Godaan Sang Penggoda [Chapter 1-15] (FREE)

7
3
Deskripsi

Agar hutang-hutang keluarganya lunas, Zelda yang dikenal dengan sebutan Sang Penggoda di sebuah kasino mewah di Las Vegas, tak bisa membantah ketika dirinya dijual kepada Arthur Morris Gray, seorang biliuner asal Italia yang sangat berkuasa.

    Hidup Zelda berubah total menjadi setengah mimpi buruk semenjak ia berada di bawah kendali Arthur. Sosok Zelda yang sebenarnya sangat lugu dan hanya mengharapkan sebuah cinta yang tulus, harus tunduk pada Arthur, melakukan apa pun yang Arthur perintahkan, dan melayani nafsu pria dominan itu.


Instagram: @sweet_meylon

1. Sang Penggoda

“Kau sangat menakjubkan malam ini, Zelda. Seperti biasanya,” ujar pria berparas maskulin yang kini sedang berdiri di samping tempat tidur dan sibuk memakai pakaiannya. Suara beratnya memecah kesunyian.

Zelda tersenyum pada Loris Anderson, pria tampan berusia 39 tahun yang merupakan pelanggannya.

Beberapa saat kemudian, Loris telah rapi dengan setelan jas abu-abunya. Dia membungkuk ke arah Zelda yang masih terduduk di atas kasur, lalu menyempatkan diri untuk mencumbui leher jenjang wanita itu dengan lumatannya yang penuh gairah.

“Seperti biasa, bayaranmu akan kuberikan pada Mona,” kata Loris kemudian seraya kembali berdiri tegak dan menyudahi aksinya mencumbui Zelda.

“Baik, Tuan.”

“Dan ini ...,” Loris mengeluarkan sebuah amplop putih dari saku bagian dalam jas abu-abunya. Dia menyodorkan benda itu ke hadapan Zelda seraya berkata, “Sepuluh ribu dolar tip dariku untukmu sebagai bentuk kepuasanku.”

“Ini banyak sekali.” Zelda pura-pura takjub sambil menerima amplop yang diberikan Loris padanya. “Terima kasih, Tuan. Kau memang sangat baik hati.”

“Sesuai dengan permainan ranjangmu yang selalu membuatku menggila, Darling. Kau sungguh memuaskan malam ini,” puji Loris.

Setelahnya, Loris pun berbalik dan melangkah menuju pintu. Dia keluar dari kamar hotel tipe suite itu, meninggalkan Zelda yang masih duduk di atas kasur dalam kondisi telanjang.

Zelda menghela napas setelah mendengar suara pintu kamar yang ditutup, lalu membuka amplop yang tadi diberikan Loris.

Melihat tumpukan uang sepuluh ribu dolar itu, Zelda tersenyum getir. Antara senang, tetapi juga miris pada dirinya sendiri karena melakukan pekerjaan ini.

Dalam satu hari, Zelda bisa menghasilkan uang sebanyak itu. Tak heran ia memang benar-benar disayang oleh Mona Germanotta, mucikarinya.

Namun sayang, sebagian besar pendapatan hasil tarif dari pelayanan Zelda terkadang tak bisa sepenuhnya dia terima. Sebab, uang itu harus dipotong untuk hutangnya pada Mona.

Zelda baru saja ingin beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah tadi selesai melayani Loris Anderson, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Orang yang mengetuk pintu memiliki kartu kunci kamar hotel dan bisa langsung masuk.

Zelda yang masih dalam keadaan telanjang bulat, mengangkat kedua alis ketika ia melihat seorang wanita berusia lima puluh tahunan dengan wajah khas latin yang memakai gaun ketat, memasuki kamarnya.

Dialah yang bernama Mona. Wanita itu muncul dengan membawa secarik kertas cek bernilai tujuh ribu dolar. Zelda jelas tahu bahwa itu pasti cek pemberian Loris atas bayaran pelayanannya malam ini.

Di belakang Mona, berdiri seorang wanita pelayan kasino yang membawa gantungan pelindung sebuah gaun biru berbahan satin.

“Sudah selesai dengan Tuan Loris Anderson, kan?” tanya Mona sembari menatap tubuh ramping Zelda dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan sangat teliti, “aku bertemu dengan Tuan Anderson di koridor.”

“Sudah, Mom.” Zelda menghela napas panjang. “Dia memang baru saja keluar.”

“Bagus. Sekarang, bersihkan dirimu. Jangan sampai ada sedikit pun sisa sperma di tubuhmu atau air liur Tuan Anderson selama tadi dia mencumbuimu. Aku ingin kau sebersih mungkin. Aku sudah menyiapkan pakaianmu malam ini,” tutur Mona, sambil menunjuk gaun yang dibawakan oleh pelayan.

Zelda pun mengerutkan keningnya, heran. “Apakah ada pelanggan lain?”

“Tidak ada. Aku ingin kau makan malam denganku dan suamiku. Jadi, cepatlah! Aku akan menunggumu,” titah Mona.

Zelda tak bisa membantah. Segera membersihkan dirinya di kamar mandi, lalu memakai gaun yang sudah dibawakan oleh pelayan dari kasino yang tadi datang bersama Mona.

Saat sedang memakai make up di depan kaca wastafel kamar mandi, Zelda tak bisa berhenti memikirkan ada apa gerangan Mona memintanya untuk makan malam bersama. Dengan suami wanita itu pula.

Ini sangat tidak biasa. Zelda mendadak merasa cemas sendiri, karena khawatir Mona akan mengungkit tentang hutang-hutangnya pada wanita itu.

Zelda memiliki hutang lebih dari satu juta dolar pada Mona perkara lima tahun lalu, saat ia pertama kali menjadi lacur di kasino milik Mona. Ia membutuhkan uang untuk membayar hutang-hutang ayahnya yang merupakan seorang penjudi dan  juga untuk membayar pengobatan ibunya yang sakit kanker tulang selama dua tahun terakhir.

Zelda melakukan pekerjaan hina ini demi kedua orang tuanya. Tak ada yang lain. Dia tidak pernah memikirkan kesenangan diri sendiri, tidak pernah sama sekali. Apalagi tentang memiliki uang banyak agar mampu membeli barang mewah untuk menunjang penampilan.

Nahas pada akhirnya, satu tahun silam ibunya Zelda telah meninggal dunia karena kanker tulang yang sudah sangat parah dan tak bisa disembuhkan.

Selesai mengenakan gaun dan menyemprotkan parfum ke titik tertentu di tubuhnya, serta merias wajah dengan make up yang membuat raut cantiknya jadi tampak semakin menawan, Zelda pun keluar dari kamar hotel.

Hotel itu diberi nama Wynn Bellagio. Merupakan hotel kasino milik suami Mona. Mona adalah istri ketiga dari suaminya. Dia mengelola kasino secara keseluruhan dan merupakan orang yang mengatur wanita-wanita penghibur di sana, salah satunya Zelda.

Terdiri dari dua puluh lantai, area khusus kasino terletak di lantai paling atas. Zelda sudah ditunggu di area lift oleh Mona. Mereka segera menaiki lift itu bersama-sama.

Tiba di lantai dua puluh, Zelda mengikuti Mona memasuki wilayah kasino yang cukup ternama di Las Vegas. Ia tetap mengikuti Mona ketika mucikarinya itu melangkah menuju ruangan khusus di sudut lorong area kasino.

“Duduklah!” perintah Mona yang sudah duduk lebih dulu bersebelahan dengan suaminya. Dia menatap Zelda sembari menunjuk sofa single seat tepat di hadapannya.

Zelda menuruti perintah Mona dan langsung mengambil posisi duduk di sofa tersebut.

“Dengar, Zelda,” kata Mona, “langsung pada intinya saja. Aku akan menganggap semua hutangmu lunas.”

Zelda jelas terperangah. Kedua pupil mata berwarna hazelnya melebar karena terkejut.

“Hutangmu yang sangat besar pada kami bisa lunas, hanya jika kau tidak membantah sedikit pun perintah dari kami dalam urusan ini,” tutur Mona.

“A-apa?” Zelda masih tidak percaya. “Hutangku bisa lunas?”

“Ya, asal kau ikuti aturannya dan mendengar dengan baik perintah dari kami.”

Zelda tegak dalam posisi duduknya karena merasa tegang. “Memangnya apa yang harus kulakukan?”

Suami Mona melirik beberapa pria berpakaian serba hitam yang sejak tadi mengawasi mereka. “Kau harus bekerja untuk seseorang. Melayaninya di ranjang kapan pun dia mau. Dan kau tidak bisa kembali ke kasino ini lagi tanpa seizinnya. Orang itu juga akan memberikan bayaran yang besar untukmu, tapi terserah dia kapan dia ingin memberikannya.”

Mona pun menghela napas, lalu menambahkan, “Dalam artian, kau akan menjadi lacur pribadinya. Kami tidak mau kau sampai menolak semua ini. Itulah sebabnya kau tetap harus wajib melaksanakannya tanpa bantahan.”

“Tapi ... siapa, Mom? Siapa orang yang akan aku layani?” Zelda mengerutkan kening. Jantungnya berdebar-debar. Jujur saja, ia gugup melihat bagaimana dua orang di hadapannya itu begitu serius. Bahkan ia juga bergidik, ketika merasakan tatapan intens dari para pria yang tak dikenalnya, namun duduk di ruangan yang sama dengannya itu.

“Dia adalah orang yang sangat penting, Zelda. Aku baru akan memberitahumu kalau kita sudah mencapai kata sepakat.”


***


Zelda mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah pintu kamar tempatnya berada saat ini. Zelda menggigit bibir bawahnya, bersamaan dengan jantungnya yang mulai berdebar tak normal.

“Dia adalah Arthur Morris Gray, biliuner dari Italia dan penerus tunggal seorang bos mafia. Usianya 36 tahun. Dia lahir di New York, tetapi menetap lama sejak remaja di Milan, Italia. Sekarang dia datang ke Amerika dan akan tinggal di Las Vegas entah sampai kapan. Dia sangat tidak suka gonta-ganti partner ranjang dan hanya menginginkan satu wanita saja. Karena itulah, aku memilihmu untuk Tuan Arthur.”

“Tuan Arthur adalah orang yang memodali suamiku untuk membangun Wynn Bellagio. Dia memegang kendali dan berkuasa atas kasino ini. Jika kau melakukan kesalahan padanya, bukan hanya kau yang hancur. Kami juga akan tamat, Zelda! Karena itulah, jangan coba-coba mengacau! Kau harus melayaninya dan melakukan apa pun yang dia perintahkan tanpa penolakan!”

Segala kalimat ancaman yang dilontarkan oleh Mona tempo hari di kasino, kembali terngiang-ngiang dalam benak Zelda. Ia tertegun susah payah ketika berpikir kalau orang yang mendekat ke arah pintu kamar adalah orang yang ia tunggu sejak tadi.

Ia tak tahu bagaimana sosok Arthur Morris Gray jika ditemui langsung. Dari awal pun ia tak tahu kepada pria macam apa Mona menjualnya.

Apakah pria tua kaya raya bertubuh gempal? Atau pria perut buncit dengan mata yang selalu berkilat nafsu? Yang Zelda bayangkan adalah yang seperti itu.

Hingga tak lama kemudian, pintu kamar pun terbuka. Zelda langsung bangkit dari duduknya, berdiri setengah gugup dan menatap tegang ke arah pintu.

Ia melihat kemunculan seorang pria berkemeja hitam. Zelda agak terperangah, sebab berpikir kalau jangan-jangan pria itulah Arthur Morris Gray.

“Zelda Esmeray Murphy?” tanya pria itu dengan suara beratnya seraya menghampiri Zelda.

“Y-ya benar ... itu namaku,” jawab Zelda.

“Kau sudah tahu peraturannya, kan? Mulai hari ini, kau akan tinggal dan menetap di mansion ini agar kau bisa langsung melakukan tugasmu kapan pun kau dibutuhkan. Kau tidak boleh keluar dari mansion ini tanpa seizin Tuan Arthur.”

‘Eh? Jadi dia ini bukan Tuan Arthur?’ Zelda membatin.

Sesaat kemudian, Zelda pun mengangguk cepat. “Ya, aku sudah tahu.”

“Bagus. Ayo, Tuan Arthur ingin bertemu denganmu.”

Tanpa perlu mempertimbangkan apa pun, Zelda melangkahkan kakinya menuju pintu ketika ia melihat pria berkemeja hitam itu sudah berbalik dan mulai berjalan di depannya. Zelda mengekori pria itu menyusuri koridor untuk menuju lift yang ada di ujung sana.

Tempat ini adalah sebuah mansion yang sangat mewah dan terdiri dari tiga lantai. Letaknya cukup jauh dari wilayah jangkauan orang-orang di Las Vegas.

Selepas menaiki lift dan tiba di lantai tiga, Zelda diarahkan untuk berjalan menuju sebuah ruangan yang memiliki pencahayaan yang menyorot ke arah satu titik, yaitu meja billiard.

Di sanalah Zelda melihat seorang pria berjas hitam yang sedang menyodok bola menggunakan stick billiardnya dengan teknik yang begitu mahir, sempurna.

“Dia ini orangnya, Tuan Arthur,” kata pria yang mengantar Zelda pada pria berjas hitam tersebut.

Pria yang disebut Tuan Arthur itu pun menghentikan kegiatannya. Dia masih berada dalam posisi membungkuk untuk menyejajarkan kepalanya dengan alur pukulan stick billiard yang dia pegang, tetapi matanya melirik ke arah pintu masuk.

Melihat keberadaan Zelda, pria itu pun menegakkan posisi berdirinya dengan perlahan dan menggenggam stick di tangan kekarnya.

Zelda tercenung. Ini benar-benar jauh dari bayangannya. Ia membayangkan dirinya dijual kepada pria tua bangka atau mungkin pria buruk rupa. Namun ternyata, yang terpampang di hadapannya saat ini adalah pria dengan paras yang sangat tampan. Lagi-lagi sempurna.

Arthur memiliki tubuh yang begitu tinggi, Zelda perkirakan mencapai 185 sentimeter dengan bentuk tubuh yang sangat atletis dan berotot. Mata Arthur berwarna biru dan memiliki sorot yang tajam dan penuh kuasa. Alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya proporsional dengan warna merah pucat. Dan lagi, terdapat bulu-bulu halus yang membingkai area rahang dan bagian bawah pipinya.

Zelda sungguh tercengang, meski mulutnya tidak menganga. Pria itu seratus persen jauh dari kata buruk rupa, justru malah seperti kasta tertinggi dari sekedar kata ‘tampan dan rupawan.’

Tak lama kemudian, Arthur meletakkan stick billiardnya, lalu menghela napas panjang selagi melangkah menghampiri Zelda.

“Siapa namamu?” Suara bariton Arthur yang dalam dan tegas itu berhasil menusuk indera pendengaran Zelda setelah mereka berdiri berhadapan. Saling bertatap mata.

“A-aku ... aku Zelda.” Zelda menjawab dengan gugup dan takut.

Arthur memang sangat tampan, tetapi postur tubuh, ekspresi, dan caranya menatap sungguh membuat Zelda takut. Pria ini terlihat begitu berkuasa. Dan rasa-rasanya, bila ia melakukan suatu kesalahan, mungkin pria ini tak akan segan menghukum bahkan membunuhnya.

Arthur menatap Zelda dari ujung kepala sampai ujung kaki, memerhatikan tiap jengkal tubuh wanita itu dengan mata birunya yang menyorot intens, menelisik lekuk tubuh Zelda yang sangat mengagumkan di balik balutan gaun merah yang wanita itu kenakan.

Zelda hanya diam dan tertegun berkali-kali ketika menyadari kilatan penuh arti di mata pria itu.

“Buka bajumu,” perintah Arthur tiba-tiba.

“Hah?” Zelda mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, menatap Arthur dengan mata kelabunya yang sedikit membelalak.

“Kau tidak tuli, kan?”

“Ti-tidak, Tuan.”

 “Cepat buka bajumu!”

Zelda terdiam sejenak. Dia menoleh ke arah pria yang tadi mengantarnya ke ruangan itu. Pria itu masih berdiri di sana, tetapi memang tak menatapnya. Dia berdiri tegak layaknya seorang prajurit. Membuat Zelda sadar kemudian bahwa sepertinya pria itu adalah pengawal Arthur.

“Apakah kita akan melakukannya di sini?” tanya Zelda.

Arthur menaikkan sebelah alis tebalnya, rahangnya mengeras, dia terlihat marah mendengar pertanyaan Zelda yang tidak langsung menuruti perintahnya.

Zelda pun spontan merasa panik. Ia tidak punya alasan untuk membantah dan tidak pula punya kesempatan untuk bicara apa pun lagi. Ia segera menjulurkan kedua tangannya ke belakang punggung, menurunkan resleting gaun merah yang ia kenakan.

Begitu gaun tersebut merosot, pengawal Arthur berbalik, lalu beranjak keluar dari ruangan itu. Tampak jelas bahwa sang pengawal perlu memastikan kalau Zelda melaksanakan perintah Arthur dengan benar dan tidak menolak.

Arthur terpaku menatap wajah dan tubuh wanita itu. Seulas senyum miring terukir di bibir Arthur kala ia memandangi dada Zelda yang berbentuk sempurna sekaligus bokong wanita itu yang juga berukuran sangat pas.

Arthur melangkah mendekati Zelda hingga jarak berdiri mereka hanya terpaut kurang dari satu jengkal. Zelda yang tinggi badannya hanya setara dengan bahu Arthur, bahkan bisa merasakan napas hangat pria itu berembus di dahinya.

“Kudengar, kau adalah anak emas Mona di Wynn Bellagio. Mereka menyebutmu ... Sang Penggoda?” Arthur memastikan.

Zelda hanya diam dan kini menundukkan kepala, menatap lantai yang dipijakinya.

“Kupikir sebutan itu sangat cocok. Hanya dengan melihat tubuhmu begini, kau seperti sudah memberikan godaan padaku,” kata Arthur lagi.

Pria itu menyentuh dagu Zelda, lalu mengangkatnya secara perlahan agar wanita itu mendongak menatapnya.

Zelda yang kepalang gugup pun akhirnya memaksakan diri untuk tersenyum.

“Kau tahu siapa aku, kan? Apakah Mona sudah memberitahumu?” tanya Arthur.

“Sudah, Tuan.”

“Bagus.” Arthur menunduk, mendekatkan bibirnya pada telinga kanan Zelda.

Zelda pun tertegun. Ia memejamkan mata ketika merasakan bibir Arthur mengecup daun telinganya, bersamaan dengan napas pria itu yang berembus di lehernya.

“Jika kau tahu siapa aku, maka lakukanlah tugasmu dengan benar. Puaskan aku dan buktikan padaku bahwa aku tak perlu menggusur kasino milik suami Mona jika kau mengecewakanku.”

“B-baik, Tuan.”


***

 

2. Setelah Malam Yang Panjang

Zelda menggigit bibir bawahnya. Kepalanya yang berada di atas bantal beberapa kali mendongak, tubuh rampingnya yang molek itu juga menggelinjang di atas kasur empuk yang ada di kamar Arthur.

Kedua matanya terpejam selagi Arthur yang berada di atas tubuhnya masih terus menghujam dan menyentak ke dalam dirinya dengan ritme yang begitu dalam dan kasar.

Zelda yakin seratus persen, selama ia bekerja di bawah kendali Mona Germanotta, tak pernah sekali pun dirinya melayani pria yang terlampau dominan.

Memang banyak yang muda dan masih begitu segar terlihat kuat, tetapi nyatanya kebanyakan dari mereka yang Zelda layani cenderung punya ejakulasi dini. Sangat cepat mengalami klimaks dan membuatnya tak perlu bersusah payah mengeluarkan tenaga terlalu besar untuk bertahan disetubuhi.

Namun ketika melayani tuan barunya ini,  Arthur, Zelda benar-benar tidak dapat berkata-kata. Pria itu cukup brutal dan sangat kuat dalam pertahanan ejakulasi.

Sejujurnya, Zelda tersiksa. Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya. Sejak tadi kedua matanya sudah terasa panas. Ingin menangis dan menjerit karena berada di bawah belenggu Arthur yang teramat dominan.

Beberapa saat kemudian, tangan Zelda pun bergerak menyentuh lengan kanan Arthur, tanpa sadar mencengkeram bagian tepat pada tato naga hitam dengan bentuk khas yang terukir di lengan berotot pria itu.

“T-Tuan ... bisakah kau melakukannya dengan sedikit lebih pelan?” tanya Zelda penuh keraguan disela desahannya yang tertahan.

Zelda menyentuh lengan Arthur dengan jemari lentiknya yang cantik, meraba tato naga di sana dengan gerakan menggoda, tetapi sebenarnya memiliki maksud untuk memohon belas kasihan, saat telapak tangan pria itu menekan lehernya dengan pelan, seperti mencekik namun tidak benar-benar begitu.

Arthur yang masih bergerak brutal dalam penyatuan mereka, menatap Zelda dengan tatapan marah. “Kau berani memerintahku?”

Tubuh Zelda menegang, gugup. Ia menggeleng cepat dan menjawab, “Bukan maksudku begitu. Aku ... agak kesakitan ... ah, maafkan aku ....”

Arthur mendekatkan wajahnya pada wajah Zelda, lalu menjambak pelan rambut wanita itu yang terurai di atas bantal.

“Nikmati saja,” desis Arthur dengan penuh ketajaman. Tidak cuma dari ucapan, tapi juga tatapannya.

“B-baik, Tuan.”

Kalau boleh menangis sampai menjerit-jerit, Zelda akan melakukan itu sekarang juga. Namun, ia takut. Takut Arthur marah dan kecewa padanya, lalu hal buruk malah terjadi pada dirinya atas kemarahan pria itu.

Jika itu sampai terjadi, bisa-bisa hutangnya yang sangat besar pada Mona batal dianggap lunas.

Awalnya Zelda memang merasa sedikit tersiksa. Namun karena berupaya untuk profesional, dia melayani Arthur sebaik mungkin dan berusaha untuk menikmati saja permainan pria itu.

Zelda sengaja menggerakkan pinggul dan tubuhnya untuk memperdalam penyatuannya dengan Arthur. Mencoba sebaik mungkin memberikan kepuasan bagi pria itu agar jangan sampai dirinya dianggap mengecewakan dan malah mendapatkan masalah besar.

Ketika Zelda bergerak seperti itu, Arthur melambatkan gerakannya. Dia tampak menyeringai, seulas senyum miring terpampang di wajah tampannya.

“Tak salah mereka menyebutmu Sang Penggoda,” desis Arthur disela erangan nafsu, selagi tangan kekarnya itu menjamah dada Zelda dengan sangat berhasrat.

