
Avana Eshter atau yang akrab disapa Ava, berada di ujung tanduk kehancuran karier akibat tersandung skandal besar setelah dijebak dan difitnah oleh mantan pacarnya.
Dalam pelariannya pada suatu malam, Ava memasuki kamar hotel secara asal untuk bersembunyi dari kejaran wartawan. Di kamar itulah ia bertemu dengan seorang pria bernama Damian Mildred Dawson dan mengalami kejadian intim yang tak terduga.
Jerat takdir menyeret Ava untuk kembali bertemu dengan Damian. Pria itu membuatnya terpaksa...
- Bukan Wanita Panggilan
Avana Eshter, wanita berambut pirang yang mengenakan gaun merah sepanjang atas lutut itu melihat pintu kamar nomor 1202 terbuka sedikit dan tak terkunci.
Tanpa pikir panjang, ia langsung mendorong pintu tersebut dan masuk ke sana.
Ava menutup pintu, lalu menyandarkan punggungnya sambil mengatur napasnya yang terengah-engah setelah tadi berlarian di sepanjang koridor hotel.
“Kau sudah datang rupanya,” ujar sebuah suara yang muncul di dekat Ava.
Ava pun langsung berdiri tegak ketika ia melihat kemunculan seorang pria tampan bertubuh tinggi di hadapannya.
Pria yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam dengan perpaduan dasi merah bergaris di kerah kemeja itu adalah Damian Mildred Dawson, pria yang tampaknya memang sudah menunggu kedatangan seseorang yang ingin ia temui di kamar itu.
“Ayo, jangan buang-buang waktu! Aku masih ada urusan lain setelah ini,” kata Damian sembari meraih tangan kanan Ava dan menariknya.
Ava tidak mau melangkah dan menahan diri untuk tak mengikuti Damian yang menariknya menuju kasur.
“Ayo ke mana? Aku tidak mengenalmu. Lepaskan aku!” pungkas Ava, berupaya melepaskan tangannya dari genggaman Damian.
Damian pun menatap Ava dengan tatapan tajam. Keningnya mengerut hingga membuat kedua alis tebalnya hampir menyatu. Dia dan Ava berdiri berhadapan dengan jarak yang hanya terpaut sekitar satu setengah jengkal saja.
“Kenapa kau membantah? Asistenku sudah memberikan bayaranmu untuk malam ini, kan? Jadi, lakukan tugasmu dengan benar dan jangan membuatku kecewa,” ujar Damian dengan penuh keseriusan, “cepat lepas pakaianmu!”
“Hah? Lepas pakaian?” Ava mendelik kaget.
“Perlukah aku yang melepaskannya?” tanya Damian seraya menjulurkan tangannya untuk menyentuh bagian dada Ava.
“Siapa namamu?” Ava malah balik bertanya sembari menepis tangan Damian yang ingin meraba tubuhnya.
“Untuk apa kau bertanya namaku?”
“Aku bertanya karena aku tidak tahu. Jawab saja, siapa namamu?” desak Ava.
“Damian.”
“Baiklah, Tuan Damian. Biar aku jelaskan. Sepertinya kau salah meng—”
Belum sempat Ava menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja pintu kamar diketuk berkali-kali.
“Avana, keluarlah! Izinkan kami untuk mewawancaraimu sebentar!” ucap suara beberapa orang yang saling bersahutan dari luar pintu.
Kedua mata Ava pun langsung melebar. Ia tahu kalau itu adalah suara para reporter dan wartawan yang mengejarnya sampai tempat ini.
Ava kebingungan dan jadi panik. Sementara itu, Damian berniat untuk membuka pintu karena ingin melihat siapa yang datang dan membuat ketenangan di kamarnya ini jadi terganggu.
“Jangan!” Ava menggenggam tangan Damian, menghalangi pria itu agar tidak membuka pintu.
Damian mengerutkan kening melihat reaksi Ava. Sedetik kemudian, terdengar suara dobrakan di pintu bagian luar. Entah berapa banyak jumlah wartawan di luar sana, tetapi tampaknya mereka semua berupaya untuk menerobos pintu kamar dengan cara mendobrak.
Ava yang makin gelisah pun menggigit bibir bawahnya dengan kepanikan yang makin menjadi-jadi.
Ia tidak mau bertemu dengan para reporter dan wartawan gila yang ingin menjatuhkan namanya demi menaikkan rating program stasiun televisi mereka dengan cara membahas gosip skandal yang sedang menyandungnya.
Kariernya sudah hancur dan akan makin hancur jika ia tak henti disorot oleh media.
Semua masalah ini didasari oleh perbuatan mantan kekasih Ava yang menyebarkan fitnah bahwa Ava adalah prostitusi di Las Vegas yang melayani langganan hotel kasino mewah di sana.
Berita itu disebarkan dengan disertai oleh foto yang menunjukkan Ava sedang berdekatan dengan beberapa pria di ruang judi. Padahal, sebenarnya itu tidak benar. Ava bukan seorang prostitut. Mantan kekasihnya juga memfitnahnya sebagai pengguna dan pecandu narkoba.
Semua skandal itu pun menghancurkan reputasi Ava dalam sekejap mata. Sejumlah brand fashion ternama memutus kontrak dengannya, agensi model yang menaunginya membatalkan kontrak kerja sama, bahkan Ava juga dibatalkan sekaligus disingkirkan dari daftar artis yang akan memerankan tokoh utama pada film yang dinaungi produser ternama.
Berita-berita fitnah itu tersebar bagaikan kilat yang menyambar dengan sangat cepat. Seminggu setelahnya, keadaan makin memanas. Dan di hotel inilah akhirnya Ava berada untuk melarikan diri dari awak media yang mengerubungi rumah dan apartemennya. Namun ternyata, keberadaannya di hotel ini juga tetap saja bisa tercium.
“Siapa mereka? Berani-beraninya mengacaukan malamku. Minggir!” pungkas Damian, memerintahkan Ava untuk menyingkir dari hadapannya. Ia merasa kesal pada suara ketukan dan dobrakan pintu yang masih terus berlanjut.
“Jangan! Tetaplah di sini!” sahut Ava yang lagi-lagi menghalangi Damian.
Ava mendengar orang-orang di luar sana masih terus meneriaki namanya. Mereka juga membicarakan soal ‘kartu master’ milik pihak hotel yang bisa digunakan untuk mengakses kunci digital pada pintu kamar 1202 ini. Itu artinya, tak lama lagi mereka bisa menerobos masuk ke kamar ini.
Dan benar saja, Ava mendengar ada suara denting dari kunci digital pintu kamar yang berbunyi karena ditempelkan kartu.
Ava pun menghela napas gusar. Dalam situasi terdesak begini, ia tidak punya pilihan lain selain menyamar agar wartawan tidak tahu bahwa dirinya ada di sini.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menjatuhkan tas mahalnya. Ia membuka resleting gaun merah yang saat ini membalut tubuh rampingnya, lalu turut melepas heels berwarna senada dari kedua kaki jenjangnya.
Ia melepas gaun tersebut dan melemparnya sembarangan ke lantai, sehingga kini ia hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Ia juga menguncir rambutnya dengan model cepol agar dirinya tidak mudah dikenali, sebab sebelumnya wartawan melihat rambutnya digerai.
Selepas itu, Ava menangkup wajah Damian dan langsung berjinjit untuk mencium bibir pria itu.
Sembari mencium Damian, kedua tangannya bergerak membuka satu persatu kancing kemeja pria itu dan melepaskan dasinya, sehingga pria itu pun telanjang dada dengan tubuh atletisnya yang berotot jadi terekspos jelas.
Damian awalnya bingung mengapa Ava mendadak menciumnya seperti itu. Namun, ia membiarkan saja dan balas mencium Ava.
Selagi bibir mereka bertaut dalam peraduan yang sangat panas, Damian memegang pinggang ramping Ava dan mengelus bokongnya yang sangat proporsional. Lalu, ia menuntun wanita itu untuk melangkah menuju kasur.
Damian berada di hotel ini memang untuk menunggu wanita panggilan yang akan menghabiskan malam dengannya. Namun, ia sama sekali tidak berekspektasi bahwa wanita panggilan yang ia sewa akan sesempurna wanita yang sedang adu cumbuan dengannya saat ini.
Ketika mereka masih terus saling mencumbu dan berpelukan, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka.
“Avana, apakah kau ... eh?!” Segerombolan wartawan yang ingin menerobos masuk ke kamar langsung menghentikan langkah mereka di ambang pintu, sebab terkejut melihat dua orang di kamar itu sedang beradegan panas dengan keadaan setengah telanjang.
Damian menghentikan ciumannya dan menoleh ke belakang untuk menatap pintu, tetapi Ava langsung mengalungkan kedua lengannya di leher Damian dan menuntun pria itu untuk tetap berhadapan dengannya.
“Tetaplah seperti ini. Aku mohon ...,” bisik Ava pada Damian sembari menatap pria itu lekat-lekat.
Damian pun terdiam membalas tatapan Ava. Kedua mata birunya beradu lekat dengan manik hijau keabu-abuan milik Ava.
Tubuh Damian sangat tinggi, Ava perkirakan mencapai lebih dari 182 sentimeter, sedangkan tinggi tubuhnya sendiri hanya sepantaran dada bidang Damian.
Saat ini posisi Ava berada di hadapan Damian yang berdiri memungungi pintu. Dalam artian, reporter dan wartawan tidak bisa melihat sosok Ava sedang berpelukan dengan Damian, sebab terhalang oleh punggung Damian yang kekar dan berotot.
“Sepertinya kita salah kamar,” kata salah satu wartawan.
“Tapi tadi aku melihat Avana masuk ke kamar ini,” sahut wartawan lainnya.
“Kau pasti salah lihat! Mungkin dia di kamar yang paling pojok.”
Damian yang masih pada posisi berdirinya pun menoleh ke belakang, lalu langsung menatap para reporter sekaligus wartawan di ambang pintu dan mendelik marah. “Sedang apa kalian di sini?! Berani-beraninya masuk ke kamar orang sembarangan. KELUAR!”
Para wartawan itu pun tak berani membantah. Mereka belum sempat merekam atau memotret apapun, jadi semuanya aman.
Mereka melangkah mundur dan menutup pintu sembari mengucapkan kata maaf berkali-kali.
“Maafkan kami, Tuan. Kami salah kamar. Maaf.”
Pintu kembali tertutup rapat. Ava masih berada dalam posisi berdekatan dengan Damian selama sepersekian menit untuk memastikan para awak media itu benar-benar telah pergi.
Setelahnya, Ava menjauhkan diri dari Damian dan menghela napas panjang penuh kelegaan. "Hampir saja ...."
Ketika Damian tiba-tiba menariknya dan ingin membawanya ke kasur, Ava pun langsung menghindar.
“Hei, jangan sentuh aku! Apa yang terjadi barusan hanyalah akting semata!” tukas Ava pada Damian.
“Hah? Apa maksudmu? Jangan bicara aneh-aneh! Aku membayar mahal untukmu. Kau harus memuaskanku malam ini dan kau—”
“Kau salah paham, Tuan. Membayar apanya? Aku bukan wanita panggilan, wanita sewaan, atau apapun itu. Sudah kubilang, yang terjadi tadi hanyalah akting agar wartawan tidak tahu aku ada di sini,” potong Ava.
Daripada fokus mendengarkan penuturan Ava barusan, Damian malah terpaku memandangi postur tubuh Ava yang langsing dan sangat proporsional dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Ava yang merasa ditatap penuh kemesuman seperti itu oleh Damian pun langsung berbalik. Ia memakai gaun merahnya dengan posisi membelakangi Damian.
Posisi itulah yang kemudian membuat Damian makin tercenung karena kini ia bisa melihat punggung indah Ava secara jelas setelah sebelumnya ia memandangi bagian depan tubuh Ava yang sangat sempurna.
Damian merasa terbelenggu oleh suatu hal aneh yang tiba-tiba menancap di benaknya. Ia tertegun ketika memandangi tubuh seksi wanita itu.
Kulit Ava benar-benar putih dan sangat mulus tanpa cacat sedikit pun. Punggungnya dari atas ke bawah sungguh proporsional, lalu bentuk bahunya juga sangat cantik dengan garis langsingnya yang setara.
Damian bersusah payah menelan salivanya. Tubuh wanita di hadapannya itu mendadak saja membuat darahnya berdesir cepat di sepanjang arteri, seolah ada hasrat terpatri yang meronta untuk ditanggapi.
Setelah tadi mendengar Ava menjelaskan secara singkat bahwa ia salah paham, ia pun percaya bahwa Ava memang bukan wanita panggilan yang ia tunggu. Lagipula Ava terlalu sempurna untuk ukuran wanita panggilan yang bisa disewa.
Damian pun langsung buang muka dan memalingkan pandangannya untuk berhenti menatap lekuk tubuh Ava selagi wanita itu masih sibuk memakai gaunnya.
Sesaat kemudian setelah pakaiannya kembali rapi, Ava menghela napas panjang dengan wajahnya yang terlihat sangat lega. Dia melangkah menuju pintu dan berniat pergi dari kamar itu.
Baru saja ia berjalan tiga langkah, tiba-tiba Damian mencengkeram pergelangan tangan kanannya dan membuat langkahnya seketika terhenti.
“Kau sembarangan masuk ke sini tanpa izin dan mengacaukan malamku, lalu kau akan pergi begitu saja?” cetus Damian.
Ava berdecak pelan. Dia menarik tangannya dari cengkeraman Damian.
Yang ada di pikiran Ava sekarang hanyalah bagaimana caranya mencari jalan keluar untuk melarikan diri dari hotel ini secepat mungkin agar tak bertemu wartawan lagi. Ia mensiasati untuk pergi lewat tangga darurat.
Jadi tanpa memedulikan ocehan Damian, Ava pun melanjutkan langkahnya. Namun, lagi-lagi Damian menahannya. Ava kembali berbalik dan menatap pria itu dengan tatapan kesal.
“Kau pamrih, ya? Aku cuma menumpang sembunyi saja, tapi kau sampai sebegitunya,” pungkas Ava.
“Cuma menumpang sembunyi kau bilang? Kau bahkan sembarangan menciumku! Kalau aku tidak menolongmu dan memilih untuk membocorkan keberadaanmu di sini, kau mungkin sudah diseret dan dikerumuni oleh orang-orang itu!” sahut Damian sambil menunjuk pintu.
“Lalu kau mau aku bagaimana? Kau butuh imbalan? Mau berapa dolar, huh?” Ava membuka tas mahal yang tersampir di bahu kirinya dan berniat mengeluarkan dompet dari dalam sana.
“Tidak usah! Aku tidak butuh uangmu,” sahut Damian, “tidak punya sopan santun sama sekali. Setidaknya berterimakasihlah padaku!”
Ava memutar matanya dengan malas. Menanggapi ucapan pria yang ia anggap arogan itu, ia pun mencetus, “Terima kasih apanya? Harusnya kau merasa beruntung bisa bertemu denganku di tempat ini."
Ava pun berbalik dan melanjutkan langkahnya untuk menuju pintu. Damian yang tak terima wanita tidak sopan itu pergi begitu saja tanpa berterima kasih sama sekali, langsung menggapai bahu wanita itu untuk membuatnya tetap diam di tempat.
Akan tetapi, karena Ava sudah melangkah, gapaian Damian terlalu jauh dan malah menyentuh punggung Ava. Ditariknya bagian belakang gaun merah wanita itu.
Tapi nahas, karena Ava masih saja melangkah dan tarikan Damian terlalu keras, Ava tertarik ke belakang hingga bagian punggung gaun Ava pun jadi robek.
Ava melotot panik dan langsung memegangi bagian depan gaunnya untuk menahan gaunnya itu agar tetap menempel di tubuh. Sebab, bagian belakang yang sudah robek membuat gaun itu akan dengan mudah merosot ke bawah.
“BAJINGAN! Apa-apaan kau ini?!” jerit Ava yang panik seketika.
Damian hanya diam dan lagi-lagi terpaku pada punggung Ava yang kini kembali terekspos.
“Kau pasti mengenalku, kan? Aku Avana Eshter. Model fashion wanita nomor satu di majalah New York Times tahun lalu. Tidak mungkin kau tidak kenal aku. Sudah kubilang, seharusnya kau merasa beruntung bisa bertemu denganku di sini! Berani-beraninya kau malah berbuat begini!” tutur Ava dengan segala keangkuhannya.
“Tidak. Aku sama sekali tidak mengenalmu. Memang kau model apa?”
“Astaga ... Apa kau tidak punya televisi di rumah? Punya media sosial tidak? Masa tidak tahu?!”
Damian tampak tak peduli pada segala ocehan Ava. Dia hanya terpaku pada punggung dan bahu wanita itu.
Merasa ngeri dengan bagaimana cara Damian menatapnya saat ini, Ava pun memutuskan untuk langsung pergi. Ia mengoceh kesal selama berjalan menuju pintu sembari memegangi bagian depan gaunnya.
“Dasar pria kurang ajar!" oceh Ava.
Dia sempat menghentikan langkahnya untuk menoleh ke belakang dan menatap Damian sambil berkata, “Beruntunglah kau karena aku sedang buru-buru pergi dari sini. Kalau tidak, aku sungguh akan menghajarmu dan menuntutmu untuk ganti rugi atas gaunku!”
Damian hanya diam dan mematung di tempat. Kedua mata birunya terpaku menatap punggung mulus Ava yang kini menjauh dan akhirnya menghilang di balik pintu.
***
2. Pria di Depan Toilet
Wanita itu menghela napas pelan sembari menatap layar ponselnya setelah barusan memeriksa email berisi CV digital yang ia kirimkan ke email resmi sebuah perusahaan.
Entah sudah CV ke berapa yang ia sebarkan ke berbagai perusahaan, sampai detik ini Ava masih belum mendapatkan panggilan. Ia tidak memiliki pekerjaan sama sekali.
Satu tahun berlalu semenjak skandal besar yang dalam sekejap mata langsung menghancurkan kariernya sebagai seorang artis dan model. Sekarang, ia seperti pengangguran yang luntang-lantung di tengah New York, kota metropolitan terbesar di Amerika Serikat.
Namanya sudah rusak dan hancur tanpa bersisa di mata semua orang karena fitnah soal prostitut Las Vegas dan pengguna narkoba.
Viola—manajer Ava yang juga sejak dulu merupakan teman dekat Ava—telah membantu untuk mencoba menjamah berbagai agensi model dan label artis, tetapi semuanya menolak Ava.
Tidak heran jika berlaku begitu. Apabila mereka menerima Ava, maka perusahaan mereka akan ikut-ikutan dikecam oleh masyarakat dan malah hancur karena keberadaan Ava.
Beginilah akhirnya. Ava tidak punya harapan lagi untuk bisa berkecimpung di industri hiburan. Dan sekarang pun mau tak mau ia terpaksa mencari pekerjaan untuk bisa tetap mendapatkan uang karena dirinya telah bangkrut.
Semua tabungan yang ia miliki ludes ia gunakan untuk melanjutkan hidup selama menganggur satu tahun penuh, seperempat tabungannya pun juga ia gunakan untuk bayar ganti rugi kepada beberapa brand fashion yang terdampak oleh skandalnya.
“Sepertinya aku memang tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan apapun di sini,” ujar Ava pada Viola yang duduk di sampingnya.
“Kau putus asa sekali. Padahal, kau lulusan administrasi perkantoran di salah satu universitas di Texas. Kau pasti punya kesempatan, Ava,” jawab Viola.
“Ya, memang. Tapi kesempatannya satu banding seribu, Vio. Aku sudah melamar pekerjaan ke sana ke mari demi bisa tetap memiliki pendapatan dan tidak menganggur terus-menerus, tapi tak ada satu pun perusahaan yang mau menerimaku.”
Viola pun tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menatap Ava dengan tatapan iba.
Ava sudah menyerah. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Beberapa malam yang lalu, Ava ditelepon oleh neneknya, satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki dan mau peduli padanya.
Sang nenek merasa sangat prihatin dengan keadaan Ava dan meminta Ava untuk tinggal di Florida saja bersamanya.
Sebenarnya Ava tak mau merepotkan nenek kesayangannya itu. Namun karena tak punya harapan lagi di New York, ia pun memutuskan untuk mematuhi permintaan sang nenek.
Saat ini Ava berada di salah satu kelab malam ternama dan cukup mewah yang terletak di pusat Manhattan. Sebelum besok pagi berangkat ke Florida, Ava ingin bersenang-senang dan menghabiskan malam terakhirnya berada di New York dengan minum-minum di kelab mewah ini bersama Viola.
Ava tak punya uang lagi untuk membayar Viola sebagai manajer sekaligus asistennya, maka dari itu sekitar tiga bulan yang lalu Viola telah resmi berhenti bekerja menjadi manajer untuk Ava. Kini Viola telah bekerja sebagai kru pemotretan di salah satu majalah fashion.
“Kau yakin akan pindah ke Florida?” tanya Viola.
Ava menenggak wiski di gelasnya sampai habis. Entah sudah gelas yang ke berapa, tapi dari bagaimana mata Ava yang kini terlihat agak sayu, cukup menggambarkan bahwa wanita cantik berambut pirang itu sudah mulai terpengaruh alkohol.
“Tentu saja aku yakin!” sahut Ava sambil mengangguk bersemangat.
Dia meminta bartender untuk menuangkan wiski ke gelasnya lagi, kemudian ia melanjutkan, “Aku ingin patuh pada nenekku saja. Aku tidak punya harapan lagi di sini.”
Viola pun menghela napas pelan. Dia menepuk-nepuk punggung Ava, merasa iba melihat situasi karibnya itu.
