan.
“Kita akan pergi ke mana?” tanya Lisa.
Atlas melirik sekilas pada Lisa. Setelah kembali menatap ke depan, dia berkata, “Kau memegang kertas berisi jadwal kegiatanku hari ini. Kenapa masih bertanya? Tidak bisa baca?”
Lisa menunduk untuk menatap kertas yang ia pegang. Ia hampir menunjukkan cengiran canggungnya kalau saja ia lupa bahwa itu akan sangat memalukan.
Lisa terus mengikuti Atlas sampai area parkir khusus yang ada di basement. Setibanya di sana, Lisa melihat Atlas membuka pintu depan dan duduk di kursi kemudi. Karena tahu bahwa Atlas akan menyetir sendiri, Lisa pun membuka pintu belakang dan duduk di kursi belakang.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Atlas sambil menoleh ke belakang, menatap Lisa yang baru saja menutup pintu.
“Apakah ada yang salah?” Lisa balik bertanya dengan kedua matanya yang mengerjap bingung.
“Kenapa kau duduk di belakang?”
“Kau sendiri yang menyetir, kan? Memangnya aku harus duduk di mana?”
“Kau duduk di belakang sana dan aku yang menyetir mobil ini seolah-olah aku adalah sopirmu? Begitu?"
"Jadi aku harus duduk di depan? Di sampingmu?"
"Jangan banyak bicara! Pindah ke depan sini!” titah Atlas sambil menunjuk kursi depan di sampingnya.
Lisa menghela napas pelan. Ia pun membuka pintu dan turun dari mobil untuk pindah tempat sesuai dengan yang diperintahkan oleh Atlas.
Mercedes Maybach berwarna putih milik Atlas itu melaju meninggalkan area gedung Atez Company dan menyusuri jalanan di pusat Manhattan yang seperti biasa, padat.
Lisa merasa sangat canggung sekarang. Beberapa kali diam-diam ia melirik ke arah Atlas. Saking lamanya, ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia berada dalam satu mobil yang sama dengan mantan suaminya itu.
Lisa masih belum mengerti soal apa yang sebenarnya terjadi sampai Atlas bersikap seperti tidak mengenalnya. Namun, saat ini ia memilih untuk fokus terlebih dahulu pada hari pertamanya bekerja. Bagaimana pun caranya, ia harus mendapatkan peran pada film garapan Yolanda Nelson.
Setelah melaju selama sekitar lima belas menit, mereka tiba di wilayah Wall Street, Manhattan. Atlas menepikan mobilnya untuk masuk ke halaman sebuah gedung perkantoran.
“Bawakan dokumen bersampul merah yang ada di laci dashboard. Jangan sampai salah! Pastikan isi di dalamnya adalah laporan perusahaan,” kata Atlas sembari melepas sabuk pengamannya.
“Baiklah.”
Setelah Atlas turun lebih dulu, Lisa pun membuka laci dashboard di depannya. Ada sekitar empat map file dokumen di sana, bahkan yang sampulnya warna merah pun ada dua dokumen. Lisa mengambil dokumen yang paling pertama ia lihat, lantas membukanya untuk memastikan isi dari dokumen itu adalah laporan perusahaan.
Namun ternyata begitu dibuka, yang Lisa lihat adalah lembaran-lembaran kertas yang terdapat logo rumah sakit. Itu seperti surat keterangan hasil pemeriksaan dari rumah sakit.
Sudah pasti bukan itu dokumen yang diminta Atlas. Namun, ada yang menarik perhatian Lisa dari tulisan di lembaran kertas itu.
Lisa membaca suatu paragraf yang menerangkan bahwa pasien rumah sakit atas nama Atlas Johannes Specter mengalami kecelakaan parah empat tahun yang lalu. Cedera serius yang terjadi di kepala Atlas membuatnya mengalami amnesia traumatis.
Lisa jelas merasa sangat terkejut. Ia bahkan mematung cukup lama dengan kedua matanya yang tertuju pada kertas itu.
Suara ketukan yang mendadak terdengar pada jendela di sampingnya membuat lamunan Lisa langsung terbuyarkan.
Lisa menoleh. Ia melihat kalau ternyata Atlas-lah yang mengetuk jendela itu berkali-kali.
“Apa yang kau lakukan di dalam sana?” Atlas mengerutkan kening dan menatap Lisa dari luar dengan tatapan tajam.
Lisa bergegas merapikan dokumen di tangannya dan segera mengambil dokumen bersampul merah yang satunya lagi dari dashboard.
“Kenapa lama sekali? Cepat!” titah Atlas.
“Baik!”
***
6. Dasi Kupu-Kupu
Baru lima hari bekerja untuk Atlas, Lisa hampir gila karena merasa seperti bekerja untuk kompeni kejam.
Lisa harus pergi pagi-pagi karena tidak boleh terlambat, tertekan oleh pekerjaan yang menumpuk bahkan meski ia baru bekerja, harus bolak-balik membantu mengurus semua pekerjaan Atlas, dan pulang pun terkadang sampai pukul delapan atau sembilan malam.
Lisa paham bahwa seorang CEO memang super sibuk. Bahkan daripada sang CEO sendiri, di mana pun sekretarisnya-lah yang dua kali lipat lebih sibuk. Namun malangnya, ia bahkan baru bekerja lima hari dan masih beradaptasi.
Lisa harus sering-sering melakukan panggilan video dengan pengasuh saat sedang bekerja untuk sekadar mengetahui kondisi Alton. Ia tentu tak akan lupa bahwa dirinya ini punya satu balita di rumah. Nahasnya, balita itu adalah anak kandung bosnya juga.
Andaikan Atlas tahu.
Ingin sekali rasanya Lisa bilang pada Atlas bahwa ia adalah Elisa Carmella Dawson, wanita yang diceraikannya dan telah melahirkan seorang putra yang merupakan darah daging Atlas. Namun entah mengapa, keraguan besar mendera Lisa setelah mengetahui Atlas amnesia.
Lisa memutuskan untuk bersikap sebagaimana mestinya bekerja untuk bosnya, bahkan memanggil Atlas dengan embel-embel ‘Pak’. Dengan posisi menjadi sekretaris Atlas, Lisa fokus mengembangkan diri untuk mempersiapkan kemampuannya menjadi pemeran dalam film serial garapan Yolanda Nelson yang ia inginkan. Namun di waktu yang bersamaan, kalau bisa, ia juga bersiasat untuk mengembalikan ingatan Atlas.
Entah keputusannya benar atau tidak, tetapi Lisa pikir, bagaimana pun juga Atlas harus tahu bahwa dia memiliki seorang anak kandung yang selama ini Lisa besarkan seorang diri.
“Ibu!!”
Jeritan melengking yang terdengar di belakang sontak membuat langkah Lisa terhenti. Ia menghela napas ketika jeritan itu disusul oleh tangisan.
Padahal ia pikir, ia sudah cukup lihai mengendap-endap pergi di pagi hari untuk menghindari kemungkinan Alton merengek karena tak ingin ditinggal olehnya.
“Ibu ...,” Alton muncul dari arah kamar sambil menangis tersedu-sedu dan berlari dengan langkah kecilnya menghampiri Lisa. Di belakang Alton, ada seorang pengasuh yang mengikuti dan berupaya untuk mengajaknya bermain.
“Ibu ingin pergi sebentar. Setelah pulang, nanti kita pergi jalan-jalan,” ujar Lisa, mencoba untuk membujuk Alton.
Pria kecil itu tak mau. Dia menggeleng berkali-kali dan menarik bagian bawah gaun biru selutut yang Lisa pakai agar Lisa tetap berada di dekatnya.
Karena tangisan Alton yang sangat nyaring dan sesenggukan, Lisa jadi tidak tega. Ia menggendong Alton dan berupaya untuk menenangkan putranya itu.
“Ikut. Ingin ikut,” kata Alton sembari menyandarkan kepalanya di bahu Lisa.
“Ibu harus pergi bekerja, Sayang. Kau tidak bisa ikut. Di sini saja, ya? Ibu hanya sebentar, kok.”
Alton mungkin sudah sedikit peka kalau kata ‘sebentar’ yang Lisa ucapkan hanyalah dusta semata akibat selama beberapa hari terakhir tak bertemu sang ibu seharian penuh. Karena itulah, dia menggeleng dan tetap merengek.