Zelda tersenyum pada Arthur, senyum yang tentunya terukir karena terpaksa. Dia hanya ingin melakukan tugasnya sebaik mungkin meski di waktu yang bersamaan, ia tak bisa membayangkan akan seperti apa kelanjutan hidupnya karena telah resmi menjadi lacur pribadi bagi pria ini.


***


Kamar bernuansa serba abu-abu dan hitam yang menjadi tempat Zelda menunggu saat baru pertama kali datang ke mansion, rupanya adalah kamar pribadi Arthur.

Malam pertamanya bertemu dengan Arthur, menjadi malam yang begitu panjang ketika ia melayani pria tersebut di kamar mewah itu.

Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Zelda yang merasa sangat lemas di atas kasur masih menutupi tubuhnya yang telanjang bulat dengan selimut. Ia menatap Arthur yang saat ini sedang berpakaian di samping tempat tidur.

“Pakai pakaianmu dan keluarlah dari sini,” perintah Arthur. “Kau akan diantar ke kamarmu.” Dia mengatakan itu tanpa menatap Zelda, sibuk memakai dasi di kerah kemeja putihnya.

Zelda tak langsung menjawab. Ia masih terduduk di atas kasur dan rasa-rasanya seperti tak punya tenaga untuk sekadar beranjak dari sana.

Ketika Arthur menoleh padanya dan menatapnya dengan tatapannya yang begitu tajam, barulah Zelda buru-buru bangkit dari duduknya dan turun dari ranjang mewah sang tuan.

Zelda masih menutup tubuhnya dengan selimut. Ia bingung dan tidak tahu harus membalut tubuh telanjangnya menggunakan apa, sebab semalam ia melucuti gaunnya sendiri di dekat meja billiard ketika menemui Arthur di lantai tiga mansion.

Bahkan sebenarnya, Zelda pun tidak membawa satu pun pakaian ketika datang pertama kali, meski ia tahu kalau dirinya akan tinggal di mansion ini agar siap siaga untuk melayani Arthur tiap kali pria kaya itu membutuhkannya.

Bukannya Zelda tidak mau siap sedia, tetapi ia memang tidak diperkenankan untuk membawa apa pun. Jadi, ia hanya mengenakan pakaian yang semalam ia pakai. Membawa tas kecil berisi dompet, ponsel, dan beberapa hal penting lainnya.

“Maaf, bolehkah aku membawa selimut ini keluar?” pinta Zelda ragu-ragu, sangat canggung. “Setidaknya, sampai aku berada di kamarku. Aku ... tidak membawa pakaian.”

Arthur melirik Zelda, sambil mengambil jam tangan mewahnya yang ada di atas nakas samping ranjang. Struktur wajahnya yang tegas dan tajam itu tampak sangat mematikan, ketika dia menunduk untuk memakai jam tangan di pergelangan tangan kirinya.

Tak menjawab permintaan Zelda, Arthur justru mengetukkan jari telunjuknya beberapa kali di atas nakas. Ketukan itu cukup keras bahkan meski hanya menggunakan satu jari.

Dan tak lama setelah itu, Zelda melihat pintu kamar terbuka dan muncullah seorang pelayan. Seolah ketukan yang Arthur lakukan tadi itu adalah isyarat untuk memanggil.

“Selamat pagi, Tuan.” Pelayan itu menyapa dan menunduk dengan sopan.

Pelayan itu masuk sambil membawa pakaian kasual berwarna cokelat yang terdiri dari atasan dan bawahan yang terlipat rapi di tangannya. Di atas lipatan baju tersebut, terdapat sepasang pakaian dalam dan sisir. Lalu semua barang itu pun diletakkan di atas kasur.

Zelda tidak tahu dari mana ukuran tubuhnya bisa diterka, tetapi saat ia lihat, bra dan celana dalam yang dibawakan pelayan memang adalah ukuran yang sangat pas dan sesuai dengan tubuhnya. Mungkin Mona yang memberitahukan segala tentang dirinya pada pria ini.

Arthur mengibaskan tangan kanannya, mengisyaratkan pada pelayan itu untuk langsung pergi.

Setelah sang pelayan pergi tanpa bantahan, Arthur pun berbalik dan melangkah mendekat pada Zelda yang masih berdiri sambil menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.

“Kau bisa memakai baju itu. Untuk ke depannya, pakailah pakaian yang telah disediakan di lemari yang ada di kamarmu. Jangan sekali-kali memakai gaun hitam. Aku tidak suka,” jelas Arthur.

“Baik, Tuan.”

“Kau hanya boleh mandi tiap pukul tujuh pagi dan tujuh malam. Tidak boleh di lain jam tersebut.”

Zelda yang sebelumnya sedikit menunduk, kini mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap pria di hadapannya itu. “Memangnya kenapa, Tuan? Mengapa hanya boleh di jam itu?”

Arthur tidak menjawab pertanyaan Zelda, tapi justru berkata untuk menegaskan, “Satu hal penting. Jangan pernah membantah atau menanyakan alasan dari perintah yang kuberikan.”

Zelda pun menundukkan pandangannya dan mencengkeram selimut yang masih ia pegang untuk menutupi tubuhnya. “Maafkan aku.”

“Berbaliklah!” Arthur memberi perintah.

Zelda patuh. Ia melilit tubuhnya dengan selimut, lalu berbalik membelakangi Arthur. Ia tahu seluruh tubuhnya sudah dilihat dan bahkan dijamah oleh tuan barunya itu semalam. Namun tetap saja, rasanya canggung dan agak malu jika harus berdiri seperti ini tanpa busana.

“Untuk apa kau memegangi selimut itu? Lepaskan dari tubuhmu!” titah Arthur.

“Iya, Tuan.” Zelda yang awalnya ragu, akhirnya menurut saja. Ia melepaskan lilitan selimut di tubuhnya, lalu mengembalikan benda itu ke atas kasur.

Zelda tidak tahu mengapa dirinya disuruh berbalik dan apa yang akan Arthur lakukan. Hingga tak lama kemudian, Zelda menyadari kalau Arthur menyentuh rambut panjangnya yang menjuntai di punggung.

Arthur mengesampingkan rambut Zelda ke sebelah kiri. Ia merasakan embusan napas Arthur yang hangat dan beraroma mint itu menerpa area leher dan telinga kanannya yang kini terekspos. Ia memiringkan kepalanya ke kiri, lalu memejamkan mata dan mengulum bibirnya rapat-rapat saat Arthur mengendusi leher jenjangnya dari belakang.

“Mawar? Apakah produk mandi yang kau pakai beraroma mawar?” tanya Arthur selagi menciumi leher Zelda.

“I-iya, Tuan ...,” jawab Zelda dengan sedikit terbata karena merasa merinding bukan main ketika bibir Arthur menyentuh kulit lehernya.

“Bagus. Aroma ini tidak buruk. Namun mulai sekarang, kau harus memakai sabun dan sampo atau produk mandi apa pun yang tersedia di kamarmu. Mengerti?"

“Baik. Aku mengerti.”

Arthur berhenti berkutat pada leher jenjang Zelda yang seputih susu itu, lalu mengetatkan posisi dasi di kerah kemejanya. Kemudian, dia pun berbalik dan melangkah menuju pintu dengan ketukan pantofel hitam mengkilatnya yang terdengar tajam dan sangat tegas.

Zelda masih tetap berdiri di tempat. Setelah mendengar suara pintu yang tertutup dan Arthur telah keluar, ia memejamkan matanya dan menghela napas lega setelah sejak tadi merasa tegang sekaligus takut karena Arthur.

Tak hanya harus tunduk dan patuh di atas ranjang, bahkan mandi pun ada jadwalnya. Jenis pakaian juga ditekankan tak boleh pakai gaun hitam. Dan lagi, sabun maupun sampo juga harus yang sesuai dengan yang sang tuan inginkan.

Semua itu membuat Zelda sempat termenung sejenak. Baru menyadari kalau semenjak ia sepakat dengan Mona yang menjualnya pada Arthur, hidupnya benar-benar berada di bawah kendali dan aturan ketat tuan barunya tersebut.


***


3. Vanila dan Karamel

Kedua kaki jenjang Zelda melangkah keluar dari shower room. Untuk membalut tubuh telanjangnya yang masih basah, ia langsung mengambil bathrobe putih yang menggantung rapi di dekat pintu kamar mandi.

Zelda mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil, sebelum nantinya dilanjutkan dengan hairdryer.

Harum vanila dan karamel yang sangat kental memanjakan indera penciuman Zelda. Aroma harum tersebut berasal dari sampo dan sabun yang Zelda gunakan, yang mana merupakan barang-barang yang tersedia di kamar mandi di dalam kamarnya.

Zelda pikir, produk mandi yang harus ia gunakan di mansion mewah ini atas perintah Arthur adalah produk yang aromanya aneh-aneh. Namun ternyata, tidak seburuk itu. Zelda justru suka dengan aroma lembut vanila dan karamel tersebut. Meski manis dan lembut, tetapi juga segar.

Dengan rambut yang masih setengah basah, Zelda beranjak keluar dari kamar mandi.

Ini adalah hari ketiga Zelda tinggal di mansion milik Arthur Morris Gray. Selain pada malam pertama ia melayani Arthur, sampai detik ini selama dua hari berturut-turut, belum lagi dirinya bertemu dengan pria itu.

Seperti yang diketahui, ia akan dipanggil apabila Arthur membutuhkannya. Jadi, selama tidak melayani Arthur, ia hanya menghabiskan waktu berada di kamar, berkeliling mansion super besar itu, mengobrol dengan pelayan, dan melihat-lihat fasilitas yang ada.

Sebenarnya, tidak terlalu buruk bagi Zelda, mengingat selama ini tiap sore sampai pagi ia harus stand by di Wynn Bellagio untuk dijual oleh Mona kepada konglomerat yang membutuhkannya. Namun sekarang, ia hanya perlu mengabdi pada satu orang dan itu pun kalau orang tersebut butuh.

Zelda tidak tahu bagaimana caranya, tetapi pelayan dan anak buah Arthur  telah melengkapi kamar yang ia tempati dengan hal-hal yang setidaknya paling ia butuhkan.

Bahkan kemarin sore, pelayan datang ke kamarnya dan mengantarkan sebuah tas berukuran sedang berisi peralatan make up, parfum, dan semua produk perawatan wajah miliknya.

Zelda cukup terkejut, tetapi pelayan segera memberitahu kalau benda-benda tersebut diserahkan oleh Mona Germanotta karena Zelda sudah tak lagi tinggal di flat yang ada dekat hotel kasino milik mantan germonya tersebut.

“Zelda Esmeray Murphy?”

Zelda yang baru saja melepas tali bathrobenya untuk memakai pakaian, langsung buru-buru mengikat tali itu kembali. Ia menoleh ke arah pintu ketika pintu tersebut diketuk dari luar.

“Y-ya? Ada apa?” sahut Zelda.

Pintu pun terbuka. Zelda melihat salah seorang pria berkemeja hitam memasuki kamarnya.

“Tuan Arthur menunggumu,” kata pria itu.

Zelda melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Mendapati sekarang pukul delapan malam kurang beberapa menit, ia pun jadi merasa khawatir dan segera bertanya, “Maaf, apakah aku akan dapat masalah? Tadi ... aku mandi tepat pukul tujuh, kok. Tapi memang baru selesai sekarang.”

Pria itu tak menjawab pertanyaan Zelda, tetapi dia justru mengulang perkataannya dengan tajam. “Tuan Arthur menunggumu.”

“Baiklah. Aku akan ganti pakaian dulu,” jawab Zelda sembari merapatkan bathrobe putih di tubuhnya.

“Tidak ada waktu untuk itu. Sekarang!”

Zelda mematung dan tertegun sejenak ketika pria itu membuka pintu lebar-lebar, seolah memberi jalan untuknya dan mengisyaratkannya untuk segera keluar dari kamar itu.

Sembari memegang kedua sisi bathrobenya untuk mengeratkan posisi baju handuk itu agar tetap menutupi tubuh telanjangnya, Zelda yang tak bisa berbuat banyak pun segera keluar, menunggu arahan.

Pria berkemeja hitam tadi menutup pintu kamarnya, lalu segera mengantarnya turun ke lantai bawah untuk menuju sebuah ruangan yang ada di dekat area kolam renang.

Ketika Zelda masuk ke ruangan, ia mendapati kalau ternyata itu semacam private indoor lounge dengan penerangan yang elegan keemasan. Terdapat meja bar dengan rak berisi deretan botol alkohol di sisi ruangan. Arthur duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan itu.

Zelda pun melangkah menghampiri sofa panjang berwarna marun yang Arthur duduki. Ia berdiam diri di hadapan Arthur ketika pria itu menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Bisa bantu aku menuangkan wiski itu?” Arthur menatap sambil menunjuk botol Macallan 25, jenis wiski dengan harga yang sangat mahal, di atas meja.

“Bisa, Tuan.” Zelda mengangguk patuh.

Wanita yang mengenakan bathrobe putih itu membungkuk dan berniat untuk mengambil botol, tetapi ketika ia melakukan itu, bagian depan baju handuk yang ia kenakan merosot dan hampir membuat dadanya terekspos.

Zelda tak tahu mengapa dirinya merasa malu di hadapan Arthur, padahal pria itu sudah menjajah tubuhnya secara liar beberapa hari lalu. Namun secara refleks dan agak panik, ia langsung menekan bagian depan baju handuk tersebut untuk menutupi dadanya.

Arthur pun menatap Zelda dengan sebelah alis tebalnya yang terangkat. Ditatap seperti itu oleh Arthur, Zelda malah jadi semakin canggung dan kikuk. Ia ingin bergegas mengambil botol wiski agar segera melaksanakan perintah Arthur tadi, tetapi karena kepalang gugup, ia malah menjatuhkan handuk kecil di tangannya yang tadi di kamar ia gunakan untuk mengeringkan rambut.

Berniat mengambil handuk itu, Zelda berjongkok. Ia kesulitan menggapainya di lantai, lalu keningnya malah tak sengaja terbentur sisi meja.

Tak apa. Itu tak terlalu sakit. Namun, ketika baru akan berdiri dengan bertumpu pada meja, Zelda menyenggol pemantik api yang ada di pinggir meja sampai pemantik api itu jatuh.

Masalahnya, pemantik itu pasti berharga sangat mahal. Terlihat dari lapisan luarnya yang berkilau dan terdapat gambar naga berwarna emas. Gambar naga pada pemantik itu sama persis dengan bentuk tato naga di lengan Arthur yang tempo hari lalu Zelda lihat ketika mereka bersetubuh.

Tak pernah sekali pun Zelda melihat ada pemantik untuk rokok yang modelnya sangat mewah begitu. Menjatuhkan benda seperti itu mungkin akan membuatnya dapat masalah.

Sikap kikuk Zelda yang timbul karena canggung sekaligus takut di hadapan sang tuan tidak sampai di situ, apalagi setelah menjatuhkan pemantik mahal tersebut.

Dia sudah berniat mengambil pemantik yang jatuh di bawah meja, tetapi malah kesulitan menyelaraskan keseimbangan tubuh ketika berjongkok dan malah berujung jatuh.

Zelda pun menenangkan diri susah payah dari kegugupan, ketika ia mendengar suara Arthur yang menghela napas kesal dan dilanjutkan dengan berdecak keras.

“Zelda Esmeray Murphy! Apa kau mabuk? Ingin berakting menjadi Charlie Chaplin? Aku menyuruhmu menuangkan wiski untukku, bukan menyuruhmu melawak dan berlakon begini!” bentak Arthur yang merasa sangat terganggu dengan sikap kikuk Zelda.

“M-maaf, Tuan.” Zelda buru-buru mengambil pemantik api yang tadi ia jatuhkan ke bawah meja. Kemudian, bergegas kembali berdiri tegak di hadapan Arthur.

“Cepat tuangkan!”

“Baik.” Zelda mengangguk patuh. Ia mengambil botol wiski, menggenggam erat benda itu, lalu berjalan mendekati Arthur.

Setelah berdiri tepat di samping Arthur, Zelda membungkuk dan menuangkan wiski tersebut ke gelas sang tuan yang kosong.

Zelda sadar betul kalau Arthur menelisik aroma tubuhnya ketika ia membungkuk seperti itu. Ia diam saja dan tetap melaksanakan perintah yang tadi diberikan padanya.

“Kau menggunakan sabun dan sampo di kamarmu, kan?” tanya Arthur. Suara baritonnya yang sangat dalam itu berhasil membuat Zelda terpana sesaat, karena kagum sekaligus takut di waktu yang bersamaan.

“Iya, Tuan. Aku menggunakannya.”

“Bagus.” Arthur menyeringai puas.

Pria itu kembali bersandar pada sandaran sofa setelah sempat menyentuh rambut halus Zelda yang masih setengah basah. Itu seolah menjadi isyarat bagi si wanita bahwa dirinya sudah boleh berdiri tegak dan berhenti membungkuk jika telah selesai menuangkan wiski.

Pandangan Arthur menyisir lekuk tubuh Zelda di balik balutan bathrobe. Dia mengangkat rendah tangan kanannya, memanggil pria berkemeja hitam yang tadi mengantar Zelda ke ruangan tersebut.

“Bawakan pakaian untuknya!” perintah Arthur.

“Baik, Tuan,” jawab si pria, tidak kalah patuh dari Zelda.

Tak butuh waktu lama hingga akhirnya pria itu kembali ke dalam ruangan bersama salah satu pelayan perempuan di mansion. Sang pelayan datang sambil membawa sebuah gaun merah yang sangat cantik dengan bagian depan yang dilengkapi oleh beberapa kristal dan berlian murni.

Gaun merah itu memiliki model bagian dada yang tertutup, tetapi tak sedikit pun mengurangi keindahannya karena bentuknya mengikuti lekuk tubuh.

Tak hanya membawa gaun, pelayan juga membawakan pakaian dalam dengan warna selaras untuk Zelda.

“Pakailah,” perintah Arthur pada Zelda, setelah pelayan memberikan gaun itu pada si partner ranjangnya.

Zelda mengangguk patuh. Sembari membawa gaunnya, ia berjalan menuju pintu.

“Kau mau ke mana?” Arthur mengerutkan kening melihat Zelda yang malah melenggang pergi seenaknya dari hadapannya.

“Aku ... aku ingin ke kamarku, Tuan. Aku pikir kau menyuruhku untuk memakainya.”

“Pakai di sini! Singkirkan handuk itu dari tubuhmu dan kenakan gaunmu di hadapanku!”


***


4. Gaun Merah

Sangat tidak nyaman dan canggung bagi Zelda, ketika ia harus berpakaian persis di hadapan Arthur. Padahal, selama ini pun ia selalu telanjang apabila Mona Germanotta menjualnya kepada pria berduit. Bahkan nyatanya Arthur juga sudah melihatnya telanjang bulat dan telah menjajah tubuhnya tempo hari.

Saat ini hanya ada dirinya dan Arthur di ruangan itu. Pengawal Arthur sudah keluar, begitu juga dengan pelayan. Namun entah mengapa, tiap kali melihat mata Arthur yang tajam itu, Zelda merasa gelisah dan takut. Itu juga yang membuatnya seringkali  jadi merasa gugup hingga canggung dan kikuk.

Zelda melepas bathrobe yang terpasang di tubuhnya. Ia tidak memakai apa-apa di balik bathrobe, karena tadi pun dirinya memang baru selesai mandi.

Setelah bathrobe merosot jatuh ke lantai dan tubuhnya kini benar-benar telanjang, susah payah ia merasa tenang, ketika berpikir pandangan Arthur akan fokus tertuju padanya.

“Apa kau malu jika aku memerhatikanmu berpakaian seperti ini? Mengapa wajahmu memerah?” tanya Arthur sembari tersenyum sinis, sedikit mengangkat kedua alis ketika dia melihat Zelda memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua lengan untuk menutupi tubuh telanjangnya.

“Iya, Tuan. Maafkan aku,” jawab Zelda dengan jantung yang berdebar-debar.

Itu adalah jawaban yang sangat tidak terprediksi oleh Arthur. Arthur pikir, pemuasnya itu akan berkilah dan tidak akan frontal mengatakan jika tengah merasa malu. Lagipula, bagaimana bisa lacur seperti Zelda punya rasa malu di hadapannya yang merupakan tuannya?

Dari situ kemudian ada yang Arthur sadari, bahwa Zelda takut padanya, tetapi juga cukup blak-blakan untuk bicara sesuai dengan apa yang ada di kepalanya.

“Cepat pakai!” titah Arthur seraya memalingkan wajah dan berhenti menatap Zelda yang berdiri beberapa meter di hadapannya.

Selagi Arthur tak menatapnya, Zelda pun buru-buru memakai pakaian dalam dan gaun merah yang tadi dibawakan oleh pelayan. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya gaun merah itu sudah menempel apik di tubuh langsing Zelda. Sangat pas dan membuatnya tampak menawan meski tidak terlalu terbuka.

Zelda menyadari kalau Arthur kembali menatapnya. Ia berdiri diam ketika pria berjas hitam itu bangkit dari duduk dan menghampirinya.

Zelda pun tak tahu mengapa ia diperintahkan memakai pakaian bagus seperti ini kalau hanya untuk melayani nafsu Arthur malam ini.

“Aku sedang ingin makan malam di luar dan aku tidak suka makan sendirian. Jadi, kau harus menemaniku,” perintah Arthur.

Akhirnya Zelda tahu alasannya. Ia pun mengangguk patuh dan menjawab, “Baik, Tuan. Tapi, barangkali kau mengizinkan, aku perlu menata rambutku dulu sekaligus memakai sedikit make up.”

Kedua mata Arthur terlihat sedikit memicing. Dia membatin, ingin mengatakan kalau tanpa make up pun sebenarnya Zelda sudah terlihat menarik dan ia tidak mau buang-buang waktu hanya untuk menunggu wanita itu berdandan. Berani-beraninya Zelda membuat tuannya harus menunggu.

Namun karena lagi pula rambut Zelda juga terlihat masih setengah basah, Arthur pun akhirnya mengibaskan telapak tangan kanan, menyuruh Zelda untuk keluar dari ruangan itu dan segera melakukan apa yang mau dilakukan.

“Hanya sepuluh menit. Lebih dari itu, aku akan menghukummu,” tekan Arthur.

“Baik, Tuan,” jawab Zelda patuh.

Bergegas keluar dari ruangan itu, Zelda langsung pergi ke kamarnya di lantai dua, terletak di lantai yang sama dengan kamar Arthur, meski kamarnya itu menjorok ke ujung lorong.

Setibanya di kamar, Zelda buru-buru memakai makeup-nya tanpa berlama-lama, tetapi tetap memerhatikan aspek rapi. Dia menyemprotkan parfumnya yang beraroma feminin, serta mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Meski belum benar-benar kering, setidaknya ketika ia sisir masih bisa tertata anggun.