Menit demi menit berlalu, malam yang makin larut membimbing ramainya kelab itu oleh para pengunjung yang kian banyak berdatangan.
Musik di dalam kelab tersebut juga makin terdengar menggema, menciptakan suasana mendukung ketika para pengunjung di dalam kelab itu menikmati malam mereka dengan alkohol.
Tak jarang bartender berkutat membuat mocktail untuk segelintir orang yang mungkin tidak mau mabuk malam ini.
Sementara itu, Ava dan Viola pun juga masih asyik dengan minuman mereka. Dibanding Ava, Viola jauh lebih tahan pada alkohol.
Ava sudah menghabiskan lima gelas wiski, jadi jelas kesadarannya makin mengarah pada ambang batas. Dia sudah mabuk dan semakin menggila ketika meracau tanpa henti.
“Astaga, kau ini. Inilah mengapa aku merasa sangat keberatan ketika tadi sore kau mengajakku minum-minum di kelab. Sudah kubilang, lebih baik minum di apartemenku saja,” gerutu Viola ketika melihat Ava menopang kepala di atas meja dan tak henti meracau seperti orang mengigau.
Viola memakai tasnya dan menarik tangan Ava agar karibnya itu bangkit. Lalu, ia pun berkata, “Ayo, pulang! Besok pagi kau akan berangkat ke Florida. Jangan sampai kau menginap di sini dan malah kesiangan hingga terlambat naik pesawat.”
“Tunggu sebentar ...,” Ava menepis tangan Viola yang memegang lengannya. Ia turun dari kursi yang ia duduki dengan tubuh lunglai.
“Aku ... ingin buang air. Kandung kemihku penuh ...,” racau Ava.
Wanita berusia 26 tahun itu beranjak dari area konter bar, berniat pergi ke toilet dengan langkahnya yang sempoyongan. Dia berjalan melewati keramaian yang terjalin di seluruh penjuru kelab.
“Toiletnya bukan di sana, Ava! Arah timur. Berbaliklah dan jalan lurus!” Viola berteriak ketika dia melhat Ava berjalan ke arah barat, yang mana Ava baru sadar kalau itu adalah arah menuju pintu keluar kelab.
Suara Viola yang berteriak pada Ava seolah berupaya untuk mengalahkan alunan musik yang menggema cukup keras. Meski sudah sangat sempoyongan, tetapi Ava masih bisa mendengar suara Viola karena karibnya itu memang berteriak dengan sangat kencang.
Karena itulah, Ava pun memutar langkahnya dan berjalan ke arah timur seperti yang diberitahu oleh Viola, sedangkan Viola duduk kembali di kursinya untuk menunggu Ava.
Seperti kelab pada umumnya, toilet pria dan wanita terletak persis bersebelahan. Malah biasanya di kelab murahan, toilet pria dan wanita digabung jadi satu.
Ketika Ava baru saja tiba di area toilet, ia menghentikan langkahnya tepat di depan dinding pembatas toilet pria dan wanita.
Ia memicing, memandangi tanda yang tertempel di pintu dua jenis toilet itu. Kedua mata Ava terasa berat dan pandangannya kabur, tentu karena ia sudah terlampau dipengaruhi oleh alkohol dalam wiski yang sejak tadi ia minum.
“Astaga ... kepalaku pusing,” gumam Ava sambil memijat kening.
Dengan segala sikap percaya diri dan sok tahunya, Ava pun mengambil arah langkah ke pintu yang menurutnya benar. Padahal, ia salah. Ia malah melangkah menuju pintu toilet pria.
Saat ia baru saja tiba di depan pintu dan akan membukanya, pintu itu sudah lebih dulu terbuka dari dalam. Ava yang sempoyongan pun langsung bertubrukan dengan tubuh seseorang yang baru saja keluar dari toilet itu.
Memang dasarnya sudah lunglai dan tidak seimbang karena mabuk, Ava hampir terjungkal hingga jatuh ke lantai kalau saja orang yang ia tubruk tak langsung memegang lengannya dan menariknya agar ia tidak jatuh.
Karena insiden barusan, kini posisi berdiri Ava dengan pria itu jadi sangat rapat, seperti berpelukan.
Ava pun terdiam. Kedua mata cokelatnya memicing ketika ia menatap pria itu dengan tatapan yang sayup-sayup dalam ritme kedipan yang kian lambat.
“Kau ...,” gumam Ava dengan suaranya yang parau. Sesaat kemudian, dia tersenyum lebar sambil memegang kedua pipi pria itu. “Terima kasih karena sudah menolongku, Tampan.”
Pria itu hanya diam, mengerutkan keningnya ketika menatap Ava yang meracau sambil menyeringai dengan senyuman yang entah mengapa menyuratkan kemesuman.
“Kau tampan sekali. Ya Tuhan ... di mana aku berada sekarang? Surga, ya? Kau pangeranku!”
“Kau mabuk, Nona,” kata pria itu seraya melepaskan pegangannya pada tangan Ava.
Bukannya menyingkir dan menyudahi posisi rapat mereka, Ava malah mencengkeram bagian kerah jas hitam mahal yang pria itu pakai, lalu menarik pria itu untuk menunduk agar menyeimbangi tinggi mereka sehingga wajah mereka bisa berdekatan.
Kepalang mabuk dan jadi makin tak terkontrol, Ava langsung mencium bibir pria itu dan melumatnya dengan sangat bernafsu.
Pria itu sempat terdiam, terkejut dengan tingkah dan perbuatan Ava. Sejenak kemudian, dia langsung mencengkeram kedua bahu Ava dan mendorong wanita itu agar menjauh darinya sekaligus berhenti menciumnya.
“Apa-apaan kau ini? Sudah gila, ya?” pungkas pria tersebut sambil menatap Ava dengan tatapan aneh.
“Kau menolakku? Aku hanya ingin memberikan cium*n terima kasih. Astaga ... mengapa semua orang menolakku?” racau Ava.
Tak jengah dengan sikapnya, Ava yang mabuk itu pun kembali menerjang pria tersebut dan menciumnya lagi.
Ava punya kebiasaan buruk saat sedang mabuk. Tiap kali kesadarannya diterpa ombak akibat alkohol, dia akan bertindak seenaknya tanpa bisa mengontrol diri. Dan beginilah akhirnya, dia memaksa adu cumbuan dengan pria yang tak ia kenal.
***
3. Kamar Pria Tak Dikenal
Ava meringis pelan selagi mengusap-usap kedua matanya dan berupaya untuk menetralkan pandangan dengan cahaya. Baru beberapa detik yang lalu ia terbangun dari tidurnya dengan sensasi sakit luar biasa di kepala.
Ia berdiam diri selama beberapa menit, lalu ia pun menyadari bahwa saat ini dirinya berada di sebuah kamar yang ia yakini bukanlah kamarnya.
Dengan sangat perlahan dan hati-hati, Ava pun menoleh ke samping. Didapatinya sesosok pria yang tidur tepat di sampingnya.
Ava terdiam sejenak, melamun untuk mencerna situasi. Sesaat kemudian, kedua mata Ava melebar sempurna. Dia langsung bangkit dan menjerit, “AAAA!!”
Jeritan Ava barusan sontak saja membuat pria itu kaget dan langsung terbangun. Ava pun melompat turun dari kasur dan menarik selimut tebal berwarna putih di kasur itu untuk menutupi tubuhnya.
“Kenapa teriak-teriak begitu? Berisik sekali!” omel pria tersebut sambil menyorotkan tatapan kesalnya.
“Kau siapa? Apa yang kau lakukan padaku?!” bentak Ava. Ia melotot panik pada pria tampan itu yang kini bertelanjang dada.
Pria itu diam saja dan menatap Ava dengan tatapan yang sangat sinis. Mungkin dia masih kepalang kesal dan nyawanya belum sepenuhnya kembali pada raga setelah barusan harus terbangun dari tidur karena kaget akibat jeritan Ava.
Ava pun jadi makin panik. Ia sudah berusia 26 tahun dan memang bukan wanita yang sepenuhnya ‘baik’, tapi tentu saja ia selalu berupaya mengatur jarak dengan orang asing. Mana mungkin ia tidak panik jika terbangun pagi-pagi dengan posisi tidur satu kasur dengan pria yang tak ia kenal?
“Aapa yang kau lakukan padaku? Apa yang terjadi semalam?”
Pria itu menyapu rambut tebalnya ke belakang dan mengusap wajahnya sejenak untuk menghilangkan rasa kantuk. Sebelah alisnya terangkat naik, lalu dia malah mengutip pertanyaan Ava dan balik bertanya, “Apa yang terjadi semalam? Menurutmu?”
“Menurutku apanya? Aku tidak tahu.”
“Ya menurutmu saja bagaimana? Kenapa masih bertanya?”
“Kau pasti berbuat macam-macam padaku, kan? SIALAN!!” pekik Ava. Dia mengambil salah satu bantal dari kasur dan langsung melemparnya ke arah pria itu.
Pria itu pun dengan cekatan langsung menangkap bantal yang Ava lempar sebelum bantal tersebut menghantam wajahnya.
“Bisa turunkan suaramu tidak? Masih pagi kenapa pita suaramu bisa delapan oktaf begitu?” cetus pria tersebut seraya beranjak turun dari kasur. Dia berdiri berseberangan dengan Ava, bagian bawah tubuhnya tertutup celana panjang. Dia hanya telanjang dada.
“Aku tidak melakukan apapun padamu,” kata pria itu dengan suara datar, “jangan menuduh yang tidak-tidak.”
“Lalu mengapa aku bisa ada di kamar ini bersamamu?” Ava memandangi pria itu dengan penuh kecurigaan.
Meski pria itu bilang ‘tidak melakukan apapun’, Ava tidak akan percaya begitu saja. Mana bisa percaya pada orang asing dalam situasi begini?
Sambil menatap Ava dengan tatapan tajam dan sangat dingin, dia menjawab, “Kau tidak ingat? Kau yang menggoda dan memaksaku, Nona. Kau bahkan memohon untuk ditiduri.”
Ava terkejut mendengar ucapan pria itu. Kepalanya berupaya keras untuk memutar ingatan tentang kejadian kemarin malam.
Dua menit kemudian, Ava ingat bahwa semalam ia mabuk. Ia mulai menyadari apa yang sudah ia lakukan. Ia jadi makin kalap dan rasa-rasanya ingin menjerit sambil menangis kencang untuk menutupi rasa malunya.
Ava menggigit bibir bawahnya sendiri, malu setengah mati sekaligus ditimpa rasa panik yang menjadi-jadi. Beberapa saat setelah itu, Ava menjatuhkan selimut yang ia pegang dan menunduk untuk menatap tubuhnya.
Ia baru sadar bahwa ternyata saat ini ia memakai pakaian lengkap. Gaun biru gelap seatas lutut yang ia kenakan kemarin malam masih menempel di tubuhnya, ia pun juga merasakan bahwa ia masih memakai pakaian dalam.
“Kau tenang saja, aku betulan tidak melakukan apapun padamu,” kata pria itu ketika menyadari kepanikan Ava.
Ava pun beralih menatap pria itu lagi, lalu bertanya dengan gugup, “Su-sungguh? Apa kau berani bersumpah tidak melakukan apapun padaku?”
Pria itu memutar matanya dengan malas, lalu menjawab, “Tidak perlu bersumpah pun seharusnya kau percaya. Jangan berpikir yang tidak-tidak! Aku juga merasa ogah menyetubuhi wanita mabuk.”
Pria itu melangkah menuju lemari pakaian yang ada di sisi ruangan, tampaknya ingin mengambil baju. Sedangkan Ava masih mematung di tempatnya berdiri.
Ia berupaya untuk mencerna kebenaran. Kalau memang semalam pria itu melakukan sesuatu padanya, dalam artian menyetubuhi, pasti ia akan merasakan sensasi khas di vaginanya pagi ini. Pun juga seharusnya ia berada dalam keadaan telanjang atau setidaknya pakaiannya tidak akan lengkap.
Tapi ini tidak. Ava tidak merasakan apapun pada area kewanitaannya. Semuanya tampak normal. Ia pun juga masih memakai pakaian lengkap seperti tadi malam.
Ava menghela napas panjang, merasa sangat lega karena kemungkinan pria itu memang berkata jujur.
Masih penasaran bagaimana dirinya bisa berada di kamar ini, ia pun melangkah menghampiri pria itu yang kini sedang berdiri di depan lemari.
“Mengapa aku bisa berada di kamar ini bersamamu? Kau menculikku, ya?” tuduh Ava.
Pria itu menoleh pada Ava dan mengerutkan keningnya hingga kedua alis tebalnya hampir menyatu. “Untuk apa aku menculikmu? Memang kau ada harganya?”
Ava merasa sangat tersinggung dengan ucapan pria itu. Ia berniat berkata dengan tegas bahwa dirinya adalah Avana Eshter, mantan model dan artis yang cukup ternama di negara ini.
Namun mengingat kata ‘mantan’, Ava mengurungkan niatnya untuk bicara soal itu. Toh, rasa-rasanya benar juga. Siapa yang mau menculik mantan model dan artis yang tersandung skandal besar hingga ketenarannya langsung redup dan hancur seketika?
Setelah memikirkan soal skandal itu, Ava terdiam dan malah melamun sibuk dengan pikirannya sendiri.
Pria tersebut pun mengambil kaos hitam polos dari dalam lemarinya. Dia menatap Ava lagi setelah menyadari wanita itu mendadak membisu.
Didapatinya wajah Ava yang tampak datar dan murung, berbeda dengan betapa ekspresif sosok Ava sejak tadi setelah tiba-tiba menjerit saat bangun tidur.
Pria itu berpikir kalau mungkin saja Ava mendadak murung begitu karena kebingungan dengan kejadian semalam. Hal itulah yang membuat pria itu jadi sedikit tidak tega. Ia juga tidak mau wanita aneh ini berpikiran macam-macam tentang dirinya atau menuduhnya yang tidak-tidak.
“Semalam kau mabuk berat dan mendadak menciumku di depan toilet kelab. Aku sama sekali tidak mengenalmu dan langsung menghindar, tapi kau malah mengikutiku sampai tempat parkir kelab. Ketika aku ingin menegurmu untuk pergi menjauh dariku, kau malah pingsan di dekat mobilku,” jelas pria itu.
Ava pun sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap pria bertubuh tinggi di hadapannya itu.
“Aku tidak tahu kau datang ke kelab dengan siapa, apakah ada temanmu atau tidak. Jadi, ketika kau tiba-tiba pingsan, aku tidak punya pilihan lain selain membawamu bersamaku ke apartemenku ini.”
“Kau lancang sekali. Seharusnya tidak boleh membawaku sembarangan begitu!”
“Benar-benar wanita tidak punya sopan santun. Berterimakasihlah padaku! Aku menyelamatkanmu semalam. Kalau aku tidak membawamu ke sini, kau mungkin akan diperkosa di tempat parkir kelab oleh para pria yang melintas di sana.”
Ava pun mendengus pelan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tampak mencari-cari sesuatu. Melihat sepasang high heels miliknya tergeletak di lantai dekat kasur, ia pun langsung mengambil benda itu.
Ia ingat, semalam ia tidak membawa apa-apa dan meninggalkan dompet sekaligus ponselnya di konter bar saat bersama Viola.
Setelah memakai heels miliknya, ia pun memutuskan untuk langsung pergi dari tempat itu karena tidak mau berlama-lama berada dalam satu ruangan dengan pria yang tak ia kenal.
Akan tetapi, saat Ava baru saja akan berjalan menuju pintu, tatapannya sempat bertemu lagi dan beradu lekat dengan pria bertubuh tinggi serta berparas tampan khas campuran Amerika-Irlandia itu.
Kepala Ava memang masih sedikit pusing karena efek alkohol yang ia minum semalam, tapi otaknya tetap bisa bekerja keras untuk mengingat sesuatu kala menatap wajah pria itu dengan tatapan intens.
Setelah dilihat lebih lama, ia merasa sangat familier dengan wajah pria itu. Seperti pernah melihat, tapi rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali ia melihatnya.
Pria itu pun membalas tatapan Ava dengan tatapan yang sangat dingin dan sinis. Lalu, dia mencetus, “Kenapa kau menatapku begitu, huh? Mau kucungkil matamu?”
Ava tetap diam, masih fokus memandangi wajah pria itu. Sesaat kemudian, kedua mata Ava langsung melebar sempurna ketika akhirnya dia mengingat sesuatu.
Sambil menunjuk wajah pria itu dengan jari telunjuknya, dia berkata, “Kau! Kau! Ya, kau! Kau pria yang waktu itu, kan?!”
Pria itu bergeming menatap Ava. Menganggap Ava mungkin masih mabuk dan hanya meracau, ia berbalik dan memakai kaosnya untuk membalut tubuh atletisnya yang sejak tadi telanjang dada.
“Benar, kan? Kau pria itu, kan? Kau yang satu tahun lalu merobek gaunku di hotel malam itu. Ayo, cepat mengaku! Kau juga sempat menyentuhku secara sembarangan. Itu termasuk pelecehan dan aku bisa menuntutmu, lho. Siapa namamu? Dean? Darren? Adrian? De—”
“Shut your mouth!” potong pria itu sambil menyorot tajam pada Ava yang kini berdiri tepat di hadapannya.
Ava pun langsung terdiam dan mengulum bibirnya sendiri karena mendadak tak bisa berkutik ketika tatapan mata pria itu terasa menusuk tajam padanya.
“Pertama, namaku Damian. Bukan Dean, Darren, atau siapa pun yang kau sebut tadi. Kedua, aku memang tak sengaja merobek gaunmu, tapi aku tidak melecehkanmu. Lagipula salahmu sendiri. Siapa suruh sembarangan masuk ke kamarku? Dan kau ingat? Kau yang menciumku duluan. Apa yang mau kau tuntut, huh? Kau yang salah,” tutur pria itu dengan sikapnya yang sangat tenang dan diliputi aura dingin.
“Tapi kau—”
“Bicaralah lagi, maka aku akan membungkam mulutmu dengan selotip.”
Ava mendengus keras. Merasa kesal bukan main setelah mengingat kejadian waktu itu, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena pria bernama Damian itu sangat galak dan tampaknya sulit ditentang.
Di samping rasa kesalnya, ia juga merasa terperangah dan tak menyangka. Ia bertemu dengan Damian yang satu tahun lalu menyelamatkannya pada malam di mana dirinya dikejar-kejar reporter dan wartawan. Satu tahun berlalu, dan mereka malah tanpa sengaja dipertemukan kembali pada kejadian tak terduga tadi malam.
Beberapa saat kemudian, belum sempat Ava bicara lagi, tiba-tiba saja pintu kamar diketuk.
“Masuklah!” sahut Damian.
Pintu terbuka, lalu muncullah seorang pria berkemeja hitam.
“Selamat pagi, Tuan. Mobilmu sudah siap. Masih ada waktu satu jam untuk sarapan dan bersiap-siap sebelum rapat dengan rekan bisnismu dimulai,” kata pria itu.
Damian melirik jam dinding di kamar mewahnya yang saat ini menunjukkan pukul delapan pagi. Ava pun mengikuti arah pandang Damian dan ikut-ikutan menatap jam dinding itu.
Seketika kedua mata Ava membelalak kaget setelah mendapati kalau sekarang sudah pukul delapan pagi. Pasalnya, pesawat yang seharusnya ia tumpangi untuk ke Florida dijadwalkan berangkat pukul 07.15.
“ASTAGA! PESAWATKU!” jerit Ava, panik setengah mati.
Damian bahkan sampai tersentak kaget karena jeritan nyaring wanita itu.
Ava panik. Ia langsung berlari keluar dari kamar dengan terbirit-birit sambil mengoceh tidak jelas.
Damian yang masih berdiri di tempat pun terdiam menatap punggung Ava yang menjauh. Ia mematung selama beberapa saat, terpaku pada bagian atas punggung dan bahu Ava yang terekspos karena Ava memakai gaun berlengan tali tipis.
Damian masih ingat bagaimana bentuk punggung wanita itu yang ia lihat satu tahun lalu. Dan ketika melihat punggung itu lagi, Damian pun menyadari bahwa wanita mabuk yang semalam ia bawa ke apartemennya memang adalah Avana Esther yang satu tahun lalu bersembunyi di kamar hotelnya gara-gara dikejar wartawan.
Damian tertegun ketika sensasi aneh mendadak menggerayangi dirinya lagi hanya karena menatap punggung Ava, pun juga karena melihat tubuh seksi wanita itu.
Entah mengapa, Damian merasa mengagumi bentuk tubuh Ava meski baru dua kali bertemu, terlebih punggung mulus dan proporsional wanita itu yang baginya memiliki ketertarikan tersendiri.
Damian pun mengerjap beberapa kali dan menggeleng pelan, berusaha menyadarkan dirinya untuk berhenti berfantasi yang tidak-tidak.
Setelah Ava pergi dan menghilang di balik pintu, Damian tersenyum miring dan bergumam, “Dasar wanita aneh.”
“Kau bilang apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang kau butuhkan?” tanya pria berkemeja hitam yang masih berdiri di dekat pintu.Pria itu adalah asisten pribadi Damian.
Merespons pertanyaan asistennya itu, Damian menggeleng pelan. Ia berniat beranjak keluar dari kamar untuk pergi menuju meja makan agar bisa segera sarapan. Akan tetapi, Damian termenung sejenak dan menatap asistennya.
“Hei, kau,” panggil Damian.
“Ya, Tuan?”
“Cari segala informasi tentang wanita tadi."