Selagi berusaha untuk menenangkan Alton, ponsel Lisa berdering beberapa kali. Terdapat notifikasi surel masuk dari perusahaan yang memiliki kerja sama dengan perusahaan Atlas, dan surel itu berisi sejumlah laporan yang perlu Lisa periksa sebelum diberikan pada Atlas sesegera mungkin pagi ini.
“Ibu janji, kali ini Ibu akan pulang lebih cepat. Atau kalau perlu, saat jam makan siang, Ibu akan pulang untuk menemuimu,” kata Lisa dengan lembut seraya mencium pipi Alton berkali-kali.
Pengasuh pun mengambil alih Alton dari gendongan Lisa. Meski dengan rasa bersalah yang sangat besar, Lisa terpaksa untuk tetap beranjak pergi selagi Alton menjerit dan menangis tak karuan karena tidak ingin ia pergi.
Setelah tiba di gedung Atez Company, Lisa langsung bergegas ke meja kerjanya dan mulai berkutat mengurus berbagai hal yang perlu ia kerjakan.
Sebelumnya, Lisa tak punya pengalaman kerja apa pun sebagai sekretaris. Dulu ia memang kuliah di jurusan manajemen dan bisnis, tetapi tetap saja beban pekerjaan yang dimilikinya terasa berlipat ketika pengalaman pertamanya malah harus menjadi sekretaris seorang CEO.
Beruntung ia mampu belajar dengan cepat. Walaupun terkadang masih bingung, ia tak ragu untuk bertanya pada Lena atau sekretaris petinggi Atez Company lainnya yang ada di lantai yang sama dengannya. Ia tidak berani bertanya pada Atlas. Sekalinya ia bertanya, ia malah didamprat karena dianggap mengganggu.
Selagi ia masih fokus mengerjakan sesuatu di komputernya, ekor matanya menangkap sosok Atlas yang baru saja tiba dan sedang melangkah menuju ruangannya.
“Mana laporan yang kemarin sore kuminta?” tanya Atlas seraya berhenti di samping meja kubikal Lisa.
“Ada. Tapi ... masih kurapikan. Nanti akan aku beri padamu setelah tuntas semuanya,” ujar Lisa sambil tersenyum.
Atlas memberikan tatapan sinis. Sembari melanjutkan langkahnya menuju pintu, dia bergumam, “Lamban.”
Lisa sudah mengangkat wadah alat tulis yang ada di mejanya, siap melemparkan benda itu ke kepala Atlas karena kesal. Kalau saja tak ingat dirinya saat ini hanyalah bawahan Atlas, ia sungguh akan melempar benda itu dan menantikan Atlas merintih kesakitan.
Lisa kembali fokus pada pekerjaannya. Berjam-jam berlalu, pada pukul sebelas siang, pesawat telepon di mejanya berbunyi. Lisa pun segera mengangkat gagang telepon dan menempelkan benda itu ke telinganya.
“Selamat siang. Dengan Lisa ada yang bisa diban—”
[Masuk ke ruanganku. Sekarang!]
Lisa mengenal suara itu. Siapa lagi kalau bukan Atlas? Lagi pula pada keterangan yang tertera di pesawat telepon juga terlihat asal panggilan adalah dari ruangan Atlas.
Ia menoleh ke arah pintu. Jarak pintu itu ke mejanya kurang dari lima langkah. Apa susahnya keluar dan memanggilnya secara langsung?
“Baik, Pak,” jawab Lisa akhirnya, pasrah.
Setelah Atlas menutup telepon, ia menghela napas dan bangkit dari duduknya. Ia lebih dulu mengetuk pintu, barulah setelah itu membuka pintu tersebut dan melangkah masuk.
“Apakah Bapak membutuhkan sesuatu?” tanya Lisa setelah berdiri di depan meja kerja Atlas.
Pria itu sedang membolak-balik dokumen yang dia pegang. Setelah mendengar suara Lisa, dia menoleh dan meletakkan dokumennya. Dia mengacungkan sebuah dasi hitam yang sepertinya merupakan dasi kupu-kupu, lalu berkata, “Bantu aku memakai dasi ini. Aku tidak tahu cara menyimpulkan dasi kupu-kupu.”
“Bapak memanggil lewat telepon dan menyuruhku masuk hanya karena perkara dasi?”
“Kenapa? Keberatan?” Atlas mengangkat sebelah alis tebalnya.
“Tidak, Pak.” Lisa pasrah seraya berjalan menghampiri kursi yang Atlas duduki.
Atlas berdiri dari duduknya setelah Lisa tiba di dekatnya. Pria itu memberikan dasinya kepada Lisa, lalu membiarkan Lisa mulai memasangkan benda tersebut di kerah kemeja putihnya.
“Mengapa hari ini pakai dasi kupu-kupu? Memangnya Bapak mau ke mana?” tanya Lisa.
“Menghadiri pertemuan sekaligus makan siang bersama sejumlah rekan bisnisku. Para pria sepakat memakai dasi seperti ini,” jawab Atlas.
“Oh ...,” Lisa manggut-manggut sembari tetap fokus memakaikan dasi untuk Atlas.
“Kau kan sekretarisku. Kenapa tidak mengetahui jadwal kegiatanku siang ini?” cetus Atlas.
“Bukannya tidak tahu. Aku hanya baru tahu kalau Bapak perlu pakai dasi kupu-kupu untuk pertemuan itu.”
Atlas hanya menghela napas. Karena posisi berdiri mereka saat ini sangatlah dekat, Lisa dapat merasakan helaan napas Atlas yang hangat dan beraroma mint itu menerpa pelan area dahinya.
Lisa sempat terdiam sejenak, menatap Atlas yang lebih tinggi darinya dengan tatapan campur aduk, memerhatikan wajah tampan pria itu yang tampak dingin dan tak sedikit pun seperti Atlas yang ia kenal dulu.
Lisa merasa dirinya sudah agak aneh ketika membayangkan Atlas masih menjadi suaminya dan kejadian hampir empat tahun lalu tak pernah terjadi. Lantas sekarang, ia melakukan ini untuk suaminya sendiri, memakaikan dasi dan memastikan Atlas benar-benar rapi dengan pakaiannya.
Sadar oleh bayangan naifnya, Lisa langsung memejamkan mata dan menggeleng beberapa kali, merutuki dirinya sendiri dalam hati. Atlas bahkan sama sekali tak mengenal siapa dirinya, mengapa bisa-bisanya ia membayangkan hal seperti itu?
“Kau kenapa?” tanya Atlas dengan kening berkerut heran melihat tingkah Lisa barusan.
Lisa pun tersenyum, tepat setelah ia selesai memakaikan dasi kupu-kupu untuk Atlas. Setelah mundur satu langkah, ia menggeleng dan menjawab, “Tidak kenapa-kenapa. Sudah selesai, Pak.”
Karena tugasnya sudah selesai, ia pun diperkenankan untuk keluar oleh Atlas. Ia menghela napas panjang saat mendudukkan diri di kursinya. Sembari mengusap-usap dada sendiri, Lisa bergumam, “Kenapa jantungku berdebar begini?”
Mendekati jam makan siang, Lisa menyempatkan diri untuk melanjutkan pekerjaannya dulu agar ia bisa pulang lebih cepat nanti sore. Walaupun sudah bilang pada Alton kalau ia akan pulang saat jam makan siang, tetapi sepertinya ia tidak bisa melakukan itu. Lebih baik ia melanjutkan pekerjaannya sampai tuntas dan bisa pulang tepat waktu setelah Atlas pulang sekitar pukul lima sore.
Atlas ada pertemuan di jam makan siang. Jika biasanya ia akan ikut karena pasti ada notulensi yang dibutuhkan, kali ini tak masalah jika ia tetap berada di kantor, sebab pertemuannya tidak terlalu formal dan dibarengi dengan makan siang.
Saat Lisa masih fokus memilah sejumlah dokumen di atas mejanya, ponselnya berdering panjang, menandakan adanya telepon masuk.
Ia pun mengambil benda itu dan mendapati di layar tertera nomor telepon apartemennya. Ia tersenyum karena berpikir mungkin saja yang meneleponnya adalah pengasuh atas permintaan Alton yang merengek ingin bicara dengannya.
Maka dari itu, Lisa langsung mengangkat telepon tersebut.
“Halo?” sapa Lisa.
[Halo, Nyonya? Maaf mengganggumu.]
Lisa mengerutkan kening ketika mendengar suara pengasuh Alton yang menyuratkan rasa cemas. “Ada apa? Apakah Alton sudah makan siang?”