Di menit ke sembilan, Zelda telah menyelesaikan semuanya dan buru-buru kembali ke lantai dasar. Ia sudah ditunggu oleh salah satu pengawal Arthur yang langsung menyuruhnya untuk masuk ke sebuah mobil limousine hitam yang terparkir di halaman mansion.

Zelda duduk bersebelahan dengan Arthur. Ia tersenyum pada tuannya itu seraya berkata, “Maafkan aku jika aku terlalu lama.”

Arthur tak bereaksi, apalagi merespons. Pria tampan dengan perilaku yang sangat dingin itu bahkan tak sedikit pun melirik Zelda.

Mereka berdua tiba di sebuah restoran mewah di pusat Las Vegas. Zelda berjalan di belakang Arthur menuju meja yang sudah disiapkan.

Menemani makan malam adalah hal yang sangat biasa bagi Zelda. Bukan sekali atau dua kali saja ia menemani pria berduit untuk makan malam. Para pria nafsuan itu yang ingin makan sambil berhadapan dengan wanita yang kalau-kalau bisa langsung ‘dipakai’ selepas perut kenyang.

Jadi, Zelda tak terlalu terkejut ketika Arthur memerintahkannya untuk ikut dan menemani makan malam. Apalagi nyatanya Arthur adalah tuannya, tak sekadar pria yang akan membayar setelah memakai jasanya dalam satu malam.

Namun, baru kali ini Zelda datang ke restoran yang semewah ini. Sangat mewah sampai rasa-rasanya restoran di Four Seasons Hotel masih kalah.

Setibanya di meja mereka yang terletak di lantai tiga, Arthur melepas jas hitam yang dia pakainya sebelum duduk. Namun sialnya, ketika dia melepas benda itu, dasinya tak sengaja tertarik dan jadi berantakan.

Arthur pun menunduk dan mulai membetulkan letak dasinya itu. Merapikan atau memakai dasi tanpa adanya cermin, tentu menyulitkan. Zelda melihat Arthur berdecak kesal dengan simpulan dasi yang malah jadi makin berantakan.

Zelda yang juga belum duduk, melangkah menghampiri Arthur.

“Barangkali kau butuh bantuan, Tuan,” tawar Zelda. Ia meminta izin terlebih dahulu untuk menyentuh pria itu.

Arthur yang tampak pasrah dengan dasinya, menghela napas berat. “Silakan. Lakukan dengan cepat!"

Zelda tersenyum manis. Ia menjulurkan kedua tangannya ke arah dasi Arthur. Karena sudah terlampau berantakan, ia melepaskan simpulan dasi itu dan memakaikannya dari awal.

Arthur terdiam ketika wanita berambut pirang kecokelatan tersebut bertindak cepat setelah peka kalau dirinya butuh bantuan. Kedua mata Arthur menatap wajah Zelda yang kini berdiri persis di hadapannya dan sedang berkutat memakaikan dasi untuknya.

Ini cukup menarik bagi Arthur. Meski tak mengungkapkannya secara langsung, tetapi ia lumayan mengapresiasi hal sekecil, seperti membantu memakaikan dasi.

Wanita atraktif dengan paras cantik itu tak lebih dari sekadar lacur atau wanita pemuas. Namun tak bisa dipungkiri, pesona dan aura kecantikannya kelihatan terlalu tinggi untuk profesi yang serendah itu.

“Sudah,” kata Zelda kemudian setelah akhirnya dasi Arthur kembali tersimpul rapi.

Arthur masih terdiam menatap Zelda. Ketika wanita itu balas menatapnya, ia langsung buang muka dan bergerak untuk menyampirkan jasnya di sandaran kursi sebelum duduk. Zelda menyusul duduk di kursi yang berhadapan dengan Arthur.

Tak berselang lama, seorang pria berusia pertengahan dua puluhan datang ke meja mereka. Dia langsung menyapa Arthur dengan penuh kesopanan sekaligus ramah, lalu memberikan buku menu.

“Kau datang lagi malam ini, Tuan Arthur,” kata pelayan tersebut.

Arthur hanya tersenyum tipis dan memasang wajah dingin. Padahal, Zelda sudah merasa ngeri duluan melihat ekspresi Arthur, tetapi sepertinya si pelayan sudah terbiasa dan tahu betul bagaimana sosok pria itu.

“Dan siapa wanita ini?” tanya pelayan itu pada Arthur sambil menatap Zelda dan tersenyum marah. “Izinkan aku menyapanya.”

“Cukup layani aku saja seperti biasanya, tidak perlu banyak tanya,” kata Arthur dengan suara datar, “bawakan aku menu unggulan malam ini.”

“Baik, Tuan,” angguk sang pelayan. Dia mencatat sesuatu di buku pesanan yang dibawanya. Kemudian, ia beralih pada Zelda. “Dan kau, Nyonya?”

“Aku ... samakan saja dengannya,” jawab Zelda asal. Ia tidak tahu harus mengatakan apa karena setelah membaca buku menu, isi kepalanya jadi buyar akibat terusik oleh mata elang Arthur yang walaupun hanya menatapnya sekilas, tetapi rasanya menusuk sekali.

Pelayan tersebut pun melaksanakan tugasnya, memberikan napkin dan anggur merah untuk mereka berdua, baru setelah itu pergi untuk segera menyiapkan pesanan.

“Apa kau berniat untuk kembali ke Wynn Bellagio?” tanya Arthur tiba-tiba.

Zelda yang tadinya sedang melihat-lihat keluar jendela di sampingnya pun, spontan menoleh untuk menatap Arthur. Ia melihat Arthur memandanginya dengan begitu intens, seperti menelisik sesuatu.

Zelda bingung harus menjawab apa. Jawaban ya atau tidak, ia khawatir itu akan menjadi bumerang bagi dirinya yang dijual oleh Mona kepada Arthur.

Zelda tertegun. Ia meremas-remas bagian paha dari gaun yang ia kenakan, lalu akhirnya menjawab, “Aku sama sekali tidak ada niat untuk itu, Tuan. Namun, aku harus mengikuti apa yang kau perintahkan. Jika kau menyuruhku untuk kembali, aku tidak akan membantah perintah darimu.”

Arthur tersenyum miring. Dia terlihat puas mendengar jawaban Zelda, sebab pertanyaan yang tadi dia lontarkan bertujuan untuk mengetahui dasar kepatuhan dan loyalitas pelayan nafsunya itu kepadanya.

"Bagus kalau kau mengerti," ujar Arthur.

Zelda hanya mengulas senyum. Berusaha tenang.

“Kau bekerja untukku, Nona. Kau berada di bawah kendaliku. Jadi, jangan coba-coba membelot. Kau mengerti itu, bukan?”

“Mengerti, Tuan.” Zelda tersenyum simpul dengan kepala yang sedikit tertunduk.


***

 

5. Hukuman

Kedua mata Zelda sudah terpejam sejak dua jam lalu, tetapi ia sama sekali tak bisa tidur. Ia telah berusaha untuk terlelap barang tiga atau empat jam. Namun, tidak berhasil sedikit pun.

Zelda menghela napas panjang dan terpaksa membuka mata. Menurunkan selimut yang sejak tadi menutupi tubuhnya sampai sebatas wajah.

Saat ini jam menunjukkan pukul setengah satu malam. Sudah dua minggu lebih Zelda tinggal di mansion mewah yang merupakan kediaman seorang Arthur Morris Gray.

Zelda terus berusaha melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin untuk melayani Arthur. Tidak mau sampai menimbulkan kesalahan yang berpotensi membuat hutangnya pada Mona batal dianggap lunas. Namun seharian ini, ia sama sekali tak dipanggil untuk melakukan tugasnya melayani sang tuan.

Zelda dengar dari pelayan, Arthur bersama anak buahnya sedang ada urusan di kota tetangga. Kemungkinan baru akan kembali malam ini.

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itulah alasan yang membuatnya kesulitan tidur bahkan sampai pukul setengah satu malam.

Apabila tertidur, ia akan panik dan khawatir jika harus mendadak terbangun untuk melayani Arthur kalau-kalau tuannya itu membutuhkannya. Ia tak akan lupa, kapan pun Arthur butuh, ia harus siap sedia. Bahkan tengah malam sekalipun.

Itulah alasan yang membuatnya jadi kepikiran dan malah sulit tidur.

Sayang sekali waktu tidurnya kalau ternyata Arthur tidak memanggilnya malam ini. Karena itulah, Zelda pun memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan beranjak keluar kamar. Ia ingin pergi ke dapur. Mencari minuman yang mungkin bisa membantunya merasa mengantuk dan tidur sebentar.

Setiba di dapur, Zelda membuka kulkas berukuran besar yang ada di sisi ruangan. Dia melihat-lihat berbagai jenis minuman yang ada di dalam.

Minuman beralkohol, jus, dan susu yang tersusun rapi di sana. Kebanyakan adalah bir kaleng dan alkohol sejenisnya.

Zelda memang diberi izin menggunakan segala fasilitas yang ada di mansion itu.  Zelda boleh mengonsumsi makanan dan minuman apa saja yang ada. Bahkan pagi, siang, dan malam pun pelayan juga memasak dan menyediakan makanan mewah untuknya.

Satu-satunya yang tidak boleh dan tidak bisa Zelda lakukan adalah kabur dari mansion itu.

Zelda mengambil botol susu cokelat dari dalam kulkas. Menuangkan isinya sedikit ke gelas yang sudah ia ambil. Selepas mengembalikan botol susu tersebut ke dalam kulkas dia meminum susu cokelat dingin itu sampai habis.

“Ahh ... enaknya,” gumam Zelda dengan senyum yang merekah setelah susu di dalam gelasnya habis.

Zelda berbalik dan berniat membawa gelas itu ke wastafel cuci piring. Namun, betapa terkejutnya ia ketika melihat kalau ternyata ada seorang pria berdasi merah yang berdiri tepat di belakangnya entah sejak kapan.

Zelda hampir menjatuhkan gelas yang ia pegang, karena sangat terkejut setelah mengetahui kalau orang itu adalah Arthur.

“Selamat malam, Tuan,” sapa Zelda dengan seulas senyum di bibir ranumnya.

“Sedang apa kau di sini tengah malam begini?” tanya Arthur.

“Anu ... aku merasa haus. Jadi, aku mengambil sedikit susu dan meminumnya,” jelas Zelda.

“Oh.” Pria itu lalu menunjuk kulkas dan berkata, “Ambilkan bir untukku.”

“Baik, Tuan.” Zelda mengangguk patuh. Meletakkan gelas yang dipegangnya ke meja terdekat, lalu bergegas membuka kulkas dan mengambilkan satu kaleng bir untuk sang tuan.

Saat Zelda mendekat pada Arthur untuk memberikan bir tersebut padanya, ia tak sengaja tersandung kakinya sendiri dan langsung terjungkal ke depan hingga menubruk dada Arthur.

Zelda hampir jatuh kalau saja Arthur tidak menangkapnya. Pria itu merengkuh pinggangnya dan menahan tubuhnya agar tetap berdiri.

Pertolongan Arthur itu membuat mereka kini berdiri dengan posisi yang sangat dekat, terlihat seperti berpelukan. Zelda pun tertegun ketika ia bahkan bisa merasakan embusan napas Arthur di dahinya, hangat.

Zelda tersentak dan mulai panik karena takut Arthur marah padanya akibat perbuatan cerobohnya barusan.

Dengan tangan kanan yang masih memegang kaleng bir, Zelda memberanikan diri untuk mendongak menatap Arthur yang jauh lebih tinggi darinya.

“Kau sengaja, ya?” tuduh Arthur dengan mata birunya yang berkilat tajam menatap Zelda.

“Tidak, Tuan. Maafkan aku. Aku tidak sengaja,” ucap Zelda. Segera mundur satu langkah, lalu menyerahkan kaleng bir pada Arthur. “Ini bir yang kau minta.”

Arthur menghela napas, lalu menitah, “Bukakan bir itu untukku!”

Tanpa bantahan sedikit pun, Zelda menarik penutup kaleng bir tersebut. Mungkin karena tarikan Zelda terlalu keras dan caranya membuka penutup itu terlalu terburu-buru, alhasil bir itu pun tumpah sedikit.
Masalah terletak pada tumpahan yang mengenai bagian lengan jas hitam Arthur yang masih berdiri di hadapannya. Membuat kedua mata Zelda melebar. Ia pun langsung merasa takut, mengingat jas itu pasti adalah jas yang sangat mahal.

Namun, Arthur justru diam saja. Dia tidak melakukan apa pun dan hanya berdiri diam dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil menatap Zelda.

Tatapan Arthur itu membuat Zelda sadar kalau pria itu memerintahkannya untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat. Tanpa pikir panjang, Zelda meletakkan kaleng bir yang tadi sudah ia buka, lalu buru-buru mengambil beberapa lembar tisu dari meja di samping kulkas.

Zelda pun kembali ke hadapan Arthur, lalu menggunakan tisu untuk mengusap-usap bagian jas Arthur yang barusan terkena tumpahan bir. Berusaha membersihkannya.

“Aku minta maaf, Tuan. Aku benar-benar minta maaf. Maafkan ketidaksengajaanku,” tutur Zelda dengan tangan yang sedikit gemetar.

Bahkan kesalahan sekecil ini, bisa jadi akan membuatnya mendapatkan bumerang besar jika Arthur sungguhan marah padanya.

Arthur tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap Zelda yang masih berusaha mengeringkan jasnya dengan tisu, yang mana sebenarnya Zelda sendiri tahu bahwa tisu itu tidak akan mampu bekerja secara maksimal untuk mengeringkan.

Hingga tak lama kemudian, tiba-tiba saja Arthur mencengkeram pergelangan tangan Zelda dan membuat wanita itu menghentikan gerakannya.

Arthur melangkah maju, sehingga refleks membuat Zelda justru melangkah mundur. Dia tidak tahu harus bagaimana selain benar-benar mundur dan tertegun ketika pandangannya bertemu dengan Arthur. Sampai akhirnya, Arthur pun menyudutkannya di depan meja keramik dapur yang mewah itu.

“Kenapa kau ceroboh sekali, huh?” tanya Arthur dengan setengah mendesis di antara jarak tubuh dan wajah mereka yang sangat dekat.

“Maaf, Tuan. Aku tidak sengaja.” Zelda menjawab dengan kepala yang tertunduk.

Jantung Zelda berdebar-debar. Menunduk pun ia bisa merasakan kilatan mata Arthur yang menyorot padanya.

Zelda merasakan jari telunjuk Arthur menyentuh dagunya, lalu menuntunnya untuk mendongak agar kembali menatap mata sang tuan.

Tatapan mereka beradu. Zelda melihat dengan jelas bagaimana Arthur menyunggingkan senyum sinis padanya.

“Buka bajumu,” perintah Arthur penuh penekanan, “kau harus dihukum.”

Zelda pun langsung mengerti ke mana arah maksud dari perkataan Arthur barusan. Namun, ia tak bisa membantah perintah itu. Segera membuka satu-persatu kancing piyamanya, lalu menurunkan celananya.

Ketika akhirnya Zelda hanya memakai bra dan celana dalam, Arthur pun melepas jas hitamnya yang sedikit basah karena kecerobohan Zelda tadi. Dia melepaskan dasi dari kerah kemejanya dan melemparnya ke arah salah satu kursi meja makan.

“Lepaskan itu!” titah Arthur sembari menunjuk bra berwarna krem yang menutupi gundukan sempurna di dada Zelda.

Meski ragu dan khawatir, Zelda tak membantah untuk melaksanakan perintah sang tuan. Dia mematuhinya dengan segera.

Zelda tertegun saat melihat Arthur melepas ikat pinggang di celananya dengan gerakan yang cepat dan begitu atraktif, membuka beberapa kancing kemeja putih yang dikenakan, lalu mendekat padanya. Arthur membungkuk dan langsung mencium bibir wanita itu dengan ganas.

Zelda menggenggam erat bagian lengan kemeja Arthur ketika merasakan bibirnya diinvasi oleh tuannya itu.

Bibir Arthur turun untuk menjamah leher jenjang Zelda. Dia mendorong wanita itu untuk makin terpojokkan pada pinggiran meja.

Arthur menurunkan resleting celananya selagi masih menjamah leher dan dada Zelda yang menggoda. Tak hanya itu, tangannya pun mulai bergerilya di beberapa titik sensitif tubuh Zelda dan menyentuhnya dengan intens.

Zelda mendesah pelan karena sentuhan Arthur. Ia memejamkan matanya dan tak bisa berbuat apa-apa selain patuh dalam belenggu sang tuan. Hukuman yang mengarah pada situasi begini, tak salah lagi, mungkin Zelda harus berjuang menghadapi kebrutalan Arthur malam ini.

“Berbaliklah!” perintah Arthur beberapa saat kemudian.

Daripada berpotensi mendapatkan hal yang lebih buruk dari pria kejam itu, Zelda segera berbalik dan menumpukan kedua tangannya ke atas meja.

Semuanya terjadi begitu saja, Arthur melakukan penyatuan. Zelda tak punya pilihan selain melaksanakan tugasnya untuk memuaskan pria itu. Namun, gerakan Arthur sangat keras dan sungguh brutal malam ini.

Tak bisa Zelda pungkiri kalau rasanya memang begitu memikat, tetapi Arthur yang dominan dan mungkin memang sedang marah membuatnya juga merasakan nikmat dan sakit di waktu yang bersamaan.

“Tuan, bisakah kau melakukannya dengan sedikit pelan? A-aku ... sakit ...,” lirih Zelda di sela desahannya. Tubuhnya berguncang hebat karena dorongan Arthur yang kian ganas dan sangat penuh oleh gairah yang menggebu-gebu.

Arthur menggenggam rambut Zelda yang tergerai di punggung. Ia sedikit menjambaknya, tetapi tidak terlalu keras, hanya agar wanita itu mendongak sampai bisa menatapnya di belakang.

“Sakit? Ini hukuman untukmu. Aku ingin mendengarmu menjerit dan meminta ampun padaku,” ujar Arthur sambil menyeringai.

Zelda pun mengeratkan pegangan tangannya pada meja ketika tubuhnya kian terguncang akibat persetubuhan Arthur yang sungguh menggila.

Desahan Zelda makin menjadi-jadi, memenuhi seluruh penjuru dapur mewah itu. Ia tidak sanggup berkata-kata dan hanya bisa menjerit keras sambil melenguh merasakan tubuhnya diinvasi oleh Arthur.

“Ya, benar. Teruslah begitu. Menjeritlah seperti itu. Aku tidak akan berhenti sampai kau minta ampun padaku," desis Arthur.

“Ampun, Tuan. Aku mohon ... maafkan kecerobohanku ... ini terlalu sakit,” lenguh Zelda dengan suara yang bergetar dan agak parau, seiring pula dengan tubuhnya yang bergetar karena gelinjang persetubuhan mereka.

Mendengar permohonan Zelda, Arthur sempat tertegun karena suara wanita itu seperti ingin menangis. Ia menarik tangan kanan Zelda dan menempelkannya di punggung wanita itu. Dengan posisi Zelda hanya bertumpu pada satu tangan, Arthur masih tetap bergerak.

Zelda tidak tahu ini hanya perasaannya saja atau tidak. Namun setelah ia bicara seperti tadi dengan suara yang bergetar karena ingin menangis, gerakan Arthur tak brutal seperti tadi, justru mulai melambat.

Zelda juga tidak tahu kalau Arthur bisa berubah dalam sekejap begitu, hanya karena mendengar ia sudah mengatakan ‘ampun’ atau justru karena merasa iba setelah mendengar ia hampir menangis.

Hingga beberapa menit kemudian, akhirnya Zelda mengimbangi Arthur dan membuat pria itu mendapatkan klimaksnya.

Zelda masih mendesah pelan dan napasnya terengah-engah setelah Arthur melepaskan penyatuan mereka. Ia tetap bertopang pada meja dengan peluh yang membasahi kedua pelipisnya.

Arthur pun menuntun Zelda untuk berbalik menghadapnya. Dia mencengkeram dagu Zelda dengan tangan kekarnya, menatap mata wanita itu lekat-lekat.

Melihat ada genangan air mata di pelupuk mata Zelda, Arthur berkata dengan sangat dingin, “Jangan menangis di hadapanku. Bisa atau tidak?”

“Bi-bisa, Tuan. Aku ... sama sekali tidak menangis. Mataku hanya perih,” jawab Zelda sekenanya.

Arthur terdiam. Tak pernah ia temui wanita yang benar-benar bisa memuaskannya. Baru kali ini, semenjak dua minggu yang lalu, ada wanita yang berhasil membuatnya ingin ereksi lagi, lagi, dan lagi meski sudah merasa begitu puas. Zelda berhasil membuatnya mendapatkan kepuasan maksimal.

Bentuk dan lekuk tubuh, jeritan sekaligus desahan, liang kewanitaan yang sempit dan terasa begitu nikmat, semuanya itu ada pada diri Zelda serta sangat menggoda dan selalu membuat Arthur terpancing untuk merasakannya lagi.

Tidak hanya itu, sikap Zelda yang selalu patuh dan tunduk padanya, wajah cantik yang lugu dan kadang gugup, itu semua membuat Arthur makin gencar membelenggunya dalam kendali. Namun, tidak dengan tangisan. Arthur tidak suka itu.


***


6. Diizinkan Keluar

Zelda menundukkan kepalanya ketika ia melihat Arthur muncul di pintu masuk mansion. Sore ini ia berniat untuk ke area kolam renang, tetapi ia tidak tahu kalau Arthur ada di mansion di waktu yang menunjukkan pukul empat sore ini. Pikirnya pria itu sedang pergi.

Zelda takut, hanya itu. Setelah kejadian di dapur semalam, ia langsung diminta kembali ke kamarnya dan tak melihat Arthur lagi sejak saat itu. Rasanya tegang sekali ketika sekarang ia menatap sang tuan.

Kesalahan kecil setingkat menumpahkan bir saja langsung membuatnya hampir tak bisa berjalan hari ini, karena disetubuhi dengan brutal. Terlepas dari itu memang tugasnya untuk melayani Arthur kalau pria itu butuh dipuaskan, namun tetap saja rasanya menegangkan bagi Zelda jika melihat Arthur marah.

“Hey, kau!” panggil Arthur.

Zelda tetap menunduk dan berjalan pergi karena ia pikir bukan dirinya yang dipanggil, melainkan penjaga mansion atau pengawal Arthur.

“Zelda Esmeray Murphy!” Suara tegas itu menggelegar di seluruh penjuru ruangan.

Sontak saja langkah Zelda langsung terhenti. Ia tertegun dan segera berbalik. “Y-ya, Tuan?”

“Kau tuli?” sinis Arthur seraya melangkah menghampiri Zelda dengan sebelah tangannya yang dimasukkan ke saku celana.

“Tidak. Aku tidak tuli. Aku pikir kau bukan memanggilku,” jawab Zelda sejujur-jujurnya.