***
4. Rekrutmen Terbuka
Petugas keamanan yang ada di lobi sebuah bangunan berlantai 35 mengarahkan Ava untuk mendata identitasnya di meja resepsionis. Kemudian, Ava disuruh menunggu di sofa ruang tunggu yang ada di sudut lobi.
Ada beberapa orang juga di ruang tunggu itu bersama Ava. Hingga tak lama kemudian, salah seorang wanita cantik bertubuh langsing dengan rambut pendek menggantung pun mencetus, “Bukankah kau Avana Eshter?”
Ava yang duduk manis di salah satu sofa one seat, menoleh ke arah wanita itu ketika mendengar namanya disebut. Ia mengulas senyum karena mengira wanita itu sekadar menyapanya.
“Kau prostitut dan pengguna narkoba itu, kan? Sudah tidak berkutat di dunia entertaiment, sekarang kau ingin masuk ke dunia perkantoran? Apakah menurutmu perusahaan ini akan menerima mantan artis dengan skandal besar sepertimu?” tutur wanita itu sambil menatap sinis ke arah Ava.
Ava pun langsung terdiam. Senyum yang terulas di bibirnya perlahan memudar. Ia juga merasa tercekat ketika orang-orang di ruang tunggu itu mulai saling berbisik membicarakannya.
“Kenapa kau bisa ada di sini? Pengguna narkoba sepertimu, bukankah harusnya ditangkap dan dimasukkan ke tempat rehabilitasi?” cetus salah satu dari mereka.
"Aneh sekali. Apakah dia tidak punya rasa malu? Meski skandalnya sudah terjadi satu tahun yang lalu, tapi tetap saja harusnya dia tahu diri."
"Benar. Kalau aku jadi dia, aku tak akan mau muncul di tempat umum. Malu!"
Ava diam saja. Ingin sekali ia menyahut dan melawan untuk membela dri, tapi ia berusaha menahan emosinya. Sebab, ia ingat bahwa sekarang dirinya sedang berada di perusahaan tempatnya akan melamar kerja.
Ia khawatir malah diusir dan gagal lagi mendapatkan pekerjaan kalau membuat keributan.
Jadi, Ava pun memilih membungkam mulutnya. Ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha menahan amarah sekaligus menenangkan diri ketika rasanya ia ingin sekali menangis kala mendengar orang-orang di sekitarnya semakin menggunjing dengan frontal.
Mereka mengungkit semua skandal itu, skandal yang menghancurkan karier Ava dan membuatnya bangkrut.
Saat ini Ava berada di gedung sebuah perusahaan pengembangan teknologi bernama MD Company. Ia akan mengikuti rekrutmen terbuka untuk posisi akuntansi yang sedang diadakan oleh perusahaan ini.
Dua hari yang lalu, Ava ketinggalan pesawat dan gagal berangkat ke Florida. Mau tak mau, ia pun harus tetap bertahan di kota ini dan harus segera mendapatkan pekerjaan agar bisa memiliki penghasilan.
Ia sudah menghanguskan tiket pesawat yang dibelikan neneknya. Ia pun juga sudah menghabiskan uang saku yang diberikan sang nenek pada malam ketika ia mabuk-mabukan di kelab dan berakhir bangun kesiangan di kamar asing milik seorang pria bernama Damian.
Padahal, neneknya menggunakan seluruh uang tabungan yang dia punya untuk membeli tiket pesawat itu dan memberikan uang saku untuk Ava.
Ava merasa sangat bersalah dan belum berani menghubungi neneknya. Ia takut menerima reaksi sang nenek yang pasti akan kecewa setelah tahu ia tidak jadi berangkat ke Florida.
Yang ada di pikiran Ava saat ini hanyalah ia harus bisa mendapatkan pekerjaan agar bisa mengganti uang sang nenek dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Hingga tak lama setelah itu, mendadak saja para resepsionis dan petugas keamanan di lobi berdiri berjejer di dekat pintu masuk.
Ava dan orang-orang yang ada di ruang tunggu lobi pun menatap penasaran ke arah pintu, bertanya-tanya ada apa gerangan ramai-ramai begitu.
Pintu kaca itu terbuka lebar, lalu seorang pria berjas hitam melangkah memasuki lobi dan disambut oleh para petugas. Di belakang pria itu terdapat seorang wanita yang merupakan sekretarisnya dan satu pria yang merupakan asisten pribadinya.
“Astaga .... Tampan sekali. Siapa pria itu?,” tanya salah seorang di ruang tunggu dengan suara pelan.
“Dia CEO perusahaan ini. Damian Mildred Dawson,” jawab orang yang duduk di sebelahnya.
Mendengar pembicaraan orang di dekatnya itu, ada sesuatu yang membuat Ava seketika langsung membelalakkan mata dan merasa agak syok.
Pasalnya, ketika Ava melihat sosok pria yang disebut CEO MD Company, ternyata pria itu adalah Damian, pria yang satu tahun lalu merobek gaunnya. Pun juga pria yang ia cium di kelab dua malam yang lalu.
Ava tercengang. Kedua matanya terpaku menatap Damian, pria berjas hitam yang merupakan CEO perusahaan tempatnya berada sekarang, kini sedang berjalan melewati ruang tunggu untuk menuju area lift di sisi lobi.
Damian sempat menoleh ke arah sofa karena mendengar bisik-bisik para pelamar yang merasa kagum padanya. Tepat ketika tatapannya tak sengaja beradu dengan Ava, langkah Damian pun mulai melambat.
Pria berjas hitam itu sedikit mengerutkan keningnya, merasa familier dengan wajah Ava. Jelas saja dia familier. Sedetik kemudian, ia segera tersadar bahwa Ava adalah wanita yang beberapa hari lalu menciumnya dalam kondisi mabuk berat dan terpaksa ia bawa ke apartemennya karena mendadak pingsan.
Ava pun tertegun. Dia langsung buang muka dan mengalihkan pandangannya dari Damian ketika Damian menatapnya. Ia tetap duduk tegak di tempat, tetapi pura-pura tidak lihat.
Mengingat kejadian tak terduga yang terjalin di antara mereka beberapa hari yang lalu, ditambah mengingat kejadian satu tahun silam, bertemu di tempat seperti ini jelas adalah suatu hal yang sangat mengejutkan.
Apalagi posisinya saat ini Ava adalah pelamar pekerjaan, sementara Damian adalah pemimpin dari perusahaan tempat Ava melamar. Kalau Ava bertindak impulsif dan tidak menjaga sikap, bisa-bisa tidak perlu diinterview pun dirinya akan langsung diusir dari gedung ini.
Ava masih terus buang muka dan menatap ke arah lain agar tidak beradu pandang dengan Damian. Hingga tak lama kemudian, ia dikejutkan dengan keberadaan Damian yang entah sejak kapan telah berdiri tepat di hadapannya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Damian sambil mengerutkan keningnya menatap Ava.
Ava pun berdeham pelan. Ia berdiri dari duduknya dan berniat menjawab pertanyaan Damian, tetapi bingung harus mengatakan kalimat apa.
“Semua orang di ruang tunggu ini adalah pelamar rekrutmen terbuka, Pak,” ujar Julia, wanita di belakang Damian yang merupakan sekretaris pria itu.
Mendengar ucapan Julia, tatapan Damian pun makin intens menatap Ava. Ava mengulas senyum ramah agar ia terlihat sopan di hadapan sang CEO.
Damian terdiam cukup lama dan hanya bergeming selagi bola mata birunya bergerak menatap Ava dari ujung kepala sampai ujung kaki, memerhatikan wanita yang mengenakan kemeja satin merah dengan perpaduan rok hitam selutut itu.
Beberapa saat kemudian, Damian berbalik dan melangkah meninggalkan ruang tunggu. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia sempat menunjuk Ava sambil berkata pada sekretarisnya, “Bawa wanita ini ke ruanganku.”
“Baik, Pak,” jawab Julia.
Selepas Damian pergi menuju lift, Julia pun menatap Ava. “Siapa namamu, Nona?”
“Aku ... Avana Veronica Eshter,” jawab Ava yang merasa agak kaget mendadak ditanyai nama.
“Baiklah, Avana. Ayo, ikut aku.”
“A-aku? Ikut ke mana? Aku berada di sini karena mengikuti rekrutmen terbuka dan sedang menunggu dipanggil untuk interview.”
Julia tersenyum simpul. Wajahnya yang sedikit menyuratkan aura angkuh dan ketus, tampak risi mendengar jawaban Ava, sebab ia pikir seharusnya pelamar kerja tidak perlu banyak tanya atau bahkan membantah kalau mendapatkan arahan.
“Sepertinya kau akan diinterview langsung oleh Pak Damian. Jadi, ayo, ikut aku. Tolong jangan buang-buang waktu,” ujar Julia seraya berbalik dan melangkah menuju lift.
Ava pun tak bisa membantah. Ia mengambil tasnya yang tadi sempat ia letakkan di sofa tempatnya duduk. Kemudian, ia bergegas mengikuti Julia yang akan mengantarnya menuju ruangan Damian.
Rupanya ruangan Damian terletak di lantai 35, lantai paling atas dari gedung MD Company. Julia membukakan pintu kaca sebuah ruangan yang sangat luas dan mewah, lalu mempersilakan Ava untuk masuk.
Sementara itu, Julia menelepon pihak departemen kepegawaian untuk meminta CV dan berkas lamaran milik pelamar atas nama Avana Veronica Eshter.
Ava melangkah memasuki ruangan itu sembari membenarkan posisi tas yang tersampir di bahu kirinya. Pandangan Ava terpaku pada nuansa modern di dalam ruang kerja CEO MD Company itu.
Hampir semua sisi ruangan didominasi oleh dinding kaca, sementara barang-barangnya didominasi oleh warna hitam. Pandangan Ava terpaku pada sofa putih di sisi ruangan.
Ia sangat lihai pada selera barang mewah, mengingat dulu pun dirinya adalah model ternama yang hidup glamour sebelum akhirnya bangkrut dalam sekejap mata. Jadi, ia tahu betul bahwa sofa putih itu adalah sofa Vanderkoff, sangat langka di dunia karena Vanderkoff yang membuatnya telah meninggal.
Rasa-rasanya Ava ingin sekali melompat ke sana dan duduk manis untuk merasakan betapa empuknya sofa tersebut.
Pandangan Ava pun beralih pada Damian yang kini duduk di kursi kerjanya. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang agak datar.
“Duduklah,” titah Damian sembari menunjuk salah satu kursi yang ada di depan meja kerjanya, berhadapan dengan kursi yang saat ini dia duduki.
Ava berterima kasih pada Damian setelah dipersilakan duduk. Tak lama setelah ia mengambil posisi persis di hadapan Damian, Julia pun datang ke meja kerja Damian sambil membawa sebuah map file yang berisi CV serta data diri milik Ava. Selepas itu, Julia beranjak keluar untuk meninggalkan Damian dan Ava.
“Mengapa kau melamar pekerjaan di sini? Apa yang kau ketahui tentang perusahaan ini?” tanya Damian sembari membaca CV milik Ava.
Selayaknya para pelamar pada umumnya, Ava menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang selogis mungkin dan memaparkan pengetahuannya tentang MD Company. Ia sudah berlatih menjawab pertanyaan seperti itu dengan cara melihatnya di internet.
Mendengar jawaban Ava, Damian pun manggut-manggut pelan. Pandangannya terpaku pada riwayat pengalaman kerja di CV Ava yang kosong total.
“Di perusahaan mana kau bekerja sebelumnya? Mengapa CV-mu kosong melompong begini?” tanya Damian.
“Aku ... sebelumnya belum pernah bekerja di perusahaan mana pun,” jawab Ava.
“Dan kau berani melamar di perusahaanku? Kenapa?”
“Karena aku ingin mendapatkan pengalaman baru. Aku lulus dari kampusku sekitar lima tahun yang lalu dan aku adalah salah satu lulusan terbaik. Meski aku belum memiliki pengalaman bekerja, tapi kemampuanku bisa dikembangkan,” tutur Ava dengan sangat meyakinkan sambil menatap Damian penuh rasa menggebu-gebu.
Damian menghela napas pelan.
Pria itu mengembalikan CV milik Ava seraya berkata, “Maaf. Kau tidak bisa diterima di sini. Meski kau bilang kau adalah lulusan terbaik, tapi kau lulus lima tahun yang lalu. Tidak bisa diseimbangkan secara asal dengan kondisi sekarang."
Ava terdiam.
"Dan lagi, meski kau melamar pada sesi rekrutmen terbuka, perusahaan ini tetap memiliki kriteria khusus untuk karyawan baru, apalagi di departemen akuntansi. Banyak pelamar yang pengalaman kerjanya jauh lebih banyak dan bisa menjadi pertimbangan utama.”
Ava pun tetap terdiam. Pupus sudah harapannya.
Beberapa saat kemudian, Damian mempersilakan Ava untuk keluar dari ruangannya. Ava tentu tak bisa membantah.
Ingin memalak Damian untuk ganti rugi gaun Dior miliknya yang satu tahun lalu dirobek, ia juga tidak berani melakukannya di sini karena takut dirinya malah diseret petugas keamanan karena melakukan tindakan buruk pada sang CEO. Jadi, ia memilih untuk tetap bersikap baik. Mana tahu Damian berubah pikiran.
“Terima kasih banyak karena kau berkenan mewawancaraiku secara langsung. Aku permisi. Selamat siang,” ujar Ava setelah berdiri dari duduknya.
Sembari membawa CV yang tadi dikembalikan oleh Damian, Ava pun berbalik dan melangkah menuju pintu. Belum sempat ia tiba di dekat pintu, mendadak Damian berdiri dan memanggil namanya.
“Avana,” panggil Damian.
Ava menghentikan langkah dan langsung berbalik. “Ya, Pak?”
“Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Panggil aku Damian saja.”
“Ba-baiklah.”
Damian melangkah meninggalkan meja kerjanya dan menghampiri Ava. Dia berdiri berhadapan dengan wanita itu dan menatap dengan kedua mata birunya yang menyuratkan ketajaman.
Secara diam-diam, sebenarnya Damian sadar bahwa dirinya merasa sangat tertarik pada Ava. Selain karena baginya sifat dan kecantikan Ava yang sangat atraktif, dia juga mengingat kembali kejadian satu tahun lalu ketika ia mendadak begitu tertarik pada keindahan punggung Ava.
Karena itulah, Damian merasa ingin mengenal Ava lebih jauh dan mengetahui lebih detail siapa sebenarnya wanita ini.
Ava terdiam menatap Damian, menunggu apa yang akan pria itu katakan setelah barusan memanggilnya dan membuat langkahnya terhenti.
“Apa kau sangat membutuhkan pekerjaan?” tanya Damian.
Ava mengangguk. “Iya, Pak. Maksudku ... Damian. Aku sangat butuh pekerjaan."
“Kalau kau mau, aku bisa memberimu pekerjaan lain selain di perusahaan ini.”
“Ehm, kalau boleh tahu ... pekerjaan apa?” tanya Ava sembari menatap Damian dengan tatapan yang sedikit curiga.
Ava teringat lagi kejadian satu tahun lalu ketika ia bersembunyi di kamar Damian, yang mana pada saat itu Damian sedang menunggu wanita panggilan yang dia sewa. Dibilang akan diberikan pekerjaan, jangan-jangan pekerjaan yang dimaksud Damian adalah menjadi pelacurnya untuk diajak tidur.
“Menjadi penjaga toko bunga,” jawab Damian.
***
5. Salvation Florist
Kedua mata Ava terpaku pada pintu masuk sebuah toko bunga di hadapannya.
Bangunan toko itu berukuran sedang, tidak tingkat, tetapi lebar. Dinding luarnya dicat serba putih dengan sedikit sentuhan pink pastel di bagian atapnya.
Pada bagian atas pintu masuk, terdapat papan berbahan kayu jati yang mengukir tulisan ‘Salvation Florist’ dengan font yang begitu apik dan elegan.
“Kau sedang apa di situ? Ayo!” tegur Damian yang sudah berada di dekat pintu kaca toko tersebut. Pria itu menatap dingin ke arah Ava yang malah mematung dan melamun di tempatnya berdiri.
Ava tersadar dari lamunannya, lalu langsung melangkah mengikuti Damian. Ia memasuki toko bunga itu dan langsung dibuat terkagum-kagum, sebab di hadapannya terpamerkan seluruh ruangan yang dipenuhi oleh puluhan macam jenis bunga dan tanaman dengan warna yang beragam.
Ava merasa cukup kagum pada betapa bagusnya model eksterior dan interior dari toko bunga bernama Salvation Florist ini. Toko bunga yang biasa ia datangi sangat standar alias biasa-biasa saja, tetapi toko bunga yang ini terasa berbeda dan jauh lebih elegan dengan nuansa putihnya. Ukuran tempatnya pun juga cukup luas dan terasa nyaman.
“Selamat siang. Selamat datang di Salv ... eh, Damian?” ucap seorang wanita berparas anggun berusia kisaran akhir lima puluh tahunan. Wanita itu berkutat menyusun bunga hyacinthus di meja besar yang ada di tengah ruangan.
“Kenapa tumben sekali siang-siang begini datang ke sini, Nak?” tanya wanita tua itu sembari melepaskan sarung tangan karet di kedua tangannya dan langsung menangkup wajah Damian untuk mencium pipi pria itu.
“Aku membawakan orang yang bisa membantumu di toko ini,” kata Damian sambil menunjuk Ava.
Ava pun tersenyum sopan ketika wanita berumur itu menatapnya.
“Kenapa kau repot-repot? Kau kan tahu kalau di sini sudah banyak pekerja,” kata wanita itu pada Damian.
“Tidak, Ibu. Banyak apanya? Hanya ada tiga pekerja di sini, itu pun semuanya hanya bertugas merangkai bunga saja kalau ada pesanan khusus, tidak ada penjaga yang bisa stand by setiap saat.”
“Tapi kau—”
“Ibu selalu saja bersikap sok kuat karena tak mau dianggap tua, makanya nekat menjaga toko milik sendiri meski sebenarnya bisa mempekerjakan lebih banyak orang. Aku tidak mau Ibu kelelahan dan jatuh sakit seperti minggu lalu. Jadi, biarkan wanita ini bekerja di sini untuk menjaga toko dan membantu Ibu,” tutur Damian.
Deborah pun menghela napas mendengar penuturan Damian.
Ava yang sejak tadi diam saja pun merasa terperangah karena mendengar kata ‘Ibu’ disebutkan oleh Damian.
Dalam hati, ia ber-oh ria setelah memahami kalau sepertinya yang berhadapan dengannya saat ini adalah ibunya Damian.
Wanita itu bernama Deborah Dawson. Dia merupakan pemilik Salvation Florist yang sudah berdiri puluhan tahun di Brooklyn, New York. Saking sayangnya pada toko bunga miliknya itu, Deborah selalu ingin mengurus tokonya dengan tangannya sendiri.
Dari yang Ava perhatikan, Deborah terlihat jelas merupakan seorang sosialita atau berasal dari kalangan atas. Tak peduli putranya adalah seorang pemilik sekaligus CEO sebuah perusahaan besar, Deborah tetap berkutat di toko bunga kesayangannya itu.
Intinya, dia mengurus toko bunga bukan karena finansial, tetapi hitung-hitung mengisi waktu kosong dan tetap giat beraktivitas di usianya yang sudah berada di penghujung lima puluh tahun.
“Dia akan bekerja mulai hari ini,” kata Damian kemudian.
Deborah menoleh pada Ava yang sejak tadi berdiri diam, lalu bertanya, “Siapa namamu, Cantik?”
“Kau bisa memanggilku Ava, Nyonya,” jawab Ava sambil tersenyum.
“Oh, baiklah, Ava.”
Selepas itu, Damian berpamitan pada Deborah. Dia mengatakan bahwa dia masih ada rapat penting di kantornya, sehingga harus segera kembali. Deborah pun mengiyakan dan mempersilakan putranya itu untuk pergi.
Damian baru saja berjalan dua langkah, tetapi dia menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatap Ava.
Ada sedikit ketajaman dan suratan keraguan dari cara Damian menatap Ava. Dia merasa ragu, apakah wanita berambut pirang itu bisa dipercaya untuk bekerja di toko bunga milik ibunya?
“Bekerjalah dengan benar. Awas kalau kau sampai berani membuat masalah di sini,” ujar Damian, setelah itu langsung melanjutkan langkahnya.
Ava mencibir pelan setelah mendapatkan peringatan barusan. Memberi peringatan memang tidak salah, tetapi apakah harus pakai mengancam begitu?
“Maklumi saja. Putraku memang begitu,” kata Deborah sambil menatap Ava dengan tatapan lembut, seolah dia bisa memahami apa yang Ava pikirkan.
Ava yang tadinya cemberut dan merutuk kesal dalam hati pun buru-buru mengubah ekspresinya untuk tetap bersikap sopan pada Deborah.
“Tunggu di sini sebentar. Aku akan mengambilkan apron untukmu,” ujar Deborah seraya beranjak menuju lemari di belakang area kasir.
Ava pun tetap berdiri di tempatnya untuk menunggu Deborah. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat-lihat berbagai macam jenis bunga yang tertata rapi di seluruh penjuru toko.
Awalnya Ava ragu menerima tawaran Damian untuk bekerja di sini, karena ia merasa terlalu jomplang. Dari yang awalnya melamar menjadi karyawan perusahaan, mendadak malah ditawari bekerja di toko bunga. Akan tetapi, mengingat dirinya sangat membutuhkan pekerjaan agar punya pemasukan tetap, Ava pun mengatakan bahwa ia bersedia menerima pekerjaan yang Damian tawarkan.