[Anu, Nyonya ... badan Tuan Alton panas sekali sejak tiga jam yang lalu. Suhu tubuhnya meningkat drastis dan dia tidak berhenti menangis. Sepertinya Tuan Alton demam tinggi, Nyonya.]
Lisa langsung bangkit dari duduknya. “Lalu bagaimana keadaan putraku sekarang?”
[Aku dan pelayan di rumah akan berangkat ke rumah sakit untuk membawa Tuan Alton.]
“Tunggu aku. Aku akan pulang sekarang juga.”
[Baik, Nyonya.]
Tepat setelah Lisa menutup telepon itu, pintu ruangan Atlas terbuka. Ia baru saja akan buka suara untuk meminta izin pada pria itu kalau ia harus pulang dulu. Namun, Atlas sudah duluan berkata, “Kurasa kau harus ikut denganku. Ada urusan yang perlu aku selesaikan di Brooklyn setelah makan siang.”
“Pak, maaf. Aku ... ingin izin pulang sebentar,” ujar Lisa.
Atlas mengerutkan keningnya. “Masih siang begini dan kau ingin pulang?”
“Bukan begitu. Anakku sakit. Aku hanya pulang sebentar untuk memastikan anakku baik-baik saja,” ujar Lisa.
Atlas melihat mata Lisa berkaca-kaca. Wajah wanita itu juga tampak sangat panik dan hampir menangis.
“Apakah urusan anakmu menjadi tanggung jawabku untuk tidak terbantu oleh pekerjaanmu sebagai sekretarisku?” cetus Atlas.
Lisa tertegun susah payah. Air mata yang membendung di pelupuknya kian banyak.
“Aku mohon ...,” ujar Lisa.
Atlas terdiam ketika mendapati kedua mata Lisa makin merah dan berair. Dia menghela napas, lalu melangkah melewati meja Lisa sambil berkata, “Jika urusan anakmu sudah selesai, usahakan langsung kembali ke sini dan lanjutkan pekerjaanmu.”
***
7. Janda Anak Satu
Lisa mengelus-elus kepala Alton yang ia peluk di pangkuannya. Ketika telapak tangannya menempel di dahi putranya itu, ia merasakan betapa tinggi suhu tubuh sang putra. Berusaha untuk tenang, Lisa menciumi dahi dan pipi Alton berkali-kali.
Alton adalah tipikal anak yang jarang sakit, bahkan sejak masih bayi sekali pun. Di tengah maraknya berbagai penyakit atau virus yang gejala awalnya adalah demam, itulah yang membuat Lisa merasa terlampau khawatir dengan kondisi Alton.
Mobil yang dikendarai oleh sopir pribadi Lisa akhirnya sampai di rumah sakit yang mereka tuju. Lisa yang ditemani oleh pengasuh Alton pun segera turun dan membawa Alton masuk ke rumah sakit.
Beruntung tak ada antrean yang menumpuk di rumah sakit itu, sehingga perawat yang Lisa temui di meja resepsionis langsung mengarahkan Lisa untuk bertemu dengan salah seorang dokter.
Saat Alton sedang diperiksa, ponsel Lisa berdering. Ia pun mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya dan melihat tulisan ‘Ibu’ tertera di layar.
Avana Eshter, ibu tirinya, memang ia kirimi pesan untuk memberitahu bahwa Alton demam tinggi. Pengaruh status dirinya sebagai janda anak satu dan tidak tahu apa-apa soal merawat anak, membuat Lisa selalu melaporkan segala hal pada ibunya itu tentang Alton bahkan sejak Alton masih bayi.
Bahkan walaupun Avana adalah ibu tirinya, tetapi Lisa jauh lebih dekat dengan Avana daripada dengan ibu kandungnya sendiri.
Lisa berkata pada pengasuh untuk tetap berada di ruangan itu selagi ia keluar sebentar untuk angkat telepon. Setelah keluar dari ruangan, ia langsung menempelkan ponselnya di telinga.
“Halo, Ibu?” sapa Lisa.
[Alton sakit? Kau di mana sekarang?]
“Iya ...,” Lisa tidak bisa menahan air matanya usai mendengar suara sang ibu. “Aku di rumah sakit.”
[Dokter bilang apa? Mengapa Alton bisa sakit?]
“Belum tahu, Ibu. Dokter baru saja memeriksanya.”
Lisa mendengar suara helaan napas dari seberang telepon.
[Ya sudah, tidak perlu terlalu khawatir, Sayang. Alton pasti baik-baik saja. Ibu akan ke apartemenmu nanti sore.]
Setelah berteleponan singkat dengan ibunya, Lisa pun kembali ke ruang periksa untuk menemani putranya yang sedang diperiksa.
“Karena demamnya baru hari ini, aku akan meresepkan obat yang harus diminum oleh putramu. Selagi dia istirahat, sebaiknya juga sekalian dikompres,” ujar dokter pada Lisa.
“Berarti putraku tidak kenapa-kenapa, kan? Tidak ada hal yang terlampau buruk yang terjadi padanya, kan?” Lisa bertanya dengan penuh kekhawatiran.
“Tidak perlu terlalu khawatir, Nyonya. Jika sampai besok pagi demamnya masih belum turun atau justru malah semakin parah, kau bisa membawa putramu ke sini lagi agar dilakukan pemeriksaan lanjutan,” jelas dokter.
Lisa menghela napas lega mendengar penjelasan itu.
Setelah dari rumah sakit, Lisa membawa Alton pulang. Beruntung begitu tiba di apartemen dan memberikan obat pada Alton, putranya itu berangsur-angsur mulai tertidur nyenyak. Dengan begitu, Lisa bisa segera kembali ke gedung Atez Company. Ia akan menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin agar bisa langsung pulang saat sore hari.
Ingin sekali rasanya ia kabur saja dari pekerjaannya itu agar hanya fokus mengurus Alton. Namun mengingat kesempatan tak datang dua kali dan ia bisa gagal mendapatkan peran dalam film garapan Yolanda Nelson, rasa-rasanya sayang sekali.
Bukan berarti Lisa tidak mengutamakan Alton. Justru Alton-lah yang paling utama. Jika memang ia lebih mengutamakan kariernya, tidak perlu ia susah payah pulang di jam makan siang demi Alton.
Lisa tidak bertemu dengan Atlas di kantor karena pria itu memang menghadiri pertemuan. Namun, Atlas baru kembali ke kantor pada pukul empat sore. Pria itu menghentikan langkahnya ketika melewati meja Lisa.
“Sudah?” tanya Atlas.
“Eh? Apanya?” Lisa bertanya balik dengan sorot polos pada kedua matanya yang tampak bingung.
Atlas terdiam sejenak. Dia menatap Lisa dari atas ke bawah, lalu berkata, “Anakmu.”
“Oh, i-iya. Sudah.” Lisa mengangguk cepat. “Aku sudah membawanya ke dokter tadi siang.”
Atlas tak mengatakan apa-apa lagi. Dia melanjutkan langkahnya dan masuk ke ruangannya.
Lisa pun menghela napas usai memerhatikan kepergian Atlas. Ingin sekali ia bilang pada Atlas bahwa kata 'anakmu' yang tadi Atlas ucapkan, harusnya berubah menjadi 'anak kita'.
Tak lama setelah Atlas kembali ke kantor, pria itu keluar lagi dari ruangannya. Dia berkata singkat dengan kalimat, “Aku pulang sekarang. Siapkan jadwalku untuk besok.”
“Baiklah,” jawab Lisa. “Hati-hati di jalan.”
Atlas hanya melirik sekilas saja padanya usai ia bilang begitu. Setelah Atlas berbelok ke area lift dan akhirnya menghilang dari pandangannya, Lisa pun menghela napas pelan dan kembali berkutat menuntaskan sisa pekerjaannya.
Pada pukul lima lewat beberapa menit, akhirnya semuanya selesai dan Lisa bisa pulang tepat waktu. Ia bergegas karena khawatir dengan kondisi putranya yang tadi siang baru ia bawa ke dokter. Ia harap, demam Alton sudah turun sore ini.
Tadi pagi Lisa datang ke kantor dengan diantar oleh sopir, tetapi ia turun di tengah jalan dan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju gedung Atez Company. Alasannya adalah karena macet tentunya.
Siapa pun di negara ini pasti tahu betapa padat jalanan di pusat New York, khususnya Manhattan. Apalagi jalur dari gedung Atez Company menuju apartemen tempat tinggalnya harus melewati titik-titik yang seringkali macet.