Jawaban itu cukup impresif bagi Arthur. Bukan karena betapa jujurnya Zelda yang memang selalu melontarkan apa pun isi kepalanya, melainkan karena keberanian wanita itu menyahuti omelannya.

Benar-benar aneh. Arthur tahu Zelda takut dan tunduk padanya, tetapi mulut wanita itu sepertinya memang sangat ekspresif. Bagi Arthur, wanita ini agak ... lain.

“Kau berani menentangku?” pungkas Arthur.

Zelda tak menjawab lagi dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia bahkan enggan menatap mata Arthur karena takut. Memilih untuk memandang ke arah pria di belakang Arthur yang merupakan pengawal pria itu. Setidaknya pengawal tersebut memiliki wajah yang lumayan tampan dan enak dilihat, meski tak setampan Arthur.

“Pergi ke kamarku!” titah Arthur.

Zelda terdiam. Jika Arthur menyuruhnya ke kamar, ia sudah menduga kalau sore ini harus melayani Arthur lagi. Namun, sekarang ia malah merasa gugup karena cemas bila dirinya akan dihukum lagi seperti semalam.

“Apa pendengaranmu benar-benar terganggu? Kenapa malah melamun? Tidak dengar perintahku?” Arthur menukas tajam.

“Dengar, Tuan.” Zelda mengangguk cepat. Ia segera berbalik dan berjalan menuju lift untuk pergi ke kamar Arthur yang terletak di lantai dua.

Zelda tentunya tahu dan sadar kalau Arthur berjalan tepat di belakangnya, mengikutinya seolah untuk memastikan ia tidak blunder dan malah lupa kalau diperintahkan pergi ke kamar pria itu.

Setibanya di depan pintu kamar, kini bergantian Zelda-lah yang mengikuti Arthur memasuki kamar mewah itu. Hanya mereka berdua, tanpa sang pengawal yang akan berjaga di pintu kamar Arthur.

Sang tuan berjalan menuju meja kerja yang ada di sisi ruangannya. Zelda melihat biliuner asal Italia itu melonggarkan simpulan dasi merah bergaris di kerah kemeja putihnya.

Sudah susah payah Zelda menelan saliva, mengira ia akan dibantai habis-habisan sampai harus minta ampun lagi seperti semalam. Namun, dugaan Zelda ternyata salah. Arthur malah duduk di sofa yang ada di kamar itu dan menatap Zelda sembari berkata, “Ada yang ingin kau katakan padaku?”

“Eh?” Zelda tercengang sesaat menatap Arthur. “A-aku ... tidak ada, Tuan.”

“Sungguh? Kau tidak mau meminta sesuatu dariku?”

Zelda bungkam sejenak. Apakah Arthur sedang kesurupan? Mengapa pria berwatak keras itu mendadak bicara begitu? Atau mungkinkah bisnis semakin menguntungkan hingga Arthur saat ini sedang dalam suasana hati yang baik?

“Aku memberimu kesempatan untuk bicara dan kau malah diam seperti ini. Jangan membuatku tak segan memaksamu berlutut!” bentak Arthur.

“Ah, ya, Tuan. Aku ... kalau begitu, jika memang kau mengizinkanku untuk bicara, aku hanya ingin minta izin. Apakah besok aku boleh bepergian sekadar untuk belanja atau ke kedai kopi?” tanya Zelda ragu-ragu.

Arthur tak langsung menjawab. Dia menatap Zelda dengan posisi duduknya yang jelas menunjukkan betapa dia punya wibawa seorang bos besar.

“Boleh,” jawab Arthur, “tapi hanya tiga jam. Dimulai dari pukul empat sore. Sebelum pukul tujuh malam, aku mau kau sudah ada di kamarmu. Kalau sampai kau mandi di atas pukul tujuh, aku akan menghukummu.”

“Baik. Aku mengerti,” jawab Zelda.

Zelda mengiyakan saja. Selama hampir tiga minggu bekerja untuk Arthur pun ia juga selalu melaksanakan perintah pria itu agar mandi tiap pukul tujuh pagi dan pukul tujuh malam. Namun tak bisa dipungkiri, sebetulnya ia heran, mengapa harus angka tujuh?


***


Zelda mondar-mandir di depan etalase donat di sebuah kafe besar namun sepi di pusat Las Vegas, menunjuk berbagai donat kesukaannya dan kegirangan ketika pelayan mengambilkan donat yang ia tunjuk.

Berkeliling di pusat kota sore ini sungguh melegakan baginya, setelah hampir tiga minggu ia menetap di mansion tanpa boleh keluar jika tak diizinkan.

Zelda  keluar dari mansion harus diawasi oleh Mark Ruffalo, salah satu pengawal Arthur. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi agar jangan sampai Zelda coba-coba kabur atau melarikan diri.

Arthur memiliki banyak sekali pengawal, itu pun berbeda dari anak buahnya yang sering Zelda lihat mengadakan pertemuan dengan Arthur di sebuah ruangan khusus di mansion.

Mark adalah pengawal Arthur yang menemui Zelda ketika ia pertama kali berada di mansion dan mengantarnya ke ruang billiard. Mark juga pengawal Arthur yang selalu menjemput Zelda di kamarnya tiap kali Arthur membutuhkan dirinya.

Tak hanya itu, Mark pun sepertinya merupakan pengawal yang paling dekat dengan Arthur karena Zelda melihat Mark selalu ada di mana pun Arthur berada, tak sekadar menjaga mansion.

“Aku hanya ingin membeli ini saja. Apakah setelah ini aku masih boleh pergi ke tempat lain?” tanya Zelda pada Mark selagi menunggu pelayan membungkus donatnya.

Mark melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Dia menggeleng singkat seraya berkata, “Tidak bisa. Sudah pukul 06.15. Kau harus sudah berada di kamarmu sebelum pukul tujuh.”

Zelda menghela napas kecewa. Tapi mau bagaimana lagi?

Zelda mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, lalu memberikan uang itu kepada pelayan kafe untuk membayar setengah lusin donat dan segelas macchiato yang ia pesan.

Selepas keluar dari kafe itu, Mark membukakan pintu sebuah sedan hitam mewah untuk Zelda, lalu mempersilakan sang nyonya masuk.

Zelda pun beranjak memasuki mobil itu. Tak ia duga Mark bersedia membantunya karena tahu ia kerepotan memegang paper bag berisi donat sekaligus gelas kopi di tangan kanan dan kirinya.

“Terima kasih,” ucap Zelda sambil tersenyum simpul pada Mark setelah ia duduk manis di kursi belakang.

Pria itu tak merespons sedikit pun. Dia menutup pintu dan segera menyusul masuk duduk di kursi depan. Bukan Mark yang menyetir mobil, melainkan seorang yang bekerja sebagai sopir.

Sejujurnya, Zelda tegang jika harus diawasi dan dikawal seperti ini. Ia merasa seperti seorang tahanan yang tak segan diseret kembali ke penjara dan mendapat hukuman serius apabila coba-coba kabur. Tapi memangnya ia bisa berbuat apa? Masih beruntung dirinya diizinkan pergi ke kafe.

Wilayah Las Vegas Valley cukup renggang di waktu yang menunjukkan sore menjelang malam seperti sekarang. Tak menutup kemungkinan sebentar lagi akan terlihat berbagai mobil mewah hilir-mudik di sepanjang jalan Las Vegas Strip, di mana orang-orang penikmat judi akan pergi menuju area di sekitar sana yang menjadi pusat kasino dan hotel super mewah.

Di sana pula letak Wynn Bellagio berada. Ketika mobil yang Zelda tumpangi melewati Wynn Bellagio, pandangan Zelda terpaku menatap keluar jendela, memandangi pintu masuk hotel kasino mewah tersebut, tempatnya dulu bernaung di bawah perintah Mona.

Zelda tak pernah berhenti mengutuk dirinya sendiri karena melakukan pekerjaan yang hina dengan menjadi seorang prostitusi. Merasa berdosa? Tentu saja! Takut? Jelas!

Tidak ada prostitusi mana pun di dunia ini yang benar-benar ingin melakukan pekerjaan seperti ini kalau bukan karena butuh uang dan terdesak situasi nasib hidup yang buruk.

Zelda punya adik laki-laki. Saat ini adiknya kuliah di kota lain dan selalu ia kirimi uang setiap bulan.

Selain menebus hutang-hutangnya pada Mona yang terasa tak akan pernah bisa lunas seumur hidup, kecuali setelah ia menandatangani perjanjian untuk menjadi lacur pribadi Arthur, Zelda bekerja juga agar bisa membiayai kuliah dan hidup adiknya.

Sekarang setidaknya Zelda hanya perlu melayani satu pria, tidak usah lagi melayani pria yang berbeda-beda tiap malam.

Las Vegas, kota ini mungkin dianggap hingar-bingar surga dunia malam oleh orang-orang di luar sana. Memang benar, khususnya bagi para penjudi.

Namun bagi Zelda, sejak lima tahun lalu ia harus bekerja untuk Mona Germanotta demi hutang-hutangnya, kota ini tak lebih dari tempat yang gelap dan menyedihkan. Di kota ini ia kehilangan ibunya yang meninggal karena kanker tulang, di kota ini pula terakhir kali ia melihat ayahnya yang entah pergi ke mana tiga tahun silam.


***


7. Donat Tiramisu

Suasana mansion terasa begitu sunyi dan sepi ketika Zelda tiba pada pukul tujuh malam kurang lima belas menit.

Zelda pikir mungkin memang seperti itulah suasana mansion tiap hari, tetapi karena biasanya berada di dalam kamar kalau sudah mendekati pukul tujuh agar tak terlewat waktu mandinya yang ditentukan oleh Arthur, makanya jadi terasa aneh ketika sekarang justru ia baru pulang setelah menghabiskan waktu di luar.

Zelda menaiki tangga sembari menikmati macchiatonya. Tak hanya itu, sesekali ia juga asyik mengunyah donat yang dibelinya di kafe. Tadi ia sempat memberikan satu donat pada sopir, lalu juga menawarkannya pada Mark. Namun, Mark menolak.

Di mana pun berada, kalau baru membeli makanan, pasti selalu ia usahakan berbagi pada siapa pun orang yang ada di sekitarnya. Sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil.

Zelda melangkah menuju kamarnya yang terletak di ujung lorong, berjarak sekitar dua puluh meter dari kamar mewah milik Arthur. Koridor mansion itu memang sangat besar dan luas, setahu Zelda ada beberapa ruangan khusus yang sering Arthur tempati kalau sedang berdiskusi dengan anak buahnya.

Membuka pintu kamar sambil bersenandung ria, Zelda menikmati donat dan kopinya dengan perasaan senang karena tadi untuk pertama kalinya bisa jalan-jalan setelah hampir tiga minggu mendekam di mansion.

Saat Zelda sudah masuk dan menutup pintu, ia terperanjat kaget ketika melihat ada sesosok pria duduk di sofa yang ada di sudut kamarnya.

Itu Arthur. Pria tersebut duduk dengan kedua tangan yang bertopang pada pegangan sofa, menatap ke arah pintu dengan mata birunya yang dingin dan tajam.

“Tuan?” Zelda terperangah. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kau ada di sini.”

Bahkan meski itu adalah kamar tidur yang ditempatinya, namun ia tetap merasa bersalah karena masuk tanpa mengetuk selagi ada Arthur di dalamnya.

“Kau terlihat gembira sekali. Apa kau bersenang-senang hari ini?” tanya Arthur dengan mata yang masih tertuju pada Zelda.

“Iya, Tuan,” jawab Zelda sekenanya.

Arthur pun menghela napas panjang. Dia bangkit dari duduknya, lalu mengeluarkan sebuah kertas dari bagian dalam saku jasnya. Dia melangkah menuju meja yang ada di sisi ruangan, tampak membuka laci untuk mengambil sesuatu di sana yang ternyata adalah pulpen.

Zelda melihat tangan Arthur bergerak menuliskan sesuatu di kertas tersebut. Kemudian, pria itu melangkah menghampiri Zelda dengan ketukan pantofelnya yang sangat khas, tajam dan tegas.

“Ambil ini.” Arthur menyodorkan kertas yang dipegangnya.

Zelda menatap kertas yang rupanya adalah sebuah cek bernilai dua ratus ribu dolar.

Zelda melongo. Ia teringat ucapan Mona bahwa selain hutang-hutangnya pada Mona sebesar lima ratus ribu dolar lunas secara keseluruhan, ia juga akan menerima uang dari Arthur. Namun, terserah sang tuan mau memberikan uang itu kapan dan terserah pula seberapa besar uang yang diberikan. Bahkan jika Arthur hanya memberikan satu dolar pun Mona mewajibkan Zelda untuk menerimanya saja.

Zelda kaget karena tak menyangka diberikan uang sampai dua ratus ribu dolar. Ia tidak memprediksi akan sebanyak itu. Ia pikir, Arthur memberi bayaran untuknya tiap bulan dengan nominal yang tak seberapa, mengingat dirinya pun sudah tak punya hutang lagi pada Mona berkat bekerja untuk Arthur.

“Untukku?” Zelda bertanya memastikan.

Arthur tak merespons dan tetap menyodorkan kertas cek itu pada Zelda, mengisyaratkan lacur pribadinya tersebut untuk segera mengambil.

Zelda pun segera menerimanya. Ia tersenyum pada Arthur seraya berkata, “Terima kasih, Tuan. Ini sangat banyak.”

Arthur memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Dia menatap Zelda lekat-lekat, lalu berkata, “Tetap lakukan pekerjaanmu untukku dengan benar. Sekali kau mengacau, kutenggelamkan kau ke dasar kolam.”

Zelda mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Ia tentu tak berkutik dan hanya tersenyum saja pada Arthur. Di samping itu, pikirannya sudah berkelana memikirkan kalau cek yang diberikan Arthur bisa segera ia kirimkan untuk adiknya setelah dicairkan di bank.

Beberapa saat kemudian, Arthur pun berjalan melewati Zelda untuk keluar dari kamar itu. Namun, baru saja ia berjalan dua langkah, tiba-tiba wanita itu menyusul dan menghadang jalannya.

Kening Arthur berkerut dalam, menatap Zelda dengan mata birunya yang dingin dan tajam itu. Jelas menghakimi Zelda yang seenaknya menghalangi jalannya.

“Apa?” hardik Arthur dengan ketus.

Zelda membuka bungkus donat yang sejak tadi dibawanya. Ia menyempatkan diri untuk meminum macchiatonya sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan satu buah donat rasa tiramisu dan menyodorkannya pada Arthur.

Kerutan di kening Arthur tentunya makin dalam. Ia menatap donat tiramisu itu selama beberapa saat, lalu beralih lagi menatap mata hazel Zelda.

“Apa maksudmu?” Arthur dengan suara ketusnya, berhasil membuat Zelda bergidik.

“Donat ini untukmu, Tuan.”

“Kau mencoba untuk menghinaku dengan itu?” desis Arthur tajam.

“Ah, ti-tidak. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu. Aku ... hanya ingin membagi ini denganmu. Tadi aku membeli donat cukup banyak di kafe. Barangkali kau mau mencicipinya, Tuan.”

Arthur bergeming menatap Zelda.

“Ini enak, kok. Serius.” Zelda berujar dengan antusias.

Melihat Arthur yang tetap diam, Zelda jadi mulai merasa ngeri. Gawat, pikir Zelda. Ia hanya berniat berbagi donat, tetapi sepertinya tindakannya terlalu informal dan membuat Arthur risih karena sikapnya itu.

Lagi pula ia pikir dirinya ini terlalu bodoh. Bahkan tadi ketika ia memberikan donat pada Mark, Mark yang merupakan pengawal Arthur pun menolaknya. Sekarang ia malah nekat sembarangan menyodorkan donat tiramisu pada sang tuan besar.

Zelda jadi teringat insiden tempo hari. Arthur juga diam seperti ini sebelum menyetubuhinya dengan brutal. Zelda berdebar-debar, mampuslah dia. Berpotensi sungguhan tidak bisa jalan besok pagi jika diterjang Arthur yang sedang marah.

“Tapi kalau kau tidak mau, tidak apa-apa, Tuan. Aku ... jika sedang makan sesuatu, terbiasa berbagi makananku dengan orang lain kalau ada lebih. Dan kebetulan aku membeli cukup banyak donat. Tidak ada maksud negatif apa pun selain untuk berbagi. Aku bersumpah,” jelas Zelda dengan gugup.

Zelda sudah berniat untuk memasukkan kembali donat tiramisu yang ia sodorkan ke dalam bungkus. Namun, bahkan ia sama sekali tidak sempat melaksanakan niatnya tersebut karena tiba-tiba Arthur mengambil donat itu dari tangannya.

Zelda terperangah melihat Arthur yang mau menerima donatnya. Ia mematung menatap Arthur. Sementara Arthur yang kini memegang donat, mendadak membungkuk untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Zelda yang lebih pendek darinya.

Wanita itu tertegun karena jarak wajah mereka kini sangat dekat. Hingga tak lama kemudian, Arthur makin mendekat, lalu menjilat sudut kanan bibir Zelda, menyeka setetes macchiato dan topping donat yang belepotan di sana.

Zelda mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, berdebar-debar merasakan lidah Arthur menempel di sudut bibirnya. Ia tak sadar kalau meminum kopi dan memakan donat dengan sedikit berantakan. Ia juga tak menyangka Arthur akan bertindak seperti barusan untuk membersihkan sisa kopi dan topping donat yang berantakan di bibirnya.

"Tiramisu? Apakah donat yang kau berikan ini rasanya sama seperti donat yang baru selesai kau makan?" tanya Arthur dengan suara beratnya yang menusuk telinga Zelda.

"I-iya, Tuan. Aku ... membeli dua donat tiramisu. Yang satu sudah kumakan sebelum ke kamar ini, dan yang satunya lagi kuberikan padamu," ujar Zelda.

Arthur kembali berdiri tegak setelah tadi menjilat sudut bibir Zelda dan merasakan rasa macchiato sekaligus tiramisu di sana. Kemudian, tanpa bicara sepatah kata pun lagi, dia melangkah keluar dari kamar Zelda sambil membawa donat tiramisu yang wanita itu berikan.

Arthur melangkahkan kedua kakinya menyusuri koridor lantai dua untuk menuju ruang kerjanya. Langkah Arthur terhenti tepat di tengah koridor. Kedua matanya terpaku menatap donat tiramisu yang ia pegang.

Melamun cukup lama, Arthur bahkan sampai membuat beberapa pengawalnya yang berjaga di koridor itu curi-curi lirik ke arahnya karena heran. Ada apa gerangan sang tuan melamun menatap donat?

Seumur-umur, tak ada satu pun orang yang berani bertindak konyol pada Arthur. Semuanya hanya tentang keseriusan, ketegasan, dan kuasanya. Yang ia terima dari orang lain pun selalu memiliki nilai penting dan berharga.

Namun sekarang, mengejutkan sekali ketika ada seorang wanita yang dengan wajah innocentnya memberikan satu buah donat untuknya.

Bayangkan, donat!

Arthur sama sekali tidak sadar ketika bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. Baginya ini sangatlah konyol dan lucu.

Melanjutkan langkahnya menyusuri koridor, Arthur mulai memakan donat tiramisu pemberian Zelda. Rasanya manis, seperti bibir Zelda yang tadi ia jilat.


***

 

8. Gara-Gara Datang Bulan


Zelda diminta untuk menemui Arthur pada pukul delapan malam setelah ia selesai mandi.

Usai berdandan dan menyemprotkan parfum ke tubuhnya, Zelda memakai gaun pendek yang ia ambil dari lemari.

Tidak ada pelayan yang datang untuk memberikan pakaian khusus agar dipakai olehnya malam ini. Jadi, ia pikir dirinya boleh memakai pakaian apa saja asal menarik untuk melayani Arthur.

Zelda memakai bodycon dress berwarna biru dongker, serta sepasang heels hitam. Gaun ketat dengan bagian bawah yang pendek dan hanya sepanjang paha itu tampak sangat apik menempel di tubuh langsingnya yang proporsional.

Zelda tidak punya waktu untuk menata rambut. Jadi, ia hanya mencepol rambut pirangnya dan bergegas keluar dari kamarnya untuk segera mendatangi ruangan di mana Arthur berada sekarang.

Padahal, Zelda sudah melakukan pekerjaan ini sejak hampir tiga minggu yang lalu. Seharusnya ia mulai bisa terbiasa, tetapi memikirkan betapa dominan dan mengerikannya sosok Arthur, membuat ia merasa gugup karena takut melakukan kesalahan.

Setibanya di depan pintu ruang billiard, salah satu pengawal Arthur yang menjaga pintu dari luar pun membukakan pintu itu untuk Zelda.

Setelah mengucapkan terima kasih, Zelda melangkah masuk. Ia melihat di dalam sana Arthur sedang bermain billiard bersama dua orang anak buahnya.

Kedatangan Zelda membuat mereka semua menoleh. Sudah mengetahui kalau Arthur punya urusan dengan pemuas nafsunya, dua anak buah Arthur pun meletakkan stick billiard mereka dan berpamitan pergi.

“Kami permisi, Tuan,” pamit salah satu dari mereka sebelum akhirnya berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan itu.

Zelda pun menghampiri Arthur yang masih berada di samping meja billiard. “Selamat malam, Tuan.”

Arthur tetap dalam posisi membungkuk, menyejajarkan pandangannya pada stick yang dia pegang dengan arah bola di atas meja. Dia melirik ke arah Zelda, memandangi tubuh wanita itu yang tampak menggoda dengan gaun ketatnya.

“Ambil benda itu,” perintah Arthur sembari mengisyaratkan dengan dagunya agar Zelda mengambil salah satu stick billiard di samping meja.

Zelda pun patuh. Mengambil satu stick dan berdiri berhadapan dengan Arthur.

Arthur berdiri tegak seraya menghela napas panjang. Zelda menatap sang tuan dengan mata kelabunya yang tampak cantik dalam bingkai bulu matanya yang lentik.

“Kupikir kau pasti cukup pandai dengan billiard, bukan?” tanya Arthur. Suara baritonnya terdengar datar dan dingin.

“Tidak juga, Tuan. Aku ... hanya bisa melakukannya, tetapi tidak semahir itu.”

“Baiklah. Temani aku bermain sebentar. Jangan mengacau!”

“Baik. Aku mengerti.”

Zelda berada di ruangan itu berdua dengan Arthur, bermain billiard bersama untuk menemani tuannya tersebut.

Kemampuan Zelda tidak terlalu buruk. Dia pandai menggunakan stick billiardnya dan memukul bola dengan cukup telaten. Tiap kali Zelda membungkuk, pandangan Arthur tak bisa lepas dari lekuk bokong dan dada sang lacur yang memantik hasratnya.