Mau bagaimana lagi? Posisinya saat ini sangat tidak mendukung untuk memikirkan rasa gengsi. Pekerjaan apapun yang bisa ia lakukan, ya lakukan saja. Toh, dirinya seharusnya merasa bersyukur bisa dipekerjakan di toko bunga yang bagus ini.
“Ini, Ava. Pakailah.” Deborah sudah kembali ke hadapan Ava sambil membawakan sebuah apron berwarna pink.
Ava pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Dia meletakkan tasnya di atas meja terdekat, lalu memakai apron tersebut.
Ava mengenakan kemeja satin merah dan dilengkapi dengan rok hitam. Dan sekarang, pakaiannya itu dibalut dengan gaun apron khas penjaga toko bunga.
Apron tersebut memiliki panjang seatas lutut. Di bagian samping kanan dada pada apron berwarna pink tersebut terdapat gambar bunga daisy dan tulisan ‘Salvation Florist’ di bawahnya.
Ava sangat menyukai model dan warna apron itu. Alih-alih malu memakai seragam penjaga toko bunga, ia malah merasa semringah karena warna pinknya yang lucu.
“Maaf, Nyonya. Ini hari pertamaku dan aku belum tahu apa-apa. Jadi, bisakah aku minta bantuanmu untuk menjelaskan padaku hal-hal tentang toko ini dan apa saja yang harus aku lakukan?” tanya Ava dengan penuh kesopanan.
“Ya, tentu. Kemarilah.” Deborah melangkah menuju meja panjang yang ada di salah satu sisi toko yang lumayan luas itu.
Deborah mengajak Ava untuk mulai mempelajari hal-hal penting di dalam toko bunga tersebut. Dia turut memberitahu Ava daftar harga dari berbagai jenis bunga, tanaman hias, dan lain sebagainya.
“Di toko ini, tarif dari tiap rangkaian bunga memiliki harga yang berbeda-beda, tergantung dari jenis dan kualitas bunga, serta seberapa sulit proses rangkaian bunganya. Toko ini punya beberapa pekerja yang akan datang apabila ada pesanan rangkaian bunga khusus, seperti untuk pernikahan, dekorasi ruang pertemuan, dan lain sebagainya,” tutur Deborah.
Ava mendengarkan dan menyimak dengan baik, lalu manggut-manggut mendengar penjelasan Deborah.
“Omong-omong, siapa nama lengkapmu? Hanya Ava saja?” tanya Deborah.
“Tidak, Nyonya. Namaku Avana Veronica Eshter.”
“Wah, nama yang sangat cantik! Lihatlah, parasmu bahkan enak dilihat seperti bunga aster.” Deborah mengambil vas khusus bunga aster yang ada di dekatnya, lalu menunjukkannya pada Ava.
Ava pun terkekeh pelan dan jadi merasa tersipu karena dipuji begitu. “Nyonya bisa saja.”
“Sungguh, kau cantik sekali.”
“Terima kasih, Nyonya.”
“Bagaimana bisa Damian membawamu ke sini? Apakah sebelumnya kau sudah mengenal Damian?"
Ava terdiam sejenak. Tidak mungkin ia memberitahu kalau satu tahun lalu pernah terjadi insiden kecil antara dirinya dan Damian, kan? Tidak mungkin pula mengatakan soal kejadian dua malam yang lalu ketika ia terbangun di kamar apartemen Damian.
Lagipula ia pun bertemu dengan Damian karena ketidaksengajaan ketika tadi dirinya sedang menunggu giliran interview di MD Company.
"Apakah sebelumnya kau punya pengalaman bekerja di toko bunga juga?” Deborah kembali bertanya.
“Tidak. Aku ... tadinya melamar pekerjaan di MD Company, tapi tidak bisa diterima karena aku tidak memenuhi kriteria perusahaan. Lalu, tiba-tiba Damian menawarkanku untuk bekerja di toko bunga. Aku pun mengiyakan.”
“Benarkah?” Deborah menaikkan kedua alisnya yang sudah sedikit memutih. Ia merasa heran mendengar penjelasan Ava yang berkata bahwa Damian menawarkan bekerja di toko bunga, bahkan setelah menolak lamaran Ava di MD Company.
Deborah tahu bahwa putranya itu tidak sembarangan mempekerjakan orang. Bahkan selama bertahun-tahun Deborah menjaga toko bunganya sendirian, baru kali ini Damian membawakan orang yang ingin dipekerjakan di sini.
Ia pikir Damian berani menyuruh Ava bekerja di sini karena mungkin Ava sudah berpengalaman bekerja di toko bunga atau setidaknya tahu banyak hal tentang flora. Tapi ternyata, Ava tidak tahu apa-apa, seolah Damian mempekerjakannya di sini tanpa concern apapun.
“Well, aku harap kau betah bekerja di sini,” kata Deborah sambil tersenyum lembut pada Ava.
“Iya, Nyonya. Terima kasih.”
***
6. Desakan untuk Menikah
Ava memberikan buket mawar merah pada seorang pembeli yang menunggu di dekat meja kasir.
“Ini pesananmu, Nona,” ucap Ava.
Wanita yang tadinya sedang melihat-lihat bunga di rak hias pun menoleh pada Ava, lalu tersenyum dan menerima buket yang Ava berikan.
“Kau baru, ya? Aku selalu datang ke sini tiap akhir pekan, tapi tak pernah melihatmu sebelumnya,” kata wanita itu setelah menyerahkan dua lembar uang dua puluh dolar pada Ava.
“Iya, Nona. Ini adalah hari pertamaku bekerja di sini.”
“Oh, begitu rupanya. Ya sudah, aku permisi dulu, ya? Sudah hampir malam.”
“Baiklah. Selamat sore dan selamat datang kembali. Semoga harimu menyenangkan.”
Wanita itu tersenyum senang dan menepuk-nepuk bahu Ava sebagai tanda bahwa dia sangat mengapresiasi sapaan yang Ava lontarkan.
Setelah wanita itu pergi, Ava pun meletakkan uang yang dipegangnya ke dalam laci khusus di meja kasir.
Semua pekerjaan ini terasa jauh lebih mudah dan tidak sesulit perkiraan Ava. Meski ia belum bisa merangkai bunga dan membuat buket, tetapi menghadapi pelanggan sungguh menyenangkan.
Ava melangkah menuju meja panjang di dekat pintu masuk, di mana di sana terdapat sekumpulan tangkai mawar putih yang belum dimasukkan ke dalam vas. Saat ia sedang berkutat dengan mawar itu, pintu masuk terbuka.
“Selamat sore. Selamat datang di Salvation Florist,” sapa Ava sambil menoleh ke arah pintu masuk.
Ia baru saja akan menawarkan bantuan kalau-kalau orang yang datang itu menanyakan ketersediaan bunga. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika melihat kalau ternyata yang datang adalah Damian.
Damian menatapnya dengan tatapan yang dingin dan datar. Cukup lama dia terdiam di dekat pintu dan menatap Ava. Ava pun juga diam saja.
Di dalam toko bunga ini terdapat meja beserta kursi yang berhadapan. Letaknya ada di sisi ruangan, persis di samping jendela besar. Area itu bisa digunakan oleh pelanggan dan pengunjung toko bunga untuk bersantai sambil minum kopi kalau memang ingin singgah sebentar.
Saat ini Deborah ada di kursi itu. Hingga tak berselang lama, Damian pun beranjak menuju ke sana untuk menghampiri Deborah.
“Ibu, aku sangat sibuk. Bukankah aku sudah bilang padamu? Jangan meneleponku dan jangan menyuruhku untuk datang secara tiba-tiba. Tadi siang pun kita sudah bertemu ketika aku datang ke sini,” ucap Damian pada Deborah seraya mengambil posisi duduk di kursi yang berhadapan dengan ibunya tersebut.
Deborah hanya bisa menghela napas pelan mendengar ucapan Damian. Dari tiga anak laki-laki yang ia miliki, hanya Damianlah yang paling keras kepala, punya sikap yang begitu dingin dan agak ketus. Tapi meski begitu, Deborah tahu bahwa putra bungsu kesayangannya ini sebenarnya punya hati yang hangat pada orang-orang terdekat.
Jadi, Deborah sudah khatam dan terbiasa menghadapi sikap putra bungsunya itu.
“Ada apa? Mengapa sore-sore begini Ibu memintaku datang ke sini?” tanya Damian sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia terlihat lelah dan jenuh.
“Sudah menemukan wanita yang membuatmu tertarik?” Deborah malah balik bertanya.
“Hah?” Kening Damian berkerut dalam setelah dia mendengar pertanyaan sang ibu. Kerutan itu membuat kedua alis tebalnya hampir menyatu.
“Kau tidak lupa, kan? Sejak satu tahun yang lalu, Ibu memintamu menikah lagi, Nak.”
Ava masih berdiri di tempatnya dan berkutat pada mawar putih, merasa terperangah mendengar Deborah berkata ‘menikah lagi’, yang mana jelas artinya bahwa Damian sudah pernah menikah.
Ava tidak berniat menguping, tetapi karena jaraknya berada saat ini berdekatan dengan posisi mereka, tentu saja ia dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
Ava pun mencoba untuk tak menghiraukan. Ia mengangkat vas bunga untuk meletakkannya di rak yang ada di dekat meja kasir.
“Aku tidak tertarik untuk menikah lagi. Berhentilah membahas masalah ini. Aku jengah,” ucap Damian.
“Ibu sudah tua, Nak. Kita tidak tahu sampai kapan Ibu bisa bernapas. Ibu tidak mau mati dengan keadaan putra Ibu masih sendiri dan jadi duda seumur hidup.”
“Astaga ... kenapa malah mengungkit-ungkit mati? Jangan bicara begitu! Tidak baik, Ibu.” Damian mulai kesal karena memang tak pernah suka jika ibu tercintanya mengungkit-ungkit soal mati.
“Lagipula umurmu sudah 32 tahun, lho. Kau harus menikmati hidupmu dengan baik bersama pasangan yang tepat. Menikahlah lagi.”
“42 tahun atau bahkan 52 tahun, kalau aku belum menikah lagi pun juga tidak apa-apa. Aku akan hidup selama seratus tahun atau bahkan lebih.”
“Tetap saja itu jadi masalah. Seandainya kau memang bisa hidup seratus tahun lebih, lalu Ibu bagaimana? Ibu mungkin sudah mati dan tidak tenang di akhirat karena mengkhawatirkanmu.”
Damian memutar matanya dengan malas. Dia terlihat begitu ogah berada di tengah pembicaraan ini.
“Jangan menganggap sepele apa yang Ibu katakan, Nak. Umurmu sudah 32 tahun dan Lisa sudah berusia empat tahun. Anakmu itu membutuhkan Ibu dalam perjalanan tumbuh kembangnya,” kata Deborah.
Ava merasa ada angin yang mendadak masuk ke tenggorokannya. Ia langsung terbatuk-batuk dan hampir tersedak setelah mendengar Deborah menyebut usia Damian sekaligus mengatakan soal anak Damian.
Bukan apa-apa. Ava terkejut karena tak menyangka kalau Damian berusia 32 tahun. Dan yang membuatnya lebih terkejut adalah fakta bahwa Damian sudah punya anak. Paras tampan pria itu terlihat jauh lebih muda, seperti pria berusia di bawah tiga puluh tahunan.
Mana Ava sangka bahwa pria yang melewati kejadian intim dengannya satu tahun silam, serta pria yang ia cium di kelab beberapa hari lalu dalam kondisi mabuk, ternyata adalah seorang ayah?
Mendengar Ava terbatuk-batuk begitu, Damian dan Deborah pun langsung menoleh. Ava yang seketika jadi gugup pun kelabakan ditatap oleh dua orang tersebut.
Karena gugup, ia malah bertindak ceroboh dan tak sengaja tersandung kakinya sendiri selagi masih memegang vas.
Ava hampir saja jatuh ke lantai bersamaan dengan jatuhnya vas putih berukuran besar itu. Namun, Damian sudah bergerak lebih cepat dan langsung menahan tubuh Ava agar wanita itu tidak jatuh.
Dia juga berhasil menangkap vas bunga yang hampir Ava jatuhkan. Hanya tangkai mawarnya saja yang jadi berserakan di lantai.
Ava tercenung dengan posisinya yang saat ini berada dalam dekapan Damian. Kedua matanya beradu tatap dengan pria itu.
Dengan posisi tersebut, kembali teringat dalam benak Ava maupun Damian tentang kejadian satu tahun lalu ketika Ava berpura-pura menjadi wanita panggilan Damian.
Di mana saat itu, Ava be*cumbu intim dengan Damian dalam posisi setengah telanjang demi menyamar agar tidak ketahuan reporter dan wartawan.
Mengingat kejadian tersebut pun jelas membuat Ava jadi makin gugup bukan main, merasa malu ketika memikirkan kembali apa yang telah ia perbuat waktu itu.
Ava buru-buru menjauhkan diri dari Damian, lalu ia menundukkan kepala dan berkata, “Ma-maaf. Aku tidak sengaja.”
“Makanya hati-hati! Kalau vasnya pecah bagaimana?! Hari pertamamu bekerja di sini, kau sudah buat masalah. Bukankah tadi siang aku sudah memperingatimu?” tutur Damian dengan intonasi suara maskulinnya yang terdengar membentak.
“Sudahlah. Toh, vasnya tidak jatuh,” tegur Deborah.
“Tapi, Ibu—”
“Cukup, Nak. Biarkan saja.” Deborah memotong dengan suaranya yang begitu lembut.
Ava mencibir pelan setelah tadi dibentak oleh Damian. Padahal, Deborah yang merupakan pemilik toko bunga ini pun tidak mempermasalahkan apapun, tapi Damian bisa-bisanya segalak itu.
Memang benar Damian adalah anak dari pemilik toko dan merupakan orang yang mempekerjakan dirinya di toko ini, tapi baginya tidak perlu marah-marah sampai sebegitunya juga. Galak sekali.
***
7. Minta Ganti Rugi
“Ava.”
“Ya, Nyonya?”
Deborah muncul di dekat Ava dengan pakaian yang sangat rapi dan sudah memegang tas mahalnya. Dia tersenyum pada Ava seraya berkata, “Kau tutup toko, ya?”
“Eh? Tutup bagaimana, Nyonya? Aku belum tahu caranya.”
“Nah, justru karena belum tahu, kau harus belajar supaya tahu dan terbiasa. Cukup matikan semua lampu, tutup pintu, lalu kunci pintunya dengan kunci ini,” ucap Deborah seraya menyerahkan sebuah kunci kepada Ava, “jangan lupa pasang kunci ganda juga.”
Diberi perintah oleh sang pemilik toko, Ava pun tidak bisa membantah. “Ba-baiklah.”
Selepas itu, Deborah pun berpamitan pergi dan melangkah keluar dari Salvation Florist. Ava menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, bingung menatap kunci yang ia pegang.
Ava pun menghela napas panjang. Ini hari pertamanya bekerja di sini. Ia belum tahu banyak hal. Jelas merasa sangat terbebani apabila disuruh menutup toko tanpa didampingi. Tapi apa boleh buat? Laksanakan saja.
Sebenarnya, Deborah pun tidak tega membiarkan Ava menutup toko tanpa didampingi. Ia sengaja melakukan itu untuk mengetes apakah karyawan baru di tokonya adalah orang yang jujur atau tidak.
Kalau Ava yang menutup toko, maka Ava yang pulang paling belakang. Tidak ada siapa pun, sementara di tempat itu terdapat banyak vas bunga dan guci antik koleksi Deborah yang harganya sungguh selangit.
Tapi Ava tentunya tidak berniat macam-macam. Ia bukan orang seperti itu. Jadi, setelah menyimpan apronnya di lemari belakang meja kasir, Ava langsung melaksanakan arahan yang tadi Deborah berikan, yaitu mematikan seluruh lampu toko dan mengunci pintu dengan aman.
Ava mematikan lampu di dalam dan di teras toko. Setelah itu, ia keluar dari toko dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Awalnya Ava merasa bingung, ke mana kunci itu akan ia taruh? Apakah harus ia bawa pulang dan besok pagi ia harus datang pagi-pagi sekali sebelum Deborah datang?
Hingga ketika ia masih berada di tengah kebingungannya, sebuah suara mendadak muncul persis di belakangnya.
“Berikan kunci itu.”
Ava pun menoleh dan agak terkejut ketika mendapati seorang pria bertubuh jangkuk sudah berdiri di belakangnya entah sejak kapan.
“Berikan,” pinta Damian lagi sembari menadahkan tangan kanannya.
Ava tak membantah dan langsung memberikan kunci itu pada Damian. Ia memerhatikan Damian yang kini sedang memasukkan kunci tersebut ke dalam saku jas hitam yang dia kenakan.
Sebenarnya Damian sudah pergi dari toko sejak satu jam yang lalu setelah dia mengobrol dengan Deborah. Deborah pun juga sudah pergi sekitar dua puluh menit yang lalu setelah menyuruh Ava belajar menutup toko. Akan tetapi, Ava tidak tahu kalau ternyata Damian masih berada di sekitar sini.
Ava menghela napas pelan dan menatap Damian yang masih berdiri di hadapannya dengan kedua mata yang memicing.
“Kau harus ganti rugi,” kata Ava.
“Ganti rugi apanya?” Damian mengerutkan keningnya karena merasa heran mendengar Ava tiba-tiba bilang begitu.
“Gaunku. Kau tidak mungkin lupa, kan? Kau yang merobeknya satu tahun lalu.”
“Kau masih saja mengungkit-ungkit hal itu? Astaga ....”
“Harganya mahal, lho. Ayo, ganti!” desak Ava.
Damian menaikkan sebelah alisnya menatap wanita yang berdiri berhadapan dengannya itu.
Saat pertama kali bertemu Ava satu tahun lalu, ia sudah mendapatkan kesan pertama bahwa Ava adalah wanita yang sangat angkuh dan tidak sopan. Lalu, ketika Ava mendadak muncul untuk melamar pekerjaan di perusahaannya tadi siang, Ava berubah menjadi wanita yang sangat sopan dan santun. Begitu pula setelah seharian ini dia pertama kali bekerja di Salvation Florist.
Tapi sekarang, setelah jam kerjanya hari ini selesai, sifat aslinya yang tidak sopan itu pun akhirnya muncul juga.
“Benar-benar wanita bermuka dua,” desis Damian sambil memberikan tatapan sinis pada Ava, “kau mau bersikap sopan padaku hanya saat jam kerja?”
“Sekarang pun aku tetap bersikap sopan, kok. Aku kan menagih hakku. Kau harus mengganti gaunku yang kau robek.”
“Seharusnya kau berterima kasih padaku. Aku membantumu waktu itu.”
“Tapi tetap saja kau harus bertanggung jawab.”
“Memang berapa harganya?”
“Dua puluh ribu dolar.”
“Kau gila, ya?!”
“Tidak gila. Memang segitu harganya. Itu gaun keluaran terbaru dari Dior, lho.”
“Tapi kan itu sudah satu tahun yang lalu. Sekarang tentu bukan keluaran baru lagi. Tidak mungkin sekarang harganya masih sama seperti tahun lalu!”
Ava mendelikkan bahunya. “Tapi aku membelinya dengan harga segitu. Ayo, cepat ganti rugi.”
Damian berdecih pelan menatap Ava yang kini menengadahkan tangan kanannya. “Berani sekali kau memalak bosmu.”
“Kau pun sebenarnya bukan benar-benar bosku. Bosku di toko bunga ini adalah ibumu.” Ava mencibir.
“Ya ampun, kau benar-benar tidak punya sopan santun.” Damian berdecak beberapa kali sambil menatap Ava dengan tatapan tak habis pikir.
“Aku bersikap sopan, Bapak Damian. Sudah kukatakan, aku hanya ingin menagih hakku.”
Damian mendengus pelan. Ia tahu Ava menyebutnya seperti itu sebagai bentuk sindiran untuk mempertegas desakannya yang minta ganti rugi.
“Jangan aneh-aneh,” ketus Damian.
“Jadi, kau tidak mau ganti rugi?”
Damian terdiam sejenak. Uang dua puluh ribu dolar saja tidak ada apa-apanya bagi Damian. Ia bisa membayar detik ini juga, mengeluarkan cek dan menuliskan uang yang bernilai lumayan besar itu, atau pun menyeret Ava ke mesin ATM dan membuat wanita itu menyebutkan nomor rekeningnya agar ia mengirim uangnya secara langsung.
Akan tetapi, Damian tidak melakukan itu. Bukan tanpa alasan. Dua hari yang lalu ketika pagi-pagi Ava pergi dari apartemennya, ia sudah menyuruh asistennya untuk mencari segala informasi tentang Ava.
Dari informasi yang diberikan asistennya itulah Damian mengetahui bahwa Ava adalah mantan artis dan model yang telah bangkrut, kasarnya jatuh miskin. Semenjak menganggur, Ava mengalami kesulitan ekonomi dan harus mencari pekerjaan ke banyak tempat karena tak memiliki pemasukan.
Sementara itu, dua puluh ribu dolar adalah nominal yang tidak sedikit. Uang itu mungkin bisa digunakan untuk melanjutkan hidup dengan layak dan berleha-leha tanpa bekerja selama empat bulan penuh di New York.
Damian pun berpikir, apabila ia memberikan uang sebanyak itu pada Ava, maka kemungkinan besar Ava akan memilih untuk berhenti bekerja di Salvation Florist.
Damian tidak tahu apa yang salah dari dirinya, tapi ia sungguh tidak mau itu terjadi. Ia mau Ava tetap bekerja di toko bunga milik ibunya ini.
“Tidak mau,” ucap Damian, merespons pertanyaan Ava tadi.
"Tidak mau ganti rugi?" Ava mendelik tajam.
"Ya."