Lisa tidak bawa kendaraan sendiri hari ini. Karena itulah, ia akan pulang menggunakan taksi saja. Ia baru saja keluar dari lobi dan berniat untuk ke tepi trotoar mencari taksi kosong yang melintas.
Namun di pelataran dekat gerbang keluar area gedung, terdapat sebuah mobil mewah yang jendela depannya terbuka. Dari jendela itulah ia melihat kalau pengendara mobil tersebut adalah Atlas.
Lisa perhatikan, Atlas sedang menelepon. Sepertinya dia belum beranjak pergi karena harus mengangkat telepon dulu.
Lisa tak ingin menghiraukan. Kalau boleh, ia juga enggan untuk menyapa. Jadi, ia buang muka dan melanjutkan langkahnya untuk keluar dari area gedung berlantai 45 itu. Alasan ia begitu sudah tentu untuk menghindari kemungkinan Atlas menyuruhnya untuk melakukan suatu tugas, padahal ia sedang berusaha untuk pulang cepat.
Ia sengaja menoleh ke arah lain saat melintas di dekat mobil Atlas, berharap Atlas tak melihatnya dan tidak menganggapnya telah bersikap tak sopan karena enggan menyapa.
Namun ternyata, Atlas malah menyadari keberadaannya. Pria itu mengakhiri telepon dan langsung menatap Lisa.
“Hey, kau!” panggil Atlas.
Awalnya Lisa pura-pura tidak tahu. Ia menghentikan langkah dan menoleh ke sekeliling, lalu menunjuk dirinya sendiri sambil bertanya, “Kau memanggilku?”
“Menurutmu?” ketus Atlas sambil menatap wanita yang rambut panjangnya bercat pirang itu.
Lisa pun mau tak mau melangkahkan kakinya untuk mendekati mobil Atlas. “Ada apa?”
“Masuklah. Bantu aku sebentar,” kata Atlas seraya membuka pintu depan dari dalam untuk Lisa.
"Tapi aku ingin pulang, Pak."
"Ya, bantu aku sebentar. Setelah itu aku akan sekalian mengantarmu pulang."
Meski dengan perasaan heran dan bertanya-tanya Atlas butuh bantuan apa, Lisa masuk ke mobil itu. Ia duduk di kursi depan dan menutup pintunya kembali.
Atlas mulai melajukan mobilnya. Sembari fokus menatap ke depan, dia berkata, “Ambil iPad di kursi belakang dan carikan dokumen digital lamaku. Cari di surel yang berasal dari London.”
“Baiklah,” jawab Lisa patuh. Ia berbalik dan menopang tangan kanannya di bagian pinggir kursi yang Atlas duduki, lantas menjulurkan tangan kirinya untuk meraih iPad yang tergeletak di kursi belakang.
Saat Lisa baru saja mengambil iPad itu, sebuah mobil mendadak masuk ke tengah jalan tanpa melihat-lihat, sehingga Atlas terkejut dan refleks menginjak rem.
Tindakan Atlas yang mendadak itu sontak saja membuat Lisa menoleh, lalu hilang keseimbangan. Untuk mempertahankan dirinya sendiri agar tidak jatuh menindih paha Atlas dan malah berada pada posisi wajah yang berdekatan dengan paha Atlas, Lisa pun menopang tangannya di bahu pria itu. Namun sayangnya, hal itu malah membuat wajahnya mendekat pada wajah Atlas dan bibirnya tak sengaja menempel di pipi pria itu.
***
8. Wanita Lain di Rumahnya
Jantung Lisa mulai berdebar tak normal. Ketidaksengajaannya mencium pipi Atlas membuatnya teringat pada kejadian intim antara dirinya dengan mantan suaminya itu pada malam pertama mereka empat tahun lalu.
Dengan posisi yang masih sedekat ini dengan Atlas, tenggorokan Lisa terasa tercekat ketika ia mencoba untuk menelan ludahnya. Rasa panas mendadak saja menyebar di sekujur tubuh Lisa, ia tahu itu bersumber dari rasa gugup dan berdebar yang mulai menggerayangi perasaannya.
“Apa kau sedang mencoba menggodaku?” tanya Atlas datar sambil menoleh ke samping untuk menatap Lisa dengan tatapan mengancam.
Lisa masih terdiam. Walaupun bibirnya sudah tidak lagi menempel di pipi Atlas, tetapi jarak mereka masih sangat dekat.
Atlas tak tahu apa yang membuatnya jadi terpaku menatap bibir Lisa yang barusan mengenai pipinya. Ada suatu desiran aneh dalam dirinya hingga dia tak tahan untuk menatap bibir Lisa. Bibir ranum yang pink dan sangat terawat itu mendadak saja membuatnya terpegun. Sesaat kemudian, dia mendapati kulit wajah Lisa sudah memerah, terutama di bagian pipi.
"Apa yang kau pikirkan, huh? Tidak bisakah bekerja dengan benar dan jangan lancang pada bosmu? Kau sengaja memancing keliaran di sini?" ketus Atlas.
Lisa yang sempat mematung pun segera tersadar. Ia buru-buru menjauhkan dirinya dari Atlas dan kembali duduk di kursinya. “Ma-maaf. Aku tidak sengaja.”
***
Kemarin sore Lisa berdebat hebat dengan ayahnya. Ayahnya sangat marah dan berniat untuk mendatangi Atlas setelah tahu Atlas sudah kembali ke New York. Namun, Lisa menghalangi.
Lisa hanya merasa malu untuk melibatkan orang tuanya pada urusan hidupnya sendiri. Ia tahu ayah dan ibu tirinya tidak terima atas apa yang telah ia alami sejak beberapa tahun lalu. Namun, ia tidak ingin orang tuanya terlalu ikut campur, semata-mata karena ia merasa tidak enak hati untuk menyusahkan mereka. Toh, ia sudah dewasa dan merasa perlu untuk mengurus segalanya sendiri.
Dan lagi pula, faktanya pun ia dan Atlas telah bercerai. Terlepas dari persoalan Alton, sekarang ia juga tahu bahwa Atlas ternyata mengalami amnesia.
Lisa tidak tahu harus berbuat apa, sampai ibu tirinya berkata, “Semua terserah padamu. Ibu dan ayah tidak akan ikut campur terlalu jauh. Jika kau merasa bahwa Atlas harus tahu soal Alton, maka beritahu dia.”
Karena itulah, setelah memantapkan hati dan memastikan Alton sudah sehat dan tidak demam seperti kemarin, malam ini Lisa berencana untuk menemui Atlas dan ingin mengatakan padanya soal Alton.
Sebagai sekretaris Atlas, tentu Lisa bisa mendapatkan alamat tempat tinggal pria itu. Setelah ia lihat alamatnya, ternyata sekarang Atlas masih tinggal di rumahnya yang dulu, di wilayah Long Island.
Yang Lisa ingat, selama dulu Atlas menempati rumah super mewah itu di New York, orang tua Atlas memang menetap di London karena aslinya Atlas pun memang berasal dari Inggris sana.
Orang tua Atlas hanya datang ke New York saat hari pernikahan mereka hampir empat tahun yang lalu. Padahal saat hari pernikahan itu atau pun di waktu-waktu sebelumnya ketika Atlas membawa Lisa ke London menemui orang tuanya, Lisa tak pernah melihat ada kebencian apa pun dari orang tua Atlas terhadap dirinya.
Itulah salah satu alasan yang membuat Lisa sungguh tidak menyangka kalau dirinya hanya menjadi alat bagi Atlas untuk balas dendam terhadap ibu kandungnya.
Saat ini mobil yang Lisa kendarai sudah berada di depan gerbang rumah Atlas. Seorang penjaga rumah menghampiri mobilnya, lalu menanyakan keperluannya. Lisa pun menyampaikan bahwa ia adalah sekretaris Atlas di Atez Company.
Dengan begitu, sang penjaga segera membukakan gerbang dan mempersilakan Lisa untuk masuk.
Lisa memarkirkan mobilnya di tepi halaman. Ia turun dari mobil dan melangkah ke bangunan utama rumah dengan desain bangunan yang didominasi oleh kaca dan sangat modern itu.
Tidak ada yang terlalu berbeda dari rumah itu dibandingkan dengan terakhir kali Lisa lihat, selain adanya garasi tambahan yang diperuntukkan untuk memuat koleksi mobil mahal Atlas.