Ketika Zelda mendapatkan giliran untuk memukul bola lagi, dia kembali membungkuk agar dapat menyejajarkan matanya dengan stick. Saat itulah Arthur merenggangkan dasi di lehernya karena merasa gerah melihat Zelda yang benar-benar menggoda.

“Giliranmu, Tuan,” ucap Zelda.

Dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke saku celana, Arthur melangkah mendekati pinggir meja. Dia menatap Zelda di hadapannya sembari memainkan stick di tangannya.

“You look good behind that desk with your blue dress,” ujar Arthur tiba-tiba.

Zelda pun menunduk untuk memandangi gaun yang ia pakai. Ia kembali menatap Arthur, lalu tersenyum. “Thank you.”

“But you would look so much better on top of it. Without that dress. Totally naked.” Arthur menyunggingkan senyum miring, sangat sinis. Dia mengeluarkan tangannya dari saku celana, lalu menggunakan stick andalannya untuk menyodok bola dengan sangat mahir.

Zelda menatap meja billiard. Tentunya ia mengerti ke mana arah pembicaraan Arthur. Pria itu ingin ia melakukan tugasnya di atas meja billiard ini.

“Lepas benda itu dari tubuhmu,” titah Arthur kemudian seraya menyingkirkan semua bola di atas meja secara asal, lalu meletakkan sticknya ke sisi ruangan.

Zelda sama sekali tidak membantah. Ia berniat segera melepas gaun yang ia kenakan untuk menuruti perintah Arthur dan melaksanakan tugasnya dalam melayani pria itu. Namun, mendadak saja ia merasa ingin buang air kecil.

“Ma-maaf, Tuan. Bisakah aku izin ke toilet dulu?” Zelda memberanikan diri untuk bertanya.

Arthur berdecak kesal. Dengan ekspresi di wajah tampannya yang terlihat marah, dia menunjuk pintu yang ada di sudut ruangan seraya mencetus, “Cepat sana!”

Zelda pun berbalik dan bergegas menuju ke arah pintu kamar mandi yang ditunjuk Arthur. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia ingin buang air kecil. Sebenarnya tidak benar-benar terasa ingin buang air kecil, tetapi terasa aneh, seperti ada sesuatu yang keluar.

Setelah menutup pintu kamar mandi, Zelda membuka bagian bawah pakaiannya. Ia sedikit terkejut ketika mendapati noda merah di celana dalamnya.

Ia datang bulan!

Selama tiga minggu bekerja untuk Arthur, memang pria itu selalu memakai kondom saat menyetubuhinya. Atau kalau sewaktu-waktu Arthur tidak pakai, maka dirinya tanpa diperintah pun berinisiatif meminum pil kontrasepsi yang memang sering ia konsumsi sejak bekerja di Wynn Bellagio.

Sebagai wanita normal yang tidak dalam kondisi hamil, Zelda jelas akan mendapatkan haid setiap bulan.

Di awal kedatangannya, Mark—pengawal Arthur—sudah menanyakan soal jadwal menstruasinya tiap bulan untuk mengantisipasi. Dengan begitu, Arthur pasti akan memberikan toleransi ketika dia datang bulan dan menuntut dilayani dengan cara lain, meski tanpa penetrasi.

Tapi masalahnya, sekarang Zelda datang bulan lebih cepat dari jadwal yang biasa. Malahan tepat ketika dirinya harus melayani Arthur. Apa yang harus ia katakan pada pria itu? Ia takut kena damprat.

Zelda merenung dan melamun di dalam kamar mandi. Saking fokusnya melamun, ia sampai lupa entah sudah berapa lama ia berada di dalam ruangan itu.

Hingga tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras.

“Berani-beraninya kau membuatku menunggu! Apa kau mau kuhukum?” Suara Arthur yang emosi terdengar di luar sana.

Zelda pun buru-buru merapikan pakaiannya. Ia melangkah menuju pintu, lalu membuka pintu itu setengah. Tidak terbuka lebar, ia hanya memunculkan kepalanya di sela pintu.

“Apa yang kau lakukan di dalam sana? Kenapa lama sekali? Cepat keluar!” titah Arthur dengan mata birunya yang berkilat marah. Jelas terlihat dia sudah punya ‘hukuman’ serius untuk Zelda malam ini.

“Maaf, Tuan.” Zelda masih tetap pada posisinya. Ia tidak berani keluar dari kamar mandi karena khawatir darah menstruasinya mengalir makin deras dan malah membuatnya malu.

“Aku perlu mengatakan sesuatu,” ucap Zelda.

“Jangan buang-buang waktuku! Kau tahu? Tak hanya menghancurkan Wynn Bellagio, aku bisa membunuhmu dan melempar penggalan kepalamu ke hutan di pedalaman Nevada.”

“Ma-maaf, tapi ini hal yang sangat penting. Aku tidak bisa melayanimu malam ini, Tuan.”

Ucapan Zelda itu tentunya membuat Arthur makin marah. Pengawal Arthur yang berjaga di dekat pintu masuk ruang billiard juga sudah bersiap untuk bertindak apabila Arthur memberi perintah, karena menganggap Zelda berniat membangkang dari tugasnya melayani sang tuan.

“Kau berani menentangku?” Arthur berkata tajam.

“Ti-tidak. Demi Tuhan, tidak begitu. Aku ... punya alasan.”

“Lantas apa alasannya?”

Zelda menarik napas dalam-dalam. Dengan cepat dan sekali embusan, ia bicara lantang karena takut dan panik. “Aku sedang datang bulan, Tuan!”

Arthur terdiam. Tatapannya bergerak turun menatap bagian bawah tubuh Zelda yang ada di balik pintu. Suaranya makin menajam ketika dia mengancam, “Jangan coba-coba berbohong padaku.”

“Aku tidak bohong, Tuan. Kalau kau tidak percaya, aku bisa membuktikan.”

Arthur menoleh ke arah pengawalnya di pintu. Dia mengisyaratkan pengawalnya itu untuk memanggil satu orang pelayan wanita.

Sang pengawal pun bergegas. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang ke ruang billiard dan segera menghampiri Arthur di depan pintu kamar mandi.

“Masuk dan periksalah apakah dia betulan datang bulan atau tidak!” perintah Arthur sambil menunjuk Zelda di balik pintu kamar mandi.

“Baik, Tuan.”

Pelayan itu masuk ke dalam kamar mandi, lalu menutup pintu. Karena sesama wanita, meski agak malu, Zelda harus tetap menunjukkan pada sang pelayan kalau ia benar datang bulan.

Selepas memastikan kebenarannya, pelayan pun beranjak keluar lagi dari kamar mandi dan menghadap Arthur.

“Nyonya Zelda benar-benar datang bulan, Tuan,” lapor pelayan pada Arthur.

Arthur menghela napas keras setelah mendengarnya.

Sementara itu, Zelda masih berada di dalam kamar mandi. Sibuk merapikan pakaiannya. Setelah mendengar suara helaan napas Arthur di depan sana, ia pun jadi makin takut untuk keluar dari kamar mandi.

Jangan-jangan Arthur akan marah besar dan langsung membuangnya karena merasa bahwa ia tidak berguna. Tamatlah riwayat seorang Zelda.

Tak lama setelah itu, Zelda tak mendengar suara apa pun lagi di luar pintu. Malah ketika ia menempelkan telinganya pada daun pintu, sepertinya Arthur sudah tidak ada di sana.

Mungkin Arthur sudah pergi. Namun, tetap saja ia belum bisa keluar dari kamar mandi. Sungguh saat ini ia membutuhkan pembalut. Ia lupa bilang pada pelayan tadi untuk meminta tolong. Sekarang ia tak tahu apakah sang pelayan masih ada di depan pintu atau tidak sebab tak ada suara yang terdengar.

Zelda kebingungan sendiri di dalam kamar mandi itu. Dia mondar-mandir memikirkan berbagai cara. Hingga sekitar lima menit kemudian, dirinya memutuskan untuk keluar saja. Namun, belum sempat ia melakukan itu, pintu kamar mandi diketuk.

“Buka pintunya!” Terdengar suara Arthur memerintah.

Zelda tentu langsung membukanya. Sama seperti tadi, ia memunculkan kepalanya di celah pintu yang ia buka sedikit.

Arthur berdecak kesal ketika menatap Zelda. Namun sesaat setelah itu, dia menyodorkan suatu benda.

Zelda pun menunduk, menatap benda yang disodorkan tersebut. Ia tercenung dan mengerjapkan mata beberapa kali setelah mendapati kalau ternyata itu adalah pembalut.

“Pakai ini. Pelayan mengambilkannya dari kamarmu,” kata Arthur dengan suaranya yang dingin dan datar, tetapi sama sekali tidak membentak atau apa pun itu.

Zelda terdiam mematung. Merasa sangat syok dan tak menyangka, tuan besarnya itu mau mendatangi kamar mandi lagi hanya untuk memberikan pembalut tersebut padanya. Padahal ia pikir, Arthur akan mencekiknya atau mungkin menembaknya karena ia dianggap tak bisa melaksanakan tugas dengan baik.

“Kenapa malah melamun, Bodoh? Cepat ambil dan pakailah! Jangan sampai kau mengotori kamar mandiku dengan darahmu!” tegas Arthur.

Zelda pun menjulurkan tangan kanannya, menerima sebungkus pembalut yang Arthur sodorkan.

“Terima kasih banyak, Tuan.”


***


9. Menghabisi Penyusup

Zelda mengambil satu buah apel merah dari mangkuk buah di atas meja makan. Pelayan sudah menanyakan menu apa yang ia inginkan untuk makan malam. Namun, ia merasa sedikit tidak berselera dan sejak tadi hanya berdiam diri di hadapan pelayan tanpa tahu harus mengatakan mau makan apa.

Karena itulah, Zelda mengambil apel dan memutuskan untuk memakan itu saja. Setidaknya tetap mengganjal perut meski tak berselera makan.

Kedua kaki jenjang Zelda melangkah menuju pintu besar yang ada di sudut dapur, yang mana pintu itu merupakan akses menuju halaman belakang mansion. Dia ingin sekadar melihat-lihat.

Saking besarnya mansion itu, terkadang Zelda bingung dan beberapa kali sempat lupa ke mana ia harus melangkah setelah memasuki suatu area.

Namun lama-kelamaan, ia berangsur-angsur mulai hafal titik-titik di dalam mansion ini. Paling tidak hanya ada beberapa ruangan khusus milik Arthur yang jelas sama sekali tidak boleh ia masuki tanpa izin.

Sambil mengunyah apelnya, Zelda melewati pintu menuju halaman belakang mansion. Langkahnya langsung terhenti ketika ia melihat ternyata di halaman belakang ada Arthur bersama beberapa anak buahnya sekaligus sejumlah pengawal.

Zelda pun buru-buru melangkah mundur, bersembunyi di balik pinggiran pintu. Ia melihat Arthur memegang sebuah pistol dan mengarahkan mulut pistol itu ke kepala seorang pria paruh baya yang berlutut di hadapannya.

“Masih tidak mau mengaku?” tanya Arthur. Suaranya terdengar sangat tajam.

Pria yang berlutut itu tak menjawab. Kedua mata merahnya menatap Arthur dengan sangat berapi-api, seolah dia sungguhan berani menantang seorang Arthur Morris Gray.

Melihat pria itu diam saja, Arthur tersenyum miring. “Kau berani menatapku seperti itu, apa kau pikir aku tidak bisa melihat bagaimana sebenarnya tubuhmu gemetar ketakutan?”

Pria paruh baya itu hanya diam. Memang terlihat, tangannya yang terborgol di belakang punggung sangat bergetar. Pasti karena takut. Mungkin tak lama lagi dia akan kencing di celana.

Arthur menurunkan pistol yang dipegangnya, lalu membungkuk ke arah pria itu. Sorot mata biru Arthur sangat intens dan penuh ketegasan, membuat pria yang belutut itu tertegun susah payah.

“Kau berani menyusup ke tempatku ini. Aku hanya bertanya apa kau bagian dari Lombardo atau bukan, tapi kau malah membisu,” ujar Arthur.

Pria itu tetap saja diam.

“Jawab! Siapa yang menyuruhmu menyusup ke sini? Apakah Lombardo?” bentak Arthur dengan suaranya yang lantang dan begitu mengerikan.

Pria paruh baya itu bergerak, seperti ingin melakukan sesuatu. Hal tersebutlah yang membuat semua anak buah Arthur beserta para pengawal langsung mengeluarkan senjata mereka, mengarahkannya kepada pria itu.

“Kalau aku mau mengotori tanganku, aku tidak segan mencekikmu sampai kau kehabisan napas, lalu akan kuinjak kepalamu sampai kau mati,” kata Arthur.

“Kau manusia sialan. Kau tidak berhak bicara seolah kau yang paling berkuasa,” balas pria paruh baya itu.

Arthur tersenyum sinis mendengarnya. Ia menghela napas panjang, lalu kembali berdiri tegak. Selagi tangan kanannya masih memegang pistol yang ia turunkan, tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana.

“Ini tempat dan wilayahku. Aku tidak mencari masalah dengan siapa pun. Dan kau tidak berhak berada di sini jika kau bukan bagian dari kelompokku. Tidak akan kubiarkan penyusup mana pun mengacau. Kau berani datang ke sini, maka kau harus berani menerima konsekuensinya,” tutur Arthur dengan tajam.

Pria berdasi abu-abu bergaris itu kemudian berbalik. Arthur melempar pistolnya kepada salah satu anak buahnya seraya melangkah menjauh. Dengan suara datar, ia berkata, “Habisi dia!”

Sementara itu Zelda yang masih bersembunyi di pinggir pintu dan mengintip pun makin tercengang. Kedua matanya melebar dan dia terkejut bukan main ketika melihat anak buah Arthur sudah mengambil ancang-ancang untuk menembak kepala pria paruh baya yang tadi berlutut di kaki Arthur.

Zelda ketakutan. Refleks menjatuhkan buah apel yang sejak tadi ia pegang, lalu memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Sedetik kemudian, suara tembakan yang sangat menggelegar langsung terdengar. Anak buah Arthur telah menembakkan peluru tepat di kepala sang penyusup.

Jantung Zelda terasa mencelos keluar dan air matanya secara spontan langsung mengalir deras. Dia tidak pernah sekali pun mendengar suara tembakan senyata dan sedekat ini. Mendadak ia gemetar karena ini pertama kalinya.

Bahkan Zelda terlalu takut untuk membuka mata sebab mungkin dirinya bisa pingsan jika melihat ada mayat bersimbah darah yang baru saja ditembak mati di depan sana.

Dan lagi, Zelda panik. Panik dan ketakutan jika suatu hari nanti tak menutup kemungkinan ia akan mengalami nasib yang sama dengan penyusup itu, apabila melakukan kesalahan besar. Nyawanya sungguh berada di tangan Arthur. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia harus kabur dari mansion ini sekaligus kabur dari Arthur?

Sekitar dua menit kemudian, air mata Zelda sudah berhenti. Namun, jantungnya masih bergemuruh panik tak karuan.

Zelda berniat untuk mengintip, ingin melihat apakah pria yang tadi ditembak benar-benar sudah jadi mayat atau bagaimana.

Menurunkan kedua telapak tangan yang sebelumnya Zelda gunakan untuk menutup wajah. Dengan perlahan dan ragu-ragu, kini ia mulai membuka kedua matanya.

Alih-alih hamparan halaman belakang mansion yang luas yang terlihat, ia malah mendapati sosok Arthur sudah berdiri tepat di hadapannya.

Zelda pun terpegun. Ia harus sedikit mendongak untuk menatap Arthur yang jauh lebih tinggi darinya. Melihat Arthur memegang apel merah yang tadi tak sengaja ia jatuhkan.

Wajah tampan Arthur yang berstruktur tegas itu terlihat dingin, mata birunya sangat datar menyorot ke arah Zelda.

‘Habislah aku,’ batin Zelda panik.

Pandangan Zelda tak bisa melihat ke halaman belakang mansion tempat di mana penembakan barusan terjadi, sebab terhalang oleh tubuh kekar Arthur yang ada di hadapannya.

Meski dengan kedua mata yang masih basah, Zelda yang takut pada Arthur pun bingung harus bagaimana selain menunjukkan cengirannya.

Arthur mengernyit melihat tingkah aneh Zelda karena malah menampakkan cengiran seperti itu.

“A-aku ... aku permisi dulu, Tuan,” ucap Zelda dengan suara yang sangat pelan, hampir berbisik.

Zelda berbalik dan beranjak pergi dari tempat itu. Ia sangat takut untuk lebih lama berhadapan dengan tuannya. Namun, baru saja berjalan lima langkah, Arthur bersuara.

“Siapa yang menyuruhmu untuk pergi begitu saja?” cetus Arthur penuh ketajaman.

Langkah Zelda pun sontak terhenti. Ia menelan ludahnya susah payah ketika mau tak mau harus berbalik.

Dengan kepala yang sedikit tertunduk, Zelda menggumam, “Maaf, Tuan.”

Arthur melempar apel merah yang tadi ia pungut di lantai ke arah Zelda. Zelda pun dengan sigap langsung menangkap apel tersebut dengan tepat.

Arthur memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Dia menatap Zelda dari ujung kepala sampai ujung kaki, menelisik tubuh molek wanita itu di balik balutan gaun tidur yang dipakainya.

“Apa kau masih menstruasi?” tanya Arthur.

Zelda mengangkat kepalanya untuk menatap Arthur. Tujuh hari yang lalu, ia mendadak datang bulan ketika harus memuaskan Arthur di ruang billiard. Selama dalam fase menstruasinya itu, ia tetap melayani Arthur, namun dengan cara tertentu. Beruntunglah dirinya tidak mendapat hukuman apa pun. Beruntung pula ada toleransi asalkan ia tetap bisa membuat Arthur puas dengan cara oral.

“Sudah tidak, Tuan. Aku ... sudah selesai,” jawab Zelda dengan kepala yang kembali tertunduk, tetapi matanya tetap melirik ke arah Arthur. Mana berani ia berbohong.

Terlihat seringai bengis yang tersungging di bibir Arthur, membuat wajahnya tak jauh berbeda dari Lucifer, sangat tampan namun merupakan iblis yang mengerikan.

Sesaat kemudian, Arthur melangkah melewati Zelda seraya berkata untuk memberi perintah, “Ke kamarku. Sekarang.”


***

 

10. Garasi di Luar Mansion

Jari-jemari lentik Zelda mencengkeram seprei kasur dengan sangat kuat. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tetap pada posisinya meski rasa-rasanya ia hampir terbelah karena cara Arthur menyetubuhinya.

Ini gila. Daripada sebelum-sebelumnya, setelah seminggu ia tidak melayani Arthur dengan cara yang biasanya karena menstruasi, sepertinya sekarang Arthur ingin balas dendam untuk menumpahkan semua nafsunya.

Bermenit-menit berlalu, terdengar suara erangan Arthur yang sudah tuntas mendapatkan kepuasannya.

Zelda yang sejak tadi berada dalam posisi membelakangi Arthur di atas kasur king size itu pun terengah-engah. Butuh waktu sejenak baginya  untuk bisa kembali bernapas dengan normal.

Sekitar lima menit kemudian, Zelda mengubah posisinya jadi terduduk di atas kasur dan sedikit merapikan rambut pirangnya yang agak basah karena peluh.

Ketika ia berbalik, Arthur yang juga masih berada di atas kasur itu sambil menatapnya. Zelda pun hanya diam dan menunggu, mengira kalau sang tuan ingin melanjutkan permainannya.

Namun, Arthur malah tetap diam dan semakin intens menatapnya.

Demi bersikap profesional, Zelda tersenyum manis pada pria itu meski sebenarnya ia tegang bukan main. Kemudian, Zelda memberanikan diri untuk bertanya, “Apa kau sudah puas malam ini, Tuan?”

Arthur beranjak turun dari tempat tidur. Sembari melangkah menuju lemari besar yang ada di sisi kamarnya, dia berkata, “Kau ingin dipuji?”

“Tidak. Aku bertanya untuk memastikan,” sahut Zelda.

Seulas senyum miring terbentuk di bibir Arthur yang kini mengambil pakaian dari dalam lemarinya. “Memastikan apa? Memastikan kalau aku puas memakai tubuhmu? Bukankah sama saja kau ingin dipuji?”

“Tidak sama, Tuan. Itu berbeda. Pertanyaanku cenderung untuk memastikan bahwa aku tidak membuatmu kecewa.”
.
Arthur memakai kaos hitam dan bawahan berwarna senada. Setelah berpakaian, dia menoleh pada Zelda dan menaikkan sebelah alis tebalnya.

“Aku lihat-lihat, ternyata kau lumayan cerewet dan banyak omong,” komentar Arthur. Semakin menyadari kalau wanita berambut pirang dengan paras wajah yang sangat anggun dan cantik itu memang sungguh ekspresif dalam bicara.

Zelda langsung terdiam dan mengulum bibirnya rapat-rapat, tidak berani bicara lagi. Padahal, obrolan seperti itu biasa ia lakukan dengan pria-pria yang dulu ia layani sebagai basa-basi, salah satunya Loris Anderson.

Tapi sepertinya Arthur memang jauh dari kriteria pria umum. Dia merupakan pria yang sangat kaku dan tidak suka banyak omong, apalagi memuji. Mungkin memuji adalah kata terlarang dalam kamus pribadi Arthur.

Isi kepala Zelda sudah berkelana ke mana-mana, khawatir pada dirinya sendiri kalau ternyata situasi ini membuat Arthur marah.

“Jangan berharap kau akan mendapatkan pujian dariku,” sinis Arthur.

‘Hanya kau yang begitu, dasar bajingan kejam. Semua orang di Wynn Bellagio selalu memujiku yang terbaik,’ cibir Zelda. Namun, hanya berani mencibir dalam hati. Ia bisa mati konyol jika berani melontarkan kalimat itu secara langsung. Tetap pada akhirnya ia menunjukkan ekspresi tunduk, padahal batinnya jerit-jerit.

Beberapa saat kemudian, Arthur melirik ke arah pintu. “Keluarlah. Aku ingin istirahat.”

“Baik, Tuan,” jawab Zelda patuh.

Wanita itu beranjak turun dari kasur dan memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai, setelah tadi dilucuti oleh Arthur di awal kegiatan ranjang mereka. Zelda buru-buru mengenakan kembali pakaiannya, membalut tubuh telanjangnya agar bisa segera keluar dari sana.

Selama berpakaian, Zelda sangat menyadari bagaimana Arthur tak henti memerhatikannya. Itu membuatnya gugup, tetapi ia hanya bisa melirik sekilas agar tidak canggung dan malah bertingkah kikuk.

“Aku permisi,” pamit Zelda setelah tubuhnya terbalut rapi dengan gaun tidur yang sebelumnya ia pakai.