“Kau—”
Damian tak membiarkan Ava menyelesaikan kalimatnya. Dengan segala sikap dingin dan aura tajamnya yang begitu kental, Damian mencetus, “Untuk apa aku ganti rugi? Kau pun juga harus ganti rugi padaku karena kau mengganggu privasiku dengan cara lancang masuk ke kamarku malam itu. Kau bahkan juga sembarangan menciumku. Dan sekarang, seharusnya kau berterima kasih karena aku memberimu pekerjaan!”
Ava terdiam. Dia menghela napas pelan karena kebingungan harus bagaimana menyahuti argumen Damian barusan.
Kedua mata kelabunya masih memicing menatap Damian. Pria yang baru ia sadari wajahnya sering terpampang di majalah bisnis, tampaknya memang benar-benar tipikal pria penuh kuasa dan tidak bisa dilawan.
Beberapa saat kemudian, Damian berbalik dan melangkah menuju mobil mewahnya yang terparkir di samping trotoar, persis di depan Salvation Florist.
"Kalau saja aku punya uang, aku bisa menuntutmu." Ava menggerutu pelan selagi ia menatap kepergian Damian. Setelah itu, ia pun melangkah menyusuri trotoar untuk pergi menuju halte bus terdekat.
Ava pikir Damian sudah masuk ke mobilnya dan mungkin pula telah pergi. Ia juga tak mau ambil pusing dan terus melangkah karena ingin buru-buru pulang.
Tapi nyatanya, Damian belum pergi dan masih berdiri di dekat mobilnya. Kedua tangan Damian terkubur di saku celana. Wajah tampannya yang berstruktur tegas itu tak berekspresi ketika kedua matanya terpaku menatap punggung Ava yang menjauh di jalur trotoar.
Dari sekian banyak wanita yang ia kenal, hanya Avalah wanita yang berani mendebatinya dan berani bersikap tidak sopan padanya. Hal itu entah mengapa membuat Damian terdorong pada suatu rasa kesal sekaligus penasaran di waktu yang bersamaan.
***
8. Gadis Kecil
Wanita yang rambut pirangnya dicepol itu memegang pot kaktus berukuran kecil. Ia berniat membawanya menuju rak khusus tanaman kaktus yang ada di sudut ruangan.
Wajah rupawannya terlihat begitu manis dengan beberapa helai rambut yang menjuntai di kedua sisi wajahnya.
Ketika Ava masih fokus merapikan kaktus di rak itu, pintu masuk toko terbuka. Ia pun menoleh dan tersenyum pada seorang wanita berpakaian baby sitter yang datang bersama seorang gadis kecil. Sepertinya wanita itu adalah pengasuh sang gadis kecil.
Ava memberikan sapaan, lalu melangkah menghampiri wanita itu.
“Ada yang bisa aku bantu? Kau mmencari bunga seperti apa?” tanya Ava sambil tersenyum ramah.
Wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan. “Aku datang ke sini untuk menemani Nona Lisa berkunjung ke toko neneknya. Katanya ingin main.”
Ava pun beralih pada gadis kecil yang digandeng oleh wanita itu. Ia teringat kembali obrolan antara Deborah dan Damian yang ia dengar sekitar tiga hari yang lalu, di mana Deborah sempat menyebutkan nama ‘Lisa’ sebagai anak Damian.
Ava jelas langsung tersenyum dan menatap Lisa dengan tatapan yang sangat lembut. Ia membungkuk untuk mendekati gadis kecil berusia empat tahun itu yang kini memegang sebuah boneka beruang berwarna pink.
“Hai. Ternyata kau yang bernama Lisa, ya? Cantik sekali,” ucap Ava dengan suaranya yang terdengar begitu riang.
Lisa tampak malu-malu. Baru pertama kali bertemu Ava di toko bunga neneknya, dia masih merasa asing. Dia pun bersembunyi di belakang pengasuhnya dan hanya mengintip dengan satu mata untuk menatap Ava.
Ava tertawa pelan melihat tingkah Lisa. Ia memang tipikal wanita yang sangat menyukai anak kecil, mudah merasa gemas pada tingkah lucu mereka.
“Kau malu, ya? Aku hanya ingin menyapamu, Cantik,” ucap Ava sambil berjongkok di hadapan Lisa.
Lisa pun mengulum bibirnya. Dia menahan senyum dengan wajah imutnya yang kelihatan sangat tersipu. Wajahnya juga memerah.
Hingga tak lama kemudian, Deborah muncul dari arah meja kasir.
“NENEK!!” seru Lisa kegirangan.
“Hai, cucuku! Kenapa baru datang sekarang? Nenek sudah menunggumu berkunjung ke sini sejak minggu lalu,” sapa Deborah seraya memeluk Lisa dan mengusap rambut cokelatnya.
“Aku ingin ke supermarket dulu, Nyonya. Ingin membelikan susu kotak untuk Nona Lisa,” ujar pengasuh yang tadi datang Bersama Lisa.
Deborah pun tersenyum dan mengangguk pada pengasuh itu. “Silakan. Lisa biar di sini saja. Beli susu yang banyak. Cucuku suka susu cokelat. Ya, kan, Lisa?”
“Iya.” Lisa tersenyum girang.
Setelah berpamitan, pengasuh itu berbalik dan melangkah pergi.
"Lucu sekali,” gumam Ava sambil memerhatikan Lisa yang kini sangat bersemangat mengobrol dengan Deborah. Ava pun memilih untuk berkutat lagi pada pekerjaannya.
Hingga sekitar sepuluh menit kemudian, ketika Ava masih fokus pada kegiatannya untuk menyusun pot kaktus kecil di rak, Ava melihat Lisa berusaha menggapai tangkai bunga mawar dari vas khusus bunga yang dijual satuan. Namun, tangkai dari semua mawar di bunga itu belum dibersihkan karena memang baru dikirim ke toko ini setengah jam yang lalu.
Ava menoleh pada ke arah Deborah dan ia melihat wanita berusia lima puluh tahunan yang tubuhnya masih bugar itu sedang berjalan menuju toilet.
Ava pun menyadari bahwa Lisa sedang tidak dalam pengawasan. Ia tentunya merasa khawatir gadis kecil berusia empat tahun itu tertusuk duri tangkai mawar. Ia buru-buru menghampiri Lisa dan berjongkok di sampingnya.
“Kau mau bunga mawar?” tanya Ava sembari menggenggam pergelangan tangan kanan Lisa untuk menghentikan gadis kecil itu agar tidak menyentuh tangkai mawar.
Lisa mengangguk malu-malu.
Ava tersenyum lembut seraya mengusap puncak kepala gadis yang rambut cokelatnya dikuncir dua itu. Ia mengambil cutter lipat dari dalam saku apron pink yang ia kenakan. Mengantongi gunting dan cutter di dalam saku apron memudahkannya untuk bisa bekerja cepat merapikan bunga agar tidak perlu bolak-balik ke tempat penyimpanan alat.
“Mawar memang cantik, tapi juga bisa membuatmu sakit,” ucap Ava.
“Kenapa ... begitu?” Lisa menatap Ava dengan wajahnya yang masih terlihat takut dan malu.
Ava pun mengambil satu tangkai mawar, lalu ia menunjukkannya pada Lisa. “Lihatlah, ada sesuatu yang berbahaya di tangkai mawar. Ini sangat tajam. Jika kau menyentuhnya sebelum dibersihkan, kau bisa terluka dan kesakitan. Sekali tertusuk, aw! Langsung berdarah dan ... kau akan menangis.”
Ava mempraktekan dengan cara berpura-pura tertusuk duri mawar, lalu turut menunjukkan akting menangis untuk menggambarkan pemahaman yang jelas bagi Lisa.
Lisa pun tertawa. Dia tampaknya merasa tertarik pada bagaimana Ava memberi pemahaman dengan cara yang asyik begitu alih-alih menegur dengan kata-kata serius.
“Jadi, harus dibersihkan dulu. Tapi kau belum boleh membersihkannya sendiri. Kau tahu kenapa belum boleh?” ujar Ava sembari mulai memotong duri pada tangkai mawar menggunakan pisau cutter.
“Kenapa?”
“Karena membersihkannya harus pakai benda tajam, dan kau belum boleh memegang benda tajam. Apa kau mengerti?”
Lisa manggut-manggut menatap Ava.
Kemudian, Ava pun mengajak Lisa untuk mengobrol selagi ia menyiapkan mawar itu agar bisa dipegang dengan aman oleh Lisa.
Perlahan-lahan, Lisa yang awalnya malu-malu pun jadi sedikit lebih rileks bicara pada Ava. Meski tetap saja Lisa tak banyak bicara dan hanya tertawa ketika Ava melontarkan candaan kecil.
“Tante, mengapa mawar berduri? Mawar cantik dan harum. Bukankah keberadaan duri hanya mengganggu kecantikan mawar?” tanya Lisa beruntun.
Ava pun tersenyum. “Tiap tumbuhan, hewan, manusia, dan segala hal yang ada di bumi ini, diciptakan Tuhan dengan ciri khas masing-masing yang sebagian besar bertujuan untuk bertahan hidup.”
“Maksudnya? Aku tidak mengerti, Tante.”
“Duri yang dimiliki mawar adalah bentuk pertahanan diri bagi mawar. Kenapa begitu? Karena seperti yang tadi kau bilang, mawar harum dan cantik, makanya banyak serangga yang ingin mendekatinya untuk memakannya. Apabila ada duri, mawar akan aman, kan? Serangga tidak bisa sembarangan memakan mawar.”
Lisa ber-oh ria sambil manggut-manggut. “Sayang sekali. Padahal, mawar cantik. Duri hanya mengganggu dan merusak kecantikan mawar.”
“Segala sesuatu punya kekurangan.” Ava tersenyum pada Lisa. “Bahkan meski kau menganggap duri buruk untuk mawar, tapi sebenarnya duri adalah hal yang baik dan sangat berguna bagi mawar. Begitu juga dengan manusia yang pasti punya kekurangan dan kelebihan. Sesuatu yang dianggap orang lain kurang dari diri kita, kemungkinan sebenarnya adalah suatu kelebihan bagi diri kita sendiri. Kita hanya menilai sesuatu secara relatif sebelum mengetahui lebih dalam.”
“Oh ... begitu, ya?”
“Memangnya kau mengerti aku bilang apa?”
Lisa menunjukkan cengirannya, lalu menggeleng. “Tidak, Tante.”
Ava pun tertawa geli sambil mencubit pipi Lisa dengan gemas. “Omong-omong, jangan panggil aku ‘Tante’. Aku masih muda, lho. Kau membuatku merasa seperti sudah berumur tua. Panggil aku Ava saja. Oke?”
Lisa mengangguk patuh sambil tersenyum lebar.
Ava pun membalas dengan senyum riang. Selagi Lisa asyik memegang tangkai mawar yang tadi sudah ia bersihkan, ia menatap wajah imut gadis kecil bermata biru itu.
Ava merasa sangat penasaran, apakah Lisa piatu? Mengapa waktu itu ibunya Damian mendesak Damian untuk menikah ‘lagi’? Memang ke mana istrinya Damian?
Sementara itu, tanpa Ava sadari, Damian telah berdiri di luar pintu masuk Salvation Florist.
Damian memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan mematung di depan sana. Dia mengurungkan niatnya untuk masuk ke toko setelah ia melihat Lisa sedang asyik mengobrol dengan Ava.
Damian memang berada di luar, sementara Ava dan Lisa ada di dalam. Namun, suara mereka masih bisa terdengar olehnya.
Selama empat tahun membesarkan Lisa sendirian, Damian tidak pernah melihat Lisa tersenyum senang begitu. Bahkan mengangguk patuh pun Lisa tidak pernah. Gadis kecil itu selalu membantah dan sangat sulit dimengerti.
Dengan Deborah juga Lisa tidak pernah sampai seceria ini. Lisa sangat pendiam dan pemalu, sering enggan berinteraksi dengan orang baru. Dia hanya mau main dengan nenek dan ayahnya, serta bibi pengasuh di rumah.
Lisa juga tidak pernah merasa nyaman dan pasti akan menangis kalau ada orang baru yang menyentuhnya. Namun barusan, Damian melihat dengan jelas bagaimana Lisa malah menunjukkan cengirannya ketika pipi tembamnya dicubit pelan oleh Ava.
Damian pikir, mungkin Ava terbiasa menghadapi anak kecil, makanya Lisa merasa senang dan nyaman berinteraksi dengan Ava meski baru pertama kali bertemu.
Beberapa saat kemudian, Damian melihat Ava menyelipkan kelopak bunga daisy ke rambut dan telinga kiri Lisa. Lisa pun bergegas ke cermin yang ada di sisi ruangan toko, lalu dia tersenyum lebar dan tertawa girang ketika menatap wajahnya sendiri di cermin.
Damian ikut tersenyum melihat putri kecilnya tersenyum begitu. Menggemaskan sekali.
Lisa memang sering datang ke Salvation Florist untuk sekadar bermain selepas pulang sekolah, pun juga untuk mengunjungi neneknya. Dia akan dibawa pulang ke rumah oleh pengasuh pada pukul empat atau lima sore sebelum jam makan malam.
“AYAH!!” pekik Lisa ketika akhirnya dia melihat keberadaan Damian di luar pintu.
Baik Ava yang sejak tadi menemani Lisa maupun Deborah yang baru keluar dari toilet, langsung menoleh untuk melihat Damian.
Damian pun tersenyum dan melangkah memasuki toko. Ketika ia menghampiri Lisa, ada dua wanita pengunjung toko yang masuk.
Mereka mendatangi rangkaian bunga yang terpajang di sudut ruangan. Akan tetapi, langkah mereka terhenti ketika mereka menatap Ava yang sedang berada di dekat Lisa.
“Bukankah itu Avana Eshter? Kau ingat, kan? Prostitut Las Vegas dan pengguna narkoba.”
“Tentu saja aku ingat. Sedang apa dia di sini?”
Kedua wanita itu mulai bicara dengan suara yang terdengar jelas oleh Ava. Mereka menatap Ava dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu mencetus, “Dia bekerja di sini?”
“Aku sering berkunjung ke toko ini untuk membeli penyubur tanaman hias. Tapi kalau tahu ada wanita itu di sini, aku tidak akan datang.”
“Benar. Kau tahu, kan? Besok rekan kantor suamiku akan berkunjung ke rumah. Sekarang aku berniat membayar jasa toko bunga ini untuk merangkai bunga di ruang tamuku. Haruskah kita pergi sekarang?”
“Itu jauh lebih baik. Ayo! Di 72nd Street ada toko bunga yang bagus juga.”
Ava mematung di tempatnya ketika mendengar semua pembicaraan dua wanita tersebut. Ia juga makin membisu dan tercenung kala dua wanita itu benar-benar keluar, pergi meninggalkan toko.
Damian yang baru datang dan tadi berniat mendatangi putri kecilnya pun langsung menatap Ava. Entah penglihatannya yang salah atau memang benar, tapi ia melihat mata Ava memerah dan sangat berair, seperti ingin menangis.
***
9. Tersebarnya Berita Baru
Ava menatap layar ponselnya dan tercenung ketika memandangi beberapa badan judul dari sejumlah artikel berita yang menyebut namanya.
‘Avana Eshter, mantan model besutan brand ternama CHANEL, kini bekerja di salah satu toko bunga di Brooklyn.’
‘Beginilah nasib model cantik yang tersandung skandal prostitut di Las Vegas satu tahun lalu.’
‘Tak lagi diterima di industri hiburan, Avana bangkrut dan kini bekerja sebagai penjaga toko bunga.’
Begitulah beberapa judul yang Ava lihat di internet. Semua ini dimulai dari kedatangan dua pengunjung yang tempo hari menggunjing Ava.
Memang semuanya fakta, Ava tak akan mengelak. Namun, pengolahan diksi pada judul artikel yang ia lihat di internet membuat nya sedikit merasa terpuruk dan sesak.
Dan lagi, sejak satu jam yang lalu, Ava melihat ada beberapa wartawan yang bolak-balik di depan Salvation Florist. Mereka curi-curi kesempatan untuk memotret Ava selagi ia sedang merapikan beberapa vas bunga yang dipajang di luar.
Ava berupaya untuk tak menghiraukan. Persetan. Ia hanya ingin bekerja dan dapat uang.
Tapi masalahnya, empat hari berlalu semenjak nama Ava kembali digunjingi oleh media karena orang-orang mulai tahu dirinya bekerja di toko bunga, berhasil membuat Salvation Florist jadi sangat sepi pengunjung.
Sebelumnya toko bunga milik Deborah Dawson ini sangatlah ramai. Dalam sehari bahkan bisa ada sepuluh hingga lima belas orang yang memesan rangkaian bunga khusus dengan tarif yang tentunya mahal. Tapi sejak empat hari lalu setelah kedatangan dua wanita yang menggosipi Ava, tak ada satu pun pembeli yang memesan rangkaian bunga.
Sepanjang hari hanya ada dua atau tiga pengunjung saja. Itu pun juga orang yang sudah langganan selama bertahun-tahun dan dua diantaranya adalah lansia kaya raya yang jatuh cinta dengan hasil rangkaian Deborah.
“Ava!"
“Iya, Nyonya?” Ava menyahut seraya buru-buru memasukkan ponselnya ke saku apron pink yang ia kenakan.
“Kemarilah, bantu aku merapikan ini.”
Ava melihat Deborah sedang menyusun bunga mawar dengan berbagai warna yang ada di meja tengah ruangan. Ava pun bergegas menghampiri Deborah.
“Pisahkan yang merah dan yang pink,” kata Deborah.
“Baik, Nyonya.” Ava mengangguk patuh.
Mereka berdua pun mulai berkutat memisah-misahkan mawar ke vas tergantung pada warnanya. Ava meminta Deborah untuk tak perlu melakukan banyak hal, biar dirinya saja yang menyelesaikan. Deborah menanggapi ucapan Ava tersebut dengan senyum lembut.
“Nyonya, tidakkah menurutmu toko ini jadi sangat sepi sejak empat hari yang lalu?” tanya Ava.
“Iya, benar,” jawab Deborah.
“Kau ... tahu apa yang mengakibatkan hal ini terjadi?”
Deborah tersenyum pada Ava dan mengangguk. Dia menunjuk ke arah luar jendela toko, lalu berkata, “Karena mereka, kan?”
Ava pun mengikuti arah yang Deborah tunjuk. Di luar sana, persis di seberang Salvation Florist, terdapat seorang pembawa kamera yang sedang memotret toko. Ada pula beberapa orang yang melintas sambil menyempatkan diri memotret dengan ponsel.
Ava terdiam.Tangan kanannya memegang tangkai mawar merah, kemudian dengan kepala yang tertunduk, ia berkata, “Maaf, Nyonya. Ini terjadi karena keberadaanku di sini.”
“Lho? Kenapa minta maaf? Kau di sini kan untuk bekerja.”
Ava bergeming.
“Tidak perlu minta maaf. Lagipula sepi pun tidak masalah. Toh, minggu depan juga akan ramai lagi. Teman-temanku dari Washington DC akan memasan rangkaian bunga untuk Thanksgiving Day.”
Ava tak menyangka kalau ternyata Deborah sungguh adalah wanita yang sangat lemah lembut dan begitu baik. Padahal ia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau akan dipecat dari toko bunga ini karena dirinya yang menyebabkan toko ini sepi. Namun, alih-alih hal itu terjadi, Deborah malah menenangkannya.
“Omong-omong, aku baru tahu kalau kau dulunya adalah seorang artis,” kata Deborah kemudian selagi dirinya dan Ava melanjutkan merapikan mawar.
“Iya, Nyonya.”
“Kemarin aku membaca artikel tentangmu di internet. Pantas saja kau secantik ini. Ternyata kau adalah artis dan model yang sangat hebat.”
“Mantan, Nyonya. Mantan artis dan model. Sekarang sudah tidak. Saat kau membaca artikel itu, kau pasti membaca hal-hal buruk yang dituliskan juga, kan?”
Deborah tersenyum hangat. Dia menghentikan sejenak aktivitasnya dan mengusap-usap bahu kanan Ava. “Pasti sulit bagimu menjalani kehidupan baru seperti ini, ya?”
Ava hanya merespons dengan senyuman.
Saat mereka masih fokus mengurus bunga mawar, pintu toko terbuka.
Ava pun menoleh ke arah pintu dan langsung memberi sapaan terhadap seorang pria yang baru saja datang.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Ava sambil tersenyum ramah. Ia juga semringah, merasa senang karena ada pengunjung yang datang setelah seharian ini toko sepi pengunjung.
“Hai, Gio!” sapa Deborah sebelum pria itu sempat menjawab pertanyaan Ava.
Pria yang Deborah sebut Gio itu pun tersenyum. “Hai, Ibu.”
Giofano Albert Smith atau yang akrab disapa Gio adalah sahabat dekat Damian. Dia telah mengenal Damian sejak masih di bangku sekolah. Mereka tetap berteman bahkan meski Gio sempat pindah ke Swiss lima tahun lalu.
Saking dekatnya dengan Damian, Gio yang yatim piatu pun sudah menganggap Deborah seperti ibunya sendiri. Maka dari itu, dia memanggil Deborah dengan sebutan ‘Ibu’, karena memang lebih nyaman memanggil begitu ketimbang dengan sebutan Nyonya Dawson.
Pekerjaan Gio sebagai seorang pengusaha dan bankir investasi yang sangat sukses membuatnya sering bepergian ke luar negeri. Ini pun Gio baru saja kembali ke New York setelah singgah di Portland selama dua minggu.
“Ada apa gerangan kau mendadak muncul di sini?” tanya Deborah.
“Kenapa masih bertanya, Ibu? Tentu saja ingin beli bunga,” jawab Gio.