Setelah tiba di depan pintu rumah, Lisa menghela napas pelan dan mengangkat tangannya untuk menekan tombol bel yang ada di sisi kiri.
Hanya berselang beberapa detik saja usai Lisa menekan bel, pintu bermaterial kokoh itu bergerak terbuka dari dalam.
Lisa sudah mengulas senyum karena ia pikir, yang akan langsung ia lihat adalah Atlas. Atau mungkin pelayan yang bekerja membersihkan area rumah. Namun ternyata begitu pintu terbuka, Lisa mendapati kemunculan seorang wanita berambut cokelat kehitaman.
Lisa terdiam dengan senyumnya yang perlahan-lahan memudar. Wanita itu memakai bathrobe putih dan kelihatan seperti baru selesai mandi.
Lisa tahu Atlas adalah anak tunggal. Atlas tidak punya kakak maupun adik perempuan. Dan lagi, wanita yang ada di hadapannya ini juga bukan saudara semacam sepupu atau apa pun itu, karena Lisa mengenalnya. Ia tahu siapa wanita berambut cokelat kehitaman ini.
“Kayla?” ujar Lisa.
Wanita yang Lisa sebut Kayla itu terdiam. Dia menatap Lisa dari atas ke bawah, seolah menghardik keberadaan Lisa di rumah itu.
Walaupun sudah lama sekali tidak bertemu, tetapi Lisa tak akan lupa. Dulu ia kuliah di salah satu universitas ternama di London, Inggris. Kayla adalah salah satu kenalannya di kampus. Tak hanya sekadar kenalan, ia bahkan cukup dekat dengan Kayla walaupun Kayla lebih tua satu tahun darinya, terutama semenjak ia mengenal Atlas yang dulu merupakan asisten dosen salah seorang profesor di kampus.
Melihat saat ini Kayla ada di rumah Atlas, mantan suaminya, tentu Lisa merasa heran dan terkejut. Ia tak pernah lagi mendengar kabar Kayla semenjak meninggalkan London usai lulus kuliah.
“Kau Kayla, kan? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Tapi ... apa yang kau lakukan di sini?” tanya Lisa.
“Harusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kau lakukan di sini?” Kayla balik bertanya, malah dengan intonasi suara yang agak ketus.
“Aku ... ingin bertemu dengan Atlas.”
Belum sempat Kayla menyahuti lagi, tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah belakang Kayla. “Siapa yang datang?”
Lisa pun mengerjap lambat setelah akhirnya melihat kemunculan Atlas. Ia menatap pria berkaos hitam itu yang saat ini balas menatapnya dengan kening berkerut.
“Kenapa kau datang malam-malam begini? Apakah ada hal penting yang ingin kau sampaikan? Kau bisa menyampaikannya lewat surel,” kata Atlas.
Kayla memeluk lengan Atlas. Melihat itu, Lisa langsung terdiam. Kayla terlihat agak gusar dan seolah tidak suka Atlas berhadapan dengannya.
“Dia sekretaris baruku di kantor,” kata Atlas.
Mendengar itu, Kayla menatap Lisa lagi. Ekspresi wajahnya makin menunjukkan ketidaksukaan.
“Oh, begitu rupanya,” gumam Kayla. Dia tersneyum pada Atlas, lalu mengusap-usap lengan pria itu sembari berkata, “Mungkin sekretarismu hanya ingin mampir saja. Tadi aku sudah bilang kalau aku akan mengambilkan minuman untukmu. Jadi, tunggulah sebentar, Sayang.”
Lisa melongo saat mendengar Kayla menyebut Atlas dengan sebutan ‘Sayang’. Apa-apaan?
Beberapa saat kemudian, Atlas berbalik dan melangkah pergi. Kayla pun kembali berhadapan dengan Lisa.
“Pergilah dari sini,” kata Kayla.
“Apa maksudmu memanggilnya begitu?” Lisa mengerutkan kening.
Kayla menghela napas pelan dan menatap Lisa dengan dagu tirusnya yang sedikit terangkat. Tatapannya agak angkuh, lalu dia mencetus, “Aku kekasihnya.”
“Apa yang kau bicarakan?” Lisa tersenyum hambar, menunjukkan rasa tidak percaya.
“Apakah ucapanku barusan kurang jelas? Aku kekasih Atlas.”
“Kau bercanda? Apa kau lupa aku dan Atlas —”
“Kenapa? Kau dan Atlas menikah? Itu kan dulu. Kalian sudah cerai!”
Lisa terdiam. Ia tidak mengerti mengapa ia merasa campur aduk saat ini. Namun melihat Kayla berada di rumah Atlas dan tampak baru selesai mandi, ini membuatnya merasa tertohok. Mungkin dirinya terlalu bodoh ketika merasa seperti ... cemburu dan tidak terima.
Lisa tahu dirinya hanya akan menangis jika lebih lama berdiri mematung melihat Kayla. Karena itulah, ia memutuskan untuk berbalik dan melangkah meninggalkan depan pintu rumah mewah itu untuk kembali ke mobilnya.
Tak pakai pikir panjang, Lisa langsung menyalakan mobil dan mengendarai mobilnya itu keluar dari area rumah Atlas.
Kedua matanya berkaca-kaca. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri agar jangan sampai menangis. Ia bingung dan tidak mengerti dengan situasi yang ia hadapi barusan, termasuk situasi perasaannya sendiri.
Dulu Kayla dekat dengannya. Wanita itu tahu betapa ia sangat mencintai Atlas dan begitu bahagia ketika menjalin hubungan dengan Atlas sampai pria itu menikahinya. Memang, itu sebelum mimpi buruk perceraian terjadi dan ia baru tahu bahwa Atlas hanya mempermainkannya.
Apakah Kayla tahu kalau Atlas amnesia? Jika memang Kayla tahu, apakah Kayla tidak pernah mengungkit soal dirinya di depan Atlas untuk mengembalikan ingatan pria itu?
Air mata Lisa tidak tertahankan lagi ketika merasa benar-benar bingung harus bagaimana. Padahal, ia berniat untuk memberitahu Atlas soal Alton, ia ingin Atlas tahu bahwa sebenarnya pernikahan singkat mereka dulu telah memberikan mereka seorang putra.
Nahas sekali ia malah melihat ada wanita lain di rumah Atlas, lantas mengetahui Atlas telah memiliki kekasih yang ternyata adalah teman lamanya sendiri.
Lisa meraih ponselnya dari dalam tas. Ia langsung menelepon nomor Meghan, manajernya.
[Halo?] sapa Meghan di seberang telepon.
Meghan pasti bingung sekaligus terkejut ketika mendadak mendengar tangisan Lisa.
[Hey, apa yang terjadi? Kau menangis?] tanya Meghan.
“Bisakah kau temui aku sekarang? Aku ... aku sedang menyetir. Aku takut aku nekat menabrakkan mobilku dan membuat diriku sendiri kecelakaan ...,” tutur Lisa di sela isak tangisnya. Kedua matanya bahkan tidak benar-benar fokus menatap jalanan.
[Kau kenapa, Elisa? Astaga ... kau sedang menyetir? Menepilah sekarang juga dan kirimkan lokasimu! Aku ke sana sekarang.]
Lisa menepikan mobilnya di pinggir jalan di sekitar area Fifth Avenue, New York. Ia memuaskan diri dengan tangisan selama beberapa menit, hingga akhirnya bisa sedikit lebih tenang, Meghan pun tiba di tempatnya berada dengan menggunakan taksi.
Lisa membuka kunci mobil setelah Meghan mengetuk-ngetuk kaca jendela. Manajernya itu duduk di kursi depan di sampingnya, lalu memberikan segelas vanilla latte yang merupakan minuman favorit Lisa.
“Minumlah dulu. Aku membeli ini di kafe,” kata Meghan.
Lisa memegang gelas kopi itu, menyeruputnya sedikit untuk menghargai pemberian Meghan.
Setelah melihat Lisa tampak jauh lebih tenang, Meghan pun bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kau dari mana? Apakah ada paparazzi yang mengejarmu lagi?”
Lisa menggeleng. “Aku ... ke rumah mantan suamiku.”
Meghan mengerutkan kening dan diam mendengarkan.
“CEO di Atez Company, dia adalah mantan suamiku, Meghan,” ujar Lisa.