Zelda sudah melangkah menuju pintu. Namun, langkahnya melambat dan terhenti sejenak ketika ia teringat akan sesuatu. Ia pun berbalik lagi menghadap Arthur.

“Maaf, Tuan. Aku ingin minta izin,” ungkap Zelda, “bolehkah besok siang aku keluar sebentar? Hanya sebentar saja. Aku perlu ke bank.”

“Untuk apa?” Kening Arthur terlihat sedikit mengerut.

“Aku ...,” Zelda ragu untuk bicara, seperti tidak enak hati untuk mengatakan kalimat selanjutnya. Tapi daripada dianggap berniat bohong, ia pun berkata, “Aku ingin mencairkan cek yang kau berikan pekan lalu. Aku perlu mengirim uang untuk adikku.”

“Ingin ke bank sekalian kabur?” tuding Arthur.

Zelda terdiam. Susah payah agar tidak terlihat punya niat buruk, mengingat tadi dirinya memang sempat punya pikiran untuk kabur setelah syok melihat ada penyusup yang ditembak oleh anak buah Arthur.

“Ti-tidak, Tuan. Aku ... tidak ada niatan begitu,” jawab Zelda kemudian.

“Kau yakin tidak ada niat untuk itu? Kupikir kau gemetar ketakutan sampai menangis dan menjatuhkan apelmu di dekat halaman tadi.”

“Aku hanya syok saja, Tuan. Tidak berniat kabur.”

Kedua mata Arthur berkelana menatap Zelda dari ujung kepala sampai ujung kaki. Zelda yang semakin merasa ngeri pun berpikir kalau Arthur sedang memperhitungkan bagian tubuhnya yang mana yang paling pantas dimutilasi duluan apabila ia berani nekat untuk kabur.

Mansion ini sangat mewah dan menakjubkan. Namun, pemiliknya membuat tempat ini terasa seperti neraka! Sungguh mengerikan.

“Keluar dari sini, sekarang,” perintah Arthur.

“Iya, Tuan. Tapi bagaimana dengan permohonan izinku? Maksudku, untuk ke bank.”

“Kau tidak dengar? Aku bilang, ke-lu-ar.”

Zelda tak berani mengusik Arthur lagi dengan permintaannya. Meski tidak tahu sebenarnya dirinya mendapatkan izin atau tidak, mau tak mau ia segera keluar dari kamar tuannya tersebut.


***


Zelda baru saja membuka pintu kamarnya dan keluar, tetapi malah langsung dihadapkan pada Arthur yang berdiri di dekat railing di koridor yang membatasi area pinggir lantai dua mansion.

Pria itu berdiri dengan kedua mata yang sepertinya sejak tadi memang menatap ke arah pintu kamar Zelda.

Zelda pun mematung di tempat. Ia mencoba untuk mengingat-ingat, apakah tadi Mark atau pengawal Arthur yang lainnya mengetuk kamarnya untuk menyampaikan panggilan sang tuan kalau pria itu membutuhkannya? Ia rasa tidak.

Lalu apakah ia melakukan kesalahan? Rasa-rasanya juga tidak. Terakhir kali berhadapan dengan Arthur adalah tadi malam setelah ia melayani pria itu di kamarnya, lalu meminta izin untuk pergi ke bank hari ini. Namun, Arthur tak benar-benar memberi kejelasan akan mengizinkan atau tidak.

Apakah itu yang akan dipermasalahkan? Zelda rasa, dirinya bicara sopan dan tidak melakukan kesalahan ketika minta izin.

Tatapan Arthur yang tajam namun sulit ditebak membuat Zelda khawatir kalau-kalau ada suatu hal yang salah dari dirinya. Ia pun berpikir bahwa jangan-jangan ini perkara ketika tanpa sengaja ia melihat insiden penembakan di halaman belakang mansion kemarin malam.

Apakah ia akan disudutkan dan diancam karena hal itu? Apa yang harus ia lakukan? Ia bahkan tidak sengaja menyaksikannya.

“Selamat siang, Tuan,” sapa Zelda dengan senyuman yang mau tak mau harus ia sunggingkan di bibir ranumnya yang sangat menggoda itu.

Arthur tentu tak menjawab. Kesurupan apa dia kalau mau menjawab sapaan lacur pribadinya?

Pria itu menoleh pada Mark yang berdiri di dekatnya, lalu menengadahkan tangan kanannya. Mark pun segera mendekat pada Arthur dan menyerahkan sebuah kunci mobil pada sang tuan besar.

Sesaat kemudian, Arthur kembali menatap Zelda dan langsung melempar kunci itu ke arah Zelda. Zelda tentunya dengan sigap menangkap kunci tersebut selayaknya menangkap apel merah kemarin malam saat Arthur melakukan hal serupa.

“Kau mau ke bank, kan?” tanya Arthur dengan suara datar.

“I-iya, Tuan.”

Seperti kebiasaannya, Arthur memasukan kedua tangan ke saku celana, lalu berbalik sambil berkata, “Cepat! Aku akan ikut denganmu. Kau yang menyetir.”

Zelda merasa terkejut bukan main. Tapi daripada banyak bicara dan membuat Arthur berubah pikiran, Zelda buru-buru masuk lagi ke kamar untuk mengambil tasnya, lalu segera menyusul sang tuan.

Ini mengejutkan. Biasanya, saat siang hari Zelda jarang sekali melihat Arthur di mansion. Yang ia tahu dari pelayan, Arthur memang sangatlah sibuk. Zelda mengetahui bahwa di samping seorang penerus mafia Italia yang punya bisnis ilegal di pasar gelap, Arthur juga merupakan seorang pengusaha industri yang memiliki banyak cabang perusahaan di Eropa dan Amerika.

Mengherankan sekali melihat pria itu tengah hari bolong begini mendadak ada di mansion dan bahkan akan ikut dengannya ke bank.

Zelda setengah berlari untuk mengejar ketertinggalannya karena tadi Arthur sudah pergi lebih dulu. Ia mengekori pria itu dengan langkah cepat, mengingat kedua kakinya tak sepanjang kaki Arthur yang punya langkah lebar-lebar.

Yang Zelda tahu, garasi mobil terletak di bangunan yang ada di samping bangunan utama mansion. Namun, Arthur tak berjalan ke sana, melainkan ke arah gerbang mansion yang sebetulnya jaraknya cukup jauh.

Tidak berniat berkomentar apa pun, Zelda tetap mengikuti saja sembari memegang kunci mobil yang tadi Arthur berikan.

Setelah keluar dari area mansion, Arthur berbelok ke sebuah garasi luar yang sangat luas. Zelda yang mengikuti Arthur memasukinya pun melihat deretan mobil mewah terparkir di sana. Dihitung-hitung, mungkin ada sekitar delapan atau sembilan mobil.

Karena letaknya di luar mansion, Zelda jadi berpikir kalau itu adalah area parkir untuk orang-orang ‘tertentu’ di wilayah tersebut.

Maka dari itu, Zelda yang diharuskan menyetir pun menyejajarkan langkahnya dengan Arthur dan bertanya, “Maaf, mobil punyamu yang mana, Tuan?”

Arthur menoleh pada Zelda dan menatap wanita itu sekilas. Dia tak langsung menjawab, melainkan lebih dulu berhenti di depan sebuah Porsche hitam yang sepertinya adalah mobil yang harus dikendarai Zelda siang ini.

Kemudian, untuk menjawab pertanyaan Zelda tadi, dengan entengnya Arthur menjawab, “Semuanya punyaku.”

Zelda mengulum bibirnya dan langsung bungkam. Gila! Sebanyak itu koleksi mobilnya? Belum lagi deretan mobil yang ada di garasi mansion.


***

 

11. Berhadapan Dengan Pria Lain

Zelda mengendarai Porsche milik Arthur dengan perasaan yang sedikit gelisah. Ia memang bisa mengendarai mobil dengan baik dan benar, tapi kalau mobilnya super mewah seperti ini, ia merasa agak ngeri.

Apalagi pemiliknya adalah seorang pria kejam yang tak pandang bulu dalam memberi hukuman. Mungkin kedua tangannya bisa dipotong sekaligus kalau sampai ia salah dan membuat kerusakan pada mobil itu.

Selama menyetir, sesekali Zelda melirik ke arah Arthur di sebelahnya. Ia melajukan mobil dengan kecepatan yang menurutnya pribadi cukup normal, tetapi sebenarnya terkesan lambat.

Mungkin betapa lambatnya Zelda menyetir itulah yang mengakibatkan Arthur berdecak kesal lima menit kemudian.

“Kau bisa menyetir atau tidak? Kenapa lambat sekali?” bentak Arthur.

“Bi-bisa, Tuan.” Zelda pun segera menaikkan kecepatan mobil itu setelah mendengar protes dari Arthur. Berdebar kuat jantungnya sekadar mendengar suara tajam pria itu.

Keheningan kembali menguasai mereka, selagi Zelda tetap fokus melajukan mobil menuju bank di daerah Fremont Street. Hingga akhirnya, suara bariton Arthur memecah atmosfer ketika dia bertanya, “Apakah adikmu berada di Las Vegas?”

“Tidak, Tuan. Dia di Chicago,” jawab Zelda seraya menoleh sekilas pada Arthur.

Arthur pun menopang sikunya pada tepian jendela mobil. Dia menatap ke depan, lalu dengan suara datar, dia berkata, “Jelaskan padaku tentang latar belakang adikmu.”

“Eh? Memangnya kenapa, Tuan? Ma-maksudku ... apakah ada masalah?” Zelda bertanya dengan cemas dan panik.

“Kau membantah perintahku? Aku hanya menyuruhmu menjelaskan,” ketus Arthur sambil menatap Zelda dengan matanya yang tajam bak elang itu.

Zelda yakin kalau Arthur bisa memerintah  anak buahnya untuk mendapatkan informasi tentang latar belakang adiknya dalam waktu singkat, tanpa menyuruhnya menjelaskan. Lagi pula dia pikir sebenarnya pun pasti Arthur sudah mengetahui itu.

Karena pasti, sebelum ia menginjakkan kaki di mansion, anak buah Arthur sudah mencari tahu segala tetek bengek tentang dirinya, mulai dari keluarga hingga kehidupan. Itu dilakukan untuk mengantisipasi keamanan Arthur.

Namun jika diperintah menjelaskan secara langsung begini, Zelda khawatir Arthur punya niatan buruk. Barangkali mengancamnya dengan mempertaruhkan keselamatan adiknya apabila ia membelot.

Zelda pun tidak punya pilihan lain. Ia tetap berkonsentrasi menyetir selagi menjawab, “Adikku masih berusia dua puluh tahun, namanya Dylan. Dia pindah ke Illinois sejak satu setengah tahun yang lalu untuk kuliah di salah satu universitas swasta di Chicago.”

Arthur hanya mendengarkan, tetapi tidak merespons.

Zelda curi-curi pandang ke arah Arthur. Pria tampan namun punya watak yang menyeramkan itu memang sangat sulit ditebak. Tak heran Zelda sering khawatir ketika berspekulasi dan mencoba untuk menebak-nebak apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu, apalagi Arthur diam saja  setelah ia menjelaskan secara singkat tentang adiknya.

Setelah melakukan perjalanan selama setengah jam lebih dari mansion, sebab mansion milik Arthur memang terletak di wilayah yang jarang terjangkau oleh orang umum, akhirnya mobil yang dikendarai Zelda pun tiba di bank tujuannya.

“Aku akan menunggu di sini,” kata Arthur dengan suara datar.

Zelda mengangguk patuh.

“Jangan pakai lama!”

“Baik, Tuan,” jawab Zelda.

Wanita berambut pirang itu melepas sabuk pengamannya. Setelah memakai tas dan membiarkan kunci mobil tetap pada tempatnya, dia turun dari mobil mewah itu. Sekali lagi ia berpamitan pada Arthur sebelum melangkah pergi.

Di dalam bank, Zelda segera mendatangi petugas dan menyampaikan maksud kedatangannya sekaligus menyerahkan cek bernilai dua ratus ribu dolar yang ingin ia cairkan ke rekeningnya.

Membutuhkan waktu selama hampir lima belas menit bagi Zelda untuk mengisi data yang diberikan pihak bank. Seperti bagaimana umumnya, sebuah cek tak bisa dicairkan di hari yang sama, melainkan memerlukan waktu setidaknya minimal dua minggu dan maksimal satu bulan.

“Kami akan memberikan surel pemberitahuan apabila dananya sudah masuk secara keseluruhan ke rekening Anda, Nona,” ujar petugas bank di hadapan Zelda dengan penuh keramahan setelah semua urusan selesai.

Zelda pun tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih.” Lalu langsung berdiri dari duduknya sembari membenarkan posisi tas yang tersampir di bahunya. Sudah menyingkir dari kursi untuk memberikan ruang bagi orang yang mengantre, Zelda pun melangkah menuju pintu keluar.

Zelda baru saja berjalan beberapa langkah ketika ponselnya mendadak berdering. Ia buru-buru mengeluarkan benda itu dari dalam tas dan mendapati nama adiknya tertera di layar ponsel.

“Halo, Dylan?” sapa Zelda setelah teleponnya terhubung dan ia melipir ke sisi ruangan untuk menyempatkan diri bicara dengan sang adik dulu.

[Apa kau di Vegas?]

“Tentu saja aku di Vegas. Memangnya kau pikir aku di mana?”

[Oh.] Terdengar suara gumam pelan dari Dylan di seberang telepon sana.

“Ada apa kau meneleponku? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana kuliahmu?” tanya Zelda.

[Aku ... butuh uang. Bisakah kau mengirimnya untukku?]

“Bukankah bulan lalu aku sudah membayar uang kuliahmu dan memberikan lima ribu dolar untuk uang sakumu? Lima ribu dolar adalah jumlah yang banyak, Dylan. Seharusnya itu lebih dari cukup untuk biaya hidupmu selama dua bulan,” sahut Zelda dengan kernyitan serius di keningnya.

[Well, ya. Tapi ... aku butuh uang sekarang juga.]

Mendengar suara Dylan yang terdengar seperti orang bingung, Zelda pun jadi merasa khawatir. “Untuk apa? Jangan bilang kau membuat masalah di sana. Aku sungguh akan marah padamu jika benar begitu.”

[Tidak, Zelda. Uang darimu masih ada sedikit, gajiku dari bekerja paruh waktu di minimarket pun juga ada. Kusimpan dengan baik untuk kebutuhan harian. Aku ... butuh uang untuk beli buku.]

“Beli buku? Berapa harganya?”

[Seribu dolar.]

“Hah? Buku macam apa yang harganya semahal itu?” tukas Zelda, terkejut sekaligus bingung.

[Anu ... bukan hanya satu buku. Kau tahu, kan? Aku ini kuliah di jurusan bisnis. Aku dan teman-temanku di kampus sedang merencanakan start-up yang ingin kami bangun. Aku juga butuh untuk itu.]

Zelda menghela napas pelan. Tentu ia punya uang yang setidaknya masih cukup untuk Dylan, tidak harus menunggu sampai dua ratus ribu dolar dari Arthur bisa dicairkan. “Ya sudah, aku akan mengirimnya setelah ini,” kata Zelda kemudian.

[Baiklah. Terima kasih.]

“Kau belajarlah dengan benar. Aku mohon padamu, jangan macam-macam selama berada di sana. Aku membiayai kuliahmu agar kau punya masa depan cerah, tidak hidup sulit sepertiku dan nantinya kau akan punya pekerjaan yang baik. Jangan bertingkah yang tidak-tidak, Dylan,” tutur Zelda.

[Iya.]

Mendengar jawaban singkat dari sang adik, Zelda hanya bisa mengembuskan napas lelah. Ia berniat untuk mengakhiri panggilan itu agar bisa bergegas mengirim uang untuk Dylan dan buru-buru keluar dari bank karena takut Arthur akan marah. Namun, tiba-tiba Dylan bertanya.

[Apa kau ... sudah bertemu lagi dengan ayah? Apakah ayah sudah kembali ke Vegas?]

Zelda terdiam. Mengulum bibirnya dan tak langsung menjawab pertanyaan Dylan karena bingung sendiri harus berkata apa.

[Belum, ya? Apa ayah sungguh tidak berniat menemui kita lagi?] Dylan bertanya kembali untuk memastikan.

“Iya, belum. Tapi nomornya masih aktif. Bulan lalu beberapa kali aku berkirim pesan dengannya. Kau tidak usah khawatir, ayah baik-baik saja, kok. Dia hanya bilang belum bisa kembali ke Vegas,” jelas Zelda.

[Memangnya dia di mana? Kupikir dia tak akan mau menemui kita lagi karena sudah mati.]

“Entahlah. Jangan bicara begitu. Sudah dulu, aku harus pergi,” sahut Zelda.

Sesaat kemudian, Zelda langsung mengakhiri teleponnya dengan Dylan. Ia pergi ke mesin ATM di dalam bank itu untuk segera mengirim uang kepada adiknya. Barulah setelah itu ia beranjak keluar dari bank agar bisa segera menemui Arthur lagi yang menunggu di mobil.

Bangunan bank itu terletak di pinggir jalan. Area parkir tempat mobil Arthur berada terletak dekat dengan kawasan pagar bank yang terbuka lebar dan bisa diakses dengan mudah dari trotoar di samping jalan raya.

Ketika Zelda bahkan masih berada di teras bank, Zelda melihat sebuah SUV putih dengan plat nomor yang familier memasuki bank tersebut.

Zelda merasa tidak asing dengan SUV mewah itu karena ia memang pernah menaikinya ketika masih bekerja di Wynn Bellagio.

Tak lama kemudian, seorang pria turun dari mobil tersebut dan langsung menghampirinya. Sepertinya dia memasuki area bank hanya karena melihat Zelda dari jalanan, sebab pagar masuk bank yang terbuka lebar.

Dugaan Zelda tak meleset ketika merasa familier dengan mobil tersebut, karena pria yang menghampirinya itu adalah Loris Anderson.

“Zelda,” sapa Loris dengan senyum simpul yang menghiasi wajah tegasnya.

Yang disapa agak terperangah. Namun, ia balas tersenyum pada pria itu. “Tuan Loris.”

“Akhirnya aku menemukanmu. Kebetulan sekali dari jalanan di depan sana aku melihatmu,” ujar Loris.

“Iya, Tuan.” Zelda masih mengulas senyum manis.

“Belakangan aku mencarimu ke mana-mana, bahkan kudatangi flatmu. Aku bertanya pada Mona, katanya kau sudah meninggalkan Wynn Bellagio. Apa yang terjadi?” tanya Loris.

“Ah, itu. Aku ...,” Zelda tentu tidak bisa menjawab. Pekerjaannya untuk Arthur saat ini sudah diingatkan oleh Mona untuk dijaga rapat-rapat kerahasiaannya, karena Arthur adalah orang penting.

Jadi, untuk menjawab pertanyaan pria yang dahulu merupakan pelanggannya itu, Zelda pun menjawab, “Aku memang sudah tidak di sana. Aku ... ada urusan lain.”

Kedua alis tebal Loris terangkat. Dia manggut-manggut setelah mendengar jawaban Zelda.

“Apa kau punya waktu malam ini? Sudah sangat lama aku tidak bertemu denganmu,” ujar Loris seraya maju satu langkah untuk mendekat pada Zelda. Dengan suara pelan untuk memastikan hanya si wanita yang dapat mendengarnya, dia melanjutkan, “Aku membutuhkanmu malam ini.”

Zelda langsung terdiam dan tentunya tidak bisa menuruti keinginan Loris. Bisa mati dia jika itu terjadi. Namun, mau menjawab pun bingung karena Loris mendadak memegang tangannya.

Tanpa Zelda ketahui, Arthur sudah turun dari mobil sejak tadi, menunggu Zelda di luar mobil bahkan sebelum wanita itu keluar dari dalam bank.

Pria itu berdiri di samping Porsche hitamnya, bersandar pada pintu mobil tersebut dengan kedua tangan yang terkubur di saku celana. Wajah tampannya tampak sangat datar, tetapi mata birunya menyorot tajam ke arah Zelda yang kini sedang berhadapan dengan pria lain.


***


12. Saputangan Hitam

Selain merupakan tempat umum, meski bank itu tidak terlalu ramai siang ini, Zelda tentu tak akan lupa kalau ia datang ke sini bersama Arthur.

Zelda tidak tahu apakah akan menjadi suatu masalah atau tidak apabila ia berinteraksi dengan Loris Anderson. Ia pikir, sebetulnya tak ada masalah jika sekadar mengobrol atau apa pun yang normal seperti itu. Namun masalahnya, jarak berdiri Loris saat ini sangat dekat dengannya dan pria itu bahkan menyentuh tangannya.

Tidak ada masalah juga jika sejauh hanya menyentuh tangan, tetapi tidak ketika Loris merangkulnya dengan isyarat yang kental kesensualan dan ingin mengajaknya menuju mobil.

Zelda pun memegang tangan Loris dan segera melepaskan diri dari rangkulan pria itu. Ketika ia melakukan hal tersebut, ekor matanya tak sengaja menangkap ke arah area parkir tempat mobil Arthur berada. Tak jauh dari tempatnya berdiri itulah ia melihat Arthur sedang menatapnya di samping mobil.

Zelda yang tadinya hanya melihat sekilas ke arah sana, langsung terdiam sejenak dengan pandangan yang beradu dengan Arthur. Tertegun susah payah dibuatnya karena merinding melihat bagaimana Arthur seperti menghardiknya dengan mata biru itu.

Zelda berpikir kalau Arthur begitu karena dirinya terlalu lama berada di dalam bank, sehingga membuat Arthur yang menunggunya jadi kesal. Lalu, setelah keluar dari bank, ia malah harus terhalangi oleh kemunculan Loris sehingga tak bisa buru-buru kembali ke mobil.

Namun sebenarnya, daripada persoalan lama menunggu Zelda yang tadi masuk ke bank untuk mengurus cek, Arthur jauh lebih fokus memerhatikan bagaimana lacur pribadinya itu berinteraksi dengan pria yang tak dia kenal.

“Ma-maaf, Tuan. Aku ... harus pergi,” ujar Zelda pada Loris.

“Hey, tapi kita sudah lama tidak bertemu.”

“Iya, maafkan aku. Tapi aku sungguh harus pergi. Kau juga pergilah dari sini sebelum ada hal buruk yang terjadi padamu,” tutur Zelda.

Pengusaha berusia 39 tahun itu tentu saja mengerutkan keningnya karena heran mendengar penuturan Zelda. Tapi tanpa menggubris hal tersebut, dia bertanya, “Lalu bagaimana dengan nanti malam? Kau bisa, kan? Aku akan menghubungi asistenku agar segera menyiapkan kamar.”

Zelda menggeleng cepat. “Tidak bisa, Tuan.”