Deborah tersenyum penuh arti sembari mencubit pelan lengan kanan Gio. “Wohoo ... romannya tercium kau akan berkencan malam ini, ya?”
“Nah, itu Ibu paham.” Gio terkekeh pelan.
“Baiklah. Akan kubuatkan buket mawar terbaik untukmu. Omong-omong, kencan buta lagi?” Deborah berjalan menuju lemari perlengkapan yang ada di sudut ruangan, lalu mengambil bahan untuk menyiapkan buket.
“Tidak. Kali ini aku akan bertemu dengan wanita yang sudah aku kenal sebelumnya.”
“Benarkah? Apakah dia cantik?”
“Hm ... lumayan. Tapi daripada kecantikannya, aku lebih tertarik pada public speakingnya. Aku bertemu dengannya di seminar saham dua tahun lalu, saat itu dia pembicara pada seminar tersebut.”
“Apa pekerjaannya?”
“Model kosmetik wanita. Dia juga trader saham.”
“Wah, wanita kepala cuan berarti, ya?” gurau Deborah, “Baguslah kalau begitu. Lebih terjamin untukmu jika pergi berkencan dengan wanita yang sudah kau kenal agar bisa mengenal lebih dekat. Ketimbang kencan buta, biasanya kau tidak akan berkomunikasi lebih dari satu minggu setelah kencan buta.”
Gio terkekeh. “Ibu memang sangat mengenalku.”
Deborah menghela napas panjang. “Ya, memang. Aku jauh lebih mengenalmu daripada mengenal Damian, padahal dia adalah anakku sendiri. Dia terlalu sulit ditebak.”
“Well, tidak heran bagiku jika kau bilang begitu. Damian memang tak pernah berubah.”
“Begitulah. Umur kalian sama-sama sudah kepala tiga, tapi urusan asmara tampaknya dia memang selalu gagal. Berbeda dengan dirimu yang kalau gagal tetap mau usaha. Boro-boro mengencani wanita yang dia kenal, kencan buta pun Damian ogah. Entah harus bagaimana aku bicara padanya agar dia mau segera menikah lagi.”
Gio tersenyum pada Deborah yang kini fokus menata buket mawar pesanannya.
“Apa putraku sungguh tidak mau mengenal wanita lagi?” gumam Deborah.
“Bukan tidak mau mengenal wanita, Ibu. Damian mengenal banyak wanita dan para wanita itu pun selalu mengejar-ngejarnya. Namun, dia hanya belum bisa membuka hati lagi.”
Deborah menghela napas panjang.
Selagi Deborah dan Gio mengobrol, Ava yang sejak tadi berada di dekat Deborah memilih untuk menjauh sedikit dan mengerjakan pekerjaan yang lain. Ia khawatir keberadaannya membuat mereka jadi tidak nyaman mengobrol.
Meski menjauh pun Ava tetap bisa mendengar pembicaraan mereka. Namun, ia sama sekali tidak berniat menguping. Mereka berada di satu ruangan, jadi tentu ia bisa mendengar.
Ia sungguh merasa penasaran, siapa sebenarnya sosok Damian itu? Parasnya sama sekali tak menunjukkan kalau dia ternyata adalah seorang ayah beranak satu. Lalu, mana istrinya?
Selagi buket pesanannya masih disiapkan oleh Deborah, Gio pun melihat-lihat tanaman hias yang ada di dekat patung hiasan di sudut toko.
Pandangannya tertuju pada Ava yang kini sedang meletakkan salah satu vas khusus mawar putih di atas meja yang berdekatan dengan area tanaman hias.
“Kau baru, ya? Aku tidak pernah melihatmu di sini sebelumnya,” kata Gio pada Ava.
Ava pun menoleh pada Gio, lalu tersenyum simpul. “Iya.”
“Oh.” Pria berparas sedikit campuran Timur Tengah itu manggut-manggut. “Wajahmu terlihat tidak asing. Aku seperti pernah melihatmu.”
Belum sempat Ava menyahut, Deborah datang sambil membawa buket mawar yang Gio pesan. Lalu, Deborah berkata pada Gio, “Dia Avana Eshter. Dulunya dia adalah seorang artis dan model. Kau merasa tidak asing mungkin karena kau pernah melihatnya di televisi.”
“Ah, begitu rupanya ...,” Gio menatap Ava dan tersenyum.
“Ini buketmu. Aku buatkan yang paling cantik agar teman kencanmu makin terpincut padamu,” kata Deborah pada Gio.
Gio pun menerima bunga itu dan berkali-kali memuji hasil tangan Deborah. Kemudian, dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya untuk diberikan pada ibu dari sahabatnya itu.
“Kalau begitu, aku pergi dulu, ya?” Gio berpamitan.
Deborah pun mengangguk. “Hati-hati di jalan. Semoga kencan yang kali ini akan berhasil.”
Gio pun terkekeh pelan. Dia berniat untuk melangkah menuju pintu, tetapi ia sempat terpaku sejenak menatap Ava. Sementara Ava yang ditatap pun melontarkan senyum ramah.
“Senang bertemu denganmu,” ucap Gio pada Ava sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi.
***
10. Persimpangan
Ava memandang ke luar jendela Salvation Florist. Ia sudah tak melihat ada segelintir awak media lagi di sana.
Sudah ia duga, ini tidak akan berlangsung lama. Maksudnya, mereka hanya diam-diam cari informasi sebentar saja untuk menaikkan berita. Setelah beritanya mulai redup, mereka akan berhenti sendiri. Toh, Ava juga sudah tak menarik lagi untuk dibahas terlalu lama oleh kalangan masyarakat.
Sudah lewat lima hari semenjak namanya diberitakan bekerja di toko bunga ini. Akibat dari berita-berita tersebut, Salvation Florist sepi selama berhari-hari.
Sebegitu rusaknya nama Ava dalam kehidupan sosial. Selain tidak bisa diterima lagi di industri hiburan, Ava juga mendapat kecaman besar dari lingkungan masyarakat, dan bahkan keberadaannya di Salvation Florist pun membuat toko bunga ini jadi kena imbas juga.
“Oh ayolah, bisakah Ibu berhenti membahas itu?” cetus suara seorang pria yang terdengar kesal.
“Tidak bisa. Tidak bisa sampai kau mau memikirkan dengan serius apa yang Ibu ucapkan."
“Astaga ....”
“Gio sudah kembali ke New York. Temuilah dia dan minta bantuannya untuk mencarikanmu teman kencan. Dia mungkin punya kenalan menarik dari Portland. Atau kalau kau mau, Ibu akan mengenalkanmu pada anak teman Ibu dari Honduras.”
“Ini pemaksaan. Aku sudah dewasa, Ibu. Memaksa anak untuk melakukan sesuatu adalah hal yang salah. Ibu keterlaluan. Ibu bukan orang tua yang baik.”
Deborah melotot mendengar kalimat terakhir yang Damian ucapkan barusan. Dia menghela napas keras dan langsung mencubit perut putra bungsunya itu.
“Tarik ucapanmu, Nak. Berdosa kau bilang begitu pada Ibu sendiri. Nanti kalau Ibu sudah meninggal, kau akan menyesal.”
Damian bersungut-sungut dan tidak berani menjawab. Bahkan meski sosoknya terlihat begitu keras dan tegas, tetapi kalau sudah dihardik oleh Deborah, Damian tak lebih dari seorang bocah sepuluh tahun yang akan kapok dimarahi ibunya.
Ava yang mendengar perdebatan ibu dan anak itu pun memilih untuk menyibukkan diri dengan kain yang ia gunakan untuk membersihkan jendela toko.
“Aku pergi dulu. Jangan meneleponku dan jangan memintaku datang ke sini kalau hanya untuk membahas hal itu lagi. Aku sibuk, Ibu,” ucap Damian seraya berjalan menuju pintu toko.
Deborah geleng-geleng kepala dan menghela napas sabar menatap putra bungsunya. “Kalau kau tidak mau datang ke sini, maka Ibu yang akan datang ke rumahmu untuk membahas hal serupa. Kau tetap harus menikah, Nak. Kau—”
“Love you, Mom. Bye!” potong Damian seraya melenggang pergi karena enggan mendengar ocehan sang ibu lagi.
“Astaga, anak itu ....”
Ava terdiam menatap Damian yang sedang membuka pintu. Ia merasa sangat penasaran, sebenarnya pria itu kenapa? Apa yang terjadi pada istrinya Damian? Mengapa sampai sebegitu kerasnya menolak disuruh menikah lagi?
Ava pun memejamkan mata dan menggeleng pelan untuk memperingati dirinya sendiri bahwa itu bukanlah urusannya. Ia hanya merasa tak habis pikir, sebab tiap kali datang ke toko bunga ini, pasti yang diperdebatkan oleh Damian dengan Deborah tak jauh-jauh dari soal menikah.
“Ava, bisakah kau mengantarkan bunga hyacinth ini ke restoran Italia di persimpangan jalan?” ujar Deborah tiba-tiba.
Ava pun langsung menoleh dan melihat Deborah menghampirinya sambil membawa sebuah pot berukuran sedang.
“Temanku memesan ini untuk meja kasir di restorannya. Jack yang biasa mengantar bunga, tapi dia sedang sakit dan tidak bisa datang hari ini. Kau bisa, kan? Jaraknya tidak jauh, kok. Kalau kau mau jalan kaki, paling tidak hanya butuh waktu sepuluh menit saja dari sini. Atau kau bisa pakai sepeda di depan.”
“Bisa, Nyonya. Aku jalan kaki saja,” jawab Ava seraya mengambil pot bunga tersebut dari tangan Deborah.
Jalan kaki bukanlah hal yang disukai Ava, tetapi ia tak punya pilihan lain karena ia sama sekali tidak bisa naik sepeda.
“Setelah kau memberikan bunga ini, jangan lupa minta bayarannya. 27 dolar. Mengerti?”
Ava tersenyum dan mengangguk patuh. “Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu.”
Ava tetap memakai apron untuk identitasnya sebagai pekerja dari Salvation Florist. Kemudian sembari membawa pot bunga hyacinth yang tadi diberikan Deborah, ia pun keluar dari toko untuk segera bergegas ke restoran Italia di persimpangan jalan.
Ava melihat Damian masih berdiri di depan toko dan sedang sibuk menggunakan ponsel. Ketika melihat kemunculan Ava, pria itu melirik sekilas seraya langsung melangkah pergi menuju mobilnya yang terparkir di seberang halaman toko.
Ava pun mendapatkan ide cemerlang. Agar tak perlu buang-buang tenaga jalan kaki sambil bawa pot bunga, ia ingin menumpang saja pada Damian. Lancang memang dan kemungkinan besar ia akan ditolak mentah-mentah, tapi siapa tahu, kan? Toh, Damian sepertinya akan pergi ke arah yang sama menuju persimpangan.
“Damian!” panggil Ava sambil melangkah cepat mengekor pria jangkung itu.
Damian menoleh ke belakang dan menatap Ava dengan tatapan dingin. “Apa?”
“Kau mau ke arah sana, kan? Aku ingin mengantar bunga, tapi tidak bisa naik sepeda. Aku menumpang di mobilmu, ya? Hanya sampai restoran Italia di persimpangan jalan, kok. Dekat, kan? Tidak sampai lima menit kalau pakai mobil.” Ava tersenyum lebar sambil menatap Damian penuh harap.
Damian diam selama beberapa saat. Terlihat adanya sedikit kerutan yang tercipta di keningnya ketika dia masih memancarkan tatapan dinginnya pada Ava.
“Tidak,” jawab Damian kemudian sembari melenggang pergi.
Ava pun menghentikan langkahnya dan mencibir pelan. “Pelit sekali.”
Ava menghela napas panjang. Ia sudah menduga akan ditolak mentah-mentah oleh pria berjas hitam mahal itu. Lagipula Ava rasa dirinya sendiri sudah hilang akal, bisa-bisanya punya pikiran ingin menumpang pada pria itu. Tak apalah jika terpaksa harus jalan kaki.
Ava berjalan menyusuri trotoar sambil memegang bunga hyacinth di tangannya. Kedua matanya fokus memerhatikan jalan di depannya, tetapi sesekali ia juga senang menatap bunga berwarna-warni yang ia pegang.
Ava tak pernah benar-benar suka pada bunga. Tak ada satu pun jenis bunga yang menjadi favoritnya secara spesifik. Tapi kalau ditanya bunga apa yang menurutnya paling enak dilihat, ia akan menjawab hyacinth dan bunga lily.
Saat Ava masih terus melangkah, tiba-tiba terdengar suara klakson yang dibunyikan berkali-kali dari mobil yang entah sejak kapan melaju lambat di sebelahnya.
Ava pun terkejut dan langsung menoleh. Ia mendapati Porsche hitam bertengger di sana. Salah satu kaca depan mobil itu terbuka dan ia bisa melihat kalau pengemudinya adalah Damian.
“Cepat masuk!” titah Damian.
“Bukankah tadi kau menolak memberikan tumpangan untukku?” tanya Ava keheranan.
Pria yang mengenakan dasi abu-abu bergaris itu berdecak pelan, lalu menatap Ava dengan tatapan sinis. “Kau mau atau tidak? Kalau tidak, aku pergi sekarang.”
“Eh, mau!” sahut Ava. Ia buru-buru membuka pintu depan mobil Damian, lalu duduk di kursi yang bersebelahan dengan pria itu dan menutup pintu.
“Siapa yang menyuruhmu duduk di depan?” Damian bertanya ketus sambil mengernyit sinis menatap Ava.
Ava pun menoleh ke kursi belakang. “Oh? Harusnya aku duduk di belakang, ya? Ah, maaf. Baiklah, aku akan pindah sekarang.”
Damian menghela napas. Dia mengunci seluruh pintu mobilnya, sehingga ketika Ava ingin beranjak pindah ke kursi belakang, ia jadi tidak bisa membuka pintu.
“Tidak usah pindah. Kelamaan,” ucap Damian datar. Kemudian, dia mulai melajukan mobilnya.
Ava pun tersenyum girang karena bisa menghemat tenaga. Tak perlu jalan jauh-jauh sampai ke tempat tujuannya.
Dulu, Ava juga punya Porsche seperti milik Damian ini. Bedanya, punya Damian yang sedang ia tumpangi sekarang adalah produksi paling terbaru.
Semua mobil mewah yang Ava miliki telah dijual sejak satu tahun silam demi menutupi biaya ganti rugi yang harus ia bayarkan kepada beberapa brand fashion yang terdampak oleh skandalnya. Tertera dalam kontrak kerja sama bahwa Ava harus membayar sejumlah uang apabila terjadi masalah. Dan beginilah akhirnya, Ava sungguh bangkrut dan mobil pun tidak punya sama sekali.
Perkiraan Ava, mobil Damian akan sampai di persimpangan hanya dengan waktu kurang dari lima menit. Tapi ternyata perkiraannya salah. Jalur menuju persimpangan macet parah. Ada truk besar yang mogok di depan sana, sehingga terjadi macet panjang hingga titik mobil Damian berada saat ini.
“Sepertinya lebih baik aku jalan kaki saja. Dari sini ke persimpangan sudah tak terlalu jauh,” kata Ava kemudian.
Damian tak menjawab. Siku tangan kiri pria itu menempel pada jendela mobil dan dia sibuk menatap lurus ke depan tanpa peduli Ava bilang apa.
Ava ingin langsung turun saja, tapi pintu mobil itu malah dikunci secara otomatis oleh Damian dan ia tak bisa membukanya.
“Aku jalan kaki saja. Bisakah kau membuka pintunya?” ucap Ava.
“Tidak. Tetaplah di sini,” sahut Damian.
“Sepertinya macetnya akan lama. Khawatir yang memesan bunga sudah menunggu. Lagipula aku hanya perlu berjalan sedikit saja sampai tiba di sana. Tolong bukakan pintunya.”
“Diamlah. Kenapa kau cerewet sekali?” ketus Damian.
Ava menghela napas pelan dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki. Tadi Damian menolak permintaannya untuk menumpang, lalu tiba-tiba saja pria itu muncul dan memberikan tumpangan padanya. Sekarang ketika ia bilang ingin jalan kaki saja, malah tak diperbolehkan. Aneh.
Hingga beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja Damian mendekat ke arah Ava. Ava merasa terperangah, pasalnya kini wajah pria itu berada tepat di depan wajahnya.
“K-kau sedang apa?” Ava jadi gugup dan langsung merapatkan punggungnya pada sandaran kursi.
Damian menatap Ava dengan kedua mata birunya yang menyorot tajam. Tangan kanannya terjulur ke bagian bawah pintu di samping Ava, dan hal itu memang membuat posisi tubuhnya dengan Ava jadi sangat rapat seperti hampir berciuman.
Damian makin mendekatkan wajahnya pada wajah Ava, dan itu membuat Ava jadi tambah gugup dan mendadak saja mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Ingin mendorong Damian atau menampar pria itu pun juga tidak bisa.
Ia memejamkan kedua matanya, sungguhan berpikir kalau Damian akan menciumnya. Jarak wajah mereka saat ini hanya terpaut setengah sentimeter saja. Sangat dekat sampai Ava bisa merasakan hembusan napas dari hidung Damian.
Ava juga bisa menghirup aroma parfum mahal yang sangat maskulin dari tubuh Damian. Jika Ava tebak, harum mengagumkan ini adalah parfum merek Clive Christian yang harganya sungguh selangit.
Melihat Ava memejamkan matanya seperti itu, Damian tersenyum miring.
Ava sudah terdiam selama hampir satu menit, tetapi ia sama sekali tak merasakan ada sesuatu yang menempel di bibirnya. Karena itulah, ia pun membuka kedua mata secara perlahan dan mendapati kalau ternyata posisinya dengan Damian masih persis seperti tadi.
Damian mengambil sesuatu dari bagian bawah pintu di samping Ava, dan rupanya yang dia ambil itu adalah sebuah kotak berisi nikotin tempel.
“Kau pikir aku akan menciummu?” Damian menyeringai sinis sambil mengacungkan benda yang ia pegang, "aku hanya ingin mengambil ini."
Ava pun mengerjapkan kedua matanya beberapa kali dengan kedua pipinya yang langsung terasa panas. Ava yakin beribu yakin, saat ini wajahnya sudah memerah bak udang rebus perkara tersipu malu.
Dan memang benar, Damian bisa melihat dengan jelas bagaimana kedua pipi mulus Ava tampak merona. Kulit Ava sangat putih bak susu, sehingga warna merona itu bisa kelihatan jelas.
“Kau lucu sekali,” ujar Damian sambil tertawa pelan seraya menjauhkan dirinya dari Ava, lalu kembali duduk apik di kursi kemudi.
Ava terdiam. Alih-alih memikirkan kejadian barusan, ia malah terfokus pada wajah Damian yang sedang tertawa.
Semenjak ia dipekerjakan di Salvation Florist, ia selalu bertemu Damian karena Deborah memang seringkali meminta Damian berkunjung ke sana. Wajah Damian selalu datar, dingin, dan begitu penuh dengan aura mencekam. Hanya ketika ada Lisa saja pria itu mau tersenyum hangat dan lembut, karena Lisa adalah putrinya. Itu pun juga hanya tersenyum dan Ava baru pernah melihatnya sekali ketika waktu itu Lisa berkunjung ke toko.
Tapi kali ini, Damian tertawa. Bukan tawa paksa atau apapun itu. Dan sungguh, Ava tak bisa mengelak dari fakta bahwa wajah Damian terlihat sangat tampan dan mengagumkan ketika sedang tertawa.
***
11. Dikejar Penagih
Mobil yang Damian kendarai akhirnya melipir ke samping trotoar, persis di depan bangunan restoran Italia yang ada di persimpangan jalan.
“Terima kasih tumpangannya.” Tanpa menunggu respons dari Damian, Ava membuka pintu mobil dan langsung bergegas turun sambil membawa pot hyacinth yang harus ia antarkan.
Ia melangkah masuk ke restoran dan mendatangi meja kasir. Setelah memberikan pot tersebut, lalu ia menerima uang 27 dolar sesuai dengan yang disebutkan Deborah, ia pun keluar lagi dari restoran itu dan berniat langsung kembali ke toko bunga.
Ava pikir Damian sudah pergi, tetapi ia melihat mobil mewah pria itu masih terparkir di depan restoran.
Ava mengira kalau Damian menunggunya. Ia pun mengetuk pelan kaca jendela mobil Damian. Setelah Damian menurunkan kaca mobilnya, ia langsung beradu tatap dengan pria itu.
“Apa kau menungguku? Aku hanya menumpang sampai sini saja, kok. Aku bisa kembali ke toko dengan jalan kaki,” ucap Ava.
“Apa kau bilang? Aku menunggumu? Kenapa kau percaya diri sekali?” sahut Damian sambil mengerutkan kening. Dia mengacungkan ponselnya yang kini menampakkan bahwa dia sedang menelepon.
“Oh, begitu. Tidak usah mengomel. Aku kan hanya mengantisipasi saja.” Ava merasa malu sebenarnya karena salah perkiraan, tetapi ia juga merasa agak sebal pada betapa ketusnya pria itu.
Ava pun memilih untuk langsung beranjak pergi dari tempat itu.
Sore sudah makin menyingsing, matahari kian meredup dan makin tak terlihat di langit yang sudah berwarna jingga kemerahan. Lampu-lampu di sepanjang jalan pun juga telah menyala, menambah penerangan di sepanjang jalan 23rd Street Brooklyn.
Pejalan kaki memenuhi jalur sepanjang trotoar menuju tangga stasiun kereta bawah tanah. Ava terka, mereka pasti baru pulang kerja. Sebagian orang juga Ava perhatikan kelihatan seperti mahasiswa yang baru selesai dengan urusan kampus mereka.