Meghan adalah manajer yang baru bekerja untuk Lisa sekitar satu setengah tahun yang lalu. Karena beberapa alasan tertentu, manajer lama Lisa sudah tidak bisa bekerja lagi. Karena itulah, Meghan memang tahu kalau Lisa memiliki mantan suami bernama Atlas, tetapi sekadar tahu nama saja dan tidak tahu soal Atez Company adalah perusahaan milik mantan suami Lisa.
Selama ini Meghan hanya bekerja untuk Lisa, mengurus Lisa dengan segala jadwal dan kegiatannya sebagai seorang model dan artis. Dia tidak pernah menanyakan pada Lisa persoalan mantan suaminya, karena dia pun tahu itu sensitif.
Dan lagi pula, semenjak beberapa hari lalu Lisa mulai bekerja di Atez Company pun, baru sekarang Meghan bertemu dengan Lisa secara langsung dan sebelumnya Lisa tidak bilang apa-apa selain bahwa dia menjadi bekerja menjadi sekretaris CEO.
“Kau datang ke rumahnya untuk apa?” tanya Meghan.
“Tempo hari aku melihat dokumen di mobilnya yang menerangkan bahwa ternyata dia pernah kecelakaan di London sampai mengalami amnesia. Aku ... ingin memberitahu soal Alton ....”
“Lalu? Kau sudah memberitahu?” Meghan menerka-nerka, merasa sangat iba kalau sampai Lisa sudah memberitahu, tetapi Atlas tak mau mengakui Alton sebagai anaknya.
Menjawab pertanyaan Meghan, Lisa menggeleng, bersamaan dengan setetes air matanya yang mengalir. Meghan pun mengusap-usap bahu Lisa dan menatap dengan sendu. Bagaimana pun juga, selama satu setengah tahun terakhir, dirinya sebagai manajer adalah orang yang akrab dan dekat dengan Lisa, jadi tentu ia tidak tega melihat Lisa begini.
“Apa yang terjadi?” tanya Meghan.
“Tadi saat aku datang ke rumahnya ... dia sedang bersama wanita lain ....”
Kening Meghan sedikit mengerut melihat kesedihan di wajah Lisa. “Kau sedih karena gagal memberitahu soal Alton, atau sedih karena melihat dia bersama wanita lain?”
“Dua-duanya ....”
“Jadi, kau cemburu? Itu artinya kau benar-benar masih mencintai Atlas, Elisa.”
***
9. Cinderella dan Pesta Dansa Kerajaan
Melihat keberadaan Kayla di rumah Atlas tempo hari benar-benar membuat Lisa merasa tertohok. Ia menghabiskan semalaman penuh untuk merenung dan menangisi Atlas.
Ia bersahabat dengan Kayla semasa kuliah dulu. Kayla pun tahu soal hubungan asmaranya dengan Atlas, bahkan tahu pula kalau ia dan Atlas pernah menikah. Hanya karena ia sudah bercerai dengan Atlas dan sekarang Atlas bahkan tak ingat apa-apa tentang dirinya, apakah itu berarti etis menjalin hubungan dengan mantan suami sahabatnya sendiri?
Lisa berniat memberitahu Atlas soal Alton, tetapi ia memilih untuk mengurungkan niat itu setelah melihat Kayla di rumah Atlas tempo hari. Di tengah ketidakpastian perasaan karena memikirkan semua hal tersebut, Lisa harus tetap menjalani harinya dan menyembunyikan segala kesedihan yang membuncah tiap kali melihat Atlas.
Ia baru saja kembali ke kantor dengan dua gelas kopi yang ia beli di kafe seberang jalan, satu gelas vanilla latte favoritnya dan satu gelas americano dengan krim karamel. Saat ia tiba di dekat meja kerjanya, ia mendengar suara yang memanggil namanya.
“Lisa!”
Ia pun langsung menyadari bahwa suara itu berasal dari dalam ruangan Atlas. Tak pakai pikir panjang, Lisa meletakkan satu gelas berisi vanilla latte ke atas meja. Dengan gelas americano yang masih ia pegang di tangan kanannya, ia bergegas mendekati pintu dan membuka pintu tersebut.
“Bapak memanggilku?” tanya Lisa sembari melongok melalui celah pintu.
Atlas yang sedang berdiri di samping meja kerjanya pun menoleh. “Ya. Dari mana saja kau?”
“Ini jam makan siang, Pak. Aku baru kembali,” jawab Lisa.
Atlas menghela napas. Dia mengibaskan telapak tangan kanannya ke arah dalam, mengisyaratkan Lisa untuk masuk. Lisa pun patuh. Ia beranjak memasuki ruangan dan menghampiri Atlas.
“Ini, kubelikan untukmu,” kata Lisa sembari menyodorkan gelas kopi yang ia pegang.
Atlas menatap gelas tersebut selama beberapa saat, lalu beralih menatap Lisa.
Ketika pandangannya beradu dengan Atlas, Lisa tersenyum. “Ini americano kesukaanmu. Dua shot espresso, tambahan krim karamel dengan takaran satu sendok, dan ditambah krim cair putih dengan takaran kurang dari dua sendok.”
Kening Atlas mulai mengerut. Dia mengubah posisi berdirinya dari yang sebelumnya menyampingi Lisa, kini menghadap ke arah wanita itu. Detail resep americano yang Lisa sebutkan barusan, semuanya memang sangat sesuai dengan kopi favorit Atlas yang selalu Atlas minum.
Namun fakta bahwa Lisa baru bekerja untuknya selama satu minggu, membuat Atlas merasa heran bagaimana Lisa bisa mengetahui itu bahkan sampai detail soal berapa sendok takaran krim karamel.
“Dari mana kau tahu soal itu?” tanya Atlas.
Lisa terdiam sejenak. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali ketika mencoba untuk memikirkan susunan kata yang tepat.
Tentu ia tahu. Ia mengenal Atlas selama bertahun-tahun dan tahu segala kebiasaan pria itu, sebelum akhirnya mereka berpisah.
Tadi ia pergi ke kafe setelah makan siang bersama Lena, lalu entah mengapa berinisiatif membelikan kopi untuk Atlas. Dan barusan ia menyebutkan detail kopi itu, tetapi hampir lupa soal fakta bahwa Atlas yang ada di hadapannya saat ini adalah Atlas dengan ingatan yang berbeda.
“Ah, itu ... aku hanya menebak saja. Kemarin lusa aku melihatmu membeli kopi setelah kembali dari rapat dengan jajaran direksi,” ujar Lisa mencari alasan.
Atlas masih diam. Lisa pun kembali tersenyum dan menyodorkan lagi gelas kopi tersebut. “Terimalah.”
Pria itu menerimanya, lantas membuka tutup gelas untuk menghirup aroma kopi pemberian Lisa. Ternyata benar, kopi ini sepenuhnya persis seperti yang biasa dia minum.
Walaupun masih sedikit heran bagaimana Lisa bisa tahu soal itu, tetapi tadi Lisa sudah menjelaskan dan itu cukup masuk akal.
“Jadi, mengapa Bapak memanggilku? Apakah ada yang Bapak perlukan?” tanya Lisa kemudian.
Atlas menunjuk meja di depan sofa, lalu berkata, “Tolong ambilkan buku yang ada di sana.”
Lisa menoleh ke arah yang Atlas tunjuk. Dia pun melangkah menghampiri meja tersebut dan mengambil sebuah buku bersampul biru tua yang tergeletak di atas sana.
“Buku yang ini, Pak?” tanya Lisa sambil mengacungkan buku yang sudah ia pegang.
“Ya.”
Seraya kembali menghampiri Atlas, Lisa menatap bagian depan dan belakang sampul buku itu. “Tapi ... ini buku dongeng.”
“Bacakan dongeng itu untukku,” kata Atlas.
“Hah?” Lisa sontak mengerutkan kening, menatap Atlas sejenak sebelum kembali beralih menatap buku bersampul biru yang barusan ia ambil dari atas meja. Bahkan dari sampul depannya terdapat gambar Cinderella dengan kereta labu.
Setelah Lisa lihat-lihat, ia merasa tidak asing dengan buku dongeng itu. Itu seperti ... buku dongeng kesayangannya waktu kecil!
Lisa ingat, buku itu pernah ia bawa ke London dan ia berikan pada Atlas, sebab ia sungguh mencintai Atlas dan ingin Atlas menyimpan barang yang paling ia sayang, yaitu buku dongeng tersebut. Yang ia tahu, Atlas menyimpan buku tersebut di apartemen lamanya di London.
“Bapak mau dibacakan dongeng?” tanya Lisa kemudian.