Sesaat kemudian, Zelda melirik ke arah Arthur. Melihat Arthur sudah berbalik untuk masuk ke mobil, ia pun segera bergegas. Tanpa mau mendengar apa yang akan Loris katakan, ia berjalan cepat menghampiri Porsche hitam milik Arthur.

Sang tuan duduk di kursi kemudi dan memegang setir, sepertinya Zelda tak diberi kesempatan untuk mengemudi lagi.

Pria itu menurunkan jendela mobil mewahnya tersebut, lalu menatap Zelda yang sudah berdiri di samping mobil dan langsung memerintah. “Masuk!”

Zelda patuh. Duduk di kursi penumpang di samping Arthur dan menutup pintu. Dengan tangannya yang agak gemetar karena berdebar-debar oleh rasa gugup, ia memakai sabuk pengamannya.

Begitu memasuki area jalan raya, laju mobil Arthur langsung meningkat signifikan.

Zelda menatap ke depan, merasa tegang setelah menyadari bahwa memang benar mobil itu melaju dengan sangat cepat di jalan raya pusat kota yang beruntungnya cukup renggang siang ini.

Namun meski renggang, tentu saja Zelda panik karena takut melihat bagaimana pada akhirnya Arthur melajukan mobil dengan kecepatan maksimal, hingga bunyi halus dari mesin mobil sport itu pun terdengar jelas.

Makin gemetar Zelda dibuatnya. Ini mengerikan. Tak pernah sekali pun ia menaiki mobil yang dikendarai dengan kebut-kebutan begini seperti di sirkuit.

Khawatir sekali rasanya, sebab tak menutup kemungkinan dirinya bisa mati di tempat apabila terjadi kecelakaan akibat laju mobil yang dikendarai Arthur.

Sampai bermenit-menit kemudian, mobil itu masih terus melaju dengan sangat cepat. Jantung Zelda berdebar-debar ketika memikirkan kalau jangan-jangan Arthur memang ingin membunuhnya.

Kedua telapak tangan dan jemarinya mencengkeram pinggiran kursi yang ia duduki. Kedua mata hazelnya sudah berair. Ia ketakutan dan ingin menangis karena belum siap mati.

Seumur-umur, ia tidak pernah benar-benar merasakan cinta. Orang-orang di sekitarnya hanya mengagumi dan jatuh hati pada paras cantik sekaligus tubuhnya. Lalu, apakah sekarang ia sungguh-sungguh harus mati meski belum bersanding dengan pria yang mau menerimanya apa adanya dan mencintai dengan tulus? Mengenaskan sekali.

Zelda tidak bisa berkata apa-apa karena takut keadaan jadi makin kacau. Satu bulan bekerja untuk Arthur, nyawanya seperti terombang-ambing tiap saat dalam ketegangan. Lagi pula ia tidak mengerti mengapa mendadak pria itu mengemudikan mobil seperti orang kesetanan begini.

Di depan sana, ada sebuah truk besar dan mobil Arthur masih melaju dengan sangat kencang. Air mata Zelda menetes, menahan napas dan memejamkan mata rapat-rapat.

Bayang-bayang alam kubur dan api neraka sudah terpatri di kepala Zelda, berpikir ia betulan akan mati detik ini juga.

Namun ternyata, Arthur sangat lihai dengan kemampuan menyetirnya. Dia menghindar dari truk tersebut, sehingga tak ada apa pun yang terjadi. Semuanya baik-baik saja, dia mulai menurunkan kecepatan mobilnya, melaju dengan normal kembali.

Awalnya Zelda pikir akan langsung menghadap Tuhan jika ia membuka mata. Beruntung pemikirannya itu tidak benar dan dirinya masih hidup.

Dengan air mata yang masih berlinang deras di kedua pipinya, Zelda pun perlahan-lahan mulai membuka kedua matanya.

Zelda menatap ke depan, menyadari mobil yang ditumpanginya sudah melaju dengan kecepatan yang normal. Ia tak tahu sama sekali apakah Arthur menyudahi sesi kebut-kebutan tadi setelah ada truk atau justru karena Arthur melihatnya menangis tanpa suara.

“Bukankah aku sudah pernah bilang padamu untuk jangan menangis di hadapanku?” ujar Arthur tiba-tiba tanpa menatap Zelda.

Zelda pun menoleh pada Arthur. Menghapus air mata di kedua pipinya dengan cepat meski itu percuma, sebab air matanya mengalir lagi, lagi, dan lagi.

“Ma-maafkan aku, Tuan ...,” lirih Zelda dengan suaranya yang bergetar hebat.

Arthur melirik ke arah wanita itu. Melihatnya masih terus meneteskan air mata tanpa bisa dikendalikan, ia melipir ke tepi jalan dan langsung menghentikan mobilnya.

Zelda hanya diam. Menundukkan kepala dalam-dalam karena berpikir Arthur akan memarahinya dengan mendadak berhenti seperti ini.

Selagi masih menunduk, tiba-tiba saja Zelda melihat sebuah saputangan hitam disodorkan oleh Arthur tepat di depan wajahnya.

Zelda mengangkat kepala dan menoleh pada Arthur. Pria tersebut menatapnya dengan tatapan yang tajam, lalu mengisyaratkannya untuk mengambil saputangan tersebut.

“Hapus air mata dan ingusmu itu!” titah Arthur.

Bergegas Zelda menerima saputangan yang diberikan oleh tuannya.

Bagi Zelda, Arthur mungkin memang mengerikan. Namun setelah pria itu melakukan hal kecil seperti memberikan saputangan, ia jadi memikirkan, apakah pria seperti Arthur tetap punya kepedulian dan rasa bersalah? Barangkali pria itu merasa bersalah karena sudah kebut-kebutan seperti tadi hingga membuat Zelda takut sampai menangis.

Ah, tapi mana mungkin. Pikir Zelda, membunuh orang pun Arthur tidak akan merasa kasihan sama sekali.

“Terima kasih,” gumam Zelda setelah air matanya akhirnya bisa berhenti total. Ia menggenggam saputangan yang barusan digunakan untuk menyeka pipi dan bagian bawah hidungnya yang banjir.

Kemudian, Zelda melanjutkan, “Aku akan mengembalikan  saputanganmu ini setelah kucuci bersih.”

“Memang harus begitu! Kau pikir aku mau mengantongi saputangan bekas ingusmu?” sahut Arthur ketus.

Zelda bungkam dan langsung menunduk lagi. Belum ada lima detik ia menunduk, Arthur menyentuh dagunya dan mengangkatnya. Dengan begitu, ia pun mengikuti arah tangan Arthur yang mengangkat dagunya tersebut agar ia menoleh dan menatap sang tuan.

“Dengar, Miss Murphy,” ujar Arthur sembari menatap Zelda lekat-lekat.

Zelda tertegun. Selama ini Arthur jarang sekali memanggil namanya. Sekalinya memanggil, itu pun memakai sebutan lengkap 'Zelda Esmeray Murphy' untuk menggambarkan betapa pria itu sedang sangat marah.

Namun sekarang, Arthur menyebutnya dengan sebutan ‘Miss Murphy’ sekaligus dengan suara yang penuh penekanan. Berhasil membuat Zelda berdebar-debar karena mungkin ini tak lebih dari sekadar marah.

“Aku tahu kalau pria tadi bicara padamu dengan suara pelan, tetapi telingaku sangatlah peka. Aku mendengarnya bicara mengenai sesuatu yang jelas bahwa dia ingin mengajakmu tidur. Benar, bukan?” Arthur menegaskan, memastikan.

“T-tapi aku tidak akan mau, Tuan. Aku berani bersumpah demi Tuhan. Aku bekerja untukmu sekarang dan aku tidak mungkin membelot darimu,” tutur Zelda sembari menggeleng cepat selagi Arthur masih mencengkeram dagu dan rahangnya.

“Bagus jika kau paham akan hal itu. Aku tidak peduli siapa saja yang mengagumimu dahulu saat kau masih di Wynn Bellagio, termasuk pria tadi.”

Zelda terdiam. Mengungkit soal Wynn Bellagio, ia jadi makin merasa jijik pada dirinya sendiri.

Zelda tidak pernah benar-benar mau dan rela melakukan pekerjaan yang ia jalani selama ini kalau bukan karena keluarganya, yaitu untuk melunasi hutang-hutang ayahnya yang begitu besar, membayar biaya pengobatan ibunya yang berharga selangit tapi ternyata ujung-ujungnya mati juga, serta membiayai kuliah dan hidup adiknya.

Sejenak kemudian, Arthur melanjutkan kalimatnya tadi yang belum selesai. “Semenjak kau menandatangani surat perjanjian yang pasti diberikan Mona di awal, kau adalah milikku dan kau bekerja hanya untukku. Mengerti?”

“Iya, Tuan. A-aku tahu itu dan aku sangat mengerti.”


***

 

13. Tanggung Jawab

Pria itu melonggarkan simpulan dasi di lehernya dan melangkah melewati pintu dengan derap pantofel mengkilatnya yang tajam.

“Mereka mungkin akan menyerang lagi, Tuan. Penyusup yang kemarin pasti hanya untuk percobaan saja dan memang sudah diperkirakan oleh mereka akan berakhir seperti itu,” jelas  salah seorang anak buah Arthur yang berusaha menyejajarkan langkahnya dengan sang tuan.

Arthur berdecak pelan, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu dan langsung bersandar santai dengan kedua mata yang terpejam.

“Biarkan para bajingan suruhan Lombardo itu melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Tangkap saja siapa pun yang mencoba untuk mengacau di sini,” perintan Arthur, “tunda pengiriman barang ke Kolombia. Jika kita tidak hati-hati, mereka akan mengincar bisnisku juga.”

“Baik, Tuan. Aku sekalian ingin memberitahumu kalau sepertinya pihak kepolisian dan keamanan negara di perbatasan Amerika Tengah sudah mengetahui jalur yang kita gunakan untuk mengekspor barang ilegal kita ke Kolombia. Apa yang harus kita lakukan?”

Arthur membuka kedua matanya, lalu menatap tajam pada anak buahnya yang sejak tadi bicara itu. “Mengapa urusan sepele begitu saja masih bertanya? Beri mereka uang, maka mulut mereka akan bungkam.”

Pria di hadapan Arthur itu pun tersenyum simpul dan mengangguk patuh, kemudian berbalik untuk segera memerintahkan orang agar melaksanakan apa yang Arthur katakan.

Arthur pun kembali memejamkan mata. Menyandarkan punggung dan kepalanya dengan tenang di sofa empuk berwarna gelap itu.

Sampai sepuluh menit kemudian, semuanya masih tetap tenang selama ia mencoba untuk mengistirahatkan matanya sejenak. Hingga akhirnya, segala ketenangan buyar ketika telinganya  mendengar suara derap langkah cepat dari arah tangga, diiringi pula oleh suara familier yang memanggilnya.

“Selamat malam, Tuan!”

Arthur pun membuka kedua matanya dan menatap ke arah sumber suara. Melihat Zelda berdiri sekitar lima meter di depannya dengan tubuh yang berbalut sweater oversized berwarna krem.

“Aku rasa aku belum menyuruh siapa pun memanggilmu untuk bilang kalau kau harus melayaniku malam ini,” ujar Arthur dengan suara baritonnya yang dalam itu.

“Ah, ya. Tadi aku mendengar suaramu dari lantai atas, jadi aku segera turun karena aku memang berniat untuk menemuimu. Aku ... ingin mengembalikan ini.” Zelda melangkah maju mendekati Arthur dan menyodorkan sebuah saputangan hitam kepada pria itu.

Arthur mengangkat kepalanya yang sebelumnya bersandar pada sandaran sofa. Kedua mata birunya menatap saputangan tersebut, lalu beralih menatap wajah Zelda.

Sebelah alis tebal Arthur terangkat, menghardik kebodohan Zelda yang mengganggu ketenangannya hanya untuk mengembalikan saputangan miliknya.

“Kau menggangguku hanya untuk itu?” desis Arthur tajam.

Zelda yang tadinya berpikir kalau Arthur akan langsung menerima saputangan hitam itu, seketika langsung tercenung karena ternyata perkiraannya salah.

“A-aku ... hanya berniat buru-buru mengembalikannya setelah bersih, Tuan. Aku meminjamnya darimu, jadi aku harus mengembalikannya sebelum kau meminta dikembalikan.”

Arthur tidak tahu wanita itu memang bodoh dan lamban atau justru memang punya watak yang sangat bertanggung jawab. Sebab, seharusnya Zelda bisa menyerahkan saputangan itu kepada pelayan agar mereka yang mengurus kamar Arthur yang menyimpannya di kamar.

Namun alih-alih begitu, Zelda malah memilih menemui Arthur secara langsung dan menyerahkan saputangan itu tanpa perantara.

Setelah dipikir-pikir, ini tidak buruk. Bagi Arthur yang merupakan tipikal orang yang menjunjung tinggi loyalitas seseorang, bahkan meski mengembalikan saputangan secara langsung hanyalah persoalan kecil, itu tetap memiliki makna. Ini menunjukkan dengan jelas bagaimana Zelda benar-benar patuh padanya.

Dari hari ke hari, tingkah Zelda terlihat makin menarik perhatian Arthur, tidak sekadar terampil dan mahir di ranjang dalam melayani Arthur. Wanita ini sangat binal dengan latar belakang dunia malamnya, tetapi juga seperti wanita innocent yang lugu.

Cukup menarik, pikir Arthur.

Arthur pun menegakkan posisi duduknya. Zelda tersenyum ketika ia berpikir bahwa sang tuan akan langsung menerima saputangan tersebut.

Zelda tidak tahu kalau ternyata setelah menegakkan posisi duduk, Arthur malah meraih pergelangan tangan kanannya dan menariknya dengan tenaganya yang kuat.

Hal tersebut membuat Zelda tentu mengikuti arah tarikan Arthur. Saking kalahnya tenaganya dengan tenaga sang tuan yang punya tubuh berotot itu, ia kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh merapat pada tubuh Arthur di sofa.

Zelda terkejut ketika tatapannya beradu dengan Arthur pada jarak yang sangat dekat itu. Bahkan hidungnya bisa menghirup dengan jelas aroma parfum dan tubuh sang tuan yang sangat maskulin serta mewah tentunya.

Zelda sadar betul bagaimana saat ini bagian depan tubuhnya telah mendarat sempurna dan menempel pada tubuh Arthur, termasuk dadanya. Dilihatnya bibir pria itu menyunggingkan senyum tipis, tetapi sangat sinis.

Zelda hanya termangu dan bingung harus berbuat apa karena kini tangan kanannya masih digenggam oleh Arthur.

Beberapa saat kemudian, Zelda pun menumpukan tangan kirinya di sandaran sofa. Merasa dirinya harus menyudahi posisi itu karena khawatir Arthur akan merasa risi. Jadi, dengan satu tangannya yang sudah memiliki tumpuan, ia berniat untuk mundur dan kembali berdiri tegak.

Namun sayang, Arthur malah mengeratkan genggaman tangannya dan membuat Zelda tetap pada posisi yang sama.

Arthur mengambil saputangan hitam miliknya dari genggaman Zelda. Menatap wanita itu selama beberapa saat, lalu beralih pada saputangan tersebut.

“Kau yakin sudah tidak ada bekas air mata dan ingusmu di sini?” tanya Arthur.

“Yakin, Tuan. Aku sudah mencucinya sampai bersih.”

"Bagus." Arthur memegang kedua lengan Zelda, lalu langsung mendorong tubuh lacurnya hingga wanita itu jatuh berbaring telentang di sofa.

Zelda terkejut karena gerakan Arthur sangatlah cepat. Kepala belakangnya juga terasa agak sakit karena barusan sedikit membentur tepi sofa ketika Arthur membantingnya untuk berbaring di sana.

Zelda tak sebodoh itu hingga tak menyadari kalau Arthur ingin memakainya sekarang. Namun, pandangannya menelisik khawatir ke arah sejumlah pengawal Arthur yang ada di dekat pintu masuk mansion dan di ruang tamu.

Namun untungnya, tak lama setelah itu Arthur mengangkat rendah tangan kirinya dan seperti memberi isyarat pada para pengawalnya yang ada di sekitar ruangan tersebut. Selepas Arthur melakukan itu, mereka pun langsung peka dan segera berbalik untuk melangkah pergi.

Zelda merasa lega karena hal itu. Serendah apa pun dirinya, tentu saja sangat memalukan jika harus disetubuhi di hadapan orang lain.

Menatap Arthur yang ada di atasnya, Zelda lalu mencengkeram pelan lengan Arthur ketika pria itu menunduk untuk mulai mencium bibirnya. Lumatan Arthur pada bibirnya terasa brutal seperti biasanya. Ia tidak berhak berbuat apa-apa selain mengimbangi Arthur agar tak membuat tuannya itu kecewa.

Hingga beberapa menit kemudian, kedua tangan Arthur bergerak menyusup masuk ke bagian bawah sweater yang Zelda kenakan. Ciumannya sengaja dijeda, dia menatap Zelda dengan netra birunya yang tajam menusuk itu selagi tangannya bergerak menyingkap pakaian si lacur pribadinya untuk menyentuh area sensitif di tubuh wanita itu.

Zelda pun balas menatap Arthur. Napasnya mulai berat saat jemari Arthur mengelus kulit perutnya dan merambat naik ke atas. Tak hanya itu, sang tuan juga menyentuh pahanya dengan buku-buku jarinya yang bergerak penuh kesensualan.

Zelda menggigit bibir bawahnya perlahan, berusaha menahan desaunya ketika bibir Arthur berlabuh di lehernya. Tangan Arthur masih berada di bawah sweater Zelda, menyentuh dadanya dari dalam sana dan membuatnya kian terbelenggu. Sensasi dingin ia rasakan ketika jam tangan Arthur bersentuhan dengan kulit perutnya.

Pria itu sudah mengangkat bagian bawah sweater Zelda dan siap menelanjangi wanita itu, tetapi tiba-tiba saja seorang pria yang merupakan anak buah sekaligus tangan kanan Arthur datang ke ruang tamu dan menghampiri sofa tempat si tuan berada.

“Maaf mengganggumu, Tuan,” ujar pria itu dengan pandangan yang hanya fokus tertuju pada Arthur, meski sempat melirik Zelda yang berbaring telentang dengan kondisi pakaian yang hampir terbuka.

“Kau berani mengganggu kesenanganku, jika bukan karena hal yang benar-benar penting, aku sungguh akan membunuhmu,” ancam Arthur dengan kejam sembari menatap pria itu.

“Ini sangat penting, Tuan. Nyonya Miranda menelepon.”

Mendengar nama itu disebut, Arthur pun langsung terdiam. Dia beranjak dari sofa dan berdiri sembari merapikan pakaiannya.

Setelah anak buahnya memberikan sebuah ponsel yang bergetar panjang menandakan adanya telepon masuk, Arthur pun  melangkah pergi sembari langsung menekan tombol jawab pada ponselnya itu.

Zelda yang masih berada di sofa pun ditinggalkan seorang diri. Bangkit dari posisi berbaringnya dan menatap punggung Arthur yang menjauh sambil bergegas merapikan pakaiannya yang tadi hampir dilucuti oleh sang tuan.

Zelda masih bisa mendengar suara Arthur yang bicara dengan seseorang ditelepon. Namun ia hanya mendengar saja dan sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan oleh Arthur, karena pria itu bicara menggunakan bahasa Italia.

***

 

14. Menolong Arthur

Arthur mengaktifkan mode loudspeaker, lalu meletakkan ponselnya ke atas meja. Pria itu menopang kedua telapak tangannya pada pinggiran meja tersebut selagi ponselnya masih terus mengeluarkan suara seorang wanita yang sedang mengoceh panjang lebar di seberang sana.

Arthur tetap diam dan mendengarkan dengan ogah-ogahan. Dia hanya menatap benda berbentuk persegi panjang itu tanpa bicara sepatah kata pun.

[ARTHUR! KENAPA MALAH DIAM?!] Suara itu membentak tegas.

“Ibu mau aku bicara bagaimana? Lagi pula dari tadi Ibu terus-menerus mengoceh dan tak memberikan celah bagiku," sahut Arthur dengan tajam dan tegas.

Miranda Gray, ibu kandung Arthur, terdengar menghela napas. Masih bicara dalam bahasa Italia, wanita itu kembali mengoceh dan membuat Arthur kian pusing mendengarnya.

[Lebih baik kau kembali dulu ke Milan. Ibu hanya ingin kau menikah. Jika selama ini kau tidak punya pilihan, bahkan menetap ke Amerika pun juga tetap sendirian, maka kembalilah ke Milan sebentar. Ibu ingin mempertemukanmu dengan seorang wanita.]

“Aku tidak sendirian dan aku punya pilihanku sendiri. Sudahlah, aku banyak urusan. Akan kumatikan telepon ini,” kata Arthur yang malas menyahuti ucapan ibunya barusan.

Belum sempat Arthur benar-benar mengakhiri telepon itu, Miranda kembali bicara dan membuat gerakan tangannya sontak terhenti.

[Punya pilihan? Baiklah, Amore Mio. Katakan padaku, kau punya calon pengantin? Siapa dia? Aku akan senang jika itu memang sungguhan dan kuharap usia 36 tahun adalah tahun terakhirmu melajang.]

Arthur berdecak kesal. Mana ada calon pengantin. Ia hanya berdusta soal punya pilihan. Persetan dengan itu, ia terlalu sibuk untuk berpikir mengenai sebuah pernikahan.

“Aku sedang sibuk. Bisakah Ibu berhenti menggangguku?” tanya Arthur, berharap ibunya itu tutup mulut dan tak bicara lagi.

[Ibu peringatkan kau untuk segera menikah, Arthur. Aku tidak main-main. Sekalinya aku datang diam-diam ke Vegas tanpa memberitahumu, lalu melihat ternyata kau masih belum resmi menikahi wanita mana pun, aku pastikan ayahmu akan sangat marah padamu dan Ibu tidak akan berada di pihakmu untuk membela. Kau tahu, kan? Selama ayahmu masih hidup, posisimu tak lebih tinggi darinya.]

“Ya, ya. Aku mengerti,” jawab Arthur, lalu tanpa bicara apa-apa lagi langsung mengakhiri telepon itu.

Di waktu yang bersamaan, Zelda masih berada di sofa ruang tamu dan sedang sibuk merapikan pakaiannya setelah tadi tubuhnya sempat digerayangi oleh Arthur.

Zelda bangkit dari sofa. Berniat untuk pergi ke kamarnya karena sepertinya Arthur tidak akan muncul lagi malam ini. Maksudnya, mungkin pria itu tidak membutuhkannya lagi selepas mendapatkan telepon yang tidak ia ketahui entah dari siapa.

Sebetulnya Zelda bisa saja pergi ke lantai dua menggunakan lift, tetapi ia memilih menggunakan tangga saja. Toh, hanya lantai dua.