Ketika Ava akan menyeberang jalan, Ava melihat ada dua orang pria berjaket hitam dan seorang wanita bergaun biru yang juga ingin menyeberang dari arah berlawanan.
Mereka melihat ke arah Ava dan Ava pun sadar bahwa pasti mereka ingin menghampirinya. Mereka adalah pihak keuangan dari sebuah brand fashion yang mengalami kerugian atas skandal yang terjadi pada Ava satu tahun lalu.
Ava memang sudah membayar biaya ganti rugi pada beberapa brand yang dulu menggunakan jasanya sebagai model, tetapi brand yang satu ini memang belum ia bayar karena ia sudah keburu bangkrut dan tak punya aset apa-apa lagi.
Intinya, saat ini mereka ingin menemui Ava untuk meminta biaya ganti rugi yang menunggak sejak tahun lalu. Kasarnya seperti dikejar hutang yang Ava janjikan akan dibayar bulan ini.
Target Ava sekarang ia sudah berada di Florida, membantu usaha kecil-kecilan neneknya di sana, lalu menggunakan uang yang ia dapat untuk membayar hutang itu.
Namun Ava bisa apa ketika kecerobohannya membuatnya tidak jadi berangkat ke Florida perkara mabuk dan mencium Damian di kelab waktu itu?
Ava bukannya tak mau bayar, ia sudah mengumpulkan uang untuk melunasi ganti rugi itu. Tapi dananya belum cukup dan pasti akan ditetap dicecar hingga bawa-bawa ranah hukum.
Ava akan bertanggung jawab. Tapi kalau harus menghadapi orang-orang itu sekarang, Ava berpikir kalau itu hanya akan memperkeruh suasana dan apalagi sedang di tempat umum begini.
Karena itulah, Ava pun memutuskan untuk berbalik demi menghindari orang-orang tersebut.
Ava berjalan lebih cepat ketika tahu bahwa mereka akan menyeberang jalan untuk mengejarnya.
Ketika ia sampai di dekat restoran Italia yang tadi ia datangi, ia mendapati kalau ternyata mobil Damian masih berada di sana. Ia pun buru-buru mengetuk-ngetuk jendela mobil Damian.
“Apa, sih?!” tukas Damian setelah menurunkan kaca jendela.
“Tolong buka pintunya!” pinta Ava memaksa.
Melihat wajah Ava yang panik bak dikejar-kejar setan, Damian yang bingung pun mau tak mau membuka kunci pintu mobilnya dan membiarkan Ava masuk.
“Cepat jalan!” titah Ava.
“Kenapa kau memerintahku?” ketus Damian yang geram melihat tingkah tidak sopan Ava.
“Pokoknya jalan saja! Cepat!”
***
Ava membuka pintu dan turun dari mobil. Ia menatap ke arah belakang mobil selama beberapa saat, memastikan tak ada yang mengikutinya.
Ia pun menghela napas lega setelah memastikan bahwa ternyata sudah aman.
Tak lama kemudian, Damian ikut turun dari mobil dan menatapnya dengan tatapan bingung.
Saat ini mobil Damian terparkir di depan sebuah kedai kopi yang sepi dan tak banyak pengunjung. Kedai kopi itu tidak terletak di pinggir jalan, melainkan di sebuah jalur pemukiman kecil di barat Brooklyn.
Damian sama sekali tidak berniat datang ke kedai kopi itu, hanya asal berhenti saja setelah melaju cukup jauh dari tempat tadi.
Damian pun mengunci mobilnya dan berjalan menghampiri Ava. Wajah wanita itu masih terlihat agak panik, pun juga pucat pasi. Mungkin dia kelelahan setelah berlari tadi, lalu dirundung rasa panik karena dikejar oleh sesuatu yang belum Damian ketahui.
Damian baru saja akan bertanya pada Ava tentang apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia sudah lebih dulu mendengar suara keroncongan dari perut Ava.
Ava pun berdecak pelan dan memegangi perutnya. Dia buang muka karena merasa malu pada Damian yang kini ada di hadapannya.
Tadi siang ia memang tidak makan, berpikir saat sore bisa punya waktu senggang di toko bunga dan menyempatkan diri membeli roti sandwich yang dijual di seberang toko. Tapi ternyata Deborah memintanya untuk pergi mengantar bunga dan ia malah belum makan sama sekali.
“Tunggu di sini sebentar,” kata Ava pada Damian.
Wanita itu berbalik dan bergegas masuk ke kedai kopi untuk membeli dua gelas latte. Beruntungnya di dalam sana juga menjual roti bagel. Maka, ia pun membeli dua roti bagel.
Ia keluar dan melihat Damian duduk di bangku panjang yang ada di depan kedai, lalu ia memberikan satu gelas latte dan roti bagel untuk pria itu.
“Aku tahu kalau orang sepertimu mungkin tidak pernah makan makanan murah seperti ini. Tapi kali ini, terimalah. Anggap sebagai ucapan terima kasihku karena kau sudah memberiku tumpangan,” kata Ava.
Damian dengan wajahnya yang datar dan dingin menatap Ava sejenak, lalu akhirnya menerima pemberian Ava.
“Thanks,” gumam Damian pelan. Ia tak ‘setinggi’ itu sampai tidak mau minum kopi dan makan roti dari kedai kecil.
Ava pun tersenyum. Ia mengambil posisi duduk tepat di samping Damian dan mulai memakan roti bagelnya.
“Apa kau membeli semua ini pakai uang bayaran dari bunga yang tadi kau antar?” tanya Damian sinis.
“Sembarangan!” pekik Ava.
Damian tersentak kaget mendengar suara Ava yang sangat melengking. Ia bahkan sampai meringis pelan ketika gendang telinga kirinya terasa pengang akibat suara wanita itu.
“Kau ini memang hobi menjerit, ya?” Damian berkata ketus.
Ava pun menghela napas pelan dan menatap Damian dengan tatapan jengkel. “Meski aku memang tidak punya banyak uang, tapi bukan berarti aku tidak punya uang sama sekali sampai harus membeli minuman pakai uang toko ibumu. Jangan sembarangan menuduh!”
“Siapa yang menuduh? Aku kan hanya bertanya.”
"Hanya bertanya apanya? Caramu bicara terdengar sedang menuduh." Ava mencibir pelan.
Setelahnya, mereka berdua pun sama-sama terdiam dan mulai memakan roti masing-masing.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Damian beberapa menit kemudian, “kau dikejar siapa? Mengapa buru-buru seperti itu?”
Ava yang masih mengunyah roti pun menatap Damian.
“Apakah dikejar wartawan lagi? Aku tahu kalau berita tentangmu membuat toko ibuku jadi sepi." Damian melanjutkan.
“Aku benar-benar minta maaf soal itu. Kalau kau berniat memecatku dan mendepakku dari toko ibumu, aku mohon urungkan niatmu. Jangan pecat aku. Aku sungguh butuh pekerjaan,” kata Ava.
“Aku bertanya kau dikejar siapa, mengapa malah membahas soal memecat? Tidak nyambung,” ketus Damian.
Ava mengerucutkan bibirnya mendengar keketusan Damian. Sesaat setelahnya, ia pun menjawab, “Aku tidak dikejar wartawan. Yang mengejarku tadi adalah pihak keuangan dari salah satu brand fashion. Mungkin mereka bisa disebut debt collector atau penagih. Intinya, mereka ingin menagih sesuatu dariku.”
“Menagih apa? Uang?” Damian menatap Ava dengan rasa penasaran.
Ava mengerutkan keningnya menatap Damian. “Aku pikir bukan urusanmu. Kenapa kau terlihat penasaran sekali? Apa kau peduli padaku?”
“Kalau ditanya, jawab! Siapa bilang aku peduli padamu?”
Sebenarnya Ava kesal melihat pria itu sebegitu galak dan ketusnya. Namun, ia tidak berani menentang karena takut pria ini bisa memecatnya dari Salvation Florist.
Akhirnya, Ava pun menghela napas. “Iya. Uang. Sekitar 250 ribu dolar.”
“Kau punya hutang sebanyak itu?”
“Well, ya .... Bukan secara harfiah aku berhutang dengan cara pinjam uang, tetapi 250 ribu dolar itu adalah biaya ganti rugi untuk perusahaan brand fashion yang dulu menaungiku sebagai model mereka. Masalah yang aku alami dulu membuat mereka terdampak kerugian besar, sementara kontrak kerja sama kami menyebutkan bahwa aku harus bayar ganti rugi apabila terjadi masalah personal yang memengaruhi nama brand. Dan beginilah akhirnya. Mana pernah aku memprediksi akan tersandung skandal?”
“Kenapa kau tidak bayar sejak awal? Kau sendiri yang dengan sombongnya bilang bahwa kau adalah model fashion nomor satu di majalah New York Times. Mana mungkin tidak punya aset?”
Ava meringis pelan mendengar Damian bicara begitu. Ia jadi merasa malu sendiri karena pernah menyombongkan diri seperti itu.
“Aset tentu saja punya, tapi semuanya sudah ludes. Aku tidak hanya harus membayar ganti rugi kepada satu brand, tapi lebih dari lima brand.”
Damian terdiam menatap Ava. Ada sedikit kerutan samar di keningnya ketika mata birunya menyorot penuh tanda tanya pada wanita berambut pirang itu.
Damian sadar bahwa seharusnya ia tak perlu banyak tanya pada wanita ini. Menyuruh asistennya untuk mencari tahu pun ia juga bisa langsung mendapatkan segala informasi tentang Ava yang belum ia ketahui. Namun entah mengapa, Damian merasa ingin mendengar Ava bicara.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana awalnya sampai semua skandal itu bisa menimpamu?” tanya Damian.
Ava meminum lattenya, lalu menghela napas panjang. Kedua matanya menatap lurus ke depan dengan tatapan menerawang.
“Mantan pacarku. Dia ... selingkuh. Kami sudah bertunangan dan akan menikah. Satu minggu sebelum pernikahan kami dilaksanakan, aku ... ehm, aku melihatnya bercinta dengan wanita lain."
***
12. Tergelincir Simpati
“Mantan pacarku. Dia ... selingkuh. Kami sudah bertunangan dan akan menikah. Satu minggu sebelum pernikahan kami dilaksanakan, aku ... ehm, aku melihatnya bercinta dengan wanita lain."
Damian terdiam ketika mendapati adanya genangan di pelupuk mata Ava.
“Dulu aku menetap di Boston, dan aku punya aset apartemen mewah di wilayah Manhattan dan Queens.”
“Lalu?” Damian menyimak dengan baik.
“Mantan pacarku memegang kunci apartemenku yang di Queens. Kasur yang biasa kami tempati bersama di apartemen itu, dia gunakan bersama selingkuhannya untuk bercinta ketika aku tidak ada. Aku yang membeli apartemen itu, aku pemiliknya, dan aku adalah kekasihnya. Namun, aku tidak pernah tahu kalau ternyata selama ini dia menggunakan apartemenku itu untuk bersenang-senang dengan selingkuhannya.”
Damian makin terdiam.
“Entah kasur, sofa, dan meja mana saja yang dia gunakan untuk menyetubuhi wanita sialan itu, tapi aku sungguh tidak terima. Aku sakit hati ketika memikirkan tiap jengkal apartemenku itu pernah terkena cairan menjijikkan dari perselingkuhan mereka.”
Ava terdiam cukup lama. Air matanya menetes ketika tangan kanannya tampak gemetar, menahan rasa sakit dari luka lama yang terpaksa dia buka kembali karena menceritakannya pada Damian.
Sejenak setelah itu, Ava menghela napas panjang.
“Aku marah. Sangat marah dan mempermalukannya di depan awak media. Tidak bermaksud sombong, tapi saat itu aku masih sangat terkenal. Makanya aku heran ketika kita bertemu di kamar hotelmu satu tahun lalu, kau bilang kalau kau tidak mengenalku.”
Damian masih tetap diam.
“Karena itulah, tindakanku yang mempermalukannya sangat berimbas padanya. Dia dendam padaku dan berujung memfitnahku.”
Damian menatap tangan Ava yang memegang gelas latte. Ia melihat dengan jelas wanita itu menggenggam gelas tersebut dengan sangat erat, seperti menahan bongkahan perasaan lama yang akan meledak kembali.
“Dulu kami ... pernah berjudi bersama di Las Vegas. Saat itu aku mabuk dan mungkin tidak sadar mengobrol akrab dengan orang-orang di ruang judi. Dan aku pun tidak tahu kalau ternyata dia memotretku saat itu. Dia menggunakan foto-foto yang dia potret itu sebagai bukti dari fitnahnya bahwa aku adalah prostitut di Las Vegas.”
Ava menyapu air mata di pipinya. “Dia juga memfitnahku sebagai pengguna narkoba. Hal itu membuatku harus menjalani penyelidikan selama berbulan-bulan untuk memastikan aku benar-benar bukanlah seorang pengguna.”
Air mata Ava pun menetes lagi, mengingat rasa sakit hati yang ia lewati kala itu. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Setelah diselingkuhi, lalu difitnah, kemudian hidup dan kariernya dihancurkan tanpa bersisa.
Damian merasa agak terperangah mendengar kisah yang Ava paparkan. Namun, ia memilih untuk tetap diam dengan ekspresi di wajahnya yang seperti biasa, datar dan dingin.
Ava menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia berhenti menangis dan langsung tersenyum lebar, seolah berusaha menutupi kesedihannya.
“Lucu sekali, kan? Astaga ... kenapa aku menangis? Harusnya aku menertawakan semua kejadian itu,” gumam Ava sambil tertawa hambar.
Damian tak merespons. Ia tahu kalau wanita ini hanya sedang berupaya menghibur diri sendiri.
“Kenapa kau tidak memberikan klarifikasi bahwa semua itu tidak benar dan hanya fitnah?” tanya Damian kemudian.
“Beritanya keburu menyebar ke mana-mana. Aku sudah berusaha menjelaskan dan melakukan klarifikasi di hadapan media, tetapi aku malah makin dikecam, lalu dikucilkan.”
“Orang tuamu? Apa mereka tidak membantu mencari solusi?”
“Orang tua? Ah, aneh sekali rasanya jika harus membicarakan mereka.”
“Sudah meninggal?”
“Tidak. Tentu saja tidak. Mereka masih hidup.”
“Lalu ke mana mereka?”
“Well, sejak umur delapan belas tahun, aku sudah hidup sendirian. Hanya bergantung pada bantuan nenek. Aku tidak bisa menceritakan tentang mereka. Kau ... kau pasti akan merasa jijik jika tahu apa yang terjadi pada keluargaku.”
Damian berdeham pelan dan meminum lattenya. Ia melihat mata kelabu Ava kembali berair, malah kini memerah dan seperti ingin menangis kencang. Damian tentu tak akan memaksa Ava untuk bicara lagi.
Keheningan terjalin di antara mereka cukup lama. Ava memilih untuk bungkam sembari menghabiskan bagel dan lattenya, dalam hati berupaya menenangkan diri sendiri setelah tadi menceritakan beberapa hal kelam yang pernah terjadi padanya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Ava pun bangkit dari duduknya dan membuang bekas gelas sekaligus bekas bungkus roti ke tempat sampah.
“Aku harus kembali ke toko. Sudah malam dan Nyonya Deborah pasti akan segera menutup toko. Aku merasa tidak enak karena pergi terlalu lama,” ujar Ava.
Damian pun juga berdiri dari duduknya. Setelah membuang gelas kopi dan bekas bungkus roti, dia memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan menatap Ava.
“Jangan bilang padaku kalau kau ingin menumpang lagi.” Damian mengernyit sinis.
Ava menunjukkan cengirannya. “Kalau kau berkenan, aku akan sangat berterima kasih padamu.”
“Tidak. Aku tidak berkenan.”
“Membantu orang adalah perbuatan baik. Kau—”
“Tidak,” potong Damian, "aku punya urusan di kantorku."
Helaan napas pasrah keluar dari mulut Ava. Dia pun berbalik seraya berkata, “Ya sudah, aku pergi dulu.”
“Kau naik apa?” tanya Damian tiba-tiba.
Langkah Ava pun terhenti. Dia menoleh ke belakang dan menatap Damian sambil tersenyum penuh arti. “Memangnya kenapa? Apa kau peduli padaku?”
“Kurobek mulutmu jika kau berani berkata soal peduli lagi.”
“Tidak usah marah-marah. Kenapa kau hobi sekali bicara ketus?” Ava memasukkan kedua tangannya ke saku samping apronnya. “Aku kembali ke toko naik bus.”
Setelah berkata begitu, Ava melanjutkan langkahnya untuk pergi dari sana. Namun, tiba-tiba saja Damian memanggil namanya dan membuatnya lagi-lagi menghentikan langkah.
Ketika ia berbalik untuk menatap Damian, ia melihat pria tampan berjas hitam itu mengeluarkan selembar uang seratus dolar dari dompet dan menyodorkan uang itu padanya.
“Pakai ini untuk naik taksi,” kata Damian.
Ava baru saja akan buka suara, tetapi Damian sudah lebih dulu melanjutkan, “Jangan salah paham! Aku bukannya peduli padamu, tapi kau harus naik taksi agar lebih cepat sampai, sehingga ibuku tidak kerepotan sendirian di toko.”
Ava pun tersenyum manis pada Damian. “Ya, aku mengerti. Kau perhatian sekali pada ibumu. Tapi, aku tidak terlalu membutuhkan uang darimu. Aku masih punya uang sendiri, kok. Sampai jumpa!”
Tanpa menerima uang yang Damian sodorkan, Ava berbalik lagi dan melangkah pergi dari sana. Damian yang masih berdiri di tempatnya pun terdiam menatap Ava, lalu beralih menatap lembaran seratus dolar yang ia pegang saat ini.
“Cih, dia menolak pemberianku?” gerutu Damian.
Damian tidak suka ditolak. Sangat tidak suka penolakan dalam bentuk atau aspek apapun. Kalau sekalinya ditolak, dirinya sungguh merasa tersinggung.
Tapi kali ini, ada secercah perasaan kagum ketika barusan Ava menolak pemberiannya. Itu membuatnya menyadari bahwa wanita itu memang punya watak yang cukup positif. Meski cerewet, berisik, dan sangat angkuh, tetapi dia tetap punya pribadi kokoh yang membuatnya tak akan menerima bantuan selagi masih mampu.
Wanita berambut pirang itu sungguh membuat Damian merasa semakin penasaran. Ada banyak sifat Ava yang unik bagi Damian.
Dan lagi, setelah tadi mendengar Ava menceritakan sedikit kisah kelamnya, Damian merasa tergelincir oleh simpati. Padahal, dirinya bukanlah tipikal pria yang mudah merasa kasihan, apalagi menaruh simpati pada orang lain, itu sama sekali bukan sosok Damian yang dikenal banyak orang dengan watak arogan dan angkuh.
***
13. Diagnosis Dokter
“Tidak bisa, Avana. Aku sudah membiarkanmu tinggal satu bulan lebih di sini dengan menunggak biaya sewa. Kau mau aku bagaimana lagi?”
“Aku hanya minta waktu sampai aku gajian.”
“Sekitar dua minggu yang lalu kau juga sudah bilang ingin pindah ke Florida, kan? Aku memberi korting untukmu agar tetap tinggal di sini sampai kau pindah, tapi ternyata sampai detik ini kau masih menempati apartemenku dan tidak mau bayar sewa.”
“Aku bukannya tidak mau bayar sewa, tapi kan aku sudah bilang, aku akan membayar akhir bulan nanti kalau aku sudah mendapatkan gaji dari tempat kerjaku sekarang. Aku baru bekerja seminggu lebih di sana.” Ava memelas.
“Tidak. Tidak bisa. Sekarang masih awal bulan dan kau menyuruhku untuk menunggu sampai akhir bulan? Gila! Tidak bisa. Aku memberimu waktu satu hari ini untuk berkemas. Besok pagi, unit ini harus sudah kosong,” tutur wanita berambut sanggul sembari menunjuk pintu apartemen Ava.
Ava baru saja akan angkat suara lagi, tetapi wanita itu sudah lebih dulu menempelkan kertas bertulis ‘FOR RENT’ di pintu unit apartemennya.
Kemudian, wanita itu langsung melangkah pergi meninggalkan Ava setelah merebut kunci pintu dari tangan Ava.
Ava pun menghela napas panjang. Sesaat kemudian, ponselnya berdenting satu kali, tanda ada surel masuk.
Ketika Ava membuka surel itu, ternyata isinya adalah peringatan pembayaran ganti rugi 250 ribu dolar yang harus Ava lunasi dalam waktu tiga hari.
Ava tertegun dan kebingungan dengan situasi ini. Saking bingungnya, otaknya tidak bisa berpikir jernih.
“Sial!” rutuk Ava dengan embusan napasnya yang terdengar bergetar karena menahan tangis.
Sampai kapan harus begini terus? Ini seperti tidak ada habisnya. Semuanya terasa keterlaluan bagi Ava. Ia merasa tidak pernah melakukan suatu kesalahan atau dosa yang terlampau besar, mengapa bisa-bisanya ia mendapatkan cobaan hidup yang bertubi-tubi begini?
Dengan segala keresahan hatinya, Ava melangkah menuruni tangga bangunan apartemen sederhana tempatnya tinggal.
Ia menaiki bus untuk tiba di Salvation Florist.
Ketika akhirnya ia sampai di toko bunga itu dan berniat menyapa Deborah yang pasti sudah datang duluan, ia melihat ada gadis kecil yang sedang berjongkok di depan rak khusus tanaman hias.
Itu Lisa. Ava yang sepanjang perjalanan berada dalam suasana hati yang begitu buruk, merasa sedikit senang ketika gadis kecil itu menatapnya.
“Ava!” Lisa langsung berdiri dan berlari ke arah Ava.
Ini adalah ke sekian kalinya Lisa bertemu Ava, dan gadis berambut cokelat itu tampaknya begitu cepat merasa akrab dengan Ava karena memang Ava memiliki pembawaan yang ceria.
Beberapa hari yang lalu ketika Lisa datang ke toko bunga, bahkan Lisa dengan polosnya berkata begini, “Ava, apakah Ava mau menjadi teman Lisa? Lisa tidak punya banyak teman.”
“Tentu saja aku mau! Kita menjadi teman dekat mulai sekarang. Oke?” Begitulah jawaban Ava saat itu yang akhirnya membuat Lisa jadi begitu girang.
“Kau sedang apa di sini? Masih pagi, lho. Apa kau tidak pergi ke sekolah?” tanya Ava pada Lisa.
Gadis yang mengenakan setelan balita berwarna pink itu menggelengkan kepala. “Sekolahku libur hari Jumat.”
“Ah, begitu rupanya. Kau datang dengan pengasuhmu, ya? Mana ayahmu?”
“Ayah tidak ada di rumah.” Lisa mengerucutkan bibir dan menunduk sedih. “Ayah selalu sibuk. Tidak pernah punya waktu main denganku.”
Ava pun tersenyum. Ia menggandeng tangan Lisa dan mulai melangkah sembari berkata, “Baiklah kalau begitu. Hari ini, kau main denganku saja sepanjang hari. Aku akan memberikan mawar lagi untukmu.”
Lisa bersorak ceria.
Ketika Ava ingin mengambil apronnya, ia melihat Deborah sedang berdiri di dekat meja kasir.
Ava seketika langsung dibuat khawatir. Pasalnya, wanita berusia lima puluh tahunan itu tampak memegangi perut dengan wajah yang terlihat menahan rasa sakit.
Samar terdengar di telinga Ava suara rintihan wanita itu.
“Astaga, Nyonya. Apa yang terjadi? Kau kenapa?” Ava bertanya panik seraya melepaskan gandengannya pada tangan Lisa, lalu bergegas memegang lengan dan bahu Deborah untuk menahan tubuh wanita itu agar jangan sampai jatuh.
Namun nahas, sekejap kemudian, Deborah tak sadarkan diri. Ava pun buru-buru menghubungi 911 untuk meminta bantuan.
***
Pria itu berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Derap langkahnya yang penuh ketegasan jelas menggambarkan perasaan panik yang hinggap dalam dirinya saat ini.
Begitu tiba di depan pintu sebuah ruangan, dia langsung membuka pintu itu dan bergegas masuk.
Napasnya sedikit tersenggal karena tadi ia berlari kencang dari area parkir rumah sakit. Pandangannya tertuju pada Deborah yang kini terbaring tak berdaya di ranjang.
Damian tertegun menatap wajah pucat sang ibu. Di samping ranjang Deborah, tampak Ava yang berdiri untuk menemani wanita itu bersama pengasuh yang menggendong Lisa.
“Kenapa Lisa di sini? Cepat bawa pulang!” titah Damian pada pengasuh Lisa.
“Baik, Tuan,” jawab sang pengasuh.
“Lisa tidak mau pulang, Ayah. Ingin bersama nenek dan Ava,” ujar Lisa sembari memegang tangan Ava.
“Pulang, Sayang. Tempat ini bahaya untukmu,” tegas Damian.
Pengasuh yang tak bisa membantah perintah Damian pun langsung buru-buru bergegas keluar ketika Lisa mulai merengek dan akan menangis.
Selepas putri kecilnya dibawa pergi, Damian pun langsung melangkah mendekati ranjang. Ia meraih tangan Deborah dan menggenggamnya dengan erat.
Ava memutuskan untuk keluar dari ruangan itu karena tak ingin mengganggu. Ia menunggu di kursi tunggu yang ada di koridor depan ruangan.
“Apa yang terjadi, Ibu? Kenapa bisa begini?” Damian menatap sendu pada Deborah yang membalas tatapannya dengan pandangan lemah.
Belum sempat Deborah menjawab pertanyaan Damian, pintu terbuka. Bukan Ava yang muncul, melainkan seorang perawat yang memanggil Damian untuk menemui dokter sebentar.
“Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali setelah bertemu dokter.” Damian mencium dahi ibunya, lalu bergegas keluar untuk memenuhi panggilan sang perawat.
Setibanya di luar ruangan, Damian melirik sekilas ke arah Ava yang duduk di kursi tunggu, kemudian ia langsung berhadapan dengan dokter yang sudah menunggunya.
“Apa yang terjadi pada ibuku?” tanya Damian.
“Apakah sebelumnya ibumu sudah pernah mengeluh sakit di perut dan dadanya, lalu mendadak pingsan?” Dokter bertanya serius pada Damian.
“Beberapa minggu belakangan dia memang sering drop, mengatakan kalau perut dan dadanya nyeri. Tapi baru kali ini ibuku sampai pingsan.”
“Apakah sudah pernah melakukan pemeriksaan insentif?”
“Belum.” Damian menjawab sambil menggeleng pelan. Bukannya ia tak memedulikan ibunya, ia selalu memeringati sang ibu untuk periksa rutin ke dokter mengingat usianya yang bisa dibilang sudah memasuki ranah ‘berumur’. Namun, Deborah selalu menolak dan selalu bilang bahwa dia baik-baik saja.
Mendengar jawaban Damian barusan, dokter pun menghela napas. “Setelah melakukan pemeriksaan, ibumu didiagnosis mengalami kanker pankreas.”
Damian merasa ada petir yang menyambar tubuhnya. Ia langsung tercekat mendengar apa yang dokter sampaikan.
***
Pria itu menggenggam erat tangan kanan Deborah. Kedua matanya tak bisa berpaling sedetik saja dari wajah pucat wanita yang melahirkannya itu.
“Kenapa kau masih di sini? Pergilah. Kau pasti sibuk, kan?” Deborah tersenyum lemah pada Damian.
“Tidak, Ibu. Aku ingin menemanimu di sini. Aku sudah bilang pada Julia agar membatalkan semua jadwal kegiatanku di kantor hari ini.”
Deborah menatap Ava yang kini berdiri di dekat pintu. “Ada Ava yang menemani Ibu. Lagipula sebentar lagi kakak-kakakmu mungkin akan datang juga.”
“Aku takut Ibu kenapa-kenapa saat aku tidak ada di sini. Aku tidak mau pergi."
Wanita yang rambut cokelatnya sudah sedikit beruban itu menghela napas pelan. Dia membiarkan Damian menggenggam erat tangannya. Bisa terlihat jelas di mata Deborah bagaimana saat ini Damian begitu cemas dan panik akan kondisinya.
Sementara itu, Ava yang sejak tadi mematung di dekat pintu pun terfokus memandangi Damian.
Ava tentu tak akan lupa pertemuan pertamanya dengan Damian di kamar hotel. Saat itu, Damian sedang menunggu kedatangan wanita panggilan yang dia sewa dan mengira Ava-lah wanita panggilannya itu.
Kejadian tersebut membuat Ava bisa memprediksi bahwa sepertinya Damian memang sering menghabiskan malam penuh gairah dengan para wanita bayaran.
Prediksi Ava itu memang benar.
Empat tahun yang lalu, Damian mengalami kejadian terburuk dalam hidupnya karena ditinggalkan Clarissa Christine, istri tercintanya, karena sebuah perkara yang selalu membuat Damian merasa sangat terpuruk.
Sejak saat itulah dia gemar cari hiburan di luar. Damian senantiasa dikelilingi wanita-wanita rupawan, tak hanya wanita panggilan yang punya spesifikasi kecantikan maksimal, tetapi juga kenalannya yang tentu bukan wanita sembarangan. Semua wanita itu hanya dijadikan wadah pemuas nafsu saja.
Mereka menggilai Damian dan selalu berupaya mendapatkan perhatian dari pria beranak satu itu. Bahkan cari perhatian kepada anak Damian—Elisa Carmella Dawson atau yang akrab dipanggil Lisa—juga mereka jabani. Namun, tak pernah sekali pun Damian melirik mereka selain dengan alasan untuk bertarung gairah.
Damian menutup hati rapat-rapat untuk wanita mana pun. Tak ada hal lain yang Damian inginkan selain berbagi kepuasan seksual dengan wanita-wanita yang terpilih menjadi teman ranjangnya demi mendapat penghiburan diri. Damian pun membayar mereka dengan bayaran yang sepadan.
Sebagian wanita-wanita itu tak hanya menggila dengan bayaran Damian, tetapi juga mengharapkan cinta, ingin menjadi milik seorang Damian Mildred Dawson. Jika mereka sungguh berharap dan mengemis cinta Damian, lebih baik kuburlah diri mereka dalam-dalam di tanah dan jangan pernah mencuat lagi jika tak ingin dirundung kekecewaan seumur hidup.
Kembali pada prediksi Ava, di satu sisi Ava merasa kagum. Pria ini punya kecenderungan sifat peduli besar terhadap keluarga.
Ava ingat, beberapa waktu lalu ketika Lisa berkunjung ke Salvation Florist, ia sempat melihat kedekatan Damian dengan anaknya itu. Dan memang kentara jelas betapa Damian sangat menyayangi gadis kecil berusia empat tahun tersebut. Damian juga tampak begitu menyayangi Deborah.
Ava hanya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya Damian?
“Damian.” Deborah bersuara lirih.
“Kenapa? Ibu butuh apa?” Damian menyahut dengan sigap.
Seulas senyum lembut pun terulas di bibir Deborah yang sudah keriput, lalu dia menggeleng. “Ibu hanya ingin kau melakukan sesuatu untuk Ibu?”
“Apa? Katakanlah. Aku akan melakukan apapun untukmu.”
“Kau tahu, kan? Ibu takut jika Ibu harus mati saat melihatmu masih hidup sendirian tanpa istri. Ibu tidak mau cucu Ibu tumbuh besar tanpa kasih sayang wanita yang baik meski hanya ibu tiri. Jika kau menikah lagi dengan wanita yang bisa menyayangi Lisa sepenuh hati, dia pasti akan merasa senang. Tidak usah memikirkan Clarissa lagi, dia sungguh telah meninggalkanmu dan anakmu.”
Damian terdiam mendengar apa yang Deborah ucapkan.
“Ibu mohon ... menikahlah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Setidaknya, biarkan Ibu melihatmu memiliki istri sebelum Ibu meninggal.”
***
14. Nikahi Aku!
Ava membenarkan posisi tas yang tersampir di bahu kirinya. Ia menatap postur tubuh tinggi Damian yang berdiri di dekat pintu masuk area parkir rumah sakit.
Ia melihat adanya asap yang mengepul ketika pria itu mengembuskan napas. Kala pria itu menurunkan tangan kanannya, ia melihat ada sebuah benda yang terapit di tengah jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan pria itu.
Ava terdiam sejenak. Ketika ia menunduk untuk menatap ke sekitar kaki Damian, ia melihat di dekat pantofel hitam mengkilat pria itu terdapat beberapa bekas puntung rokok.
“Dia perokok rupanya, ya?” gumam Ava dengan suara pelan, agak terperangah melihat banyaknya puntung rokok yang berserakan di tanah.
Ia jadi teringat kejadian tempo hari ketika Damian memberinya tumpangan untuk mengantar bunga. Saat itu Ava melihat Damian mengambil bungkus nikotin tempel. Benda itu pasti dijadikan pengganti rokok.
Ava pun melangkahkan kakinya untuk mendekati Damian, lalu berdiri tepat di samping pria itu.
Kemunculan Ava yang tiba-tiba membuat Damian sedikit terkejut. Pria itu menatap Ava setelah sebelumnya dia mengisap rokok dalam-dalam.
“Setahuku, ini adalah area dilarang merokok. Lagipula ini rumah sakit, lho. Mengapa kau merokok di sini?” Ava melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Damian dengan kedua mata memicing. “Bau asap rokok sungguh tidak enak dan mengganggu orang lain.”
Damian menoleh ke arah lain untuk mengembuskan asapnya, menghindar dari Ava agar asap itu tidak mengenai wanita tersebut.
“Bukan urusanmu,” sahut Damian. Setelah itu, dia menjatuhkan rokoknya yang sudah pendek, lalu menginjak benda itu di tanah untuk mematikan sumbunya.
Ava menghela napas pelan. Ia menatap Damian yang mendadak saja membungkuk. Ia pikir Damian ingin melakukan sesuatu pada kakinya, tetapi ternyata pria itu memungut semua puntung rokok yang berserakan di tanah.
Ava tersenyum simpul. Pria ini sungguh bertanggung jawab ternyata.
Setelah membuang semua puntung rokok itu ke tempat sampah terdekat, Damian berniat untuk langsung pergi dari sana tanpa mau menghiraukan keberadaan Ava.
Terlihat jelas bagaimana wajah pria itu tampak tertekan dan stres memikirkan sesuatu. Dia mungkin tidak ingin diganggu, tetapi Ava dengan segala kelancangnya malah menarik bagian lengan dari jas mahal yang menempel di tubuh kekar Damian.
Langkah Damian pun sontak terhenti. Dia menoleh pada Ava dan memberikan tatapan sinisnya pada wanita itu. “Beraninya kau sembarangan menarikku. Kalau jasku rusak, memangnya kau bisa ganti?”
Ava mendengus pelan dan akhirnya melepaskan pegangannya pada jas Damian.
“Jangan pergi dulu. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” kata Ava.
“Kalau tidak penting, lebih baik tutup mulutmu dan pergilah ke toko ibuku untuk melayani pelanggan.”
“Astaga ... apakah kau tidak bisa bersikap baik sedikit padaku? Mengapa kau selalu sinis?”
Ava benar-benar heran, dari es kutub mana pria ini terbuat? Segala tentang Damian terlihat sempurna dari luar. Hanya saja, siapa pun orang tidak sabaran seperti Ava, pasti akan gemas sendiri tiap kali berhadapan dengan dingin dan galaknya Damian.
“Apa yang ingin kau bicarakan? Cepat! Jangan buang-buang waktuku.” Damian menatap Ava dengan sedikit kerutan di keningnya.
Ava pun terdiam sejenak. Dia menghela napas pelan dan membenarkan posisi berdirinya di hadapan Damian.
“Tadi aku mendengar pembicaraanmu dengan Nyonya Deborah. Aku tahu, kau pasti sedang bingung memikirkan bagaimana harus menuruti kemauan ibumu yang menyuruhmu untuk menikah lagi. Ya, kan?”
Damian memilih untuk diam.
“Menikahlah denganku,” kata Ava tiba-tiba.
Damian lagi-lagi diam. Sejujurnya, dia terkejut. Namun, tampak luar dia tetap tenang dan tak luput dari wibawa besarnya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada pernikahanmu yang sebelumnya dan aku juga tidak akan memaksamu untuk memberitahu. Dan lagi, aku paham menikah bukanlah hal yang main-main, bukan pula suatu hal yang bisa dilakukan secara sembarangan. Tapi aku butuh bantuanmu dan kalau kau berkenan, mari menikah.”
Damian menaikkan sebelah alis tebalnya. Ia menerka bahwa jangan-jangan sebelum menemuinya di tempat ini, Ava minum banyak alkohol sampai mabuk, makanya dia bicara melantur begini.
“Intinya, nikahi aku. Jadikan aku istrimu. Aku tak akan menuntut apa-apa dan sekadar ingin membantumu memenuhi keinginan ibumu. Sebagai balasannya, cukup biarkan aku mendapatkan tempat tinggal karena aku baru saja diusir dari apartemenku, lalu pinjamkan 250 ribu dolar untukku,” lanjut Ava.
Kening Damian langsung mengernyit dalam. Alih-alih ingin menempeleng kepala Ava yang bicara aneh panjang lebar begitu, ia justru malah merasa takjub. Wanita spesies apa yang tidak punya malu bicara seperti itu? Apa wanita ini sungguhan sedang mabuk?
Mengenal belum lama, tiba-tiba bak orang kesurupan minta dinikahi. Kalau ia mau, ia tak segan membungkam mulut enteng wanita ini dengan selotip.
“Kau gila. Jangan bercanda,” desis Damian tak habis pikir. Dia berbalik dan melangkah pergi dari tempat itu tanpa mau menggubris kegilaan Ava.
“AKU TIDAK BERCANDA! AKU SERIUS, DAMIAN!” pekik Ava dengan suara yang sangat lantang, “nikahi aku! Apa kau tidak kasihan pada ibumu? Dia kanker. Bagaimana kalau dia meninggal sebelum melihatmu menikah?”
Damian pun menghentikan langkahnya dan berdecak kesal. Ia memang jadi kepikiran dengan kalimat terakhir yang Ava lontarkan, tetapi daripada itu, ia lebih merasa jengkel karena suara Ava yang cempreng dan berisik membuat beberapa pasang mata menatap mereka dengan tatapan aneh.
Damian berbalik dan melangkah menghampiri Ava. Ketika melihat Ava akan bicara lagi, Damian pun langsung membekap mulut wanita itu dan menyeretnya untuk berpindah ke tempat lain.
“Bisa turunkan suaramu tidak?! Mengapa gemar sekali menjerit-jerit?” omel Damian setelah mereka berada di pojok area parkir rumah sakit.
Ava berusaha untuk melepaskan tangan Damian dari mulutnya. Setelah itu, ia langsung terbatuk-batuk dan mengusap-usap bibirnya yang tadi bersentuhan dengan telapak tangan Damian.
“Tanganmu bau rokok!” protes Ava.
Ava bersungut-sungut sambil masih terus mengusap bibirnya demi menghilangkan sensasi rasa nikotin. Kedua mata hijaunya yang sedikit memiliki sentuhan kelabu itu masih terus menatap Damian yang kini menghela napas pelan.
“Aku bisa menikahi wanita lain. Jadi, jelaskan padaku alasan apa yang membuatku lebih baik menikahimu,” kata Damian.
“Well ...,” Ava menegakkan posisi berdirinya dan menatap Damian dengan tatapan lekat. “Pertama, aku cantik. Kau tidak akan malu di hadapan orang banyak, karena kau punya istri yang cantik.”
Damian mengernyit dan menatap Ava dengan tatapan sinis. Betapa percaya dirinya wanita ini.
“Kedua, aku suka anak kecil dan aku senang bermain dengan Lisa. Ini memang bukan alasan yang konkret, pun juga menjadi hal yang rancu jika diperhitungkan relatif tanggapan Lisa ke depannya. Tapi sungguh, aku bisa berteman baik dengan anakmu."
Damian bergeming.
"Ketiga, jika kau menikahi wanita lain, mereka mungkin akan mengharapkan cinta darimu, serta berharap bisa membangun rumah tangga sungguhan denganmu. Sedangkan aku, aku tidak mengharapkan apapun soal itu."
Damian mulai mendengarkan Ava dengan penuh keseriusan. Ini sangat menarik. Sebab, selama ini ia memang tak mau menikah lagi karena para wanita yang mengejarnya selalu menuntut soal perasaan padanya. Padahal, mereka tak lebih dari sekadar teman ranjang.
“Aku tidak akan menuntut banyak dalam pernikahan ini, termasuk soal cinta atau kesetiaan. Aku sama sekali tidak peduli soal itu."
Kedua telinga Damian makin terpasang intens untuk mendengar kalimat apa yang selanjutnya akan disampaikan oleh Ava.
"Ini semacam pernikahan dengan benefit. Jika kau menikah, ibumu akan merasa senang karena kau menuruti permintaannya. Kemudian sebagai balasannya, kau hanya perlu membiarkanku menempati rumahmu agar aku punya tempat tinggal dan memberikan pinjaman 250 ribu dolar untukku. Aku akan mengganti uang itu saat sudah punya dana. Jika aku menjadi istrimu, maka pinjaman 250 ribu dolar itu akan terjamin dan kau tidak perlu khawatir, sebab aku tidak bisa kabur ke mana-mana."
Damian masih diam, menyimak segala yang Ava katakan.
“Kau mungkin bertanya-tanya, lalu bagaimana jika berita pernikahan kita tersebar ke awak media karena aku masih sering menjadi gunjingan masyarakat? Tidak perlu khawatir soal itu. Beritanya akan langsung redup dalam waktu singkat. Lagipula kau punya banyak uang, kan? Kau bisa membayar pihak berita atau media mana pun untuk berhenti mengusung template berita tentang diriku.”
“Semua itu tetap masih belum memberikan alasan kuat mengapa harus kau yang aku nikahi.”
“Seperti yang tadi aku tekankan, ini semacam pernikahan dengan benefit untuk pribadi kita masing-masing. Hanya itu. Kau tahu apa yang kumaksud, kan?”
Damian terdiam selama beberapa saat untuk memikirkan sesuatu.
Dia menatap Ava dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dengan mata birunya yang masih menyorot tajam, Damian berkata, “Ibuku tak akan membiarkanku menikahi sembarang wanita, apalagi wanita yang baru kukenal. Kau harus membuat ibuku percaya dengan berpura-pura bilang bahwa sebenarnya kita sudah lama saling kenal dan kau adalah wanita baik-baik yang layak dinikahi.”
“Aku memang wanita baik-baik, kok!” sahut Ava yang sedikit tidak terima dengan kalimat ambigu dari pria itu.
“Aku tidak peduli. Kau hanya perlu meyakinkan ibuku.”
“Itu mudah.” Ava tersenyum lebar. “Kau tahu, kan? Aku mantan artis. Aku pandai berakting.”
***
Bersambung .....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