“Kau tidak tuli, kan? Jangan cerewet!”
Lisa menghela napas, menatap Atlas dengan kedua mata memicing karena sebetulnya ia jengkel juga melihat betapa ketus dan kejamnya sikap pria itu padanya. Seandainya Atlas tahu bahwa ia adalah wanita yang menikah dengannya saat ia masih berusia 23 tahun dan Atlas sendiri berusia 28 tahun. Usia ganjil dan genap itu ternyata adalah bencana dalam hidup Lisa.
Seandainya pula Atlas tahu bahwa ia adalah wanita yang melahirkan hasil benih Atlas dan membesarkan anak itu sendirian selama ini. Seandainya!
“Kenapa? Kau keberatan?” cetus Atlas kemudian karena melihat Lisa malah diam.
“Bu-bukan begitu, Pak. Tapi ... yang benar saja! Masa aku harus membacakan dongeng untukmu tengah hari bolong begini?”
“Bacakan buku itu untukku sekarang, atau kau mau membacakan buku itu di rumahku nanti malam sekalian tidur denganku?”
Lisa mengernyit. “Hah?!”
“Makanya jangan membantah!” tukas Atlas.
“Baiklah.” Lisa menghela napas pasrah. “Apa aku harus mulai membacakannya sekarang?”
“Ya.” Atlas duduk di kursi kerjanya, lalu menunjuk salah satu kursi di depan meja kerjanya untuk mengisyaratkan Lisa agar duduk di sana.
Setelah duduk berhadapan dengan Atlas, Lisa pun membuka buku dongeng Cinderella itu. Baru membuka halaman pertama, ia menyempat diri untuk melirik Atlas dulu.
Pria itu duduk bersandar pada sandaran kursi dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Mengetahui bahwa Atlas menatapnya dengan intens, Lisa pun kembali mengalihkan pandangannya ke buku yang ia pegang.
“Baca dari halaman paling depan. Dari judulnya, lalu ke halaman pertama, dan jangan sampai ada satu kata atau kalimat pun yang terlewat,” kata Atlas.
“Baiklah.” Lisa menutup buku itu untuk beralih pada judul. “Cinderella dan Pesta Dansa Kerajaan.”
Atlas diam, mendengarkan Lisa.
Setelah membuka halaman pertama, di bagian paling atas halaman tersebut terdapat sebuah tulisan tangan dengan tinta pulpen warna pink. Lisa pun membacanya, “Untuk Atlas Johannes Specter, buku ini adalah milikmu sekarang.”
Usai membaca tulisan itu, Lisa pun melirik lagi pada Atlas. Itu adalah tulisannya. Ia yang menulis itu sekitar empat tahun lalu saat masih berpacaran dengan Atlas. Ia bahkan masih ingat dengan jelas dirinya memberikan buku dongeng itu di apartemen lama Atlas saat mereka sedang makan malam bersama dengan menu makanan serba Jepang.
“Kenapa diam? Lanjutkanlah,” kata Atlas.
Lisa kembali menatap buku yang ia letakkan di atas kedua pahanya. Ia mulai membaca bagian awal dongeng Cinderella tersebut untuk Atlas.
Buku itu masih sangat bagus untuk ukuran buku lama. Bagian sampulnya memiliki model keras atau hardcover. Warna dan gambar pada sampulnya juga tak pudar. Namun, kertasnya memang sudah cukup menguning karena bagaimana pun juga, buku itu sudah dari zaman Lisa masih kecil.
Bahkan buku-buku kumpulan dongeng yang sering dibacakan oleh orang tua Lisa dulu, Lisa sendiri sudah tak tahu di mana dan mungkin sudah rusak atau dibuang. Hanya dongeng Cinderella itulah yang selalu ia jaga karena memang merupakan buku dongeng kesayangannya.
Di tengah proses Lisa membaca dongeng itu, Atlas mengangkat rendah tangan kanannya, mengisyaratkan Lisa untuk berhenti.
Lisa terperangah ketika melihat wajah Atlas mendadak sangat pucat. Pria itu juga memijat-mijat keningnya sambil meringis pelan.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Lisa.
“Hentikan. Jangan baca lagi. Lanjutkan besok saja. Kepalaku pusing,” kata Atlas.
Lisa pun menutup buku dongeng yang sejak tadi ia pangku di pahanya. Ia meletakkan benda itu di atas meja, lalu bergegas menuju meja panjang di sisi ruangan Atlas.
Lisa mengambil gelas bersih di sana, lantas menuangkan air putih ke gelas tersebut dari ketel kaca yang tersedia. Kemudian, ia langsung menghampiri Atlas dan memberikan gelas air putih itu. “Minumlah dulu.”
Atlas tidak menerima gelas yang Lisa berikan. Namun, dia mengambil gelas kopi americano yang tadi Lisa belikan untuknya dari kafe.
Melihat hal tersebut, Lisa langsung berdecak marah. Dia mengambil gelas kopi itu dari tangan Atlas dan meletakkannya kembali ke atas meja.
“Kau mendadak pucat seperti mayat begini, dan kau ingin minum kopi? Itu bahaya!” pungkas Lisa dengan tegas dan agak membentak. Namun, sorot matanya menyuratkan kepedulian.
Atlas yang masih duduk di kursinya, beralih menatap Lisa dengan kening berkerut. “Kenapa kau marah-marah padaku?”
Lisa mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Setelah berdeham pelan, ia mundur satu langkah dan menaruh gelas air putih ke atas meja Atlas. Kemudian, ia berkata, “Maaf. Bukan maksudku begitu. Tapi sebaiknya Bapak minum air putih saja.”
***
10. Milik Lisa yang Diakui
Dalam tiga jam terakhir, sudah berkali-kali Lisa mondar-mandir ruang arsip Atez Company untuk mengkoordinasikan sejumlah laporan penting dengan penjaga ruang arsip.
Lisa benar-benar tidak menyangka bahwa bekerja menjadi seorang sekretaris akan memiliki hari-hari yang begitu hectic. Bahkan ketika ia bekerja setengah hari di hari Sabtu dan libur di hari Minggu pun ia masih harus mengerjakan beberapa keperluan, sekaligus juga menyiapkan jadwal pekerjaan Atlas untuk di hari Senin.
Mungkin semua pekerjaan ini akan biasa-biasa saja bagi seseorang yang memang sejak awal memiliki karier di dunia perkantoran dan sudah bertahun-tahun punya pengalaman menjadi seorang sekretaris.
“Aku akan mencetak salinan laporan ini. Versi aslinya perlu aku gunakan untuk lampiran, jadi nanti yang aku kembalikan ke arsip adalah salinannya. Tak masalah, kan?” tanya Lisa pada wanita paruh baya yang merupakan petugas arsip.
“Iya, tak masalah. Silakan saja."
Setelah akhirnya laporan yang ia butuhkan sudah ada di tangannya, ia pun mencetak salinan laporan itu. Barulah kemudian ia beranjak kembali ke meja kerjanya di depan ruangan Atlas.
Lisa berkutat menyatukan laporan itu pada sebuah proposal yang beberapa hari belakangan ia kerjakan dengan arahan dari Atlas. Setelah selesai, ia pun mengetuk pintu ruangan Atlas dan masuk ke ruangan itu usai mendengar sahutan dari dalam.
“Aku ingin memberikan proposal proyek barumu, Pak. Sudah aku lampirkan laporan terkait,” ujar Lisa sembari meletakkan map file yang dibawanya ke atas meja Atlas.
Pria yang memakai kemeja abu-abu dan dasi bermotif garis berwarna senada dengan dibalut oleh rompi jas abu-abu gelap itu pun menerima map file tersebut. Dia bersandar pada sandaran kursinya dan membuka map file tersebut untuk memeriksa isinya.
Lisa tetap berdiri di hadapan Atlas. Ia menatap semua barang yang ada di meja kerja Atlas, lalu menoleh ke meja di depan sofa untuk melihat benda apa pun yang ada di sana. Ia bahkan juga menatap rak buku dan rak dokumen yang berjejer di sisi ruangan.
“Baiklah. Ini sudah sesuai,” ujar Atlas beberapa menit kemudian.
Lisa tersenyum dan mengangguk.
“Kau boleh keluar.”
“Ehm, anu ... ada yang ingin aku tanyakan,” kata Lisa.
Atlas menutup map file yang tadi diberikan Lisa dan meletakkan benda itu ke atas meja. “Apa? Jangan bertanya jika kau hanya ingin menunjukkan ketidaktahuanmu dalam pekerjaanmu. Tanya saja pada orang lain, jangan padaku.”
“Bukan, kok. Aku ... ingin bertanya soal buku dongeng yang kemarin. Apakah hari ini aku perlu melanjutkan membacanya lagi?”
Atlas terdiam sejenak. Dia menatap Lisa dengan keningnya yang sedikit mengerut. Namun sesaat kemudian, dia berkata, “Tidak perlu.”
“Kenapa? Kukira kemarin Bapak bilang untuk melanjutkan membacanya hari ini.”
“Buku itu sudah dibawa ke London oleh kekasihku. Dia berangkat ke London tadi pagi.”
“Hah?” Lisa terperangah. “B-bagaimana bisa? Kenapa dibawa?”
“Sebulan yang lalu saat aku pulang ke London dan mendatangi apartemenku yang sudah lama tidak kutinggali, aku menemukan buku itu di kamarku, lalu aku membawanya ke New York. Aku tidak ingat sama sekali, dan aku penasaran siapa yang memberikan buku itu untukku,” ujar Atlas.
“Lalu?”
“Aku tidak tahu bagaimana cara baca dongeng, makanya kemarin aku menyuruhmu membaca. Tapi tetap saja kemarin aku tidak bisa ingat siapa yang memberikannya,” tutur Atlas. Suaranya agak pelan, malah seperti menggumam pada dirinya sendiri. Dia memijat pelipisnya ketika kepalanya teras berdenyut.
“T-tapi ... kenapa buku itu dibawa lagi ke London?”
“Kekasihku bilang, itu buku miliknya. Ternyata dialah yang memberikan buku itu untukku. Karena hari ini dia akan kembali ke London, dia pun membawanya.”
Lisa tercenung. Kedua matanya seketika terasa perih.
Buku dongeng itu adalah miliknya, bukan milik Kayla. Ia yang memberikan buku dongeng kesayangannya itu pada Atlas bertahun-tahun lalu. Bisa-bisanya Kayla malah mengaku-ngakui.
Lisa mematung di tempatnya berdiri, menatap Atlas dengan perasaan yang campur aduk.
“Kenapa kau masih di sini? Keluarlah,” ujar Atlas kemudian.
Lisa tersadar dari lamunannya. Tanpa bicara apa-apa selain kalimat permisi, ia berbalik dan beranjak menuju pintu untuk keluar dari ruangan Atlas.
Lisa tidak kembali ke mejanya, ia justru beranjak menuju toilet karyawan. Ia masuk ke salah satu bilik, lalu mengunci pintunya rapat-rapat. Lisa menghela napas panjang. Ia tak benar-benar ingin buang air atau apa pun itu, tetapi hanya ingin bersembunyi saja dari apa pun untuk menenangkan diri sejenak.
Semua ini membuat Lisa merasa bingung dan sangat terpukul.
Haruskah ia cukup bekerja menjadi sekretaris saja di tempat ini sampai enam bulan ke depan, dan ia tak perlu menghiraukan atau peduli pada bosnya yang merupakan mantan suaminya sendiri?
Toh, Atlas yang dulu menceraikannya dan membuangnya tanpa perasaan sedikit pun. Dan sekarang, haruskah Lisa tidak perlu memedulikan sosok Atlas lagi? Lagi pula Atlas juga tidak mengingatnya dan pria itu sudah memiliki seorang kekasih.
Namun jika suatu hari nanti Atlas mengingat dirinya, bagaimana dengan Alton? Daripada tetap mencintai Atlas, seharusnya ia membenci Atlas atas apa yang telah pria itu lakukan padanya dulu, dan ia akan menyembunyikan fakta soal Alton.
Lebih baik begitu, kan? Atlas sendiri yang tega menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka. Siapa yang tahu jika ternyata Atlas jauh lebih tega untuk merebut Alton darinya jika tahu kalau Alton adalah anaknya? Jadi, bukankah lebih baik Atlas tidak tahu sama sekali?
***
Lisa baru saja turun ke basement, berniat untuk menemui kurir pos untuk mengambil dokumen yang diantarkan dari perusahaan milik kolega Atlas.
Seharusnya kurir itu langsung memberikan dokumen ke meja resepsionis. Namun karena sepertinya kurir tersebut adalah pekerja baru dan belum mengerti, dia malah menelepon nomor telepon sekretaris Atlas, yaitu Lisa, yang tertera di alamat penerima dokumen.
Setelah menerima dokumen itu, tiba-tiba saja Lisa mendengar suara yang memanggilnya, “Nyonya Lisa!”
Lisa sontak menoleh. Ia terkejut ketika melihat pengasuh yang ia pekerjakan untuk Alton berada di area parkir gedung Atez Company sambil menggendong Alton.
Ia bergegas menghampiri pengasuh itu seraya bertanya. “Bibi? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Selamat siang, Nyonya. Tuan Alton terus-menerus merengek sejak pagi tadi setelah kau berangkat. Karena ini sudah jam makan siang, aku berinisiatif meminta sopir mengantarku untuk membawa Tuan Alton padamu agar Tuan Alton bisa makan siang bersamamu,” jelas sang pengasuh.
“Ibu ...,” Alton menjulurkan kedua tangannya ke arah Lisa, menggeliat dari gendongan pengasuh dan ingin mendekat pada Lisa.
Lisa pun tentunya langsung mengambilalih putranya itu dari gendongan sang pengasuh. Ia memeluk Alton dan mencium pipi tembam pria kecil tersebut dengan gemas.
“Tapi aku belum selesai. Masih ada yang perlu aku selesaikan,” ujar Lisa.
“Apakah masih lama, Nyonya?”
“Mungkin sekitar lima belas atau dua puluh menit lagi.” Lisa menjawab sembari melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Apa kau berkenan jika kami menunggumu? Sepertinya Tuan Alton akan senang jika bisa makan siang bersamamu hari ini.”
Lisa menghela napas. Ia menciumi Alton dengan gemas dan mengusap-usap punggung putranya itu. “Kau mau makan siang dengan Ibu, hm?”
“Mau.” Alton manggut-manggut. Tangan mungilnya menyentuh wajah Lisa dan tampak sangat antusias.
Lisa pun terkekeh pelan dan menggigit lembut tangan Alton. “Tapi kau juga harus mau menunggu di sini sebentar bersama bibi pengasuh, ya? Ibu akan segera kembali. Mengerti?”
Alton menggeleng dan langsung memeluk Lisa sekaligus menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu. “Tidak mau. Mau ikut Ibu.”
Saat Lisa masih menggendong Alton dan membujuk putranya itu agar mau menunggu sebentar, Lisa melihat sebuah Bugatti Chiron berwarna biru memasuki area basement dan memarkir mobil pada jarak sekitar lima belas meter dari tempatnya berada saat ini.
Atlas turun dari mobilnya. Sembari menutup pintu dan mengunci mobil mewah itu, pandangan Atlas tertuju pada Lisa. Pria tersebut menatap balita yang sedang Lisa gendong, lalu beralih pada dokumen yang Lisa pegang di tangan kanannya.
Lisa yang beradu tatap dengan Atlas pun entah mengapa secara refleks mengubah posisi berdirinya jadi menyamping, menghalangi kemungkinan Atlas dapat melihat Alton.
“Apakah itu dokumen yang baru saja dikirimkan?” tanya Atlas seraya menghampiri Lisa.
Mau tak mau, Lisa pun menoleh pada pria itu. “I-iya.”
Lisa memberikan dokumen yang ia pegang pada Atlas. Pria itu membuka dokumen tersebut dan sepertinya ingin memeriksa.
Walaupun ini memang sudah jam makan siang, tetapi tetap saja rasanya Lisa tidak enak hati harus menggendong anak di tempat kerja. Entah Atlas menghiraukan atau tidak, tetapi ia berharap Atlas segera pergi duluan meninggalkan basement.
Saat Atlas masih berkutat melihat isi dokumen itu, Alton yang masih Lisa gendong tiba-tiba saja menjulurkan tangannya ke arah Atlas. Dia memegang jas hitam Atlas, lalu tangannya juga bergerak menarik-narik dasi yang Atlas pakai.
“Punya Alton,” katanya.
Hal itu tentu membuat Atlas langsung menoleh. Atlas menatap bocah itu dengan keningnya yang sedikit mengerut, menunjukkan keseriusan.
***
Bersambung .....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