Saat hampir tiba di tangga, pandangan Zelda tertuju ke arah jendela besar di sisi ruang tamu, di mana jendela itu mengarah ke halaman rumah. Mendapati kalau ternyata di luar sana sedang hujan deras. Ia melangkah menghampiri jendela sekadar untuk melihat ke atas dan menatap langit sejenak, memandangi hujan yang turun dengan begitu lebat.

Selagi masih berdiri di dekat jendela, Zelda baru menyadari kalau ternyata di halaman rumah ada tiga orang pengawal Arthur, salah satunya Mark. Para pengawal Arthur itu sedang menyeret seseorang turun dari mobil. Ia mengerutkan kening dan memerhatikan dengan saksama.

Mark terlihat melepaskan kemeja hitam yang dipakainya. Bahkan meski hujan deras tengah mengguyur, pengawal itu seperti tak peduli dan membiarkan tubuh berototnya yang kini bertelanjang dada terguyur hujan.

Kemeja hitam itu kemudian digunakan untuk menutup kepala orang yang sedang mereka seret. Kepalanya ditutup bukan untuk dilindungi dari hujan, melainkan seperti untuk menutupi pandangan orang tersebut agar tidak melihat sekeliling mansion.

Zelda yakin betul kalau orang yang sedang diseret itu pasti merupakan penyusup seperti pria yang waktu itu ditembak. Mungkin pengawal Arthur sengaja menutupi pandangan penyusup itu supaya kalau sang penyusup ternyata bisa selamat, si penyusup tidak benar-benar hafal area di sekeliling mansion itu dan tidak akan bisa melarikan diri dengan mudah.

“Sialan. Mereka sungguh ingin main-main denganku,” desis sebuah suara yang bicara sendiri.

Zelda pun sontak langsung menoleh karena terkejut dengan kemunculan suara yang cukup tiba-tiba itu. Ketika ia menoleh, ia melihat Arthur sudah berdiri di sampingnya entah sejak kapan.

“Tuan Arthur? Kau di sini rupanya,” gumam Zelda. Padahal, tadi ia pikir Arthur tak akan muncul lagi malam ini.

Arthur tak merespons. Dia masih menatap ke arah luar jendela, memerhatikan pengawalnya yang menyeret penyusup di tangan mereka. Sesaat kemudian, ia menoleh pada Zelda.

Zelda tersenyum pada pria itu, berusaha untuk bersikap sebaik mungkin di hadapan tuannya.

Arthur sempat terdiam cukup lama ketika melihat Zelda tersenyum. Senyumnya tidak lebar, bahkan juga tidak seceria itu. Namun entah mengapa, terlihat sangat manis dengan diiringi manik mata hazelnya yang juga tertuju menatap Arthur.

“Ada apa, Tuan? Apakah ada yang salah?” tanya Zelda setelah melihat Arthur menatapnya tanpa bicara sepatah kata pun selama hampir lima menit lamanya.

Arthur langsung buang muka dan berdeham pelan, mengalihkan kefokusannya dari Zelda. Pria itu menghela napas. Setelah kembali menatap wanita itu, ia berkata, “Kau berhati-hatilah kalau keluar dari area mansion ini. Penyusup seperti itu akan terus berdatangan.”

Arthur menunjuk ke arah halaman rumah. Zelda pun mengikuti arah yang pria itu tunjuk dan menatap lagi pada para pengawal si tuan yang tadi sedang menyeret penyusup.

“Kau mengerti atau tidak tentang apa yang kukatakan?” ketus Arthur.

“Mengerti, Tuan,” jawab Zelda, “kau khawatir padaku ya, Tuan?”

Zelda merasa penasaran, apakah pria ini sebenarnya punya selera humor barang sedikit saja, atau justru tidak sama sekali? Karena itulah, barusan ia melontarkan pertanyaan soal khawatir sambil mengulas senyum lebar sebagai gurauan.

Zelda mungkin gila. Ia seperti cari masalah pada Arthur jika bertanya begitu. Sebab, sekarang wajah Arthur jadi terlihat makin garang.

“Kau bilang apa barusan?” tanya Arthur tajam.

Zelda tertegun susah payah. ‘Mampuslah aku,’ batin Zelda. Niat bergurau, dirinya mungkin malah berpotensi dijadikan sangau.

“A-aku ... aku hanya bercanda, Tuan. Aku bercanda,” tukas Zelda sambil menunjukkan cengiran lebarnya.

Sementara Arthur hanya diam, Zelda pun jadi canggung karena diamnya pria itu. Untuk menutupi kecanggungannya, secara refleks ia tertawa. Menepuk-nepuk pelan lengan Arthur sambil terus tertawa.

Arthur menatap tangan Zelda yang menepuk lengannya. Kedua alis tebalnya terangkat ketika dia beralih lagi menatap mata hazel Zelda untuk menghardik tindakan wanita itu.

“Tidak ada yang lucu, Miss Murphy,” desis Arthur.

Zelda sontak langsung terdiam. Ia berhenti menepuk-nepuk lengan Arthur dan juga langsung menghentikan tawanya. Lalu akhirnya berdeham beberapa kali seraya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal hanya untuk menyembunyikan rasa gugupnya, malu dan takut setengah mati karena yakin Arthur pasti menganggap dirinya begitu bodoh dan kikuk.

Lagi pula memangnya apa yang ia harapkan? Sudah jelas wajah garang Arthur menunjukkan bahwa pria itu adalah orang yang sangat serius dan tidak bisa diajak bercanda.

Zelda memalingkan wajah untuk menghindar dari tatapan Arthur. Ia menatap ke jendela dan melihat penyusup yang tadi diseret oleh pengawal Arthur, ternyata berhasil lepas dan berlari ke arah jendela.

Zelda membelalak kaget ketika penyusup itu memegang pistol yang direbut dari salah satu pengawal Arthur. Pistol itu diarahkan sang penyusup ke jendela, menargetkan kepala Arthur.

Langsung memegang tangan Arthur, Zelda menariknya dengan sangat cepat untuk menghindar dari jendela, kemudian memeluk Arthur dan menjatuhkan diri ke lantai agar sang tuan berjongkok bersamanya di dekat meja ruang tamu.

Sedetik kemudian, suara tembakkan terdengar sangat keras, beradu dengan gemericik hujan di luar sana. Peluru dari pistol yang ditembakkan itu pun tepat mengenai jendela, beruntung tidak sampai tembus.

Jendela itu memang lumayan kuat dan mungkin memiliki beberapa bagian yang didesain anti peluru, tetapi tetap saja pelurunya yang kini menancap, berhasil membuat kaca retak membentuk bulatan, hingga terdapat sedikit seripihan kaca dari pinggiran jendela yang langsung berserakan di lantai dan terpental ke arah Zelda dan Arthur.

Semua pengawal Arthur yang ada di dalam, langsung bergegas keluar mansion selagi pengawal yang di luar juga segera menangkap penyusup tersebut.

Sementara itu, Zelda masih memegang erat tangan Arthur. Ia gemetar ketakutan ketika mendengar suara tembakan yang beradu di luar sana, menandakan dengan jelas para pengawal Arthur sedang baku tembak dengan penyusup yang ternyata cukup cerdik dan gesit.

“Ya Tuhan ... aku belum mau mati ...,” desis Zelda sambil mulai menangis dan memejamkan mata rapat-rapat.

Arthur yang ada di samping Zelda justru terlihat sangat tenang. Dia menatap tangan Zelda yang kini menggenggam tangannya, merasakan dengan jelas bagaimana tangan wanita itu bergetar hebat.

Arthur sama sekali tidak panik. Tadi pun sebenarnya ia sudah melihat dan tahu kalau penyusup itu akan menembaknya. Juga tahu kalau peluru dari pistol penyusup itu tak akan menembus jendela. Dia berjongkok hanya karena ditarik dan dipeluk oleh Zelda yang tak tahu kalau kaca jendela mansion ternyata anti peluru.

Beberapa saat kemudian, suara adu tembak sudah tak terdengar lagi. Penyusup itu sudah ditembak dan dilumpuhkan oleh pengawal Arthur setelah nekat mengancam keselamatan Arthur.

Zelda yang sejak tadi memejamkan mata pun mulai membuka kedua matanya. Ia masih menangis, lalu menyadari kalau saat ini Arthur sedang menatapnya.

Zelda mungkin berpikir kalau dia akan kena masalah karena sembarangan menarik Arthur seperti tadi. Namun, itu tidak benar. Nyatanya, meski tak mengungkapkan sedikit pun, Arthur sangat kagum pada tindakan spontan Zelda yang menariknya dengan maksud untuk menolongnya.

“Ma-maaf, Tuan,” ujar Zelda yang masih sedikit mengeluarkan air mata.

Ketika Zelda menunduk, melihat ternyata ada serpihan kaca jendela yang mengenai punggung tangan kiri Arthur. Tangan pria itu berdarah.

“Tuan, tanganmu berdarah. Astaga ...,” Zelda buru-buru berdiri. Tahu kalau di laci meja ruang tamu terdapat kotak P3K yang tersimpan. Ia pun mengambil kotak itu.

“Kalau kau berkenan, izinkan aku membersihkan darahmu, Tuan,” pinta Zelda dengan hati-hati.

Arthur terdiam sejenak dan terpaku menatap Zelda. Luka seperti itu saja bukanlah masalah besar bagi orang seperti Arthur. Dibasuh dengan air pun sudah cukup.

Namun melihat bagaimana Zelda bersikap saat ini, Arthur pun menjawab, “Lakukan dengan cepat!”

Zelda mengangguk patuh. Segera mencari kapas dan kain kasa dari kotak yang tadi ia ambil, lalu menggunakannya untuk membalut luka di tangan Arthur, setidaknya selama beberapa saat untuk menghentikan darah yang mengalir, lalu ia membersihkan darah di tangan Arthur agar darah itu tak menetes ke lantai. Ia  juga menyingkirkan beberapa serpihan kaca halus yang ada di sekitar mereka berdua.

Arthur bergeming menatap Zelda, tak bisa mengontrol ketika bibirnya mengulas senyum tipis.

Namun sesaat kemudian, Arthur langsung buang muka, berhenti menatap Zelda karena tidak mau wanita itu besar kepala kalau sampai tahu dirinya tersenyum.

***

 

15. Perintah Yang Mengejutkan

Wanita itu mengoleskan sedikit lipstik. Lipstik berwarna merah muda yang tampak apik di bibir  ranumnya.

Setelah selesai memakai riasan wajah, Zelda beranjak dari kursi meja rias yang ada di kamarnya. Berdiri di depan cermin dan memastikan tidak ada yang salah dari gaun sebatas lutut yang ia pakai.

Gaun itu berwarna hijau gelap. Ada banyak di lemari Zelda pakaian yang berwarna gelap seperti itu. Setidaknya, bukan hitam. Sejak awal ia sudah diperingatkan untuk tidak memakai gaun hitam. Entah karena apa selain yang Arthur katakan kalau pria itu tidak suka.

Zelda pun melangkah keluar dari kamarnya dan menyusuri koridor untuk menuju tangga.

Mark datang ke kamarnya sekitar lima belas menit yang lalu dan memerintahkannya untuk segera keluar setelah berdandan, karena Arthur ingin bertemu dengannya.

Satu minggu berlalu semenjak kejadian penembakan dari halaman mansion waktu itu. Sudah satu minggu juga Zelda sama sekali tidak bertemu Arthur lagi. Sebab, pada malam setelah ia membersihkan sekaligus mengobati luka di tangan Arthur yang terkena serpihan kaca jendela, Zelda tak melihat Arthur lagi di mansion.

Tuannya itu pasti sangat sibuk, pikir Zelda. Terlebih lagi mungkin Arthur mengurus soal penyusup yang terus-menerus berdatangan ke kediamannya ini.

Dan sore ini, Zelda dipanggil untuk menemui Arthur. Ia pun menduga kalau dirinya kemungkinan dipanggil untuk melayani sang tuan setelah seminggu pria itu pergi.

Zelda diantarkan oleh Mark ke ruangan yang ada di lantai dasar mansion. Kedua kaki jenjangnya yang dibalut sepasang heels cokelat gelap melangkah anggun memasuki ruangan. Melihat di dalam sana Arthur sedang duduk di sofa single seat dengan pandangan yang tertuju ke arah pintu, seolah memang sudah menunggu pintu itu terbuka yang menandakan kedatangannya.

“Selamat sore, Tuan,” sapa Zelda sambil mengulas senyum di bibirnya yang menggoda itu.

Arthur hanya diam menatap Zelda, memandangi tubuh wanita itu dari atas ke bawah dengan saksama. Setelah itu, dia bangkit dari duduk dan melangkah menuju meja besar berbentuk oval yang ada di tengah ruangan.

Ruangan itu bentuknya seperti sebuah ruang pertemuan, yang mana Zelda ketahui Arthur bersama para anak buahnya memang sering berada di situ. Mungkin untuk berdiskusi.

Arthur duduk di salah satu kursi di depan meja tersebut. Dia menunjuk kursi yang bersebelahan dengannya, lalu berkata pada Zelda, “Duduklah.”

“Baik, Tuan.” Zelda manut saja dan segera melangkah ke sana. Ia duduk di kursi yang persis bersebelahan dengan Arthur. Meski sebenarnya, ia agak heran. Ia pikir setelah masuk ruangan dirinya akan langsung dibelenggu oleh hasrat Arthur yang ingin dipuaskan.

“Kau tahu apa tugasmu di sini, kan?” tanya Arthur, memastikan.

“Tahu. Tentu aku tahu,” jawab Zelda sembari mengangguk pelan.

Melihat keseriusan Arthur, Zelda khawatir dirinya melakukan kesalahan, lalu dipanggil ke sini karena kesalahan yang mungkin tak sengaja ia perbuat.

Tapi setelah diingat-ingat, sepertinya ia tak melakukan apa-apa. Apalagi seminggu belakangan pun dirinya tidak bertemu Arthur karena pria itu tidak berada di mansion.

Sejenak kemudian, tiba-tiba saja Arthur memegang pinggiran kursi yang Zelda duduki, lalu menarik kursi itu agar mendekat padanya.

Zelda agak tersentak. Karena takut jatuh akibat kursinya mendadak ditarik begitu, ia refleks menumpukan kedua tangannya di sisi pegangan kursi dan tanpa sengaja menggenggam tangan Arthur.

Kursi Zelda telah merapat dengan kursi Arthur. Pria itu kemudian memutar kursi sang wanita untuk menghadap ke arahnya. Sesaat setelah itu, pria tersebut bangkit dari duduknya dan melepas kancing jas hitamnya, sehingga dia bisa membungkuk dengan leluasa ke arah Zelda.

Zelda sedikit terkejut.  Karena kini Arthur membungkuk ke arahnya dan wajah mereka jadi sejajar, sontak ia memundurkan tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursi.

Arthur memegang pegangan kursi Zelda, lalu menghela napas pelan dan makin mendekatkan wajahnya pada wajah sang wanita.

Zelda masih tetap diam. Ia mengerjap beberapa kali ketika merasakan embusan napas Arthur yang hangat dan harum mint itu menerpa wajahnya dengan lembut.

“Apa kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?” tanya Arthur.

“Tidak tahu, Tuan. Aku ... aku pikir, kau ingin aku melayanimu,” jawab Zelda dengan sedikit terbata karena gugup.

Arthur menatap tiap jengkal wajah Zelda dengan sangat intens. Sengaja ia mendekatkan dirinya dengan Zelda seperti ini karena ingin menghirup aroma tubuh wanita itu untuk memastikan sesuatu.

Dan sejenak kemudian, kening Arthur pun terlihat sedikit berkerut. “Kau tidak memakai sampo dan sabun di kamarmu?”

“Ah, i-itu ... aku memakainya, Tuan. Tapi aku juga memakai parfumku sendiri dan mungkin aromanya jadi tertimpa. Lagi pula aku mandi pukul tujuh pagi tadi, sementara sekarang sudah pukul setengah lima sore,” jelas Zelda.

Setelah mendengar penjelasan Zelda, Arthur pun mundur dan menjauh dari wanita itu, lalu duduk di kursinya.

Arthur mengambil sebuah kertas yang ternyata sejak tadi tergeletak di tengah meja, lalu mendekatkan kertas itu pada Zelda dan mengeluarkan pulpen mahalnya dari saku jas hitam yang dia kenakan.

Suara ketukan terdengar jelas ketika pulpen yang pasti harganya selangit itu diletakkan persis di atas kertas yang kini ada di hadapan Zelda.

Zelda kebingungan apa gerangan isi kertas itu dan mengapa diletakkan di hadapannya, tetapi ia tidak mengambil atau pun membaca isinya karena belum diizinkan oleh sang tuan.

“Baca baik-baik dan tanda tangani surat itu,” perintah Arthur.

Zelda memajukan tubuhnya ke arah meja, lantas menatap kertas tersebut dan mulai membacanya dengan perasaan bingung di awal karena tak tahu surat apa itu.

Kedua mata hazel Zelda bergerak membaca kata demi kata penuh ketelitian. Setelah akhirnya tiba di ujung surat, ia langsung mematung dan membisu.

Pasalnya, ternyata itu merupakan surat persetujuan bahwa ia bersedia menikah dengan Arthur dan menjadi istri kontrak pria itu selama dua tahun.

Zelda jelas sangat syok. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, lalu meletakkan kertas itu kembali ke atas meja. Menoleh pada Arthur di sebelahnya dan menatap sang tuan dengan wajah cantiknya yang tampak terperangah.

“Apa maksudnya ini, Tuan?” tanya Zelda.

“Kau sudah membacanya, kan?”

“Sudah ....”

“Apa yang kau pahami dari surat itu?”

“Aku ... i-ini surat persetujuan pernikahan kontrak.” Zelda menjawab dengan suara pelan sambil kembali menatap kertas itu untuk memastikan.

“Lalu mengapa kau masih bertanya ‘apa maksudnya’?”

Zelda tertegun. Dalam kesepakatan yang disebutkan Mona Germanotta, pun juga dalam surat perjanjian yang ia tanda tangani dan menjadi tombak kepastian bahwa dirinya bersedia bekerja untuk Arthur, tak ada satu pun perihal yang membahas kalau ia harus menikah dengan sang tuan.

Kesepakatannya dengan Mona di awal hanyalah soal hutangnya akan lunas dan ia akan mendapatkan bayaran dari Arthur apabila menjadi lacur pribadi Arthur. Tidak ada sedikit pun menyebutkan bahwa ia harus menikah kontrak dengan Arthur.

“Tuan, aku ... aku sama sekali tidak mengerti. Mengapa aku harus menikah denganmu? Menikah kontrak selama dua tahun? Aku di sini hanya melakukan tugasku, dan tugasku tidak sampai sejauh dinikahi,” ungkap Zelda yang berani menyuarakan apa yang membuatnya gusar.

Arthur tetap terlihat tenang. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela di sisi ruangan. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana ketika dia berkata, “Kau tahu, bukan? Kau harus melakukan apa pun yang aku perintahkan.”

Zelda yang masih duduk di kursinya pun menelan ludahnya dengan susah payah. Mematung menatap Arthur yang kini berdiri di seberang ruangan.

Prinsip Zelda, menikah hanya satu kali seumur hidup. Sejak kecil mimpinya adalah menikah dengan pria yang ia cintai sepenuh hati, lalu menjalani kehidupan rumah tangga yang membahagiakan sampai tua hingga mati.

Mimpi itu mungkin perlahan terlupakan semenjak ia lulus sekolah, karena harus fokus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak di tengah keadaan keluarganya yang semraut.

Pupus harapan untuk kuliah dan setidaknya menjadi kaum terpelajar agar punya pekerjaan yang bagus karena di usia muda Zelda malah jadi wanita penghibur, ia tak pernah berhenti berharap akan menemukan pria yang betulan mencintainya bukan sekadar karena kecantikan fisiknya.

Dan sekarang, ia malah didesak menandatangani surat nikah kontrak dengan tuannya yang ia kenal kejam itu. Apakah mimpinya untuk menikah hanya satu kali seumur hidup dengan pria yang benar-benar ia cintai harus kandas tanpa sisa?

“Maaf, Tuan. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku merasa berhak untuk protes. Tugasku di sini bukan untuk ini,” tolak Zelda.

Arthur mengangkat sebelah alis tebalnya, tersenyum sinis menatap Zelda. Tak diragukan lagi, di samping keluguannya, Zelda sungguh punya keberanian yang cukup mumpuni dengan mulutnya yang ekspresif dalam bicara. Bahkan tak segan bilang 'berhak untuk protes.'

Baru kali ini ada orang yang bekerja untuknya berani protes atas perintah yang ia berikan. Sejak awal pun Zelda memang sudah terlihat banyak bicara dan selalu menjawab ucapan Arthur dengan kalimatnya yang kadang blak-blakan. Ini sangat impresif dan membuat Zelda jadi terlihat makin atraktif bagi Arthur.

Melihat bagaimana cara Arthur menatapnya saat ini, Zelda langsung menundukkan kepala. Perintah ini terlalu mengejutkan untuknya.

“Apa kau menentangku? Bukankah Mona dan suaminya sudah mengatakan banyak hal padamu sebelum kau datang ke sini?”

Zelda terdiam. Teringat kembali olehnya peringatan tegas yang dilontarkan Mona pada malam ketika dirinya dipanggil untuk makan malam bersama di kasino.

'Kau harus melayaninya dan melakukan apa pun yang dia perintahkan tanpa penolakan!' Kalimat yang diucapkan Mona itu kembali terngiang-ngiang di kepala Zelda.

Terngiang pula ancaman Mona bahwa hutang-hutangnya tak akan jadi lunas apabila Arthur marah padanya karena ia melakukan kesalahan dan membangkang, sebab Arthur bisa mengancam keberlangsungan kasino milik suami Mona.

"Kenapa malah diam? Aku pikir kau paham apa yang harus kau lakukan dengan kertas dan pulpen itu," ucap Arthur.

“T-tapi, Tuan ....”

“Tanda tangani saja dan menikahlah denganku.”

***


Bersambung .....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Godaan Sang Penggoda [Chapter 16-40)
3
0
    Kemarin sore, Zelda diperintahkan oleh Arthur untuk menandatangani surat persetujuan menikah kontrak. Ia belum menandatanganinya, mengatakan kalau ia butuh waktu untuk memantapkan diri sebelum menandatanganinya.    Arthur memberi waktu selama 24 jam. Sekarang jam menunjukkan pukul tiga sore, yang mana artinya kurang dari dua jam lagi dirinya pasti akan dipanggil untuk kembali dimintai kesediaan menandatangani surat itu dan dalam waktu dekat akan langsung menikah dengan Arthur.    Zelda tidak mau. Ia sungguh takut. Membayangkan menjadi pelayan nafsu seorang mafia seperti Arthur saja tak pernah terlintas di kepalanya, apalagi menjadi istrinya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan